Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PRAKTIKUM

FISIOLOGI HEWAN

MODUL I
TINGKAH LAKU ORIENTASI JANGKRIK

DISUSUN OLEH :
NAMA : ROSITA KUSUMA WARDANI
NIM : G40121012
KELOMPOK : VI (ENAM)
ASISTEN : REZA RISALDI

LABORATORIUM BIOSISTEMATIKA HEWAN DAN EVOLUSI


JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS TADULAKO

MARET, 2023
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perilaku merupakan tindakan yang mengubah hubungan antara organisme


dan lingkungannya. Hal ini biasa disebut sebagai aktivitas eksternal dan tidak
melibatkan banyak perubahan internal yang terus-menerus terjadi pada
makhluk hidup. Perilaku atau taksis pada hewan merupakan respon sistem
saraf terhadap rangsangan yang dapat terjadi sebagai akibat dari rangsangan
eksternal (Gundevia, 1996; Suhara, 2010).

Perilaku atau hewan diperlihatkan dalam perilaku keseharian meliputi gerak


atau berpindah tempat, mencari makan, tidur, bersuara atau menyanyi dan
banyak lagi (Levy et al., 2021). Perilaku tersebut dipengaruhi oleh
lingkungan habitat. Salah satu contoh hewan dengan kepekaan tinggi
terhadap rangsangan lingkungan adalah jangkrik.

Jangkrik merupakan hewan yang hidup secara bergerombol dan bersembunyi


pada lipatan–lipatan daun kering atau bongkahan tanah (Paimin, 1999)
Jangkrik termasuk hewan soliter yang ditandai dengan berinteraksi agresif
(Kinasih dkk, 2013). Tingkah laku jangkrik dapat berupa tindakan, reaksi,
atau dapat berfungsi sebagai satu cara tertentu untuk respon terhadap
rangsangan yang diterima baik berupa cahaya ataupun kelembaban
(Campbell, 2004). Dari uraian tersebut kurangnya pengetahuan tentang
tingkah laku orientasi pada jangkrik terhadap dua variabel yaitu fototaksis
dan hidrotaksis.

1.2 Tujuan

Tujuan pada praktikum ini adalah untuk mengetahui tingkah laku orientasi
pada jangkrik terhadap dua variabel yaitu fototaksis dan hidrotaksis.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Ilmu yang mempelajari tentang pola perilaku hewan disebut dengan etologi.
Perilaku pada hewan dapat dibagi kedalam enam unsur yaitu tropisme, taksis,
refleksi, insting, belajar dan menalar. Taksis yang merupakan suatu bentuk
sederhana dari tingkah laku hewan bagi penyesuaian terhadap keadaan
lingkungan, menunjukkan seperti apa hewan akan menunjukkan suatu orientasi
karena adanya rangsangan. Para Etiologi mencatat bahwa stimulus yang
membebaskan pola aksi tertentu umumnya menonjolkan kemunculan atau
perilaku anggota lain spesies mereka sendiri, dan mereka dapat menunjukkan
bagaimana bentuk penting komunikasi hewan dapat ditengahi dengan pola aksi
tertentu yang sedikit sederhana (Suin, 1989).

Orientasi merupakan perilaku hewan dimana hewan tersebut akan memutar


tubuhnya menjauhi atau mendekati diri kearah rangsangan. Dalam orientasi,
seekor hewan dapat menentukan arah kompas dan berjalan dalam lintasan yang
lurus untuk menempuh jarak tertentu atau hingga sampai ditempat tujuan.
Perilaku ini sangat mendasar pada setiap hewan untuk mencari makan, minum,
sinar matahari, lawan jenis, interaksi dengan anggota kelompoknya (Melles,
2004).

Fototaksis merupakan bergeraknya organisme yang mendekati atau menjauhi


cahaya. Jika gerakan tersebut menuju cahaya disebut fototaksis positif, dan jika
gerakan tersebut menjauhi cahaya disebut fototaksis negatif. Hidrotaksis
merupakan gerak seluruh bagian tubuh hewan yang disebabkan oleh adanya
rangsangan terhadap kadar air (Sokimi, 2010).

Jangkrik merupakan salah satu jenis serangga (Insecta) yang tergolong dalam
Famili Gryllidae. Jangkrik memiliki kekerabatan dekat dengan belalang dan kecoa
yaitu tergolong dalam ordo orthoptera. Sistem saraf pada jangkrik masih berupa
sistem tangga tali. Sistem saraf tangga tali terdiri dari serabut-serabut saraf yang
terletak disepanjang bagian tubuh bagian bawah (ventral). Pada setiap ruas tubuh,
sel-sel saraf membentuk simpul saraf yang disebut dengan ganglion. Ganglia
merupakan pusat pengolahan rangsangan. Setiap ganglion, memiliki serabut yang
menuju ke bagian tubuh yang berdekatan. Oleh karena itu setiap ruas tubuh
serangga dapat dikendalikan (Abdullah dkk., 2007).

Jangkrik merupakan jenis serangga kelas hexapoda (Insekta), yang memiliki ciri-
ciri badan dan anggota badan terdiri atas segmen-segmen (beruas-ruas). Badan
terbagi atas kepala (caput), bagian dada (thorax) dan badan belakang/perut
(abdomen). Kaki belakang lebih besar daripada kaki depan, memiliki ovipositor
yang panjang dan menyerupai jarum, serta memiliki metamorfosis sederhana
(telur-nimfa-dewasa), nimfa adalah anakan yang mirip dengan bentuk tubuh
dewasanya hanya saja berukuran kecil (Lilies, 2006).

Banyak tingkah laku yang terdiri atas aktifitas otot yang dapat diamati secara
eksternal dan merupakan komponen bertindak dan bereaksi. Tingkah laku
(behavior) merupakan suatu hal yang dilakukan oleh hewan dan bagaimana
hewan tersebut melakukannya dapat meliputi komponen tingkah laku yang tidak
berkaitan dengan pergerakan dan tindakan hewan yang dapat diamati (Campbell,
2004).

Habitat jangkrik yaitu di sawah, tanah lapang dan perkebunan. Pada umumnya
jangkrik hidup dengan baik pada daerah bersuhu antara 20-32°C, ketika
memasuki musim kemarau jangkrik akan mendekati sumber-sumber perairan,
seperti rumput kaso atau ilalang dipinggir sungai untuk mencari makanan
(Janwar, 2001).
BAB III

METODE PRAKTIKUM

3.1 Waktu dan Tempat

Praktikum ini dilaksanakan pada Hari Jum’at, 03 Maret 2023 pada pukul
07.30 WITA sampai dengan selesai bertempat di Laboratorium
Biosistematika Hewan dan Evolusi Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Tadulako.

3.2 Alat dan Bahan

Adapun alat yang digunakan pada praktikum ini yaitu wadah, gunting, mistar,
stopwatch dan alat tulis. Adapun bahan yang digunakan pada praktikum ini
yaitu karton hitam, serbet, air dan jangkrik.

3.3 Prosedur Kerja

Prosedur kerja pada praktikum ini yaitu pertama-tama disiapkan alat dan
bahan yang akan digunakan. Pada pengamatan kali ini, kita menggunakan 2
variabel utama lingkungan, kelembaban dan cahaya terhadap jangkrik yaitu
variabel lembab kering dan variabel gelap terang. Jangkrik yang diamati
berjumlah 10 ekor untuk tiap masing-masing lingkungan. Alat eksperimen
terdiri atas 2 buah wadah dan bahan eksperimen yang digunakan terdiri atas 1
buah karton hitam, lakban dan 2 buah serbet. Pada variabel lembab kering
wadah akan dibagi menjadi 2 bagian yang berisi setengah serbet kering dan
sisi sebelahnya adalah bagian dari serbet yang telah dibasahi dengan sedikit
air. Setelah itu masukkan jangkrik letakkan masing-masing 5 ekor hewan
pada setiap sisi wadah, kemudian jauhi dan jangan diganggu selama 10 menit.
Pada 10 menit pertama tulislah berapa ekor jangkrik yang terletak pada
masing-masing sisi, kemudian lakukan hal serupa sebanyak 3 kali. Setelah itu
data akan dikumpulkan untuk memastikan terdapat pengulangan yang cukup
untuk memproduksi hasil yang diharapkan. Kemudian melakukan hal serupa
untuk eksperimen variabel gelap terang.

Setelah data terkumpulkan, langkah selanjutnya menentukan X 2 Chi


Squarenya dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
2
2 ( Fo−Fe)
X =∑
Fe
Yang dimana, rumus diatas akan membantu dalam mengetahui hasil X 2 yang
akan didapatkan, setelah memasukkan rumusnya, selanjutnya kita melihat
dari data yang telah dikumpulkan tadi Fo berperan sebagai hasil yang
didapatkan pada saat observasi berlangsung, Fe berperan sebagai hasil
estimasi yang diinginkan yaitu sebanyak 5 ekor jangkrik. Setelah data telah
dimasukan dengan baik proses perhitungan pun dimulai, yang sehingga
dengan ketelitian kita bisa menentukan hasil yang didapatkan dalam
menentukan X2 pada Chi Square. Apabila nilai X 2 kiritikal lebih kecil dari
nilai X 2 chi-square, maka individu-individu ini tidak terdistribusi secara acak
dan dapat dikatakan tidak signifikan.
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Pengamatan

Adapun hasil pengamatan yang diperoleh dari praktikum ini yaitu :


Tabel Pengamatan Variabel Lembab Kering

Fo Fe Jumlah
No Pengulangan Lembab Kering Lembab Kering Individu
1. P1 6 4 5 5 10
2. P2 6 4 5 5 10
3. P3 7 3 5 5 10

Tabel Pengamatan Variabel Gelap Terang

Fo Fe Jumlah
No Pengulangan Gelap Terang Gelap Terang Individu
1. P1 6 4 5 5 10
2. P2 7 3 5 5 10
3. P3 8 2 5 5 10

4.2 Analisis Data


4.2.1 Percobaan Variabel Lembab Kering
Dik :
Pada Pengulangan 1
Fo Lembab : 6 Fe Lembab : 5
Fo Kering :4 Fe Kering :5

Pada Pengulangan 2
Fo Lembab : 6 Fe Lembab : 5
Fo Kering :4 Fe Kering :5
Pada Pengulangan 3
Fo Lembab : 7 Fe Lembab : 5
Fo Kering :3 Fe Kering :5
Dit : X2 … ?
Peny :
 Pengulangan 1
2
( Fo−Fe)
X2 =∑
Fe
2 2
(6−5) ( 4−5)
= +
5 5
2 2
(1) (−1)
= +
5 5
1+ 1
= 5
2
=5

= 0,4
 Pengulangan 2
2
2 ( Fo−Fe)
X =∑
Fe
2 2
(6−5) ( 4−5)
= +
5 5
2 2
(1) (−1)
= +
5 5
1+ 1
= 5
2
=5

= 0,4
 Pengulangan 3
2
2 ( Fo−Fe)
X =∑
Fe
2 2
(7−5) (3−5)
= +
5 5
2 2
(2) (−2)
= +
5 5
4+ 4
= 5
8
=5

= 1,6

P 1+ P 2+ P 3
Rata - rata X2 =
3
0 , 4+ 0 , 4+1 , 6
= 3
2,4
= 3

= 0,8
Df = a–1
= 2–1
=1
Jadi, nilai X2 uji chi–square < nilai kritikal karena
terdistribusi secara acak.

4.2.2 Percobaan Variabel Gelap Terang


Dik :
Pada Pengulangan 1
Fo Gelap :6 Fe Gelap : 5
Fo Terang :4 Fe Terang : 5

Pada Pengulangan 2
Fo Gelap :7 Fe Gelap : 5
Fo Terang :3 Fe Terang : 5
Pada Pengulangan 3
Fo Gelap :8 Fe Gelap : 5
Fo Terang :2 Fe Terang : 5

Dit : X2 … ?
Peny :
 Pengulangan 1
2
( Fo−Fe)
X2 =∑
Fe
2 2
(6−5) ( 4−5)
= +
5 5
2 2
(1) (−1)
= +
5 5
1+ 1
= 5
2
=5

= 0,4
 Pengulangan 2
2
2 ( Fo−Fe)
X =∑
Fe
2 2
(7−5) (3−5)
= +
5 5
2 2
(2) (−2)
= +
5 5
4+ 4
= 5
8
=5

= 1,6
 Pengulangan 3
2
2 ( Fo−Fe)
X =∑
Fe
2 2
(8−5) (2−5)
= +
5 5
2 2
(3) (−3)
= +
5 5
9+9
= 5
18
= 5

= 3,6

P 1+ P 2+ P 3
Rata - rata X2 =
3
0 , 4+1 , 6+3 , 6
= 3
5 ,6
= 3

= 1,9
Df = a–1
= 2–1
=1
Jadi, nilai X2 uji chi–square < nilai kritikal karena
terdistribusi secara acak.
4.3 Pembahasan

Taksis merupakan suatu gerakan hewan menuju atau menjauhi suatu


rangsangan yang terjadi. Taksis dibagi menjadi dua berdasarkan arah orientasi
dan pergerakan, yaitu taksis positif dan taksis negatif. Taksis menurut macam
rangsangannya juga dibedakan menjadi fototaksis (rangsangan cahaya).
Menurut Fraenkel dan Gunn (1961), berdasarkan tipe stimulus dan orientasi
yang dituju oleh organisme, perilaku taksis dapat dibedakan menjadi beberapa
jenis, contohnya yaitu fototaksis, geotaksis, dan kemotaksis. Fototaksis
adalah apabila stimulus yang diberikan kepada organisme berupa cahaya,
geotaksis apabila stimulusnya berupa gravitasi dan kemotaksis apabila
stimulusnya berupa zat kimia. Berdasarkan orientasinya, taksis dibedakan
menjadi taksis positif dan taksis negatif. Suatu respon organisme dikatakan
taksis positif apabila menuju arah datangnya stimulus dan dikatakan negatif
apabila organisme menjauhi arah datangnya stimulus (Glase, 1992).

Pada pengamatan jangkrik dengan percobaan variabel lembab dan kering, 10


ekor jangkrik dimasukkan didalam wadah dengan sebagian daerah wadah
diletakkan serbet yang telah dibasahi dengan sedikit air dan sebagian daerah
lainnya diletakkan serbet yang masih kering. Pada percobaan pertama
didapatkan hasil 6 ekor jangkrik berada di tempat lembab dan 4 ekor jangkrik
berada di tempat kering. Pada percobaan kedua didapatkan hasil 6 ekor
jangkrik berada di tempat lembab dan 4 ekor jangkrik berada ditempat kering
dan pada percobaan ketiga didapatkan hasil 7 ekor jangkrik berada di tempat
lembab dan 3 ekor jangkrik berada ditempat kering Hal ini membuktikan
respon yang dilakukan jangkrik adalah respon kinesis dimana jangkrik
menunjukan gerakan tidak langsung sebagai respon terhadap stimulus. Hasil
ini sesuai dengan literatur menurut Fitriani dkk (2016), yang menyatakan
jangkrik cenderung hidup di daerah lembab dengan suhu lingkungan berkisar
20°C - 32°C dan kelembapan 65% - 85%. Jangkrik tidak bisa bertahan hidup
di daerah bersuhu udara terlalu tinggi atau terlalu rendah. Jika suhu udara
terlalu tinggi, kematian jangkrik akan meningkat sehingga menurunkan
produksi. Sementara itu, suhu yang terlalu rendah akan membuat jangkrik
enggan mencari makan. Akibatnya, jangkrik akan memakan sesamanya
(kanibalisme).

Pada pengamatan jangkrik dengan percobaan variabel gelap dan terang, 10


ekor jangkrik dimasukkan didalam wadah dengan sebagian tertutup karton
hitam dan telah diberi lubang kecil di tengah botol agar oksigen dapat masuk.
Percobaan ini dilakukan sebanyak 3 kali pengulangan. Pada percobaan
pertama didapatkan hasil 6 ekor jangkrik berada ditempat gelap dan 4 ekor
jangkrik berada ditempat terang. Pada percobaan kedua didapatkan hasil 7
ekor jangkrik berada di tempat gelap dan 3 ekor jangkrik berada ditempat
terang dan pada percobaan ketiga didapatkan hasil 8 ekor jangkrik berada di
tempat gelap dan 2 ekor jangkrik berada ditempat terang hal ini membuktikan
jangkrik merupakan serangga yang pergerakannya menjauhi cahaya atau
fototaksis negatif. Hasil ini sesuai dengan literatur menurut Zuk dkk (2008),
yang menyatakan jangkrik merupakan serangga nokturnal yang cenderung
bersembunyi dan menjauhi cahaya serta hasil yang diperoleh sesuai juga
dengan literatur menurut pernyataan Sukarno (1999), yang menyebutkan
bahwa perilaku jangkrik di habitat aslinya yang lebih aktif beraktivitas pada
malam hari (nocturnal) dari pada di siang hari. Adapun hasil pada respon
jangkrik terhadap faktor lingkungannya dengan percobaan terang dan gelap
diperoleh hasil nilai Chi-square 3,8 dan kritikal 3,8 dengan hasil yang
signifikan.

Pada pengamatan jangkrik, percobaan variabel lembab kering nilai X 2 kiritikal


0,8 yang berarti kurang dari nilai X 2 chi-square dan percobaan variabel gelap
dan terang, nilai X 2 kiritikal 1,9 yang berarti kurang dari nilai X 2 chi-square,
maka individu-individu ini terdistribusi secara acak. Menurut Sukarno (1999),
Adapun hasil pada respon jangkrik terhadap faktor lingkungannya dengan
percobaan terang gelap diperoleh hasil nilai Chi-square 3,8 dan kritikal 3,8
dengan hasil yang signifikan dan dalam perlakuan lembab, kering didapatkan
nilai X 2 kiritikal 0,8 dan lebih kecil dari nilai X 2 chi-square, maka individu-
individu ini tidak terdistribusi acak dan dapat dikatakan tidak signifikan.
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengamatan yang telah diperoleh dari praktikum ini, dapat
disimpulkan bahwa perilaku organisme dalam hal ini hewan jangkrik dapat
diartikan sebagai suatu respon jangkrik terhadap rangsangan dari luar, yaitu
rangsangan cahaya dan kelembaban. Kemudian dari hasil pengamatan yang
diperoleh, dapat dikatakan hasil praktikum percobaan gelap terang, individu
jangkrik cenderung menyukai tempat gelap. Pada pengamatan perilaku
jangkrik, percobaan variabel gelap terang, nilai X 2 kiritikal 1,9 dan pada
percobaan variabel lembab kering didapatkan nilai X 2 kiritikal 0,8 dan lebih
kecil dari nilai X 2 chi-square , maka individu-individu ini terdistribusi secara
acak dan dapat dikatakan tidak signifikan.

5.2 Saran

Adapun saran yang dapat saya berikan berdasarkan pada saat pengamatan
tingkah laku orientasi jangkrik, hasil yang telah dicapai belum optimal atau
masih memiliki kekurangan, untuk itu, jika ingin melakukan penelitian
dengan topik tingkah laku orientasi jangkrik perlu dilakukan penelitian yang
lebih lanjut contohnya lebih diperhatikan faktor-faktor yang akan
mempengaruhi perilaku jangkrik juga pada saat melakukan perhitungan,
usahakan sebisa mungkin dihitung hingga mendapatkan hasil yang akurat.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M., Saktiyono, dan Lutfi. (2007). Sistem Saraf Pada Jangkrik. Jakarta:
Erlangga.

Campbell, N. A. (2004). Biologi. Edisi Kelima Jilid 3. Jakarta: Erlangga.

Fitriani, I. M., Cendikiawan, A., Kurniawan, R., Aprilia, K. T. dan Winarno, T.


(2016). Sistem Pengusir Tikus Berbunyi Jangkrik Pada Tanaman Padi
Bertenaga Surya. Malang: Politeknik Negeri Malang.

Fraenkel, G. S. and Gunn, D. L. (1961). The Orientation of Animals. Oxford:


Clarendon Press.

Glase, J. C., Zimmerman, M. C. and Waldvogel, J. A. (1992). Investigation


inOrientation Behavior. New York: Cornell University.

Gundevia, H.S. dan Singh, H.G. (1996). Animal Behavior. New Delhi: Ram
Nagar.

Janwar, F. D. (2001). Pertumbuhan dan Mortalitas Jangkrik Pada Masa


Pembesaran Dengan Kepadatan dan Jenis Pakan Tambahan Yang Berbeda.
Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Levy, K., Wegrzyn, Y., Efronny, R., Barnea, A., and Ayali, A. (2021). Lifelong
exposure to artificial light at night impacts stridulation and locomotion
activity patterns in the cricket Gryllus bimaculatus. Proceedings of the
Royal Society B, 288.

Lilies, S. C. (2006). Kunci Determinasi Serangga. Program Nasional Pelatihan


dan Pengembangan Pengendalian Hama Terpadu. Yogyakarta: Kanisius.

Melles, M. C. Jr. (2004). Ecology Concepts and Application Third edition.


McGraw Hill: New Mexico.
Paimin, F., B. (1999). Mengatasi Permasalahan Beternak Jangkrik. Jakarta: PT.
Penebar Swadaya.

Sokimi, W. dan Beverly, S. (2010). Small-scale Fishing Techniques Using Light


A Manual for Fishermen. New Caledonia: Secretariat of the Pacific
Community.

Suhara. (2010). Modul Pembelajaran Ilmu Kelakuan Hewan. Bandung: Jurusan


Pendidikan Biologi FPMIPA UPI.

Suin, N. M. (1989). Ekologi Hewan Tanah. Bandung: Institut Teknologi Bandung


Press.
Sukarno, H. (1999). Budidaya Jangkrik Cetakan I. Yogyakarta: Kanisius.

Zuk, M., Rebar, D., and Scott, S. P. (2008). Courtship song is more variable than
calling song in the field cricket Teleogryllus oceanicus. Animal Behaviour,
76(3), 1065-1071.
LEMBAR ASISTENSI

NAMA : ROSITA KUSUMA WARDANI


NIM : G40121012
KELOMPOK: VI (ENAM)
ASISTEN : REZA RISALDI

N HARI/TANGGAL KOREKSI PARAF


O

1. 06/03/2023 Revisi

ACC
2. 06/03/2023

Anda mungkin juga menyukai