Anda di halaman 1dari 12

I PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang
Fugu (ikan buntal) adalah salah satu ikan yang sangat beracun, bahkan

mematikan. Walaupun resikonya adalah mati, makanan dari fugu merupakan salah
satu makanan yang spesial di Jepang. Bahkan telur ikan buntal dikenal sebagai
makanan yang memiliki nilai ekonomis penting, sebab memiliki kandungan
protein yang cukup tinggi.
Ikan ini disebut ikan buntal (sebagian mengenalnya sebagai ikan kembung)
karena kemampuannya untuk menggembungkan badannya. Huruf kanji untuk
penulisan nama ikan ini, jika diterjemahkan secara harfiah berarti "babi sungai".
di daerah Jepang Barat, fugu ini disebut fuku yang berarti "meniup" atau
"kebahagiaan."
Ikan buntal laut dari keluarga Tetraodontidae, Takifugu pardalis, Takifugu
niphobles, Takifugu rubripes, dll, sangat terkenal karena mereka memiliki
tetrodotoxin (TTX). Ikan buntal dianggap tidak mensintesis toksin sendiri, tetapi
TTX pada tubuhnya merupakan hasil akumulasi dari makanannya yaitu bakteri
laut yang menghasilkan TTX. Oleh karena itu, ikan buntal yang telah dibiakkan
dari larva dengan diet TTX bebas dalam kondisi di mana invasi TTX pembawa
dikeluarkan dan dicegah dengan baik maka hasil sepenuhnya adalah ikan buntal
tidak beracun.
Pada spesies ikan buntal yang berasal dari laut, umumnya toksisitas yang
tinggi terdapat pada hati dan telur, sedangkan ikan buntal yang habitatnya di
perairan payau dan tawar, toksisitas yang lebih tinggi terdapat pada kulit. TTX ini,
sebenarnya diproduksi oleh marine bacteria, yang kemudian ikan buntal
mengakulmulasi TTX tersebut melalui rantai makanan yang dimulai dari bakteri
tersebut sebagai sumbernya.
1.2.

Tujuan

1.2.1. Mengetahui bagaimana ikan buntal menghasilkan Tetrodotoxin (TTX)


1.2.2. Mengetahui mekanisme akumulasi TTX pada ikan buntal
1.2.3. Mengetahui gejala keracunan ikan buntal

1.2.4. Mengetahui cara mengatasi keracunan ikan buntal


1.3.

Manfaat
Makalah ini diharapkan mampu menambah wawasan, pengetahuan dan

pemahaman mahasiswa mengenai toksin yang dihasilkan oleh ikan buntal serta
cara mengatasi keracunanya.

II ISI

2.1. Ikan Buntal


Tetraodontidae adalah sebuah famili dari ikan muara dan laut yang berasal
dari ordo Tetraodontiformes. Secara morfologi, ikan-ikan serupa yang termasuk
dalam famili ini serupa dengan ikan landak yang memiliki tulang belakang luas
yang besar (tidak seperti tulang belakang Tetraodontidae yang lebih tipis,
tersembunyi, dan dapat terlihat ketika ikan ini menggembungkan diri). Nama
ilmiah ini merujuk pada empat gigi besar yang terpasang pada rahang atas dan
bawah yang digunakan untuk menghancurkan cangkang krustasea dan moluska,
mangsa alami mereka.
Tetraodontidae terdri dari sedikitnya 121 spesies ikan buntal yang terbagi
dalam 20 genera. Ikan ini banyak ragamnya di perairan tropis dan tidak umum
dalam perairan zona sedang dan tidak ada di perairan dingin. Mereka memiliki
ukuran kecil hingga sedang, meski beberapa spesies memiliki panjang ebih dari
100 sentimeter (39 in).

Gambar 1. Ikan Buntal


Sumber : http://alumni-triguna.bihun.web.id/ensiklopedia.php
Klasifiasi Ilmiah Ikan Buntal
Kingdom
Phylum
Kelas
Ordo

: Animalia
: Chordata
: Osteichthyes
: Tetraodontiformes

Famili

: Tetraodontidae

Genus

: Diodon Holoc

Ciri-ciri ikan buntal adalah sebagai berikut : memiliki gigi yang tajam,
memiliki racun yang terkandung dalam tubuhnya. Dapat mengembang seperti

balon dan mengeluarkan duri tajam. Memiliki panjang 8-14 inci (20-35 cm),
mencapai maksimum 20 inci (50 cm).
Penyebaran ikan ini adalah di perairan tropis seluruh dunia. Ikan buntal adalah
predator malam hari, biasanya bersembunyi di celah-celah karang di siang hari
dan baru akan beraksi mencari makan pada malam hari gigi yang menyatu
bersama menjadi satu kesatuan, menciptakan mulut yang kuat dan dapat
meretakkan kulit kerang siput, landak laut, dan kepiting yang merupakan makanan
utama ikan

buntal. Ikan buntal mengandung nuerotoksin yang poten yaitu

Tetrodotoksin (TTX). Racun ini diperkirakan disintesis oleh bakteri atau


dinoflagelata spesies yang berhubungan dengan ikan buntal. Bagian tubuh yang
dinyatakan mengandung racun TTX ini adalah hati, ovarium, kulit dan usus halus.
Tingkat toksisitas dari racun ini adalah musiman, oleh karena itu ikan ini disajikan
di Jepang hanya dari bulan Oktober hingga Maret.
2.2. Tetrodotoxin (TTX)
Tetrodotoxin adalah neurotoksin laut yang kuat, dinamai dari urutan ikan yang
paling umum dari asosiasi tersebut, Tetraodontiformes (tetras-empat dan
odontosgigi), atau pufferfish tetraodon (tetraodon puffers yang dilengkapi dengan
empat gigi besar yang hampir menyatu, membentuk paruh seperti struktur yang
digunakan untuk merobek moluska dan invertebrata lainnya, serta untuk
menggores terumbu karang. Para anggota dari ordo ini termasuk buntal fahaka
(Tetraodon fahaka), buntal Kongo (Tetraodon miurus), Unit Bisnis buntal raksasa
(Tetraodon Unit Bisnis), buntal dari genus Fugu (F. flavidus F., poecilonotus,
niphobles F.), Arothron (A. nigropunctatus), Chelonodon (Chelonodon spp.), dan
Takifugu (Takifugu rubripes ).
Tetrodoksin adalah racun yang tahan panas (kecuali dalam suasana alkali) dan
merupakan racun non-protein yang larut dalam air. Tetrodoksin adalah molekul
organik, heterosiklik yang bekerja langsung pada pompa natrium, sehingga
mencegah depolarisasi dan terbentuknya aksi potensial dari sel saraf. Racun ini
bekerja pada sistem saraf pusat dan sel saraf tepi (contoh saraf otonom, motorik,
dan sensorik). Selain itu, racun ini merangsang kemoreseptor serta mendepresi
pusat pernapasan dan pusat vasomotor di medulla oblongata.

TTX juga ditemukan pada hewan laut lainnya yaitu gurita bercincin biruAustralia (Maculosa hapaloclaena, hewan tersebut menggunakan TTX sebagai
racun untuk menangkap mangsanya), ikan kakaktua, cepluk, goby, angelfish, ikan
cod, boxfish (Ostracion spp.) tobies, ikan landak, mola-mola laut/ globefish,
bintang laut (Astropecten scoparius), kepiting xanthid (Eriphia spp.), kepiting
sepatu kuda (Carcinoscorpius rotundicauda), dua spesies kepiting Filipina
(Zosimus aeneus dan Atergatis floridus), sejumlah siput laut, cacing pipih,
moluska (Nassarius spp. "dan shell terompet Jepang Boshubora"), dan (alga Jania
spp. Terrestrial).
Adapun struktur kimia dari Tetradoksin (TTX), yaitu seperti gambar berikut :

Gambar 2. Struktur Kimia TTX


2.3. Biologi Asal TTX
Bakteri laut telah lama berperan dalam simbiosis mutualistik dengan hewan
laut. Jutaan tahun yang lalu, pufferfish mengambil keuntungan dari mutasi titik
tunggal di reseptor saluran natrium bakteri yang diberikan, sehingga ikan ini kebal
dari efek TTX miliknya sendiri. Adaptasi serupa telah dibuat oleh family
organisme yang membawa saxitoxin dan Ciguatera.
TTX diproduksi oleh beberapa bakteri laut, termasuk Pseudomonas sp., Vibrio
alginolyticus, Alteromonas tetraodonis, Shewanella alga, S. putrefaciens,
Microbacterium arabinogalactanolyticum and Serratia marcescens. Invertebrate

dan vertebrata laut herbivora menjadi host untuk bakteri tersebut, dan sebagai
timbal baliknya mereka menerima perlindungan dari biotoxins laut.
2.4. Distribusi TTX pada Ikan Buntal
Distribusi TTX dalam tubuh ikan buntal tiap spesies memiliki spesifik
tertentu, terlihat jelas pada tabel 1. Ikan buntal jenis laut, toksisitas yang paling
tinggi umumnya terdapat pada hati dan telur, kemudian usus dan kulit. Daging
dan testis tidak beracun atau beracun lemah, kecuali pada spesies Lagocephalus
Lunaris dan Chelonodon patoca.
Pada racun buntal jenis laut, umumnya hati menunjukkan toksisitas yang
sangat tinggi sepanjang tahun

kecuali pada musim pemijahan, dimana telur

menjadi sangat beracun dengan mengakumulasi TTX yang ditransfer dari hati.
TTX ditelur berfungsi melindungi telur dari predator. Selain itu, jika musuh
pbertemu buntal beracun, tubuh mereka akun membengkak menjadi dua atau tiga
kali ukuran biasa mereka. TTX diekskresikan dari kulit buntal untuk
mengusir/melawan musuh. Dapat disimpulkan bawa TTX sendiri dapat menjadi
agen pertahanan biologi buntal dalam menghadapi musuh.
Tabel 1. Toksisitas Ikan Buntal

2.5. Mekanisme akumulasi TTX pada ikan Buntal


TTX didistribusikan melalui berbagai organisme, termasuk hewan yang
dimakan buntal, shell terumpet mengakumulasi TTX dengan menyerap racun dari
bintang laut, dan penghasil TTX sendiri yaitu marine bacteria, hal ini
menunjukkan bahwa Buntal tidak mensintesis TTX, tapi mengakumulasi TTX
melalui rantai makanan, yang dimulai dari bakteri laut. Buntal akan menjadi tidak
beracun, ketika ia memakan makanan yang tidak mengandung TTX pada
lingkungan yang telah mengeliminasi organisme yang mengandung TTX.
Kemungkinan lain adalah TTX yang terdapat pada buntal dihasilkan simbiosis
atau bakteri parasit, yang secara langsung terakumulasi di dalam tubuh Buntal
dan tidak diperoleh melalui rantai makanan.

Gambar 3. Proses mekanisme akumulasi TTX pada hewan laut


2.6. Mekanisme Intoksikasi TTX :
Tetradoksin menghambat konduksi saraf dan otot dengan secara selektif
memblok saluran ion Natrium, sehingga menghalangi ion Natrium (Na+). Aliran
Na+ yang dihlangin tersebut menyebabkan aksi potensial tidak bisa dihasilkan dan
neurotransmitter tidak bisa dilepaskan.

2.7. Tahapan Intoksikasi TTX

Spesies dari Tetraodontidae

menjadi beracun untuk konsumsi manusia

sebagai tingkat TTX lebih dari 2 mg / g (10 MU / gr). Gejala awal intoksikasi
TTX timbul 15 menit hingga beberapa jam pasca paparan dengan makanan yang
mengandung tetrodotoksin. Bahkan pernah dilaporkan gejala inisaial muncul 20
jam pasca paparan. Gejala awal meliputi parestesia bibir dan lidah, diikuti
parestesia dan baal di daerah wajah dan tungkai.Kemudian dilanjutkan oleh
salviasi, mual, muntah dan diare disertai nyeri perut. Disfungsi motorik disertai
kelemahan, hipoventilasi (mungkin merupakan akibat dari disfungsi system saraf
pusat dan tepi), kemudian diikuti oleh kesulitan bicara.
Paralisis ascending muncul dalam 4 hingga 24 jam kemudian. Paralisis
tungkai timbul sebelum paralisis bulbar, yang kemudian diikuti oleh paralisis otototot pernafasan. Refleks tendon dalam tidak terganggu pada tahap awal paralisis.
Akhirnya, disfungsi jantung dengan hipotensi dan disritmia (bradikardia),
disfungsi SSP (koma) dan kejang mungkin terjadi. Korban yang mengalami
keracunan akut berat dapat mengalami koma yang dalam, pupil non reaktif,
apnue, dan hilangnya seluruh refleks batang otak.
Kematian dapat terjadi dalam 4 hingga 6 jam. Kematian terjadi akibat
paralysis otot-otot pernafasan dan gagal nafas. Dari pemeriksaan fisik dapat
ditemukan:
-Hilangnya fungsi saraf sensorik dan motorik.
-Paralisis ascending dan depresi pernafasan.
-Sianosis disertai gagal nafas.
-Hipotensi dan disfungsi miokardial.
-Gangguan irama jantung, terutama bradikardia, blok atrioventrikular, dan
bundlebranch block.
-Gangguan gastrointestinal tidak terlalu menonjol, hanya muntah dan nyeri
abdomen.

2.8. Kasus intoksikasi TTX pada manusia

Kasus di Jepang
Pada pagi hari, bulan Oktober 1996, seorang pria 48-tahun di Nagasaki,
Nagasaki Prefecture, menangkap ikan buntal laut Takifugu poecilonotus, dan
makan lebih dari empat potong, sedikit dimasak "Kimo" dengan beberapa daging
di malam hari. Tiga puluh sampai 60 menit setelah mengonkonsumsi, ia mulai
menderita mati rasa di tangan dan anggota tubuhnya, diikuti oleh sianosis dan
gagal napas selama 60 berikutnya menit. Meskipun segera dirawat di rumah sakit,
dia meninggal pada jam berikutnya.
Tabel 2. Insiden keracunan ikan Buntal di Jepang

Sebuah
insiden keracunan
makanan setelah mengkonsumsi ikan terjadi di Chunghua Prefecture, Taiwan
Barat pada Januari 2000 Sebanyak lima korban (4 laki-laki, berusia 58-64 tahun
dan 1wanita, 46 tahun) dilaporkan. Gejala diantaranya kelumpuhan, koma, mual,
muntah, ataksia, afasia, dan sulit respirasi. Di antara korban tersebut, dua orang
menderita gejala yang lebih serius dan diperlakukan dengan cairan intravena,

ventilasi mekanis, dan perawatan intensif di rumah sakit. Mereka kemudian


dipulangkan setelah 1 minggu dari perawatan.
Menurut korban, penyebabnya yaitu ikan, ditangkap dari daerah pesisir
Chunghua Prefecture, kemungkinan buntal jenis laut Takifugu niphobles. Mereka
mengambil sepotong kecil (sekitar 11 g) dari hati ikan tersebut, kemudian dimasak
bersama dengan delapan ekor T. niphobles. Kemudian sisa ikan yang belum
dikonsumsi diuji toksisitasnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa toksisitas
hati ikan yang dimasak adalah 280 MU / g, dan semua T. niphobles memiliki
toksisitas yang tinggi (> 850 MU / g) dalam hati mereka. Toksin dari kedua
sampel diidentifikasi sebagai TTX. DNA mitokondria dari sisa dan spesies T.
niphobles menunjukkan genotipe urutan yang sama dan sama situs restriksi
tunggal untuk BsaI, menunjukkan bahwa T. niphobles sumber intoksikasi yang
disebabkan oleh TTX.
2.9. Cara Mengatasi Intoksikasi TTX
Jika ditemukan kasus keracunan akibat mengkonsumsi ikan buntal, segera
bawa korban ke rumah sakit dengan fasilitas ICU untuk segera mendapatkan
pertolongan. Oleh karena gejala seperti di atas akan muncul dalam 6 jam, namun
dapat saja tertunda 12 hingga 20 jam.

1.
2.
3.

Tindakan di Unit Gawat Darurat :


Bebaskan dan amankan jalan nafas (cegah aspirasi)
Berikan infuse dan buka jalur vena untuk pemberian obatobatan
Keluarkan racun dari saluran pencernaan dengan melakukan bilas lambung
dengan arang aktif (dengan atau tanpa katartik), hati-hati akan

kemungkinan terjadinya aspirasi dan trauma pada esophagus.


4. Monitor tanda vital dan berikan oksigenasi yang adekuat.
5. Fokus terapi berikutnya adalah fungsi jantung hingga toksin telah
tereliminasi seluruhnya dari tubuh.
6. Tidak ada antidot spesifik yang pernah dicobakan pada manusia.

III PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Ikan buntal tidak mensintesis toksin sendiri, tetapi TTX pada tubuhnya
merupakan hasil akumulasi dari makanannya yaitu bakteri laut yang

menghasilkan TTX.
Spesies dari Tetraodontidae menjadi beracun untuk konsumsi manusia

sebagai tingkat TTX lebih dari 2 mg / g (10 MU / gr).


Banyak terjadi kasus intoksikasi TTX di Jepang karena masyarakat Jepang
senang mengkonsumsi ikan buntal. Dan hanya koki yang memiliki
sertifikat dari kementrian kesehatan yang boleh memasak ikan buntal di
Jepang.

Gejala awal intoksikasi TTX timbul 15 menit hingga beberapa jam pasca
paparan dengan makanan yang mengandung tetrodotoksin.

3.2. Saran

Jika ingin mengkonsumsi ikan buntal sebaiknya membeli masakan ikan

buntal yang dimasak oleh koki yang sudah memiliki sertifikat kesehatan.
Jika ditemukan kasus keracunan akibat mengkonsumsi ikan buntal, segera
bawa korban ke rumah sakit dengan fasilitas ICU untuk segera
mendapatkan pertolongan.

Daftar Pustaka

Anonim. 2010. Tetrodotoxin (Online). http://scientifict aquamarine.blogspot.com/


2010/08/blog-post.html (12 Oktober 2014/13.21 WIB).
Azman, A. Mohd Nor., M. Samsur and M. Othman. 2014. Distribution of
Tetrodotoxin among Tissues of Pufferfish from Sabah and Sarawak
Waters. Sains Malaysiana 43 (7) (2014): 1003-1011.
Chulanetra, Monrat., Nitat Sookrun, Potjanee Srimanote, Nitaya Indrawwattana,
Jeeraphong Thanongsaksrikul, Yuwaporn Sakolvaree , Manas ChongsaNguan, Hisao Kurazono dan Wanpen Chaicumpa. Toxic Marine Puffer
Fish in Thailand Seas and Tetrodotoxin They Contained. Toxins 2011, 3,
1249-1262; doi: 10.3390/toxins3101249.
Ikeda, Koichi et al. 2006. Accumulation of tetrodotoxin (TTX) in Pseudocaligus
fugu, a parasitic copepod from panther puffer Takifugu pardalis, but
without vertical transmission-Using an immunoenzymatic technique.
Toxicon 48 (2006) 116122.
Noguchi, Tamaol., and Arakawa, Osamu. 2008. Tetrodotoxin Distribution and
Accumulation in Aquatic Organisms, and Cases of Human Intoxication.
Marine Drugs 6. 220-24.
Wu, Zhenlong et al. 2005. A new tetrodotoxin-producing actinomycete,
Nocardiopsis dassonvillei, isolated from the ovaries of puffer fish Fugu
rubripes. Toxicon 45 (2005) 851859.

Anda mungkin juga menyukai