Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN TETAP

PRAKTIKUM EKOFISIOLOGI HEWAN

OLEH :

OLEH :

NAM : ALI ZAINAL ABIDIN SHAHAB


NIM : 08041381722104
KELOMPOK : I (SATU)
ASISTEN : MUHAMMAD RIZKY PRATAMA

LABORATORIUM FISIOLOGI HEWAN


JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN
ALAM
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2020

Universitas Sriwijaya
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN TETAP PRAKTIKUM

EKOFISIOLOGI HEWAN

OLEH :

ALI ZAINAL ABIDIN SHAHAB


08041381722104

Telah Disetujui Dan Disahkan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mengikuti Ujian
Akhir Semester Praktikum Fisiologi Hewan

Indralaya, 26 Maret 2020

Mengetahui,

Asisten

MUHAMMAD RIZKY PRATAMA


08041281621025

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Drs. Mustafa Kamal, M. Si. Dr. Arum Setiawan, S.Si., M.Si.


NIP. 196207091992031005 NIP.197211221998031001

Dosen Pembimbing III

Dr. rer.nat. Indra Yustian, M. Si.


NIP. 1973072619970210001

Universitas Sriwijaya
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala nikmat dan
anugerah yang dilimpahkan, sehingga dapat menyelesaikan laporan tetap
praktikum Ekofisiologi Hewan ini dengan baik dan sesuai dengan jadwal.
Shalawat dan salam tidak lupa dicurahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW
yang telah membawa kita semua dari zaman kegelapan ke zaman yang penuh
dengan ilmu pengetahuan seperti sekarang ini.

Penulis menyadari bahwa laporan tetap ini masih jauh dari sempurna
karena kemampuan ilmu serta pengalaman penulis yang dimiliki masih rendah,
oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk
menyempurnakan laporan tetap praktikum Ekofisiologi Hewan ini.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua


pihak terutama kepada asisten dan pihak-pihak yang telah membantu dalam
menyelesaikan laporan tetap ini, semoga apa yang telah diberikan mempunyai arti
tersendiri bagi penulis dan bermanfaat bagi kita semua.

Indralaya,26 Maret 2020

Penyusun

Universitas Sriwijaya
DAFTAR ISI

COVER…………………………………………………………………………....
HALAMAN PENGESAHAN…………………………………………………....
KATA PENGANTAR…………………………………………………………....
DAFTAR ISI...........................................................................................................
PENDAHULUAN…………………………………………………………….......
MATERI PRAKTIKUM
1. Osmoregulasi……………......………………………………………….....
2. Termoregulasi…………………………………………………………......
DAFTAR PUSTAKA GABUNGAN …………………………………………..
LAMPIRAN GAMBAR…………………………………………………………..
COVER GABUNGAN…………………………………………………………....

Universitas Sriwijaya
PENDAHULUAN

Sebagian besar hewan dapat bertahan hidup menghadapi fluktuasi lingkungan


eksternal yang lebih ekstrem dibandingkan dengan keadaan yang dapat ditolerir
oleh setiap individu selnya. Metabolisme sangat sensitif terhadap perubahan suhu
lingkungan internal seekor hewan. Setiap species hewan yang berbeda telah
diadaptasikan terhadap kisaran suhu yang berbeda-beda, setiap hewan mempunyai
kisaran suhu yang optimum. Di dalam kisaran tersebut, banyak hewan dapat
mempertahankan suhu internal yang konstan meskipun suhu eksternalnya
berfluktuasi (Hernawati, 2014).
Kehidupan suatu organisme sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan baik
faktor fisika, faktor kimia dan biologi. Salah satu faktor yang mendukung
kehidupan organisme di perairan adalah kadar salinitas dalam perairan. Tinggi
rendahnya salinitas disuatu perairan baik itu air tawar, payau maupun perairan
asin akan mempengaruhi keberadaan organisme yang ada di perairan tersebut, hal
ini sangat terkait erat dengan tekanan osmotik dari ikan untuk melangsungkan
kehidupannya. Ikan akan mengalami stress dan bahkan akan mengalami kematian
akibat osmoregulasi yang tidak seimbang (Pamungkas, 2012).
Laju metabolisme biasanya diperkirakan dengan mengukur banyaknya
oksigen yang dikonsumsi makhluk jidup persatuan waktu. Hal ini memungkinkan
karena oksidasi dari bahan makanan memerlukan oksigen (dalam jumlah yang
diketahui) untuk menghasilkan energi yang dapat diketahui jumlahnya juga. Akan
tetapi, laju metabolisme biasanya cukup diekspresikan dalam bentuk laju
konsumsi oksigen. Beberapa faktor yang mempengaruhi laju konsumsi oksigen
antara lain: suhu, spesies hewan, ukuran badan dan aktivitas (Amir et al.,2017).
Hewan dibagi menjadi dua golongan, berdasarkan pengaruh suhu lingkungan
yaitu poikiloterm dan homoiterm. Poikiloterm suhu tubuhnya dipengaruhi oleh
lingkungan. Suhu tubuh bagian dalam lebih tinggi dibandingkan dengan suhu
tubuh luar. Hewan seperti ini biasanya disebut dengan hewan berdarah dingin, dan
hewan homoiterm sering disebut hewan berdarah panas (Yondri et al., 2009).
Perubahan suhu dapat mempengaruhi konformasi protein dan aktivitas enzim.
Apabila aktivitas enzim terganggu, reaksi dalam sel pun terganggu. Suhu

Universitas Sriwijaya
Pengaruh termoregulasi sangatlah banyak bagi hewan, suhu sangat penting
bagi kehidupan makhluk hidup. Suhu tubuh yang konstan (tidak banyak berubah)
sangat dibutuhkan oleh hewan, karena reaksi enzimatis, Peningkatan suhu dapat
meningkatkan laju reaksi metabolisme (perubahan suhu berpengaruh terhadap
energi kinetik molekul zat), Aktivitas metabolisme bergantung pada kemampuan
untuk mempertahankan suhu yang sesuai pada tubuhnya. Suhu sel yang
mengalami metabolisme akan lebih tinggi dari pada suhu mediumnya, karena
oksidasi dan glikolisis membebaskan panas.  Suhu tubuh hewan tergantung pada
keseimbangan antara cara yang cenderung menambah panas dan cara yang
cenderung mengurangi panas (Campbell et al., 2008).
Salinitas merupakan salah satu faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi
laju pertumbuhan dan konsumsi pakan. Berdasarkan informasi tersebut, maka
dilakukan penelitian pemeliharaan ikan nila pada berbagai media bersalinitas
dengan memberikan pakan secara adlibitum, untuk mengetahui pemanfaatan
energi pakannya sehingga dapat memberikan laju pertumbuhan dan efisiensi
pakan tertinggi. Dibandingkan dengan jenis – jenis ikan air tawar lain, ikan ini
memiliki beberapa keunggulan, yaitu pertumbuhannya cepat, mudah dikembang
biakkan, dan efisien terhadap pemberian makanan tambahan. Di samping itu, ikan
nila merah juga tahan (resisten) terhadap gangguan hama dan penyakit serta
mampu menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan (Rahim et al., 2015).
Salinitas di perairan menimbulkan tekanan-tekanan osmotik yang bisa
berbeda dari tekanan osmotik di dalam tubuh organisme perairan, sehingga
organisme tersebut harus melakukan mekanisme osmoregulasi di dalam tubuhnya
sebagai upaya menyeimbangkan tekanan osmotik tubuh dengan tekanan osmotik
lingkungan di luar tubuh. Lebih lanjut dinyatakan bahwa kisaran salinitas yang
efektif untuk reproduksi dan pertumbuhan tergantung dari spesies dan bervariasi
untuk tiap tingkatan umur serta dipengaruhi oleh faktor lingkungan lainnya seperti
suhu. Ikan yang berada pada kondisi lingkungan yang mempunyai tekanan
osmosis berbeda dengan tekanan osmosis dalam tubuhnya akan mengatur tekanan
osmosis dalam tubuh agar seimbang dengan lingkungannya (Pamungkas, 2012).

Universitas Sriwijaya
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Air merupakan media yang dibutuhkan organisme untuk kehidupan, tidak
terkecuali pada ikan. Berdasarkan kandungan garam yang terdapat pada perairan,
air dapat dibedakan menjadi 3 golongan besar yaitu air tawar, air payau, dan air
laut. Banyaknya kandungan garam yang terdapat di perairan disebut dengan
salinitas. Salinitas adalah konsentrasi rata-rata seluruh garam yang terdapat
didalam air laut. Salinitas dalam perairan akan mempengaruhi kelangsungan
hidup biota air di dalam perairan tersebut. Berdasarkan kandungan yang terdapat
dalam air media maka semua organisme yang terdapat didalamnya akan merespon
perubahan lingkungan atau parameter kualitas air dengan kemampuannya, baik
berupa respon biokimia maupun respon tingkah laku (Yulan et al., 2013).
Perairan pantai merupakan salah satu lahan yang dapat di manfaatkan
mengingat meningkatnya perkembangan perikanan khususnya di sektor kegiatan
budidaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pemanfaatan perairan
pantai adalah cara untuk mensiasati peningkatan produksi ikan khususnya ikan air
tawar yang bisa beradaptasi dengan perairan yang memiliki kadar garam. Lahan
tambak budidaya udang dan ikan bandeng yang tidak produktif bisa jadi peluang
untuk membudidayakan ikan nila karena sifat ikan nila yang mampu tumbuh dan
berkembang biak terhadap segala kondisi lingkungan (Susilo et al., 2012).
Salinitas merupakan salah satu faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi
laju pertumbuhan dan konsumsi pakan. Berdasarkan informasi tersebut, maka
dilakukan penelitian pemeliharaan ikan nila pada berbagai media bersalinitas
dengan memberikan pakan secara adlibitum, untuk mengetahui pemanfaatan
energi pakannya sehingga dapat memberikan laju pertumbuhan dan efisiensi
pakan tertinggi. Dibandingkan dengan jenis – jenis ikan air tawar lain, ikan ini
memiliki beberapa keunggulan, yaitu pertumbuhannya cepat, mudah dikembang
biakkan, dan efisien terhadap pemberian makanan tambahan. Di samping itu, ikan
nila merah juga tahan (resisten) terhadap gangguan hama dan penyakit serta
mampu menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan (Rahim et al., 2015).

Universitas Sriwijaya
Ikan yang hidup di air tawar meregulasi cairan osmotik internal untuk selalu
dipertahankan lebih tinggi dari pada konsentrasi osmotik lingkungannya atau
bersifat hiper-osmoregulator, sedangkan ikan laut, terutama ikan teleostei,
umumnya bersifat hipo-osmoregulator yaitu meregulasi cairan internalnya lebih
rendah dari pada lingkungannya. Untuk mengatasi problem osmotiknya, pada
umumnya ikan air tawar sedikit minum, menghasilkan urine encer dan aktif
mengabsorpsi garam dari lingkungannya melalui insang. Sebaliknya ikan laut
mengatasi problem osmotiknya dengan cara minum air laut, mengekskresikan ion
lewat insang dan urine, serta menghasilkan sedikit urine (Yulan et al., 2013).
Pada umumnya ikan air tawar dan air laut memiliki kemampuan terbatas
untuk mentoleransi perubahan salinitas medium atau bersifat stenohaline, namun
di antara ikan ada yang memiliki kemampuan besar untuk mentoleransi perubahan
salinitas medium dengan rentang yang luas atau disebut bersifat eurihaline.
Ikan nila adalah jenis ikan yang termasuk bersifat eurihaline, namun demikian
bagaimana dan sampai seberapa jauh ikan nila mampu merespons terhadap
perubahan faktor lingkungan masih perlu untuk dikaji (Susilo et al., 2012).
Salinitas di perairan menimbulkan tekanan-tekanan osmotik yang bisa
berbeda dari tekanan osmotik di dalam tubuh organisme perairan, sehingga
organisme tersebut harus melakukan mekanisme osmoregulasi di dalam tubuhnya
sebagai upaya menyeimbangkan tekanan osmotik tubuh dengan tekanan osmotik
lingkungan di luar tubuh. Lebih lanjut dinyatakan bahwa kisaran salinitas yang
efektif untuk reproduksi dan pertumbuhan tergantung dari spesies dan bervariasi
untuk tiap tingkatan umur serta dipengaruhi oleh faktor lingkungan lainnya seperti
suhu. Ikan yang berada pada kondisi lingkungan yang mempunyai tekanan
osmosis berbeda dengan tekanan osmosis dalam tubuhnya akan mengatur tekanan
osmosis dalam tubuh agar seimbang dengan lingkungannya (Pamungkas, 2012).

1.2. Tujuan Praktikum


Tujuan praktikum ini adalah untuk mengetahui batas kisaran salinitas
organisme air tawar.

Universitas Sriwijaya
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Osmoregulasi


Osmoregulasi adalah suatu bentuk adaptasi dan pengaturan tubuh hewan air
laut dan air tawar yang hidup pada lingkungan dengan salinitas yang rendah
daripada konsentrasi dalam tubuhnya sehingga hewan tersebut harus
mempertahankan kadar garamnya. Hewan ini mengeluarkan urine hipoosmotik
dan mengganti garam yang hilang dengan mengabsorbsi melalui ginjal. Tingkat
salinitas yang berbeda menyebabkan terjadinya perubahan kadar garam antara
media dan plasma darah (Susilo et al., 2012).
Osmoregulasi adalah proses pengaturan konsentrasi cairan dengan
menyeimbangkan pemasukkan serta pengeluaran cairan tubuh oleh sel atau
organisme hidup, atau pengaturan tekanan osmotik cairan tubuh yang layak bagi
kehidupan sehingga proses-proses fisiologis dalam tubuh berjalan normal.
Osmoregulasi adalah pengaturan tekanan osmotik cairan tubuh yang layak bagi
kehidupan ikan sehingga proses proses fisiologis tubuhnya berjalan normal.
Salinitas berhubungan erat dengan proses osmoregulasi dalam tubuh ikan yang
merupakan fungsi fisiologis yang membutuhkan energi. Organ yang berperan
dalam proses tersebut antara lain ginjal, insang, kulit, dan membran mulut dengan
berbagai cara (Pamungkas, 2012).

2.2. Osmoregulasi pada Ikan


Osmoregulasi juga berfungsi ganda sebagai sarana untuk membuang zat-zat
yang tidak diperlukan oleh sel atau organisme hidup. Osmoregulasi sangat penting
pada hewan air karena tubuh ikan bersifat permeabel terhadap lingkungan maupun
larutan garam. Sifat fisik lingkungan yang berbeda menyebabkan terjadinya
perbedaan proses osmoregulasi antara ikan air tawar dengan ikan air laut. Pada
ikan air tawar, air secara terus-menerus masuk ke dalam tubuh ikan melalui
insang. Ini secara pasif berlangsung melalui suatu proses osmosis yaitu, terjadi
sebagai akibat dari kadar garam dalam tubuh ikan yang lebih tinggi dibandingkan
dengan lingkungannya (Yulan et al., 2013).

Universitas Sriwijaya
Ikan air tawar harus selalu menjaga dirinya agar garam tidak melarut dan
lolos ke dalam air. Garam-garam dari lingkungan akan diserap oleh ikan
menggunakan energi metaboliknya. Ikan mempertahankan keseimbangannya
dengan tidak banyak minum air, kulitnya diliputi mucus, melakukan osmosis
lewat insang, produksi urinnya encer, dan memompa garam melalui sel-sel khusus
pada insang. Secara umum kulit ikan merupakan lapisan kedap, sehingga garam di
dalam tubuhnya tidak mudah bocor ke dalam air. Satu-satunya bagian ikan yang
berinteraksi dengan air adalah insang (Susilo et al., 2012).
Cairan tubuh ikan air tawar mempunyai tekanan yang lebih besar dari
lingkungan sehingga garam-garam cenderung keluar dari tubuh. Sedangkan ikan
yang hidup di air laut memiliki tekanan osmotik lebih kecil dari lingkungan
sehingga garam-garam cenderung masuk ke dalam tubuh dan air akan keluar.
Agar proses fisiologis di dalam tubuh berjalan normal, maka diperlukan suatu
tekanan osmotik yang konstan. Pada ikan air laut terjadi kehilangan air dari dalam
tubuh melalui kulit dan kemudian ikan akan mendapatkan garam-garam dari air
laut yang masuk lewat mulutnya (Rahim et al., 2015).
Organ dalam tubuh ikan menyerap ion-ion garam seperti Na+, K+, dan Cl-,
serta air masuk ke dalam darah dan selanjutnya disirkulasi. Selanjutnya, insang
ikan akan mengeluarkan kembali ion-ion tersebut dari darah ke lingkungan luar
Sifat osmotik air berasal dari seluruh elektrolit yang larut dalam air tersebut di
mana semakin tinggi salinitas maka konsentrasi elektrolit makin besar sehingga
tekanan osmotiknya makin tinggi. Air laut mengandung 6 elemen terbesar, yaitu
Cl-, Na+, Mg2+, Ca2+, K+, dan SO42- (lebih dari 90% dari garam terlarut) ditambah
elemen yang jumlahnya kecil (unsur mikro) seperti Br -, Sr2+, dan B+ (Yulan et al.,
2013).
Pada saat ikan sakit, luka atau stres, proses osmosis akan terganggu
sehingga air akan lebih banyak masuk ke dalam tubuh ikan dan garam lebih
banyak keluar dari tubuh. Akibatnya beban kerja ginjal ikan untuk memompa air
keluar dari dalam tubuhnya meningkat. Apabila hal tersebut terus berlangsung
dapat menyebabkan ginjal menjadi rusak sehingga ikan mati. Pada keadaan
normal ikan mampu memompa air kurang lebih 1/3 dari bobot total tubuhnya
setiap hari (Pamungkas, 2012).

Universitas Sriwijaya
BAB 3
METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat


Praktikum ini dilaksanakan pada hari Kamis, tanggal 06 Februari 2020, pukul
10.00 WIB sampai dengan 12.00 WIB. Bertempat di Laboratorium Fisiologi
Hewan, Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Sriwijaya, Indralaya.

3.2. Alat dan Bahan


Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah timbangan analitik, gelas
ukur, akuarium. Sedangkan bahan yang dibutuhkan adalah garam iodium, ikan
nila (Oreochromis niloticus), air panas dan air dingin.

3.3. Cara Kerja


3.3.1. Pengamatan Tekanan Osmosis Pada Salinitas Berbeda
Dimasukkan air ke dalam akuarium sebanyak 1 liter, lalu diukur suhu
airnya (T). Kemudian timbang garam dapur (NaCl) dengan berat 5.85 g, 11.70 g,
17.55 g, 23.40 g, 29.25 g, 29.25 g, dan 35.10 g. Selanjutnya masukkan ikan nila
kedalam masing-masing akuarium, lalu diamati setiap 10 menit sekali dengan
parameter perilaku, morfologi maupun anatomi dari ikan nila.
3.3.2. Pengamatan Tekanan Osmosis Pada Temperatur Berbeda
Dimasukkan air ke dalam akuarium sebanyak 1 liter, lalu tambahkan garam
dapur (NaCl) sebanyak 5.85 g. Selanjutnya masukkan ikan nila kedalam masing-
masing akuarium, dengan temperatur yang berbeda dimulai dari 28ºC, 30ºC, 32ºC,
34ºC, 36ºC, dan 38ºC. Lalu diamati setiap 10 menit sekali dengan parameter
perilaku, morfologi maupun anatomi dari ikan nila.

Universitas Sriwijaya
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil
Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan, didapatkan hasil sebagai
berikut:
4.1.1. Perhitungan Tekanan Osmotik (Po) Ikan Nila Pada Berbagai Salinitas
Salinitas 5,85 g 11,70 g 17,55 g 23,40 g 29,25 g 35,1 g
Po 0,24682 0,49364 0,74046 0,98728 1,2341 1,48092
Perhitungan :
Diketahui suhu (T) tetap 28oC (310 K)
Mr NaCl 58,5 dan Vair 10 l

Po =

= 0,1 . 0,082 . 301


10
= 0,24682 atm

Po =

= 0,2 . 0,082 . 301


10
= 0,49364 atm

Po =

= 0,3 . 0,082 . 301


10
= 0,74046 atm

Universitas Sriwijaya
4.1.2. Grafik Hasil Perhitungan

(Salinitas)
35,1

29,25

23,4

17,55

11,7

5,85 (Po)
0,2436 0,4936 0,7405 0,9873 1,2341 1,4809

4.1.3. Pengamatan Perilaku Ikan Nila Pada Salinitas 5,85 g

Waktu Perilaku
10 menit  Tubuh ikan tidak seimbang
 Tubuh ikan cenderung miring
 Operculum kurang terbuka
20 menit  Pergerakan ikan melambat
 Mengeluarkan lendir
 Pingsan
30 menit  Pingsan
 Mata buram atau abu-abu

4.2. Hasil Ikan Nila Pada Berbagai Suhu


4.2.1. Hasil Perhitungan Tekanan Osmotik (Po) Ikan Nila Pada Berbagai Suhu
Suhu 28oC 30oC 32oC 34oC 36oC 38oC
Po 0,24682 0,24846 0,2501 0,25174 0,25338 0,25502
Perhitungan :
Diketahui salinitas tetap 5,85 (n = 0,1 M)
Mr NaCl 58,5 dan Vair 10 l
Po =

= 0,1 . 0,082 . 301

Universitas Sriwijaya
10
= 0,24682 atm

Po =

= 0,1 . 0,082 . 303


10
= 0,24846 atm

Po =

= 0,1 . 0,082 . 305


10
= 0,2501 atm

4.2.1. Pengamatan Perilaku Ikan Nila Pada Suhu 28oC

Waktu Perilaku
10 menit  Keadaan tubuh masih normal
20 menit  Terdapat selaput putih pada sebelah mata
30 menit  Keluar lendir dari mulut
 Keadaan tubuh masih normal

4.2.2. Grafik Hasil Perhitungan


Suhu (oC)
38

36

34

32

30

28 Po
0,24682 0,24846 0,2501 0,25174 0,25338 0,25502

Universitas Sriwijaya
4.3. Hasil Ikan Nila Pada Berbagai Suhu
4.3.1. Hasil Perhitungan Tekanan Osmotik (Po) Ikan Nila Pada Berbagai Suhu
Suhu 28oC 25oC 20oC 15oC 10oC 5oC
Po 0,24682 0,24846 0,2501 0,25174 0,25338 0,25502
Perhitungan :
Diketahui salinitas tetap 5,85 (n = 0,1 M)
Mr NaCl 58,5 dan Vair 10 l

Po =

= 0,1 . 0,082 . 301


10
= 0,24682 atm

Po =

= 0,1 . 0,082 . 298


10
= 0,24436 atm

Po =

= 0,1 . 0,082 . 293


10
= 0,24026 atm

4.2.1. Pengamatan Perilaku Ikan Nila Pada Suhu 28oC

Waktu Perilaku
10 menit  Keadaan tubuh masih normal
20 menit  Terdapat selaput putih pada sebelah mata
30 menit  Keadaan tubuh masih normal

4.2.2. Grafik Hasil Perhitungan


Suhu (oC)

Universitas Sriwijaya
30

25

20

15

10

5
0,24682 0,24436 0,24026 0,23616 0,23206 0,22796
Po

4.2. Pembahasan

Universitas Sriwijaya
Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan, didapatkan hasil tentang
perilaku ikan nila pada salinitas yang tinggi, massa natrium klorida atau garam
dapur yang digunakan sebanyak 22,5 gram. Perilaku ikan nila pada salinitas yang
tinggi ini, pergerakan mulut ikan nila cepat, gerakan operkulumnya banyak dan
banyak mengeluarkan lendir. Menurut Rahim et al., (2015), Salinitas yang terlalu
tinggi dapat mempengaruhi pertumbuhan berat ikan menjadi tidak optimal,
sedangkan untuk salinitas yang sesuai dengan kondisi kemampuan dalam sistem
osmoregulasi pada ikan air tawar maupun ikan laut dan perilaku ikan nila banyak
mengeluarkan lendir dan pergerakan mulutnya menjadi cepat.
Ukuran tubuh ikan nila juga sangat mempengaruhi tekanan osmotik ikan
nila. Semakin besar tubuh ikan nila maka kemampuan pengaturan
osmoregulasinya juga semakin baik. Menurut Taufik dan Kusrini (2016),
Kemungkinan ikan yang berukuran lebih besar mempunyai kemampuan mengatur
cairan tubuh yang lebih baik. Kesempurnaan organ dari ikan uji merupakan salah
satu faktor utama yang mendukung keberhasilan dari adaptasi ikan-ikan uji yang
digunakan terhadap perlakuan yang diberikan.
Suhu juga sangat mempengaruhi tekanan osmotik ikan nila. Berdasarkan
hasil praktikum yang diperolah yang diujikan pada suhu tinggi 280C dan 360C dan
suhu rendah 50C. Saat diujikan pada suhu 280C dan 360C, ikan agresif, gerakan
mulut agak cepat dan pergerakannya mulai tidak seimbang. Sedangkan pada suhu
50C, ikan agak lemas, tidak banyak melakukan pergerakan dan pada waktu 30
menit ikan sudah pingsan dan tergeletak lemas di akuarium. Hal ini membuktikan
bahwa suhu tubuh ikan berubah tergantung suhu lingkungan atau poikiloterm.
Menurut Moro et al., (2017), Semua proses fisiologis ikan sangat dipengaruhi
oleh suhu lingkungannya karena ikan termasuk hewan poikiloterm.
Ikan nila termasuk ikan air tawar, dimanba di dalam tubuh ikan nila bersifat
hiperosmotik sedangkan di lingkungannya bersifat hipoosmotik. Ketika ikan nila
dimasukkan ke air asin atau air laut. Maka tekanan osmotik ikan nila akan tinggi
atau sulit untuk homeostasis. Menurut Rahim et al., (2015), ikan nila akan mati
saat dimasukkan ke air laut karena di dalam tubuh ikan nila bersifat hiperosmotik
yang menyebabkan selnya mengalami lisis ketika di air laut.
BAB 5

Universitas Sriwijaya
KESIMPULAN

Berdasarkan hasil praktikum fisiologi hewan yang telah dilakukan didapatkan


bahwa :
1. Penambahan kosentarsi garam membuat ikan air tawar tidak mampu lagi
mempertahankan hidupnya karena ikan tidak mampu mengisotonikkan
kondisi tubuhnya dengan lingkungan karna kadar garam yang terlalu tinggi.
2. Proses osmoregulasi diperlukan karena adanya perbedaan konsentrasi cairan
tubuh dengan lingkungan di sekitarnya.
3. Berdasarkan kemampuannya bertahan hidup pada salinitas tertentu,
maka hewan dibagi menjadi dua tipe yaitu hewan eurihalin dan stenohalin.
4. Osmoregulasi juga memiliki fungsi ganda yaitu untuk membuang zat-zat
yang tidak diperlukan oleh sel atau organisme hidup.
5. Osmoregulasi dapat dikatakan sebagai mekanisme pengontrolan
keseimbangan osmotik internal dan lingkungan eksternal.

BAB 1

Universitas Sriwijaya
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sebagian besar hewan dapat bertahan hidup menghadapi fluktuasi lingkungan
eksternal yang lebih ekstrem dibandingkan dengan keadaan yang dapat ditolerir
oleh setiap individu selnya. Metabolisme sangat sensitif terhadap perubahan suhu
lingkungan internal seekor hewan. Setiap spesies hewan yang berbeda telah
diadaptasikan terhadap kisaran suhu yang berbeda-beda, setiap hewan mempunyai
kisaran suhu yang optimum. Di dalam kisaran tersebut, banyak hewan dapat
mempertahankan suhu internal yang konstan meskipun suhu eksternalnya
berfluktuasi (Hernawati, 2014).
Hewan yang mampu mempertahankan suhu tubuhnya disebut homoiterm,
sedangkan hewan yang tidak mampu mempertahankan suhu tubuh disebut
poikiloterm. Suhu tubuh pada kebanyakan hewan dipengaruhi oleh suhu
lingkungannya. Ada hewan yang dapat bertahan hidup pada kisaran suhu - 2 oC,
sementara hewan lainnya dapat hidup pada suhu 50oC, misalnya hewan yang
hidup digurun (Amir et al., 2017).
Suhu merupakan salah satu faktor pendukung yang paling mumpuni di dalam
segala hal, suhu sangat berpengaruh bagi aktivitas manusia dan bahkan tubuh
manusia sendiri memerlukan suhu optimum untuk beraktifitas. Suhu tubuh adalah
besaran yang menyatakan panas atau dinginnya tubuh seseorang. Panas adalah
energi termis yang mengalir dari suatu benda ke benda lain atau dapat diartikan
dari suhu yang tinggi ke suhu yang rendah atau dapat juga merupakan ukuran
suhu tubuh tanpa dan atau dengan pengaruh lingkungan (Campbell et al., 2008).
Perubahan suhu tubuh dapat mempengaruhi konformasi protein dan enzim.
Apabila aktivitas enzim terganggu, maka aktivitas sel dalam tubuh pun akan
terganggu. Dengan demikian, perubahan suhu tubuh akan mempengaruhi
kecepatan reaksi metabolism didalam sel. Kedua, perubahan suhu tubuh
berpengaruh terhadap energi kinetikyang dimiliki oleh setiap molekul zat
sehingga peningkatan suhu tubuh akan memberi peluang yang lebih besar kepada
berbagai partikel zat untuk saling bertumbukan (Junaidi et al., 2018).

Universitas Sriwijaya
Pengaruh termoregulasi sangatlah banyak bagi hewan, suhu sangat penting
bagi kehidupan makhluk hidup. Suhu tubuh yang konstan (tidak banyak berubah)
sangat dibutuhkan oleh hewan, karena reaksi enzimatis, Peningkatan suhu dapat
meningkatkan laju reaksi metabolisme (perubahan suhu berpengaruh terhadap
energi kinetik molekul zat), Aktivitas metabolisme bergantung pada kemampuan
untuk mempertahankan suhu yang sesuai pada tubuhnya. Suhu sel yang
mengalami metabolisme akan lebih tinggi dari pada suhu mediumnya, karena
oksidasi dan glikolisis membebaskan panas.  Suhu tubuh hewan tergantung pada
keseimbangan antara cara yang cenderung menambah panas dan cara yang
cenderung mengurangi panas (Campbell et al., 2008).
Tingginya suhu lingkungan di daerah tropis pada siang hari dapat mencapai
34ºC dapat mengakibatkan terjadinya penimbunan panas dalam tubuh,
sehingga ternak mengalami cekaman panas. Ayam broiler termasuk hewan
homeothermis dengan suhu nyaman 24ºC, akan berusaha mempertahankan suhu
tubuhnya dalam keadaan relative konstan antara lain melalui peningkatan
frekuensi pernafasan dan jumlah konsumsi air minum serta penurunan konsumsi
ransum. Akibatnya, pertumbuhan ternak menjadi lambat dan produksi menjadi
rendah.Tingginya suhu lingkungan dapat juga menyebabkan terjadinya cekaman
oksidatif dalam tubuh, sehingga menimbulkan munculnya radikal bebas yang
berlebihan.
Tingginya suhu lingkungan di daerah tropis pada siang hari dapat mencapai
34ºC dapat mengakibatkan terjadinya penimbunan panas dalam tubuh, sehingga
ternak mengalami cekaman panas. Ayam broiler termasuk hewan homeothermis
dengan suhu nyaman 24ºC, akan berusaha mempertahankan suhu tubuhnya dalam
keadaan relatif konstan (Amir et al., 2017).

1.3. Tujuan Praktikum


Tujuan praktikum ini adalah untuk mengetahui perubahan suhu tubuh pada
keadaan suhu lingkungan yang berbeda pada hewan poikiloteren dan homoioterm
serta mempelajari perubahan metabolism pada hewan homoioterm pada keadaan
lingkungan yang berbeda.

Universitas Sriwijaya
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Termoregulasi


Termoregulasi adalah suatu mekanisme makhluk hidup untuk
mempertahankan suhu internal agar berada di dalam kisaran yang dapat ditolelir.
Suhu berpengaruh kepada tingkat metabolisme. Suhu yang tinggi akan
menyebabkan aktivitas molekul-molekul semakin tinggi karena energi kinetiknya
makin besar dan kemungkinan terjadinya tumbukan antara molekul satu dengan
molekul lain semakin besar pula. Akan tetapi, kenaikan aktivitas metabolisme
hanya akan bertambah seiring dengan kenaikan suhu hingga batas tertentu saja.
Hal ini disebabkan metabolisme di dalam tubuh diatur oleh enzim (salah satunya)
yang memiliki suhu optimum dalam bekerja (Campbell et al., 2008).
Termoregulasi adalah pengaturan suhu tubuh yang bergantung kepada
produksi panas melalui metabolisme dan pelepasan panas tersebut ke lingkungan,
atau suatu proses yang terjadi pada hewan untuk mengatur suhu tubuhnya supaya
tetap konstan, paling tidak, suhu tubuhnya tidak mengalami perubahan yang
terlalu besar. Panas adalah sebuah bentuk energi yang ditransmisikan dari suatu
tubuh ke yang lainnya karena adanya perbedaan suhu. Suhu mengacu pada
kemampuan tubuh untuk menyerap panas. Energi didefinisikan sebagai kapasitas
untuk melakukan kerja. Energi yang dibutuhkan untuk mendukung fungsi normal
tubuh ternak seperti respirasi, pencernaan dan metabolisme untuk pertumbuhan
dan produksi susu (Hernawati, 2014).

2.2. Mekanisme Termoregulasi


Pusat pengaturan suhu tubuh yang berfungsi sebagai termostat tubuh adalah
suatu kumpulan neuron-neuron di bagian anterior hypothalamus yaitu preoptic
area. Area ini menerima impuls-impuls syaraf dari termoreseptor dari kulit dan
membran mukosa serta dalam hipotalamus. Neuron-neuron pada area peroptic
membangkitkan impuls syaraf pada frekuensi tinggi ketika suhu darah meningkat
dan frekuensi berkurang jika suhu tubuh menurun. Impuls-impuls syaraf dari area
preoptic menyebar menjadi 2 bagian dari hipotalamus diketahui sebagai pusat

Universitas Sriwijaya
hilang panas dan pusat peningkatan panas, dimana ketika distimulasi oleh area
preoptic, mengatur kedalam serangkaian respon operasional yang meningkatkan
dan menurunkan suhu tubuh secara berturut-turut (Campbell et al., 2008).
Hypotalamus mengontrol suhu tubuh sebagaimana kerja termos.
Hypotalamus mengandung sekelompok sel- sel saraf yang berfungsi sebagai
thermostat, merespon suhu tubuh di luar kisaran normal dengan mengaktivasi
mekanisme-mekanisme yang mendorong pelepasan atau perolehan panas. Suhu
tubuh dikisaran normal, thermostat menghambat mekanisme kehilangan panas
dan mengaktivasi penghematan panas dengan menyempitkan pembuluh darah,
penegakan bulu rambut dan merangsang mekanisme- mekanisme penghasil panas.
Mekanisme pengaturan suhu tubuh manusia erat kaitannya antara kerja sama
system syaraf baik otonom, somatic dan endokrin (Junaidi et al., 2018).

Respon terhadap suhu tubuh yang meningkat, thermostat mematikan


mekanisme retensi panas dan mendorong pendinginan tubuh melalui vasolidasi,
berkeringat atau terengahengah. Proses kehilangan panas melalui kulit
dimungkinkan karena panas diedarkan melalui pembuluh darah dan juga disuplai
langsung ke fleksus arteri kecil melalui anastomosis arteriovenosa yang
mengandung banyak otot. Kecepatan aliran dalam fleksus arteriovenosa yang
cukup tinggi (kadang mencapai 30% total curah jantung) akan menyebabkan
konduksi panas dari inti tubuh ke kulit menjadi sangat efisien (Amir et al., 2017).
Jika terjadi penurunan suhu tubuh inti, maka akan terjadi mekanisme
homeostasis yang membantu memproduksi panas melalui mekanisme feed back
negatif untuk dapat meningkatkan suhu tubuh ke arah normal. Thermoreseptor di
kulit dan hipotalamus mengirimkan impuls syaraf ke area preoptic dan pusat
peningkata panas di hipotalamus, serta sel neurosekretory hipotalamus yang
menghasilkan hormon TRH (Thyrotropin releasing hormon) sebagai tanggapan.
hipotalamus menyalurkan impuls syaraf dan mensekresi TRH, yang sebaliknya
merangsang Thyrotroph di kelenjar pituitary anterior untuk melepaskan TSH
(Thyroid stimulating hormon). Impuls syaraf dihipotalamus dan TSH kemudian
mengaktifkan beberapa organ efektor (Hernawati, 2014).

Universitas Sriwijaya
BAB 3
METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat


Praktikum ini dilaksanakan pada hari selasa, tanggal 05 Maret 2020 pukul 10.00
sampai 12.00. Bertempat di Laboratorium Fisiologi Hewan, Jurusan Biologi, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sriwijaya, Indralaya.

3.2. Alat dan Bahan


Alat yang digunakan pada praktikum ini yaitu respirometer, thermometer, kaleng
atau toples, kantong plastic dan timbangan. Sedangkan bahan yang digunakan yaitu
KOH 20%, methilen blue, Vaseline, es batu, kapas, Mus musculus L, dan Rana
cancrivora L.

3.3. Cara Kerja


Kapas dibasahi dengan KOH 20%, diletakkan didasar botol dan dipasang kawat
penyangga, dimasukkan larutan brodie ke pipa gelas U dan ditandai ketinggian cairan
dengan marker (pastikan siring pada posisi tertarik keluar dan posisi nol), setelah itu
mencit ditimbang dan dicatat beratnya, kemudian mencit dimasukkan ke dalam botol
kemudian ditutup dengan rapat, dengan menambah Vaseline agar tidak ada udara
yang masuk.
Selanjutnya dicatat perilaku/ keadaan dan perilaku hewan uju sepanjang
perlakuan, mencit didiamkan beberapa saat, kemudian siring ditekan hingga larutan
methilen blue berada pada posisi mareker (to), saat mencit dalam botol mengkonsumsi
oksigen, air berwarna pada tubing gelas akan bergerak menuju mencit, kemudian
dikembalikan berwarna ke posisi semula, siring didorong, dan pergeseran siring
menunjukkan volume oksigen yang telah dikonsumsi.
Selanjutnya dicatat hasil pembacaan siring setiap 2 menit selama 10 menit
kedalam table, diulangi percobaan ini dengan katak dan hasilnya dicatat dalam table,
dibuat grafik jumlah oksigen yang dikonsumsi per organisme persatuan waktu. Dibuat
grafik kedua, yaitu jumlah oksigen per gram organisme, terhadap satuan waktu.
Diulangi percobaan diatas dengan mencit dan katak (diturunkan suhu dalam botol),

Universitas Sriwijaya
botol respirometer dimasukkan ke dalam kaleng dan diletakkan kantong plastic berisi
es di sekitar botol. Diturunkan suhu hingga 10˚C, buatlah kembali dua grafik seperti
percobaan sebelumnya terakhir data di tulis dalam tabel.

Universitas Sriwijaya
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil
Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan, didapatkan hasil sebagai
berikut:
4.1.1. Konsumsi O2 oleh organisme pada suhu panas (T0H0)
O2 yang dikonsumsi
Waktu (Menit)
Katak Hangat Mencit Hangat
0 0 0
1 0 0
2 0 0
3 0 0

4.1.2. Konsumsi O2 oleh organisme pada suhu dingin (T0H0)


O2 yang dikonsumsi
Waktu (Menit)
Katak Dingin Mencit Dingin
0 0 0
1 0 0
2 0 0
3 0 0

4.1.3. Laju Metabolisme


Hewan Berat Konsumsi Laju Q10 Suhu Perilaku
Uji Badan O2 (ml) Konsumsi
(g) O2

Universitas Sriwijaya
(ml/g.BB)
Mencit 21,24 0 0 0 290C Pergerakan
Hangat aktif
Mencit 21,05 0 0 0 140C Pergerakan
Dingin Pasif dan
banyak
Menjilat
rambut
Katak 12,56 0 0 0 320C Pergerakan
Hangat Aktif
Katak 11,08 0 0 0 160C Pergerakan
Dingin Pasif

Grafik Laju Konsumsi

4.2. Pembahasan
Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan maka didapatkan hasil bahwa
pada percobaan laju metabolisme pada katak dilakukan pada suhu hangat dan
dingin. Perilaku katak mengalami perubahan, pada suhu 320C katak bergerak aktif
dan pada suhu 160C katak menjadi pasif. Menurut Junaidi et al. (2018), katak

Universitas Sriwijaya
merupakan hewan poikiloterm dimana suhu tubuhnya selalu berubah sesuai
dengan suhu lingkungannya. Cara adaptasi katak terhadap suhu sangat panas
dengan meningkatkan laju penguapan melalui kulitnya. Sedangkan cara adaptasi
katak terhadap suhu sangat dingin dengan menambah zat terlarut kedalam cairan
tubuhnya untuk meningkatkan konsentrasi osmotik. Laju konsumsi oksigen katak,
baik pada suhu panas maupun suhu dingin, tidak menunjukkan hasil.
Percobaan laju metabolisme pada mencit dilakukan pada suhu hangat dan
dingin. Perilaku mencit mengalami perubahan, pada suhu 29 0C mencit bergerak
aktif dan pada suhu 140C mencit menjadi pasif. Menurut Tamzil (2014), pada
hewan homoiterm suhunya lebih stabil. Hal ini dikarenakan adanya reseptor
dalam otak sehingga dapat mengatur suhu tubuh. Hewan homoiterm dapat
melakukan aktifitas pada suhu lingkungan yang berbeda akibat dari kemampuan
mengatur suhu tubuh. Hewan homoiterm mempunyai variasi temperatur normal
yang dipengaruhi oleh faktor umur, faktor kelamin, dan faktor lingkungan. Laju
konsumsi oksigen mencit, baik pada suhu panas maupun suhu dingin, tidak
menunjukkan hasil.
Berdasarkan pengaruh suhu lingkungan terhadap suhu hewan, maka
hewan dibagi menjadi dua golongan, yaitu poikioterm dan homoioterm.
Menurut Campbell et al., (2008), hewan poikiloterm adalah hewan yang sangat
bergantung pada suhu di lingkungan luarnya untuk meningkatkan suhu tubuhnya
karena panas yang dihasilkan dari keseluruhan sistem metabolismenya hanya
sedikit. Suhu tubuh hewan ini berubah sesuai dengan suhu lingkungannya.
Sedangkan Hewan homoiterm adalah hewan yang suhu tubuhnya berasal dari
produksi panas di dalam tubuh, yang merupakan hasil samping dari metabolisme
jaringan. Suhu tubuh hewan ini relatif konstan, tidak terpengaruh oleh suhu
lingkungan disekitarnya.

BAB 5
KESIMPULAN

Berdasarkan hasil praktikum perkembangan hewan yang telah dilakukan


didapatkan bahwa :

Universitas Sriwijaya
1. Berdasarkan pengaruh suhu lingkungan terhadap suhu hewan, maka hewan
dibagi menjadi dua golongan, yaitu poikioterm dan homoioterm.
2. Hewan poikiloterm adalah hewan yang sangat bergantung pada suhu di
lingkungan luarnya untuk meningkatkan suhu tubuhnya karena panas yang
dihasilkan dari keseluruhan sistem metabolismenya hanya sedikit.
3. Hewan homoiterm adalah hewan yang suhu tubuhnya berasal dari produksi
panas di dalam tubuh, yang merupakan hasil samping dari metabolisme
jaringan.
4. Katak merupakan hewan poikiloterm dimana suhu tubuhnya selalu berubah
sesuai dengan suhu lingkungannya.
5. Mencit merupakan hewan homoiterm yang suhu tubuhnya lebih stabil.

DAFTAR PUSTAKA

Amir, A., Purwanto. B. P., Dan Idat, G. 2017. Respon Termoregulasi Sapi Perah
Pada Energi Ransum Yang Berbeda. JITP. 5(2): 72-79.

Universitas Sriwijaya
Campbell, N. A., Dan J. B. Reece. 2008. Biologi Edisi Ke 8 Jilid 1.
(Diterjemahkan Dari : Biology Eighth Edition, Penerjemah : D.T.
Wulandari). Jakarta: Erlangga.
Hernawati. 2014. Peranan Jaringan Adiposa Coklat (Brown Adipose Tissue)
Pada Hewan Yang Mengalami Hibernasi. Bandung: Universitas Pendidikan
Indonesia.
Junaidi, N. S., Daruwati, I., Febriani, Y., Rindi G. H. 2018. Keterkaitan Fisika
Dalam Pembelajaran Sistem Adaptasi Tubuh Manusia Terhadap Perubahan
Suhu The Relation Of Physics Learning In Human Body System Of
Adaptation To Changes In Temperature. Collaborative Medical Journal
(Cmj). 1(3): 10-23.
Lantu, S. 2010. Osmoregulasi pada Hewan Akuatik. Jurnal Perikanan Dan
Kelautan. 6(1): 46-50.
Pamungkas, W. 2012. Aktivitas Osmoregulasi, Respons Pertumbuhan, dan
Energetic Cost pada Ikan yang Dipelihara dalam Lingkungan Bersalinitas.
Jurnal Media Akuakultur. 7(1): 44-51.
Rahim, T., Tuiyo, R., Dan Hasim. 2015. Pengaruh Salinitas Berbeda Terhadap
Pertumbuhan dan Tingkat Kelangsungan Hidup Benih Ikan Nila Merah
(Oreochromis niloticus) di Balai Benih Ikan Kota Gorontalo. Jurnal Ilmiah
Perikanan Dan Kelautan. 3(1): 39-43.
Susilo, U., Meilina, W., Dan Sorta, B. I. S. 2012. Regulasi Osmotik dan Nilai
Hematokrit Ikan Nila (Oreochromis sp.) pada Medium dengan Salinitas dan
Temperatur Air Berbeda. Jurnal Berk. Penel. Hayati. 1(8): 51–55.
Tamzil, M. H. 2014. Stres Panas Pada Unggas: Metabolisme, Akibat Dan Upaya
Penanggulangannya. Jurnal WARTAZOA. 24(2): 57-66.
Yulan, A., Ida, A., Anrosana, P., Ariesia, A. G. 2013. Tingkat Kelangsungan
Hidup Benih Ikan Nila Gift (Oreochromis niloticus) pada Salinitas yang
Berbeda. Jurnal Perikanan. 15(2): 78-82.
LAMPIRAN

Universitas Sriwijaya
Ikan Nila pada salinitas 5,85 g
(Dokumentasi Pribadi, 2020)

Ikan Nila Pada Suhu 28oC Waktu 10 menit Ikan Nila Pada Suhu 28oC Waktu 20 menit
(Dokumentasi Pribadi, 2020) (Dokumentasi Pribadi, 2020)

Ikan Nila Pada Suhu 28oC Waktu 30 menit


(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2020)

LAMPIRAN

Universitas Sriwijaya
Mencit Suhu Dingin Katak Suhu Dingin
(Dokumentasi Pribadi, 2020) (Dokumentasi Pribadi, 2020)

Katak Suhu Hangat Mencit Suhu Hangat


(Dokumentasi Pribadi, 2020) (Dokumentasi Pribadi, 2020)

LAPORAN PRAKTIKUM
EKOFISIOLOGI HEWAN

Universitas Sriwijaya
PENGAMATAN TEKANAN OSMOSIS PADA LINGKUNGAN
EKSTERNAL IKAN NILA (Oreochromis niloticus)

OLEH :

NAMA : ALI ZAINAL ABIDIN SHAHAB


NIM : 08041381722104
KELOMPOK : I (SATU)
ASISTEN : MUHAMMAD RIZKI PRATAMA

LABORATORIUM FISIOLOGI HEWAN


JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2020
LAPORAN PRAKTIKUM
EKOFISIOLOGI HEWAN

Universitas Sriwijaya
TERMOREGULASI PADA HEWAN ENDOTERM DAN
EKSOTERM

OLEH :
NAMA : ALI ZAINAL ABIDIN SHAHAB
NIM : 08041381722104
KELOMPOK : I (SATU)
ASISTEN : MUHAMMAD RIZKI PRATAMA

LABORATORIUM FISIOLOGI HEWAN


JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2020

Universitas Sriwijaya

Anda mungkin juga menyukai