Anda di halaman 1dari 5

EKOSISTEM PESISIR PADANG LAMUN

DI KEPULAUAN TANAKEKE, SULAWESI SELATAN


Tugas Mata Kuliah: Perencanaan Lingkungan Pesisir
Dosen Pengampu: Ariyaningsih, S.T., M.T., M.Sc
Disusun Oleh :Rezky Nur Astriyani (08161066)
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan luas laut mencapai 5,8
juta km2 atau sekitar 2/3 wilayah Indonesia adalah lautan yang terdiri dari 2,3 juta km2 perairan
kepulauan, 0,8 juta km2 perairan territorial dan 2,7 juta km2 perairan Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia (ZEEI). Jumlah pulau 17.504 pulau, terdiri dari pulau-pulau besar dan kecil dengan
panjang pantai 104.000 km. Posisi Indonesia strategis, terletak di antara Samudera Pasifik dan
Samudera Hindia. Lebih dari 80% kota-kota di Indonesia berlokasi di pesisir. Indonesia bagian
timur khususnya Sulawesi Selatan memiliki potensi sumberdaya laut yang diakui memiliki
peranan penting, tidak hanya terumbu karang dan mangrove, tetapi juga padang lamun.
Padang lamun merupakan ekosistem pesisisr di perairan dangkal yang kompleks dan
memiliki produktivitas hayati yang tinggi. Oleh karena itu padang lamun merupakan sumberdaya
laut yang penting baik secara ekologis maupun secara ekonomis (Rashed, 1994). Fungsi ekologis
padang lamun diantaranya adalah sebagai daerah asuhan, daerah pemijahan, daerah mencari
makan, dan daerah untuk mencari perlindungan berbagai jenis biota laut seperti ikan, krustasea,
moluska echinodermata dan sebagainya. Padang lamun sendiri juga menyediakan makanan
penting bagi dugong dan penyu hijau serta bertindak sebagi jebakan sedimen dan nutrien.
Sementara secara ekonomis lamun juga dapat menjadi komoditi yang dapat dimanfaatkan untuk
kompos/pupuk, dianyam menjadi keranjang, bahan pengisi kasur, jaring ikan dan dapat diolah
menjadi panganan.
Lamun (seagrass) merupakan satu-satunya tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang
memiliki rhizoma, daun dan akar sejati yang hidup teredam di dasar laut. Lamun mengkolonisasi
suatu daerah melalui penyebaran buah (propagule) yang dihasilkan secara seksual. Lamun
umumnya membentuk padang lamun yang luas di dasar laut yang masih dapat terjangkau oleh
sinar matahari yang memadai bagi pertumbuhannya. Lamun hidup di perairan dangkal dan jernih
pada kedalaman berkisar 1 – 12 meter dengan sirkulasi air yang baik (Mann, 2000). Sirkulasi air
tersebut diperlukan untuk menghantarkan zat-zat hara dan oksigen serta mengangkut hasil
metabolism lamun ke luar daerah padang lamun untuk menjadi makanan bagi para biota laut.
Hampir semua tipe dasar perairan laut dapat ditumbuhi oleh lamun, mulai dari yang berlumpur

1
hingga berbatu. Namun padang lamun yang luas lebih sering ditemukan di daerah yang memiliki
lumpur berpasir yang tebal.
Penelitian terakhir menunjukkan ada sekitar 13 jenis lamun yang telah dilaporkan
terdapat di perairan di Indonesia (Kuo, 2007). Kepulauan Tanakeke adalah salah satu kepulauan
yang berada di bagian selatan Provinsi Sulawesi Selatan. Secara geografis terletak diantara
119º11’ 45,95” - 19º19’ 01,05” Bujur Timur dan 5º23’ 58,33” - 5º30’ 38,85” Lintang Selatan.
Secara administratif, Kepulauan Tanakeke masuk dalam wilayah Kecamatan Mappakasungguh,
Kabupaten Takalar, dimana wilayahnya berbatasan dengan Selat Makassar di sebelah utara,
selatan dan barat dengan Selat Tanakeke dan sebelah timur dengan Desa Takalar. Berikut ini
merupakan gambar citra udara dari Kepulauan Tanakeke:

Gambar 1 Kepulauan Tanakeke


Sumber: Google Earth, 2018
Kepulauan Tanakeke terdiri dari lima gugus pulau yang dibagi kedalam dua desa, yaitu
Desa Maccinibaji meliputi Pulau Tanakeke dan Desa Matirobaji meliputi Pulau Lantangpeo,
Pulau Bauluang, Pulau Satangnga dan Pulau Dayang-Dayangan. Kelima pulau tersebut berjejer
dari utara ke selatan.
Ekosistem lamun ditemukan di seluruh gugus pulau di Kepulauan Tanakeke. Diketahui
bahwa pada lima gugus di Kepulauan Tanakeke memiliki sebaran luasan ekosistem lamun yang

2
berbeda-beda. Pada gugus Pulau Tanakeke dan Lantangpeo terdapat 14,55 km2 luasan padang
lamun dan merupakan padang lamun terbesar di Kepulauan Tanakeke. Selanjutnya luasan
padang lamun di empat gugus pulau lainnya yaitu di Pulau Bauluang adalah seluas 1,89 km2,
Pulau Satangnga seluas 0,88 km2 dan Pulau Dayang-Dayangan seluas 0,28 km2. Sehingga
apabila dijumlahkan, maka luas keseluruhan padang lamun di Kepulauan Tanakeke adalah seluas
17,6 km2.
Selain itu, tercatat ada 5 jenis vegetasi lamun yang ditemukan di Kepulauan Tanakeke.
Kelima jenis lamun tersebut yaitu jenis Thalassia hemprinchii, Cymodocca rotundata,
Syringodium isoetifolium, Enhalus acoroides dan Halophila minor. Seluruh ekosistem lamun
yang ada di Kepulauan Tanakeke memiliki kerapatan dan tutupan vegetasi lamun yang berbeda-
beda. Semakin besar persentase tutupan daun lamun maka akan memberikan kemungkinan yang
lebih besar bagi organisme epiphyta untuk menempel dengan padat pada permukaan daun lamun.
Helaian daun lamun menyediakan substrat yang padat dan memiliki akses terhadap cahaya
matahari, nutrien dan pertukaran air sehingga memungkinkan organisme yang menempel tumbuh
subur pada permukaan daun lamun (Tomascik, 1997). Organisme yang menempel itulah yang
akan menjadi makanan bagi hewan laut dan merupakan mata rantai makanan yang penting dalam
jaring-jaring makanan pada ekosistem padang lamun. Pada daerah teluk yang tenang seperti di
sekitar Pulau Lantangpeo, memiliki kondisi ekosistem lamun yang sangat bagus dengan
persentase penutupan daun lamun yang tinggi yaitu masing-masing antara 52,27 – 68,91%.
Sebaran vegetasi lamun di Kepulauan Tanakeke juga mempunyai variasi yang cukup
tinggi, terutama disekitar gugus Pulau Tanakeke, Pulau Lantangpeo dan Pulau Bauluang. Begitu
pula pada gugus pulau lainnya. Adanya variasi tersebut menunjukkan bahwa kondisi perairan
dari kelima gugus pulau di Kepulauan Tanakeke memiliki tingkat kesuburan yang berbeda-beda
pada masing-masing gugus pulau. Tingkat kecerahan juga memiliki pengaruh dimana perairan
yang memiliki arus dan gelombang yang besar menyebabkan tingginya tingkat kekeruhan air laut
sehingga dapat mengurangi tingkat penetrasi sinar matahari yang mengakibatkan proses
fotosintesis padang lamun menjadi terhambat.
Lamun memiliki peranan yang penting terkait fungsi biologis dan fisik lingkungan
pesisir. Mengingat pentingnya keberadaan ekosistem lamun, maka tentu perlu dijaga
kelestariannya. Meningkatnya aktivitas pembangunan di lingkungan pesisir akan berdampak
terhadap produktivitas sumberdaya pesisir. Lamun, sekali rusak atau terganggu, tidak akan baik

3
kembali seperti pada tanaman di darat (Fonseca, 1987). Banyak kegiatan atau proses baik alami
maupun akibat aktivitas manusia yang mengancam kelangsungan ekosistem lamun. Ancaman
alami terhadap ekosistem lamun antara lain beruapa angin topan, gelombang pasang, kegiatan
gunung berapi bawah laut, pergerakan sedimen dan kemungkinan hama maupun penyakit.
Sementara itu, limbah pertanian, industri dan rumah tangga yang dibuang ke laut, pengerukan
lumpur, lalu lintas perahu yang padat dan kegiatan manusia lainnya dapat menyebabkan
kerusakan padang lamun. Hal ini berkaitan pula dengan kondisi sosial masyarakat di Kepulauan
Tanakeke. Diketahui bahwa Kepulauan Tanakeke memiliki jumlah penduduk yang cukup
banyak. Dengan kondisi geologi wilayahnya yang masing-masing pulau dipisahkan oleh
perairan, maka masyarakat mengandalkan perahu dan kapal bermotor sebagai sarana transportasi
mereka dalam melakukan kegiatan. Selain itu, mata pencaharian penduduknya mayoritas adalah
sebagai nelayan yang menyebabkan semakin padatnya lalu lintas perahu dan kapal bermotor di
Kepulauan Tanakeke.
Demi menjaga kelangsungan ekosistem lamun, dibutuhkan pengelolaan lingkungan yang
berkelanjutan dengan memperhatikan bidang ekonomi, sosial dan ekologi. Seperti halnya
menekankan bahwa pertumbuhan dan efisiensi dalam pemanfaatan sumberdaya alam harus
diupayakan secara terus menerus serta pentingnya melakukan upaya pencegahan terganggunya
fungsi dasar ekosistem pesisir agar tidak mengurangi manfaat dan fungsi ekologis yang ada.
Oleh karena itu, masyarakat yang tinggal di kawasan pesisir, khususnya di Kepulauan Tanakeke
dengan segala kekayaan ekosistem padang lamunnya, perlu untuk diarahkan kepada sikap
masyarakat yang sadar dan peduli akan pentingnya sumberdaya alam pesisir.

4
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, dkk. 2005. Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia. Studi Kondisi dan
Potensi Ekosistem Padang Lamun Sebagai Daerah Asuhan Biota Laut. Jilid 12, Nomor 2:
73 – 79
Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan. 2014. Jurnal Balai Besar
Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan. Potensi Investasi Kelautan
Indonesia. Volume 12:1 – 3
Tangke, Umar. 2010. Jurnal Ilmiah Agribisnis dan Perikanan (agrikan UMMU-Ternate).
Ekosistem Padang Lamun (Manfaat, Fungsi dan Rehabilitasi). Volume 3:9 – 29

Anda mungkin juga menyukai