Anda di halaman 1dari 3

Masalah Keuangan Negara dan Daerah Pertemuan ke 10

Reformasi Tata Kelola Keuangan Daerah sudah digulirkan


 Reformasi ini, secara substantif mengandung pengertian pengelolaan sumber-sumber
daya daerah secara ekonomis, efisien, efektif, transparan, dan akuntabel dalam rangka
peningkatan kesejahteraan dan pemberdayaan daerah. Reformasi tata kelola keuangan
negara/daerah secara ideal tidak hanya mencakup reformasi akuntansi keuangannya.
Namun demikian, reformasi akuntansi sektor publik merupakan sesuatu yang sangat
fundamental khususnya bagi pengelolaan keuangan daerah.
 Paket Undang-undang bidang Keuangan Negara telah memberikan landasan/payung
hukum di bidang pengelolaan dan administrasi keuangan negara/daerah. Undang-
undang ini dimaksudkan pula untuk memperkokoh landasan pelaksanaan desentralisasi
dan otonomi daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
 Otonomi Daerah merupakan upaya pemberdayaan daerah dalam pengambilan
keputusan daerah secara lebih leluasa dan bertanggung jawab untuk mengelola sumber
daya yang dimiliki sesuai dengan kepentingan, prioritas, dan potensi daerah sendiri.
 Dalam perundang-undangan bidang keuangan negara ini secara tegas diatur bagaimana
Pemerintah Daerah menata sistem pemerintahan khususnya di bidang keuangan.
Undang-undang ini mengatur mengenai asas umum perbendaharaan negara,
kewenangan pejabat pengelola keuangan negara, pelaksanaan pendapatan dan belanja
negara/daerah, pengelolaan uang, piutang dan utang negara/daerah, pengelolaan
investasi dan barang milik negara/daerah, penatausahaan dan pertanggungjawaban
APBN/APBD, pengendalian intern pemerintah, penyelesaian kerugian negara/daerah,
serta pengelolaan keuangan badan layanan umum.

Urgensi UU NO 17 Tahun 2003


 Berdasarkan UU No.17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara pasal 31,
Gubernur/Bupati/Walikota harus membuat pertanggungjawaban pelaksanaan
APBD dalam bentuk laporan keuangan yang telah diaudit oleh BPK (Badan
Pemeriksa Keuangan). Laporan-laporan ini dapat dihasilkan dengan diterapkannya
suatu sistem dan prosedur akuntansi yang integral dan terpadu dalam pengelolaan
keuangan daerah. Dengan demikian laporan-laporan di atas dapat dihasilkan dengan
diterapkannya suatu Sistem Informasi Akuntansi Keuangan Daerah (SIAKD) yang
terintegrasi dengan sistem-sistem lain dalam manajemen keuangan daerah.
 Berdasarkan Undang-Undang No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
pasal 51 ayat (2), Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) selaku
Pengguna Anggaran harus menyelenggarakan akuntansi atas transaksi
keuangan, aset, utang, dan ekuitas dana, termasuk transaksi pendapatan dan
belanja, yang berada dalam tanggung jawabnya. Hal ini berarti bahwa setiap SKPD
harus membuat laporan keuangan unit kerja. Pasal 56 UU ini menyebutkan bahwa
laporan keuangan yang harus dibuat setiap unit kerja adalah Laporan Realisasi
Anggaran, Neraca, dan Catatan atas Laporan Keuangan, sedangkan yang menyusun
laporan arus Kas adalah Kepala Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah selaku
Bendahara Umum daerah.
 Sistem Akuntansi Keuangan Daerah harus ditunjang dengan pembenahan tata
kelola keuangan daerah lainnya, yang mendukung upaya penyempurnaan sistem.
Sumber daya manusia pelaksana sistem harus diberikan pemahaman yang memadai,
pengguna laporan keuangan (stakeholders) juga harus memahami peran dan fungsinya,
serta bagaimana memanfaatkan laporan keuangan. Elemen masyarakat harus
memahamai alur sistem secara global, sehingga mereka akan lebih sadar akan hak dan
kewajibannya.

PEMBARUAN TATA KELOLA KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH


 Perubahan pendekatan akuntansi pemerintah daerah dari single entry menuju double
entrymerupakan perubahan yang cukup revolusioner. Kesiapan SDM daerah
khususnya di Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah (Badan Pengelola Keuangan
Daerah) umumnya kurang memiliki latar belakang bidang akuntansi. Oleh karena itu,
penerapan pendekatan baru ini relatif akan menghadapi banyak kendala yang cukup
besar di daerah. Meskipun pemerintah daerah sudah memiliki software akuntansi
pemerintah bagi daerahnya, namun demikian karena penguasaan terhadap akuntansi
masih belum memadai, maka kualitas laporan keuangan yang dihasilkan juga menjadi
tidak memenuhi kaidah pelaporan keuangan normatif sesuai yang disyaratkan Standar
Akuntansi Pemerintahan.
 Sistem pengelolaan keuangan yang transparan dan akuntabel itu sudah menjadi
kebutuhan dalam rangka terciptanya good governance dan clean government yang
menjadi simbol reformasi pemerintahan secara umum. Untuk itu upaya percepatan
terhadap keberhasilan pembaruan (reformasi) manajemen keuangan bagi pemerintah
daerah sudah selayaknya mendapat perhatian serius… Pengelolaan keuangan daerah
sering menghadapi masalah ketika perencanaan dan penganggaran tidak dilakukan dan
berjalan dengan baik. Gagal dalam merencanakan sesungguhnya merencanakan sebuah
kegagalan.

PERMASALAHAN DALAM PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN DI DAERAH


MENURUT EDY MARBYANTO
 Intervensi hak budget DPRD terlalu kuat
 Pendekatan partisipatif dalam perencanaan melalui mekanisme musrenbang masih
menjadi retorika.
 Proses Perencanaan kegiatan yang terpisah dari penganggaran
 Ketersediaan dana yang tidak tepat waktu.
 Breakdown RPJPD ke RPJMD dan RPJMD ke RKPD seringkali tidak
nyambung (match).
 Kualitas RPJPD, RPJM Daerah dan Renstra SKPD seringkali belum optimal.
 Terlalu banyak “order” dalam proses perencanaan
 Koordinasi antar SKPD untuk proses perencanaan masih lemah
 SKPD yang mempunyai alokasi anggaran besar misal Dinas Pendidikan dan Dinas
PU seringkali tidak mempunyai tenaga perencana yang memadai.
 APBD kabupaten/Kota perlu evaluasi oleh Pemprop.
 Kualitas hasil Musrenbang Desa/Kecamatan seringkali rendah karena kurangnya
Fasilitator Musrenbang yang berkualitas.
 Pedoman untuk Musrenbang atau perencanaan (misal Permendagri 66 tahun 2007)
cukup rumit (complicated)
 Dalam praktek penerapan P3MD, pendekatan pemecahan masalah yang HANYA
melihat ke AKAR MASALAH saja dapat berpotensi menimbulkan bias dan
oversimplifikasi terhadap suatu persoalan.

OPSI KURATIF
 Isu manajemen keuangan daerah bukanlah semata urusan internal pemerintahan tetapi
mesti dilihat sebagai bentuk akuntabilitas vertikal kepada pusat sebagai sumber dana
perimbangan dan tanggung jawab politik kepada rakyat. Untuk itu, terhadap temuan
masalah, sanksi tegas harus diberikan, bila perlu lewat instrumen fiskal pula (pemotongan
DAU).
 Opsi kuratif/represif ini saatnya mulai diterapkan pemerintah pusat kalau tidak mau
masalah tersebut menjadi beban permanen. Selain itu, langkah persiapan (preventif) mesti
segera menjadi program prioritas baik lewat penguatan kapasitas aparat perencana,
pelaksana dan pengawas keuangan maupun redesain kelembagaan institusi inspektorat.

Anda mungkin juga menyukai