Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PRAKTIKUM

TAKSONOMI HEWAN VERTEBRATA


PRESERVASI

OLEH:
KELOMPOK III/ A
1. DEWI NURHASANAH : 2110421005
2. ARIQ RIZTO : 2110422031
3. SALSABILA AMARA DIKA : 2110422039
4. ZARIFAH FARHAH : 2110423005
5. LAURA AMELIA FEBRINA : 2110423027

ASISTEN PJ KELOMPOK : 1. LINTANG YODHY


2. AHMAD FAKHRI

LABORATORIUM PENDIDIKAN IV
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG, 2022
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Preparat awetan hewan merupakan salah satu cara mengawetkan hewan
yang dapat dijadikan koleksi di laboratorium maupun koleksi pribadi. Preparat
awetan hewan ada yang berupa awetan basah dan awetan kering. Preparat kering
hewan dapat dibuat dalam bentuk taksidermi maupun preparat tulang hewan.
Pembuatan taksidermi hewan vertebrata merupakan salah satu keterampilan yang
bisa diterapkan dalam bidang biologi. Taksidermi merupakan replika hewan yang
terbuat dari kulit hewan yang diisi dengan kapas, kapuk atau sabut kelapa.
Taksidermi merupakan pengawetan untuk hewan, khususnya hewan vertebrata
dan biasanya dilakukan terhadap hewan yang relatif besar dan dapat dikuliti
(termasuk beberapa jenis reptil, aves dan mammalia). Pengawetan kering ini
dilakukan dengan cara organ dalam dikelurkan terlebih dahulu, kemudian
dibentuk kembali seperti bentuk asli ketika hewan tersebut hidup (dikuliti, hanya
bagian kulit yang tersisa). Selain untuk tujuan koleksi, Taksidermi juga dapat
digunakan sebagi media pembelajaran Biologi. Keunggulan Taksidermi sebagai
media pembelajaran Biologi adalah keasliannya karena terbuat dari hewan asli
dan tidak membahayakan peserta didik. Sedangkan kelamahannya adalah hanya
morfologi luar saja yang dapat diamati. Tahapan dalam taksidermi meliputi
skinning (pengulitan), preserving (pengawetan kulit), stuffing (pembentukan) dan
mounting/opzet/pajangan (penyimpanan sesuai kondisi saat hidup) (Umami,
2022).
Kegiatan ini dilakukan pada koleksi awetan basah dan awetan kering.
Satwa awetan basah atau koleksi basah menggunakan cairan preservatif, yakni
cairan alkohol 70%. Cairan ini memiliki sifat zat antibiotik dan antiseptik yang
sesuai untuk pengawetan jangka panjang. Ini dilakukan agar satwa awetan basah
tidak terkena bakteri organisme pembusuk yang bisa masuk dan hidup dalam
spesimen. Metode ini mengubah kebijakan preventif pengawetan koleksi basah
yang dulu menggunakan formalin 4% pada 1990-an. Adapun perawatan pada
koleksi kering menggunakan metode taksidermi, adalah metode pengawetan satwa
kering untuk ditampilkan di museum, tanpa menghilangkan bentuk estetika fauna
tersebut (Kaenuwihanulah dkk.,. 2021).
Awetan basah merupakan spesimen hewan yang diawetkan disimpan
dalam suatu larutan yang di buat dari komponen satu macam zat . awetan basah
dilakukan bagi hewan yang memiliki ukurannya tidak terlalu besar, direndam
dalam larutan pengawet. Langkah-langkah dalam pengawetan adalah koleksi,
pengawetan dan pelabelan. Keuntungan penggunaan media berupa spesimen atau
preparat awetan antara lain adalah sebagai berikut: Efektif mengenalkan gejala
struktural objek, mudah dilakukan setiap saat untuk pembelajaran biologi di kelas,
tidak merusak sumberdaya alam, mudah dibawa atau dipindahkan dan
memudahkan pengenalan objek, terutama untuk objek yang sulit ditemukan,
karena terbatas atau tidak setiap saat tersedia. Deskripsi produk awetan basah
merupakan spesimen hewan yang diawetkan disimpan dalam suatu larutan yang di
buat dari komponen satu macam zat . awetan basah dilakukan bagi hewan yang
memiliki ukurannya tidak terlalu besar, direndam dalam larutan pengawet.
Langkah-langkah dalam pengawetan adalah koleksi, pengawetan dan pelabelan
(Setiati dkk., 2021).
Pada prinsipnya awetan basah pada spesimen yaitu disimpan dalam
thinner didalam botol-botol yang tertutup rapat, sebelum disimpan dalam botol
spesimen disuntik formalin lalu dibersihkan selama dua hari, baru dimasukkan
dalam botol dan diberi thinner. Untuk mencegah terjadinya serangan hama, jamur
dan mengurangi kecepatan penguapan maka ruang penyimpanan dilakukan
pengendalian suhu dan kelembaban udara yang stabil. Awetan kering adalah hasil
eksplorasi dari hutan dipilih spesiesmen yang bagus kemudian dibius sampai mati
dibedah diambil organ dalamnya dan dibersihkan, kemudian dikeringkan setelah
kering bagian dalam diisi kapas dan serbuk. Pemberian serbuk bertujuan supaya
bagian dalam awet. Kemudian dijahit kembali dengan rapi seperti bentuk aslinya.
Spesimen-spesimen yang sudah kaku di opset / diatur dalam kotk kaca (Suprapto
& Djumadi, 2014).
Bahan yang umum digunakan untuk mengawetkan spesimen adalah
formalin. Formalin merupakan larutan formal dehida dalam air dengan kadar 36-
40% yang berfungsi sebagai stabilisator agar formal degidanya tidak 3 mengalami
polimerasi. Disamping dalam bentuk cairan, formalin dapat diperoleh bentuk
tablet dan dalam bentuk gas H2C = 0 (Fessenden, 1992). Bahwa formalin
tergolong sebagai karsinogen yaitu senyawa yang dapat menyebabkan kanker.
Oleh karena itu formalin dilarang digunakan untuk mengawetkan makanan dan
minuman, melalui berbagai penelitian banyak ditemukan makanan yang
diawetkan dengan menggunakan formalin misalnya pada tahu, ikan asin, mie
basah dan lain-lain., sehingga perdagangan formalin dibatasi untuk keperluan
medis, laboratorium dan industri-industri yang berhubungan dengan formalin
(Suprapto & Djumadi, 2014).
Praktikum taksidermi dan pengawetan basah ini bertujuan untuk
mengetahui cara perlakuan yang baik dalam mematikan hewan untuk keperluan
tertentu, misalnya kepentingan penelitian dan koleksi. Dan juga untuk memahami
tata cara pengawetan hewan serta manfaat awetan hewan dari kelas
Actinopterygii, Amfibi, Reptil, Aves, dan Mamalia.
1.2 Tujuan
Adapun tujuan praktikum ini dilakukan antara lain :
1. Untuk mengetahui cara membuat taksidermi
2. Untuk mengetahui cara membuat pengawetan basah
3. Untuk mengetahui cara membunuh, menguliti, dan mengawetkan objek yang
dipraktikumkan
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pengawetan adalah salah satu kegiatan yang sering dilakukan dalam


laboratorium biologi. Pengawetan terutama dilakukan terhadap tumbuhan dan
hewan yang susah ditemukan atau hanya diperoleh dari tempat-tempat tertentu,
misalnya dari laut atau gunung. Dengan diawetkannya bahan-bahan makhluk
hidup, maka dapat menggunakan spesimen untuk waktu lama. Pengawetan hewan
dan tumbuhan dapat dilakukan dengan cara basah dan kering. Cara dan bahan
yang digunakan bervariasi, tergantung pada sifat objek (Wijaya, 2012).
Preservasi adalah kegiatan yang terencana dan terkelola untuk memastikan
berbagai sampel yang diawetkan bisa digunakan untuk jangka waktu yang lama.
Tujuan preservasi meliputi tujuan jangka pendek dan jangka panjang. Preservasi
jangka pendek digunakan untuk keperluan rutin penelitian yang disesuaikan
dengan kegiatan program atau proyek tertentu. Preservasi jangka panjang
dilakukan dalam kaitannya dengan koleksi dan konservasi plasma nutfah dari
spesies makhluk hidup, schingga apabila suatu saat diperlukan dapat diperoleh
kembali atau dalam keadaan tersedia (Winker, 2000). Kelebihan teknik preservasi
yaitu untuk mempertahankan spesimen supaya terhindar dari jamur dan
kerusakan, teknik preservasi mudah dilakukan khususnya pada spesimen basah,
sedangkan kekurangannya yaitu terdapat kesulitan dalam melakukan teknik
preservasi misalnya alat dan bahan kurang lengkap. (Elzinga, 2000).
Dalam pengawetan hewan terdapat dua cara yaitu pengawetan kering dan
pengawetan basah. Taksidermi adalah pengawetan hewan secara kering.
Taksidermi atau pengawetan kering hewan dilakukan pada hewan yang berukuran
relatif besar seperti aves dan mamalia. Taksidermi adalah istilah pengawetan
untuk hewan pada umumnya, vertebrata pada khususnya, dan biasanya dilakukan
pada hewan yang relatif besar dan hewan berkulit, termasuk beberapa jenis reptil,
aves, amfibi dan mamalia, organ dalam dikeluarkan dan kemudian dibentuk
kembali menjadi bentuknya. asli pada saat hewan tersebut masih hidup (dikuliti,
hanya kulit yang tersisa) (Amin, 2015). Taksidermi adalah bentuk seni lanjutan
dalam pelestarian dan pemulihan spesimen mati untuk penyimpanan dan tampilan
jangka panjang. Seorang ahli taksidermis harus menjadi seniman sekaligus
memiliki pengetahuan yang sangat baik tentang morfologi dan anatomi berbagai
spesies (Kabir & Hawkeswood, 2020).
Seorang ahli taksidermis harus menjadi seniman sekaligus memiliki
pengetahuan yang baik tentang morfologi dan anatomi spesies yang menjadi
spesialisasinya. Profesi menuntut dedikasi yang besar, ketulusan, kerja keras,
pengalaman dan pengetahuan untuk menjadi sukses. Produk taksidermi semirip
mungkin dengan spesimen hidup asli dan terlihat detail. Seorang ahli taksidermis
dapat mereplikasi, melestarikan, dan menangkap keanggunan alam dan keindahan
spesimen dengan sesuai untuk mencerminkan paparan realistis terhadap
kehidupan dan alam. Untuk mereplikasi spesimen asli, spesimen yang
ditaksidermikan harus benar-benar sesuai dengan aslinya dalam segala cara yang
memungkinkan dan memenuhi spesifikasi untuk menangkap keindahan alam.
Kemampuan untuk secara akurat mereplikasi detail anatomi dan morfologi
menentukan keberhasilan ahli taksidermi yang sangat terlatih, berpengalaman, dan
professional. Setiap spesimen harus dibuat khusus, dirancang untuk
mencerminkan keindahan alam dan keanggunan. Jika dimanfaatkan dengan baik,
pengawetan hewan tersebut dapat digunakan secara efektif untuk mempopulerkan
dan mengedukasi masyarakat umum (Basu and Zandi, 2015).
Awetan basah dibuat dengan cara merendamkan binatang baik dalam
bentuk utuh maupun bagian-bagiannya dalam larutan pengawet. Larutan pengawet
tersebut umumnya berupa alkohol dengan konsentrasi 50% atau 70%, campuran
formalin, asam asetat dan alkohol (larutan FAA) atau larutan formalin 4%.
Larutan alkohol biasanya digunakan untuk mengawetkan binatang rendah dari
filum arthropoda. Pengawet FAA banyak digunakan untuk mengawetkan
spesimen tumbuhan. Larutan formalin 4% digunakan untuk mengawetkan
binatang atau bagian tubuh binatang dengan cara merendamkannya. Hal yang
perlu diperhatikan pada media awetan basah adalah tempat yang digunakan untuk
menyimpan awetan basah harus tertutup rapat dan spesimen yang ada didalamnya
harus terendam, oleh karena itu volume larutan pengawetnya harus dijaga
(Johnstone dan Al-Shuaili, 2001).
Spesimen dari bermacam-macam hewan sering dibutuhkan untuk
keperluan penelitian maupun alat peraga dalam dunia pendidikan. Ahli
pengetahuan alam, tidak dapat mengambil manfaat pada spesimen yang tidak
diawetkan, dalam kegiatan koleksi hewan perlu memperhatikan beberapa hal,
diantaranya jangan sampai menggangu keberadaan satwa langka atau merusak
sisa-sisa peninggalan dalam gua yang sudah ditingalkan manusia purba. Hewan
yang dikoleksi adalah hewan-hewan yang dibutuhkan untuk pengawetan dengan
tujuan pengujian di kemudian hari. Semua spesimen koleksi harus diberi label
yang berisi keterangan tantang nama spesies, lokasi penemuan tanggal koleksi dan
data lain yang diperlukan. Label harus ditulis ketika spesimen diawetkan agar
tidak terjadi kesalahan informasi mengenai spesies awetan (Jasin, 1989).
BAB III

METODE PRAKTIKUM

3.1 Waktu dan Tempat


Praktikum Taksonomi Hewan Vertebrata ini dilaksanakan pada hari Jumat, 10
Juni 2022 di Laboratorium Pendidikan IV, Jurusan Biologi, Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Andalas.

3.2 Alat dan Bahan


Adapan alat yang digunakan dalam praktikum kelas Aves ini adalah steorofoam
hitam, penggaris, sarung tangan latex, alat tulis, tisu, baki bedah, satu set alat
bedah, kapas, formalin, alkohol, jarum jahit, dan benang jahit. Adapun bahan yang
digunakan yaitu Oreochromis niloticus, Fejervarya cancrivora, Lonchura
punctulata, Dendrelaphis pictus., dan Rattus sp.

3.3 Cara Kerja


Adapun cara kerja dalam praktikum ini yaitu pada taksidermi, taksidermi adalah
cara mempersiapkan, memasukkan dan/atau memasang hewan untuk dipamerkan
atau belajar. Biasanya melibatkan pengaturan kulit asli hewan di atas tubuh palsu
untuk membuat hewan itu terlihat hidup. Dalam praktikum ini prosedur
taksidermi digunakan untuk reservasi Rattus sp. dan Lonchura punctulata.
Spesimen dibunuh, lalu diiris pada bagian ventral tubuh, dikuliti untuk
menghilangkan kulit dari hewan tersebut tubuhnya, setelah dikeluarkan diisi
dengan kapas dan di sesuaikan dengan bentuknya dan posisi, kemudian dijahit dan
diberi label.
Sedangkan pengawetan basah adalah praktik mengawetkan spesimen yang
diawetkan dengan cairan dalam wadah tertutup (toples kaca). Pada praktikum ini
dilakukan pengawetan basah pada kelas herpetofauna dan Actinopterygii. Metode
pengawetan basah adalah membunuh hewan dengan menyuntikkan alkohol pada
bagian belakang kepala, setelah mati, alkohol 96% disuntikkan ke beberapa
bagian tubuh hewan dan seluruh tubuh pada objek ular. Setelah itu, posisikan
objek dengan bentuk terbaik dlam kotak donat, kemudian spesimen diberi
formalin, spesimen dibiarkan selama satu hari, kemudian spesimen dicuci sampai
bersih, jika sudah bersih masukkan ke dalam botol kaca, rendam spesimen dengan
alkohol 70%, pastikan agar spesimen terendam seluruhnya. Tahap terkahir adalah
memberi label pada botol.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Deskripsi
4.1.1 Oreochromis niloticus

Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Actinopterygii Gambar 1. Oreochromis niloticus
Ordo : Perciformes Sumber : Foto Hasil Praktikum
Famili : Cichlidae (kelompok 2A)
Genus : Oreochromis
Spesies : Oreochromis niloticus (Linnaeus, 1758)
Sumber : IUCN Redlist, 2020

Berdasarkan dari praktikum yang telah dilakukan pengawetan dalam pengoleksian


sampel dari kelas Actinopterygii yaitu menggunakan pengawetan basah. Ikan
yang digunakan dalam pengawetan haruslah dalam kondisi representatif atau
dalam keadaan hidup. Sebelum dilakukan pengawetan basah, ikan terlebih dahulu
dibunuh dengan cara meletakkannya diatas baki dan membiarkannya saja hingga
tidak bernapas lagi atau lebih cepat dengan memukul kepala ikan tetapi perlu
diperhatikan jangan sampai kepala ikan hancur. Selanjutnya, setelah ikan benar-
benar sudah mati dilakukan pengawetan basah yaitu dengan memasukkan ikan ke
dalam toples dan di isi dengan formalin (4%) dan dilakukan fiksasi.
Fiksasi ikan dilakukan dengan cara merendamnya dalam formalin (4%).
Perendaman dilakukan selama 24 jam untuk ikan berukuran standar (kurang dari
10 cm), sedangkan ikan besar (lebih dari 10 cm) direndam dalam selang waktu 24
jam hingga beberapa hari. Perendaman cukup terasa saat tubuh ikan sudah
mengeras. Sedangkan fiksasi bagian dalam ikan dilakukan dengan cara
penyuntikan di bagian perut dengan cairan formalin, sehingga bagian dalam ikan
benar-benar terpasang. Injeksi hanya untuk ikan besar. Kulit dan sisik ikan juga
sangat berpengaruh dalam hal perendaman, semakin tebal kulit semakin banyak
kandungan lemaknya, sehingga semakin lama perendamannya. Umumnya sekitar
4-14 hari. Setelah fiksasi selesai, ikan harus dicuci bersih sebelum diawetkan
dengan alkohol. Pencucian dilakukan dengan air mengalir dan direndam selama
beberapa malam. Formalin harus benar-benar bersih atau harus benar-benar
dikeluarkan dari tubuh ikan.
Preservasi pada kelas Actinopterygii ini diperkuat dengan literatur yang
menyatakan bahwa salah satu cara pengawetan spesimen adalah dengan
pengawetan basah. Pengawetan basah dilakukan dengan mengawetkan benda
biologi dalam larutan kimia. Larutan kimia yang biasa digunakan adalah alkohol
70% dan formalin 4% yang dapat digunakan sendiri atau kombinasi keduanya.
Namun, hasil pengawetan keduanya dalam jangka panjang bisa menjadi rapuh dan
warna spesimen menjadi pudar. Larutan tersebut juga mengandung zat berbahaya
sehingga penggunaan jangka panjang akan berisiko bagi kesehatan (Rahayoe,
2019).

4.1.2 Fejervarya cancrivora

Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Amphibia
Ordo : Anura Gambar 2. Fejervarya cancrivora
Famili : Dicroglossidae Sumber : Foto Hasil Praktikum
Genus : Fejervarya (kelompok 3A)
Spesies : Fejervarya cancrivora (Gravenhorst, 1829)
Sumber : IUCN Redlist, 2004

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan pengawetan yang dilakukan pada


kelas amfibi yaitu dengan pengawetan basah. Dilakukan dokumenmtasi terhadap
sampel yaitu katak sawah sebelum di awetkan. Lakukan proses pembunuhan
dengan cara menyuntikkan alkohol 70% ke batang otak dari katak dan tunggu
hingga katak benar-benar mati. Setelah itu, disuntikkan alkohol 70% ke lengan
kanan, lengan kiri, paha kanan, paha kiri, dan perut katak. Kemudian masuk ke
tahap skinning. Tempatkan hewan pada steroform dengan paha dan lengan ditusuk
dengan jarum. Lanjutkan ke tahap pemasangan label, tempelkan kertas label
identitas pada bagian perut. Kemudian ditaruh di kotak donat/tempat datar,
kemudian dibilas ke seluruh tubuh menggunakan formalin 4%. Tutup kotak donat
dan biarkan selama 24 jam. Kemudian bilas dengan air bersih yang mengalir
selama 30 menit. Masukkan ke dalam toples, dan isi dengan alkohol sampai
spesimen terendam. Spesimen siap untuk diawetkan.
Cara pengawetan yang dilakukan pada kelas Amfibi diperkuat dengan
pernyataan Jusmaldi et al., (2019) yang menyatakan bahwa hewan akan
diawetkan basah atau kering sesuai dengan jenis hewannya. Spesimen amfibi
sebagian besar diawetkan basah karena digunakan untuk proses penelitian dan
pengajaran. Ikan dan amfibi akan diawetkan secara basah dengan menggunakan
cairan kimia, misalnya formalin berjumlah 4%. Namun, cairan formalin itu sendiri
kini sudah mulai berkurang. Hewan yang diawetkan dulu masih menggunakan
formalin. Padahal, formalin sendiri memiliki senyawa yang tidak baik untuk
kesehatan. Oleh karena itu, kurator menggunakan alkohol sebagai pengganti
bahan pengawet cair untuk spesimen basah. Alkohol membantu pengawetan
dalam jangka panjang karena bersifat antibiotik dan antiseptik untuk menghindari
bakteri.

4.1.3 Dendrelaphis pictus

Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Reptilia
Ordo : Squamata
Famili : Colubridae
Genus : Dendrelaphis Gambar 3. Dendrelaphis pictus
Spesies : Dendrelaphis pictus Sumber : Foto Hasil Praktikum
(kelompok 4A)
(Boulenger, 1890)
Sumber : IUCN Redlist, 2021

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan kelas Reptil menggunakan


pengawetan basah dalam proses pengawetannya. Objek yang digunakan adalah
spesies Dendrelapis pictus yang pada saat sebelum pengawetan harus
representatif. Sebelum memulai prosedur pengawetan, ular harus dibunuh terlebih
dahulu dengan menyuntikkan alkohol 70% di kepala. Setelah spesimen mati,
seluruh tubuh disuntik dengan 1 ml alkohol 70% dengan jarak 10 cm antar titik
injeksi. Setelah spesimen disuntik, spesimen diatur membentuk lingkaran dan
diberi label dengan kertas di sekitar leher. Setelah itu diletakkan di kotak donat.
Dituangkan formalin 4% ke seluruh tubuh spesimen, kemudian didiamkan selama
24 jam. Setelah satu hari, cuci spesimen dengan air mengalir selama 30 menit
untuk memastikan formalin tidak menempel pada tubuh spesimen. Setelah dicuci
spesimen dimasukkan ke dalam botol dan direndam dalam alkohol 70%. Setelah
botol ditutup, dan tempelkan label pengenal pada dinding botol.
Cara kerja yang dilakukan pada praktikum diperkuat dengan literatur yang
menyatakan bahwa pengawetan spesimen merupakan upaya yang dilakukan untuk
mempertahankan keadaan makhluk hidup sebagaimana adanya dalam waktu yang
lama. Untuk keperluan praktikum taksonomi dan keanekaragaman, pengawetan
harus dapat mempertahankan kondisi alam dan struktur morfologi (hanya sedikit
berubah) serta bebas dari bakteri dan jamur yang dapat menyebabkan
pembusukan. Salah satu cara pengawetan spesimen adalah dengan pengawetan
basah. Pengawetan basah dilakukan dengan mengawetkan benda biologis dalam
larutan kimia. Larutan kimia yang biasa digunakan adalah alkohol 70% dan
formalin 4% yang dapat digunakan sendiri atau kombinasi keduanya. Namun hasil
pengawetan keduanya dalam jangka waktu lama bisa menjadi rapuh dan warna
menjadi pudar. Larutan kimia tersebut juga mengandung zat berbahaya sehingga
penggunaan jangka panjang akan berisiko bagi kesehatan (Artyasa, 2020).

4.1.4 Lonchura punctulata

Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Aves
Ordo : Passeriformes
Famili : Estrildidae
Genus : Lonchura Gambar 4. Lonchura punctulata
Spesies : Lonchura punctulata Sumber : Foto Hasil Praktikum
(Linnaeus, 1758) (kelompok 2A)
Sumber : IUCN Redlist, 2016

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan pengawetan yang dilakukan pada


kelas Aves adalah pengawetan kering. Pengawetan ini dilakukan dengan
menggunakan Lonchura punctulata karena jenis ini mudah didapat dan harganya
relatif murah, serta populasinya banyak. Taksidermi pada spesies ini dilakukan
dengan terlebih dahulu membunuh spesies tersebut. Cara yang digunakan untuk
membunuh spesies tersebut adalah dengan menekan dada kiri burung ini hingga
burung tersebut mati. Setelah burung mati, pada bagian dada burung terdapat
bagian yang tidak berbulu (broad patch), mulailah memotong bagian tersebut dari
pangkal dada hingga sebelum kloaka. Setelah menyayat kulitnya, mulailah
menguliti seluruh bagian tubuh burung dari dada hingga kepala. Kemudian pada
bagian kaki, kulit hingga paha, lalu potong pada sendi paha. Kemudian kuliti
seluruh bagian tubuh sampai kulit terlepas dari badan atau badan. Saat menguliti
kepala, potong tempurung kepala burung lalu buang otak dan matanya. Bersihkan
rongga dalam cangkang. Pembuangan kulit diikuti dengan menaburkan cawdast
untuk membuat permukaan lebih kering dan lebih mudah untuk menguliti burung.
Proses pengelupasan juga dibantu dengan alat sederhana berupa tusuk sate kayu
agar permukaan kulit tidak sobek.
Setelah kulit dipisahkan dari badannya, maka yang tersisa hanya kulit
(selaput) burung dan sayapnya. Ikat kaki agar bentuk kaki tidak berubah dan kaki
tidak lepas. Selanjutnya dilakukan untuk pengawetan kering adalah dengan
mengisi kapas pada kulit burung. Proses pengisian dimulai dari kepala, dengan
cara memasukkan kapas ke dalam tempurung kepala yang kosong kemudian
ditekan hingga kapas menembus mata burung, dilanjutkan dengan memasukkan
kapas ke badan dan menjahit kulit burung secara zigzag. Setelah semua
permukaan tertutup, ikat sayap ke badan agar sayap tetap di tempatnya. Langkah
selanjutnya adalah memberikan label yang berisi nama spesies, tanggal
pembuatan, dan kelompok yang membuatnya. Setelah itu, benda tersebut
dikeringkan. Setelah dikeringkan selama kurang lebih satu hari.
Metode yang digunakan pada saat praktikum tersebut diperkuat dengan
literatur yang menyatakan bahwa kegiatan pelestarian dilakukan pada koleksi
pengawetan basah dan pengawetan kering. Hewan yang diawetkan basah atau wet
collection menggunakan bahan pengawet cair yaitu alkohol 70%. Cairan ini
memiliki sifat antibiotik dan antiseptik yang cocok untuk pengawetan jangka
panjang. Hal ini dilakukan agar hewan basah yang diawetkan tidak terkena bakteri
yang dapat masuk dan hidup di dalam spesimen dan menyebabkan pembusukan.
Metode ini mengubah kebijakan pencegahan pengawetan basah yang dulu
menggunakan formalin 4% pada 1990-an. Sedangkan untuk perawatan koleksi
kering menggunakan metode taksidermi yaitu metode pengawetan hewan kering
untuk dipajang di museum, tanpa menghilangkan bentuk faunanya
(Kaenuwihanulah, 2021).

4.1.5 Rattus sp.

Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mammalia
Ordo : Rodentia
Familyi : Muridae
Gambar 5. Rattus sp.
Genus : Rattus
Sumber : Foto Hasil Praktikum
Spesies : Rattus sp.
(kelompok 3A)
(Berkenhout, 1769)
Sumber : IUCN Redlist, 2021

Berdasarkan hasil praktikum yang telah dilakukan pengawetan yang dilakukan


pada kelas Mamalia yaitu dengan pengawetan kering atau taksidermi. Tahap
pertama dalam pembuatan taksidermi pada praktikum ini adalah persiapan alat
dan bahan yang digunakan. Tahap kedua adalah langkah pembunuhan dengan
menggunakan metode dislokasi leher. Untuk membunuh Rattus sp. dengan cara
menarik leher dan ekor secara bersamaan pada arah yang berlawanan hingga
mencit mati perlahan. Tahap ketiga adalah skinning (menguliti atau pembedahan).
Proses pengulitan dimulai dengan tubuh tikus diletakkan di atas nampan/meja
dengan bagian perut menghadap ke atas, kulit bagian perut diiris memanjang
sepanjang 3-4 cm. Kemudian kulit dibuka dengan hati-hati, sehingga daging perut
bagian dalam terlihat. Sayatan kulit dilakukan terus menerus sampai perut cukup
terpisah dari kulit. Kulit menempel di perut daging ditekan sedemikian rupa ke
kiri atau ke kanan secara bergantian sehingga daging paha kaki belakang bisa
terangkat keluar. Kaki belakang kiri dan kanan dicabut secara bergantian dan
tulang hingga lutut dipotong dengan gunting. Daging yang menempel pada
potongan kaki dibersihkan. Selanjutnya kulit dihilangkan dengan hati-hati ke arah
ekor. Untuk mengurangi kehalusan kulit bagian dalam digunakan serbuk gergaji.
Ekor ditarik keluar dengan hati-hati, setelah ekor keluar pelepasan kulit
berlanjut ke arah kepala. Sayatan berlanjut sampai tulang kaki depan dipotong ke
dasar kaki depan. Kemudian dilanjutkan dengan membuang kulit ke arah kepala
secara hati-hati, bila sudah mencapai telinga, pangkal telinga kanan dan kiri
dipotong dengan pisau tajam (skapel), begitu juga dengan matanya. Selanjutnya
kulit ditarik ke depan secara perlahan hingga ujung hidung, pengangkatan kepala
dilakukan dengan menggunakan pisau bedah atau gunting kecil. Setelah itu kulit
tikus yang sudah dilepas dikembalikan/ dibalikkan ke keadaan semula. Lanjutkan
ke perut yang diris, dijahit kembali secara zig-zag.
Tahap terakhir adalah pemasangan atau pembentukan. Tikus yang sudah
berisi kapas ditempatkan dalam kotak donat/toples datar yang tertutup dan
dimasukkan kapur barus ke dalam kotak tersebut. Tempatkan tikus dengan sisi
perut menghadap ke bawah dan kedua pasang kaki diatur sedemikian rupa
sehingga kaki depan lurus ke depan dan kaki belakang lurus ke belakang sejajar
dengan tubuh. Awetan tikus yang sudah terbentuk sempurna kemudian
dikeringkan hingga kering sebelum disimpan secara permanen.
Preservasi yang dilakukan pada spesimen kelas Mamalia ini diperkuat
dengan literatur yang menyatakan bahwa pembuatan taksidermi hewan vertebrata
merupakan salah satu keterampilan yang bisa diterapkan dalam bidang biologi.
Taksidermi merupakan replika hewan yang terbuat dari kulit hewan yang diisi
dengan kapas, kapuk atau sabut kelapa. Taksidermi merupakan pengawetan untuk
hewan, khususnya hewan vertebrata dan biasanya dilakukan terhadap hewan yang
relatif besar dan dapat dikuliti (termasuk beberapa jenis reptil, aves dan
mammalia). Pengawetan kering ini dilakukan dengan cara organ dalam dikelurkan
terlebih dahulu, kemudian dibentuk kembali seperti bentuk asli ketika hewan
tersebut hidup (dikuliti, hanya bagian kulit yang tersisa). Selain untuk tujuan
koleksi, Taksidermi juga dapat digunakan sebagi media pembelajaran Biologi.
Keunggulan Taksidermi sebagai media pembelajaran Biologi adalah keasliannya
karena terbuat dari hewan asli dan tidak membahayakan peserta didik. Sedangkan
kelamahannya adalah hanya morfologi luar saja yang dapat diamati. Tahapan
dalam taksidermi meliputi skinning (pengulitan), preserving (pengawetan kulit),
stuffing (pembentukan) dan mounting/opzet/pajangan (penyimpanan sesuai
kondisi saat hidup) (Umami, 2022).
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa:
1. Proses pengawetan terjadi dengan 2 cara yaitu pengawetan basah dan
pengawetan kering. Pengawetan basah menggunakan alkohol atau
formalin sebagai media pengawetan sedangkan pengawetan kering
dilakukan dengan membiarkan objek mengalami dehidrasi.
2. Spesimen yang diawetkan basah dapat menggunakan Actynopterygii,
Reptil dan Amfibi, sedangkan spesimen yang diawetkan kering dapat
menggunakan Aves dan Mamalia.
3. Taksidermi pada aves dan mamalia dilakukan dengan cara yang hampir
sama, yaitu membuang organ dalam hingga hanya tersisa kulit dengan
rambut atau bulunya saja. Kemudian diisi dengan kapas dan dijahit.
4. Pengawetan basah ular dilakukan dengan cara menyuntikkan alkohol ke
leher dan disuntikkan kembali setiap 10 cm, kemudian dicelupkan ke
dalam formalin sambil membentuk badan agar tidak keras.
5. Pengawetan basah pada katak dilakukan dengan cara menyuntikkan
alkohol ke kepala ke otak sampai mati. Kemudian dicelupkan ke dalam
formalin dan didiamkan selama 1 hari. Kemudian dicuci dengan air
mengalir dan dimasukkan ke dalam alkohol.
6. Pengawetan basah pada ikan dilakukan dengan cara merendam ikan dalam
formalin selama satu hari, kemudian dibilas dengan air mengalir dan
dimasukkan ke dalam alkohol.

5.2 Saran
Saran dari praktikum ini adalah bagi praktikan untuk melakukan skinning lebih
hati-hati karena semua kulit termasuk ekor, kelopak mata, dan rahang mulut harus
dikuliti dan tidak boleh sobek, sehingga hasil yang diperoleh akan sempurna.
Selain itu, praktikan harus memakai sarung tangan dan tidak menyentuh cairan
formalin secara langsung karena dapat menyebabkan kerusakan pada kulit.
DAFTAR PUSTAKA

Amin, M.R. 2015. Taksidermi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Padjadjaran. Jatinangor.
Amori, G., R. Hutterer, B. Kryštufek, N. Yigit, G. Mitsain, and L.J. Palomo 2018.
Rattus rattus. IUCN Red List of Threatened Species.
Artayasa, I. P., Muhlis, M., & Ramdani, A. 2020. Pembuatan Spesimen
Tumbuhan dan Hewan serta Manfaatnya Dalam Pembelajaran IPA SMP.
Jurnal Pengabdian Magister Pendidikan IPA, 3(2).
Basu, S.K and P. Zandi. 2015. Taxidermy as an Important Tool in Bird Education,
Awareness and Conservation. Yibin University.
BirdLife International. 2016. Lonchura punctulata. The IUCN Red List of
ThreatenedSpecies2016:e.T22719851A94647970. https://dx.doi.org/10.23
05/IUCN.UK.2016-3.RLTS.T22719851A94647970.en. Accessed on 14
June 2022.
Diallo, I., Snoeks, J., Freyhof, J., Geelhand, D. & Hughes,
A. 2020. Oreochromis niloticus. The IUCN Red List of Threatened
Species 2020:e.T166975A134879289. https://dx.doi.org/10.2305/IU
CN.UK.2020-3.RLTS.T166975A134879289.en. Accessed on 14
June 2022.
Elzinga, R. J. 2000. Fundamentals of Entomology, Minessota; Practice Hall.
Fessenden PJ. 1992. Dasar-dasar Kimia Organik. Jakarta : Erlangga.
Freyhof, J. & Kottelat, M. 2008. Cyprinus carpio. The IUCN Red List of
ThreatenedSpecies2008:e.T6181A12559362. https://dx.doi.org/10.2
305/IUCN.UK.2008.RLTS.T6181A12559362.en. Accessed on 14
June 2022.
Jasin. M. 1989. Sistematika Hewan Vertebrata dan Invertebrata. Sinar Wijaya :
Surabaya.
Johnstone, A.H dan Al-Shuaili, A. 2001. Learning In The Laboratory Same
Thougths From The Literature.U.Chem. Ed 5 : 42-51.
Jusmaldi, A. Setiawan, and N. Hariani. 2019. Keanekaragaman dan Sebaran
Ekologis Amfibi di Air Terjun Berambai Samarinda, Kalimantan Timur.
Berita Biologi. 18(3): 295-303.
Kabir, A., & Hawkeswood, T. J. 2020. A review on wildlife taxidermy:
preservation for conservation.
Kaenuwihanulah, J.I., N.A Damayani, and R.K. Anwar. 2021. Identifikasi dan
penyimpanan koleksi Museum Zoologi Sekolah Ilmu dan Teknologi
Hayati (SITH) Institut Teknologi Bandung Jatinangor. Informatio: Journal
of Library and Information Science. 1(1): 99-120.
Kryštufek, B., Palomo, L., Hutterer, R., Mitsainas, G. & Yigit,
N. 2021. Rattus rattus (amended version of 2016 assessment). The
IUCNRedListofThreatenedSpecies2021:e.T19360A192565917. https
://dx.doi.org/10.2305/IUCN.UK.20211.RLTS.T19360A192565917.e
n. Accessed on 14 June 2022.
Rahayoe, A.S.. 2019. Kombinasi Alkohol dan Asap Cair Sebagai Alternatif
Pengawet Spesimen Cacing Tanah (Pheretima sp.). Indonesian Journal of
Laboratory. 1(3): 1-12.
Setiati, N., Indriyanti, D. R., Rudyatmi, E., Subekti, N., Dewi, P., Sriyadi, S., ... &
Arditama, P. 2021. Pengembangan Media Pembelajaran Daring melalui
Video Pembuatan Berbagai Awetan Hewan bagi Guru IPA-Biologi
Sekecamatan Gunungpati Kota Semarang. Journal of Community
Empowerment. 1(1) : 12-18.
Suprapto, S., & Djumadi, M. K. 2014. Penggunaan Thinner Sebagai Alternatif
Pengganti Formalin Untuk Pengawetan Spesimen Biologi Pada
Vertebrata (Doctoral dissertation, Universitas Muhammadiyah Surakarta).
Umami, M. 2022. Modul Praktikum Zoologi Vertebrata. Jurusan Tadris Biologi
Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan Institut Agama Islam Negeri Syekh
Nurjati Cirebon.
Vogel, G., Wogan, G., Dehling, M., Srinivasulu, C., Srinivasulu, B.,
Mohapatra, P., Deepak, V., Giri, V. & Tshewang,
S. 2021. Dendrelaphis pictus. The IUCN Red List of Threatened
Species 2021:e.T172697A1368812.https://dx.doi.org/10.2305/IUCN.
UK.20213.RLTS.T172697A1368812.en. Accessed on 14 June 2022.
Wijaya, A. 2012. Petunjuk Praktikum Mata Kulaih Teknik Media Tanam. Faperta
Universitas Jember : Jember.
Winker, K. 2000. Obtaining, Preserving, and Preparing Bird Spcimens. Journal of
Field Ornithology. 71(2) : 250-297.
Yuan Zhigang, Zhao Ermi, Shi Haitao, Diesmos, A., Alcala, A., Brown, R.,
Afuang, L., Gee, G., Sukumaran, J., Yaakob, N., Leong Tzi Ming,
Yodchaiy Chuaynkern, Kumthorn Thirakhupt, Das, I., Iskandar, D.,
Mumpuni & Robert Inger. 2004. Fejervarya cancrivora. The IUCN
RedListofThreatenedSpecies2004:e.T58269A11759436. https://dx.do
i.org/10.2305/IUCN.UK.2004.RLTS.T58269A11759436.en. Access
ed on 14 June 2022.
LAMPIRAN

(a) (b)

(c) (d)

(e)

Gambar 6. (a) Katak yang sudah diletakkan di dalam kotak. (b) Ular yang
sudah diatur dalam posisi melingkar. (c) proses skinning pada tikus. (d)
kulit tikus yang sudah terpisah dengan badan. (e) proses skinning pada
burung.

Anda mungkin juga menyukai