BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ada hal yang mendasar yang sesungguhnya telah kita abaikan keberadaannya, yaitu nilai
luhur tersebut adalah Kearifan Lokal. Namun sayang, nilai-nilai luhur yang telah melekat pada
masyarakat ini seolah tergerus, entah karena telah terjadi pergeseran pola pikir masyarakat
seiring perubahan jaman dan pengaruh budaya pola pikir modern atau karena pemerintah sendiri
yang tidak tanggap bahwa kearifan lokal sebagai sesuatu yang harus dipertahankan dan dapat
dijadikan sebagai acuan bagi terciptanya pola pengelolaan SDA secara berkelanjutan.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana perkembangan sektor perikanan di Indonesia?
2. Bagaimana kaitan pengembangan sektor perikanan di Indonesia dengan kearifan lokal?
3. Bagaimana prospek sektor perikanan di Indonesia?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui perkembangan sektor perikanan di Indonesia.
2. Untuk mengetahui kaitan pengembangan sektor perikanan di Indonesia dengan kearifan lokal.
3. Untuk mengetahui prospek sektor perikanan di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Perkembangan Sektor Perikanan di Indonesia
a. Sebelum Kemerdekaan
Kegiatan usaha perikanan sejak akhir abad 19 ditandai dengan bergesernya usaha penangkapan
dari perairan laut-dalam lepas pantai ke perairan dekat pantai. Hal ini sebagai akibat semakin
berkurangnya perahu berukuran besar jenis mayang dan tidak adanya pembuatan perahu baru.
Kemunduran tersebut disebabkan oleh perubahan mendasar dalam system investasi, sehingga
penanaman modal di sektor perikanan tidak memberikan prospek yang menguntungkan. Namun
sejalan dengan adanya perubahan politik kolonial liberal ke politik ethis, mendorong adanya
kebijakan pemerintah yang berupaya untuk meningkatkan kesejahterakan penduduk pribumi,
termasuk di dalamnya nelayan.
b. Awal kemerdekaan
Urusan perikanan laut disatukan dengan perikanan darat. Namun mulai bulan Januari 1949,
kedua jawatan itu dipisahkan lagi. Dengan Jawatan Perikanan Laut tersebut, mulai dipergiat lagi
penelitian perikanan laut, walau belum segencar kegiatan penelitian pada waktu sebelum perang.
Lembaga itu mendorong pembuatan perahu baru dengan memberikan bantuan pinjaman uang
untuk pembelian kayu atau memperbaiki perahu tua. Hasilnya, penangkapan ikan di Muncar dan
Tratas dapat dikatakan memuaskan, walau keadaan masih penuh kesukaran. Pembuatan perahu
di Penarukan tidak begitu berarti, disebabkan kekurangan kayu yang baik. Di Bawean barangbarang yang dibutuhkan adalah garam, benang, pancing, dan layar. Untuk itu diusahakan pula
bantuan pinjaman. Pada umumnya kesukaran alat pengangkutan masih menyebabkan tidak
lancarnya distribusi bahan-bahan perikanan yang dipesan oleh rakyat.
Kebijaksanaan koperasi perikanan yang bertujuan memberikan peningkatan kesejahteraan pada
nelayan tersebut dalam pelaksanaannya berhadapan dengan sistem yang telah ada sebelumnya.
Pelaku-pelaku ekonomi nelayan yang terjalin dalam sistem
lama dan sedemikian mengakar, sulit untuk dapat menerima perubahan dengan model
koperasi itu begitu saja. Sementara itu, koperasi perikanan untuk mencapai tujuannya sebagai
sarana untuk meningkatkan kesejahteraan kepada nelayan masih menghadapi beberapa kesulitan.
diantaranya :
1. Usaha pelelangan masih terbatas hanya sampai menjualkan ikan di tempat-tempat pendaratan,
2.
sedangkan pengolahan dan penjualan hasil olahan masih dikuasai oleh pedagang ikan.
Usaha keperluan alat-alat perikanan dan keperluan sehari-hari nelayan belum didapatkan
langsung dari pemerintah melainkan melalui begitu banyak saluran, di luar organisasi nelayan,
manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Semua bentuk kearifan lokal ini
dihayati, dipraktekkan, diajarkan dan diwariskan dari generasi ke generasi sekaligus membentuk
pola perilaku manusia terhadap sesama manusia, alam maupun gaib.
Selanjutnya Francis Wahono (2005) menjelaskan bahwa kearifan lokal adalah kepandaian dan
strategi-strategi pengelolaan alam semesta dalam menjaga keseimbangan ekologis yang sudah
berabad-abad teruji oleh berbagai bencana dan kendala serta keteledoran manusia. Kearifan local
tidak hanya berhenti pada etika, tetapi sampai pada norma dan tindakan dan tingkah laku,
sehingga kearifan lokal dapat menjadi seperti religi yang memedomani manusia dalam bersikap
dan bertindak, baik dalam konteks kehidupan sehari-hari maupun menentukan peradaban
manusia yang lebih jauh.
Adanya gaya hidup yang konsumtif dapat mengikis norma-norma kearifan lokal di
masyarakat. Untuk menghindari hal tersebut maka norma-norma yang sudah berlaku di suatu
masyarakat yang sifatnya turun menurun dan berhubungan erat dengan kelestarian
lingkungannya perlu dilestarikan yaitu kearifan lokal.
Pengertian pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan mengacu pada UU RI No. 23
Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup yang berbunyi Pengelolaan lingkungan hidup
adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan
penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan
pengendalian lingkungan hidup.
Satu hal yang perlu dicatat bahwa pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan
hendaknya dilakukan berdasarkan prinsip keberlanjutan demi sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat. Pemanfaatan terhadap Sumberdaya alam (SDA) seharusnya didasari pada tujuan jangka
panjang, sehingga anugerah SDA tersebut tidak dipandang sebagai kenikmatan sesaat. Namun
itulah yang saat ini terjadi sangat ironis memang jika potensi yang begitu besar tersebut dengan
cepatnya tergerus akibat pola pengelolaan yang tidak mengindahkan prinsip-prinsip
keseimbangan (Principle of harmony) dan nilai-nilai lestari (sustainable values). Faktanya, pada
sub-sektor perikanan tangkap misalnya, menunjukan bahwa stok ikan dibeberapa wilayah
perairan laut seperti Selat Malaka, Laut Jawa, Pesisir Selatan Sulawesi, Selat Bali dan Laut
Arafura telah mengalami tangkap jenuh (over fishing), inilah akibat dari pengelolaan yang telah
mengindahkan prinsip keberlanjutan (sustainable), sehingga dikhawatirkan jika tidak ada
pengelolaan yang arif, maka eksploitasi terhadap sumberdaya ikan akan melebihi produksi
potensi lestari (Maximum Sustainable Yield/MSY). Sebagai gambaran total MSY sumberdaya
ikan laut Indonesia saat ini sebesar 6,5 juta ton/tahun. Kasus lain pada sub-sektor perikanan
budidaya yaitu ambruknya masa keemasan udang windu sejak beberapa dekade yang lalu dan
sampai saat ini masih menyisakan masalah jangka panjang. Kenapa ini terjadi..? karena pola
pengelolaan yang hanya mengejar kapasitas produksi yang tak terukur dengan input teknologi
yang
tidak
terkontrol
tanpa
mempertimbangkan
kemampuan
daya
dukung
lahan
(sustainable
values),
ramah
lingkungan
(pro-enviroment),
ecological
1. Tradisi/Hukum Adat Laot Lembaga Adat Laot di Propinsi Nangroe Aceh Darusalam.
Hukum Adat Laot merupakan hukum-hukum adat yang diperlukan masyarakat nelayan
dalam menjaga ketertiban yang meliputi penangkapan ikan, pemeliharaan sumberdaya ikan dan
biota laut lainnya, dan menjaga kehidupan masyarakat nelayan yang hidup di wilayah pantai.
Secara hukum, Hukum Adat Laot bersifat tertutup, artinya tidak dapat dihilangkan dalam struktur
pemerintahan di Aceh sehingga memiliki kekuatan dan kewenangan tertentu dalam
pelaksanaannya. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya, Hukum Adat Laot di Aceh dapat bersifat
terbuka, artinya, dalam menerapkan Hukum Adat Laot tersebut senantiasa menyesuaikan diri
dengan perkembangan zaman. Hukum Adat Laot dari segi Adat Pemeliharaan Lingkungan
meliputi:
a.
b.
Dilarang menebang/merusak pohon-pohon kayu di pesisir dan pantai seperti pohon arun
(cemara), pandan, ketapang, bakau dan pohon lainnya.
c.
kehidupan masyarakat. Dalam awig-awig diatur perbuatan yang boleh dan yang dilarang, sanksi
serta orang atau lembaga yang diberi wewenang oleh masyarakat untuk menjatuhkan sanksi.
Adanya pengaturan lokal (awig-awig) dalam pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan
dipengaruhi oleh masalah pokok yaitu konflik antar nelayan. Apapun munculnya konflik dalam
kegiatan pemanfaatan sumberdaya perikanan dipengaruhi oleh rusaknya lingkungan (ekologi),
pertambahan penduduk (demografi), lapangan pekerjaan yang semakin sedikit (mata
pencaharian), lingkungan politik lokal, perubahan teknologi dan perubahan pasar. Sejak dulu,
masyarakat Lombok Barat telah mengenal aturan yang berkaitan dengan kegiatan pemanfaatan
sumberdaya alam, baik yang ada di darat maupun di laut. Hal ini tercermin dari kebiasaan adat
istiadat, yaitu upacara Sawen. Secara umum sawen adalah larangan untuk melakukan kegiatan
penangkapan ikan yang berlaku di zona dan waktu yang sudah ditetapkan sebelumnya melalui
kesepakatan-kesepakatan lokal.
6. Tradisi/Hukum Adat Sasi di Maluku
Sistem pengelolaan berbasis masyarakat untuk kedua sumber daya darat dan laut umum
ditemukan di Kepulauan Maluku Tengah dan Tenggara yang dikenal dengan istilah sasi. Secara
umum sasi merupakan ketentuan hukum adat tentang larangan memasuki, mengambil atau
melakukan sesuatu dalam suatu kawasan tertentu dan dalam jangka waktu tertentu pula. Sasi
dapat diartikan sebagai larangan untuk mengambil hasil sumberdaya alam tertentu sebagai upaya
pelestarian demi menjaga mutu dan populasi sumberdaya hayati (hewani maupun nabati) alam
tersebut. Karena peraturan-peraturan dalam pelaksanaan larangan ini juga menyangkut
pengaturan hubungan manusia dengan alam dan antar manusia dalam wilayah yang dikenakan
larangan tersebut, maka sasi, pada hakekatnya, juga merupakan suatu upaya untuk memelihara
tata-krama hidup bermasyarakat, termasuk upaya ke arah pemerataan pembagian atau
pendapatan dari hasil sumberdaya alam sekitar kepada seluruh warga/penduduk setempat.
Dasar Hukum & Kelembagaan Sasi. Sasi memiliki peraturan-peraturan yang ditetapkan dalam
suatu keputusan kerapatan Dewan Adat (Saniri; di Haruku disebut Saniria Loosi Aman Haruukui, atau Saniri Lengkap Negeri Haruku). Keputusan kerapatan adat inilah yang dilimpahkan
kewenangan pelaksanaannya kepada lembaga Kewang, yakni suatu lembaga adat yang ditunjuk
untuk melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan
peraturan peraturan sasi tersebut.
Lembaga Kewang di Haruku dibentuk sejak sasi ada dan diberlakukan di desa ini. Struktur
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat kami simpulkan bahwa hampir 50 tahun proses pembangunan
yakni mulai periode orde lama (20 tahun) dan orde baru (32 tahun), pendekatan pembangunan
ekonomi hanya terpusat pada pengembangan wilayah daratan (land based development), namun
sejak lahirnya gagasan pembentukan Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan di era
kepemimpinan Gusdur, maka sejak itu pula terjadi pergeseran paradigma pembangunan nasional
ke arah pengembangan pusat-pusat pertumbuhan kawasan ekonomi berbasis kelautan dan
perikanan (marine base development). Satu hal yang perlu dicatat bahwa pengelolaan
sumberdaya kelautan dan perikanan hendaknya dilakukan berdasarkan prinsip keberlanjutan
demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pemanfaatan terhadap Sumberdaya alam (SDA)
seharusnya didasari pada tujuan jangka panjang, sehingga anugerah SDA tersebut tidak
dipandang sebagai kenikmatan sesaat. Ada hal yang mendasar yang sesungguhnya telah kita
abaikan keberadaannya,.. nilai luhur tersebut adalahKearifan Lokal (local wisdom). Namun
sayang, nilai-nilai luhur yang telah melekat pada masyarakat ini seolah tergerus, entah karena
telah terjadi pergeseran pola pikir masyarakat seiring perubahan jaman dan pengaruh budaya
pola pikir modern atau karena pemerintah sendiri yang tidak tanggap bahwa kearifan lokal
sebagai sesuatu yang harus dipertahankan dan dapat dijadikan sebagai acuan bagi terciptanya
pola pengelolaan SDA secara berkelanjutan. Perlu kita ketahui bahwa kearifan lokal merupakan
suatu bentuk kearifan lingkungan yang ada dalam kehidupan bermasyarakat di suatu tempat atau
daerah. Pengembangan perikanan boleh mengikuti perkembangan zaman tetapi tidak boleh
meninggalkan kearifan lokal.
3.2 Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sebuah kesempurnaan, oleh karena itu
penulis sangat mengharapkan saran dan kritikan dari pembaca yang bersifat membangun. Penulis
berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.
DAFTAR PUSTAKA