Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PRAKTIKUM

BIOSISTEMATIKA TUMBUHAN TINGKAT RENDAH

DIVISI THALLOPHYTA, BRYOPHYTA DAN PTERYDOPHYTA

DISUSUN OLEH:
NAMA : GEDE ANDHI PURNAWAN
NIM : G 401 16 052
KELOMPOK : V (LIMA)

LABORATORIUM BIODIVERSITY
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS TADULAKO
DESEMBER, 2017
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Tumbuhan tingkat rendah umumnya diabaikan keberadaannya dikarenakan
kurang dimanfaatkan oleh masyarakat secara umum. Tumbuhan tingkat rendah
terdistribusi di seluruh dunia sesuai dengan habitatnya, tidak terkecuali di
Indonesia. Indonesia memiliki keanekaragaman hayati terbesar kedua di dunia
dengan habitat hutan hujan tropis yang dikenal hutan paling kaya akan jenis
tumbuhan terutama tumbuhan tingkat rendahnya termasuk paku, lumut, lumut
kerak, jamur dan algae (Suryana, 2009).
Tumbuhan tingkat rendah merupakan tumbuhan yang menggunakan spora
sebagai alat perkembangbiakannya, organ masih sangat sederhana, belum
mempunyai jaringan pengangkutan dan sebagian tumbuhan dari tumbuhan
tingkat rendah tubuhnya belum dapat dibedakan antara akar, batang dan daun
seperti alga (Thallophyta), lumut (Bryophyta), Lumut kerak (Lichenes) dan
jamur (Fungi). Namun ada tumbuhan tingkat rendah yang sudah dapat dibedakan
antara akar, batang dan daunnya yaitu tumbuhan paku (Pteridophyta) (Ahmad,
2015).
Taman Nasional Lore Lindu merupakan kawasan konservasi terbesar di
Sulawesi Tengah dan merupakan salah satu perwakilan untuk keanekaragaman
hayati di bioregion Wallacea, merupakan salah satu dari 10 hotspot untuk
keanekaragaman hayati yang unik di dunia dengan luas 229.177,5 ha. Taman
Nasional Lore Lindu telah mendapat banyak predikat atau julukan karena potensi
dan keunikan yang dimilikinya, diantaranya adalah sebagai cagar biosfer pada
tahun 1977 oleh MAB-UNESCO. Kawasan Taman Nasional Lore Lindu
memiliki tingkat kesuburan tanah yang tinggi serta udara yang masih sangat
sejuk dan dingin. Tidak menutup kemungkinan kawasan ini ditumbuhi oleh
berbagai vegetasi termasuk tumbuhan tingkat rendahnya (Pitopang, 2012).
Berdasarkan uraian di atas, yang melatarbelakangi praktikum lapangan ini
adalah untuk mengetahui jenis-jenis tumbuhan tingkat rendah seperti alga, lumut
dan paku di kawasan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL).

1.2. Tujuan
Tujuan dilaksanakannya praktikum lapang ini adalah untuk mengetahui
berbagai jenis tumbuhan tingkat rendah seperti alga, lumut dan paku di Kawasan
Taman Nasional Lore Lindu.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Alga (Thallophyta)


2.1.1. Karakteristik Alga
Alga memiliki pigmen hijau daun yang disebut klorofil, sehingga
dapat melakukan fotosintesis. Selain itu juga memiliki pigmen-pigmen
tambahan yang dominan (Lovelles, 1989). Bentuk tubuh alga bermacam-
macam ada yang bersel tunggal (uniseluler), membentuk koloni berupa
filamen (sel membentuk kumpulan berupa benang-benang), atau koloni
yang tidak membentuk filamen. Sebagian alga yang uniseluler dapat
bergerak dengan tenaga sendiri (motil) dan sebagian lagi tidak dapat
bergerak (nonmotil). Berbeda dengan bentuk tubuh yang uniseluler yang
mikroskopis, pada alga yang membentuk koloni berupa filamen berukuran
cukup besar sehingga mudah dilihat dengan mata telanjang. Sel yang
terletak paling bawah pada filamen membentuk alat khusus untuk
menempel pada batu, batang pohon, pasir atau lumpur. Alat tersebut
dinamakan pelekap. Koloni alga yang tidak membentuk umumnya
membentuk bola atau pipih tanpa pelekap (Sarwuni, 2003).
Cara alga bereproduksi sangat beraneka ragam. Akan tetapi, secara
garis besar terjadi melalui dua cara, yaitu seksual dan aseksual.
Reproduksi secara aseksual terjadi melalui pembelahan sel, fragmentasi
dan pembentukan zoospora, sedangkan reproduksi secara seksual terjadi
melalui isogami dan oogami. Berdasarkan tipe dormansi pigmennya, alga
dapat dibedakan menjadi beberapa kelompok yaitu alga coklat
(Phaeophyta), alga merah (Rhodophyta), alga emas (Chrysophyta) dan
alga hijau (Chlorophyta) (Iqbal dan Ali, 2008).
2.1.2. Distribusi Alga
Habitat alga umumnya terdapat pada zona intertidal sampai pada
kedalaman di seluruh perairan tawar maupun laut di Indonesia termasuk
Sulawesi dimana cahaya matahari masih dapat tembus. Di perairan yang
jernih, beberapa jenis alga laut dapat hidup sampai pada kedalaman 150
meter. Alga tumbuh dan tersebar di berbagai daerah pantai dan pulau-
pulau karang (Bold and Wynne, 1985).
Menurut Duxbury and Duxbury (1989), distribusi alga dapat dibagi
berdasarkan kedalaman yaitu pada perairan dangkal didominasi oleh alga
hijau, kemudian diikuti oleh alga cokelat dan yang sering ditemukan pada
perairan yang lebih dalam yaitu alga merah.
2.1.3. Manfaat Alga
Salah satu manfaat alga yang sangat penting adalah sebagai penghasil
utama bahan organik di dalam ekosistem perairan. Dalam ekosistem
perairan, keberadaan alga merupakan bagian utama dari rantai makanan.
Hal ini berkaitan dengan aktivitas fotosintesis yang terjadi pada alga.
Sebab aktivitas fotosintesis merupakan sumber oksigen terhadap
lingkungan perairan di sekitarnya, dimana akan memberikan keuntungan
secara langsung terhadap organisme lainnya yang hidup dalam air
(Sharma, 1992).

2.2. Lumut (Bryophyta)


2.2.1. Karakteristik Lumut
Tumbuhan lumut termasuk tumbuhan talus. Lumut mempunyai
rhizoid yang berfungsi sebagai pelekat pada substrat dan mengangkut air
serta unsur-unsur hara ke seluruh bagian tubuh. Lumut mengalami proses
metagenesis. Organ kelamin jantan berupa anteredium yang menghasilkan
spermatozoid dan organ betina berupa arkegonium yang menghasilkan
ovum (Haspara, 2004).
Divisi Bryophyta dibagi menjadi tiga kelas yaitu Hepaticopsida
(lumut hati) dan Anthocerotopsida (lumut tanduk) serta Bryopsida (lumut
sejati). Kelas Hepaticopsida berbentuk lembaran, mempunyai rhizoid,
hidup di tempat lembab dan berair. Reproduksi seksual membentuk
arkegonium dan anteredium. Kelas Anthocerotpsida, hidup di tempat
lembab, mengalami metagenesis antara fase sporofit dan gametofit.
Bryopsida hidup di tempat yang terbuka, batang tegak bercabang dan
berdaun kecil. Reproduksi vegetatif dengan membentuk kuncup pada
cabang batang (Haspara, 2004).
2.2.2. Distribusi Lumut
Tumbuhan lumut mempunyai keanekaragaman spesies yang tinggi.
Kelompok tumbuhan lumut dalam dunia tumbuhan merupakan kelompok
terbesar kedua setelah tumbuhan berbunga. Terdapat sekitar 15.000-
25.000 spesies lumut yang tersebar di seluruh dunia (Glime, 2006). Lumut
daun merupakan kelompok terbesar dan paling beragam, terdapat sekitar
12.800 spesies di dunia. Selain memiliki keanekaragaman yang tinggi,
lumut juga memiliki habitat yang bervariasi mulai dari tanah, pasir,
bebatuan, batang pohon, serasah sampai perairan (Gradstein dan Costa,
2003). Terdapat sekitar 3.000 spesies lumut yang tumbuh di Indonesia
(Kimball, 1987).
2.2.3. Manfaat Lumut
Tumbuhan lumut merupaka tumbuhan pelopor, yang tumbuh di suatu
tempat sebelum tumbuhan lain mampu tumbuh (Kimball, 1987). Manfaat
pada lingkungan yaitu dapat menjaga kelembaban udara dan porositas
tanah, serta sebagai pengikat air (Sianipa, 2010).

2.3. Paku (Pterydophyta)


2.3.1. Karakterstik Paku
Tumbuhan paku (Pterydophyta) merupakan golongan tumbuhan yang
telah berkormus (mempunyai akar, batang dan daun) sehingga disebut
juga Cormophyta. Tumbuhan paku merupakan kelompok tumbuhan
berpembuluh paling sederhana. Kurang lebih 550 juta tahun yang lalu
(zaman karbon) hutan paku raksasa mendominasi permukaan bumi
(Kimball, 1999).
Semua anggota tumbuhan paku memiliki empat struktur penting,
yaitu lapisan pelindung sel (jaket steril) yang terdapat disekeliling organ
reproduksi, embrio multiseluler yang terdapat di dalam arkegonium,
kutikula pada bagian luar, dan yang paling penting adalah sistem transpor
internal yang mengangkut air dan zat makanan dari dalam tanah. Sistem
transpor ini sama baiknya dengan pengorganisasian transpor air dan zat-
zat makanan pada tumbuhan tingkat tinggi (Hackle, 1999).
Spora tumbuhan paku dibentuk di dalam kotak spora (sporangium).
Pada jenis paku yang berlainan, sporangium memiliki bentuk, ukuran dan
susunan yang berbeda. Kumpulan sporangium disebut sorus. Sorus
terdapat dibagian bawah permukaan daun, sejajar tulang daun dan zigzag,
tersebar merata membentuk noktah, atau menutupi permukaan bawah
daun. Sorus muda seringkali dilindungi oleh selaput yang disebut
indusium. Ada tidaknya indusium merupakan ciri khas yang sering dipakai
dalam klasifikasi tumbuhan paku (Campbell dkk., 2003).
Reproduksi tumbuhan paku dapat secara aseksual (vegetatif), yakni
dengan stolon yang menghasilkan gemma (tunas). Gemma adalah anakan
pada tulang daun atau kaki daun yang mengandung spora. Reproduksi
secara seksual (generatif) melalui pembentukan sel kelamin jantan dan sel
kelamin betina oleh alat-alat kelamin (gametangium). Gametangium
jantan (anteridium) menghasilkan spermatozoid dan gametangium betina
menghasilkan sel telur (ovum). Seperti halnya tumbuhan lumut, tumbuhan
paku mengalami metagenesis (pergiliran keturunan) (Yudianto, 1992).
2.3.2. Distribusi Paku
Kelimpahan dan penyebaran tumbuhan paku sangat tinggi terutama di
daerah hujan tropis. Tumbuhan paku juga banyak terdapat di hutan
pegunungan (Widhiastuti dkk., 2006). Tumbuhan paku tersebar luas dari
tropika yang lembab hingga melampaui lingkaran Afrika. Sedangkan
jumlah yang teramat besar dijumpai di hutan-hutan tropika dan tumbuh
dengan subur (di daerah beriklim sedang, di hutan-hutan, padang rumput
yang lembab, sepanjang sisi jalan dan sungai) (Tjitrosomo dkk., 1983).
Tumbuhan paku memiliki jenis yang heterogen, baik ditinjau dari
segi habitus maupun cara hidupnya (Tjitrosoepomo, 2005). Di permukaan
bumi ini dilaporkan terdapat 13.000 jenis tumbuhan paku. Di kawasan
Malesia yang terdiri dari hampir kepulauan Indonesia, Filipina, Guinea
dan Australia Utara diperkirakan terdapat 4.000 jenis paku yang
mayoritasnya adalah Filicinae (Lubis, 2009).
2.3.3. Manfaat paku
Tumbuhan paku memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi, terutama
pada keindahannya dan sebagai tanaman holtikultura (Daryanti, 2009).
Menurut Sastrapradja dkk. (1980), tumbuhan paku juga dapat
dimanfaatkan untuk sayuran dan obat-obatan tradisional. Misalnya
Helminthostachys zeylanica (Linn.) Hook. merupakan salah satu
tumbuhan paku yang telah lama digunakan oleh masyarakat sebagai obat
tradisional. Sedangkan tumbuhan paku Cyathea mempunyai peranan yang
besar bagi keseimbangan ekosistem hutan antara lain sebagai pencegah
erosi dan pengatur tata guna air (Fitrya dan Anwar, 2009).
BAB III
METODOLOGI

3.1. Waktu dan Tempat


Waktu dan tempat dilaksanakannya praktikum ini adalah sebagai berikut:
Hari/Tanggal : Sabtu, 11 November 2017
Waktu : Pukul 08.00 WITA Sampai selesai
Tempat : Kawasan Taman Nasional Lore Lindu dan Laboratorium
Biodiversity Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Tadulako.

3.2. Alat dan Bahan


Alat dan bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah sebagai berikut:
3.2.1. Alat
1. Gunting stek
2. Kamera
3. Alat tulis-menulis
3.2.2. Bahan
1. Plastik nener
2. Buku album
3. Kertas label
4. Plastik es batu
5. Buku lapangan
6. Kertas piagam
7. Koran
8. Spiritus
9. Amplop
3.3. Prosedur Kerja
Prosedur kerja yang dilaksanakan pada praktikum ini adalah sebagai
berikut:
1. Bagian tumbuhan yang memiliki batang dan akar serta substratnya diambil.
2. Tumbuhan yang diambil diberi label gantung dan diambil gambar habitatnya.
3. Nomor koleksi, nama kolektor, nomor foto pada kamera, nama lokal dan
tanggal pengambilan sampel.
4. Penulisan pada label sebaiknya menggunakan pensil 2B sehingga tidak luntur
ketika terkena air atau alkohol.
5. Catat informasi lapangan lainnya seperti habitat, warna daun, bentuk spora
pada bagian abaxial daun, serta manfaat bagi penduduk setempat.
6. Informasi ekologi seperti altitude, latitude, longitude dan jenis tanah.
7. Setelah dilakukan pencatatan bagian tumbuhan yang dikoleksi dimasukkan ke
dalam plastik nener.
8. Semua sampel yang telah dikoleksi di lapangan selanjutnya dilakukan
pengeplakan di basecamp.
9. Selanjutnya sampel diherbariumkan di Laboratorium Biodiversity Jurusan
Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas
Tadulako.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Pengamatan


Hasil pengamatan yang diperoleh dilampirkan dalam tabel di bawah ini:
No. Nama Spesies Family Divisi Substrat
1. Actinotrichia Galaxuaraceae Thallophyta Terumbu
fragilis karang
2. Ulva lactuca Ulvaceae Thallophyta Pasir
3. Eucheuma edule Solieraceae Thallophyta Terumbu
karang
4. Galaxaura Galaxauraceae Thallophyta Terumbu
subvefficillata karang
5. Eucheuma Solieraceae Thallophyta Terumbu
denticulatum karang
6. Gracilaria arcuata Gracilariaceae Thallophyta Pasir dan batu
7. Padina sp. Padinaceae Thallophyta Terumbu
karang
8. Gracilaria Gracilariaceae Thallophyta Terumbu
solicornia karang
9. Halimeda sp. Halimedaceae Thallophyta Terumbu
karang
10. Pogonatum sp. Polytrichaceae Bryophyta Kayu-kayu
lapuk
11. Polytrichum Polytrichaceae Bryophyta Kayu-kayu
commune lapuk dan
batu
12. Andreaea rupestris Andreaeaceae Bryophyta Kayu-kayu
lapuk
13. Cyampylopus Dicranaceae Bryophyta Kayu dan batu
atlaticus
14. Polytrichum Polytrichaceae Bryophyta Kayu-kayu
formosum lapuk dan
bebatuan
15. Athyrium filix- Athyriaceae Pteridophyta Tanah
femina
16. Dicksonia Dicksoniaceae Pteridophyta Tanah
Antarctica
17. Asplenium nidus Aspleniaceae Pteridophyta Pohon
18. Anemia tomentosa Schizaceae Pteridophyta Kayu lapuk
19. Nephrolepis sp. Dryopteridaceae Pteridophyta Batang pohon
20. Dipteris conjugata Dipteridaceae Pteridophyta Kayu lapuk
4.2. Pembahasan
Tumbuhan tingkat rendah merupakan tumbuhan yang menggunakan spora
sebagai alat perkembangbiakannya, organ masih sangat sederhana, belum
mempunyai jaringan pengangkutan dan sebagian tumbuhan dari tumbuhan
tingkat rendah tubuhnya belum dapat dibedakan antara akar, batang dan daun
seperti alga (Thallophyta), lumut (Bryophyta), Lumut kerak (Lichenes) dan
jamur (Fungi). Namun ada tumbuhan tingkat rendah yang sudah dapat dibedakan
antara akar, batang dan daunnya yaitu tumbuhan paku (Pteridophyta).
Berdasarkan proses identifikasi yang kami lakukan, kami memperoleh 9
spesies algae yang hidup di perairan Teluk Palu, 5 spesies lumut daun (Musci)
dan 6 spesies paku yang ditemukan di kawasan Taman Nasional Lore Lindu.
4.2.1. Alga
1. Actinotrichia fragilis

Algae ini tergolong ke dalam algae merah (Rhodophyta) dengan


family Galaxauraceae karena warna pigmennya merah. Karakteristik
algae ini, tallusnya bulat mengeras, permukaan kasar, membentuk
rumpun rimbun dengan percabangan dichotomus (mendua arah).
Habitatnya melekat pada substrat batu karang dengan alat temple
(holdfast) yang kecil berbentuk cakram. Alga ini tergolong alga
multiseluler karena tubuhnya terdiri atas banyak sel.
2. Ulva lactuca
Algae ini tergolong algae hijau (Chlorophyta) dengan family
Ulvaceae karena memiliki pigmen klorofil yang dominan sehingga
berwarna hijau. Bagian tubuhnya terdiri atas tallus dan pelakat
(holdfast). Tallusnya terdiri dari dua lapisan sel yang membentuk
struktur seperti parenkim. Habitatnya di laut dangkal atau daerah pesisir
pantai. Algae ini merupakan algae yang berbentuk heterothalik,
berkembangbiak secara aseksual dengan oospora berflagel empat yang
berbentuk pada sel-sel vegetatif. Bentuknya berupa helaian atau
lembaran-lembaran tipis. Susunan tubuhnya foliaceus atau parenkimatis
yaitu filamen yang pembelahan sel vegetatif terjadi lebih dari satu
bidang. Algae ini tergolong algae multiseluler karena tubuhnya
tersusun atas banyak sel.
3. Eucheuma edule

Algae ini tergolong algae hijau (Chlorophyta) dengan family


Solieraceae karena memiliki pigmen klorofil yang dominan sehingga
berwarna hijau bercampur kuning ataupun coklat hijau. Karakteristik
algae ini, tallusnya silindris, permukaan licin, gelatinaeus-
cartilaginaeus, percabangan berselang-seling dengan interval yang
jarang. Pada tallus terdapat benjolan-benjolan yang sebagian
berkembang menjadi duri-duri besar. Habitatnya daerah dengan arus
sedang dan melekat pada batu karang. Algae ini tergolong alga
multiseluler karena penyusun tubuhnya terdiri atas banyak sel.
4. Galaxaura subvefficillata

Algae ini tergolong alga merah (Rhodophyta) dengan family


Galaxauraceae karena memiliki pigmen antosianin yang dominan.
Karakteristiknya, tallus silindris, keras dengan bulu-bulu halus di
permukaan, percabangan pada ujung tallus dichotomous, membentuk
rumpun yang lebat seolah menggumpal dibagian atas, ujung talus
tampak berlubang, warnanya coklat-ungu. Habitatnya melekat pada
substrat batu di daerah rataan terumbuh karang yang umumnya selalu
tergenang air. Algae ini tergolong algae multiseluler karena tubuhnya
tersusun atas banyak sel.
5. Eucheuma denticulatum

Algae ini tergolong algae hijau (Chlorophyta) dengan family


Solieraceae karena memiliki pigmen klorofil yang dominan dengan
pigmen lain sebagai pendukung. Karakteristiknya, tallus silindris,
permukaan licin, warna hijau-coklat, hijau kuning atau merah ungu,
memiliki duri-duri yang tumbuh berderet melingkar serta terdapat alat
pelekat (holdfast). Habitat algae ini di seluruh perairan Indonesia pada
tempat yang sesuai seperti substrat batu karang, air laut yang jernih,
berarus sedang, kadar garam 28-36% dan terdapat cukup sinar
matahari. Algae ini tergolong algae multiseluler karena tubuhnya
tersusun atas banyak sel.
6. Gracilaria arcuata

Algae ini tergolong algae merah (Rhodophyta) dengan family


Gracilariaceae karena memiliki pigmen antosianin yang dominan.
Karakteristioknya, tallus bulat silindris, licin, warna pirang-hijau,
substansi cartilaginous. Habitatnya menempel pada substrat pasir dan
batu dengan alat pelekat (holdfast) berbentuk cakram. Rumpun
merimbun di bagian atas dengan percabangan mengecil pada bagian
pangkal, ujung runcing. Umumnya tumbuh melekat pada batu dan
tersebar di daerah rataan terumbu karang. Digunakan sebagai bahan
agar. Algae ini tergolong algae multiseluler karena tubuhnya tersusun
dari banyak sel.
7. Padina sp.

Algae ini tergolong algae coklat (Phaeophyta) dengan family


Padinaceae karena memiliki pigmen fukosantin yang dominan.
Karakteristiknya, warnanya pirang kecoklatan, kromatofora berwarna
coklat, selnya berflagelum dua, tidak sama panjang, bentuknya seperti
kipas, terdapat holdfast untuk menempel kuat pada substrat batu
karang. Pada bagian kipasnya terdapat garis-garis horizontal yang
disebut garis konsentris, di ujung daun terdapat penebalan yang disebut
penebalan gametangia yang berfungsi sebagai reproduksi gamet dan
pelindung daerah pinggiran daun agar tidak sobek dikarenakan ombak
besar pada zona pasang surut. Berkembangbiak secara aseksual dengan
oogonium dan termasuk algae mulltiseluler karena tubuhnya tersusun
dari banyak sel.
8. Gracilaria salicornia

Algae ini tergolong algae merah (Rhodophyta) dengan family


Gracilariaceae karena memiliki pigmen antosianin yang dominan
sehingga tampak berwarna merah. Karakteristiknya, tallus padat, rapuh,
silinder untuk cabang dikompresi, diameter 2-5 mm, cabang-cabang
tidak teratur pada kedua sumbu dan cabang-cabang secara teratur atau
tidak teratur terbatas atau terus menerus dengan kedua kondisi yang
terjadi pada tanaman yang sama atau tanaman tetangga, cabang-cabang
lateral melekat pada substrat. Habitatnya ditemukan pada terumbu
karang. Algae ini tergolong algae multiseluler karena tubuhnya
tersusun dari banyak sel.
9. Halimeda sp.

Algae ini tergolong algae hijau (Chlorophyta) dengan family


Helimedaceae karena memiliki pigmen klorofil yang dominan
sehinggaa tampak berwarna hijau. Karakteristiknya, panjang tallus 8
cm dan lebar 0,5 cm, sangat kaku, berbentuk seperti ginjal yang
bercabang, berlekuk tiga atau tumpang tindih dan tidak teratur.
Habitatnya banyak dijumpai pada terumbu karang yang kondisi
pantainya tenang dan agark terlindung, hidup secara berkoloni dan
mempinyai perekat rhizoid (holdfast) yang tersebar dan membungkus
segmen. Algae ini tergolong algae multiseluler karena tubuhnya
tersusun dari banyak sel.
4.2.2. Lumut
1. Pogonatum sp.

Lumut ini termasuk ke dalam family Polytrichaceae dengan


karakteristik, batangnya tunggal dan tumbuh tegak, dan daunnya
sempit. Pada sisi perut tulang daun sering terdapat lamella yang
membujur, kapsul spora tegak atau mendatar, pristom terdiri dari 32-64
gigi, letak sporangiumnya bersifat akrokap, gametosit yang haploid
menghasilkan anteridium dan arkegonium menghasilkan sporofit yang
diploid. Sporofit disebut sporogonium yang hidup sebagai parasit pada
gametofitnya. Perkembangbiakan sporofit diakhiri dengan
pembentukan reduksi yaitu membentuk spora. Habitatnya pada kayu-
kayu yang telah lapuk.
2. Polytrichum commune

Lumut ini memiliki nama lain haircap tergolong ke dalam family


Polytrichaceae dengan karakteristik, tingginya mencapai 30 cm, namun
paling sering ditemukan dengan panjang 5-10 cm. Lumut ini tersebar di
seluruh garis lintang sedang dan boreal di belahan bumi utara dan
Meksiko serta beberapa di kepulauan Pasifik. Warna lumut ini hijau
gelap, tetapi terkadang kecoklatan seiring bertambahnya usia.
Batangnya bias membentuk jumbai onggar atau cukup padat dengan
koloni yang luas. Batangnya tidak bercabang meski kadang-kadang ada
yang bercabang. Tumbuhan ini paling banyak ditemukan di rawa, lahan
basah dan sepanjang aliran sungai dengan substrat kayu lapuk dan
bebatuan.
3. Andreaea rupestris

Lumut ini tergolong ke dalam family Andreaeaceae dengan


karakteristik dimana gametofitnya sudah dapat dibedakan antara batang
dan daun meskipun belum mempunyai akar selain rhizoid. Sporofit
terdiri dari kaki, seta dan kapsul. Setanya pendek, kapsul tersusun atas
kotak spora dimana di dalamnya terdapat kolumela. Struktur
sporofitnya bberbentuk lingkaran sempurna dan berwarna hijau dan
memiliki pola yang menyebar. Habitatnya di tempat yang lembab
terutama pada substrat kayu-kayu lapuk.
4. Cyampylopus atlanticus

Lumut ini tergolong ke dalam family Dicranaceae dengan


karakteristik dimana bentuk tubuhnya menyerupai tallus dengan batang
yang tegak, bercabang dan padat yang bentuknya seperti jarum dengan
urat daun lebar pada bagian pangkal serta memperlihatkan adanya
tonjolan. Pada bagianujung tangkai (seta) terdapat
sporangium.Habitatnya pada tanah yang berisi substrat kayu lapuk.
5. Polytrichum formosum

Lumut ini tergolong ke dalam family Polytrichaceae dengan


karakteristik dimana memiliki rambut-rambut halus, namun dalam
perkembangannya rambut-rambut secara khusus mengacu pada
calyptras berbulu yang ditemukan pada sporofit muda. Daunnya
sempit, bergigi dan relatif tegak. Habitatnya banyak ditemukan pada
tempat yang lembab dengan substrat kayu lapuk dan bebatuan.
4.2.3. Paku
1. Athyrium filix-femina

Paku ini tergolong ke dalam family Athyriaceae yang merupakan


paku sejati dengan karakteristik berukuran cukup besar, berbulu, hidup
hamper disemua belahan bumi utara terutama di tempat lembab dengan
lingkungan hutan yang teduh. Memiliki dua jenis daun yaitu yang
berukuran sempit dan luas. Paku ini memiliki daun yang timbul dari
titik pusat sebagai rumpun dan bukan rhizoma. Soria terletak di bawah
daun dengan bentuk menyerupai urat daun. Soria berwarna keputih-
putihan hingga coklat dengan indusium berbentuk reniformis (ginjal).
Paku ini hidup pada tanah dengan substrat kayu lapuk.
2. Dicksonia Antarctica

Paku ini tergolong ke dalam family Dicksoniaceae dengan


karakteristik dimana memiliki rimpang tegak, batang berserat,
berwarna hijau gelap, daunnya kasar. Sporanya terletak di bawah daun
dengan bentuk bulat-bulat kecil di sepanjang urat daun. Habitat paku
ini di tempat-tempat lembab, lereng hutan, dengan substrat tanah. Paku
ini dimanfaatkan sebagai sumber makanan dengan cara dimasak dan
dijadikan tepung.
3. Asplenium nidus

Paku ini tergolong ke dalam family Aspleniaceae dengan


karakteristik dimana tajuknya besar, ental-entalnya dapat mencapai
panjang 150 cm dan lebar 20 cm, dengan bentuk daun yang menyerupai
daun pisang. Peruratan daun menyirip tunggal, warna daun hijau cearh
dan menguning bila terkena cahaya matahari langsung. Spora terletak
di sisir bawah helaian pada urat-urat daun dengan sorus tertutup
semacam kantung memanjang. Ental-ental yang mongering akan
membentuk semacam “sarang” yang menumpang pada cabang-cabang
pohon.
4. Anemia tomentosa

Paku ini tergolong ke dalam family Schizaceae dengan


karakteristik dimana memiliki akar yang merayap, berambut tetapi
tidak bersisik, daun-daunnya monostichous, melilit dan
pertumbuhannya tidak dapat didefinisikan. Rantingnya biasanya tidak
panjang, ranting sekunder mengandung daun dengan bentuk menyirip
atau cabang dikotom mengandung daun yang bercuping. Terdapat pula
daun yang steril berbentuk gerigi maupun berlopus, sedangkan daun
yang fertil berjumbai sepanjang tepinya dengan cuping sempit yang
pendek dan setiap cuping mengandung dua baris sporangia yang
ditutupi dengan indusium kecil. Habitatnya ditemukan pada kayu lapuk.
5. Nephrolepis sp.

Paku ini tergolong ke dalam family Dryopteridaceae yang biasanya


dinamakan paku pedang dengan karakteristik terna epifit atau setengah
epifit, mudah dijumpai di tepi-tepi sungai, tebing atau pada batang
palem serta pohon lain. Rimpangnya tipis menyerupai akar. Dari
rimpang tumbuh ental-ental yang memanjang, dapat mencapai 1,5
meter dengan anak-anak ddaun tersusun menyirip tunggal, mirip
pedang atau mata tombak. Ujung dari urat daunnya menjari tidak
sampai menyentuh tepi daun dan bebas. Pada ujung urat daun terdapat
sporangium yang tertata dengan rapi di sepanjang tepi daun. Habitatnya
ditemukan tumbuh pada batang pohon.
6. Dipteris conjugate

Paku ini terogolong ke dalam family Dipteridaceae dengan


karakteristik lebih mirip dengan tumbuhan tingkat tinggi yaitu pada
family Araceae dengan bentuk sorus bulat dan terletak di bawah
permukaan daun dengan posisi tersebar secara tidak merata. Daunnya
sedikit kaku dengan pinggiran yang tidak rata. Sorusnya terletak pada
semua bagian di bawah daun. Habitatnya pada tanah lembab dengan
substrat kayu lapuk.
BAB V
PENUTUP

5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa:
1. Tumbuhan tingkat rendah merupakan tumbuhan yang menggunakan spora
sebagai alat perkembangbiakannya, organnya masih sangat sederhana, belum
mempunyai jaringan pengangkutan dan sebagian tumbuhan dari tumbuhan
tingkat rendah tubuhnya belum dapat dibedakan antara akar, batang dan daun
seperti alga (Thallophyta) dan lumut (Bryophyta). Namun ada tumbuhan
tingkat rendah yang sudah dapat dibedakan antara akar, batang dan daunnya
yaitu tumbuhan paku (Pteridophyta).
2. Tumbuhan bertallus (Thallophyta) memiliki tubuh yang hanya berupa tallus,
memiliki membran inti dan plastid yang beranekaragam sehingga memiliki
berbagai warna serta menggunakan spora sebagai alat perkembangbiakannya.
Dari identifikasi yang dilakukan, didapat 9 spesies alga yaitu Actinotrichia
fragilis, Ulva lactuca, Eucheuma edule, Galaxaura subvefficillata,
Eucheuma denticulatum, Gracilaria arcuata, Padina sp., Gracilaria
solicornia dan Halimeda sp.
3. Tumbuhan lumut (Bryophyta) memiliki tubuh yang lebih kompleks dari
divisi Thallophyta dimana telah memiliki akar sederhana yang disebut
rhizoid serta dari kelompok lumut daun (Musci) telah dapat dibedakan akar,
batang dan daunnya. Dari proses identifikasi yang dilakukan, didapat 5
spesies lumut yaitu Pogonatum sp., Polytrichum commune, Andreaea
rupestris, Cyampylopus atlaticus dan Polytrichum formosum.
4. Tumbuhan paku (Pterydophyta) disebut juga tumbuhan berkormus karena
telah dapat dibedakan antara akar, batang dan daunnya serta telah memiliki
jaringan pembuluh sederhana. Dari proses identifikasi yang dilakukan,
didapat 6 spesies paku yaitu Athyrium filix-femina, Dicksonia Antarctica,
Asplenium nidus, Anemia tomentosa, Nephrolepis sp. dan Dipteris conjugate.
5.2. Saran
Sebaiknya dalam melaksanakan praktikum ini, perlu adanya identifikasi
menggunakan buku dan bantuan alat lain seperti mikroskop untuk melihat
bentuk-bentuk sporanya agar identifikasi yang dilakukan tidak hanya melihat
internet dengan sumber yang belum pasti.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, R. (2015). Klasifikasi Tumbuhan Tingkat Rendah. http://blognyapgsd.


blogspot.co.id/2014/12/klasifikasi-tumbuhan-tingkat-rendah. (Diakses pada
tanggal 17 Desember 2017 Pukul 10.20 WITA).

Bold, H. C., dan Wynne, M. J. (1985). Introduction to the Algae. Prentice Hall Inc.
Eaglewood Cliffs. New Jersey.

Campbell, N. A., Reece, J. B., dan Mitchell, L.G. (2003). Biologi Edisi Kelima Jilid
1. Erlangga. Jakarta.

Daryanti, (2009). Keanekaragaman Paku-pakuan Terestrial di Taman Wisata Alam


Deleng Lancuk Kabupaten Karo. Tesis Universitas Sumatera Utara. Medan.

Duxbury, A. C., dan Duxbury, A. B. (1989). Ocean and Introduction to the World.
WM. C. Publishers. USA.

Fitrya dan Anwar, L. (2009). Uji Aktivitas Antikanker Secara In Vitro dengan Sel
Murine P-388 Senyawa Flavonoid dari Fraksi Etilasetat Akar Tumbuhan
Tunjuk Langit (Helmynthostachis Zeylanica (Linn) Hook). Jurnal Penelitian
Sains Vol. 12 (1).

Glime, J. M. (2006). Bryophyte Ecology, Volume 1. Physiological Ecology.


http://www.bryoecol.mtu.edu.

Gradstein, S. R. and Costa, D. P. (2003). The Liverworts and Hornworts of Brazil.


The New York Botanical Garden Press. New York.

Hackle, (1999). Tumbuhan Paku. CV. Duta Permana. Bandung.

Haspara, (2004). Biologi. Widya Duta. Surakarta.

Iqbal dan Ali. (2008). Sistematika Tumbuhan Cryptogamae. Erlangga. Jakarta.

Kimball, J. W. (1987). Biologi Edisi Kelima Jilid 3. Erlangga. Jakarta.

Kimball, J. W. (1999). Biologi. Erlangga. Jakarta.


Lovelles, (1989). Prinsip-Prinsip Biologi Tumbuhan Untuk Daerah Tropik 2.
Gramedia. Jakarta.

Lubis, S. R. (2009). Keanekaragaman dan Pola Distribusi Tumbuhan Paku di Hutan


Wisata Alam Taman Eden Kabupaten Toba Samosir Provinsi Sumatera Utara.
Tesis Universitas Sumatera Utara. Medan.

Pitopang, R. (2012). Struktur Dan Komposisi Vegetasi Pada 3 Zona Elevasi Yang
Berbeda Di Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah Indonesia. Jurnal
Natural Science. Vol. 1.(1): 85-105.

Sarwuni, (2003). Sistematika Tumbuhan Cryptogamae. CV. Aditama. Malang.

Sastrapradja, S., Afriastini, J. J., Darnaedi, D., dan Elizabeth. (1980). Jenis Paku
Indonesia. Lembaga Biologi Nasional. Bogor.

Sharma, O. P. (1992). Text Book of Algae. Tata McGraw-Hill Publishing Company


Lim-ited, New Delhi: 73 - 79.

Sianipa, P. (2010). Biologi. Pustaka Publisher. Yogyakarta.

Suryana. (2009). Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Paku Terestrial dan Epifit di


Kawasan PLTP Kamojang Kab. Garut Jawa barat. Jurnal Biotika, Vol. 7 (1).

Tjitrosoepomo, G. (2005). Taksonomi Tumbuhan (Schizophyta, Thallophyta,


Bryophyta, Pteridophyta). Gadjah Mada University Press: Yogyakarta.

Tjitrosomo, S., Sutarmi, H., Sudarnadi, dan Zakaria, A. (1983). Botani Umum 3.
Penerbit Angkasa. Bandung.

Widhiastuti, R., Aththorick, T. A., dan Sari, W. D. P. (2006). Struktur dan Komposisi
Tumbuhan Paku-pakuan di Kawasan Hutan Gunung Sinabung Kabupaten Karo.
Jurnal Biologi Sumatera, Vol. 1 (2).

Yudianto, S. A. (1992). Pengantar Cryptogame (Sistematika Tumbuhan Rendah).


Penerbit Torsito. Bandung.

Anda mungkin juga menyukai