Anda di halaman 1dari 64

KARAKTERISTIK MORFOLOGI LAMUN,

MAKROALGA, DAN MANGROVE


DI PULAU PUTRI BARAT BARAT, PULAU
GENTENG KECIL, PULAU GENTENG
BESAR, DAN PULAU KELAPA DUA
PULAU PUTRI BARAT

Pulau Putri Barat merupakan sebuah pulau kecil yang terletak di utara Kepulauan
Seribu, DKI Jakarta. Pulau Putri Barat terletak antara 106.56 – 106.55 BT dan 5.59 - 5.59 LS.
Menurut Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil batasan pulau kecil yang dianut adalah pulau dengan luas lebih kecil atau
sama dengan 2000 km2 beserta kesatuan ekosistemnya. Pulau Putri Barat berbeda dengan
Pulau Putri dimana Pulau Putri ditujukan untuk pariwisata dengan resort yang modern
menawarkan pelayanan terbaik. Berbeda dengan Putri Barat, pulau ini tidak memiliki
penduduk tetap dengan fasilitas yang cukup hanya untuk penjagaan. Namun meskipun tidak
terdapat resort yang mewah keindahan alam di Pulau Putri Barat tidak kalah menarik dari
Pulau Putri dan lagi lingkungan yang terjaga dari aktivitas manusia merupakan kunci dari
masih lestarinya pulau ini. Pulau Putri Barat memiliki ekosistem meliputi ekosistem
mangrove, ekosistem lamun, dan ekosistem terumbu karang. Pantai pada Pulau Putri Barat
memiliki tipe substrat pasir yang masih terjaga kelestariannya dilihat dari minimnya sampah
yan berada pada pantai tersebut.
PULAU GENTENG BESAR

Gambar 2. Peta Pengambilan Data di Pulau Genteng Besar


Pulau Genteng Besar merupakan salah satu pulau yang terletak di Kepulauan Seribu
bagian utara. Pulau ini termasuk pulau resort yang dikelola secara private. Pulau Genteng
besar lebih luas daripada pulau sebelahnya yaitu pulau Genteng Kecil yang memiliki luas 5
Ha. Seperti pulau-pulau kecil lainnya, Pulau Genteng Besar memiliki ekosistem laut
diantaranya mangrove, lamun dan terumbu karang. Mangrove yang terdapat di pulau ini
terletak di sisi barat dan timur pulau. Ekosistem lamun menyebar di sekeliling pulau, dan
terumbu karang juga menyebar di tubir pulau. Perairan pada Pulau Genteng Besar ini
dipengaruhi oleh arus munson Indonesia, yaitu angin barat dan angin timur (Sachoemar
2008).
PULAU GENTENG KECIL

Gambar 3. Peta Pengambilan Data di Pulau Genteng Kecil


Pulau Genteng Kecil berada di sebelah utara Jakarta dengan koordinat 5֯ 35’ 4” LS
dan 106֯ 34’ 06” BT, pulau ini memiliki luas ± 5 Ha. Ekosistem pesisir di pulau ini seperti
terumbu karang masih tergolong baik karena pulau ini tergolong pulau pribadi sehingga jauh
dari pemukiman. Aktivitas manusia di pulau ini juga tidak padat seperti pulau pramuka.
Pulau ini kelola oleh pribadi sehingga tidak banyak masyarakat pulau seribu yang mendiami
pulau ini. Pulau Genteng Kecil biasa dikunjungi oleh wisatawan untuk berlibur, karena itu di
pulau ini banyak didirikan penginapan yang cukup untuk menampung ± 200 wisatawan yang
hadir. Selain ekosistem pesisirnya yang masih tergolong baik, kualitas perairan di Pulau
Genteng Kecil ini juga masih tergolong baik. Hal tersebut dipengaruhi oleh lokasi pulau ini
yang berada di utara Jakarta sehingga minim dampak dari aktivitas antopogenik dan buangan
limbah dari pabrik.
PULAU KELAPA DUA

Gambar 4. Peta Pengambilan Data di Pulau Kelapa Dua

Pulau Kelapa Dua merupakan pulau pemukiman terkecil di wilayah Kepulauan Seribu.
Luasnya hanya 1,9 Ha dengan jumlah penduduk 337 jiwa. Letaknya juga tidak berjauhan
dengan Pulau Kelapa atau Pulau Kelapa Satu dan Pulau Harapan. Pulau Kelapa Dua
bentuknya menyerupai ikan. Pada bagian depannya lebar sehingga bisa ditinggali tetapi
mengerucut hingga pantai sebelah utara dan selatan hanya seluas dua tiga kali melangkah
Untuk menuju Pulau ini, kita dapat menggunakan perahu kecil dari Pulau Kelapa ataupun
dari Pulau Harapan.

Agak sedikit berbeda dengan pulau-pulau pemukiman lainnya, di pulau ini masih dapat
kita . jumpai rumah-rumah panggung khas masyarakat pesisir yang terbuat dari kayu. Konon
cerita ini berkata bahwa banyak penduduk Pulau Kelapa Dua ini yang berasal dari Bugis yang
memang merupakan pelaut pelaut ulung sehingga terdampar di Pulau Kelapa Dua hingga
beberapa generasi saat ini. Disini terdapat perusahaan pembesaran ikan berasal dari Jepang
yang cukup khas di Pulau kelapa Dua ini adalah Ikan Bawal Putih. Ikan Bawal Putih ini
sangat terkenal dan bahkan bisa mencapai 15 kilogram beratnya. Kondisi eksisting ini bisa
saja menjadi daya tarik tersendiri bagi pengunjung yang datang ke pulau Kelapa Dua.

Perairan pulau Kelapa Dua yang tergolong kecil sebagaimana didefinisikan dalam UU
1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang menyebutkan
Pulau yang berukuran kurang atau sama dengan 2000 km2 beserta perairan di sekitarnya
tergolong pulau kecil dan menurut Triatmodjo (1999) bahwa suatu perairan yang mempunyai
luasan yang sempit akan dipengaruhi oleh kondisi hidro Oseanografi seperti pasang surut.
Pengaruh pasang surut tersebut akan menyebabkan perairan di Pulau Kelapa Dua mempunyai
dinamika yang terkait dengan intensitas pengaruh dari pasang surut maupun faktor hidro
oseanografi yang lain. Kondisi tersebut membutuhkan pengamatan data yang dapat
digunakan untuk melakukan peramalan tentang kondisi perairan di Pulau Kelapa Dua.
Penelitian ini dilakukan pada kondisi pasang dan surut, hal ini bertujuan untuk mengetahui
pengaruh pasang surut terhadap faktor lain yang diukur seperti suhu, salinitas, kecerahan,
arus dan gelombang. Nilai elevasi pasang surut perairan Pulau Kelapa Dua memiliki nilai
elevasi muka air laut (MSL) sebesar 70 cm, muka air laut rendah terendah (LLWL) sebesar
30 cm, dan muka air laut tinggi tertinggi sebesar 110 cm. Tipe pasang surut perairan Pulau
Kelapa Dua adalah Tipe Pasang Surut tunggal dengan nilai bilangan Formhzal (F) sebesar 3,
80. Peramalan pasang surut dipengaruhi oleh lamanya pengamatan untuk mendapatkan hasil
yang optimal. Pasang surut dapat mempengaruhi persebaran suhu, salinitas dan kecerahan
serta parameter oseanografi lain seperti Arus dan Gelombang.
LAMUN

Lamun (seagrass) merupakan tumbuhan berbiji tunggal (monokotil) dari kelas


Angiospermae yang terbenam di dasar substrat dan memiliki rhizoma, daun dan akar sejati
(Bengen 2002). Jenis lamun yang dijumpai di perairan Asia tenggara, hanya 13 jenis lamun
yang umum dijumpai di perairan Indonesia, yaitu Cymodocea serrulata, C. rotundata,
Enhalus acoroides, Halodule uninervis, H. pinifolia, Halophila minor, H. ovalis, H.
decipiens, H. spinulosa, H. beccari, Thalassia hemprichii, Syringodium isoetifolium, dan
Thalassodendron ciliatum (Irawan 2003; Kiswara 2009).
Luas lamun di Indonesia yaitu 150.693,16 Ha, dengan rincian luas lamun di Indonesia
timur 146.283,68 ha, sedangkan Indonesia barat hanya 4.409.48 Ha (Hernawan et al. 2017).
Penyebaran lamun di Indonesia mencakup perairan Jawa, Sumatera, Bali, Kalimantan,
Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, Papua. Lamun di Indonesia terdiri dari 7 marga (genera)
lamun. Tiga diantaranya (Enhalus, Thalassia, dan Halophila) termasuk suku
Hydrocaritaceae, sedangkan empat marga lainnya (Halodule, Cymodoceae, Syringodium, dan
Thalassodendron) termasuk suku Pomatogetonaceae (Nontji 1987). Zonasi sebaran dan
karakteristik lamun di perairan pesisir Indonesia dapat dikelompokkan menurut (1) genangan
air dan kedalaman; (2) kualitas air; (3) komposisi jenis; (4) tipe substrat; (5) asosiasi dengan
sistem lain (seperti terumbu karang, mangrove, dan estuaria) (Dahuri 2003).
Peran lamun secara ekologi adalah sebagai habitat bagi biota akuatik (wilayah
pengembalaan, wilayah pemijahan, dan tempat mencari makan), produsen primer, carbon
sink, penangkap sedimen dan nutrien, serta penahan gelombang. Ekosistem ini sering
dijumpai pada daerah pasang surut pinggir daratan, dekat terumbu karang, dan terkadang
menyatu dengan terumbu karang (Tomascik et al. 1997).
Thalassia hemprichii
Kingdom : Plantae
Divisi : Anthophyta
Kelas : Monocotyledonia
Ordo : Helobiae
Famili : Hydrocharitaceae
Subfamili : Vallisneriodeae
Genus : Thalassia
Spesies : Thalassia hemprichii
Thalassia hemprichii merupakan salah satu jenis lamun yang tumbuh di perairan
tropik dan penyebarannya cukup luas yang memiliki fungsi sebagai tempat berlindung
sekaligus memijah (spawning ground), tempat berkembangbiak, daerah pengasuhan
(nursery ground), dan tempat mencari makan (feeding ground) khususnya bagi biota
perairan laut sekaligus makanan kesukaan hewan herbivora (Alie 2010). Lamun dengan
jenis Thalassia hemprichii memiliki morfologi rimpang yang tebal dan kokoh, sehingga
memungkinkan untuk tumbuh pada substrat yang bervariasi. Kerapatan tegakan lamun
dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti jenis lamun, kondisi substrat, musim, pasang
surut, kekuatan energi gelombang, kandungan bahan organik dala sedimen, serta faktor
lingkungan lainnya (Hartati et al. 2012).
Dari hasil pengamatan, lamun dengan jenis Thalassia hemprichii dapat ditemukan di
dua pulau dari empat pulau yang dikunjungi, yaitu pada Pulau Putri Barat dan Pulau
Genteng Kecil, sementara lamun jenis ini tidak ditemukan di Pulau Kelapa Dua dan Pulau
Genteng Besar. Hal ini dapat disebabkan oleh Pulau Putri Barat dan Pulau Genteng Kecil
yang bukan merupakan pulau berpenduduk, melainkan pulau yang dimiliki pribadi,
sehingga dapat dikaitkan dengan tekanan antropogenik yang dialami lebih kecil, sehingga
lamun jenis Thalassia hemprichii ini dapat tumbuh di perairan ini. Jenis substrat dari
semua pulau adalah pasir, sedangkan karakteristik morfologi nya bervariasi. Dari
karakteristik daunnya, lamun jenis Thalassia hemprichii ini cenderung lebih panjang dan
lebar pada padang lamun di Pulau Genteng Kecil daripada di Pulau Putri Barat. Hal ini
dapat dikaitkan dengan kualitas air dari perairannya, serta tekanan yang dialami oleh
lamun di perairan. Pulau Putri Barat berlokasi dekat dengan Pulau Putri yang menjadi
pulau resort dan sering dikunjungi oleh wisatawan, sehingga dapat memungkinkan
limpasan antropogenik terkena hingga perairan Pulau Putri Barat. Sedangkan, Pulau
Genteng Kecil berlokasi jauh dari pulau berpenduduk, Pulau Genteng Kecil yang
merupakan pulau pribadi ini sangat jarang dikunjungi oleh wisatawan, sehingga pulau ini
memiliki tekanan antropogenik yang lebih kecil dibandingkan dengan Pulau Putri Barat.
(a) (b)

(c)
Gambar 5. (a) Lamun jenis Thalassia hemprichii di alam, (b) Thalassia hemprichii di sabak,
(c) Sketsa Thalassia hemprichii (Sumber : www.bioflux.com.r )

Tabel 1. Morfometrik Akar dan Daun Thalassia hemprichii


Karakteristik Akar Karakteristik Daun
Jumlah
Lokasi Panjang Panjang Akar Panjang Daun Lebar Daun Daun
Rhizome (cm) (cm) (cm) (cm)
Putri Barat - - 3 - 12 0.6 4
Genteng
6-9 2.2 – 7 4.5 - 17.4 0.5 - 0.8 3-5
Kecil
Cymodocea serrulata
Kingdom : Plantae
Filum : Tracheophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Alismatales
Famili : Cymodoceaceae
Genus : Cymodocea
Spesies : Cymodocea serrulata
Secara umum lamun jenis Cymodocea serrulata memiliki bentuk daun seperti garis
lurus. Pada subsrat pasir, rata-rata panjang daun 97,52 mm, rata-rata lebar daun 10,46 mm
dan pada subsrat pasir pecahan karang memiliki rata-rata panjang daun 76,47 mm, rata-
rata lebar daun 10,56 mm, pada daun tersebut terdapat garis-garis coklat yang memanjang
seperti garis horizontal, seludang daun membentuk segitiga. Ujung daun Cymodocea
serrulata membentuk setengah lingkaran, pada tepian daun terdapat gerigi dan memiliki 1
tulang daun. Cymodocea serrulata memiliki rhizoma yang halus dengan rata-rata jarak
antar nodus pada subsrat pasir 38,28 mm dan rata-rata pada subsrat pasir pecahan karang
33,45 mm. Tunas tumbuh pada setiap nodus rhizoma, terdapat 2-5 helai daun pada setiap
tunas. Muncul bekas luka yang merupakan perkembangan dari pelepah daun yang
membentuk cincin sepanjang batang (Rawung et al. 2018).
Hasil pengamatan di lapangan, lamun jenis Cymodocea serrulata ditemukan di tiga
pulau dari empat pulau yang diamati, yaitu Pulau Genteng Kecil, Pulau Kelapa Dua dan
Pulau Putri Barat. Gambar dan sketsa Cymodocea serrulata dapat dilihat pada gambar 6.
Adapun morfometrik dari akar dan daun Cymodocea serrulata dapat dilihat pada tabel 2
dibawah ini.

(a) (b)
(c)
Gambar 6. (a) Foto Cymodocea serrulata di alam,
(b) Cymodocea serrulata yang ditemukan di Pulau Genteng Kecil,
(c) Sketsa Cymodocea serrulata (Sumber: Short FT dan Coles RG 2001)

Tabel 2. Morfometrik akar dan daun Cymodocea serrulata


Karakteristik
Karakteristik Akar
Daun
Jumlah
Lokasi
Panjang Panjang Lebar Daun
Panjang
Rhizome Daun Daun
Akar (cm)
(cm) (cm) (cm)
Putri Barat 1,5-4,4 3-7,5 1,5-7,3 03-0,4 3-11
0,5-
2,4-25 1-8 4,5-15 2-5
Kelapa Dua 2.3
Genteng Kecil 9.5 4.7 9.3 0.5 3
Karakteristik lamun Cymodocea serrulata yang ditemukan di masing-masing pulau
berbeda-beda. Panjang rhizome, akar dan daun terpanjang ditemukan pada Pulau Kelapa
Dua dengan panjang berturut-turut 25 cm, 8 cm dan 2.3 cm, sedangkan yang terpendek
ditemukan di Pulau Putri Barat dengan panjang berturut-turut 1.5 cm, 3 cm, dan 1.5 cm.
Adapun jumlah daun terbanyak ditemukan pada Pulau Putri Barat sebanyak 11 daun dan
yang paling sedikit pada Pulau Kelapa Dua sebanyak 2 daun.
Hasil pengamatan menunjukan bahwa lamun Cymodocea serrulata yang
ditemukan di Pulau Kelapa Dua memiliki pertumbuhan yang lebih baik dari
pertumbuhan lamun di pulau lainnya. Pulau Kelapa Dua merupakan satu dari tiga seksi
Taman Nasional di Kepulauan Seribu yang menjadi tempat konservasi Penyu Sisik dan
Penyu Sirip serta menjadi tempat penanaman Mangrove dan terumbu karang. Hampir di
sekeliling pulau terdapat mangrove yang tumbuh dari hasil penanaman dengan sistem
rumpun atau berkelompok. Sehingga pulau ini menjadi daerah yang mendukung lamun
jenis Cymodocea serrulata untuk tumbuh lebih baik daripada ketiga pulau lainnya karena
mendapat nutrien dari serasah daun mangrove yang jatuh ke perairan.
Pulau Putri Barat, Genteng Kecil dan Genteng Besar merupakan pulau wisata
pribadi (resort). Sehingga kondisi lingkunnya sudah terpengaruh khususnya oleh
kegiatan-kegiatan pariwisata yang menjadikan kondisi perairan menjadi terganggu
sehingga mempengaruhi ekosistem lamun disana (Feryatun et al. 2012). Hal ini bisa
dilihat dari morfometrik lamun yang ditemukan di Pulau Putri Barat dan Genteng Kecil
yang ukuran maupun panjangnya lebih kecil dibandingkan lamun yang ditemukan di
Pulau Kelapa Dua. Bahkan di Pulau Genteng Besar tidak ditemukan lamun jenis
Cymodocea serrulata. Meskipun sudah berupa pulau wisata pribadi, lamun jenis
Cymodocea serrulata masih dapat ditemukan di Pulau Putri Barat dan Genteng Kecil.
Menurut Sarfika 2012 lamun jenis Cymodocea serrulata merupakan jenis lamun pionir
yang memiliki kemampuan tumbuh pada substrat yang rendah unsur hara. Sehingga
lamun jenis ini masih dapat ditemui pada tiga pulau dari empat pulau yang diamati.
Cymodocea rotundata
Kingdom : Plantae
Divisi : Anthophyta
Class : Angiospermae
Ordo : Alismatales
Famili : Cymodoceaceae
Genus : Cymodocea
Spesies : Cymodocea rotundata
Cymodocea rotundata memiliki tepi daun halus atau licin, tidak bergerigi, tulang daun
sejajar, akar tidak bercabang, tidak mempunyai rambut akar, dan akar pada nodusnya terdiri
dari 2-3 helai. Selain itu tiap nodusnya hanya terdapat satu tegakan (Nybakken 1998). C.
rotundata bisa tumbuh pada substrat pasir berlumpur / pasir engan pecahan karang pada
daerah pasang surut.
Tanaman ramping, mirip dengan Cymodocea serrulata, daun seperti garis lurus dan
lengkap (panjang 6-15 cm, lebar 2-4 mm), lurus sampai agak bulat, tidak menyempit sampai
ujung daun. Ujung daun bulat dan seludang daun keras. Rimpang ramping (diameter 1-2 mm,
panjang antar ruas 1-4 cm) dari Cymodocea serrulata, dengan tunas pendek yang tegak, setiap
ruas ada 2-5 (7) daun. Buah berbulu tanpa tangkai, berada dalam seludang daun. Setengah
lingkaran dan agak keras, bagian bawah berlekuk dengan 3-4 geligi runcing (Coremap 2007).
Muncul bekas luka (scars) yang merupakan perkembangan dari pelepah daun membentuk
cincin sepanjang batang (stem) (Waycott et al. 2004). Buah berbulu tanpa tangkai, berada
dalam seludang daun. Buah berbentuk setengah lingkaran dan agak keras, bagian bawah
berlekuk dengan 3-4 geligi runcing. Tumbuh pada substrat pasir berlumpur atau pasir dengan
pecahan karang pada daerah pasang surut, terkadang bercampur dengan jenis lamun yang
lain.

(a) (b)
(c)

Gambar 7. (a) Cymodocea rotundat di alam, (b) Cymodocea rotundata yang ditemukan di
Pulau Genteng Kecil (c) Sketsa Cymodocea rotundata (Sumber: Google)
Tabel 3. Morfometrik akar dan daun Cymodocea rotundata
Karakteristik Akar Karakteristik Daun
Panjang Panjang Panjang Lebar Jumlah
Pulau
Rhizome Akar Daun Daun Daun
(cm) (cm) (cm) (cm)
Genteng
6-13 2,5-11 0,4-6,7 0,3-0,9 3-5
Besar
Genteng
1,3-4,3 3-11 0,4-12,5 0,2-0,4 3-5
Kecil
Lamun spesies Cymodocea rotundata ini hanya ditemukan pada dua dari empat pulau
yang dijadikan lokasi pengamatan. Hal tersebut dapat disebabkan karena adanya
perbedaan dari parameter fisika dan kimia perairan. Kondisi lingkungan perairan di
ekosistem lamun mempengaruhi kehidupan yang ada didalamnya. Salah satu faktor yang
mempengaruhi yaitu sedimen. Kandungan nutrien dalam sedimen yang berperan dalam
pertumbuhan lamun dapat memiliki nilai yang berbeda akibat ada atau tidaknya pengaruh
antropogenik disekitar ekosistem tersebut. Perbedaan jenis substrat pada keempat pulau
juga mempengaruhi keberadaan suatu jenis lamun. Pulau Genteng Kecil dan Genteng
Besar memiliki tipe substrat pasir dengan pecahan karang yang menjadi habitat spesies
C.rotundata dengan tipe rhizome yang menjalar jauh ini dapat tumbuh.
Halophila ovalis
Kingdom : Plantae
Filum : Tracheophyta
Kelas : Liliopsida
Ordo : Alismatales
Famili : Hydrocharitaceae
Genus : Halophila
Species : H. ovalis
Halophila ovalis adalah salah satu spesies lamun yang tersebar di perairan Indo-
Pasifik Barat (FishBase 2019). H. ovalis hidup di perairan tropis pada kedalaman 2-79 m
dan menjadi makanan bagi ikan herbivora, dugong, dan penyu. Suhu perairan yang sesuai
untuk H. ovalis yaitu 24.6 - 29°C. Populasi H. ovalis tergolong ke dalam populasi yang
stabil menurut Short et al. (2010). Ciri-ciri H. ovalis yaitu memiliki daun berbentuk bulat
telur, jumlah pembuluh daun melintang sepuluh atau lebih, dan permukaan daun tidak
berambut (Hutomo dan Nontji 2014).

Lamun H. ovalis (Gambar 7) dapat ditemukan di padang lamun Pulau Putri Barat,
Pulau Kelapa Dua, dan Pulau Genteng Kecil. Jenis substrat di ketiga lokasi adalah pasir.
Karakteristik morfologi dari H. ovalis di setiap lokasi berbeda-beda (Tabel 4). Sampel H.
ovalis di Pulau Kelapa Dua memiliki panjang rhizome, panjang daun, dan lebar daun
yang lebih besar dibandingkan dengan sampel H. ovalis yang diambil di Pulau Putri Barat
dan Genteng Kecil. Hal ini dapat disebabkan oleh kadar fosfat yang lebih tinggi di Pulau
Kelapa Dua (± 0.005 mg/L) dibandingkan dengan di Pulau Putri Barat (± 0.002 mg/L)
dan di Pulau Genteng Kecil (± 0.0001 – 0.0007 mg/L). Kebutuhan fosfor pada lamun
mencapai 7 mg/m2 per hari (Hemminga dan Duarte 2000), maka kadar fosfat yang tinggi
akan mendukung pertumbuhan lamun termasuk H. ovalis. Selain itu, kadar klorofil-a di
Pulau Kelapa Dua (± 0.3 mg/L) lebih rendah daripada di kedua pulau lainnya (± 0.6 – 0.8
mg/L). Kadar klorofil-a berbanding lurus dengan kelimpahan fitoplankton. Duarte (1995)
menyatakan bahwa fitoplankton dan lamun berkompetisi dalam pemanfaatan cahaya dan
penyerapan nutrien untuk fotosintesis.

(a) (b)
(c)

Gambar 8. (a) Halophila ovalis di padang lamun (Sumber: seagrassspotter.org),


(b) Lamun Halophila ovalis di Pulau Genteng Kecil,
(c) Sketsa Halophila ovalis (Sumber: seagrasswatch.org)

Tabel 4. Morfometrik akar dan daun H. ovalis


Karakteristik Akar Karakteristik Daun
Jumlah
Pulau Panjang Panjang Panjang Lebar Daun
Rhizom (cm) Akar (cm) Daun (cm) Daun (cm)
Putri Barat 1.3 - 2.5 1.5 - 2.8 0.7 - 0.9 0.4 - 0.5 1-3
Kelapa Dua 3.5 0.5 2 2 2
Genteng Kecil 1.0 - 3.0 1.8 - 4.6 1 - 1.8 0.5 - 0.8 2
Halodule pinifolia
Kingdom : Plantae
Ordo : Alismatales
Family : Cymodoceaceae
Genus : Halodule
Spesies : Halodule pinifolia
Halodule pinifolia tanaman lurus, mirip dengan Halodule uninervis memiliki daun
panjang, bergaris seluruhnya dan beberapa lebih bulat pada bagian ujung dan sempit
pada bagian dasar (panjang 5-20 cm, lebar 0,8-1,5 mm), dan mempunyai sejumlah sel
tanin kecil. Urat tengah daun jelas, tetapi urat antara bagian tepi tidak jelas seludang
daun jelas, tetapi urat antara bagian tepi tidak jelas. Seludang daun panjang 1-4 cm,
membungkus sekitar tegak lurus batang. ujung daun agak membulat dengan sejumlah
gigi halus. Rimpang merambat (diameter 1-1,5 mm), dengan batang pendek pada setiap
ruas, ada 2-3 (4) daun, dan jarak antar ruas panjang 1-3 cm.
Halodule pinifolia sampai saat ini telah dicatat totalnya dalam empat lokasi dari
utara, barat, dan bagian selatan Sri Lanka, spesies memiliki karakteristik spesies yang
menonjol yaitu rhizomnya menjalar dengan 2-3 akar dan panjang batang ereksi pendek
1-3 cm pada setiap internode. Daunnya 5-20 (-29) cm panjang dan lebar (0,03-) 0,06-
0,125 (-0,15) cm. IUCN RedList telah mengkategorikan spesies ini ke dalam spesies
yang menghawatirkan (RedList) dengan penurunan populasi (Udagedara. et al. 2017).
Pada pengamatan di 4 pulau Halodule pinifolia hanya ditemukan di Pulau Genteng
Kecil dengan kondisi lingkungan perairan yang tidak terganggu oleh kegiatan penduduk
karena Pulau Genteng Kecil merupakan pulau yang dikelola untuk resort pribadi dan
pengunjung yang datang dibatasi. Kegiatan antropogenik yang minim menyebabkan
kondisi perairannya tidak tertekan, dengan substrat pasir putih, dan juga air yang jernih
sangat mendukung untuk tumbuhnya beberapa jenis lamun, salah satunya Halodule
pinifolia yang merupakan lamun pionir yang dapat bertahan pada kondisi perairan yang
baik sampai dengan kondisi perairan yang tertekan. Hal tersebut seperti yang disebutkan
oleh Sakey.F.W. et al. 2015 bahwa “Halodule pinifolia merupakan lamun pionir yang
dapat tumbuh pada lingkungan perairan tertekan yang tidak memungkinkan untuk
spesies lain tumbuh, akan tetapi Halodule pinifolia dapat tumbuh dengan baik”.
Berdasarkan beberapa penelitian, kondisi perairan akan memengaruhi ukuran dari
lamun. Seperti yang disebutkan oleh Sakey.F.W. et al. 2015 bahwa Lamun di perairan
yang buruk memiliki ukuran yang berbeda dengan lamun yang ada di perairan dengan
kondisi perairan yang masih tergolong baik. Lamun yang ditemukan di Pulau Genteng
Besar memiliki ukuran 3-14 cm dan hal tersebut merupakan ukuran normal berdasarkan
beberapa referensi, dan juga melihat dari kondisi lingkungan perairan di Pulau tersebut.
(a) (b)

(c)
Gambar 9. (a) Halodule pinifolia di alam (Sumber : seagrasspotter.org),
(b) Lamun Halodule pinifolia di sabak,
(c) Sketsa Lamun Halodule pinifolia (serdaducemara.wordpress.com)

Tabel 5. Morfometrik akar dan daun Halodule pinifolia


Karakteristik Akar Karakteristik Daun
Panjang Panjang Panjang Lebar Jumlah
Pulau
Rhizom Akar Daun Daun Daun
(cm) (cm) (cm) (cm)
Genteng
4,2-8,7 4,7-9,9 3-14,6 0.6 - 0.8 3-5
Kecil
Halophila minor
Kingdom : Plantae
Filum : Trachophyta
Kelas : Magnoliopsida
OrdO : Alismatales
Famili : Hydrocharitaceae
Genus : Halophila
Spesies : Halophila minor
Halophila memiliki ciri ciri umum yaitu bentuk daun oval seperti telur, berukuran
kecil dengan tangkai daun berpasangan pada setiap nodus.tulang daun kurang dari delapan
dan meiliki rhizoma berwarna putih dan berukuran kecil. Habitus lamun jenis ini serta helaian
daunnya sangat mirip dengan Halophila ovalis tetapi lebih kecil (0,7 - 1,4 cm) dan jumlah
urat daun juga lebih sedikit (3-8 pasang) (atas). Rimpang tipis dan mudah patah. Halophila
minor, tidak pernah hidup berdampingan dengan lamun Enhalus acoroides yang predominan.
Lebih sering dijumpai hidup berdampingan dengan vegetasi lamun yang tidak menutup
penuh permukaan sedimen, seperti jenis Halophila ovalis, Syringodium isoetifolium,
Halodule uninervis, Halodule pinifolia, Cymodocea rotundata, dan Cymodocea rotundata
(Rawung. S. 2018).

Halophila minor di Pulau Genteng Besar tumbuh pada substrat pasir pecahan
karang, dan berdampingan dengan Cymodocea rotundata, dan Cymodocea serulata.
Halophila minor merupakan jenis lamun pionir sehingga dapat tumbuh dengan baik pada
berbagai kondisi lingkungan perairan. Pulau Genteng Besar memiliki kondisi perairan yang
jernih serta tidak ada aktifitas manusia yang menyebabkan banyaknya limpasan nutrien serta
limbah yang dapat mengganggu stabilitas perairan, hal tersebut sangat mendukung beberapa
jenis lamun untuk tumbuh dengan baik, salah satunya Halophila minor. Kondisi lingkungan
perairan yang masih sangat baik menyebabkan Halophila minor ditemukan cukup banyak di
Pulau Genteng Besar, dengan panjang daun (0,4-1) cm dan lebar daun (0,4-0,8 cm).

(a) (b)

Gambar 10. (a) Halophila minor di alam (Sumber : earth.com),


(b) Sketsa Halophila minor (Sumber : seagrasswatch.org)
Tabel 6. Morfometrik akar dan daun Halophila minor
Karakteristik Akar Karakteristik Daun
Panjang Panjang Panjang Lebar Jumlah
Pulau
Rhizom Akar Daun Daun Daun
(cm) (cm) (cm) (cm)
Genteng
1,8-15 0,9-15 0,4-1,2 0,4-1 4-8
Besar
Syringodium isoetifolium
Divisi : Anthophyta
Kelas : Angiospermae
Famili : Potamogetonacea
Subfamili : Cymodoceoideae
Genus : Syringodium
Spesies : S. isoetifolium
Syringodium isoetifolium merupakan salah satu jenis lamun yang dapat hidup di daerah
tropis di perairan Indonesia (Azkab 1999). Syringodium isoetifolium mampu hidup di dalam
air hingga kedalaman 2 meter di bawah permukaan air laut (Frasiandhini et al. 2012). Daun
Syringodium isoetifolium mempunyai bentuk daun acicular, ujunng daun berbentuk runcing
dan pangkal daun berbentuk runcing. Di bagian pangkal daun terdapat ligula dan pelepah
berbentuk tabung berwarna putih kehijauan, pelepah yang berfungsi menutupi rhizoma yang
baru tumbuh dan melindungi daun muda. Permukaan daun Syringodium isoetifolium halus
dan berwarna hijau. Daun Syringodium isoetifolium tidak memiliki pertulangan daun seperti
pada tumbuhan monokotil pada umumnya yang memiliki pertulangan sejajar.
Struktur anatomi daun Syringodium isoetifolium memiliki kloroflas yang banyak dan
kutikula yang tipis, adanya kutikula yang tipis dan terdapat retakan di sekitar kutikula
memudahkan adanya pergerakan ion dan difusi karbon sehingga daun dapat menyerap
nutrien langsung dari air laut karena air laut merupakan sumber bikarbonat bagitumbuh-
tumbuhan dalam fotosintesis (Dahuri 2003). lapisan epidermis di daun tidak memiliki
stomata, yang merupakan salah satu ciri umum yang dimiliki oleh tumbuhan air yang
tenggelam (McKenzie 2008).

(a) (b)
(c)
Gambar 11. (a) Syringodium iseotifolium di alam (Sumber : seagrasspotter.org),
(b) Syringodium iseotifolium di sabak,
(c) Sketsa Syringodium iseotifolium (Azkab 1999)
Sistem perakaran yang dimiliki oleh Syringodium iseotifolium berupa akar serabut
dengan rambut-rambut kecil yang halus dan tipis seperti benang berwarna kecoklatan
yang berfungsi sebagai jangkar untuk melekatkan tubuhnya pada substrat berpasir agar
tidak mudah rusak terkena hempasan ombak. Rhizome seringkali terbenam di dalam
substrat yang dapat meluas secara ekstensif dan memiliki peran utama sebagai alat
reproduksi secara vegetatif (McKenzie 2008). Rhizoma Syringodium iseotifolium
memiliki arah tumbuh yang merebah dan sejajar dengan adanya substrat berpasir yang
ditandai dengan memiliki akar di tiap nodusnya.

Menurut Dahuri et al. (2004) pengaruh pasang surut serta struktur substrat dapat
mempengaruhi zonasi sebagian lamun dan pertumbuhannya. Lamun Syringodium
iseotifolium merupakan jenis lamun yang hidup pada substrat pasir dan pecahan karang
(rubble) (Patty 2016). Hal ini sesuai dengan kondisi Pulau Kelapa Dua yang memiliki
substrat dominan pasir dan pecahan karang (rubber).

Tabel 7. Morfometrik akar dan daun Syringodium iseotifolium


Karakteristik Akar Karakteristik Daun
Panjang Panjang Panjang Lebar Jumlah
Pulau
Rhizome Akar Daun Daun Daun
(cm) (cm) (cm) (cm)
Kelapa Dua 2 - 14.2 0.6 - 3.5 1 - 18.2 0.2 - 0.9 2-8
Berdasarkan identifikasi di Pulau Kelapa Dua, panjang rhizome lamun Syringodium
iseotifolium bermacam-macam, yaitu berkisar 2 - 14.2 cm. Panjang akar 0.6 - 3.5 cm.
Panjang daun berkisar 1 - 18.2 cm. Lebar daun berkisar 0.2 - 0.9 cm. Jumlah daun tiap
tegakan yaitu berkisar 2 - 8 daun. Lamun Syringodium iseotifolium umumnya ditemukan
berasosiasi dengan lamun jenis lainnya, seperti Halodule univervis. Pertumbuhan
panjang daun lamun Syringodium iseotifolium dipengaruhi oleh faktor alam, yaitu arus.
Pergerakan arus sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan lamun yang terkait dengan
suplai unsur hara dan persediaan gas-gas terlarut yang dibutuhkan oleh lamun (Feryatun
2012).

Faktor lain yang mempengaruhi pertumbuhan lamun yaitu diduga karena kurang
tersedianya nutrien pada lokasi penelitian dimana nilai nitrat dan fosfat pada daerah
Pulau Putri, Genteng Kecil, Genteng Besar tergolong rendah dan kurang subur dan
banyaknya epifit yang menempel di daun lamun ini sehingga menyebabkan cahaya
matahari sulit menembus dan menghambat laju pertumbuhan lamun (Wirawan 2014).
Selain itu, menurut Ganassin dan Gibbs (2008) faktor yang mempengaruhi pertumbuhan
lamun adalah penguburan dengan pasir, perubahan kondisi perairan yang drastis,
konsntrasi amonia sedimen yang tinggi, pertumbuhan epifit dan akibat kegiatan
antropogenik.
MAKROALGA
Makroalga adalah alga yang berukuran besar, dari beberapa centimeter (cm)
sampai bermeter-meter. Alga termasuk dalam Kingdom Protista mirip dengan tumbuhan,
dengan struktur tubuh berupa talus dan memiliki pigmen klorofil sehingga dapat
berfotosintesis. Peranan penting keberadaan makroalga di perairan laut antara lain sebagai
organisme produser yang bermanfaat bagi kehidupan organisme, terutama organisme-
organisme herbivora. Berperan sebagai penyedia karbonat dan pengokoh substrat dasar
sehingga bermanfaat bagi stabilitas dan kelanjutan keberadaan terumbu karang.
Makroalga dapat pula berperan dalam menunjang kebutuhan hidup manusia yakni sebagai
bahan pangan dan industri (Ira et al. 2018).
Makroalga merupakan sumberdaya hayati yang sangat potensial untuk
dikembangkan dan tersebar di daerah pesisir intertidal. Makroalga atau “seaweed”
memiliki peranan penting baik dari segi biologis, ekologis maupun ekonomis yang dapat
mempertahankan keanekaragaman sumberdaya hayati laut. Organisme ini sangat rentan
terhadap perubahan kondisi lingkungan atau tekanan ekologis baik secara alami seperti
faktor angin, gelombang, arus dan musim menjadi faktor pemicu perubahan habitat
makroalga. Tekanan antropogenik seperti limbah domestik, buangan sampah padat,
aktivitas masyarakat perkotaan, frekuensi transportasi kapal di daerah Teluk, kegiatan
pembangunan tata kota dan aktivitas masyarakat di perairan cenderung mempengaruhi
pertumbuhan perkembangan keanekaragaman makroalga (Ayhuan et al 2017).
Makroalga atau lebih dikenal dengan seaweed mempunyai fungsi dari segi
biologis, ekologis maupun ekonomis. Secara ekologi, komunitas makroalga mempunyai
peranan dan manfaat terhadap lingkungan sekitarnya yaitu sebagai tempat perlindungan
bagi spesies-spesies ikan tertentu (nursery grounds), tempat pemijahan (spawning
grounds), sebagai tempat mencari makanan alami ikan-ikan dan hewan herbivore (feeding
grounds). Dari segi ekonomi, makroalga merupakan komoditi yang sangat baik untuk
dikembangkan mengingat kandungan kimia yang dimilikinya. Makroalga dimanfaatkan
secara luas baik dalam bentuk raw material seluruh bagian tumbuhan maupun dalam
bentuk olahan. Di Indonesia biasanya digunakan sebagai lalapan, obat, manisan, dan
sayuran. Kemudian dari segi biologis, makroalga mempunyai andil yang besar dalam
meningkatkan produktivitas primer, penyerap bahan polutan, penghasil bahan organik
dan sumber produksi oksigen bagi organisme akuatik di lingkungan perairan Pemanfaatan
makroalga saat ini sudah dikembangkan secara luas dalam berbagai bidang industri yakni
sebagai sumber makanan, sumber senyawa alginat, adsorben logam berat, sumber
senyawa bioaktif untuk pengembangan farmasi, penghasil bioethanol dan biodisel, pupuk
organik, dan juga berpotensi untuk bahan dasar pengganti plastik (Dwimayasanti dan
Kurnianto 2018).
Padina australis
Kingdom: Plantae
Divisi : Phaeophyta
Class : Phaeophyceae
Ordo : Dictyotales
Famili : Dictyotaceae
Genus : Padina
Spesies : Padina australis
Alga laut adalah bagian terbesar dari tumbuhan laut, namun dari segi morfologi
tumbuhan ini mempunyai perbedaan dengan tumbuhan-tumbuhan yang ada di daratan.
Pertumbuhan alga laut pada umumnya bersifat uniaksial maupun multiaksial. Pertumbuhan
uniaksial biasanya membentuk percabangan yang sederhana pada thallus utama, sedangkan
pertumbuhan yang bersifat multiaksial biasanya membentuk percabangan yang lebih
kompleks karena lebih banyak cabang. Pertumbuhan alga sangat dipengaruhi oleh kondisi
lingkungan perairan, antara lain cahaya, suhu, salinitas, dan kandungan nutrien. Padina
australis berbentuk seperti batang, berdaun banyak seperti kipas, dan berwarna cokelat.
Akarnya berbentuk serabut disebut holdfast untuk menempel pada substrat sehingga dapat
beradaptasi terhadap gerakan ombak pada daerah intertidal. Kromatofora berwarna cokelat
yang mengandung pigmen fotosintetik, fukosantin, dan klorofil a. Selnya berflagel dua, tidak
sama panjang. Di bagian yang mirip daun terdapat garis-garis horisontal (garis konsentris). Di
ujung daun terdapat penebalan disebut penebalan gametangia (sebagai reproduksi gamet dan
pelindung pinggiran daun agar tidak sobek karena ombak besar pada zona pasang-surut).
Bulu cambuk dan sporangium beruang satu dan transparan, berkembangbiak secara aseksual
dengan oogonium. Habitatnya kebanyakan di air laut. Padina australis ditemuka di empat
sasiun pengamatan. Hal ini dapat terjadi karena substrat dari ke empat stasiun tersebut terdiri
dari pasir yang tercampur dengan batu dan patahan karang. Hal tersebut mendukung untuk
tumbuhnya makroalga salah satunya adalah Padina australis (Ode dan Wasahua 2014).

(a) (b)
Gambar 10. (a) Makroalga Padina australis di alam,
(b) Padina australis di sabak
Tabel 8. Hasil Pengamatan Padina australis

Pulau Ukuran Tipe dan bentuk Klasifikasi Jenis Keterangan


percabangan habitat substrat warna

Putri Barat 11-20 Tidak bercabang Epipelik Pasir Coklat muda


dan Epilitik

Kelapa dua 4-7,1 Dichotomous Epipelik Pasir dan Coklat


dan Epilitik batu

Genteng 10-17 Tidak bercabang Epipelik Karang Coklat


Besar dan Epilitik mati

Genteng kecil 12-18 Dichotomous Epipelik Pasir dan Coklat


dan Epilitik batu
Cystoseira compressa
Kingdom : Eukariotik
Filum : Ochrophyta
Kelas : Phaeophyta
Ordo : Fucales
Famili : Sargassaceae
Genus : Cystoseira
Spesies : Cystoseira compressa
Cystoseira sp. adalah salah satu genus makroalga yang paling banyak
didistribusikan urutan fucales dan menyediakan habitat penting bagi banyak epifit,
invertebrata, dan ikan. Cystoseira sp kebanyakan ditemukan di daerah mediterania, India,
dan Samudra Pasifik. Cytoseira sp memiliki banyak daun coklat dengan Panjang
mencapai 40 cm. Genus ini biasanya hidup menempel pada bebatuan di dasar perairan
dengan pelekatnya yang berbentuk seperti cakram. Cystoseira sp mempunyai dua atau
tiga sayap longitudinal dengan pinggiran bergerigi. Sayap ini memiliki lebar mencapai
0,5 cm. Kantung udara pada genus Cystoseira sp berada di sepanjang thalusnya
(Romimohtarto dan Juwana 2001). Cabang-cabang muda pada Cystoseira sp memiliki
warna biru-hijau. Beberapa spesies Cystoseira sp antara lain : Cytoseira osmundacea,
Cystoseira compressa, dan Cystoseira tamariscifolia.

(a) (b)
Gambar 11. (a) Cystoseira sp. di alam (Sumber : doris.ffessm.fr)
(c) Cystoseira sp. di Pulau Putri Barat

Tabel 9. Hasil Pengamatan Cystoseira sp.

Ukuran Tipe dan Bentuk Klasifikasi Jenis Keterangan


Lokasi
(cm) Percabangan Habitat Substrat Warna
Putri Barat 10-20 Monopodial Epilitik Pasir/Batu Coklat

Spesies dari genus Cystoseira sp yang ditemukan saat pengamatan adalah spesies
Cystoseira compressa. Cystoseira compressa. (Gambar 11) ditemukan pada saat
pengamatan di Pulau Putri Barat. Makroalga jenis ini memiliki daun berwarna coklat
dan tipe percabangan monopodial. Selain itu, Cystoseira compressa. memiliki pelekat
berbentuk cakram yang berguna untuk menempel pada substrat dasar. Pada saat
pengamatan di Pulau Putri Barat ditemukan cukup banyak Cystoseira compressa. dengan
ukuran yang beragam. Ukuran terbesar yang ditemukan mencapai 20 cm, sedangkan
yang terkecil berukuran 10 cm. Substrat di Pulau Putri Barat yang menjadi tempat hidup
Cystoseira compressa berupa pasir berbatu. Pengamatan terkait habitat ditemukannya
Cystoseira compressa. di Pulau Putri Barat menunjukkan bahwa Cystoseira compressa.
hidup pada habitat epilitik.
Persebaran makroalga Cystoseira compressa hanya terdapat di Pulau Putri Barat
dari empat pulau lokasi pengamatan. Hal ini dapat terjadi kemungkinan dikarenakan
untuk genus kondisi wilayah dan sumber nutrient yang cocok hanya terdapat di Pulau
Putri Barat.
Halimeda macroloba
Kingdom : Plantae
Divisi : Chlorophyta
Kelas : Chlorophyceae
Ordo : Bryopsidales
Famili : Halimedaceae
Genus : Halimeda
Spesies : Halimeda macroloba
Halimeda adalah rumput laut yang termasuk kedalam ordo Bryopsidales, klas
Chlorophyta. Halimeda merupakan genus calcified coenocytic green algae . Kelompok
algae jenis ini dikenal mempunyai nilai penting secara ekologis di daerah perairan tro-
pis. (Bandeira dan Pedrosa et al. 2004 dalam Subagio 2009)
Genus Halimeda dicirikan dengan karakteristik talus coenocytic, genus ini
berkembang baik di terumbu karang bersubstra keras. Talus Halimeda banyak
mengandung kapur dan membentuk koloni-koloni atau berkelompok dan mempunyai
alat perekat berupa rhizoiddan bersegmen. Pada umumnya Halimeda mempunyai bentuk
percabangan yang hampir sama yaitu dichotomous dan trichotomous, bentuk segmen
yang silindris dan garis permukaan utrikel yang hampir sama yaitu heksagonal dan
polygonal (Tampubolon 2013). klasifikasi makroalga Halimeda macroloba menurut
Tampubolon et al. (2013)

(a) (b)
Gambar 12. (a) Halimeda macroloba di alam (Sumber : http://www.picture-worl.org)
(b) Halimeda macroloba di Pulau Putri Barat
Tabel 10. Hasil Pengamatan Halimeda macroloba
Tipe dan
Ukuran Jenis Keterangan
Lokasi Bentuk Klasifikasi Habitat
(cm) Substrat Warna
Percabangan
Putri Barat 5-8 Dichotomous Epilitik Pasir/Batu Hijau
Kelapa Dua 7-15,5 Dichotomous Epipalik Pasir Hijau
Genteng
8 Dichotomous Epipalik Pasir Hijau
Besar
Genteng Epipalik Pasir Hijau
6-21 Dichotomous
Kecil Epilitik Batu Hijau
Berdasarkan Gambar 12. makroalga jenis Halimeda macroloba. pada setiap pulau
memiliki warna hijau dengan tipe dan bentuk percabangan dichotomous. Jenis substrat
pada setiap pulau dimana ditemukannya Halimeda macroloba berupa pasir. Halimeda
macroloba dominan ditemukan menempel pada pasir (epipalik), tetapi ada juga
ditemukan menempel pada batu/ karang (epilitik). Ukuran Halimeda macroloba. yang
ditemukan pada setiap pulau memiliki ukuran yang berbeda, Pulau Putri Barat memiliki
rentang 5-8 cm, Pulau Kelapa Dua memiliki rentang 7-15.5 cm, pada Pulau Genteng
Kecil memiliki rentang 8-21 cm dan Genteng Besar memiliki rentang 6-8 cm.

Tingginya genus Halimeda yang ditemukan disebabkan karena Halimeda dapat


tumbuh pada berbagai substrat karena memiliki kemampuan adaptasi yang cukup tinggi.
Holdfast yang dimilikinya yakni berupa kumpulan akar serabut, mampu mengait substrat
kasar maupun partikel pasir. Kemampuan adaptasi Halimeda yang cukup tinggi tersebut
menyebabkan penyebarannya luas. Jenis Halimeda merupakan alga hijau tropis yang
paling luas distribusinya. Didukung pula oleh pendapat Atmadja et al. (1996), makroalga
Halimeda opuntia mempunyai toleransi yang luas terhadap lingkungan, dimana dapat
terekspos selama satu hari dan dapat tumbuh pada berbagai substrat. Jenis Halimeda (H.
macroloba dan H. opuntia) dalam keadaan basah dapat bertahan hidup di atas
permukaan air selama satu hari (Ira 2018)
Sargassum sp.
Kingdom : Plantae
Divisi : Phaeophyta
Class : Phaeophyceae
Ordo : Fucales
Family : Sargassaceae
Genus : Sargassum
Species : Sargassum sp.
Sargassum sp.atau disebut juga alga coklat memiliki ukuran relatif lebih besar dari
makroalga yang lainnya. Makroalga ini dapat rumbuh secarah bebas ataupun melekat erat
pada substrat dasar (Handayani et al. 2004). Jenis ini memiliki pigmen warna coklat atau
xantofil. Struktur tubuh dari Sargassum sp. Bagian atas dari tumbuhan ini berbentuk
seperti semak dengan memiliki air bladder yang berfungsi sebagai gelembung udara agar
tumbuh dari makroalga ini tegak di dalam air. Pemanfaatan sargassum sebagai penghasil
alginat yang biasa digunakan untuk membentuk cangkang kapsul, emulsifier dan
stabilizer. Selain itu berfungsi sebagai bahan baku industri makanan, farmasi, kosmetik
dan sebagainya (Izzati 2007).
Jenis-jenis Sargassum sp. yang dikenal di Indonesia ada sekitar 12 spesies, yaitu
Sargassum duplicatum, S. histrix, S. echinocarpum, S. gracilimun, S. obtusifolium, S.
binderi, S. polycystum, S. crassifolium, S. microphylum, S. aquofilum, S. vulgare, dan S.
polyceratium (Kadi dan Atmadja 1988).

Gambar 13. Sargassum sp. di Pulau Kelapa Dua


Tabel 11. Hasil Pengamatan Sargassum sp.
Ukuran Tipe dan bentuk Klasifikasi Jenis Keterangan
Lokasi
(cm) percabangan habitat substrat warna
Putri Barat 5-10 Pinnate alternate Epipelik Pasir/Batu Coklat
Kelapa
10-140 Pinnate alternate Epipelik Pasir Coklat
Dua
Genteng
- Pinnate alternate Epipelik Pasir Coklat
Besar
Genteng
0,5-24 Pinnate alternate
Kecil Epilitik Batu Coklat
Sargassum paling banyak di temukan di Pulau Genteng Kecil sebanyak 7 individu.
Tipe substrat pada pulau ini yakni batu. Hal ini sesuai literatur yang menyebutkan bahwa
sargassum melekat pada substrat keras. Batu merupakan substrat yang strukturnya keras.
Pulau Genteng Besar dan Pulau Kelapa dua hanya ditemukan satu individu hal ini
dikarenakan substrat di pulau ini adalah pasir. Sedangkan di Pulau Putri Barat di temukan
tiga individu sargassum. Tipe substrat di pulau ini adalah Pasir/Batu. Untuk tipe
percabangan semua memiliki tipe pinnate alternate hal ini karena penyebaran dari spesies
ini adalah sama. Hal ini juga berkaitan ditemukansargassum di semua pulau pengamatan
karena persebaran melalui arus yang membawa individu-individu sargassum ke pulau-
pulau lainnya. Hubungannya dengan nutrien adalah nutrien memberikan suplai bahan
non-organik untuk sargassum. Nutrien utama berasal dari sisa buangan smpah penduduk
serta regenerasi nutrien dari mahluk hidup yang telah mati.
Turbinaria gracilis
Kingdom : Chromista
Filum : Thallophyta
Kelas : Phaeophyceae
Ordo : Fucales
Famili : Sargassaceae
Genus : Turbinaria
Spesies : T. gracilis Sonder
Turbinaria gracilis merupakan genus rumput laut coklat yang dapat ditemukan di
perairan tropis (Islami et al. 2016) dan secara umum menempel pada karang-karang.
Makroalga ini memiliki organ tubuh yang terdiri dari rhizoid (menyerupai akar), cauloid
(menyerupai batang), dan filoid (menyerupai daun). Tinggi rumpun mencapai 75 cm
(Atmadja et al. 1996). Turbinaria gracilis termasuk dalam filum Thallophyta karena
tubuhnya yang menyerupai talus, di mana perbedaan antara batang, daun dan akar belum
dapat dibedakan dengan jelas. Jenis makroalga ini juga tergolong dalam ordo Fucales,
karena talus berbentuk pita, kaku, bercabang-cabang menggarpu dan melekat pada
substrat, di mana alat perekatnya berbentuk seperti cakram. Organisme tersebut memiliki
konseptakel, yaitu ujung-ujung cabang talus yang agak membesar dan terdapat
lekukan. Konseptakel ini berfungsi untuk memecah arus air yang melewati tubuh
Turbinaria gracilis tersebut. Reproduksi Turbinaria gracilis dilakukan dengan spora, di
mana alat reproduksi pada betina berupa oogonium, sementara pada jantan berupa
spermatozoid. Turbinaria gracilis masuk dalam kelas Phaeophyceae karena warna yang
nampak dominan adalah pirang yang terbentuk dari fikosianin di dalamnya.
Potensi dari makroalga Turbinaria gracilis adalah dapat digunakan sebagai bahan
aditif dalam produk perindustrian seperti makanan, farmasi, dan obat-obatan. Hal ini
disebabkan oleh Turbinaria gracilis yang digolongkan sebagai rumput laut alginofit,
merupakan jenis rumput laut yang dapat menghasilkan zat alginat (Rasyid 2002). Alginat
merupakan polisakarida yang terbentuk dari dinding sel rumput laut coklat, di mana
fungsinya adalah untuk mempertahankan struktur jaringan sel (Wibowo et al. 2013).
Secara kimiawi, alginat adalah suatu polimer linier panjang berupa kristal-kristal yang
tersusun paralel terhadap benang-benang halus selulosa dan cairan sel (Yulianto 2007).
Fungsi alginat sebagai komponen produksi dalam perindustrian adalah sebagai thickening
atau pengental, stabilizing atau stabilisator, dan emulsifying atau pengemulsi (Chapman
dan Chapman 1980).
Makroalga Turbinaria gracilis (Gambar 14) ditemukan di titik stasiun yang berlokasi
di Pulau Putri Barat dan Pulau Genteng Kecil. Ukuran individu bervariasi, dengan ukuran
terbesar yaitu 29 cm ditemukan di Pulau Genteng Kecil, sementara ukuran terkecil yaitu 4
cm terdapat di Pulau Putri Barat. Makroalga tersebut memiliki tipe percabangan pinnate
distichous, di mana thallus pada tubuh makroalga tumbuh sepanjang thallus utama secara
beraturan. Hasil pengamatan (Tabel 10) menyatakan bahwa habitat ditemukannya
makroalga Turbinaria gracilis bersifat epilitik atau melekat pada substrat yang berupa
pasir atau bebatuan (Widiana et al. 2011). Persebaran Turbinaria gracilis di lokasi
pengambilan data ditemukan pada dua pulau yaitu di Pulau Putri Barat dan Pulau Genteng
Kecil, sementara pengamatan lapang di Pulau Kelapa Dua dan Pulau Genteng Besar tidak
ditemukan individu spesies tersebut.

a) b)
Gambar 14. a) Turbinaria gracilis di perairan Pulau Putri Barat Barat,
b) Turbinaria gracilis di sabak

Makroalga Turbinaria gracilis dapat ditemukan di dua pulau yaitu Pulau Putri Barat
dan Pulau Genteng Kecil. Titik pengamatan lainnya yakni perairan pesisir Pulau Genteng
Besar dan Pulau Kelapa Dua tidak ditemukan individu spesies tersebut. Genus Turbinaria
pada umumnya dapat hidup di habitat yang memiliki karakter bebatuan dan kaya nutrien
(Magruder dan Hunt 1979). Perairan di Pulau Genteng Kecil dan Pulau Putri Barat sedikit
ditemukan keberadaannya penduduk dan aktivitas antropogenik. Sementara Pulau Kelapa
Dua dengan adanya keberadaan penduduk dan juga fasilitas pelabuhan yang memungkinkan
tingginya frekuensi keluar masuknya kapal atau perahu bermotor di lingkungan perairan,
memiliki karakter lingkungan yang berbeda dengan kedua pulau lainnya. Adanya aktivitas
antropogenik dan keberadaan penduduk mempengaruhi ekosistem lingkungan perairan,
dengan bertambahnya limbah pencemaran, polutan, dan meningkatnya aktivitas perikanan.
Faktor-faktor tersebut mungkin mempengaruhi persebaran Turbinaria gracilis di titik
pengamatan.
Pengaruh aktivitas antropogenik terhadap karakter perairan terjadi melalui berbagai
proses. Pencemaran hasil aktivitas antropogenik mempengaruhi tingkat kekeruhan perairan.
Perairan yang keruh akan mempersulit masuknya penetrasi cahaya sehingga aktivitas
fotosintetik oleh organisme autotrof dalam hal ini makroalga terbatas (Koesoebiono 1979).
Pembuangan limbah ke dalam perairan laut dapat meningkatkan ketersediaan bahan organik
di wilayah tersebut yang sekaligus menurunkan konduktivitas air. Materi organik
menghambat hantaran transportasi elektron pada mineral yang ada di air sehingga
kecenderungannya adalah perairan yang bersifat non polar. Cemaran bahan organik yang
tinggi juga didukung oleh total padatan terlarut (TDS) yang rendah dan mengansumsi mineral
yang terlarut mengalami pengendapan atau membentuk koloid (Syawal et al. 2016). Pulau
Putri Barat dan Genteng Kecil, karena tidak memiliki kependudukan yang tetap sehingga
aktivitas antropogenik yang terjadi lebih rendah intensitasnya bila dibandingkan dengan
Pulau Kelapa Dua, memiliki karakter air yang memiliki ketersediaan bahan organik yang
wajar dan penetrasi cahaya yang mencukupi, sehingga kadar mineral dan nutrien tidak
menghambat pertumbuhan Turbinaria gracilis di wilayah tersebut.

Tabel 12. Hasil Pengamatan Turbinaria gracilis


Ukuran Tipe dan Bentuk Klasifikasi Jenis Keterangan
Lokasi
(cm) Percabangan Habitat Substrat Warna

Putri Barat 4-15 Pinnate distichous Epilitik Pasir/Batu Coklat

Genteng
21,5-29 Pinnate distichous Epilitik Batu Coklat
Kecil
Dictyota sp.
Kingdom : Chromista
Filum : Ochrophyta
Kelas : Phaeophyceae
Ordo : Dictyotales
Famili : Dictyoceae
Genus : Dictyota
Spesies : Dictyota sp.
Dictyota sp. merupakan jenis makroalga yang banyak terdapat di daerah tropis dan
subtropis. Makroalga jenis Dictyota sp. merupakan makroalga dari kelas phaeophiceae. Pada
sel tubuh Dictyota sp. mengandung pigmen warna yaitu coklat kekuningan (xanthophyl)
sehingga sering disebut alga coklat. Untuk menyimpan cadangan makanan, makroalga
phaeophyta memiliki laminarin dan manitol untuk menyimpannya (Wiryato 2015).
Ciri-ciri yang dimiliki Dictyota sp. seperti thallus nya yang berbentuk pita dengan
kisaran panjang 5 cm dan lebar 2-3 mm. Jenis ini sering membentuk gumpalan di habitat
asinya karena memiliki ujung yang runcing yang membentuk rumpun yang rimbun.
Merupakan jenis yang memiliki klasifikasi epipelik karena hidupnya menempel pada pasir.
Dictyota sp. memiliki cabang yang banyak sehingga di habitat aslinya terlihat seperti jala.
Dictyota sp. beradaptasi terhadap pengaruh ombak terutama di daerah intertidal dengan cara
melekat holdfast yang kuat pada substrat sehingga tidak mudah terhempas oleh ombak
(Numiyati 2013).

(a) (b)
Gambar 15. (a) Dictyota sp. di Pulau Kelapa Dua, (b) Dictyota sp. di sabak
Tabel 13. Hasil Pengamatan Dictyota sp.

Ukuran Tipe dan Bentuk Klasifikasi Jenis Keterangan


Lokasi
(cm) Percabangan Substrat Substrat Warna
Kelapa
6,5-200 Monopodial Epipelik Pasir Coklat
Dua
Genteng
5.5-21 Monopodial Epipelik Pasir Coklat
Kecil
Pada kegiatan studi lapang biologi tumbuhan laut yang dilaksanakan di Pulau Kelapa
Dua, Putri Barat, Genteng Kecil dan Genteng Besar Dictyota sp. dapat ditemukan di pulau
Kelapa Dua dan Genteng Kecil dikarenakan jenis substrat Dictyota sp. merupakan pasir dan
mampu beradaptasi pada bagian rhizome sehingga tidak terpengaruh dengan adanya
gelombang di habitatnya.
Codium edule Silva.
Kingdom : Plantae
Filum : Chlorophyta
Kelas : Bryopsidophyceae
Orde : Bryopsidales
Famili : Codiaceae
Genus : Codium
Spesies : Codium Edule (Smith 1995)
Codium edule termasuk dalam divisi chlorophyta karena mempunyai pigmen
berwarna hijau ke coklat-coklatan. Codium edule mempunyai bagian-bagian di antaranya
yaitu holdfast dan blade saja, sedangkan stipe pada Codium edule ini belum bisa di bedakan
karena antara stipe dengan bladenya hampir sama. Bentuk Codium edule adalah bercabang,
licin, lunak, dan menjari seperti tangan manusia. Panjangnya kira-kira 8,5 cm dan lebarnya 4
cm. Memiliki holdfast, blade dan stipe yang belum dapat di bedakan , Codium
edule termasuk dalam anggota dari chlorophyta (Hidayat 1995 ).
Codium edule memiliki bentuk talli silindris, halus, licin dan lunak seperti spons,
warna hijau abu-abu atau kebiru-biruan Percabangan dikotom dengan percabangan utama
memusat ke bagian pangkal talus, membentuk rumpun radial yang rumpun radialnya rimbun
sehingga berkesan menumpuk . Talus terjalin hijau coklat kehijauan, membentuk suatu massa
spons. Cabang silindris 3 sampai 7 mm dengan diameter melekat satu sama lain pada titik
saja dengan bantal keol seperti struktur rhizoidal (Latifah 2004).
Habitat Codium umumnya ditemukan di seluruh pulau dan ditemukan intertidal untuk
subtidal, 2-4 m dalam, tetapi paling sering subtidal. Dapat diketemukan antara lain di daerah
perairan pantai selatan Jawa dan juga Laut Jawa (Coremap 2007). Di daerah penelitian
spesies Codium edule ini ditemukan hanya di tiga pulau, yaitu Pulau Kelapa Dua, Pulau
Genteng Besar dan Pulau Genteng Kecil. Ketiga pulau tersebut perairan pesisirnya termasuk
ke dalam golongan subtidal.

Gambar 16. Codium Edule di alam (Sumber : wikipedia.com)


Tabel 24. Hasil Pengamatan Codium Edule.
Ukuran Tipe dan Bentuk Klasifikasi Jenis Keterangan
Lokasi
(cm) Percabangan Substrat Substrat Warna
Kelapa
6-18 Tetratichous Epipelik Pasir Hijau
Dua
Genteng
10 Tetratichous Epipelik Pasir Coklat
Besar
Genteng
12 Tetratichous - - -
Kecil
Caulerpa racemosa

Phylum :Chlorophyta
Class :Ulvophyceae
Order :Bryopsidales
Family :Caulerpaceae
Genus :Caulerpa
Species :C. racemosa
Alga hijau (Chlorophyceae) merupakan alga yang memiliki pigmen berupa klorofil a
dan b, beta, gamma, karoten, dan santofil. Alga ini pada umumnya berwarna hijau (Aslan
1998). Caulerpa termasuk jenis alga hijau yang terdapat di perairan Indonesia yang belum
banyak dimanfaatkan dan termasuk dalam feather seaweed. Feather seaweed adalah rumput
laut yang dapat dimakan, mempunyai zat antibakteri, antijamur, antioksidan, antitumor dan
bisa digunakan untuk terapi tekanan darah rendah dan gondok (Saptasari 2010).
Ciri secara umum dari Caulerpa adalah keseluruhan tubuhnya terdiri dari satu sel
dengan bagian bawah yang menjalar menyerupai stolon yang mempunyai rhizoid sebagai alat
pelekat pada subtrat serta bagian yang tegak, Bagian yang tegak disebut asimilator karena
mempunyai klorofil. Stolun dan rhizoid bentuknya hampir sama dari jenis ke jenis.
Sedangkan asimilator mempunyai bentuk bermacam-macam tergantung jenisnya. Caulerpa
asimilatornya memanjang, pipih menyerupai spiral dengan pinggir bergerigi atau
bergelombang. Diantara asimilator ada yang membentuk percabangan dan ada pula yang
berdiri sendiri tidak bercabang.

Gambar 17. (a) Caulerpa racemosa di alam (Sumber : wikiwand.com)


(b) Caulerpa rancamosa di sabak
Tabel 35. Hasil Pengamatan Caulerpa sp.
Lokasi Ukuran Tipe dan Bentuk Klasifikasi Jenis Keterangan
(cm) Percabangan Substrat Substrat Warna

Kelapa Epipelik Pasir


14-30 Tetratichous Hijau
Dua Epilitik Batu
Makroalga jenis Caulerpa raacemosa hanya ditemukan di Pulau Kelapa Dua
dikarenakan jenis substrat pada pantai di daerah Pulau Kelapa Dua yang berupa pasir berbatu
yang merupakan jenis substrat yang cocok bagi coulerpa sehingga banyak dijumpai di daerah
tersebut selain itu perairan yang tenang membuat makroalga jenis ini cocok untuk hidup di
daerah seperti itu.
Laurencia sp.
Kingdom : Plantae
Phylum : Rhodophyta
Class : Florideophyceae
Ordo : Ceramiales
Family : Rhodomelaceae
Genus : Laurencia
Spesies : Laurencia sp.

(a) (b)

Gambar 17. (a) Laurencia sp. di alam (Sumber : www.studyblue.com),


(b) Laurencia sp. di sabak
Salah satu jenis makroalga Rhodophyceae yang memiliki potensi adalah marga
Laurencia. Talus bentuknya silindris, padat, bentuk percabangan secara irregular, pipih,
dan lembaran sedangkan warna talus bervariasi yaitu, merah, ungu, coklat, dan hijau
dengan panjang batang ± 1 mm. Jarak antara percabangan ± 1 mm, Luas penampang sel ±
31.75 mm, bagian permukaan terdiri dari 1-2 korteks, bentuk korteks bulat. Laurencia sp.
memiliki thallus bercabang, thallus merumbai, dan berwarna merah kegelapan. Habitatnya
berada pada substrat berpasir (Tampubolon et al. 2013). Selain itu, Habitat alga ini juga
pada substrat berbatu,berpasir, pasir berlumpur pada daerah intertidal. Penelitian oleh
Fenical (1976) membuktikan bahwa Laurinterol turunan dari alga merah (Laurencia
pacifia) dapat digunakan untuk mengobati infeksi oleh S. aureus. Spesies alga lainnya
yaitu Himanthalia elongate dan Synechocystis sp. juga memiliki sifat anti mikroba
terhadap E. coli, S. aureus, C. albicans, dan A. niger (Plaza et al. 2010). Potensi ini dapat
menjadikan alga sebagai pengawet alami untuk kosmetik serta zat antibakteri dan anti
inflamasi pada medicated cosmetic. Rumput laut Laurencia sp memiliki sebaran geografis
yang cukup luas di perairan Indonesia, yaitu banyak diternukan di pantai selatan
Yogyakarta, sekitar teluk Pananjung Jawa Barat, perairan Kepulauan Riau, Kepulauan
Lingga dan Bangka. Laurencia sp termasuk salah satu rumput laut yang dominan di gugus
terumbu karang Pulau Pari (Mintarti 1993). Jenis Laurencia yang terdapat di gugus Pulau
Pari antara lain Laurencia nidifica, L. intricata, L. obtusa, L. parvipapillata (Atmadja dan
Sulistijo 1988).

Tabel 46. Hasil Pengamatan Laurencia sp.


Tipe dan
Ukuran Klasifikasi Jenis Keterangan
Lokasi Bentuk
(cm) Substrat Substrat Warna
Percabangan
2 Pasir, Coklat
Pulau Putri Barat 5 Epilitik
(Dichotomous) batu kemerahan
Pulau Genteng Besar -
Spesies makroalga Laurencia sp. hanya ditemukan pada dua pulau pengambilan
data yakni Pulau Putri Barat dan Pulau Genteng Besar, hal tersebut dikarenakan
parameter lingkungan yang sangat sensitif terhadap pertumbuhan spesies ini, seperti
parameter suhu yang berkisar 28-34.5oC untuk alga coklat, merah dan hijau (Hutagalung
1988).
Ulva Lactuca
Kingdom :Plantae
Filum :Chlorophyta
Kelas :Ulvophyceae
Ordo :Ulvales
Famili :Ulvaceae
Genus :Ulva
Spesies :U. Lactuca
Ulva atau selada laut (sea lettuce, Lettuce laver, Green Laver, Sea Grass, Thin stone
brick/Inggris (Madlener 1977), Chicory sea lettuce (FAO 1997). Arabic: Tahalib (FAO.
1997), Chinese: Hai Tsai, Shih shun, Haisai Kun-po, Kwanpo (Madlener 1977),
Glasan/Irlandia, Meersalat/German, Aosa/Japanese, Alface do mar/Portugis) adalah rumput
laut makro alga yang tergolong dalam divisi Chlorophyta. Termasuk dalam divisi
Chlorophyta karena sel-sel mengandung banyak mengandung klorofil a sehingga
memberikan warna hijau pada rumput laut ini. Habitatnya adalah di air laut dan morfologinya
berupa thallus tipis dan gepeng seperti pedang yang terdiri atas 2 lapis sel. Tidak ada
diferensiasi jaringan dan seluruh sel memiliki bentuk yang kurang lebih identik, kecuali pada
sel-sel basal yang mengalami elongasi membentuk rhizoid penempel. Masing-masing sel
pada spesies ini terdiri atas sebuah nukleus, dengan kloroplas berbentuk cangkir, dan sebuah
pirenoid (Guiry 2007).
Ulva lactuca memiliki panjang sampai 100 cm dan berwarna hijau apel terang, dan
memiliki bentuk strap-shaped blades (pedang melipat) dengan tepi yang halus tapi
bergelombang. Bagian tengah dari setiap helaian seringkali berwarna pucat dan semakin ke
arah tepi warnanya semakin gelap. Pada daerah tropis, tumbuhan ini biasanya terdapat di air
yang dangkal (zona intertidal bagian atas sampai kedalaman 10 meter). Pada substrat yang
tepat, seringkali melakukan asosiasi dengan daerah yang memiliki nutrien yang tinggi
(contohnya bakau) atau dekat sumber air tawar. (Littler et al. 1989; Reine dan Junior 2002).
Habitat hidupnya yaitu di karang dan di bawah aliran pasang surut. Spesies ini,
memiliki blade berwarna hijau terang, rapuh, berkerut, berbentuk lonjong atau bulat,
memiliki diameter lembaran blade sepanjang 65 cm, dan hidupnya di zona intertidal atau di
daerah yang dangkal (Littler et al. 1989; Reine dan Junior 2002). Salinitasi yang baik untuk
pertumbuhan Ulva adalah 29-31,5 o/oo (Nybakken 1988). Ulva hidup pada kisaran suhu 28-31
o
C.

(a) (b)
Gambar 18. (a) Ulva Lactuca di alam (Sumber : commons.wikimedia.org),
(b) Ulva Lactuca di sabak
Tabel 57. Hasil Pengamatan Ulva Lactuca

Ukuran Tipe dan Bentuk Klasifikasi Jenis Keterangan


Lokasi
(cm) Percabangan Substrat Substrat Warna
Kelapa Dua 6 cm Tidak Bercabang Epipelik Pasir Hijau
Genteng Besar - Tidak Bercabang Epipelik Pasir Hijau
Penyebab sedikitnya jumlah spesies ini adalah kompetisi antar spesies makroalga
lainnya sehingga sulit mendapatkan ruang di dekat pesisir. Spesies ini cenderung lebih
menyukai substrat pasir atau lebih tepatnya karang. Stasiun tempat pengambilan sampel
terlalu dekat ke daratan sehingga belum mencapat ke daerah yang banyak karangnya.
Neomeris annulata
Filum : Chlorophyta
Kelas : Chlorophyceae
Ordo : Dasyclades
Famili : Dasycladaceae
Genus : Neomeris
Spesies: Neomeris annulata
Neomeris annulata merupakan tumbuhan berbentuk silinder, tabung tinggi 8-25 mm
dan diameter 2 mm. Pangkal talus tergolong kuat dan makin ujung lebih sedikit hijau
kekuningan. pada daerah basal yang merupakan tempat melekatnya holdfast. Pada semua
bagian thallus ditumbuhi rambut halus. Habitat alga ini yaitu substrat keras dasar laut dan
karang mati di daerah intertidal perairan dangkal. cabang-cabang utama berada di lingkaran
yang berurutan, masing-masing segmen lateral primer memiliki panjang 13-20 kali lebar dan
bercabang menjadi dua segmen mereka secara lateral sangat koheren dengan kerak berkapur
mereka.. Di laut tropis, Neomeris sp. tumbuh di berbagai substrat keras batuan, pecahan
karang dan cangkang, akar bakau dan substrat padat di atas dasar berpasir), baik di tempat-
tempat yang cerah dan teduh, dari zona intertidal (saat pasang kolam, dekat tanda air rendah)
hingga kedalaman sekitar 30-50 m.

(a) (b)
Gambar 19. (a) Neomeris annulata di alam (Sumber : www.livealgae.co.uk )
(b) Neomeris annulata di Pulau Putri Barat

Tabel 68. Hasil Pengamatan Neomeris annulata

Tipe dan
Ukuran Klasifikasi Jenis Keterangan
Lokasi Bentuk
(cm) Substrat Substrat Warna
Percabangan
Tidak
Pulau Putri 0.5-2 Epilitik Pasir/batu Hijau
bercabang
Brown Filamentous Algae (Ectocarpus siliculosus)

Superphylum : Heterokonta
Class : Phaeophyceae
Ordo : Ectocarpales
Family : Ectocarpaceae
Genus : Ectocarpus
Species : Ectocarpus siliculosus ((Dillwyn) Lyngbye 1819)
Filamentous Algae dapat ditemukan di seluruh dunia di lingkungan air laut dan air
tawar. Algae jenis ini sebagian besar lebih menyukai air yang stagnan, kaya nutrisi, dan
hangat. Manfaat dari algae ini bagi ekosistem yaitu sebagai sumber makanan untuk protozoa
dan invertebrata, serta penyedia oksigen dan tempat hidup hewan kecil (Haberland et al.
2017). Brown filamentous algae atau Ectocarpus siliculosus ditemukan pada saat pengamatan
di Pulau Putri Barat. Makroalga jenis ini memiliki warna coklat muda hingga krem, panjang,
dan berhelai mirip rambut. Ukuran dari makroalga jenis ini bervariasi, ukuran terbesar yang
di temukan dialam mencapai 30 cm sedangkan ukuran terkecil di temukan mencapai 1 cm
(Charrier et al. 2007). Jenis substrat di pulau Putri Barat berupa pasir berbatu sehingga cocok
untuk habitat brown filamentous algae. Habitat dari brown filamentous algae atau Ectocarpus
siliculosus adalah epilitik.
Pulau Putri Barat tidak berpenduduk tetap hanya ada beberapa warga untuk berjaga,
tetapi seringkali pulau ini dikunjungi wisatawan, karena pulau ini tidak berpenduduk
keanekaragaman ekosistemnya masih cukup terjaga, sehingga nutrient di pulau ini masih
cukup tinggi dan cocok untuk habitat pertumbuhan berbagai jenis makroalga salah satunya
Brown filamentous algae atau Ectocarpus siliculosus. Pulau ini mungkin saja memiliki
tingkat pasang tinggi. Menurut Davey (2000) bahwa Ectocarpus siliculosus sering ditemukan
pada daerah yang memiliki pasang tinggi, tumbuh pada algae lain terutama Harmosera,
bentuk dan pola pertumbuhannya tersebar melekat oleh rizoid pada sel yang lebih rendah,
tidak memiliki batang pangkal dengan cabang lateral panjang secara bertahap meruncing
untuk membentuk rambut panjang.

(a) (b)
Gambar 20. (a) Ectocarpus siliculosus di alam, (b) Ectocarpus siliculosus di sabak
Tabel 79. Hasil Pengamatan Ectocarpus siliculosus

Ukuran Tipe dan Bentuk Klasifikasi Jenis Keterangan


Lokasi
(cm) Percabangan Habitat Substrat Warna
Putri Barat 1-20 Tidak bercabang Epipelik Batu/pasir Coklat
Hydroclathrus clathratus

Kingdom : Plantae
Divisi : Phaeophyta
Kelas : Phaeophyceae
Ordo : Scytosiphonaces
Family : Scytosiphonaceae
Genera : Hydrochlatrus
Spesies : Hydroclathrus clathratus
Makroalga Hydrochlatrus clathratus ditemukan di tiga pulau yaitu pulau Kelapa Dua,
Pulau Genteng Besar dan Pulau Putri. Jenis makroalga ini termasuk kedalam makroalga
epilitik yaitu makroalga yang hidup pada substrat batu berpasir pada rataan terumbu. Makro
alga cokelat H. clathratus (C. Agardh) Hower memiliki ciri –ciri yaitu membentuk rumpun
sirkular dengan percabangan yang tersusun seperti jaring, menggumpul dan berwarna cokelat.
Bentuk thallus seperti jaring, licin, lunak, memiliki lubang dengan diameter 0,7-2,2 cm,
menggumpal, warna thallus cokelat pirang. Alga ini tumbuh melekat pada substrat berbatu
atau berpasir di rataan terumbu (Paraeng et al 2016).
Habitat utama makroalgae adalah zona pasang surut yang berhubungan dengan
sedimen, sehingga mempengaruhi pertumbuhan makro algae. Dalam hal ini makro algae
merupakan ekosistem yang rentan terhadap berbagai aktivitas manusia dan frekuensi
transportasi perkapalan yang tinggi. Aktivitas masyarakat di perairan cenderung
mempengaruhi keanekaragaman makro algae (Irawan 2017). Pulau Kelapa dua, Genteng
Besar, dan Pulau Putri diketahui tidak terlalu terdampak aktivitas manusia sehingga beberapa
jenis makroalga, salah satunya Hydroclathrus clathratus dapat tumbuh di perairan pulau-
pulau tersebut.

(a) (b)
Gambar 21. (a) Hydrochlatrus clathratus di alam (Sumber :
atlasoflife.naturemapr.org), (b) Hydrochlatrus clathratus di sabak
Tabel 20. Hasil Pengamatan Hydrochlatrus clathratus

Ukuran Tipe dan Bentuk Klasifikasi Jenis Keterangan


Lokasi
(cm) Percabangan Habitat Substrat Warna
Putri Barat 12 Tidak bercabang Epipelik Batu Coklat
Kelapa Dua 20 Tidak bercabang Epilitik Karang Coklat
Genteng 19 Tidak bercabang Epilitik Karang Coklat
Besar
MANGROVE
Mangrove adalah vegetasi pantai tropis dan subtropis yang biasanya didominasi
oleh beberapa spesies mangrove yang mempunyai kemampuan tumbuh dan berkembang
yang dipengaruhi oleh pasang-surut air laut yang memiliki substrat pasir berlumpur
(Bengen 2004). Mangrove umumnya hidup di zona intertidal dan supratidal yang
terlindung dari gelombang, pasang surut, dan arus yang kuat serta mempunyai aliran air
yang cukup. Ekosistem mangrove sangat kompleks karena sebagai pelindung garis
pantai, pengendali erosi, maupun penyedia makanan untuk biota asosiasi yang hidup di
sekitarnya, banyak ditemukan di daerah pantai-pantai teluk yang dangkal, estuaria, delta,
dan daerah pantai yang terlindung. Menurut Nagelkerken et al. (2008), daerah mangrove
ditandai dengan faktor lingkungan yang bervariasi seperti suhu, salinitas, sedimentasi,
abrasi, pasang surut, arus, dan gelombang. Mangrove mengalami tekanan yang sama jika
kondisi wilayah pesisir mengalami kerusakan. Perubahan suhu, curah hujan, dan
kenaikan muka laut berpotensi untuk merubah karakteristik hidrologi dan daur
biogeokimia yang akan mengancam keseimbangan ekologi dan keanekaragaman
mangrove (Gilman et al. 2008). Hutan Mangrove merupakan vegetasi khas daerah tropis
dan sub-tropis yang dijumpai di tepi sungai, muara sungai dan tepi pantai yang
dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Dengan kata lain bahwa mangrove termasuk
vegetasi halofita (halophytic vegetation) yaitu vegetasi yang hanya terdapat pada tempat-
tempat yang tanahnya berkadar garam tinggi. Istilah mangrove sering juga disebut bakau
yang merupakan jenis dari marga Rhizophora sebagai individu. Dalam hubungannya
mangrove sebagai vegetasi dimana faktor biotik dan abiotik saling berhubungan dan
saling ketergantungan maka mangrove lebih mengarah pada suatu ekosistem. Ekosistem
mangrove adalah ekosistem unik karena terdapat pada daerah peralihan (ekoton) antara
ekosistem darat dan laut yang mempunyai kaitan erat di antara keduannya.
Ekosistem mangrove secara umum tersusun atas zonasi-zonasi vegetasi mulai
dari pantai menuju ke arah daratan. Pola zonasi tersebut erat kaitannya dengan kondisi
ekologi terutama yang berhubungan dengan kemampuan hidup jenis tumbuhan
penyusunnya terhadap berbagai tingkat salinitas, suhu, sedimentasi, terjangan ombak,
lamanya periode pasang surut air laut dan pasokan air tawar dari darat. Oleh karena itu
karakteristiknya bervariasi pada lokasi yang berbeda, dapat saling tumpang tindih antar
zona atau bahkan dapat terjadi pengurangan zona akibat kondisi ketidak normalan
beberapa faktor penunjang pertumbuhan. Pada umumnya tebal atau lebar zona mangrove
jarang melebihi 4 km, kecuali pada beberapa daerah sekitar muara serta teluk yang
dangkal dan tertutup (Noor et al., 1999).
Dalam upaya menyesuaikan diri dengan lingkungannya yang ekstrim, maka jenis
tumbuhan penyusun mangrove cenderung beradaptasi dengan beberapa cara. Arief
(2003) menyatakan bahwa semua ciri morfologi dan anatomi pohon mangrove
mencerminkan kondisi pada posisi mempertahankan diri terhadap lingkungan yang
bersalinitas tinggi. Kondisi tanah di hutan mangrove yang sering atau selalu tergenang
menyebabkan tanahnya menjadi anaerob. Untuk memenuhi kebutuhan akar akan
oksigen, jenis-jenis mangrove mengambilnya dari atmosfir melalui akar nafas. Akar
nafas (pneumatophore) adalah salah satu adaptasi mangrove terhadap kondisi tanah
berlumpur atau tergenang, yaitu bagian akar yang muncul ke permukaan tanah atau air.
Selain berfungsi untuk mengambil oksigen, bentuk perakaran mangrove juga berperan
untuk menopang batang agar pohon tetap tegak berdiri walaupun dihempas gelombang
dan badai.
Rhizophora apiculata

Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Myrtales
Famili : Rhizophoraceae
Genus : Rhizophora
Spesies : Rhizophora apiculata
Rhizophora apiculata merupakan salah satu tumbuhan bakau yang paling banyak
ditemukan pada daerah pesisir pantai. Spesies ini dapat tumbuh mencapai 30 m dengan
diameter pohon mencapai 50 cm3. Selain itu, spesies ini dapat tumbuh pada tanah yang
berlumpur, berpasir, dan tergenang (Atok et al. 2016). Mangrove jenis ini merupakan
komponen mayor dari bakau dan dapat tumbuh pada daerah dengan lumpur agak keras
dan dangkal, tergenang air pasang harian serta dapat membentuk tegakan murni.Spesies
ini merupakan tanaman tropis yang bersifat halophytic atau toleran terhadap garam.
Rhizophora apiculata terdapat pada dua pulau yakni pada Pulau Putri Barat Barat dan
Pulau Kelapa Dua. Spesies ini memiliki tipe dan bentuk akar yang sama yakni akar
tunjang untuk Pulau Putri Barat Barat dan pulau Kelapa Dua. Lalu untuk bentuk dan
ukuran buahnya, praktikan tidak menemukan buah yang sudah matang pada pohonnya.
Lalu untuk bentuk daun pada Pulau Putri Barat Barat berbentuk elips runcing dengan
ukuran daun minimum yaitu 9.5 cm dan maksimum yaitu 13.8 cm. Sedangkan bentuk
daun pada pulau Kelapa Dua berbentuk elips runcing dengan ukuran daun minimum
yaitu 13.1 cm dan maksimum yaitu 17.9 cm. Pada Pulau Putri Barat Barat, praktikan
menemukan bunga dengan 4 kelopak. Pada pulau Kelapa Dua, praktikan tidak
menemukan bunga. Jenis substrat pada spesies Rhizophora apiculata pada kedua pulau
yaitu pasir. Warna bunga pada mangrove Rhizophora apiculata di Pulau Putri Barat
Barat berwarna putih gading. Berdasarkan penjelasan diatas tidak terdapat perbedaan
yang signifikan pada Rhizophora apiculata di kedua pulau. Perbedaannya hanya terletak
pada ada atau tidaknya bunga pada mangrove tersebut.

(a) (b)
Gambar 22. (a) Ukuran Daun Pulau Putri Barat Barat,
(b) Bunga Pulau Putri Barat Barat
Gambar 23. Ukuran Daun Pulau Kelapa Dua

Tabel 21. Morfometrik Bunga, Buah dan Daun R.apiculata


Pulau Tipe dan Bentuk dan Ukuran (cm) Jenis Keterangan Warna
Bentuk Akar Buah Daun Bunga Substrat
9.5-13.8
4 Warna bunga putih
Putri Barat Tunjang - Elips Pasir
kelopak gading
runcing
13.1-
17.9
Kelapa Dua Tunjang - - Pasir -
Elips
runcing
Berdasarkan tabel di atas dapat terlihat bahwa ukuran daun di Pulau Kelapa Dua lebih
panjang jika dibandingkan dengan ukuran daun di Pulau Putri Barat. Daun merupakan
salah satu bagian tumbuhan yang mengalami perubahan bentuk sesuai dengan kondisi
“kesehatan” mangrove dan lingkungan perairan tempat hidupnya (Efriyeldi et al. 2018).
Perbedaan ukuran daun ini dipengaruhi oleh fisiografi pantai di Pulau Kelapa Dua yang
lebih landai daripada Pulau Putri Barat. Pantai landai menyediakan ruang yang lebih luas
untuk tumbuhnya mangrove sehingga distribusi spesies menjadi semakin luas dan lebar.
Pada pantai yang terjal komposisi, distribusi dan lebar hutan mangrove lebih kecil karena
kontur yang terjal menyulitkan pohon mangrove untuk tumbuh.
Mangrove jenis Rhizophora apiculara tidak terdapat pada Pulau Genteng Kecil dan
Genteng Besar dikarenakan posisi pulau tersebut yang mendekati laut lepas. Gelombang
dan arus juga berpengaruh langsung terhadap distribusi spesies mangrove. Gelombang
dan arus laut yang menerpa pantai dapat mempengaruhi daya tahan organisme akuatik di
area pantai, ia melalui transportasi nutrient-nutrient (unsur hara sebagai “makanan”
mangrove) penting bagi mangrove ke laut. Nutrient-nutrient yang berasal dari hasil
dekomposisi serasah maupun yang berasal dari run off daratan dan terjebak di hutan
mangrove akan terbawa oleh arus dan gelombang ke laut pada saat surut. Nutrien juga
dapat berasal dari kegiatan antropogenik (disebabkan oleh manusia). Pulau Putri Barat
merupakan pulau pribadi milik warga namun tidak berpenguni, sedangkan Pulau Kelapa
Dua merupakan pulau berpenghuni dengan jumlah penduduk 337 jiwa (1995-2019 Dinas
Komunikasi Informatika dan Statistik Pemprov DKI Jakarta)
Nilai fosfat, nitrat dan klorofil-a tertinggi secara berturut-turut di Pulau Kelapa Dua
yaitu terdapat pada stasiun A16 yaitu 0.005717837 mg/l, A13 yaitu 0.077385949 , dan
A13 dengan nilai 0.54902 mg/m3 yang ketiga stasiun tersebut terletak di perairan dangkal
sekitar Pulau Kelapa Dua. Nilai fosfat, nitrat dan klorofil-a tertinggi secara berturut-turut
di Pulau Putri Barat A4 yaitu 0.002610317 mg/l, A1 0.077992797 mg/l, dan A2 yaitu
0.85762 mg/m3 yang terletak di laut lepas sekitar Pulau Putri Barat. Berdasarkan
interpretasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa nilai nutrient tertinggi berada pada
wilayah perairan dangkal Pulau Kelapa Dua. Nilai nutrient pada Pulau Putri Barat juga
tergolong tinggi, namun nilai tersebut terdapat pada stasiun yang berada pada laut lepas di
sekitar Putri Barat, bukan di sekitar perairan dangkal dimana mangrove hidup. Distribusi
berbagai unsur-unsur nutrien antara akar dan daun tentunya melalui organ-organ lain
seperti batang dan cabang sehingga tentunya tegakan tanaman mengalami adaptasi untuk
memenuhi kapasitas tukar yang dibutuhkan contohnya dengan memiliki ukuran daun
yang lebih besar pada mangrove Rhizophora apiculata di Pulau Kelapa Dua (Delagrange
et al. 2008).
Rhizophora mucronata
Kingdom :Plantae
Divisi :Magnoliophyta
Kelas :Magnoliopsida
Ordo :Malpighiales
Famili :Rhizophoraceae
Genus :Rhizophora
Species :Rhizophora mucronata
Rhizophora mucronata memiliki pohon dengan ketinggian mencapai 27 m, jarang
melebihi 30 m. Batang memiliki diameter hingga 70 cm dengan kulit kayu berwarna gelap
hingga hitam dan terdapat celah horizontal. Akar tunjang dan akar udara yang tumbuh dari
percabangan bagian bawah. Daun berkulit. Gagang daun berwarna hijau, panjang 2,5-5,5
cm. Pinak daun terletak pada pangkal gagang daun berukuran 5,5-8,5 cm. Unit & Letak:
sederhana & berlawanan. Bentuk: elips melebar hingga bulat memanjang. Ujung:
meruncing. Ukuran: 11-23 x 5-13 cm. Gagang kepala bunga seperti cagak, bersifat
biseksual, masing-masing menempel pada gagang individu. Buah lonjong/panjang hingga
berbentuk telur berukuran 5-7 cm, berwarna hijaukecoklatan, seringkali kasar di bagian
pangkal, berbiji tunggal. Hipokotil silindris, kasar dan berbintil. Ekologi Rhizophora
Mucronata Dbiasanya hidup di areal yang sama dengan R.apiculata tetapi lebih toleran
terhadap substrat yang lebih keras dan pasir. Pada umumnya tumbuh dalam kelompok,
dekat atau pada pematang sungai pasang surut dan di muara sungai, jarang sekali tumbuh
pada daerah yang jauh dari air pasang surut. Pertumbuhan optimal terjadi pada areal yang
tergenang dalam, serta pada tanah yang kaya akan humus. Merupakan salah satu jenis
tumbuhan mangrove yang paling penting dan paling tersebar luas. Perbungaan terjadi
sepanjang tahun. Anakan seringkali dimakan oleh kepiting, sehingga menghambat
pertumbuhan mereka. Anakan yang telah dikeringkan dibawah naungan untuk beberapa
hari akan lebih tahan terhadap gangguan kepiting. Hal tersebut mungkin dikarenakan
adanya akumulasi tanin dalam jaringan yang kemudian melindungi mereka.
Hasil pengambilan data di stasiun Pulau Puteri barat terdapat 9-10 cm ukuran daun, warna
buah hijau bercak hitam, warna bunga putih gading stasiun pengambilan data mangrove
memiliki karakteristik substrat pasir halus. Pada stasiun pengambilan data di Pulau Kelapa
dua ukuran daun mangrove jeni Rhizophora Mucronata memiliki panjang 2-18 cm,
propagule memanjang, elips berujung panjang pada stasiun Pulau genteng besar terdapat
ukuran daun mangrove 13-18 cm, sedangkan pada stasiun Genteng Kecil terdapat ukuran
daun 3-16 cm. Setelah melihat data tersebut terdapat perbedaan data pada ukuran daun dan
lainnya. Hal yang mempengaruhi perkembangan tersebut yaitu jenis substrat yang berbeda
tingakatannya serta faktor fisik pada perairan.

Gambar 24. Rhizophora mucronata


Tabel 22. Morfometrik Bunga, Buah dan Daun R.mucronata
Tipe Bentuk dan Ukuran (cm)
dan Jenis Keterangan
Lokasi
Bentuk Buah Daun Bunga Substrat Warna
Akar
30 9-10 1.5-2.5 Warna buah hijau
Putri Tunjang Pasir bercak hitam, warna
4
Barat Memanjang Runcing bunga putih gading
kelopak
32 2-18 1.5-2.5 Warna buah hijau
Kelapa
Tunjang bercak hitam, warna
Dua Elips 3
Memanjang Pasir bunga putih gading
runcing kelopak
Warna buah hijau
Genteng 34 13-15 2-2.5
Tunjang Pasir bercak hitam, warna
Besar
Elips 4 bunga putih gading
Memanjang
runcing kelopak
30 2-16 1.9-2.9 Warna buah hijau
Genteng Pasir
Elips 3 bercak hitam, warna
Kecil Tunjang Memanjang
runcing kelopak bunga putih gading
Mangrove yang ditemukan pada setiap stasiun pengambilan data rata-rata terdapat
jenis mangrove Rhizophora mucronata, hal tersebut dikarenakan jenis pulau bersifat baik
untuk mangrove, substrat yang terkandung pada ke empat pulau relative berjenis pasir,
pasir merupakan salah satu jenis substrat yang baik untuk mangrove Rhizophora
mucronata. Mangrove yang berada disana cukup sehat.
Ceriops tagal
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Myrtales
Famili : Rhizophoraceae
Genus : Ceriops
Spesies : Ceriops tagal
Ceriops tagal merupakan mangrove yang tersebar dari Mozambik hingga Pasifik
Barat, termasuk Australia Utara, Malaysia dan Indonesia. Pohon ini memiliki bentuk yang
kecil atau semak dengan ketinggian hingga 25 meter. Kulit kayu berwarna abu- abu dan
terkadang coklat, halus dan pangkalnya menggelembung. Pohon ini seringkali memiliki
akar tunjang yang kecil. Daun dari pohon ini berwarna hijau mengkilap dan sering
memiliki pinggiran yang melingkar kedalam. Bunga mengelopak di ujung tandan.
Membentuk belukar yang rapat pada pinggir daratan dari hutan pasang surut dan pada
daerah yang tergenang oleh pasang tinggi dengan tanah yang memiliki sistem
pengeringan yang baik. Pohon ini biasanya menyukai substrat tanah liat.

(a) (b)
Gambar 25. (a) Bentuk akar dari Ceriops tagal di Pulau Kelapa Dua
(b) Bentuk dan ukuran daun Ceriops tagal di Pulau Kelapa Dua

Tabel 23. Morfometrik Ceriops Tagal


Tipe dan Bentuk Bentuk dan Substrat
Lokasi
Akar Ukuran Daun (cm)
7.3-12
Kelapa Dua Akar papan Pasir putih
Elips
Mangrove Ceriops tagal hanya ditemukan pada Pulau Kelapa Dua saja. Hal ini dapat
disebabkan karena di daerah Kelapa Dua memiliki tempat konservasi mangrove.
Mangrove Ceriops tagal bisa saja terbawa pada saat pengangkutan bibit mangrove dari
pulau lain sehingga mangrove jenis ini ada di Pulau Kelapa Dua. Ceriops tagal yang
ditemukan di Pulau Kelapa Dua juga masih anakan sehingga kemungkinan dia terbawa
pada saat pengambilan benih sangat besar. Mangrove Ceriops tagal merupakan pionir,
dimana dia bisa dapat tumbuh dan berkembang dimana saja.
Pemphis acidula
Kingdom : Plantae
Divisi : Tracheophyta
Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Ordo : Myrtales
Famili : Lythraceae
Genus : Pemphis
Spesies : Pemphis acidula
Pemphis acidula atau yang biasa disebut dengan tanaman setigi adalah semak yang
tumbuh di daerah pesisir berbatu atau di tepi hutan mangrove. Setigi (Pemphis acidula)
merupakan tumbuhan vegetasi hutan pantai yang bukan termasuk dalam kawasan konservasi
sehingga sukar dilakukan pengontrolan populasi Setigi di alam ( Nurhidayati et al.2009). Pemphis
acidula memiliki tinggi sekitar 4 m, meskipun di beberapa lokasi, bisa mencapai 10 m.
Memiliki batang dipelintir dengan percabangan tidak teratur. Tanaman setigi memiliki
kulit berwarna abu-abu gelap coklat dan bersisik (retak). Tumbuhan tersebut memiliki
daun tunggal dan tumbuh lintas, hijau pucat, berdaging tebal, elips atau oval berbentuk
dengan panjang cm 1-3 dan 0,3-1 cm lebar. Tumbuhan pemphis acidula hidup di daerah
beriklim tropis yang tersebar luas di pesisir Asia Selatan, pesisir Australia bagian utara,
dan afrika timur (Irwansyah et al. 2017). Tumbuhan setigi dapat dimanfaatkan dalam
bidang farmasi yaitu untuk mengobati sariawan sedangkan dalam bidang kecantikan yaitu
untuk pembuatan kosmetik. Kulit batang setigi memiliki kandungan senyawa antioksidan
dan antibakteri serta pigmen dengan warna yang menarik. Pigmen warna yang dihasilkan
dapat diaplikasikan sebagai pewarna alami pada industri makanan, tekstil, dan kosmetik.

(a) (b)
Gambar 26. (a) Bentuk Daun Pemphis acidula (b) Bunga Pemphis acidula di sabak
Tabel 17. Morfometrik Pemphis acidula

Lokasi Tipe dan Bentuk dan Ukuran (cm) Substrat


Bentuk
Akar Buah Daun Bunga
` 1-1,5 0,9-3,1 1-2
Kelapa Dua Akar papan Pasir
Elips Berlekuk,
Membulat 5 Kelopak
Elips Runcing
Berdasarkan identifikasi tumbuhan Pemphis acidula dapat ditemukan di Pulau
Kelapa Dua pada jenis substrat pasir dan bentuk buah yang membulat kisaran 1-1,5 cm.
Bentuk daun runcing dan juga berlekuk dengan ukuran daun berkisar 0,9-3,1 cm.
Tumbuhan ini memiliki 5 kelopak bunga dengan ukuran kisaran 1-2 cm. Pemphis acidula
hanya didapatkan di Pulau Kelapa dua hal ini diduga karena adanya factor pembatas jenis
substrat dengan vegetasi mangrove. Semakin cocok substrat untuk vegetasi mangrove
jenis tertentu dapat dilihat dari seberapa rapat vegetasi tersebut di area hidupnya (Amin et
al. 2015).
Xylocarpus rumphii
Kingdom : Plantae
Divisi : Tracheophyta
Ordo : Sapindales
Famili : Meliaceae
Genus : Xylocarpus
Spesies : Xylocarpus rumphii
Xylocarpus rumphii merupakan pohon atau semak yang dapat tumbuh 4 sampai 12
meter, terkadang 18 meter. Ciri morfologinya yaitu, kulit pohon yang terlihat pecah-pecah,
tidak memiliki perakaran khusus, akarnya menggenggam batu-batu besar pada pantai
berbatu, daun majemuk terdiri dari 2-4 pasang berbentuk oval seperti hati dengan ujung
runcing, bunga putih hingga merah muda, dan buah bulat kecil dengan ukuran 8-10 cm
dengan warna hijau mengkilap saat mentah dan berbuah kecokelatan saat matang.

(a) (b)

(c) (d)
Gambar 27. (a) Pohon Xylocarpus rumphii (b) Daun Xylocarpus rumphii
(c) Buah Xylocarpus rumphii (d) Bunga Xylocarpus rumphii

Pada pengamatan, Xylocarpus rumphii ditemukan di Pulau Kelapa Dua. Spesies ini
termasuk mangrove sejati. Xylocarpus rumphii memiliki kondisi tertentu untuk tumbuh.
Spesies ini dapat dijumpai pada daerah dengan toleransi suhu udara 21-26oC (LPP
Mangrove 2006 dalam Suryani 2018).
KESIMPULAN

Sebutkan spesies yg ditemukan per ekosistem. Di tiap pulau, ekosistem


mana yg mendominasi.
DAFTAR PUSTAKA
Alie K. 2010. Pertumbuhan dan biomassa lamun Thalassia hemprichii di perairan Pulau Bone
Batang, Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan. Jurnal MIPA FMIPA Universitas
Lampung. 16(2): 105-110.
Amin D N, Irawan H, Zulfikar A. 2015. Hubungan jenis substrat dengan kerapatan vegetasi
Rhizopora sp. di Hutan Mangrove Sungai Nyirih Kecamatan Tanjung Pinang Kota,
Kota Tanjung Pinang.
Anggadiredja T. Dkk. 2006. Rumput Laut. Jakarta (ID): Penerbit Penebar Swadaya.
Arief A. 2003. Hutan mangrove fungsi dan manfaatnya. Penerbit Kanisius.
Atmadja WS, Kadi A, Sulistijo, Satari R. 1996. Pengenalan Jenis-Jenis Rumput Laut di
Indonesia. Jakarta (ID): Puslitbang Oseanologi LIPI.
Atok HadiM, Irawati MH, Suhadi. 2016. Karakteristik morfo-anatomi struktur vegetatif
spesies Rhizopora Apiculata (rhizoporaceae). Jurnal Pendidikan. 1 (9): 1688—1692.
Ayhuan HV, Zamani NP, Soedharma D.2017.Analisis struktur komunitas makroalga
ekonomis penting di Perairan Inteltidal Manokwari, Papua Barat. Jurnal Teknologi
Perikanan dan Kelautan.8(1):19-38
Azkab MH. 1999. Pedoman inventarisasi lamun. Oseana. XXIV(1): 1-16.
Bengen DG. 2004. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove.
Bogor (ID): KSPL-IPB.
Chapman VJ, Chapman DJ. 1980. Seaweed and Their Uses. London (UK): Chapman and
Hall.
Coremap. 2007. Deskripsi Alga hijau, merah dan coklat. Online. http://www. coremap.or.id.
Diakses 18 Mei 2014
Dahuri R. 2003. Keanekaragaman hayati laut: aset pembangunan berkelanjutan Indonesia.
Jakarta (ID): PT. Gramedia Pustaka Utama.
Dahuri R, Rais J, Ginting SP, Sitepu MJ. 2004. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir
dan Lautan secara Terpadu. Edisi Revisi. Jakarta (ID): Pradnya Paramita.
Delagrange S, Potvin C, Messier C. Coll L. 2008. Linking multiple-level tree traits with
biomass accumulation in native tree species used for reforestation in Panama. Trees.
22: 337 – 349.
Dinas Komunikasi Informatika dan Statistik. 1995-2019. DKI Jakarta (ID):Pemprov DKI
Jakarta.
Duarte CM. 1995. Submerged aquatic vegetation in relation to different nutrient regimes.
Ophelia.41: 87-112.
Dwimayasanti R, Kurnianto D. 2018.Komunitas makroalga di Perairan Toyando-Tam,
Maluku Tenggara. Jurnal Oseanologi dan Limnologi di Indonesia.3(1):39-48.
Efriyeldi, Ahmadryadi, Amin B. 2018. Kondisi morfometrik Rhizophora apiculata pada
kawasan denga aktivitas antropogenik berbeda di0 pesisir timur Indragiri Hilir,
Sumatera. Asian Journal of Envuronment, History and Heritage. 2(1): 113-121.
Fahruddin M,Yulianda F, Setyobudiandi I. 2017. Kerapatan dan penututupan ekosistem
lamun di Pesisir Desa Bahoi, Sulawesi Utara. J. Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis.
9(1):375-383. http://dx.doi.org/10.29244/jitkt.v9i1.
Fenical W. 1976. Chemical variation in a new bromochamigrene derivative from the red
seaweed Laurencia pacifica. Phytochemistry.15(4): 511-512.
Feryatun F, Hendrarto B, Widyorini N. 2012. Kerapatan dan distribusi lamun (seagrass)
berdasarkan zona kegiatan yang berbeda di Perairan Pulau Pramuka, Kepulauan
Seribu. Journal of Management of Aquatiz Resources. 1-7.
Frasiandhini I, Puspitawati RP, Indah NK. 2012. Struktur morfologi dan anatomi
Syringodium isoetifolium di Pantai Kondang Merak Malang. LenteraBio. 1(2): 67-74.
Ganassin C, Gibbs PJ. 2008. A review of seagrass planting as ameans of habitat
compensation following loss of seagrass meadow. NSW Departement of Primary
Industries-Fisheries Final Report Series No. 96. ISSN 1449-9967.

Gilman EL, Ellison J, Duke NC, Field C. 2008. Threats to mangroves from climate change
and adaptation options: A Review. J. Aquatic Botany. 89:237- 250.
Guiry. 2007. Algaebase. Irlandia.: National University of Ireland Galway.
Hartati R, DJunaedi A, Hariyadi, Mujiyanto. 2012. STruktur komunitas padang lamun di
perairan Pulau Kumbang, Kepulauan Karimunjawa. Jurnal Ilmu Kelautan. 17(4): 217-
225.
Hemminga MA, Duarte CM. 2000. Seagrass Ecology. Cambridge(UK): Cambridge
University Press.
Hidayat, Estiti B.1995. Taksonomi Tumbuhan (Crytogamae). Bandung (ID):ITB Bandung.
Hidayat N. 2005. Kajian Hidro-Oseanografi untuk deteksi proses-proses fisik di Pantai.
Jurnal SMARTek. 3 (2): 73 - 85.
Islami F, Ridlo A, Pramesti R. 2016. Aktivitas antioksidan ekstrak rumput laut Turbinaria
decurrens bory de saint-vincent dari Pantai Krakal, Gunung Kidul, Yogyakarta. Journal
of Marine Research. 3(4): 605 – 616.
Ira, Rahmadani, Irawati N.2018.Komposisi jenis makroalga di Perairan Pulau Hari Sulawesi
Tenggara. Jurnal Biologi Tropis.18(2):141-158.
Irawan A. 2003. Asosiasi makrozoobentos berdasarkan letak padang lamun di estuaria
Bontang Kuala, Kota Bontang, Kalimantan Timur [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Irwansyah, Sugiyarto, Mahajoeno E. 2017. Mangrove diversity in the Serewe Gulf of
Lombok Island West Nusantara Tenggara. AIP Conference Proceedings.
1868(1):090005
Izzati M. 2007. Skreening potensi antibakteri pada beberapa spesies rumput laut terhadap
bakteri patogen pada udang windu. BIOMA.9(2):62-67
Kadi A, Atmadja WS. 1988. Rumput Laut, Jenis, Reproduksi, Produksi, Budidaya dan Pasca
Panen. Seri Sumberdaya Alam. Jakarta (ID) : P3O-LIPI.
Kepel RC, Mantiri DMH, Manu GD. 2015. Pertumbuhan alga coklat Padina australis Hauch
perairan pesisir, Desa kampung Ambon, Kecamatan Likupang Timur, Kabupaten
Minahasa Utara. Jurnal LPPM Bidang Sains dan Teknologi.2(2):78-85
Kiswara W. 2009. Perspektif lamun dalam produktivitas hayati pesisir. Lokakarya Nasional
Pengelolaan Ekosistem Lamun : Peran Ekosistem Lamun dalam Produktivitas Hayati
dan Meregulasi Perubahan Iklim. Jakarta (ID): PKSPL-IPB, DKP, LIPI, KLH.
Latifah, Eva.2004.Biologi 2. Bandung (ID) : Remaja Rodaskarya.
Littler MM, Taylor PR, Littler DS (1989) Complex interactions in the control of coral
zonation in a Caribbean reef flat. Oecologia. 80:331–340.
Madlener JC.1977. The Sea Vegetable Book. New York: C.N. Potter/Crown Publisher.
Magruder WH, Hunt JW. 1979. Seaweeds of Hawai‘i. Honolulu (US): Oriental Publ. Co.
Meriam WPM, Kepel RC, Lumingas LJL. 2016. Inventarisasi makroalga di peraian pesisir
pulau Mantehage kecamatan Wori, Kabupaten Minahasa Utara, Provinsi Sulawesi
Utara. Jurnal Ilmiah Platax. 4(2): 84-108.
McKenzie L. 2008. Seagrass Education Book. Diakses melalui
http/www.seagrasswatch.org/info_centre/education/Seagrass_Educators_Handbook.pd
f pada tanggal 15 November 2019.
Nagelkerken I, Blaber SJM, Bouillon S, Green P, Haywood M, Kirton LG, Meynecke J,
Pawlik O, Penrose J, Sasekumar HM, Somerfield PJ. 2008. The habitat function of
mangroves for terrestrial and marine fauna: A Review. J. Aquatic Botany. 89:55–185.
Noor YR, Kazali M, Suryadiputra INN. 1999. Panduan pengenalan mangrove di Indonesia.
Wetland International Indonesia Programme.
Nurhidayati T, Saptarini D, Jadid N. 2009. Ethnobotanical and Plant Profile Studies at
Karimunjawa Village of Jepara Regency, Central Java. The Journal for Technology and
Science. 20(1):1-9.
Nurmiyati. 2013. Keragaman, distribusi dan nilai penting makroalga di Pantai sepanjang
Gunung Kidul. Jurnal Bioedukasi.6(1): 12-21.
Nybakken. J. 1998. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologi. Jakarta (ID) : PT. Gramedia
Jakarta.
Ode I, Wasahua J. 2014. Jenis-jenis alga coklat potensial di perairan pantai Desa Hutumuri
Pulau Ambon. J Ilmiah Agribisnis dan Perikanan. 7(2):39-45
Patty SI. 2016. Pemetaan kondisi padang lamun di Perairan Ternate, Tidore dan sekitarnya.
Jurnal Ilmiah Platax. 4(1): 9-18.
Plaza M, Santoyo S, Jamie L, Blairsy RGG, Herrero M, Senorans M, Ibanez E. 2010.
Screening for bioactive compounds from alga. J. Pharm Biomed Anal. 51: 450-455.
Rasyid A. 2002. Ekstraksi natrium alginat dari Turbinaria decurrens asal Perairan Pulau
Otangala (Sulawesi Utara). Makalah Seminar Rumput Laut, Mini Simposium
Mikroalgae dan Kongres I Ikatan Fikologi Indonesia. Pusat Penelitian Oseanografi
LIPI.
Rawung S, Tilaar FF, Ronduwu AB. 2018 Inventarisasi lamun di perairan Marine Field
Station Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan UNSRAT Kecamatan Likuoang Timur
Kabupaten Minahasa Utara. Jurnal Ilmiah Platax. 6(2): 38-45.
Reine WFP, Junior GCT. 2002. Plant Recources of South-East Asia No.15 (1) Cryptogams:
Algae. Bogor(ID):Prosea Foundation.
Sarfika M. 2012. Pertumbuhan dan produksi lamun Cymodocea rotundata dan Cymodocea
serrulata di Pulau Pramuka dan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta.
[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Subagiyo. 2009. Uji pemanfaatan rumput laut halimeda sp. Sebagai sumber makanan
fungsional untuk memodulasi system pertahanan non spesifik pada udang putih
(Litopenaeus vannamei). Jurnal ilmu kelautan. 14(3):142-149
Suryani N. 2018. Kajian ekosistem hutan mangrove di Muara Sungai Batang Manggung
Kecamatan Pariana Utara Kota Pariaman Provinsi Sumatera barat. Jurnal Geografi.
10(2):144-156.
Syawal MS, Wardiatno Y, Hariyadi S. 2016. Pengaruh aktivitas antropogenik terhadap
kualitas air, sedimen dan moluska di Danau Maninjau, Sumatera Barat. Jurnal Biologi
Tropis. 16 (1): 1 – 14.
Tampubolon A, Grevo S, Gerung, Wagey B. 2013. Biodiversitas alga makro di Laguna Pulau
Pasige, Kecamatan Tagulandang, Kabupaten Sitaro. Jurnal Pesisir dan Laut Tropis.
2(1):35-43
Triatmodjo B. 1999. Teknik Pantai. Yogyakarta(ID):Beta Offset.
Tomascik T, Mah AJ, Nontji A, Moosa MK. 1997. The ecology of Indonesian Seas Part
Two. Periplus Edition.
Udagedara S, Fernando D, Perera N , Tanna A, Bown R. 2017. A first record of Halodule
pinifolia Miki den Hartog, and new locality of nationally endangered Halophila
beccarii Asc, from the eastern coast of Sri Lanka. Aqua Biol. 5(5): 328-335
Waycott M, McMahon K, Mellors J, Calladine A, Kleine D. 2004. A Guide to Tropical
Seagrasses of the Indo-West Pasific. In Tropical Seagrass Identification.
www.seagrasswatch.org/id_seagrass.html [Diakses 15 November 2019]
Wirawan AA. 2014. Tingkat kelangsungan hidup lamun yang ditransplantasi secara
multispesies di Pulau Barrang Lompo [skripsi]. Makassar (ID): UNHAS Makassar.

Wiryato J. 2015. Beberapa jenis makroalga yang ditemukan di zona pasang surut Pantai
Pandawa Badung Bali [skripsi]. Bali(ID): Universitas Udayana.
Yudhantoko M, Handoyo G, Zainuri M. 2016. Karakteristik dan Peramalan Pasang Surut di
Pulau Kepala Dua, Kabupaten Kepulauan Seribu. Jurnal Oseanografi. 5(3):368-377.

Anda mungkin juga menyukai