Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PRAKTIKUM EKOLOGI HEWAN

Koleksi Herbarium Hewan

Disusun Oleh :
1. Rada Mutia Desmalita (1920801011)
2. Dian Agatha (1930801022)
3. Pira blen siska (1930801031)
4. Rukmini (1930801032)
5. Violita argentina (1930801033)
6. Zulfa nisa (1930801034)

Dosen pengampu :
Irham Falahuddin M.Si

PROGRAM STUDI BIOLOGI


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG
2020
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Secara garis besar, ada dua cara pengawetan obyek biologi, yaitu pengawetan
basah dan pengawetan kering. Pengawetan basah dilakukan dengan mengawetkan
obyek biologi dalam suatu cairan pengawet. Pengawetan kering dilakukan dengan
mengeringkan obyek biologi hingga kadar air yang sangat rendah, sehingga organism
perusak/penghancur tidak bekerja.
Pengawetan basah dilakukan bagi hewan tidak bercangkang yang ukurannya
relatif besar, direndam dalam larutan pengawet. Pengawetan kering untuk organisme
yang berukuran relatif besar biasanya dilakukan dengan cara mengeringkan dengan
sinar matahari atau dengan oven dan selanjutnya agar lebih awet dapat disimpan
dalam media pengawet resin (Bioplastik). Obyek yang dapat dijadikan sebagai
specimen utama dalam pengawetan basah maupun kering merupakan objek biologi
yang berukuran kecil hibgga yang berukuran besar.

B. Tujuan
Adapun tujuan dari praktikum kali ini adalah untuk :
1. Mengawetkan berbagai jenis serangga sehingga dapat diteliti lebih dekat.
2. Mempelajari morfologi dari masing-masing serangga berdasarkan ordonya.
3. Mengetahui teknik pengawetan serangga dengan cara pengawetan basah dan
kering.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Spesimen Pengawetan
Koleksi spesimen merupakan aset ilmiah yang penting sebagai bahan
penelitian keanekeragaman fauna baik taraf nasional ataupun taraf internasional.
Kegiatan pengelolaan yang dapat dilakukan adalah proses pengawetan, perawatan,
perekaman data, pengawasan dalam penggunaan spesimen ilmiah (Suhardjono,
1999). 
Pembuatan awetan spesimen diperlukan untuk tujuan pengamatan spesimen
secara praktis tanpa harus mencari bahan segar yang baru, terutama untuk spesimen-
spesimen yang sulit di temukan di alam. Spesimen adalah contoh binatang atau
tumbuhan atau mikroba utuh (misal serangga dan ikan), bagian dari tubuh binatang
atau tumbuhan (misal tengkorak mamalia, tulang burung, daun yang diserang hama
dan bunga) atau organ (hati dan pucuk akar serabut) atau darah (untuk material DNA)
yang dikumpulkan dan disimpan untuk jangka waktu tertentu (Suhardjono, 1999). 
Menurut Tjakrawidjaya (1999), koleksi spesimen yaitu pengawetan yang
digunakan dalam mempertahankan organ spesimen. Teknik koleksi dibedakan
menjadi dua yaitu koleksi basah dan koleksi kering. Koleksi kering dilakukan untuk
hewan seperti kelas Mamalia, Amphibi dan Aves, sedangkan koleksi basah digunakan
untuk kelas Reptil dan Pisces. Persiapan koleksi spesimen yaitu mematikan objek,
fiksasi, dan pengawetan. Objek yang akan dijadikan spesimen harus dimatikan
terlebih dahulu, hal ini dilakukan bertujuan untuk memudahkan dalam melakukan
pengawetan, kemudian dilakukan fiksasi yang bertujuan mempertahankan ukuran dan
bentuk sel tubuh, dilanjutkan pengawetan spesimen agar spesimen tersebut tidak
rusak sehingga dapat dijadikan koleksi rujukan dalam identifikasi hewan. Cara
koleksi tergantung pada taksa suatu spesies (Sinaga, 2008).
Spesimen dari bermacam-macam hewan sering dibutuhkan untuk keperluan
penelitian maupaun alat peraga dalam dunia pendidikan. Ahli pengetahuan alam, tidak
dapat mengambil manfaat pada spesimen yang tidak diawetkan, dalam kegiatan
koleksi hewan perlu memperhatikan beberapa hal, diantaranya jangan sampai
menggangu keberadaan satwa langka atau merusak sisa-sisa peninggalan dalam gua
yang sudah ditingalkan manusia purba. Hewan yang dikoleksi adalah hewan-hewan
yang dibutuhkan untuk pengawetan dengan tujuan pengujian di kemudian hari. Semua
spesimen koleksi harus diberi label yang berisi keterangan tantang nama spesies,
lokasi penemuan tanggal koleksi dan data lain yang diperlukan. Label harus ditulis
ketika spesimen diawetkan agar tidak terjadi kesalahan informasi mengenai spesies
awetan (Jasin, 1989).
Preservasi adalah kegiatan yang terencana dan terkelola untuk memastikan
berbagai sampel yang diawetkan bisa digunakan untuk jangka waktu yang lama.
Tujuan preservasi meliputi tujuan jangka pendek dan jangka panjang. Preservasi
jangka pendek digunakan untuk keperluan rutin penelitian yang disesuaikan dengan
kegiatan program atau proyek tertentu. Preservasi jangka panjang dilakukan dalam
kaitannya dengan koleksi dan konservasi plasma nutfah dari spesies makhluk hidup,
sehingga apabila suatu saat diperlukan dapat diperoleh kembali atau dalam keadaan
tersedia (Winker, 2000). 
Kelebihan teknik preservasi yaitu untuk mempertahankan spesimen supaya
terhindar dari jamur dan kerusakan, teknik preservasi mudah dilakukan khususnya
pada spesimen basah, sedangkan kekurangannya yaitu terdapat kesulitan dalam
melakukan teknik preservasi misalnya alat dan bahan kurang lengkap, (Elzinga,
2000).
Spesimen dari bermacam-macam hewan sering dibutuhkan untuk keperluan
penelitian maupun alat peraga dalam dunia pendidikan. Ahli pengetahuan alam, tidak
dapat mengambil manfaat pada spesimen yang tidak diawetkan, dalam kegiatan
koleksi hewan perlu memperhatikan beberapa hal, diantaranya jangan sampai
menggangu keberadaan satwa langka atau merusak sisa-sisa peninggalan dalam gua
yang sudah ditingalkan manusia purba. Hewan yang dikoleksi adalah hewan-hewan
yang dibutuhkan untuk pengawetan dengan tujuan pengujian di kemudian hari. Semua
spesimen koleksi harus diberi label yang berisi keterangan tantang nama spesies,
lokasi penemuan tanggal koleksi dan data lain yang diperlukan. Label harus ditulis
ketika spesimen diawetkan agar tidak terjadi kesalahan informasi mengenai spesies
awetan (Jasin, 1989).
Kegiatan analisis sampel merupakan pekerjaan yang membutuhkan waktu lama,
sehingga sampel perlu diawetkan. Pengawetan objek dilakukan agar menjadi awet,
jaringanya tidak rusak dan terhindar dari serangan bakteri maupun jamur. Ikan,
Moluska, Reptil dan Mamalia air dapat dilakukan dengan pengawetan basah.
Pengawetan kering dilakukan dengan mengeringkan obyek biologi hingga kadar air
yang sangat rendah, sehingga organisme perusak atau penghancur tidak bekerja.
Pengawetan kering dilakukan pada hewan yang memiliki kerangka luar keras dan
tidak mudah rusak akibat proses pengeringan. Pengeringan dilakukan dengan
menggunakan oven atau dijemur di bawah terik matahari hingga kadar airnya sangat
rendah (Suhardjana, 1999). 
Spesimen awetan yang dibuat harus dibersihkan dari rambut dan kulit dengan
cara dikerok hal ini digunakan untuk isolasi dari bakteri patogen dan jamur (Dermici,
2012).
Terdapat dua macam tipe koleksi spesimen, yaitu koleksi basah dan koleksi
kering. Koleksi basah adalah koleksi yang disimpan dalam larutan pengawet ethanol
70%, sedangkan koleksi kering berupa tulang dan kulit yang diawetkan dengan bahan
kimia formalin atau boraks. Menurut Yayuk (2010 ), 
pengawetan hewan dapat dilakukan dengan cara-cara seperti berikut:
1. Pengawetan tulang (rangka)
Pembuatan preparat tulang dilakukan dengan terlebih dahulu membedah
dan menguliti spesimen hingga bersih dari kulitnya. Kemudian dilakukan
perebusan selama 30 menit hingga 2 jam agar memudahkan pemisahan otot dari
rangka, lalu didinginkan secara alami. Selanjutnya dibersihkan otot atau daging
yang masih menempel pada rangka dengan hati-hati sampai bersih, lalu
dibersihkan dan direndam dalam pemutih agar tulangnya putih bersih. Terakhir,
ditata rapi, diberi label, dan diidentifikasi(Prijono, 1999).
2. Pengawetan insekta (insektarium)
Pembuatan preparat awetan insekta dilakukan dengan terlebih dahulu
mematikan serangga dengan cara serangga dimasukkan ke dalam botol atau toples
yang didalamnya telah diletakkan busa berkloroform, sebelumnya diletakkan
pembatas dari kertas yang agak tebal yang telah dibolong-bolongi agar serangga
tersebut mati tanpa terkena basahan kloroform. Setelah mati, bagian luar tubuh
serangga diolesi alkohol 70% lalu ditusuk dengan office pin atau jarum pentul,
ditancapkan pada sterofoam. Menurut Afifah (2014), insektarium  adalah awetan
serangga dengan bahan pengawet alkohol 70% dan formalin 5% yang dikemas
dalam bentuk koleksi media pembelajaran. Herbarium dan insektarium sebelum
digunakan penelitian terlebih dahulu telah divalidasi oleh pakar media, sehingga
diketahui layak atau tidak digunakan dalam penelitian (Prijono, 1999).
3. Pengawetan kering (taksidermi)
Taksidermi adalah salah satu teknik pengawetan untuk mumifikasi selama
berabad-abad. Pembuatan preparat taksidermi dilakukan dengan terlebih dahulu
membius spesimen dengan kloroform atau eter. Spesimen yang biasa dibuat
taksidermi adalah Mamalia dan Aves. Setelah hewan mati, dibuat torehan dari
perut depan alat kelamin sampai dada, kemudian lukanya dibubuhi tepung jagung.
Setelahnya, hewan dikuliti menggunakan scalpel, dihilangkan lemak-lemaknya,
dam setelah bersih lalu boraks ditaburi dan gulungan kapas dibuat sebesar atau
sepanjang tubuh hewan lalu dimasukkan sebagai pengganti dagingnya. Kemudian
dibentuk seperti perawakannya saat masih hidup. Terakhir, bekas torehannya
dijahit, mulutnya dijahit segitiga (Prijono, 1999).
4. Pengawetan basah
Spesimen yang biasa dibuat awetan basah biasanya bangsa Crustacea atau
hewan avertebrata lainnya. Pembuatannya terbilang cukup sederhana prosesnya.
Hewan dimatikan dengan kloroform atau eter, dibersihkan, lalu dimasukkan ke
dalam toples transparan berisi alkohol 70% yang sesuai ukuran atau lebih besar
ukurannya dari hewan tersebut. Biasanya dilengkapi dengan kaca transparan
untuk alas hewan agar tetap kedudukannya, kemudian diberi keterangan
menggunakan kertas kedap air (Prijono, 1999).
Alur pelabelan dapat dimulai dari data lapangan yang berisikan semua
data identitas spesimen dari lapangan yang dicatat dalam buku lapangan dan
merupakan catatan kerja (nama jenis, tanggal pengambilan, kolektor, lokasi, suhu,
arus, kedalaman, kecerahan, posisi, salinitas, pH, parameter kualitas air lainnya,
teknik koleksi, nama lokal dan lainnya). Catatan tersebut sangat membantu dalam
melengkapi label. Teknik pelabelan tidak semua data dituliskan dalam label,
hanya berisikan informasi tertentu saja misalnya: nama jenis, nama suku, nomor
katalog, koordinat, nama lokasi, nama kolektor, nama identifikator, tanggal
identifikasi, tanggal pengambilan dan alat yang digunakan (Pratiwi 2006).
B. Pengawetan Basah
Pengawetan basah dilakukan bagi hewan tidak bercangkang yang ukurannya
relatif kecil, direndam dalam larutan pengawet. Pengawetan kering untuk organisme
yang berukuran relatif besar biasanya dilakukan dengan cara mengeringkan dengan
sinar matahari atau dengan oven dan selanjutnya agar lebih awet dapat disimpan
dalam media pengawet resin (Bioplastik). Obyek yang dapat dijadikan sebagai
specimen utama dalam pengawetan basah maupun kering merupakan objek biologi
yang berukuran kecil hingga yang berukuran besar (Budiyanto, 2003).
 
C. Cara Pengawetan
Secara garis besar, ada dua cara pengawetan obyek biologi, yaitu pengawetan
basah dan pengawetan kering. Pengawetan basah dilakukan dengan mengawetkan
obyek biologi dalam suatu cairan pengawet. Pengawetan kering dilakukan dengan
mengeringkan obyek biologi hingga kadar air yang sangat rendah, sehingga organism
perusak/penghancur tidak bekerja (Kurniasih, 2008).
Langkah-langkah Pengawetan Koleksi
Hewan-hewan yang akan diawetkan dalam bentuk utuh dan akan dibawa ke
kelas atau ke Laboratorium biasanya hewan-hewan yang berukuran relatif kecil.
Hewan yang akan diawetkan ditangkap menggunakan alat yang sesuai. Hewan yang
tertangkap dimasukkan dalam botol koleksi yang sudah diberi label (Budiyanto,
2003).
Proses mematikan dan meneguhkan memerlukan perlakuan dan bahan
tertentu. Bahan untuk mematikan biasanya adalah Ether, Kloroform, HCN/KCN,
Karbon Tetracloride (CCl4) atau Ethyl acetat. Namun, kadang-kadang perlu
perlakuan khusus yaitu melalui pembiusan sebelum proses mematikan dilakukan, agar
tubuh hewan yang akan diawetkan tidak mengkerut atau rusak. Pembiusan dilakukan
dengan serbuk menthol atau kapur barus ke permukaan air tempat hidupnya, setelah
tampak lemas, dan tidak bereaksi terhadap sentuhan, hewan dapat dipindahkan ke
dalam larutan pengawet (Budiyanto, 2003).
Beberapa bahan pengawet yang dapat digunakan dalam pengawetan antara lain:
formalin, alkohol (ethil alkohol), resin atau pengawet berupa ekstrak tanaman. Bahan-
bahan pengawet ini mudah dicari, murah dan hasilnya cukup bagus, meskipun ada
beberapa kelemahan (Budiyanto, 2003). 
Bahan pengawet dan peneguh yang digunakan biasanya berbahaya bagi
manusia, maka perlu dikenali sifat-sifatnya. Dengan mengenal sifat-sifat ini,
diharapkan dapat dihindari bahaya yang mungkin ditimbulkan.  Alkohol, merupakan
bahan yang mudah terbakar, bersifat disinfektan dan tidak korosif. Formalin, larutan
mudah menguap, menyebabkan iritasi selaput lendir hidung, mata, dan sangat korosif,
bila pekat berbahaya bagi kulit. Ether, larutan mudah menguap, beracun, dapat
membius dengan konsentrasi rendah, eksplosiv. Kloroform, Larutan mudah menguap,
dapat membius dan melarutkan plastic. Karbon tetracloride, larutan mudah menguap,
melarutkan plastik dan lemak, membunuh serangga. Ethil acetat, larutan mudah
menguap, dapat membius dan mematikan serangga atau manusia. Resin, merupakan
larutan yang tidak mudah menguap mudah mengeras dengan penambahan larutan
katalis, karsinogenik, dapat mengawetkan specimen dalam waktu yang sangat lama.
KCN/HCN, larutan pembunuh yang sangat kuat, sangat beracun, bila tidak terpaksa
jangan gunakan larutan ini (Kurniasih, 2008).
Teknik awetan basah merupakan salah satu teknik yang digunakan dalam
pengawetan hewan-hewan dari kelas vertebrata khusunya yang mempunyai ukuran
cukup besar. Teknik ini dapat juga digunakan untuk pengawetan hewan-hewan dari
kelas invertebrate dan tumbuhan tingkat tinggi (Hayati, 2011).
Langkah-langkah Teknik Awetan Basah:
1. Menyiapkan hewan yang akan diawetkan.
2. Menyediakan formalin yang telah diencerkan sesuai dengan keinginan.
3. Memasukkan hewan pada larutan formalin yang telah ada dalam stoples
kaca  dan telah diencerkan dimana sebelum memasukkan hewan  ke dalam
stoples, kaca terlebih dahulu udang dibersihkan dari kotoran atau lumpur
dengan menggunakan aquades.
4. Menutup rapat stoples kaca dan kemudian diberi label yang berisi nama 
spesimen tersebut dan familinya (Hayati, 2011).
Pengawetan basah dilakukan dengan menggunakan beberapa macam larutan
pengawetan, yaitu sebagai berikut.
1. Alcohol 70% sebagai  larutan fiksasidan pengawetan untuk hewan kecil.
2. Formalin 4%sebagai larutan pengawet hewan seperti katak, reptile, dan mamalia
kecil.
3. Formalin 2-3% sebagai larutan pengawet yang disuntikkan kedalam tubuh
hewan berukuran besar selain direndam dengan larutan formalin 4%
(Budiyanto, 2003).
Teknik awetan basah ini bermanfaat sebagai salah satu media pembelajaran
dalam ilmu biologi. Dengan adanya teknik awetan basah ini, maka peserta didik
akan lebih mudah memahami struktur anatomi dari hewan yang diawetkan tanpa
harus membuang waktu untuk proses pembedahannya (Rio, 2005).
 
 
 
  
BAB III
METODE PRAKTIKUM

A. Waktu dan Tempat


Praktikum ini dliakukan di Jalan Pangkalan Perumahan Griya Sako Permai
Blok. ii No. 4 RT. 025 RW. 001, pada tanggal 05 januari 2021 jam 10.00 wib.

B. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada praktikum pembuatan pestisida nabati adalah


Steorofoam, cutter, tutup kardus hvs, kertas kado, plastik transparan, botol kaca,
selotip, spidol, alat tulis, kertas hvs. Bahan yang digunakan untuk praktikum ini
adalah alkohol 70 % 1liter, Fomalin 4% 50ml, 2 botol kaca, aquades dan ikan Gabus,
ikan mujair

C. Cara Kerja
Cara kerja dari praktikum ini adalah:
1. Ukur alkohol 500 ml dan masukan di masing-masing
2. Ukur 25 ml dan masukan di masing-masing botol
3. Tambahkan aquades secukupnya
4. Masukan sampel yang telah dibersihkan
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

            Pisces atau ikan adalah anggota vertebrata poikilotermik (berdarah dingin)  hidup di
air dan bernapas dengan insang. Ikan merupakan kelompok vertebrata yang paling beraneka
ragam dengan jumlah spesies lebih dari 27,000 di seluruh dunia. Secara taksonomi, ikan
tergolong kelompok paraphyletic yang hubungan kekerabatannya masih diperdebatkan;
biasanya ikan dibagi menjadi ikan tanpa rahang (kelas Agnatha, 75 spesies termasuk lamprey
dan ikan hag), ikan bertulang rawan (kelas Chondrichthyes, 800 spesies termasuk hiu dan
pari), dan sisanya tergolong ikan bertulang keras (kelas Osteichthyes) (Rio, 2005).
Ikan memiliki bermacam ukuran, mulai dari paus hiu yang berukuran 14 meter (45 ft)
hingga stout infantfish yang hanya berukuran 7 mm (kira-kira 1/4 inci). Ada beberapa hewan
air yang sering dianggap sebagai "ikan", seperti ikan paus, ikan cumi dan ikan duyung, yang
sebenarnya tidak tergolong sebagai ikan (Anoymous, 2012).
Ikan dapat ditemukan di hampir semua "genangan" air yang berukuran besar baik air
tawar, air payau maupun air asin pada kedalaman bervariasi, dari dekat permukaan hingga
beberapa ribu meter di bawah permukaan. Namun, danau yang terlalu asin seperti Great Salt
Lake tidak bisa menghidupi ikan. Ada beberapa spesies ikan dibudidayakan untuk dipelihara
untuk dipamerkan dalam akuarium (Anonymous, 2011).
Ikan adalah sumber makanan yang penting. Hewan air lain, seperti moluska dan
krustasea kadang dianggap pula sebagai ikan ketika digunakan sebagai sumber makanan.
Menangkap ikan untuk keperluan makan dalam jumlah kecil atau olah raga sering disebut
sebagai memancing.Hasil penangkapan ikan dunia setiap tahunnya berjumlah sekitar 100 juta
ton(Budiyanto, 2003).
Ciri utama Pisces sebagai berikut:
1. Hewan berdarah dingin yang hidup di dalam air.
2. Bernapas dengan insang (operculum) dan dibantu oleh kulit.
3. Tubuh terdiri atas Kepala.
4. Rangka tersusun atas tulang sejati.
5. Jantung terdiri atas satu serambi dan satu bilik.
6. Tubuh ditutupi oleh sisik dan memiliki gurat sisi untuk menentukan arah dan
posisi   berenang.
Klasifikasi ikan mujair (Oreochromis mossambicus) menurut Kimball (1994) adalah sebagai
berikut:
Kelas : Pisces
Sub kleas : Teleostei
Ordo : Percomorphi
Sub ordo : Percoidea
Family : Cichlidae
Genus : Oreochromis
Spesies : Oreochromis mossambicus

Ikan mujair berasal dari perairan Afrika, yaitu sekitar dataran rendah Zambezi, Shiré
dan dataran pantai delta Zambezi sampai pantai Algoa. Pada saat ini, ikan mujair telah
tersebar luas sekurang-kurangnya ke-90 negara di dunia, termasuk Indonesia. Ikan mujair
diperkenalkan sebagai ikan budi daya atau ikan komersial dan di Indonesia, ikan Mujair
awalnya diperkenalkan sebagai ikan hias. Ikan mujair dibedakan menjadi beberapa jenis,
antara lain mujair biasa, mujair merah dan mujair albino. Berdasarkan warna sisik, ikan ini
dapat dibedakan ke dalam lima varitas, yaitu mujair dengan warna sisik abu-abu, abu- abu
bercak putih, putih, hitam dan merah (Sugiarti, 1988).
Ikan Mujair merupakan jenis ikan konsumsi air tawar, bentuk badan pipih dengan
warna abu-abu, coklat atau hitam. Mujair memiliki bentuk badan yang pipih dan memanjang,
bersisik kecil-kecil bertipe stenoid, tubuh memiliki garis vertikal, sirip ekor memiliki garis
berwarna merah. Warna ikan ini tergantung pada lingkungan atau habitat yang di huni (Webb
et al., 2007).
Mulutnya agak besar dan mempunyai gigi-gigi yang halus. Letak mulut terminal atau
di ujung tubuh. Posisi sirip perut terhadap sirip dada adalah thoracic. Linea lateralis tidak
sempurna atau terputus menjadi dua bagian. Jumlah sisik pada garis rusuk bagian atas 18-21
buah dan pada garis rusuk bagian bawah ada 10-15 buah. Sirip dada dan sirip perut berwarna
hitam kemerahan, sedangkan sirip punggung dan sirip ekor berwarna kemerah-merahan pada
ujung-ujungnya (Said, 2000).
Ikan Mujair merupakan jenis ikan air tawar, bentuk badan pipih dengan warna abu-
abu, coklat atau hitam. Mujair memiliki bentuk badan yang pipih dan memanjang, bersisik
kecil-kecil bertipe stenoid, tubuh memiliki garis vertikal, sirip ekor memiliki garis berwarna
merah. Warna ikan ini tergantung pada lingkungan atau habitat yang di huni (Webb et al.,
2007).
Mulutnya agak besar dan mempunyai gigi-gigi yang halus. Letak mulut terminal atau
di ujung tubuh. Posisi sirip perut terhadap sirip dada adalah thoracic. Linea lateralis tidak
sempurna atau terputus menjadi dua bagian. Jumlah sisik pada garis rusuk bagian atas 18 - 21
buah dan pada garis rusuk bagian bawah ada 10 - 15 buah. Sirip dada dan sirip perut
berwarna hitam kemerahan, sedangkan sirip punggung dan sirip ekor berwarna kemerah-
merahan pada ujungujungnya (Cahyono, 2000).

Gambar 1. Awetan Basah pada Ikan Mujair (Oreochromis mossambicus)

Ikan gabus (Channa striata) atau yang lebih dikenali sebagai striped
snakehead, anggota genus Channa, merupakan ikan konsumsi yang populer di Asia
(Wee, 1982). Ikan ini memiliki nilai ekonomi yang terus meningkat dan memiliki 7
pasaran yang tinggi karena rasanya enak dan ketersediaannya sepanjang tahun. Selain
dimanfaatkan dalam bentuk ikan segar karena memiliki daging yang tebal dan rasa
yang khas, juga telah diolah sebagai bahan pembuatan kerupuk dan pempek, serta
sebagai ikan asin dan ikan asapan. Daging ikan ini juga dimanfaatkan sebagai bahan
terapi pengobatan setelah pembedahan (Gam et al., 2006).
Menurut Bloch (1793), klasifikasi ikan gabus sebagai berikut :
Kerajaan : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Actinopterygii
Ordo : Perciformes
Famili : Channidae
Spesies : Channa striata
Secara morfologis, bentuk tubuh ikan memanjang, permukaan tubuh dan
kepala ditutupi oleh sisik tebal dan permukaannya kasar. Sirip punggung panjang
yang dasarnya mencapai pangkal ekor, permulaan sirip ini di atas atau sedikit di
belakang sisip dada. Kepala berbentuk seperti kepala ular. Antara dasar sirip 8
punggung dan linea lateralis terdapat 4 - 5 baris sisik, Dorsal 38 - 43, Anal 23 - 27,
Linea lateralis (Lt) 52 - 57. Pada sisi badan mempunyai pita warna berbentuk >
mengarah ke depan. Sirip dada lebih pendek dari pada bagian kepala di belakang
mata. Umumnya bagian punggung tubuh berwarna gelap dan bagian perut
(abdominal) berwarna putih. Sirip ekor berbentuk bundar (rounded) (Saanin, 1986;
Pulungan et al., 1986; Kottelat et al., 1993 dan Pulungan 2000).
Komposisi kimia dari ikan gabus menurut Sayuti dalam Rizki (2005) adalah
kadar air sebanyak 75,01%, protein 17,06%, lemak 0,44% dan abu 1,43%. Sugito dan
Hayati (2006), menambahkan ikan gabus mempunyai kandungan protein yang tinggi
(17%), kandungan lemak yang rendah (1%) dan memiliki daging yang putih. Ikan
gabus merupakan ikan labirin yang mampu bertahan di luar air, karena mempunyai
alat pernafasan tambahan yang berupa lipatan kulit tipis yang berlikuliku seperti
labirin (Soeseno, 1988).
Ikan ini biasa hidup di sungai, danau, dan kolam/tambak, serta biasa membuat
sarang di daerah rawa-rawa atau diantara belukar yang terdapat pada tepi tambak dan
sungai. Di Indonesia, ikan gabus penyebarannya sangat luas, mulai dari Sumatera,
Jawa, Madura, Bali, Lombok, Kalimantan, Sulawesi, Flores, Ambon dan Halmahera
(Weber dan Beaufort 1922).
Di beberapa daerah, ikan gabus dikenal pula dengan nama ikan
rayong(Sunda), Kuto (Madura), Bace (Aceh), Sepungkat (Palembang), dan di
Bajarmasin dengan nama ikan Haruan (Weber & Beaufort 1922). Ikan gabus
merupakan ikan karnivor yang cukup buas. Di tambak pedalaman, yang salinitasnya
lebih rendah/tawar, ikan gabus merupakan hama 9 yang amat merugikan karena
kebuasannya melebihi ikan kakap. Ikan ini tidak hanya memangsa ikan bandeng,
tetapi juga ikan-ikan liar lainnya (Soeseno 1988).
Ikan gabus sangat kaya akan albumin yaitu salah satu jenis protein penting.
Albumin merupakan jenis protein terbanyak di dalam plasma yang mencapai kadar
60 %. Menurut Astuti (2008), albumin berada di dalam darah untuk meningkatkan
daya tahan tubuh, mengatur keseimbangan air dalam sel, mengeluarkan produk
buangan, dan memberi gizi pada sel untuk pembentukan jaringan sel baru sehingga
mempercepat pemulihan jaringan sel tubuh yang terbelah pasca operasi atau
pembedahan dan luka. Albumin diperlukan tubuh manusia setiap hari, terutama
dalam proses penyembuhan luka-luka. Pemberian daging ikan gabus atau ekstrak
proteinnya telah dicobakan untuk meningkatkan kadar albumin dalam darah dan
membantu penyembuhan beragam penyakit, dari kekurangan gizi, diabetes, autis,
hingga HIV-AIDS

Gambar 2. Awetan Basah pada Ikan Gabus (Channa striata)


BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pengawetan basah dilakukan bagi hewan tidak bercangkang yang ukurannya
relatif kecil, direndam dalam larutan pengawet. Pengawetan kering untuk organisme
yang berukuran relatif besar biasanya dilakukan dengan cara mengeringkan dengan
sinar matahari atau dengan oven dan selanjutnya agar lebih awet dapat disimpan
dalam media pengawet resin (Bioplastik). Obyek yang dapat dijadikan sebagai
specimen utama dalam pengawetan basah maupun kering merupakan objek biologi
yang berukuran kecil hingga yang berukuran besar.

B. Saran
Semoga pandemi covid 19 cepat berlalu agar dapa melakukan praktikum bersama
DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Anik..Ringkasan Biologi. Bandung : Ganeca Exact Bandung

Borror DJ, CA Triplehorn & NF Jhonson. 1992. Pengenalan Pelajaran Serangga.


Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Budiyanto, 2003. Petunjuk Praktikum Vertebrata. Jakarta: Erlangga.

Demirci, B., Gultiken M.E., Karayigit, M.O. dan Atalar, K. 2012. Is Frozen
Taxidermy an Alternative Method for Demonstration of Dermatopaties. Eurasian
Journal of Veterinary Sciences, 28(3)

Desmukh I. 1992. Ekologi dan Biologi Tropika. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Elzinga, R. J. 2000. Fundamentals of Entomology. Minessota: Practice Hall. 

Feltwell J. 2001. The Illustrated Encyclopedia of Butterflies. Rochester: Grange


Books
Hayati, 2011. Buku Praktikum Vertebrata. Jakarta: Erlangga.
Jasin, M. 1989. Sistematika Hewan Vertebrata dan Invertebrata. Surabaya: Sinar
Wijaya.
Jasin, Maskoeri. 1989. Biologi Umum untuk Perguruan Tinggi. Surabaya: Bina
Pustaka Tama.
Kurniasih, Surti. 2008. Penuntun Praktikum Morfologi Tumbuhan. Bogor: Prodi
Biologi FKIP Universitas Pakuan Bogor.

Oktaviana R. 2012. Keanekaragaman Jenis Kupu-kupu Superfamili Papilionoidea di


Dusun Banyuwindu, Desa Limbangan, Kecamatan Limbangan, Kabupaten
Kendal. Jurnal MIPA 35 (1)

Pratiwi, R. 2006. Bagaimana Mengkoleksi Dan Merawat Biota Laut. Oseana. 91(2),
Prijono S.N, Koestoto, dan Suhardjono, Y.R. 1999. Kebijakan koleksi. Dalam
Suhardjono YR (ed). Buku Pegangan Pengelolaan Koleksi Spesimen Zoologi.
Balitbang Zoologi: Puslitbang Biologi-LIPI.

Rahayu SE & A Basukriadi. 2012. Kelimpahan dan Keanekaragaman Spesies Kupu-


kupu (Lepidoptera: Rhopalocera) pada Berbagai Tipe Habitat di Hutan Kota
Muhammad Sabki Kota Jambi. Jurnal of Biospecies 5 (2):

Rio, 2005. Dunia Hewan. Jakarta: Bumi Aksara.

Roepke. 1932. De Vlinders van Java. Batavia: E.Dunlop & Co.

Rusyana, Adun. 2011. Zoologi Invertebrata (Teori dan Praktik). Bandung :


ALFABETA.

Scoble MJ. 1995. The Lepidoptera: Form, Function and Adversity. New York:
Oxford University Press.

Sihombing DTH. 2002. Satwa Harapan  I: Pengantar  Ilmu dan Teknologi Budidaya.
Bogor: Pustaka Wirausaha Muda.

Sinaga, M.H. 2008. Suatu wacana meningkatkan kualitas pameran Museum Zoologi
Bogor menjadi pusat informasi keanekaragaman fauna nusantara. Fauna
Indonesia, 8(1)
Suhardjono dan Yayuk, R. 2006. Status Taksonomi Fauna Di IndonesiaDengan
Tinjauan Khusus Pada Collembola. Zoo Indonesia, 15(2)

Tjakrawidjaya, F. 1999. Arsenic In Taxidermy Collections. Bogor: Puslitbang Biologi.


 
Winker, K. 2000. Obtaining, Preserving, and Preparing Bird Spcimens. Journal of
Field Ornithology, 71(2), 

Yayuk, S., Hartini, U. & Sartiami, E. 2010. Koleksi, Preservasi, Identifikasi, Kurasi
dan Manajemen Data. Bandung: Angkasa Duta.
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai