Anda di halaman 1dari 36

13 MASALAH PENGELOLAAN

KEUANGANNEGARA DAN DAERAHA


By Turiman Fachturahman Nur
Reformasi Tata Kelola Keunagan Daerah sudah digulirkan
Reformasi tata kelola keuangan negara/daerah telah digulirkan oleh pemerintah pusat,
yang merupakan langkah maju khususnya dalam menata sistem pemerintahannya.
Reformasi tata kelola keuangan negara/daerah secara ideal tidak hanya mencakup
reformasi akuntansi keuangannya. Namun demikian, reformasi akuntansi sektor publik
merupakan sesuatu yang sangat fundamental khususnya bagi pengelolaan keuangan
daerah. Reformasi ini, secara substantif mengandung pengertian pengelolaan sumber-
sumber daya daerah secara ekonomis, efisien, efektif, transparan, dan akuntabel dalam
rangka peningkatan kesejahteraan dan pemberdayaan daerah.
Paket Undang-undang bidang Keuangan Negara telah memberikan
landasan/payung hukum di bidang pengelolaan dan administrasi keuangan
negara/daerah. Undang-undang ini dimaksudkan pula untuk memperkokoh landasan
pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah dalam kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Dalam rangka pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah,
kepada daerah telah diberikan kewenangan yang luas, demikian pula dana yang
diperlukan untuk menyelenggarakan kewenangan itu. Agar kewenangan dan dana
tersebut dapat digunakan dengan sebaik-baiknya untuk penyelenggaraan tugas
pemerintahan di daerah, diperlukan kaidah-kaidah sebagai rambu-rambu dalam
pengelolaan keuangan daerah.

Otonomi Daerah merupakan upaya pemberdayaan daerah dalam pengambilan


keputusan daerah secara lebih leluasa dan bertanggung jawab untuk mengelola sumber
daya yang dimiliki sesuai dengan kepentingan, prioritas, dan potensi daerah sendiri.
Kewenangan yang luas, utuh dan bulat yang meliputi perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan, pengendalian dan evaluasi pada semua aspek pemerintahan ini, pada
akhirnya harus dipertanggungjawabkan kepada pemberi wewenang dan masyarakat.
Penerapan otonomi daerah seutuhnya membawa konsekuensi logis berupa pelaksanaan
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah berdasarkan manajemen
keuangan yang sehat. Oleh karena itu, diperlukan sistem pengelolaan keuangan daerah
yang baik dalam rangka mengelola dana APBD secara transparan, ekonomis, efisien,
efektif dan akuntabel.

Dalam perundang-undangan bidang keuangan negara ini secara tegas diatur


bagaimana Pemerintah Daerah menata sistem pemerintahan khususnya di bidang
keuangan. Undang-undang ini mengatur mengenai asas umum perbendaharaan negara,
kewenangan pejabat pengelola keuangan negara, pelaksanaan pendapatan dan belanja
negara/daerah, pengelolaan uang, piutang dan utang negara/daerah, pengelolaan
investasi dan barang milik negara/daerah, penatausahaan dan pertanggungjawaban
APBN/APBD, pengendalian intern pemerintah, penyelesaian kerugian negara/daerah,
serta pengelolaan keuangan badan layanan umum. Penyusunan RAPBD dengan
pendekatan prestasi kerja, penerapan Sistem Akuntansi Keuangan Daerah, penyajian
Neraca Daerah dan Laporan Arus Kas sebagai bentuk pertanggungjawaban Kepala
Daerah, merupakan beberapa hal baru yang diamanahkan dalam peraturan tersebut.

Urgensi UU NO 17 Tahun 2003

Berdasarkan UU No.17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara pasal 31,


Gubernur/Bupati/Walikota harus membuat pertanggungjawaban pelaksanaan APBD
dalam bentuk laporan keuangan yang telah diaudit oleh BPK (Badan Pemeriksa
Keuangan). Laporan keuangan ini terdiri atas Laporan Realisasi APBD, Neraca, Laporan
Arus Kas dan Catatan atas Laporan Keuangan. Hal ini menuntut kemampuan manajemen
pemerintahan daerah untuk mengalokasikan sumber daya secara efisien dan efektif.
Kemampuan ini memerlukan informasi akuntansi sebagai salah satu dasar penting
dalam pengambilan keputusan alokasi sumber daya ekonomis. Laporan-laporan ini
dapat dihasilkan dengan diterapkannya suatu sistem dan prosedur akuntansi yang
integral dan terpadu dalam pengelolaan keuangan daerah. Dengan demikian laporan-
laporan di atas dapat dihasilkan dengan diterapkannya suatu Sistem Informasi
Akuntansi Keuangan Daerah (SIAKD) yang terintegrasi dengan sistem-sistem lain dalam
manajemen keuangan daerah.

Berdasarkan Undang-Undang No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara


pasal 51 ayat (2), Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) selaku Pengguna
Anggaran harus menyelenggarakan akuntansi atas transaksi keuangan, aset, utang, dan
ekuitas dana, termasuk transaksi pendapatan dan belanja, yang berada dalam tanggung
jawabnya. Hal ini berarti bahwa setiap SKPD harus membuat laporan keuangan unit
kerja. Pasal 56 UU ini menyebutkan bahwa laporan keuangan yang harus dibuat setiap
unit kerja adalah Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, dan Catatan atas Laporan
Keuangan, sedangkan yang menyusun laporan arus Kas adalah Kepala Satuan Kerja
Pengelola Keuangan Daerah selaku Bendahara Umum daerah.

Sistem Akuntansi Keuangan Daerah harus ditunjang dengan pembenahan tata


kelola keuangan daerah lainnya, yang mendukung upaya penyempurnaan sistem.
Sumber daya manusia pelaksana sistem harus diberikan pemahaman yang memadai,
pengguna laporan keuangan (stakeholders) juga harus memahami peran dan fungsinya,
serta bagaimana memanfaatkan laporan keuangan. Elemen masyarakat harus
memahamai alur sistem secara global, sehingga mereka akan lebih sadar akan hak dan
kewajibannya. Para eksekutif di pemerintah daerah harus memiliki pengetahuan
tentang bagaimana memanfaatkan laporan-laporan internal yang dapat dihasilkan dari
sistem akuntansi.
Sistem Pengelolaan Keuangan Daerah
1. Dasar Hukum
Yang mendasari perundang-undangan penting yang melandasai pelaksanaan
pengelolaan keuangan daerah sebagai berikut :
1. UU No. 20 Tahun 1999 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
2. UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan daerah;
3. UU No. 1 Tahun 2004 tentang perbedaharaan
4. UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab
Keuangan Negara;
5. UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional;
6. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah;
7. UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah;
8. PP. No 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah;
9. PP No. 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah;
10. PP No. 24 Tahun 2004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan
dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang telah diubah dengan PP No.
37 Tahun 2005, PP No. 37 Tahun 2006 dan PP No. 21 Tahun 2007;
11. PP No. 14 Tahun 2005 tentang Tatacara Penghapusan Piutang Negara/Daerah;
12. PP 23 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan;
13. PP No. 24 Tahun 2005 Standar Akuntansi Pemerintahan
14. PP No. 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah;
15. PP No. 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan;
16. PP No. 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah;
17. PP No. 57 Tahun 2005 tentang Hibah Kepada Daerah;
18. PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah;
19. PP No. 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Estándar
Pelayanan Minimal;
20. PP No. 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah;
21. PP No. 8 Tahun 2006 tentang Laporan Keuangan dan Kinerja Instansi
Pemerintah;
22. Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan
Daerah;
23. Permendagri No. 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang
Milik Daerah
24.Permendagri No. 23 Tahun 2007 tentang Pedoman Tata Cara Pengawasan atas
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;
25.Permendagri No. 24 Tahun 2007 tentang Pedoman Pemeriksaaan dalam
rangkaberakhirnya Masa Jabatan Kepala Daerah;
26. Permendagri No. 25 Tahun 2007 tentang Pedoman Penanganan Pengaduan
Masyarakat di Lingkungan Departemen Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah;
27. Permendagri No. 59 Tahun 2007 tentang Perubahan Peraturan Menteri Dalam
Negara No. 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
PEMBARUAN TATA KELOLA KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH
Perubahan pendekatan akuntansi pemerintah daerah dari single entry menuju double
entrymerupakan perubahan yang cukup revolusioner. Kesiapan SDM daerah khususnya
di Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah (Badan Pengelola Keuangan Daerah)
umumnya kurang memiliki latar belakang bidang akuntansi. Oleh karena itu, penerapan
pendekatan baru ini relatif akan menghadapi banyak kendala yang cukup besar di
daerah. Meskipun pemerintah daerah sudah memiliki software akuntansi pemerintah
bagi daerahnya, namun demikian karena penguasaan terhadap akuntansi masih belum
memadai, maka kualitas laporan keuangan yang dihasilkan juga menjadi tidak
memenuhi kaidah pelaporan keuangan normatif sesuai yang disyaratkan Standar
Akuntansi Pemerintahan.

Sistem pengelolaan keuangan yang transparan dan akuntabel itu sudah


menjadi kebutuhan dalam rangka terciptanya good governance dan clean
government yang menjadi simbol reformasi pemerintahan secara umum. Untuk itu
upaya percepatan terhadap keberhasilan pembaruan (reformasi) manajemen
keuangan bagi pemerintah daerah sudah selayaknya mendapat perhatian
serius... Pengelolaan keuangan daerah sering menghadapi masalah ketika perencanaan
dan penganggaran tidak dilakukan dan berjalan dengan baik. Gagal dalam
merencanakan sesungguhnya merencanakan sebuah kegagalan. Tulisan berikut ini
menguraikan 13 permasalaha dalam perencanaan dan penganggaran di
daerahberdasarkan. Edy Marbyanto.

1. Intervensi hak budget DPRD terlalu kuat dimana anggota DPRD sering


mengusulkan kegiatan-kegiatan yang menyimpang jauh dari usulan masyarakat
yang dihasilkan dalam Musrenbang. Jadwal reses DPRD dengan proses
Musrenbang yang tidak match misalnya Musrenbang sudah dilakukan, baru
DPRD reses mengakibatkan banyak usulan DPRD yang kemudian muncul dan
merubah hasil Musrenbang. Intervensi legislative ini kemungkinan didasari
motif politis yakni kepentingan untuk mencari dukungan konstituen sehingga
anggota DPRD berperan seperti sinterklas yang membagi-bagi proyek. Selain itu
ada kemungkinan juga didasari motif ekonomis yakni membuat proyek untuk
mendapatkan tambahan income bagi pribadi atau kelompoknya dengan
mengharap bisa intervensi dalam aspek pengadaan barang (procurement) atau
pelaksanaan kegiatan. Intervensi hak budget ini juga seringkali mengakibatkan
pembahasan RAPBD memakan waktu panjang untuk negosiasi antara eksekutif
dan legislative. Salah satu strategi dari pihak eksekutif untuk “menjinakkan” hak
budget DPRD ini misalnya dengan memberikan alokasi tertentu untuk DPRD
missal dalam penyaluran Bantuan Sosial (Bansos) ataupun pemberian “Dana
Aspirasi” yang bisa digunakan oleh anggota DPRD secara fleksibel untuk
menjawab permintaan masyarakat. Di salah satu kabupaten di Kaltim, dana
aspirasi per anggota DPRD bisa mencapai 2 milyar rupiah per tahun.
2. Pendekatan partisipatif dalam perencanaan melalui mekanisme
musrenbang masih menjadi retorika. Perencanaan pembangunan masih
didominasi oleh: Kebijakan kepala daerah, hasil reses DPRD dan Program dari
SKPD. Kondisi ini berakibat timbulnya akumulasi kekecewaan di tingkat desa
dan kecamatan yang sudah memenuhi kewajiban membuat rencana tapi
realisasinya sangat minim.
3. Proses Perencanaan kegiatan yang terpisah dari penganggaran, Karena
ketidakjelasan informasi besaran anggaran, proses Musrenbang kebanyakan
masih bersifat menyusun daftar belanja (shopping list) kegiatan. Banyak pihak
seringkali membuat usulan sebanyak-banyaknya agar probabilitas usulan yang
disetujui juga semakin banyak. Ibarat memasang banyak perangkap, agar
banyak sasaran yang terjerat.
4. Ketersediaan dana yang tidak tepat waktu. Terpisahnya proses perencanaan
dan anggaran ini juga berlanjut pada saat penyediaan anggaran. APBD disahkan
pada bulan Desember tahun sebelumnya, tapi dana seringkali lambat tersedia.
Bukan hal yang aneh, walau tahun anggaran mulai per 1 Januari tapi sampai
bulan Juli-pun anggaran program di tingkat SKPD masih sulit didapatkan.
5. Breakdown RPJPD ke RPJMD dan RPJMD ke RKPD seringkali tidak
nyambung(match). Ada kecenderungan dokumen RPJP ataupun RPJM/Renstra
SKPD seringkali tidak dijadikan acuan secara serius dalam menyusun
RKPD/Renja SKPD. Kondisi ini muncul salah satunya disebabkan oleh kualitas
tenaga perencana di SKPD yang terbatas kuantitas dan kualitasnya. Dalam
beberapa kasus ditemui perencanaan hanya dibuat oleh Pengguna Anggaran
dan Bendahara, dan kurang melibatkan staf program sehingga banyak usulan
kegiatan yang sifatnya copy paste dari kegiatan yang lalu dan tidak visioner.
6. Kualitas RPJPD, RPJM Daerah dan Renstra SKPD seringkali belum optimal.
Beberapa kelemahan yang sering ditemui dalam penyusunan Rencana tersebut
adalah; indicator capaian yang seringkali tidak jelas dan tidak terukur (kalimat
berbunga-bunga), data dasar dan asumsi yang seringkali kurang valid, serta
analisis yang kurang mendalam dimana jarang ada analisis mendalam yang
mengarah pada “how to achieve”suatu target.
7. Terlalu banyak “order” dalam proses perencanaan dan masing-masing ingin
menjadi arus utama misalnya gender mainstreaming, poverty mainstreaming,
disaster mainstreaming dll. Perencana di daerah seringkali kesulitan untuk
menterjemahkan isu-isu tersebut. Selain itu “mainstreaming” yang seharusnya
dijadikan “prinsip gerakan pembangunan” seringkali malah disimplifikasi
menjadi sector-sektor baru, misalnya isu poverty mainstreaming melahirkan
lembaga Komisi Pemberantasan Kemiskinan padahal yang seharusnya perlu
didorong adalah bagaimana setiap SKPD bisa berkontribusi mengatasi
kemiskinan sesuai tupoksinya masing-masing. Demikian pula isu gender, juga
direduksi dengan munculnya embel-embel pada Bagian Sosial menjadi “Bagian
Sosial dan Pemberdayaan Perempuan” misalnya.
8. Koordinasi antar SKPD untuk proses perencanaan masih lemah sehingga
kegiatan yang dibangun jarang yang sinergis bahkan tidak jarang muncul
egosektoral. Ada suatu kasus dimana di suatu kawasan Dinas Kehutanan
mendorong program reboisasi tapi disisi lain Dinas Pertambangan
memprogramkan ekploitasi batubara di lokasi tersebut.
9. SKPD yang mempunyai alokasi anggaran besar misal Dinas Pendidikan
dan Dinas PU seringkali tidak mempunyai tenaga perencana yang
memadai. Akibatnya proses perencanaan seringkali molor. Hal ini sering
diperparah oleh minimnya tenaga Bappeda yang mampu memberikan asistensi
kepada SKPD dalam penyusunan rencana.
10. APBD kabupaten/Kota perlu evaluasi oleh Pemprop. Disisi lain Pemprop
mempunyai keterbatasan tenaga untuk melakukan evaluasi tersebut. Selain itu
belum ada instrument yang praktis yang bisa digunakan untuk evaluasi
anggaran tersebut. Hal ini berakibat proses evaluasi memakan waktu agak lama
dan berimbas pada semakin panjangnya proses revisi di daerah
(kabupaten/kota).
11. Kualitas hasil Musrenbang Desa/Kecamatan seringkali rendah karena
kurangnya Fasilitator Musrenbang yang berkualitas. Fasilitasi proses
perencanaan tingkat desa yang menurut PP 72 tahun 2005 diamanahkan untuk
dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten (bisa via Pemerintah Kecamatan)
seringkali tidak berjalan. Proses fasilitasi hanya diberikan dalam bentuk surat
edaran agar desa melakukan Musrenbang, dan jarang dalam bentuk bimbingan
fasilitasi di lapangan.
12. Pedoman untuk Musrenbang atau perencanaan (misal Permendagri 66
tahun 2007) cukup rumit (complicated) dan agak sulit untuk diterapkan
secara mentah-mentah di daerah pelosok pedesaan yang sebagian perangkat
desa dan masyarakatnya mempunyai banyak keterbatasan dalam hal
pengetahuan, teknologi dll.
13. Dalam praktek penerapan P3MD, pendekatan pemecahan masalah yang
HANYA melihat ke AKAR MASALAH saja dapat berpotensi menimbulkan
bias dan oversimplifikasi terhadap suatu persoalan. Contoh kasus nyata; di
sebuah desa di daerah masyarakat dan pemerintah mengidentifikasi bahwa
rendahnya pengetahuan masyarakat disebabkan tidak adanya fasilitas sumber
bacaan di wilayah itu. Sebagai solusinya mereka kemudian mengusulkan untuk
dibangunkan “gedung perpustakaan”. Ternyata setelah gedung perpustakaan
dibangun, sampai beberapa tahun berikutnya perpustakaan tersebut tidak
pernah berfungsi bahkan kemudian dijadikan Posko Pemilu. Mengapa
demikian? Hal itu terjadi karena mereka hanya berpikir soal membangun
gedung, tetapi lupa berpikir dan mengusulkan bagaimana menyediakan
buku/bahan bacaan untuk perpustakaan itu, lupa mengusulkan kepengurusan
untuk mengelola perpustakaan itu dll. Kondisi seperti diatas mungkin tidak akan
terjadi kalau mereka berpikir dulu soal “outcome” misalnya meningkatkan
minat baca 50 % warga masyarakat. Dari outcome tersebut nantinya bisa
diidentifikasi output yang diperlukan misalnya: adanya gedung perpustakaan,
buku atau bahan bacaan, tenaga pengelola perpustakaan, kesadaran masyarakat
untuk datang ke perpustakaan dll. Dari contoh kasus itu nampaknya untuk
pemerintah dan masyarakat memang perlu didorong untuk memahami alur
berpikir logis (logical framework) sebuah perencanaan. Selain itu pola pikir yang
ada yang cenderung berorientasi “Proyek” (yang berorientasi jangka pendek
dan berkonotasi duit) menjadi orientasi “Program” (orientasi jangka panjang
dan lebih berkonotasi sebagai gerakan pembangunan).

Berdasarkan 13 permasalahan diatas sekurangnya ada tiga (mala)praktik tata kelola


yang menunjukan buruk rupa manajemen keuangan daerah saat ini
Pertama, problem proporsi alokasi sebagaimana ditunjukan rasio antara belanja modal
(pembangunan) dan belanja aparatur (rutin). Hingga sewindu pelaksanaan
desentralisasi, desain politik alokasi anggaran di banyak daerah menunjukan minimnya
peruntukan bagi masyarakat, baik berupa dana pelayanan publik maupun investasi
Pemda bagi bergeraknya perekonomian. Hanya sekitar 20-30% APBD untuk belanja
langsung bagi kepentingan masyarakat dan sisa terbesarnya untuk membiayai birokrasi.
Kedua, problem kapasitas daya serap anggaran. Saat ini, sekitar 60% dana APBN kita
beredar di daerah (30% lewat skema transfer ditambah 30% berasal dari dana
dekonsentrasi, medebewinddan dana sektoral). Suatu jumlah uang beredar yang tentu
amat besar, sekaligus tanggung jawab yang besar pula. Namun sayang, sejauh ini Pemda
masih belum berkekuatan penuh menyerap anggaran yang ada, bahkan di sebagian
daerah, sisa dana ”diparkir” di perbankan berbentuk Sertifikat BI.
Perlu dicatat, adanya dana yang menganggur itu bukan lantaran daerah berkelebihan
uang atau pun sebagai hasil dari penghematan (efisiensi) anggaran. Sebaliknya, hal itu
menunjukan adanya dana yang terbengkelai, karena buruknya sistem perencanaan
anggaran, berbelitnya prosedur pengadaan barang/jasa pemerintah, lemahnya proses
legislasi di daerah, atau orientasi sempit pada PAD dari bunga simpanan SBI. Kinerja
instrumen fiskal semacam itu berakibat terbengkelainya pula program layanan publik
dan tentu sulit menjadi stimulan alternatif di tengah masih lesunya investasi sektor
swasta.
Ketiga, selain kedua masalah di atas, hari-hari ini media massa juga gencar
memberitakan problem ketiga dalam manajemen keuangan daerah, yakni administrasi
pelaporan keuangan. Hal ini tentu tidak saja menyangkut problem akuntansi dan tata
pembukuan, tetapi lebih mendasar lagi mencerminkan politik kebijakan dan komitmen
penegakan good governance di daerah.
Alhasil, merujuk laporan BPK, setiap tahun terdapat tendensi memburuk dalam kualitas
pengelolaan dan laporan keuangan. Data terakhir (2009) menunjukan, hanya ada 21
daerah yang memiliki status laporan wajar tanpa pengecualian, selebihnya: 249 daerah
wajar dengan pengecualian, 7 daerah berstatus disclaimer (tak memberikan pendapat)
dan 10 daerah adverse(tak wajar).
Terkait masalah ini, sumber masalah utama adalah tidak efektifknya peran inspektorat
(dulu bernama Bawasda) di daerah. Institusi yang sejatinya dibentuk sebagai garda
depan jaminan tegaknya good governance dan menjadi instrumen strategis
pemberantasan korupsi ini justru mandul.
Institusi ini hanya diposisikan sebagai unsur penunjang, desain kelembagaannya
gampang terkooptasi oleh SKPD lainnya, ruang lingkup pengawasannya terbatas, tidak
adanya mekanisme sanksi dalam pengawasan, dan status aparatnya disinyalir sebagai
orang buangan yang mempengaruhi motivasi dan kapasitas kerja.
Padahal, keberadaan inspektorat ini mestinya bernilai strategis. Pertama, menjadi
lembaga preventif dan jaring pengaman internal sebelum datangnya pihak pengawas
eksternal (BPK, KPK, dll). Kedua, sebagai unit pengawas internal yang memiliki peluang
terlibat sejak fase perencanaan (input), pelaksanaan, capaian dan evaluasi kebijakan
sehingga memungkinkan deteksi dini dan koreksi langsung untuk menghindari
kerusakan masif. Seandainya semua ini dijalankan, bisa dipastikan mutu tata kelola dan
tata pembukuan keuangan daerah tidak lagi menjadi sasaran permanen kritikan publik
dan temuan BPK.
Opsi Kuratif
Isu manajemen keuangan daerah bukanlah semata urusan internal pemerintahan tetapi
mesti dilihat sebagai bentuk akuntabilitas vertikal kepada pusat sebagai sumber dana
perimbangan dan tanggung jawab politik kepada rakyat. Untuk itu, terhadap temuan
masalah, sanksi tegas harus diberikan, bila perlu lewat instrumen fiskal pula
(pemotongan DAU).
Opsi kuratif/represif ini saatnya mulai diterapkan pemerintah pusat kalau tidak mau
masalah tersebut menjadi beban permanen. Selain itu, langkah persiapan (preventif)
mesti segera menjadi program prioritas baik lewat penguatan kapasitas aparat
perencana, pelaksana dan pengawas keuangan maupun redesain kelembagaan institusi
inspektorat.
Reformasi Lima Pilar Tata Kelola Pemerintahan
Daerah Berdasarkan Good Governance dan Clean
Goverment
Oleh Turiman Fachturahman Nur
Makalah Bintek Akuntabilitas SKPD di Kal-Bar
1. Apa Tujuan Seminar yang ingin dicapai ?
Seminar yang bertajuk “Reformasi Tata Kelola Pemerintahan Daerah Berbasis
Parisipasi Masyarakat Menuju Keadilan dan Perdamaian”, yang bertujuan:
Pertama, Menggali konsep dan pembelajaran praktek tata kelola pemerintahan
daerah yang baik di Indonesia.Kedua, Memetakan arah dan trend kebijakan
desentralisasi di Indonesia. Ketiga,Mengelaborasi gagasan dan pengalaman praktek
tata kelola pemerintahan daerah yang dapat menjadi model di Kalbar.
2. Bagaimana Reformasi Tata Kelola Pemerintahan Daerah ?
Menurut penulis Perlunya 5 Pilar Tata Kelola Pemerintahan Daerah dalam Era
Reformasi, yaitu:
Pilar Pertama, Demokrasi melalui PILKADA
Kebijakan pemberlakuan otonomi membuat setiap daerah memiliki kewenangan
yang cukup besar dalam mengambil keputusan yang dianggap sesuai. Terlebih
dengan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung yang
diselenggarakan sejak tahun 2005 ini, membuat kepala daerah terpilih mendapat
legitimasi lebih kuat, dibanding saat dipilih oleh anggota DPRD. Tentunya kepala
daerah hasil pilkada langsung ini membuahkan harapan yang cukup besar bagi
masyarakat, yaitu kesejahteraan yang akan makin meningkat. Tetapi harapan
tersebut ternyata tidak mudah untuk diwujudkan. Kekuatan visi & kompetensi
kepala daerah terpilih menjadi salah satu penentu, di samping faktor-faktor lain.
Tantangan terberat bagi kepala daerah terpilih adalah melaksanakan visi, misi,
dan janji-janji semasa kampanye, yang hampir semuanya pasti baik.
Setidaknya ada empat hal yang harus dimiliki dan disiapkan oleh seorang Kepala
Daerah agar visi membangun dan mensejahterakan rakyatnya menjadi
kenyataan, diperlukan pilar berikutnya yang diharapkan seorang kepala daerah
dapat menjalankan perannya dalam membangun daerahnya bisa optimal, atau
kata kuncinya adalah daerah membangun bukan lagi membangun daerah.
Pilar Kedua, Sumber Daya Manusia (SDM)
Mengapa SDM ? Karena pada dasarnya manusialah yang menjadi pelaku dan
penentu. SDM seperti apa yang diperlukan ? Yaitu SDM yang memiliki: moral
yang baik (good morality), kemampuan kepemimpinan (leadership), kemampuan
manajerial (managerial skill), dan kemampuan teknis (technical skill). Seorang
kepala daerah perlu didukung oleh aparat yang mempunyai empat kualifikasi
tersebut, diberbagai level jabatan & fungsinya.
Moral yang baik menjadi prasyarat utama. Karena tanpa moral yang baik, semua
kebijakan, sistem, program maupun kegiatan yang dirancang akan menjadi sia-
sia. Tentunya kita menyaksikan terjadinya krisis moneter yang dimulai tahun
1997 lalu, kemudian krisis ekonomi, krisis kepemimpinan, dan masih terus
berlanjut yang hingga sekarang masih dirasakan dampaknya. Sebab utama
terjadinya krisis itu tidak lain adalah rendahnya moral sebagian pengambil
kebijakan negeri ini.
Moral yang baik akan menghasilkan sebuah pemerintahan yang bersih dari tindakan
korupsi, kolusi, dan nepotisme demi kepentingan pribadi atau golongan tertentu
saja.Saat ini tuntutan penerapan 3G (Good Government Governance) terus-
menerus digaungkan oleh berbagai pihak. Penerapan prinsip-prinsip
transparansi & akuntabilitas tanpa didukung oleh aparat yang bermoral baik,
pada akhirnya hanya akan berhenti di tingkat wacana saja. Oleh karena itu, sejak
awal dilantik, seorang kepala daerah harus segera menyiapkan aparatnya dalam
aspek moral ini. Termasuk menjadikan dirinya sebagai teladan bagi semua
bawahannya.
Moral yang baik belumlah cukup, tapi juga harus diimbangi dengan kompetensi.
Yaitu kemampuan di bidang kepemimpinan, manajerial, dan teknis. Untuk
mencapai kompetensi yang diperlukan, tidak terlepas dari sistem kepegawaian
yang diterapkan. Model manajemen SDM berbasis kompetensi nampaknya
menjadi keniscayaan. Termasuk sistem kompensasi yang memadai harus
menjadi perhatian.
Selain itu perlu didukung dengan perubahan paradigma, yaitu dari mental penguasa
menjadi pelayan masyarakat. Termasuk budaya kerja yang proaktif & cepat
tanggap terhadap persoalan yang dihadapi masyarakat.

Pilar Ketiga, Kebijakan


Maksudnya adalah berbagai konsep kebijakan yang berpihak kepada berbagai
stakeholder, terutama kepentingan masyarakat luas. Secara formal, kebijakan
tersebut akan dituangkan dalam peraturan daerah (perda) maupun peraturan
kepala daerah.
Kepala daerah antara lain harus memiliki konsep pembangunan berkelanjutan &
berkeadilan, konsep manajemen pemerintahan yang efektif & efisien, konsep
investasi yang mengakomodir kepentingan pihak terkait, serta berbagai konsep
kebijakan lainnya.
Hal ini sesuai dengan UU No. 25 Tahun 2004 dan UU No. 32 Tahun 2004, yang
mengamanatkan kepala daerah untuk menyusun RPJMD (Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah), yang menjabarkan visi & misinya
selama lima tahun masa pemerintahannya. Sehingga dengan demikian arah
pembangunan sejak dilantik hingga lima tahun ke depan sudah jelas.
Salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu daerah antara lain jika
pemerintah dapat memenuhi 5 kebutuhan dasar masyarakatnya, yaitu: pangan,
sandang, papan (perumahan), pendidikan, dan kesehatan. Selain itu kepala
daerah harus mampu melihat suatu permasalahan secara komprehensif dan
integratif, jangan sampai terjebak hanya melihat secara sektoral dan parsial,
ataupun keuntungan jangka pendek.
Jangan sampai seorang kepala daerah tidak tahu harus berbuat apa. Jika
demikian, pemerintahan akan berjalan tak tentu arah. Sehingga pada akhirnya,
rakyatlah yang harus menanggung akibatnya.
Pilar Keempat, Sistem
Artinya pemerintahan harus berjalan berdasarkan sistem, bukan tergantung pada
figur. Sangat penting bagi kepala daerah untuk membangun sistem
pemerintahan yang kuat.
Beberapa sistem yang harus dibangun agar pemerintahan dapat berjalan secara
baik antara lain: sistem perencanaan pembangunan, sistem pengelolaan
keuangan daerah, sistem kepegawaian, sistem pengelolaan aset daerah, sistem
pengambilan keputusan, sistem penyeleksian dan pemilihan rekanan, sistem dan
standar pelayanan, sistem pengawasan.
Sistem yang dimaksud di sini dapat bersifat manual maupun yang berbasis
teknologi informasi. Dukungan teknologi informasi menjadi sesuatu yang tidak
dapat dielakkan jika pemerintahan ingin berjalan lebih efisien dan efektif.
Penerapan sistem-sistem tersebut akan mendorong terjadinya 3G (Good
Government Governance), yang pada akhirnya akan menghasilkan
pemerintahan yang transparan dan akuntabel.

Pilar Keempat: Investasi


Tidaklah mungkin suatu pemerintahan daerah hanya mengandalkan dana dari APBD
untuk membangun daerahnya. Mengapa ? Karena bisa dikatakan, sebagian
besar daerah menggunakan rata-rata 2/3 dana APBD tersebut untuk membiayai
penyelenggaraan aparaturnya. Hanya sekitar 1/3 yang dapat dialokasikan untuk
pembangunan.
Dibutuhkan dana ratusan milyar bahkan triliunan rupiah untuk membangun
infrastruktur, seperti pembangkit listrik, jalan tol, pelabuhan laut, bandar udara,
telekomunikasi, rumah sakit, hotel. Sedangkan infrastruktur merupakan syarat
agar sebuah daerah dapat berkembang. Contoh lain adalah dalam rangka
mengoptimalkan potensi sumber daya alam yang dimiliki, juga memerlukan dana
yang tidak sedikit, yang tentunya tidak mungkin jika hanya mengandalkan dana
APBD saja.
Dengan keterbatasan dana yang dimiliki tersebut, mau tidak mau pemerintah
daerah harus melibatkan pihak investor (dalam maupun luar negeri) dalam
membangun daerahnya. Kepala daerah harus dapat menciptakan iklim yang
kondusif agar para investor tertarik untuk menanamkan investasi di daerahnya.
Setidaknya ada empat stakeholder yang harus diperhatikan kepentingannya saat
kita bicara tentang investasi, yaitu pihak investor, pemerintah daerah,
masyarakat, dan lingkungan. Investor tentunya berkepentingan agar dana yang
dinvestasikannya menghasilkan profit yang memadai, ingin mendapatkan
berbagai kemudahan dan adanya jaminan keamanan dalam berinvestasi. Pihak
pemerintah daerah ingin agar pendapatan asli daerahnya (PAD) meningkat.
Masyarakat berharap kesejahteraannya makin meningkat dan lapangan kerja
makin terbuka. Lingkungan perlu diperhatikan agar tetap terjaga kelestariannya.
Jangan sampai karena terlalu bersemangat, akhirnya secara jangka panjang
terjadi pengrusakan lingkungan
3. Pilar mana yang paling Penting dan selaras dengan reformasi ?
Dari kelima pilar yang perlu diekplorasi adalah : Pilar Ketiga Kebijakan
Pengertian Kebijakan
Dalam beberapa literatur, pengertian kebijakan sangat beragam. Namun secara
umum kebijakan publik dapat dikatakan merupakan rumusan keputusan
pemerintah yang menjadi pedoman tingkah laku guna mengatasi masalah publik
yang mempunyai tujuan, rencana dan program yang akan dilaksanakan secara
jelas.
Menurut Anderson (Dalam, Nyimas Dwi Koryati, 2004:7) menyatakan kebijakan
publik merupakan pengembangan dari kebijakan yang dilakukan oleh institusi
pemerintah dan aparaturnya. Sedangkan William Dunn mengatakan kebijakan
publik adalah serangkaian pilihan yang kurang lebih berhubungan (termasuk
keputusan untuk tidak berbuat) yang dibuat oleh badan-badan atau kantor-kantor
pemerintah (Dunn, 2001) Adanya beberapa konsep kebijakan tersebut
menunjukkan bahwa unsure tujuan, sasaran dan cara-cara bagaimana tujuan itu
harus dicapai merupakan unsur pokok yang harus ditetapkan oleh pejabat
pemerintah dalam membuat kebijakan pemerintah. Suatu keadaan yang
diinginkan akan nampak pada tujuan kebijakan yang telah ditetapkan oleh
pemerintah.
Implementasi Kebijakan
Sebagaimana diuraikan, mengingat analisis ini adalah merupakan analisis yang
memfokuskan pada kajian implementasi program yang mempengaruhi kinerja
program pemberdayaan wilayah terpadu, sebelum menganalisis apakah
implementasi kebijakan berjalan sesuai yang digariskan atau tidak perlu untuk
dipahami benar apa yang dimaksud dengan implementasi kebijakan itu sendiri.
Secara sederhana implementasi kebijakan dapat didefinisikan sebagaia suatu
proses melaksanakan keputusan kebijaksanaan, biasanya dalam bentuk
undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan peradilan, perintah eksekutif
atau instruksi presiden (Wahab, 1991:50)
Keberhasilan Implementasi Kebijakan
Keberhasilan implementasi kebijakan ini dapat dilihat dari terjadinya kesesuaian
antara pelaksanaan/penerapan kebijakan dengan desain, tujuan dan sasaran
kebijakan itu sendiri serta memberikan dampak atau hasil yang positif bagi
pemecahan permasalahan yang dihadapi. Asumsi yang dapat dibangun
mengenai konsep keberhasilan implementasi kebijakan adalah “semakin tinggi
derajat kesesuaiannya maka semakin tinggi pula peluang keberhasilan kinerja
implementasi kebijakan untuk menghasilkan out put yang telah digariskan”
Dalam rangka pencapaian kesesuaian antara tujan dan sasaran kebijkan dengan
kenyataan dilapangan, salah seorang pakar bernama Jan Merse (Dalam
Sunggono, 1994) mengidentifikasi factor-faktor yang dapat menjadi penybab
kegagalan dalam implementasi suatu kebijakan yakni informasi, isi kebijakan dan
dukungan serta pembagian potensi dalam arti kinerja koordinasi yang intensif.
4. Bagaimana Model Implementasi Kebijakan ?
Berikut akan diuraikan beberapa model implementasi kebijakan yang
dikemukakan oleh para pakar yakni :
Pertama, model Meter & Horn (1975) dimana model ini mengandaikan bahwa
implementasi kebijakan berjalan secara linier dari kebijakan publik,
implementator dan kinerja kebijakan publik. Beberapa indicator yang disertakan
yakni aktivitas implementasi dan komunikasi antar organisasi, karakteristik dan
agen pelaksana, kondisi ekonomi, social dan politik, kecendrungan dari
pelaksana/implementator.
Kedua, model Mazmanian & Sabatier yang mengklasifikasikan proses
implementasi kebijakan kedalam tiga variable yakni variable independen, terkait
dengan mudah idaknya masalah dikendalikan, variable intervening yakni
kemampuan untuk menstrukturkan proses implementasi dan variable dependen
yang terkait dengan tahapan dalam proses implementasi kebijakan.
Ketiga, model Hoogwood & Gun yang mempersyaratkan adanya jaminan
bahwa kondisi eksternal yang dihadapi oleh lembaga/badan pelaksana tidak
akan menimbulkan masalah yang besar, syarat ketersediaan sumber daya.
Syarat ketiga yakni perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar
ada, syarat berikutnya yakni apakah kebijakan yang akan diimplementasikan
didasari hubungan kausal yang andal dan berapa banyak hubungan kausal yang
terjadi. Syarat berikutnya yakni pemahaman mendalam terhadap tujuan dan
tugas-tugas dirinci dan ditempatkan dalam urutan yang benar, koordinasi dan
komunikasi dan adanya pihak-pihak yang memiliki wewenang kekuasaan dapat
menuntut dan mendapatkan kepatuhan yang sempurna.
Keempat. Model Grindle (1980) yang ditentukan oleh isi kebijakan dan konteks
implementasinya. Ide dasarnya adalah bahwa setelah kebijakan
ditransformasikan, maka implementasi kebijakan dilakukan.
Kelima, model Elmore, Lipsky, Hjern & O’Porter. Dimana model ini dimulai dari
mengidentifikasi jaringan aktor yang terlibat dalam proses pelayanan dan
menanyakan kepada mereka, tujuan, strategi, aktivitas, dan kontak-kontak yang
mereka miliki.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa implementasi kebijakan dapat
dirumuskan sebagai tindakan yang dilakukan individu/kelompok/pejabat
pemerintah atau swasta yang diarahkan tercapainya tujuan yang telah ditetapkan
dalam keputusan kebijakan dan sekalipun tindakan kebijakan yang dirancang
sedemikian rupa untuk mencapai tujuan-tujuannya, tidak selalu tindakan tersebut
dapat diwujudkan semua kehendak kebijakan jika proses implementasi tidak
tepat.
Analisis ini secara khusus mengadopsi dan mengadaptasi model implementasi \yang
dikemukakan oleh Grindle dengan mengedepankan dua variable utama yakni
content of policy, context of implementation dan dampak-dampak dari kebijakan
itu sendiri. Variable yang digunakan untuk mengkaji keberhasilan program
adalah variable yang diturunkan dari isi kebijakan yakni kepentingan para pelaku,
dukungan lingkungan yang berkaitan dengan pengerahan sumber daya dan
karekteristik pelaksana yang diturunkan dari konteks implementasi.
Selanjutnya, jika diamati model Grindle, maka isi kebijakan terdiri dari kepentingan
yang dipengaruhi oleh kebijakan, jenis manfaat yang akan dihasilkan, derajat
perubahan yang diinginkan, kedudukan pembuat kebijakan, siapa yang menjadi
pelaksana program, sumber daya yang dikerahkan. Sedangkan konteks
implementasi terdiri dari kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat,
karakteristik lembaga dan penguasa, kepatuhana dan daya tangap.
5. Faktor-Faktor Apa Yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan ?
Pendapat Jan Merse (Sunggono, 1994) di atas secara implicit telah mengungkapkan
factor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan yakni meliputi isi
kebijakan, informasi, dukungan dan pembagian potensi. Mudah tidaknya
masalah dikendalikan sangat mempengaruhi pencapaian tujuan yang diambil
untuk diimplementasikan. Kesukaran teknis misalnya merupakan hal yang sulit
untuk dihindari dalam implementasi kebijakan. Untuk itu diperlukan suatu
kebijakan yang mudah dikendalikan untuk memperkecil tingkat kesulitan yang
terjadi
Program pemberdayan dengan alokasi dana zakat, infaq dan shadaqah ini
merupakan salah satu program yang berupaya untuk menunjang kebijakan
pemerintah dalam pemberdayaan masyarakat berupa pengentasan kemiskinan
dan peningkatan daya saing sector riil.
Menyadari bahwa beragamnya pendapat para ahli mengenai factor-faktor yang
mempengaruhi kebrhasilan kinerja implementasi kebijakan sebagai variable
dependen dan mengingat implementasi program ini bertumpu pada keterpaduan
program dari para pelaksana, maka dalam menganalisa peneliti hanya akan
mengadopsi dua variable independen dari Grindle yakni kepentingan pelaksana
program dan dukungan lingkungan serta satu dari Meter dan Horn yakni variable
karakteristik pelaksana kebijakan.
Proses desentralisasi yang secara resmi ditandai dengan diberlakukannya UU No.
22/1999 dan UU No. 25/1999, mulai diimplementasikan pada tahun 2001 yang
lalu. Kedua UU tersebut telah disempurnakan melalui UU No. 32/2004 dan UU
No. 33/2004. Pada hakikatnya, proses ini memberikan otonomi yang amat luas
kepada pemerintahan kabupaten dan kota untuk dapat memberikan pelayanan
publik yang lebih baik kepada masyarakat. Dengan ”didekatkannya”
pemerintahan kepada rakyat yang memberikan mandat, maka pemerintah
diharapkan dapat memberikan pelayanan publik yang lebih responsif terhadap
kebutuhan masyarakat
Untuk dapat menjalankan fungsinya dengan baik, pemerintahan daerah kabupaten
dan kota perlu memiliki kapasitas yang tinggi untuk dapat mengelola sumber
daya yang ada dengan baik dan efisien, serta untuk meningkatkan investasi
publik dan swasta di daerahnya. Jika semua hal ini dapat terjadi, diharapkan
bahwa kemiskinan dapat dikurangi dengan signifikan.
Pelayanan publik yang responsif pada kebutuhan rakyat tersebut hanya dapat
dilakukan jika terwujud mekanisme yang menjamin akses masyarakat untuk
mendapatkan informasi yang memadai (transparansi) serta dapat terlibat dalam
proses pengambilan kebijakan publik (partisipasi). Selain itu, diperlukan juga
suatu mekanisme yang menjamin akuntabilitas atas pengelolaan keuangan
daerah dan proses pengadaan barang dan jasa karena selama ini keduanya
merupakan titik-titik kritis yang sering menimbulkan inefisiensi atas pengelolaan
sumberdaya. Semua ini merupakan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang
baik (good governance) yang perlu dilaksanakan di semua bidang¾mulai dari
kebijakan dan peraturan sampai pada implementasinya. Sampai saat ini, secara
umum proses desentralisasi menunjukkan kemajuan positif. Namun demikian,
otonomi daerah jelas bukanlah sesuatu yang mudah dilaksanakan. Setiap
kabupaten/kota mempunyai kapasitas dan kondisi yang berbeda-beda, sehingga
laju reformasinya berbeda-beda pula. Beberapa kabupaten sudah sangat maju
dengan program-program pembangunan yang terfokus dan serangkaian
pembaruan dalam pengelolaan pemerintahannya. Sementara itu, sejumlah
kabupaten lainnya, dengan memikul berbagai tanggungjawab baru, menjalankan
otonomi daerah dengan susah payah. Di samping itu, kesempatan untuk
melakukan pertukaran informasi dan pengalaman di antara kabupaten pun
sangat terbatas.
7. Apa yang dimaksud Good Governance ?
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa baik buruknya tata pemerintahan dijalankan
mempunyai hubungan kausualitas yang erat dengan hasil-hasil
pembangunan. Misalnya, penelitian Kaufmann, Kraay, dan Zoido-Lobaton (1999)
menunjukkan bahwa kenaikan satu standar deviasi salah satu indikator
pemerintahan menyebabkan kenaikan antara 2,5 sampai 4 kali pendapatan per
kapita (range yang sama juga berlaku untuk penurunan angka kematian bayi), dan
kenaikan tingkat melek huruf huruf antara 15 sampai 25 persen. Beberapa
penelitian lainnya juga menunjukkan hubungan kausalitas positif antara efisiensi
birokrasi dan menurunnya tingkat korupsi dengan pertumbuhan ekonomi dan
investasi asing
Bagi Indonesia, relevansi konsep ini menjadi sangat tinggi setelah banyak pihak
menyalahkan ‘bad/poor governance’ sebagai faktor penyebab utama negara ini
menjadiyang kondisi sosial ekonominya paling buruk di antara sekian banyak negara
Asia yang terkena krisis moneter 1997.
Definisi umum governance adalah tradisi dan institusi yang menjalankan kekuasaan
di dalam suatu negara, termasuk (1) proses pemerintah dipilih, dipantau, dan
digantikan, (2) kapasitas pemerintah untuk memformulasikan dan melaksanakan
kebijakan secara efektif, dan (3) pengakuan masyarakat dan negara terhadap
berbagai institusi yang mengatur interaksi antara mereka. Unsur yang terakhir
dapat dilakukan melalui tiga struktur komunikasi, yaitu kewenangan, legitimasi, dan
representasi
Kewenangan adalah hak pemerintah untuk membuat keputusan dalam bidang tertentu.
Walaupun ini merupakan hak dari suatu pemerintah modern, namun yang
terpenting adalah bagaimana melibatkan persepsi rakyat tentang tindakan yang
perlu dilakukan pemerintah.Legitimasi diperoleh karena masyarakat mengakui
bahwa pemerintah telah menjalankan peranannya dengan baik, atau kinerja dalam
menjalankan kewenangan itu tinggi.Representasi diartikan sebagai hak untuk
mewakili pengambilan keputusan bagi kepentingan golongan lain dalam kaitannya
dengan alokasi sumber daya.
Dari sini terlihat bahwa good governance tidaklah terbatas pada bagaimana
pemerintah menjalankan wewenangya dengan baik semata, tetapi –lebih penting
lagi– adalah bagaimana masyarakat dapat berpartisipasi dan mengontrol
pemerintah untuk menjalankan wewenang tersebut dengan baik (accountable).
Karenanya, seringkali tata pemerintahan yang baik dipandang sebagai “sebuah
bangunan dengan 3 tiang”. Ketiga tiang penyangga itu adalah transparansi,
akuntabilitas, dan partisipasi.
8. Apa tiga tiang dari Good Governance ?
A. Transparansi
Transparansi berarti terbukanya akses bagi semua pihak yang berkepentingan terhadap
setiap informasi terkait --seperti berbagai peraturan dan perundang-undangan,
serta kebijakan pemerintah– dengan biaya yang minimal. Informasi sosial,
ekonomi, dan politik yang andal (reliable) dan berkala haruslah tersedia dan dapat
diakses oleh public (biasanya melalui filter media massa yang bertanggung
jawab). Artinya, transparansi dibangun atas pijakan kebebasan arus informasi
yang memadai disediakan untuk dipahami dan (untuk kemudian) dapat dipantau.
Transparansi jelas mengurangi tingkat ketidakpastian dalam proses pengambilan
keputusan dan implementasi kebijakan publik. Sebab, penyebarluasan berbagai
informasi yang selama ini aksesnya hanya dimiliki pemerintah dapat memberikan
kesempatan kepada berbagai komponen masyarakat untuk turut mengambil
keputusan. Oleh karenanya, perlu dicatat bahwa informasi ini bukan sekedar
tersedia, tapi juga relevan dan bisa dipahami publik. Selain itu, transparansi ini
dapat membantu untuk mempersempit peluang korupsi di kalangan para pejabat
publik dengan “terlihatnya” segala proses pengambilan keputusan oleh
masyarakat luas.
B. Akuntabilitas
Akuntabilitas atau accountability adalah kapasitas suatu instansi pemerintahan
untuk bertanggung gugat atas keberhasilan maupun kegagalannya dalam
melaksanakan misinya dalam mencapai tujuan dan sasaran yang ditetapkan
secara periodik. Artinya, setiap instansi pemerintah mempunyai kewajiban untuk
mempertanggungjawabkan pencapaian organisasinya dalam pengelolaan
sumberdaya yang dipercayakan kepadanya, mulai dari tahap perencanaan,
implementasi, sampai pada pemantauan dan evaluasi.
Akuntabilitas merupakan kunci untuk memastikan bahwa kekuasaan itu
dijalankan dengan baik dan sesuai dengan kepentingan publik. Untuk itu,
akuntabilitas mensyaratkan kejelasan tentang siapa yang bertanggunggugat,
kepada siapa, dan apa yang dipertanggunggugatkan. Karenanya, akuntabilitas bisa
berarti pula penetapan sejumlah kriteria dan indikator untuk mengukur kinerja
instansi pemerintah, serta mekanisme yang dapat mengontrol dan memastikan
tercapainya berbagai standar tersebut.
Berbeda dengan akuntabilitas dalam sektor swasta yang bersifat dual-
accountabilitystructure (kepada pemegang saham dan konsumen), akuntabilitas
pada sektor public bersifat multiple-accountability structure. Ia dimintai
pertanggungjawaban oleh lebih banyak pihak yang mewakili pluralisme
masyarakat. Rincinya, kinerja suatu instansi pemerintah harus dapat
dipertanggungjawabkan terhadap atasan, anggota DPRD, organisasi
nonpemerintah, lembaga donor, dan komponen masyarakat lainnya. Semua itu
berarti pula, akuntabilitas internal (administratif) dan eksternal ini menjadi sama
pentingnya.
Akhirnya, akuntabilitas menuntut adanya kepastian hukum yang merupakan
resultan dari hukum dan perundangan-undangan yang jelas, tegas, diketahui
publik di satu pihak, serta upaya penegakan hukum yang efektif , konsisten, dan
tanpa pandang bulu di pihak lain. Kepastian hukum juga merupakan indikator
penting dalam menimbang tingkat kewibawaan suatu pemerintahan,
legitimasinya di hadapan rakyatnya, dan dunia internasional.
C. Partisipasi
Partisipasi merupakan perwujudan dari berubahnya paradigma mengenai peran
masyarakat dalam pembangunan. Masyarakat bukanlah sekedar penerima
manfaat (beneficiaries) atau objek belaka, melainkan agen pembangunan (subjek)
yang mempunyai porsi yang penting. Dengan prinsip “dari dan untuk rakyat”,
mereka harus memiliki akses pada pelbagai institusi yang mempromosikan
pembangunan. Karenanya, kualitas hubungan antara pemerintah dengan warga
yang dilayani dan dilindunginya menjadi penting di sini.Hubungan yang pertama
mewujud lewat proses suatu pemerintahan dipilih. Pemilihan anggota legislatif
dan pimpinan eksekutif yang bebas dan jujur merupakan kondisi inisial yang
dibutuhkan untuk memastikan bahwa hubungan antara pemerintah –-yang diberi
mandat untuk menjadi “dirigen” tata pemerintahan ini—dengan masyarakat (yang
diwakili legislatif) dapat berlangsung dengan baik.
Pola hubungan yang kedua adalah keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan
keputusan. Kehadiran tiga domain pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat
sipil dalam proses ini amat penting untuk memastikan bahwa proses
“pembangunan” tersebut dapat memberikan manfaat yang terbesar atau
“kebebasan” (mengutip Amartya Zen) bagi masyarakatnya.
Pemerintah menciptakan lingkungan politik, ekonomi, dan hukum yang
kondusif. Sektor swasta menciptakan kesempatan kerja yang implikasinya
meningkatkan peluang untuk meningkatkan pendapatan masyarakat. Akan halnya
masyarakat sipil (lembaga swadaya masyarakat, organisasi masyarakat,
organisasi keagamaan, koperasi, serikat pekerja, dan sebagainya) memfasilitasi
interaksi sosial-politik untuk berpartisipasi dalam berbagai aktivitas ekonomi,
sosial, dan politik.
Sementara itu, di tingkat praktis, partisipasi dibutuhkan untuk mendapatkan
informasi yang andal dari sumber pertama, serta untuk mengimplementasikan
pemantauan atas atas implementasi kebijakan pemerintah, yang akan
meningkatkan “rasa memiliki” dan kualitas implementasi kebijakan tersebut. Di
tingkatan yang berbeda, efektivitas suatu kebijakan dalam pembangunan
mensyaratkan adanya dukungan yang luas dan kerja sama dari semua pelaku
(stakeholders) yang terlibat dan memiliki kepentingan.
9. Bagaimana Hubungan antar Komponen Good Governance ?
Secara konseptual, hubungan antara ketiga komponen tata pemerintahan yang baik itu
mutualistik dan saling mendukung. Efektivitas dan efisiensi sumber daya dalam
mencapai tujuannya mensejahterakan bangsa menuntut tingkat akuntabilitas
penyelenggara negara (pemerintah) yang relatif tinggi. Tanpa adanya partisipasi
public untuk mengamankan (safeguard) proses penyelenggaraan negara, sulit
diharapkan akuntabilitas dan penegakan hukum dapat berjalan dengan baik. Di lain
pihak, partisipasi publik tidak mungkin dapat berjalan dengan efektif tanpa adanya
hak publik untuk mengakses informasi yang dimilik oleh pemerintah.
Sebaliknya, transparansi sendiri tidak mungkin tercipta jika pemerintah tidak
bertanggung gugat dan tidak ada jaminan hukum atas hak publik untuk mengakses
berbagai informasi tersebut. Jadi, ketiganya saling mengkait dan sulit untuk dapat
berjalan sendiri tanpa adanya dukungan dari komponen lainnya. Satu hal penting
lainnya –untuk negara yang secara geografis luas dengan jumlah penduduk yang
besar seperti Indonesia– dibutuhkan adanyaotonomi yang demokratis di tingkat
pemerintah daerah yang memastikan bahwa interaksi antara pemerintah dan
masyarakat ini dapat terjadi secara langsung dan intensif di lingkup yang kecil.
10. Bagaimanakah konsep Tata Kelola Pemerintahan Daerah ?
Tata kelola pemerintahan merupakan suatu konsep lama yang berasal dari teori politik
demokrasi awal yang membahas hubungan antara penguasa dengan rakyat. Sebagai
contoh, pada abad ke 19 Woodrow Wilson mendefinisikan tata kelola pemerintahan
sebagai ìsebuah pemerintahan yang dengan benar dan berhasil melaksanakan suatu
kebijakan dengan memperhatikan tingkat efisiensi dan dengan mengeluarkan biaya
dan tenaga yang paling sedikitî (dikutip oleh LaPorte 2002:3).
Meskipun tata kelola pemerintahan merupakan konsep yang sudah lama dikembangkan,
namun baru dalam satu dekade terakhir ini konsep tata kelola pemerintahan
mendapat perhatian cukup besar di kalangan pembuat kebijakan internasional.
Perkembangan demikian dimotivasi oleh suatu anggapan bahwa bantuan bilateral
dan multilateral dari negara maju ke negara berkembang telah gagal mencapai
tujuannya (misalnya untuk menanggulangi kemiskinan, mencapai pertumbuhan
ekonomi yang berkesinambungan, dll). Menurut mereka, hal ini terjadi karena
kapasitas administratif pemerintah negara sedang berkembang sangat buruk dalam
mengelola proyek-proyek bantuan, dan maraknya praktek KKN dalam
melaksanakan program bantuan tersebut. Dari pengalaman ini negara donor
kemudian menyimpulkan bahwa tata kelola pemerintahan yang baik sangat penting
bagi suskesnya program bantuan luar negeri mereka di negara sedang berkembang.
Karena itu, negara donor telah mulai mengaitkan bantuan luar negeri mereka
dengan upaya mewujudkan praktek tata kelola pemerintahan yang baik di negara-
negara sedang berkembang.
Ada beberapa definisi yang berbeda tentang tata kelola pemerintahan yang diajukan
oleh lembaga donor bilateral dan multilateral. Bank Dunia (1992) mendefinisikan
tata kelolapemerintahan yang baik sebagai: Suatu pelayanan publik yang efisien,
sebuah sistem peradilan yang dapat dipercaya, dan sebuah administrasi
pemerintahan yang bertanggungjawab kepada publik... Tata kelola pemerintahan
yang baik, bagi Bank Dunia, berkaitan erat dengan manajemen pembangunan yang
baik [Ini] sangat penting untuk membuat dan menciptakan suatu lingkungan yang
mendukung berlangsungnya pembangunan yang kuat dan merata, dan ini
merupakan suatu komponen yang penting untuk membuat kebijakan ekonomi yang
baik.
Lebih lanjut, Bank Dunia (1992) mendefinisikan tiga dimensi tata kelola
pemerintahan: (1) bentuk suatu rezim politik (parlementer atau presidensial,
pemerintahan militer atau sipil, dan otoriter atau demokratis); (2) proses di mana
kewenangan dilaksanakan dalam manajemen sumber ekonomi dan sosial suatu
negara; dan (3) kapasitas pemerintah untuk merancang, membentuk, dan
melaksanakan kebijakan, dan secara umum kapasitas untuk melaksanakan fungsi-
fungsi pemerintahan.
Pada tahun 1995, dalam sebuah pidato yang menjelaskan kebijakan baru pemerintah
Amerika Serikat terhadap bantuan luar negeri ke negara sedang berkembang, Wakil
Presiden Albert Gore, Jr. (dikutip LaPorte (2002:4) menyebutkan lima dasar tata
kelola pemerintahan yang baik, yaitu: (1) administrasi negara haruslah jujur dan
transparan; (2) administrasi negara harus disederhanakan dan diselenggarakan
seefisien mungkin; (3) pemerintah pusat harus mendesentralisasikan sebagian
besar fungsinya kepada pemerintah di bawahnya dan melayani publik pada tingkat
yang paling dekat dengan rakyat; (4) negara demokratis harus menjamin keamanan
warga negaranya (baik dalam bidang politik maupun ekonomi); dan (5) negara
demokratis harus berdasar pada sistem pengadilan yang terbuka dan modern.
Sementara itu The United Nations Development Program (UNDP, 1997) mendefinisikan
tata kelola pemerintahan sebagai: Pelaksanaan kewenangan ekonomi, politik, dan
administratif untuk menangani persoalan suatu negara dalam setiap tingkatan. Hal
ini terdiri dari mekanisme, proses, dan institusi dimana warga negara dan lembaga
masyarakat mengutarakan pendapat mereka, menggunakan hak hukum mereka,
memenuhi kewajibannya, dan menengahi perbedaan pendapat diantara mereka.
Terakhir, ekonom Bank Dunia Daniel Kaufmann, Aart Kraay, and Pablo Zoido- Lobation
(1999) mendefinisikan tata kelola pemerintahan yang baik sebagai: tradisi dan institusi
dimana kewenangan di sebuah negara dilaksanakan, yaitu: (1) proses dimana
pemerintahan dipilih, dimonitor, dan diganti; (2) kemampuan pemerintah untuk
merancang dan melaksanakan suatu kebijakan secara efektif; dan (3) rasa hormat warga
negara dan pemerintah terhadap institusi yang mengontrol interaksi ekonomi dan sosial
di antara mereka. Kesimpulannya, tata kelola pemerintahan merupakan suatu konsep
multidimensi yang terdiri dari variabel politik, ekonomi, dan sosial budaya yang
menentukan apakah kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah dapat mencapai
tujuan yang ditargetkan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dari berbagai
definisi tata kelola pemerintahan yang baik di atas, Kinutha-Njenga (1999)
menyimpulkan bahwa praktek-praktek pemerintahan yang mencirikan bahwa suatu
negara melaksanakan tata kelola pemerintahan yang baik adalah sebagai berikut:a.
Pemerintah negara yang bersangkutan terpilih secara demokratis dan
mempromosikan/mendukung hak asasi manusia dan kepastian hukum (rule of law); b.
Terdapat gerakan masyarakat madani yang kuat dan sehat; c. Pemerintah negara
tersebut dapat membuat dan melaksanakan kebijakan public yang efektif; dan d.
Pemerintah negara tersebut mengatur ekonomi negaranya berdasarkan atas pasar yang
bebas, kompetitif, dan efisien serta pemilik modal.
11.Bagaimana Reformasi Pemerintah Daerah dalam Pembangunan di
Indonesia?Implementasi desentralisasi di banyak daerah otonom kini tidak
sepenuhnya bersifat reaksioner. Beranjak dari pengalaman getir bahwa
kebijakan otonomi daerah di Indonesia diwarnai arogansi pemerintah daerah
dalam membuat perda, tindakan eksploitatif terhadap sumberdaya
& stakeholders demi penimbunan PAD, serta ketimpangan antardaerah
berdasarkan polarisasi kaya-miskin, kini sedikit-banyak mulai memiliki alternatif
bentuk aplikasi yang terencana, inovatif, dan tentunya reformis. Jumlahnya tidak
banyak, memang, tetapi taksiran awal sebanyak hanya 5% dari seluruh
kabupaten/ kota dan propinsi di Indonesia yang berinovasi serta melaksanakan
reformasi birokrasi dalam pemerintah daerahnya bisa menjadi bukti bahwa
otonomi daerah memiliki dampak positif dalam skala lokal, regional, dan
nasional.
Pembangunan daerah tentu memiliki banyak aspek dan pekerjaan rumah yang
menumpuk sehingga sulit bagi pemerintah daerah jika harus menggarap semua
aspek dan jenis pembangunan. Untuk mengoptimalkan pembangunan
daerahnya, pemerintah daerah mesti mencari daya pengungkit (leverage) yang
berujung pada penentuan skala prioritas. Keberhasilan pembangunan daerah
pada pokoknya menggunakan sejumlah pola leverage, yakni:
1. Reformasi birokrasi pemerintah daerah
2. Perluasan akses pendidikan bagi masyarakat
3. Peningkatan kualitas kesehatan masyarakat
12. Apakah Reformasi Birokrasi Pemerintah Daerah ?
Reformasi birokrasi publik pada pemerintah daerah dilaksanakan tidak hanya
mencakup pembenahan—jika tidak disebut perombakan—struktural menuju
perampingan ukuran dan komponen birokrasi, sebagaimana diamanatkan dalam
PP No. 8 Tahun 2003. Lebih dari itu, reformasi birokrasi publik juga mencakup
perubahan secara gradual terhadap nilai (public value) dan budaya aparat
pemerintah daerah yang berimplikasi pada etos kerja, kualitas pelayanan publik,
hingga perubahan perilaku sebagai penguasa (ambtenaar) menjadi pelayanan &
pengayoman.
Pemerintah Kabupaten Sragen, misalnya, melakukan perombakan struktural dengan
penambahan satuan kerja adhoc. Kelembagaan satker adhoc ini tidak masuk ke
dalam struktur birokrasi pemda tetapi mengemban fungsi yang justru menunjang
pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan lainnya agar lebih optimal. Marketing
Unit (MU) dibentuk Pemkab Sragen sebagai unit fungsional yang bertugas dalam
memasarkan potensi sumberdaya kompetitif, peluang investasi, serta produk-
produk unggulan kepada pihak-pihak di dalam dan luar Kabupaten Sragen.
Bentuk kelembagaan adhocracy unit fungsional ini tidak hanya menjadikan MU
dapat lincah dan leluasa bergerak dengan koordinasi langsung dengan Bupati/
Wakil Bupati tetapi juga memenuhi ketentuan PP No. 8 Tahun 2003 yang lebih
menekankan keterpenuhan fungsi daripada pengayaan struktur birokrasi.
Lembaga adhoc lain yang dibentuk adalah Engineering Services ((ES) yang dibentuk
untuk membuat seluruh perencanaan yang bersifat konstruksi. Perencanaan
berikut estimasi yang dibuat oleh satker ini akan menyelaraskan kebutuhan biaya
konstruksi dengan sumberdaya yang harus dikeluarkan pada setiap proyek
konstruksi. Cara kerja ini mirip sekali dengan Tim Owner Estimate (OE) bentukan
Pemkab Jembrana, Bali. Tim OE, melalui estimasi dan kalkulasi matematis atas
kebutuhan pekerjaan konstruksi, memberikan second opinion kepada Bupati
perihal kebutuhan yang sesungguhnya dari suatu pekerjaan konstruksi. Kerja
kedua satker ini, baik ES maupun OE, diarahkan pada minimasi praktek korupsi
yang hamper menjadi keumuman di banyak tempat terjadi dalam proyek-proyek
konstruksi.
13. Bagaimana Reformasi Struktural berdasarkan Goods Goverment ?
1. Pelayan Publik
Reformasi struktural birokrasi pemda juga memiliki varian lain,
yakni reengineering processterhadap pelayanan publik. Reformasi ini
menekankan pada rekayasa mekanisme pelayanan publik yang dilekatkan
dengan aspek struktural suatu birokrasi publik. Contoh nyata varian reformasi
ini adalah pelayanan satu pintu (one stop service), tidak sekadar satu atap,
untuk melaksanakan pelayanan perizinan dan nonperizinan. Bentuk
pelayanan ini baru bisa direkayasa dengan restrukturisasi organ satuan kerja
ke dalam satu Badan berikut pelimpahan kewenangan padanya, dipadukan
dengan penggunaan teknologi informasi intranet sebagai pewujudane-
government dalam pengertian yang sebenarnya. Sebagai contoh, Pemkab
Kutai Timur membentuk Badan Sistem Informasi Manajemen Pemerintahan
Kabupaten (Badan Simpekab) yang melayani 42 jenis pelayanan. Dalam
ragam yang sama, Pemkab Sragen membentuk Badan Pelayanan Terpadu
(BPT) yang melayani 62 jenis pelayanan dengan batas waktu pelayanan
maksimal 12 hari (khusus pelayanan IMB 15 hari). Pengambil keputusan
dalam pemberian izin tidak lagi bergantung pada Bupati tetapi telah
diserahkan kepada Kepala BPT. Kerja BPT ditunjang oleh teknologi informasi
(TI), menggunakan intranet dalam aplikasi Kantaya (Kantor Maya) yang
secara resiprokal menjamin pertukaran informasi secara efisien sekaligus
mekanisme pengawasan secara transparan antarsatker. Secara lebih luas
Pemkab Sragen memanfaatkan TI dalam pengoperasian kerja pemda
sehingga tidak terbatas pada BPT. Keberadaan Badan pelayanan satu pintu
semacam ini memangkas kesemrawutan pengurusan izin di berbagai dinas
sehingga pelayanan bisa memanfaatkan waktu yang lebih singkat.
Perubahan struktural mesti diikuti oleh perubahan kultural, berupa
internalisasi mindset dan perilaku, serta revitalisasi etos kerja. Beranjak dari
keinginan untuk melepaskan diri dari budaya birokratis yang kaku, beberapa
kepala daerah mengarahkan perubahan kultural menuju corporate
culture yang berlandaskan semangat kewirausahaan. Bupati Sragen,
misalnya, selama enam bulan pertama masa jabatannya secara rutin
mengadakan pertemuan dengan kepala-kepala satker untuk membicarakan
persoalan masyarakat yang terakumulasi dan belum terselesaikan untuk
kemudian dipecahkan bersama saat pertemuan itu juga. Bupati juga
mencanangkan nilai-nilai publik di tengah-tengah jajaran birokrasi pemda
berupa 5K: Komitmen, Konseptual, Kontinu, Konsisten, dan konsekuen. 5K
tidak sekadar dicanangkan tapi diintegraskan dalam mekanisme kerja harian,
terutama yang bersinggungan langsung dengan tupoksi Bupati/ Wakil Bupati.
Pemkab Sragen juga mengundang pelaku bisnis di perusahaan swasta untuk
memberikan pelatihan perilaku organisasi bagi pegawai BPT agar mereka
berperilaku dan bertindak selayaknya karyawan swasta yang berorientasi
pada kepuasan pengguna jasa (consumer,customer). Di samping itu,
pelatihan ESQ telah beberapa kali diselenggarakan
Untuk menangani masalah-masalah psikologis pegawai, Pemkab Sragen
membangun Klinik Terapi Holistik yang menjadi pusat konsultasi dan
penyelesaian problem personal pegawai, baik psikologis, spiritual, dan
medis. Klinik ini kemudian dikembangkan menjadi Assessment Center yang
menjalankan penilaian prestasi kerja secara terukur dan solutif dengan
pendekatan holistik tadi. Semangat keiwarusahaan dipompa melalui
penyediaan professional fee bagi para pegawai satker yang melakukan
kegiatan-kegiatan produktif dan marketable. Production training center (PTC)
Garmen dan Meubel di Badan Diklat, Perangkat Pilkades secara elektronik di
Bag. Pemerintahan Umum Setda, aplikasi TI di Bag. Litbang & PDE Setda,
merupakan sedikit dari sekian banyak contoh satker yang bisa
meraihprofit dari program-program kegiatannya.
Berbeda dengan Pemkab Sragen, Gubernur Gorontalo mengurangi mekanisme
honorarium sebagai cara pemberian insentif berbasis take-home pay.
Sebagai gantinya, penilaian kinerja pegawai dilakukan secara terukur
berdasarkan produktivitas kerja sehingga diterapkan insentif bagi pegawai
yang tercatat berprestasi dalam aktivitas mereka. Di samping itu, pengerjaan
kegiatan-kegiatan Pemprov Gorontalo tidak lagi menggunakan sistem
proyek. Setiap elemen dalam satuan kerja telah memiliki pembagian
tugasnya masing-masing dan bertindak atas job specification yang telah
dibagi itu. Inilah salah satu wujud penerapan anggaran berbasis kinerja,
pegawai dengan kinerja bagus akan mendapatkan insentif tersendiri. Di
samping menekankan anggaran berbasis kinerja dan efisiensi keuangan,
transparansi dan akuntabilitas Pemprov Gorontalo diwujudkan dengan
pemuatan laporan keuangan yang spesifik di media massa.
2. Cara berbeda diterapkan Walikota Tarakan. Pemkot Tarakan,
Kalimantan Barat, melakukan outsourcing SDM dari luar jajaran Pemkot untuk duduk
menjabat sebagai kepala satker tertentu. Kepala Bappeda Kota Tarakan bisa
menjadi salah satu contoh. Target yang hendak dicapai melalui cara ini
adalah terjadinya transfer pengetahuan, budaya, cara berpikir, dan cara kerja
baru di lingkungan Pemkot. Pihak luar yang digandeng untuk ikut
menjalankan roda pemerintahan daerah diasumsikan memiliki karakter yang
masih segar dan belum mengalami kontak asimilasi budaya dengan pegawai
lama. Posisinya yang strategis memudahkannya dalam mengambil
keputusan sekaligus menjalankan peran pentng di lingkungan satker tempat
ia bertugas. Langkah lain adalah dengan memangkas pengelolaan fungsi-
fungsi yang bukan merupakan pekerjaan pokok (core-business) pemkot.
Pengelolaan pasar, melalui sistem tender yang terbuka dan akuntabel,
dikelola perusahaan swasta dengan regulasi tetap di tangan Pemkot
sehingga intervensi pengelolaan pasar dan pengelolaan keuangan oleh
Pemkot melalui Perusahaan Daerah (Perusda) menjadi berkurang. Hal ini di
Tarakan diterapkan di Pasar Boom-Panjang yang sekarang dikenal sebagai
pasar dengan kreativitas penggalian potensi laba, bersih dan apik, berbeda
dengan kondisi pasar-pasar tradisional pada umumnya. Perusahaan swasta
dalam mengelola pasar hanya menggunakan setengah karyawannya,
setengah kebutuhan jumlah pengelola diambil dari kalangan pedagang pasar
per blok.
3. Perluasan Akses Pendidikan bagi Masyarakat
Upaya memajukan dunia pendidikan merupakan investasi jangka panjang,
jauh melebihi usia tampuk pemerintahan seorang kepala daerah, bahkan
hingga dua kali masa jabatannya. Inilah yang menyebabkan tidak banyak
kepala daerah menjejakkan program-programnya pada sektor ini karena
dalam kurun waktu periode kekuasaannya, hasilnya tidak langsung
dirasakan, pun bersifat intangible. Tidak banyak pula pemda yang
menjadikan upaya peningkatan kualitas pendidikan sebagai pengungkit
utama dalam mencapai kemajuan daerah. Namun, yang menjadi tren adalah
mengasumsikan kegiatan penarikan investor dan pengembangan kegiatan-
kegiatan jasa sebagai pengungkit kemajuan daerah. Hal ini tidak sepenuhnya
salah, memang, tetapi memandang dunia pendidikan sebelah mata jelas
bukan sikap yang bijak.
Ditengah-tengah menjamurnya tren tersebut, terdapat beberapa pemda
yangconcern memajukan dunaia pendidikan dengan memperluas akses
pendidikan bagi masyarakat sekaligus memperbaiki mutu
keberlangsungannnya. Di Maluku Utara, Pemkab Halmahera Selatan dalam
dua tahun terakhir telah menerapkan pendidikan gratis agar program wajib
belajar 12 tahun tidak sekadar jargon. Pendidikan gratis bagi para siswa
sekolah dasar hingga menengah atas berkenaan dengan keadilan antaretnis
yang diharapkan berujung pada kebersamaan etnis. Jika pendidikan gratis
diterapkan untuk semua siswa, tidak akan ada kalangan etnis tertentu yang
merasa didiskriminasikan. Hal yang sama diterapkan di Kabupaten Kutai
Timur dalam setahun terakhir. Pemkab Kutai Timur menerapkan
pembebasan biaya pendidikan dari SD hingga perguruan tinggi, termasuk
pungutan uang gedung, dan biaya ujian. Selain itu, pemkab juga memberikan
insentif tambahan bagi tenaga pendidik hingga Rp 1,5 juta. Ini semua
soal concern pemda agar tuntutan anggaran sebesar 20% dari APBD, selain
dari APBN, terpenuhi secara riil.
Di Kabupaten Jembrana, Bali, concern terhadap dunia pendidikan telah
dilakukan sejak lama, lebih-kurang enam tahun berjalan. Untuk memajukan
dunia pendidikan Pemkab Jembrana menggunakan kebijakan-kebijakan jitu
berdasarkan pelaku, program, dan sarana yang bermain di sektor ini.
Terhadap para siswa, Pemkab Jembrana menerapkan pendidikan gratis dari
tingkat pendidikan dasar hingga menengah (SMA) bagi mereka yang
menempuh pendidikan di sekolah negeri. Bagi yang bersekolah di swasta,
Pemkab memberikan beasiswa bagi siswa tidak mampu. Program ini untuk
membuka kesempatan yang sama bagi seluruh warga masyarakat untuk
mengecap pendidikan. Bagi tenaga pendidik, insentif Rp 5.000,00/ jam
mengajar dan tunjangan Rp 1 juta setiap tahun merupakan instrumen
pendorong semangat mengajar sekaligus membantu memperbaiki
kesejahteraan guru. Namun, ini tidak melupakan upaya perbaikan
infrastruktur pendidikan. Di saat banyak sekolah di berbagai daerah
mengalami kondisi fisik yang memperihatinkan, Pemkab Jembrana justru
melakukan perbaikan gedung dan sarana belajar-mengajar. Untuk
mengoptimalkan fungsi pendidikan yang tidak terperangkap pada rutinitas
pengajaran, Pemkab Jembrana menyelenggarakan Sekolah Kajian. Sekolah
ini memadukan sistem pendidikan yang diberlakukan di sejumlah sekolah,
seperti SMA Taruna Nusantara, Pondok Pesantren, serta pola pendidikan di
sekolah-sekolah Jepang. Jadilah kemudian model sekolah ini berorientasi
pada pengembangan pendidikan secara lebih inovatif, muatan disiplin yang
tinggi, pendidikan akhlak secara intensif, keterampilan praktis, penguasaan
IPTEK sejak dini, dan berwawasan global. Secara praktis sekolah ini
dilaksanakan dengan sistem asrama (boarding school) dengan konsep full-
day school dalam pengertian yang sebenarnya, ditandai dengan waktu
belajar yang lebih lama daripada sekolah-sekolah konvensional serta
interaksi antara peserta didik dan pengasuh/ gurunya lebih intensif. Pilot
project program ini adalah SMPN 4 Mendoyo dan SMAN 2 Negara.
Berbeda dengan contoh di tiga kabupaten tadi, Pemkab Sragen tidak
menerapkan pendidikan gratis. Anggaran yang ada lebih banyak dialokasikan
pada upaya peningkatan kualitas keterampilan kerja masyarakat, baik untuk
keperluan bersaing di dunia kerja maupun modal nonfinansial dalam
berwirausaha. Inilah yang dijalankan pemkab Sragen melalui program
pelatihan kerja masyarakat secara gratis dan swadana di Badan Diklat.
Pendidikan dalam jalur formal diasumsikan lebih banyak dititikberatkan pada
pengasahan pengetahuan, sementara untuk tetapsurvive di lapangan
dibutuhkan lebih dari sekadar pengetahuan, yakni keahlian praktis,
pengalaman yang memadai, dan semangat berwirausaha. Pemkot Tarakan
juga tidak menerapkan pendidikan gratis. Jika di Halmahera Selatan
pendidikan gratis diarahkan untuk mencapai keadilan antaretnis, Pemkot
Tarakan memandang pendidikan gratis justru mengarah pada ketidakadilan
berdasarkan stratifikasi sosial antara masyarakat mampu dan kurang
mampu. Sebagai gantinya, diselenggarakan subsidi silang antara siswa yang
mampu kepada siswa yang kurang mampu. Bentuk beasiswa yang diberikan
pun terbagi atas dua jenis: beasiswa tdak mampu dan beasiswa prestasi,
serta dibagikan kepada para siswa di sekolah negeri dan swasta.
4. Peningkatan Kualitas Kesehatan Masyarakat
Buruknya fasilitas dan pelayanan kesehatan masyarakat biasanya tercermin
atas tiga hal. Pertama, infrastruktur dan sarana penunjang yang tidak
memadai, sebaliknya justru kumuh dan tak terawat. Kedua, pelayanan
kesehatan oleh tenaga medis dan ketersediaan obat-obatan. Ketiga, biaya
pelayanan kesehatan yang mahal. Pemkab Jembrana, Bali misalnya ,
menyelenggarakan Jaminan Kesehatan Jembrana (JKJ) untuk mengatasi
problem kesehatan masyarakat. Subsidi bidang kesehatan semula diarahkan
pada pengadaan obat-obatan di RSUD dan puskesmas sesuai kebutuhan
masyarakat. Namun, subsidi ini kemudian dialihkan langsung kepada
pengguna jasa kesehatan, yakni masyarakat itu sendiri, dengan mekanisme
asuransi jaminan kesehatan. Subsidi ini diberikan dalam bentuk premi biaya
rawat jalan tingkat pertama di unit-unit pelayanan kesehatan yang telah
melakukan kesepakatan dalam bentuk kontrak kerja dengan Badan
Penyelenggara JKJ. Karena subsidi untuk obat-obatan telah dialihkan ke
premi asuransi JKJ, RSUD dan puskemas mesti mencari sendiri pembiayaan
untuk pengadaannya. Peserta JKJ adalah seluruh masyarakat, terutama
masyarakat miskin dengan perolehan kartu keanggotaan JKJ yang bisa
dipergunakan untuk menjalani pengobatan rawat jalan di unit pelayanan
kesehatan pemerintah dan swasta.
Di Halmahera Selatan, hal serupa dijalankan oleh pemkab melalui Badan
Layanan Umum Daerah yang bertanggung jawab langsung kepada Bupati.
BLUD menyelenggarakan jaminan kesehaan daerah dengan sistem iuran
mirip dengan premi asuransi di Jembrana. Kesehatan gratis diselenggarakan
bagi seluruh masyarakat, terutama masyarakat miskin. Yang juga
diprioritaskan oleh pemkab adalah pembukaan unit-unit pelayanan kesehatan
di seluruh pelosok wilayah Halmahera Selatan. Hal ini menemukan
urgensinya tersendiri mengingat Halmahera Selatan terdiri atas daratan dan
kepulauan. Namun, diproyeksikan ke depan, melalui iuran masyarakat dalam
jumlah yang terjangkau, Rp 5.000,00/ bulan, bagi tiap orang masyarakat bisa
mendapatkan layanan pengobatan.
Penutup
Perubahan di daerah memang biasanya dimulai dengan pembenahan kelembagaan
birokrasi pemerintah daerah sebelum akhirnya merambah pada pembenahan di
sektor lain, misalnya peningkatan kualitas pendidikan dan perluasan akss
masyarakat ke dalamnya, peningkatan mutu kesehatan, penggalian potensi daerah
untuk melakukan pembangunan berbasis keunggulan lokal, penggalakan usaha-
usaha di bidang jasa, dll. Beberapa penelitian hingga kini masih menemukan bahwa
perubahan-perubahan pada aparatur pemda masih terkait erat dengan langgam
keterikatan sistem yang diberlakukan secara birokratis. Belum ada penemuan
mutakhir bahwa perubahan tersebut mencakup perubahan secara ideologis dan
paradigmatik, dua hal yang justru menjadikan perubahan lebih permanen tanpa
ketergantungan pada sistem dan figur kepala daerah.
Hal yang sangat penting adalah penggunaan manajemen strategis dalam mengelola
aparat pemerintah daerah. Manajemen strategis, yang diarahkan dengan pemikiran
yang strategis pula, akan menjamin keberlangsungan pembangunan karena telah
memperhitungkan keuntungan sekaligus risiko di masa depan, jauh melampaui usia
periode kepemimpinan seorang kepala daerah. Di samping itu, manajemen strategis
juga menjadikan pemda turut mencurahkan perhatian mereka pada sektor-sektor
yang memberikan manfaat dalam jangka menengah dan panjang, misalnya sektor
pendidikan dan kesehatan. Namun, dari banyak penelitian di berbagai daerah, peran
kepala daerah sebagai inisiator reformasi dan inovasi pemda dalam pembangunan
regional merupakan faktor penting yang tak bsa ditawar kembali keberadaannya.
Manajemen strategis yang seharusnya dijalankan pemda bisa berjalan dengan pola
pikir visioner kepala daerah beserta aparaturnya agar fenomena Renstrada (rencana
strategis daerah) yang kini hanya menjadi dokumen bisu seakan tiada keharusan
bagi pemda untuk menerapakannya tidak berulang lagi di masa selanjutnya.

Anda mungkin juga menyukai