Anda di halaman 1dari 28

Diskusi 3 :

Model Terbaik dalam Hubungan Pusat dan Daerah Untuk


Indonesia ,Gunakan Teori yang sudah dipelajari untuk
menghasilakam Model terbaik beserta analisisnya :
JAWABAN :

Menurut Asep Nurjaman (Guruh, Syahda, LS : 85 : 2000) ada


beberapa alternatif bagaimana hubungan antara pemerintah
pusat dan pemerintah daerah dibangun, yaitu :

1. Hubungan pemerintah pusat dan daerah dibangun dengan


memberikan kekuasaan yang besar kepada pusat (hightly
centralized)

2. Hubungan pemerintah pusat dan daerah dibangun dengan


cara memberikan kewenangan yang besar kepada daerah
(highly decentralized) atau dikenal dengan nama confederal
system.

3. Hubungan pusat dan daerah berdasarkan “sharing” antara


pusat dan daerah. Sistem, ini disebut sistem federal (federal
System) yang banyak diadopsi oleh negara-negara besar
dengan fluralisme etnik, seperti Amerika Serikat, Kanada,
India dan Australia.

Pendapat lain dari Dennis Kavanagh (Mutty, M. Luthfi : 4 : 1997)


membagi model hubungan antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah dari sudut kedudukan pemerintah daerah
terhadap pemerintah pusat, sebagai berikut :

1. Agency Model (Model Pelaksana)

Dalam model ini, Pemerintah Daerah semata-mata dianggap


sebagai pelaksana oleh pemerintah pusat, ciri pokoknya menurut
Dennis Kavanagh adalah :
“….Central government has the power to create or abolish local
government bodies and their powers. In this model, the national
framework of a policy is estabilished centrally and local
authorities carry it out, with littlescope for discreation or
variation”

Dengan model wewenang yang dimiliki pemerintah daerah sangat


terbatas. Seluruh kebijakan ditetapkan oleh pemerintah pusat
tanpa perlu mengikut sertakan pemerintah daerah dalam
perumusannya. Pemerintah daerah berkewajiban melaksanakan
kebijakan pusat dengan keleluasaan yang sangat kecil dan tanpa
hak untuk berbeda. Dengan mempergunakan model ini
pemerintah pusat sewaktu-waktu dapat memperluas dan
mempersempit wewenang yang dimiliki oleh daerah atau lebih
jauh lagi dapat mencabut hak dan kewajiban daerah dengan
membubarkannya.

1. Partnership Model (model mitra)

Berbeda dengan model pertama, maka model kedua ini


menekankan pada adanya kebebasan yang luas kepada
pemerintah daerah untuk melakukan “Local Choice”. Beberapa
ciri pokok model ini adalah :

“Local government has its own political legitimacy, finance (from


rates and service), Resources, and even legal powers, and the
balance of power between the center and locality fluctuates
according to the contexs, there is too much variation in local
services to sustain the agency model, even though local
authorities are clearly subordinate in the partnership”

dalam model mitra ini pemerintah daerah tidak semata-mata


dipandang sebagai pelaksana melainkan oleh pemerintah pusat
telah dianggap sebagai partner atau sebagai mitra kerja yang
memiliki independensi bagi penentuan berbagai pilihan sendiri
yang walaupun pemerintah daerah tetap dalam posisii
subordinatif terhadap pemerintah pusat namun pemerintah
daerah diakui memiliki legitimasi politik tersendiri.

Dengan berpedoman pada kedua model tersebut, nampaknya


Undang-Undang Pemerintah Daerah di Indonesia, baik Undang-
Undang Nomor 5/1974 maupun Undang-Undang Nomor 23/2014
tidak memisahkan secara jelas dan tegas model mana yang pilih.
Baik model Agency maupun model partnership terdapat dikedua
Undang-Undang tersebut hanya saja berbeda pada aspek
intensitasnya, dimana jika Undang-Undang Nomor 5/1974 lebih
cenderung mempergunakan model Agency maka Undang-Undang
Nomor 23/20014 cenderung melakukan pendekatan dengan
model Partnership.

Tim peneliti Fisipol-UGM dan Departemen dalam negeri (Miftha


Thoha,: 1985 :1986)menyarankan kepada Departemen Dalam
negeri untuk membagi daerah kabupaten dan kota atas 4 (empat)
klasifikasi, dimana berdasarkan klasifikasi tersebut ditentukan
pola hubungan fungsional antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah. Hubungan fungsi yang oleh Tim Peneliti
Fisipol-UGM dan Departemen dalam negeri diberi nama hubungan
yang situasional adalah dengan mengadopsi pendapat dari Paul
Hersey dan Kenneth Blanchard.

Pengembangan hubungan antara pusat dan daerah yang bersifat


situasional ini didasarkan pada anggapan dasar bahwa setiap
daerah memiliki tinghkatan yang berbeda-beda dalam hal
kemampuan keuangan, kemampuan aparatur, kondisi demografi,
potensi ekonomi, PDRB, kemampuan partisipasi masyarakat dan
kemampuan administrasi dan organisasi. Berdasarkan atas
adanya perbedaan tersebut maka daerah kabupaten dan kota
dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

1. Kabupaten/kota yang tergolong mampu melaksanakan


urusan otonominya.
2. Kabupaten/kota yang mendekati mampu melaksanakan
urusan otonomi.

3. Kabupaten/kota yang sedikit mampu melaksanakan urusan


otonomi.

4. Kabupaten/kota yang tidak/kurang mampu melaksanakan


urusan otonominya

Kondisi daerah yang pada hakekatnya memang berbeda-beda


tersebut kemudian juga harus diberikan perlakuan (Treatment)
yang juga berbeda dengan maksud untuk memaksimalkan
kemampuan daerah dalam mengurus urusan otonomi , maka
kemudian dikembangkan 4 (empat) pola hubungan yang
seyogyanya dipergunakan , yaitu :

1. pola tata hubungan instruktif

2. pola tata hubungan konsultatif

3. pola tata hubungan partisipatif

4. pola tata hubungan delegatif

Pola-pola hubungan tersebut menunjukan adanya kaitan antara


dukungan dan pengarahan yang diberikan oleh pemerintah pusat.
Dukungan menunjukan sampai dimana bantuan, dan dorongan
yang diberikan untuk mendukung terlaksananya urusan otonomi
daerah sedangkan pengarahan menunjukan sampai dimana ikut
campur, interpensi, atau keterlibatan pemerintah pusat terhadap
pelaksanaan otonomi daerah, pengarahan pemerintah pusat ini
lebih dikaitkan dengan sampai dimana kematangan, kedewasaan
atau kemampuan daerah dalam melaksanakan urusan
otonominya.

Memberikan dukungan berarti mendorong daerah untuk


meningkatkan kemampuannya pada tingkatan yang lebih tinggi,
sehingga perbedaan antara keempat tata hubungan tersebut
sebenarnya bersifat gradatif antara pengarahan yang dilakukan
oleh pemerintah pusat dengan kematangan dan kemandirian
yang dimiliki oleh pemerintah daerah . bentuk-bentuk Pola
hubungan tersebut dapat diperinci sbb :

1. pola tata hubungan instruktif

Pada pola ini pengarahan lebih lebih banyak dilakukan oleh


pemerintah pusat daripada kemandirian pemerintah daerah.

1. pola tata hubungan konsultatif

pada pola ini pengarahan (campur tangan) dari pemerintah pusat


telah mulai berkurang karena kemampuan pemerintah daearh
telah mulai meningkat.

1. pola tata hubungan partisipatif

dengan pola ini pemengarahan dari pemerintah pusat telah lebih


banyak lagi dikurangi mengingat kemampuan pemerintah daerah
yang telah tinggi

1. pola tata hubungan delegatif

pada pola tingkatan ini pemerintah pusat telah jauh mengurangi


atau bahkan telah mentiadakan campur tangannya dalam
mengurus otonominya.

Kelebihan dari pola hubungan situasional ini adalah pada daerah-


daerah yang kurang mampu melaksanakan otonomi daerah tidak
dilakukan penghapusan atau penggabungan tetapi dilakukan
dengan memberikan kombinasi antara dorongan dan pengarahan
hingga daerah yang tidak mampu berangsur-angsur menjadi
mampu namun secara teknis pola hubungan situasional ini cukup
sulit untuk di implementasikan.

Pola hubungan pusat dan daerah yang lain dikemukakan oleh John
Haligan dan Chris Aulich (1998) yang membangun 2 model
pemerintahan daerah atas :
1. The Local Democracy model

Model ini lebih menekankankan pada nilai-nilai demokrasi dan


pengembangan nilai-nilai lokal untuk pengembangan efesensi
pelayanan. Model ini menurut Danny Burn. Dkk 1994
(Bhennyamin Hoessin : 1999 : 9) dibangun berdasarkan pada
teori politik.

1. The Struktural efficiency model

Model ini lebih menekankan pada efesensi pendistribusian


pelayanan kepada masyarakat lokal yang Danny Burn. Dkk 1994
(Bhennyamin Hoessin : 1999 : 9) dibangun berdasarkan pada
teori manajemen

Pilihan terhadap model hubungan antara pusat dan daerah


tersebut membawa konsekwensi-konsekwensi yang berbeda pada
hubungan antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat.
Model Demokrasi yang menekankan pada pengembangan nilai-
nilai lokal membawa kecenderungan pada penghargaan pada
perbedaan nilai-nilai lokal dan perbedaan sistem pemerintahan
kekuasaan yang dimiliki daerah berasal dari masyarakat daerah
itu sendiri. Sedangkan pilihan pada model struktural akan
membawa kecenderungan sebaliknya yaitu intervensi dan
campur tangan pemerintah pusat pada pemerintah lokal untuk
mengontrol pemerintah daerah dengan maksud agar tercapai
efeseinsi pembangunan. Pemilihan model efeseinsi ini menurut
A.F. Leemans (E.Koswara : 1999: 5 ) mempunyai kecenderungan –
kecenderungan sbb :

1. kecenderungan untuk memangkas jumlah susunan daerah


otonom

2. kecenderungan untuk mengorbankan demokrasi dengan


cara membatasi peran dan partisipasi lembaga perwakilan
rakyat daerah sebagai lembaga penentu kebijakan dan
lembaga kontrol di daerah
3. kecenderungan pusat untuk tidak menyerahkan
kewenanagan atau discretion yang lebih besar kepada
daerah otonom

4. kecenderungan untuk mengutamakan dekonsentrasi


daripada desentralisasi

5. terjadi semacam paradok disatu sisi efesensi memerlukan


wilayah yang lebih luas hingga SDA dan SDM lebih banyak
tetapi disisi lain berpotensi menjadi gerakan separatisme
yang mengarah pada disintegrasi.

Pengembangan Model hubungan antara pemerintah pusat dan


pemerintah daerah lainnya dapat diadopsi juga dari pendapat
B.C. Smith ( dalam Faried Ali : 1999: 11) yang membagi berbagai
model desentralisasi atas 3 model, yaitu :

1. Model Development

Desentralisasi dengan model pembangunan ini melahirkan


sejumlah otonomi daerah pada negara-negara yang sedang
berkembang dimana pengaruh kolonial masih sangat mewarnai
sistem penyelenggaraan pemerintahannya seperti institusi lokal
yang diberi nama pemerintahan kotapraja. Dengan model ini
hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah
yang terjalin bersifat hubungan yang bercorak sentralistis
mengingat model pembangunan membutuhkan mobilisasi
Sumberdaya alam dan modal yang maksimal.

1. Model liberal

Model liberal adalah model desentralisasi yang lebih berorientasii


pada pada dua fungsi utama, yaitu pelayanan dan partisipasi,
sehingga format hubungan antara pusat dan daerah yang
terbentuk lebih cenderung pada bentuk desentralisasi mengingat
pelayanan damn partisipasi lebih prima dan efesein apabila
diserahkan pada daerah yang paling dekat dengan masyarakat
yang dilayani.
1. Model Komunis

Desentralisasi dengan corak komunis ini adalah corak


desentralisasi yang menekankan pada ketergantungan
pemerintah daerah kepada pemerintah pusat.

TUGAS 1 :

Tentukan Suatu topik tentang Ruang Lingkup Hubungan Pusat


dan daerah Dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia.

Ambil Fokus dan Lokus untuk daerah atau Topik tertentu.


Selanjutnya buatlah tulisan singkat tentang topic,fokus dan lokus
tersebut harus mengandung

- Latar Belakanag Permasalahan yang jelas


- Gunakan teori
- dan analisislah tentang model hubungan pusat
dan daerah saat ini dan kondisi yang ideal untuk
diterapkan di Indonesia

Analisis Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah;


ANALISIS KEMANDIRIAN DAN KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH
KOTA KOTA TARAKAN SETELAH BERGABUNG DENGAN PROVUNSI
KALIMANTAN UTARA

A. LATAR BELAKANG MASALAH.

Hadirnya UU No. 32 dan UU No.33 Tahun 2004 beserta peraturan


pelaksanaannya, telah melahirkan harapan baru bagi masyarakat dan
pemerintah Kabupaten/Kota untuk lebih meningkatkan kesejahteraanya.
Undang-undang tersebut memberikan kewenangan dan diskresi yang lebih
luas kepada pemerintah daerah dalam mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri, serta menyelenggarakan kegiatan pembangunan
berdasarkan inisiatif, prakarsa dan kebutuhan/situasi lokal.

Desentralisasi kewenangan yang luas kepada pemerintah


Kabupaten/Kota dibarengi oleh penyerahan sumber-sumber
pembiayaan/pendapatan (Desentraslisasi Fiskal) guna mendukung
keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah. Melalui undang-undang
desentralisasi fiskal, Pemerintah Pusat telah memberikan sumber-sumber
pendanaan dalam bentuk pelimpahan sebagian kewenangan untuk
memungut jenis-jenis pajak tertentu kepada pemerintah daerah, untuk
dijadikan sumber-sumber pendapatan sendiri (PAD), Dana Perimbangan
dalam bentuk Block Grant (Dana Alokasi Umum) dan Spesifik Grant (Dana
Alokasi Khusus).

Otonomi daerah merupakan kondisi dengan melihat kemampuan


daerah melalui fungsi pemerintahan yang cepat, dekat dan tepat sehingga
manajemen pemerintahan dapat tertata dengan responsive , akuntabel,
transparan dan efisien sesuai dengan kebutuhan masyarakat (Woestho et al.,
2020).

Pemerintah daerah yang merupakan pemegang mandat pemerintah


pusat dalam melaksanakan otonomi daerah mempunyai peranan terhadap
pengelolaan sumber daya yang pada akhirnya dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.

Otonomi daerah telah diatur dalam Undang – Undang Nomor 23 Tahun


2014 tentang Pemerintahan Daerah, dimana tujuannya menata manajemen
pemerintah daerah sehingga berjalan secara responsive, akuntabel,
transparan serta efisien dengan mengedepankan kondisi serta kemampuan
daerah.

Menurut (Kamaroellah, 2017), ada empat elemen penting yang


diserahkan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam pelaksanaan
otonomi daerah, yaitu desentralisasi politik, derajat desentralisasi,
desentralisasi administrasi dan desentralisasi ekonomi sehingga pada
akhirnya menjadi kewajiban bagi daerah dalam mengelola secara efektif dan
efisien.

Otonomi daerah yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia


dimaksudkan untuk menjawab keinginan masyarakat di daerah terhadap isu
utama pembangunan yaitu pembagian kekuasaan, distribusi pendapatan
serta kemandirian sistem manajemen (Paul et al., 2012).
Undang – undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah mengatur tentang
desentralisasi yang merupakan alat untuk meningkatkan pelayanan publik
dan kesejahteraan sosial dengan membagi fungsi, tugas, dan wewenang
antar tingkat daerah. Kebijakan desentralisasi fiskal dilakukan oleh
Pemerintah Pusat terhadap Pemerintah Daerah untuk mengatasi masalah
kurangnya pendapatan, mengatasi eksternalitas dan redistribusi pendapatan
daerahnya (Suwandi & Warokka, 2013).

Dalam melihat tugas pemerintah daerah dalam melaksanakan otonomi


daerah dapat dilihat dari bagaimana daerah mengelola keuangan yang
tercantum dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daearh (APBD). APBD
merupakan instrument utama bagi daerah dalam menentukan besaran
pendapatan serta pengeluaran bagi daerah sehingga bisa digunakan untuk
proses perencanaan pembangunan (Woestho et al., 2020).

Menurut (Sari et al., 2021) hal utama dalam melaksanakan otonomi


daerah terletak pada tingkat kemampuan daerah dalam mengelola
keuangannya yang mempunyai tingkat ketergantungan kecil kepada
pemerintah pusat yang pada akhirnya diharapkan pendapatan daerah
menjadi bagian dalam mobilisasi dana.

Sementara tingkat kemandirian daerah tercermin dari kemandirian


keuangan daerah dalam mengelola pendapatan asli daerah (PAD) terhadap
APBD. PAD merupakan salah satu sumber pendapatan utama bagi daerah
dimana hal ini mengindikasikan daerah memanfaatkan potensi secara
optimal

Kota Tarakan merupakan salah satu Kota yang semula berada di


wilayah Propinsi Kalimantan Timur. Dengan dimekarkannya propinsi tersebut
menjadi dua propinsi yaitu Propinsi Kalimantan Timur dan Propinsi
Kalimantan Utara, Kota Tarakan menjadi wilayah Propinsi Kalimantan Utara
sejak 25 Oktober 2012. Sebagai Kota yang mulai bernaung di sebuah
propinsi baru tentu saja akan menghadapi perubahan-perubahan terutama
dari sisi pendapatan daerahnya,
Struktur Pendapatan Daerah di Kota Tarakan terdiri dari Lima sumber
Pendapatan selamam periode Tahun 2009 - 2012 terlihat dalam tabel berikut
ini :
Tabel 1.1:
Pendapatan Daerah Kota Tarakan (2017 – 2020)
Pendapatan 2017 2018 2019 2020 Rata-
Daerah Rata
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
Pendapatan 81.901,9 93.845,0 81.332,40 75.659,9 83.184,83
Asli Daerah 2 5 3
Dna 535.401. 643.596, 754.991,15 853.681. 694.417,4
Perimbanga 00 17 52 6
n
DAU 45.604,1 - 160.468,98 6.744,16 212.817,2
1 5
DAK 4.815,00 - - 4.815,00
LAIN-LAIN 48.554,4 180.637, 189.940,35 125.181, 136.078.3
PEND. YANG 8 39 15 4
SAH
Jumlah 665.857, 918.078, 1.026.263, 975.024, 896.310,7
40 60 90 95 1
Sumber : BPKAAD Kota Tarakan (data diolah)
Dari tabel di atas dapat ditunjukkan bahwa Sumber Penerimaan
Daerah terbesar di Kota Tarakan berasal dari Dana Perimbangan. Pada
periode tahun 2017-2020 rata-rata, kontribusi Dana perimbangan sebesar
77,47 %. Kontribusi Pendapatan Asli Daerah menempati posisi terendah rata-
rata, yakni pada tahun 9,28%. Hal ini mengindikasikan nahwa dari angka di
atas, secara umum dapat dikatakan bahwa pendapatan daerah Kota Tarakan
sangat bergantung pada Dana Perimbangan.

Jika seandainya perubahan tersebut mengakibatkan dana perimbangan


bagi Kota Tarakan menurun, maka untuk meningkatkan atau bahkan sekedar
mempertahankan pengeluaran Pemerintah Kota Tarakan perlu mencari
sumber dana lain. Salah satu sumber dana yang sesuai dengan UU dan
peraturan yang berlaku adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD)

B. RUMUSAN MASALAH :
Hubungan pemerintah pusat dan daerah dalam prakteknya masih
menyisakan permasalahan terkait dengan efektifitas penyelenggaraan
pemerintahan, kesejahteraan masarakat, kemandirian daerah, tata kelola
pemerintahan. Permasalahan tersebut pada akhirnya memunculkan
hubungan disharmonis atau konflik di tingkat daerah. Beberapa
permasalahan yang terjadi ditingkat daerah tersebut diidentifkkasi
dikarenakan belum adanya kesamaan persepsi antara pemerintah pusat
dan pemerintah daerah berkaitan dengan bidang kewenangan, pembagian
dana perimbangan keuangan, Berdasarkan hal tersebut perlu membangun
kesamaan persepsi tentang bagiamana hubungan kewenangan, keuangan,
sumber daya manusia, pembinaan dan pengawasan.

Berdasarkan Latar belakang persoalan tersebut diatas, Permasalahan yang


dihadapi oleh Pemerintah Kota Tarakan adalah belum signifikannya peranan
PAD dalam membiayai pengeluaran pemerintah daerah. Hal ini dapat dilihat
dari kecilnya Proporsi Pendapatan Asli Daerah terhadap Anggaran
Pendapatan dan Belanja (APBD) Pemerintah Kota Tarakan. Implikasinya
adalah tingkat ketergantungan keuangan pemerintah Kota Tarakan terhadap
pemerintah pusat menjadi sangat tinggi. Untuk itu pemerintah Kota Tarakan
harus mengupayakan mengurangi ketergantungan keuangan kepada
pemerintah Pusat. Dalam jangka panjang, harus mampu menghasilkan dana
sendiri membutuhkan upaya atau strtegi /terobosan (non konvensional)
dalam meningkatkan PAD dalam jangka pendek, jangka mengah dan jangka
panjang.

C. TINJAUAN TEORI
Otonomi daerah diselenggarakan dengan memperhatikan prinsip
demokrasi, mengajak serta peran masyarakat, pemerataan dan keadilan
serta melihat potensi dan keanekaragaman daerah. Otonomi daerah telah
diatur dalam Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah dimana otonomi daerah adalah hak masyarakat daerah untuk
mengatur serta mengelola daerahnya sendiri dengan mengembangkan
potensi dan sumber daya daerah
Sementara, desentralisasi merupakan penyerahan wewenang
pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah sehingga
pemerintah daerah mampu mengatur dan mengurus rumah tangga yang
telah diserahkan.
Desentralisasi Fiskal

Desentralisasi fiskal merupakan instrument untuk mencapai tujuan


bernegara yaitu dengan memberikan pelayanan publik yang baik melalui
proses pengambilan keputusan yang demokratis
Desentralisasi terwujud melalui pelimpahan wewenang kepada tingkat
pemerintahan daerah dalam hal melakukan pembelanjaan, kewenangan
untuk memungut pendapatan asli daerah. Peningkatan pendapatan asli
daerah merupakan salah satu cara dalam meningkatkan kemampuan
keuangan pemerintah daerah dalam membiayai belanja rutin serta
pembangunan di daerahnya.
Menurut (Royda & Riana, 2019) desentralisasi fiskal merupakan
pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah
untuk pengambilan keputusan dan pengelolaan fiskal.
Desentralisasi fiskal melihat seberapa besar pemerintah daerah
bergantung kepada pemerintah pusat dalam membiayai pembangunan
sehingga untuk menilainya dibutuhkan ukuran yang disebut sebagai
kemandirian keuangan daerah dan kemampuan keuangan daerah.

Kemandirian Keuangan Daerah

Menurut (Prakoso et al., 2019) pola hubungan antara pemerintah pusat


dengan pemerintah daerah ditandai dengan kemandirian keuangan daerah
dalam membiayai pembangunan dan pelaksanaan pemerintahan.

Dengan kata lain kemandirian keuangan daerah melihat kemampuan


pemerintah daerah dalam membiayai kegiatan pemerintahan, pembangunan
di daerahnya serta pelayanan kepada masyarakat terutama yang telah
membayar pajak dan retribusi. Kemandirian keuangan daerah
menggambarkan bagaimana partisipasi dari masyarakat dalam proses
pembangunan daerah. Dimana semakin tinggi tingkat kemandirian keuangan
daerah, berarti semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam membayar pajak
dan retribusi.yang merupakan bagian dari pendapatan asli
daerah.
Tabel 1.
Pola Hubungan Tingkat Kemandirian dan Kemampuan Keuangan Daerah
Kemampu Rasio Pola
an Kemandiri Hubung
Keuanga an an
n
Rendah 0 – 25 Instruktif
sekali
Rendah 25 – 50 Konsultatif
Sedang 50 – 75 Partisipatif
Tinggi 75 – Delegatif
100
Sumber : (Royda & Riana, 2019)
Kemampuan Keuangan Daerah
Kriteria penting dalam mengetahui kemampuan daerah dalam
mengatur dan melaksanakan rumah tangga dalam bidang keuangan yaitu
dengan melihat posisi keuangan daerahnya.
Sehubungan dengan pentingnya posisi keuangan tersebut, keuangan
daerah sebagai salah satu indikator untuk mengetahui kemampuan
keuangan daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri.
Sebagai pedoman, dapat diketahui pola hubungan kemampuan
keuangan daerah dari sisi pendapatan asli daerah.
Tabel 2.
Skala Interval Derajat Desentralisasi Fiskal
Persentase Kemampuan
Keuangan Daerah
0,00 – 10,00 Sangat kurang
10,01 – 20,00 Kurang
20,01 – 30,00 Cukup
30,01 – 40,00 Sedang
40,01 – 50,01 Baik
> 50,01 Sangat baik
Sumber : (Royda & Riana, 2019)
Bentuk Negara

Ada dua bentuk negara yang penting untuk dipahami sebagai awal dalam
memahami hibungan pemerintah pusat dan daerah. Dua bentuk negara itu
adalah negara serikat atau federasi dan negara kesatuan. Bentuk negara
kesatuan yang dianut Indonesia merupakan prinsip dasar dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Negara kesatuan ialah negara yang merdeka dan berdaulat, di seluruh


negara yang berkuasa hanya ada satu pemerintah pusat yang mengatur
seluruh daerah (Kansil dan Christine S.T Kansil, 2003:3). Negara kesatuan
ialah bentuk negara dimama wewenang legislative tertinggi dipusatkan pada
satu badan legislatif nasional pusat. Azas yang mendasari negara kesatuan
adalah azas unitarisme (C.F Strong 1960:61, Kaho 2012:5). Negara kesatuan
adalah negara yang paling kokoh jika dibandingkan dengan negara federal
atau konfederasi. Dimana dalam negara kesatuan terdapat baik persatuan
maupun kesatuan (Kaho, 2012:5). Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) UUD 1945
negara Indonesai adalah negara kesatuan yang berbentuk republik.
Indonesia sebagai suatu negara kesatuan saat ini memilih system
desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintaan daerah. Desentralisasi
ditetapkan dikarenakan pertimbangan situasi dan kondisi wilayah, politik,
psikoliogis dan keterbatasan pemerintah pusat. Indonesia tidak terdapat
negara bagian yang memiliki kedaulatan sebagaimana Amerika, Malaysia,

Australisa, Jerman dan negara-negara lainnya yang berbentuk federal.

Pemerintah daerah dalam negara kesatuan republik Indonesia mengatur dan


mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan. Pemerintah daerah melaksanakan otonomi seluas-luasnya,
kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang undang ditentukan sebagai
urusan pemerintahan pusat.

Desentralisasi

Dalam negara kesatuan dikenal dua macam sistem yg bisa diterapkan yaitu:
1) Sistem Sentralisasi, dimana pemerintah pusat mengendalikan seluruh
kekuasaan

pemerintah. 2) Sistem desentralisasi, dimana pemerintah pusat


mendelegasikan sebahagian kekuasaannya kepada daerah-daerah tertentu
yg mencakup dalam wilayah negara yang bersangkutan dengan maksud
agar daerah tersebut mampu mengurus rumah tangganya sendiri (otonomi
daerah) yang dinamakan daerah otonom (Kansil dan Christine S.T Kansil
2003:3)

Asas desentralisasi dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia adalah


penyerahan wewenang pemerintah kepada daeah otonom untuk menjadi
urusan rumah tangga daerah otonomo (Djaenuri, 2012:4). Di dalam
beberapa suber literatur disebutkan ada dua bentuk desentralisasi, yakni:

1. Desentralisasi jabatan (ambtelijke decentralisate), yaitu penyerahan


kekuasaan dari atasan kepada bawahan sehubungan dengan
kepegawaian atau jabatan dengan maksud untuk meningkatkan
kelancaran kerja. Desentralisasi seperti ini disebut juga dekonsentrasi.
Apa yang disebut dekonsentrasi adalah tidak lain dari pada salah satu
jenis desentralisasi. Dekonsentrasi adalah desentralisasi, namun
desentralisasi tidak selalu berarti dekonsentralisasi.

2. Desentralisasi kenegaraan (staatkundige decentralisate), yaitu


penyerahan kekuasaan untuk mengatur daerah dalam lingkungannya
sebagai usaha untuk mewujudkan asas musyawarah mufakat dalam
pemerintahan negara. Di dalam desentralisasi ini, rakyat secara
langsung mempunyai kesempatan untuk turut serta (participation)
dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerahnya.
Lebih lanjut C.V. Van Der Pot (1950) menyebutkan desentralisasi
ketatanegaraan dapat dibagi kedalam dua macam: a) Desentralisasi
territorial (territorial decentralisate), yaitu pelimpahan kekuasaan untuk
mengatur dan mengurus rumah tangga daerah masing-masing.
Desentralisasi territorial memiliki bentuk otonomi dan medebwind atau
zelfbestuur. b) desentralisasi fungsional (functionale decentralisate) yaitu
pelimpahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus sesuatu atau
beberapa kepentingan tertentu (fungsi tertentu). Batas pengaturan tersebut
pada jenis dan fungsi seperti, pendidikan, pengairan, dan sebagainya (dalam
Arenawati 2016:4, Djaenuri 2012:4)

Berkaitan dengan desentraliasai yang menjadi titik tekan dalam


penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia, megutip pendapat
Turner dan Hulme (1997:152) bahwa desentralisasi memberikan keuntungan
pada: 1) locally specific plans; 2) inter organizational coordination; 3)
experimentation and innovation; 4) motivation of field level personnel, and
5) workload reduction.

Menurut Bagir Manan (1994:161-170) hubungan pusat dan daerah dalam


kerangka desentralisasi berdasarkan hal-hal berikut:

1. Permusyawaratan dalam system pemerintahan negara.


Penyelenggaraan pemerintahan harus berdasarkan prinsip kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan.

2. Pemeliharaan dan pengembangan prinsip-prinsip pemerintahan asli.


Penyeleggaraan pemerintah pusat dan daerah tidak boleh membogkar
susunan dan struktur asli pemerintahan masyarakat bangsa Indonesia
tapi harus memelihara dan mengembangkannya.

3. Kebhinekaan. Penyelengaraan pemerintahan pusat dan daerah harus


berdasarkan pada kebihinekaan sesuai dengan semboyan “Bhiineka
Tunggal Ika”. Wujud bangunan bangsa Indonesia adalah keragaman
dalam persatuan dan kesatuan dari perbedaan.

4. Negara hukum. Dalam penjelasan UUD 1945 Republik Indonesia


disebutkan bahwa Indonesia berdasar atas hukum tidak berdasar atas
kekuasaan belaka. Maka penyelenggaraan pemerintahan daerah
harus berdasarkan pada prinsip- prinsip permusyawaratan dalam
mencapai tujuan.

Indikator hubungan pemerintah pusat dan daerah


Menurut Rosidin (2010:147) hubungan pemerintah pusat dan
pemerintah daerah dalam penyelenggaraan otonomi daerah menckup
hubungan dalam bidang kewenangan, keuangan, pembinaan dan
pengawasan.

Sementara itu Kaho (2012:18) menyimpulkan dengan dianutnya


desentralisasi di Indonesia maka terjadilah hubugan
kekuasaan/kewenangan, hubungan keuangan dan pengawasan antara
pemerintah pusat dan daerah-daerah otonom yang merupakan bagian dari
Negara.

Berdasarkan penjelasan diatas, dalam studi ini penulis menetapkan ada


beberapa indikator melihat hubungan antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah di Indonesia yakni: 1) Hubungan kewenangan, 2)
Hubungan keuangan, 3) Hubungan sumber daya manusia, 4) Hubungan
pengawasan dan pembinaan. Indikator hubungan pemerintah pusat dan
daerah tersebut dalam studi ini merupakan bidang-bidang yang perlu
mendapatkan perhatian dalam membangun kesamaan persepsi antara
pemerintah pusat dan daerah.

D. PEMBAHASAN
Dalam perjalanan historinya, hubungan pusat dan daerah di Indonesia pernah
berada pada kutub sentralisasi, kemudian bergeser pada kutub desentralisasi, namun juga
pernah mengalami stagnasi akibat dari kevakuman kekuasaan (Mariana 2008:131).
Desentralisasi yang dimaksudkan sebagai penyerahan urusan atau kewenangan dari
pemerintah pusat kepada daerah dalam ragka penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Penyerahan bidang urusan pemerintahan tertentu kepada pemerintah daerah oleh
pemerintah pusat telah menciptakan hubungan kewenangan antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah. untuk melaksanakan bidang urusan yang telah diserahkan kepada
daerah membuthkan biaya dalam pelaksanaanya, sehingga menciptakan hubungan
keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. terlaksannya bidang urusan yang diserahkan
kepada daerah membutuhkan sumber daya manusia dalam pelaksanaanya, sehingga
terciptalah hubungan sumber daya manusia (kepegawaian) antara pemerintah pusat dan
daerah. agar urusan yang diserahkan dapat berjalan sesuai yang ditetapkan maka
memerlukan pengawasan dan pembinaan oleh pemerintah pusat terhadap daerah-daerah
otonom. Pengawasan dan pembinaan sebagai bentuk penegasan bahwa Indonesia berada
pada negara kesatuan dimana tanggung jawab akhir atas segenap urusan pemerintahan
ada pada pemerintah pusat

Hubungan Keuangan. Pemerintah Pusat memiliki hubungan keuangan dengan Daerah


untuk membiayai penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang diserahkan dan/atau
ditugaskan kepada Daerah. Menurut Rosidin (2010:156) hubungan keuangan antara
pemerintah ousat dan daerah sangat menentukan kemandirian otonomi. Akan tetapi yang
menjadi persoalan adalah terbatasnya jumlah uang yang dimiliki daerah dalam pelaksanaan
otonomi daerah.
Kemapuan Keuangan Daerah Kota Tarakan apabila dilihat dari rasio Derajat Otonomi
Fiskal Daerah (DOFD), masih sangat rendah yaitu rata-rata 6,82 persen per- tahun,
Kontribusi PAD terhadap APBD rendah rata-rata 7,37 % per-tahun, Rasio Penerimaan PAD
dengan PDRB (Tax Ratio) sangat rendah, rata-rata rasionya 0,23 per-tahun. Berdasarkan
analisis tingkat optimaliassi pendekatan tax Effort (usaha pajak) tingkat penerimaan
Pemerintah Kota Tarakan masih rendah rata-rata rationya 0,95 artinya peranan PAD dalam
membiayai kebutuhan pengeluaran daerah sangat rendah rata-rata di kurang dari 10 %.
Berdasarkan analisis pendekatan tax Effort (usaha pajak) tingkat optimalisasi penerimaan
Pemerintah Kota Tarakan masih rendah rata-rata rationya 0,9 artinya rasio antara target dan
realisasi tidak tercapai, Untuk meningkatkan kemampuan keuangan daerah perlu dilakukan
optimalisasi intensifikasi dan ekstensifikasi subyek dan obyek pendatan, dalam jangka
pendek perlu dukungan teknologi informasi sehingga data-data lebih up-to-date. regulasi
berupa perda terutama kebijakan terkait pajak daerah dan retibusi daerah.

E. KESIMPULAN

Derajat otonomi fiskal pada Kota Tarakan dari tahun 2017 hingga tahun
2020 berada pada rentang 0% sampai dengan 25%, hal ini dapat
disimpulkan bahwa sehingga dapat disimpulkan bahwa kemampuan
keuangan Kota Tarakan rendah sekali dengan pola hubungan instruktif.
Hal ini menandakan bahwa Kota Tarakan dalam melaksanakan otonomi
daerah masih sangat rendah sekali, dimana peranan pemerintah pusat
dalam pelaksanaan pembangunan daerah masih dominan dibandingkan
dengan pendapatan asli daerah yang diperoleh dari pajak dan retribusi
daerah.

Sementara derajat desentralisasi fiskal mempunyai nilai rata – rata 6,82 %


(masih rendah) sehingga dapat dikatakan kemampuan keuangan daerah Kota
Tarakan dalam pelaksanaan pembangunan daerahnya dikategorikan cukup.

REFERENSI
Djaenuri, Aries. 2012. Hubungan Keuangan Pusat Daerah, Elemen-elemen Penting
Hubungan Keuangan Pusat Daerah. Bogor: Ghalia Indonesia
Erenawati. 2016. Administrasi Pemerintahan Daerah (edisi 2). Yogyakarta: Graha Ilmu
Humes IV, Samuel. 1991. Local Governance and National Power. London: IULA
Kaho, Josef Riwu. 2012. Analisis Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia.
Yogyakarta: PolGov UGM
Turner, Mark and David Hulme. 1997. Governance, Administration and Development: Making
the State Work. London: Macmillan Press Ltd
Manan Bagir. 1994. Hubungan Antar Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan
Mariana, Dede. 2008. Dinamika Demokrasi dan Perpolitikan Lokal di Indonesia.
Bandung: AIPI
Nurcholis, Hanif. 2007. Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah. Jakarta:
Grasindo
Rosidin, Utang. 2010. Otonomi Daerah dan Desentralisasi. Bandung: Pustaka Setia
Kansil. 2003. Sistem Pemerintahan Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara

Kamaroellah, R. A. (2017). Analisis Tingkat Kemampuan Keuangan Daerah Dalam Mendukung


Pelaksanaan Otonomi Daerah. Nuansa: Jurnal Penelitian Ilmu Sosial Dan Keagamaan Islam,
14(1), 123. Https:// Doi.Org/10.19105/Nuansa.V14i1.1316
Paul, J., Renyaan, A., Ubud, S., & Idrus, M. S. (2012). Effect Of Fiscal Autonomy And Economic
Growth On Local Financial Performance ( A Study On Local Government Of Papua Province
). 1(1), 16–21.
Prakoso, J. A., Islami, F. S., & Sugiharti, R. R. (2019). Analisis Kemampuan Dan Kemandirian
Keuangan Daerah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Dan Kemiskinan Di Jawa Tengah. Jurnal
Rep (Riset Ekonomi Pembangunan), 4(1), 87–100. Https://Doi.Org/10.31002/ Rep.V4i1.1344
Royda, & Riana, D. (2019). Analisis Kemandirian Dan Kemampuan Keuangan Daerah Serta
Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota Di Provinsi Sumatera Selatan.
Jurnal Akuntansi Dan Manajemen, 14(2), 50–64.
Sari, R. K., Woestho, C., & Handayani, M. (2021). Analisis Kemampuan Keuangan Daerah Pada
Daerah Tertinggal Di Provinsi Sulawesi Tengah. Jurnal Kajian Ilmiah, 21(1), 45–54. Https://
Doi.Org/10.31599/Jki.V21i1.324
Suwandi, & Warokka, A. (2013). Fiscal Decentralization And Special Local Autonomy: Evidence
From An Emerging Market. The Journal Of Southeast Asian Research, 2013, 1–14.
Https://Doi.Org/10.5171/2013.554057
Woestho, C., Sulistyowati, A., & Sari, R. K. (2020). Analisis Kemampuan Dan Kemandirian
Keuangan Daerah Serta Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Di Kabupaten
Jeneponto. Jurnal Ekonomi Pembangunan Stie Muhammadiyah Palopo, 6(2), 91–100.
Peraturan Perundang-Undangan:
Undang Undang Dasar Republik Indonesia 1945
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah
 Dengan adanya komitmen pemerintah untuk
mewujudkan good governance maka kinerja atas
penyelenggaraan organisasi pemerintah menjadi
perhatian pemerintah untuk dibenahi, salah satunya
melalui sistem pengawasan yang efektif, dengan
meningkatkan peran dan fungsi dari Aparat Pengawas
Intern Pemerintah (APIP).
 Fungsi APIP yang berjalan dengan baik dapat mencegah
kecurangan, menghasilkan keluaran yang berharga untuk menjadi
masukan bagi pihak auditor eksternal, eksekutif dan legislatif dalam
memperbaiki pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan
daerah pada waktu yang akan datang. BPK dapat memanfaatkan
hasil pengawasan APIP terutama dari hasil reviu atas laporan
keuangan pemerintah, mendukung manajemen pemerintah daerah
dalam pelaksanaan rekomendasi BPK dan perbaikan sistem
pengendalian Internal. APIP yang profesional dan independen
mendorong peningkatan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan
keuangan yang dapat meningkatkan kewajaran laporan keuangan.
 Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 35 Tahun 2018
tentang Kebijakan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Tahun 2019 pada Lampiran menetapkan kegitan pengawasan APIP
sebagai berikut.
1. Apa manfaat atau nilai tambah yang diperoleh dari pelaksanaan
Audit oleh APIP.
Tujuan daeu Audit Kinerja suatu Otganisasi,Program atau kegiatanyg
meliputi audit atasaspek ekonomis,efisiensi, efisiensi dan efektivitas
(3E). Atdit focus pada area yang mampu memberi nilai tambah dan
memiliki potensi untuk perbaikan berkelanjutan.
2. Kompetensi dan kualitas kerja SDM APIP serta perbaikannya.
 Kapabilitas Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP)
adalah kemampuan untuk melaksanakan tugas-tugas
pengawasan yang terdiri dari tiga unsur yang saling terkait
yaitu kapasitas, kewenangan, dan kompetensi SDM APIP yang
harus dimiliki APIP agar dapat mewujudkan peran APIP secara
efektif.
 Peningkatan kapabilitas merupakan upaya APIP untuk
memperkuat, meningkatkan, mengembangkan kelembagaan,
tata laksana/proses bisnis/manajemen dan sumber daya
manusia APIP agar dapat melaksanakan peran dan fungsi APIP
yang efektif.
 PERMENPAN Nomor PER/04/M.PAN/03/2008 mengungkapkan
bahwa auditor wajib mematuhi prinsip-prinsip perilaku, yaitu
integritas, objektivitas, dan kompetensi. Auditor harus
memiliki integritas yang dilandasi oleh unsur jujur, berani,
bijaksana, dan bertanggung jawab untuk membangun
kepercayaan guna memberikan dasar bagi pengambilan
keputusan yang andal
 Standar Audit APIP sebagaimana diatur dalam PERMENPAN
Nomor PER/05/M.PAN/03/2008, dipergunakan sebagai acuan
bagi seluruh APIP dalam melaksanakan audit. Disebutkan
dalam standar tersebut bahwa dalam semua hal yang
berkaitan dengan audit, APIP harus independen dan objektif
dalam pelaksanaan tugasnya. Hal ini mengandung arti bahwa
independensi APIP serta objektivitas auditor diperlukan agar
kualitas hasil pekerjaan APIP meningkat (Sukriah dkk., 2009)

3. Apa harapan yan belum terpenuhi dari pelaksanaan


audit oleh APIP
Untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengawasan intern
pemerintah, diperlukan koordinasi pengawasan yang bersifat menyeluruh.
Pengertian koordinasi pengawasan yang bersifat menyeluruh adalah
koordinasi yang meliputi tahap perumusan kebijakan perencanaan,
pelaksanaan, pelaporan dan pemantauan tindak lanjut hasil pengawasan
yang dilaksanakan oleh Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP).

AUDIT APIP harus merata kebidang-bidang teknis PD


4. Apa kekuatan yang dimliki oleh APIP dan bagaimana
keberlangsungannya
Independen, dukungan regulasipemerintah pusat dan juga harus
didukung kuat oleh Pemangku kepenringan
, Independen

Aturan perilaku merupakan penjabaran lebih lanjut dari prnsip-


prinsip perilaku. Auditor wajib mematuhi aturan perilaku berikut ini:

1. Integritas

melaksanakan tugasnya secara jujur, teliti, bertanggung jawab dan


bersungguh-sungguh;
menunjukkan kesetiaan dalam segala hal yang berkaitan dengan
profesi dan organisasi dalam melaksanakan tugas;
mengikuti perkembangan peraturan perundang-undangan dan
mengungkapkan segala hal yang ditentukan oleh peraturan
perundang-undangan dan profesi yang berlaku;
menjaga citra dan mendukung visi dan misi organisasi;
tidak menjadi bagian kegiatan ilegal, atau mengikatkan diri pada
tindakan-tindakan yang dapat mendiskreditkan profesi APIP atau
organisasi;
menggalang kerja sama yang sehat diantara sesama auditor dalam
pelaksanaan audit;
saling mengingatkan, membimbing dan mengoreksi perilaku
sesama auditor.
2. Obyektivitas.

mengungkapkan semua fakta material yang diketahuinya yang


apabila tidak diungkapkan mungkin dapat mengubah pelaporan
kegiatan-kegiatan yang diaudit;
tidak berpartisipasi dalam kegiatan atau hubungan-hubungan yang
mungkin mengganggu atau dianggap mengganggu penilaian yang
tidak memihak atau yang mungkin menyebabkan terjadinya
benturan kepentingan;
menolak suatu pemberian dari auditi yang terkait dengan
keputusan maupun pertimbangan profesionalnya.
3. Kerahasiaan

secara hati-hati menggunakan dan menjaga segala informasi yang


diperoleh dalam audit;
tidak akan menggunakan informasi yang diperoleh untuk
kepentingan pribadi/golongan di luar kepentingan organisasi atau
dengan cara yang bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan.
4. Kompetensi

melaksanakan tugas pengawasan sesuai dengan Standar Audit;


terus menerus meningkatkan kemahiran profesi, keefektifan dan
kualitas hasil pekerjaan;
menolak untuk melaksanakan tugas apabila tidak sesuai dengan
pengetahuan, keahlian, dan keterampilan yang dimiliki.
5. Yang diperlukan perbaikan APIP agar kapabilitas APIP lebih baik
dimasa depan
Sesuai ToadMap RB 2020-2024
- Pengawasan: meningkatnya penyelenggaraan pemerintah yang
bebas KKN.
- Tata laksana: sistem, proses dan prosedur kerja yang jelas,
efektif, efisien, terukur dan sesuai dengan prinsip-prinsip good
governance.

6. Apa masukan untuk menjaga keberlangsungan halhal yang


sudah baik atau memperbaiki hal yang ditingkatkan untuk
APIP

Hasil evaluasi Pelaksanaan Reformasi Birokrasi yang ditindaklanjuti:


a. Evaluasi atas kebijakan pengawasan perlu disempurnakan
terutama terkait pengembangan manajemen risiko
b. Penanganan benturan kepentingan perlu dimonitor dan
dievaluasi secara berkala ,
c. whistle blowing system belum disosialisasikan ke seluruh
organisasi baru sebagian kecil
d. Penangan benturan kepentingan perlu didukung dengan
regulasi (beupa Peraturan Walikota)
e. Perlu dilakukan monitoring dan evaluasi terkait pelaksanaan
SPIP
diseluruh Organisasi Perangkat Daerah.
Hasil evaluasi tersebut akan ditindaklanjuti untuk mendukung
keberhasilan misi 1 Kepala Daerah dengan :
a) Melaksanakan sosialisasi whistle blowing system
b) Menyusun model evaluasi benturan kepentingan
c) Melaksanakan evaluasi kebijakan pengawasan terkait
pengembangan manajemen risiko
d) Melakukan optimalisasi monitoring dan evaluasi Sistem
Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP).
TUGAS TUTORIAL 1

MATA KULIAH: PSIKOLOGI SOSIAL

No Soal Skor Maksimal

1 Pandemi Covid-19 mengharuskan UT melakukan 40


penyesuaian proses pembelajaran. Salah satunya, bantuan
belajar yang berbentuk tutorial tatap muka (TTM) diubah
menjadi tutorial webinar (Tuweb). Perubahan ini
mengharuskan mahasiswa juga melakukan penyesuaian;
dari tadinya harus datang ke lokasi tutorial menjadi harus
memiliki komputer atau smartphone yang terkoneksi
internet. Untuk mengatasi ketiadaan komputer atau
smartphone dan menghemat biaya pulsa internet,
sekelompok mahasiswa UT berinisiatif belajar bersama
dengan menggunakan komputer bersama dan iuran untuk
membeli modem dan membeli pulsa. Dengan cara
demikian mereka dapat mengikuti Tuweb dengan lancar
dan mendiskusikan bersama hasil tutorial setiap kali
selesai tutorial.

Kegiatan sekelompok mahasiswa UT tersebut merupakan


perilaku sosial atau perilaku individual? Jelaskan.
2 Kajian Psikologi Sosial bersinggungan dengan kajian 60
Sosiologi dan Antropologi. Jelaskan hubungan antara
Psikologi Sosial, Sosiologi, dan Antropologi.

Tugas.1
1.
1. Indonesia memiliki ragam budaya yang tersebar di segala penjuru
wilayahnya dan pulau-pulaunya. Keragaman ini dapat berupa adat
istiadat, suku bangsa, sistem kekerabatan, teknologinya, dan sebagainya.
Bahkan di Indoensia memiliki ratusan suku bangsa dengan beragam
unsur-unsur kebudayaanya. Namun terkadang, kelompok budaya ini
memiliki sifat primordial.

- Mengapa demikian?
- Apa akibat dari sentimen primordial ini?
- Apakah sentimen primordial ini masih relevan untuk saat ini?

2. Mulai dari Sabang sampai Merauke, Indonesia dikenal dengan


keanekaragaman etnis. Keragaman etnis tersebut nampak dengan
adanya keragaman budaya yang dihasilkan di dalamnya.

Bagaimanakah pola hubungan antaretnis yang berada di Indonesia?

- Berikan satu contoh kasus hubungan antaretnis dan upaya dalam


menjaga integrasi Indonesia melalui hubungan antaretnis tersebut?

Anda mungkin juga menyukai