Anda di halaman 1dari 5

NAMA : RONALDY IRFAK

NIM : 530080412
DISKUSI 8_SISTEM INFORMASI MANAJEMEN

Sistem Informasi Keuangan Daerah Kabupaten


Sarmi Dalam Menuju Tata Kelola Pemerintahan
Yang Baik dan Pemerintahan yang Bersih Bagian
Pertama
Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD) adalah suatu sistem yang
mendokumentasikan, mengadministrasikan, serta mengolah data pengelolaaan
keuangan daerah dan data terkait lainnya menjadi informasi yang disajikan kepada
masyarakat dan sebagai bahan pengambil keputusan dalam rangka perencanaan,
pelaksanaan, pelaporan pertanggungjawaban dan monitoring pemerintah daerah.
Ketentuan mengenai SIKD telah diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor
56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2010 tentang Perubahan
Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan
Daerah. Sesuai dengan Pasal 11 “Pemerintah Daerah menyelenggarakan SIKD di
daerahnya masing-masing dengan tujuan sebagaimana tercantum dalam Pasal 12
sebagai berikut :

 Membantu Kepala Daerah dalam menyusun APBD dan laporan pengelolaan keuangan;
 Membantu Kepala Daerah dalam merumuskan kebijakan keuangan daerah;
 Membantu Kepala Daerah dan instansi terkait lainnya dalam melakukan evaluasi kinerja
keuangan daerah;
 Membantu menyediakan kebutuhan statistik keuangan daerah;
 Menyajikan Informasi Keuangan Daerah secara terbuka kepada masyarakat; dan
 Mendukung penyediaan Informasi Keuangan Daerah yang dibutuhkan dalam SIKD secara
Nasional.

Pentingnya SIKD diamanatkan juga dalam Pasal 104 Undang-Undang Nomor 33


Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah
serta Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Pasal
391 sampai dengan 395. Disamping itu, Peraturan Menteri Keuangan Nomor
74/PMK.07/2016 tentang Penyelenggaraan Sistem Informasi Keuangan Daerah
menyatakan bahwa penyelenggaraan SIKD terbagi 2 (dua) yaitu SIKD Nasional dan
SIKD Daerah. Pengembangan SIKD meliputi proses analisis kebutuhan, proses
perancangan, proses pengembangan, proses pengujian, proses implementasi, dan
proses pemeliharaan atau tinjauan pasca impelemtasi sebagaimana tercantum
dalam Pasal 8 ayat (6). Sedangkan di ayat (7) dijelaskan bahwa Pemerintah Daerah
diberikan wewenang untuk proses perencanaan, pengembangan dan pemeliharaan
SIKD Daerah yang selanjutnya diatur oleh Kepala Daerah.

Penyelenggaraan SIKD Nasional maupun SIKD Daerah harus menyediakan informasi


yang dapat diakses oleh publik sesuai dengan ketentuan yang diatur oleh peraturan
perundang-undangan. Hal yang menjadi pertanyaan kita, sudahkah seluruh
Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota di Indonesia ini telah melaksanakan
SIKD ?. Jawabannya tentu sudah keseluruhan menyelenggarakan SIKD di daerah
masing-masing. Namun apakah sudah terintegrasi atau tidak, ini yang harus dikaji.
Jika kita memahami arti dari pengelolaan keuangan daerah tentu proses SIKD
merupakan satu kesatuan yang utuh dari perencanaan, pelaksanaan,
penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban dan pengawasan keuangan daerah.
Pelaksanaan SIKD selama ini masih belum dilaksanakan secara keseluruhan,
contohnya dari tahap perencanaan ke penganggaran sering kali dalam hasil evaluasi
RAPBD ditemukan tidak adanya konsistensi dari proses RPJPD, RPJMD, RKPD, KUA,
PPAS, RAPBD sampai dengan ditetapkannya APBD. Ini menunjukkan tidak
terintegrasinya perencanaan (e-planning) dengan penganggaran (e-budgeting) yang
merupakan bagian dari SIKD. Tentu ini menjadi hal yang bertolak belakang dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara
Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi, Pelaksanaan Rencana Pembangunan
Daerah, pada Pasal 36 ayat (1) huruf a mengamanatkan bahwa “program dan
kegiatan disusun berdasarkan pendekatan kinerja, kerangka jangka menengah
serta  perencanaan dan penganggaran terpadu”. Pelaksanaan proses perencanaan
dan penganggaran terpadu akan memberikan manfaat kepada Kepala Daerah dalam
merumuskan kebijakan lebih terarah, efisien, efektif dan mudah untuk melakukan
evaluasi kinerja.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan


Pembangunan Nasional, perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan
tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan
sumber daya yang tersedia (Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 : 3).
Sedangkan anggaran adalah proses untuk mempersiapkan suatu anggaran yang
berisi pernyataan dalam bentuk satuan uang yang merupakan refleksi dari aktivitas
dan target kinerja yang hendak dicapai selama periode waktu tertentu (Abdul Halim
dan Muhammad Iqbal : 161). Anggaran dapat juga dikatakan interpretasi dari
rencana operasional yang dituangkan dari rencana strategik organisasi.
Pengendalian anggaran harus dimulai dari tahapan perencanaan yang di dalamnya
sudah memuat tujuan dasar dan sasaran, untuk kemudian diformulasikan dalam
dokumen APBD. Produk APBD merupakan hasil dari proses penyusunan anggaran,
secara fungsional APBD merupakan instrumen pemenuhan tanggung jawab
pemerintah (daerah) sebagai kontrak politik antara pemerintah (daerah) dengan
rakyatnya yang selalu ingin melindungi hak-hak atau kebutuhan warganya (Marselina
Djayasinga : 2). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa perencanaaan dan
penganggaran memiliki hubungan yang tak dapat dipisahkan. Jika tidak ada
konsistensi antara perencanaan dan pengganggaran, maka pelaksanaan atas suatu
program dan kegiatan sering kali berpotensi menimbulkan masalah, baik pada
proses pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, maupun
pengawasan. Hal tersebut tentu akan berdampak pada tidak maksimalnya kinerja
dari pemerintah, serta akan menimbulkan kesan bahwa pembangunan yang
dilakukan tidak tepat sasaran. Dokumen perencanaan, penganggaran, pelaksanaan,
penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, serta pengawasan seyogyanya
harus mencerminkan Anggaran Berbasis Kinerja. Akan tetapi pada kenyataannya,
meskipun paradigma baru ini menitikberatkan pada kinerja, selalu saja produk
hukum tentang APBD yang dihasilkan masih berorientasi kepada proyek. Dokumen-
dokumen yang dihasilkan dalam proses perencanaan, penganggaran, pelaksanaan,
pelaporan, pertangungjawaban dan pengawasan seperti dokumen RPJMD-Renstra
SKPD, RKPD-Renja SKPD,  KUA, PPAS, RKA-SKPD/PPKD, RAPBD, APBD,
DPA-SKPD/PPKD, LRA, Laporan Keuangan dan LAKIP antara satu dengan yang
lainnya terdapat gap yang jauh, sehingga membuat Anggaran Berbasis Kinerja hanya
slogan semata.

Hal-hal yang berhubungan dengan perencanaan (e-planning) juga diatur dalam


Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 86 Tahun 2017 tentang Tata Cara
Perencanaan, Pengendalian dan Evaluasi Pembangunan Daerah, Tata Cara Evaluasi
Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Daerah dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Serta Tata Cara
Perubahan Rencana Jangka Panjang Daerah, Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah, sesuai dengan Pasal 14
ayat (3) “penyusunan RPJPD, RPJMD dan RKPD berbasis pada e-planning”. Oleh
karena itu, perlu dipahami bersama bahwa SIKD bukan hanya dari sisi pelaksanaan
dan pelaporan saja, namun meliputi keseluruhan dari pengelolaan keuangan daerah
secara utuh. Jika SIKD dapat dilaksanakan secara satu kesatuan yang utuh, maka
akan menghasilkan pengelolaan keuangan yang dikelola secara tertib, taat terhadap
peraturan perundang-undangan, efisiensi, ekonomis, efektif dan transparan dan
bertanggungjawab.

Penyelenggaraan SIKD Daerah hendaknya diserahkan ke Pemerintah Daerah masing-


masing sebagai user-nya hal ini dilakukan agar Pemerintah Daerah lebih mandiri dan
tidak tergantung dengan pihak ketiga ataupun pihak lain. Untuk itu, Pemerintah
Daerah dapat melakukan pengembangan inovasi penyelenggaran SIKD sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,
diatur dalam Pasal 386 ayat (1) “dalam rangka peningkatan kinerja penyelenggaran
Pemerintahan Daerah, Pemerintah Daerah dapat melakukan inovasi”. Inovasi yang
dibangun hendaknya mengacu pada prinsif untuk peningkatan efisiensi, perbaikan
efektifitas, perbaikan kualitas pelayanan, tidak ada konflik kepentingan, berorientasi
pada kepentingan umum, dilakukan secara terbuka, memenuhi nilai kepatutan serta
dapat dipertangungjawabkan hasilnya tidak untuk kepentingan diri sendiri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 387. Penyelenggaraan SIKD secara
komprehensif mencerminkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance)
dalam pelaksanaanya ditandai dengan penyelenggaraan manajemen pembangunan
yang baik, bertanggungjawab, sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi dengan
mekanisme pasar yang efisien, menghindari salah alokasi, mencegah praktik KKN,
baik secara politik maupun administratif (Chabib Sholeh dan Heru Rochmansjah –
2009 : 3). Dengan kata lain, untuk memperbaiki tata kelola pemerintahan menjadi
baik dan bersih adalah dengan melakukan perbaikan manajem melalui Sistem
Informasi Keuangan Daerah yang terintegrasi, sehingga efisiensi dan efektifitas
dapat diwujudkan. Untuk selanjutnya akan dibahas satu persatu SIKD Kabupaten
Sarmi dalam mendukung good governance dan clean govermance.

Apa saja kendalanya saat ini :


Untuk kendala dalam pengoperasiannya Sistem Informasi Keuangan Daerah saat ini saya
melihat ada 2 hal yang paling utama :

1. Sering terjadinya pemadaman listrik.


2. Sumber Daya Manusia.

Pembahasan :
- Sering terjadinya pemadaman listrik membuat kurang optimalnya para pegawai dalam
bekerja sehingga banyak kerjaan yang tertunda, yang bisa di kerjakan dalam sehari
harus di selesaikan berhari-hari
- Sumber Daya Manusia, disini saya melihat bahwa banyak Bendahara atau pembantu
bendahara atau Sub Bagian yang menangani mengenai Sistem Informasi Keuangan
yaitu Sub Bagian Keuangan dan Sub Bagian Program tidak terlalu menguasai dalam
pengoperasian Sistem Informasi Keuangan, terutama saat penyusunan RPJPD,
RPJMD dan RKPD berbasis pada e-planning dan penginputan Rencana Kerja
Anggaran (RKA) ke dalam Sistem Informasi Keuangan, sehingga banyak
Dinas/Kantor/Badan harus meminta bantuan dari yang menguasai.

Anda mungkin juga menyukai