Anda di halaman 1dari 22

Reformasi Pengelolaan Keuangan

dan Audit Sektor Publik di Indonesia


Makalah

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi tugas mata kuliah audit sektor publik yang diampu
oleh bapak Nurkholis, Ph.D

Oleh :
Rendy Fadhlan Putra

(115020307111047)

Dwi Rangga Seto

(115020300111106)

Fanditama Akbar .N

(115020307111029)

JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
2014

Reformasi Akuntansi Sektor Publik di Indonesia


Krisis ekonomi Indonesia tahun 1997, diikuti oleh era reformasi tahun 1998,
pelaksanaan otonomi daerah tahun 1999 sering disebut-sebut sebagai trigger dari reformasi
keuangan dan akuntansi pemerintahan. Mahmudi dalam Bastian, 2006 menyebutkan bahwa
perjalanan manajemen keuangan Negara/daerah di Indonesia dapat dibagi dalam tiga fase
yaitu: 1) era sebelum otonomi daerah, 2) era transisi otonomi (reformasi tahap 1) dan 3) era
pascatransisi (reformasi tahap 2). Perubahan dalam tiap fase ini jelas terlihat dalam
perkembangan perundang-undangan keuangan Negara/daerah, nampak pada table berikut:
Lebih spesifik, Simanjuntak, menyebutkan beberapa factor penting yang menjadi
pendorong tumbuh pesatnya akuntansi pemerintahan diIndonesia adalah:
1. Ditetapkannya tiga paket UU yang mengatur Keuangan Negara Pasal 32 (1) UU No.
17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara mengamanatkan bahwa laporan
pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBD berupa laporan keuangan yang
disusun dan disajikan sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan.
2. Ditetapkannya UU tentang pemerintahan daerah dan UU tentang perimbangan antara
keuangan pemerintah pusat dan daerah. Pasal 184 ayat (1) UU No. 32 tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa laporan keuangan disusun dan
disajikan sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan yang ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah.
3. Profesi akuntansi. Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) telah lama menginginkan adanya
standar akuntansi di sektor publik sebagai hal yang paralel dengan telah adanya lebih
dahulu standar akuntansi di sektor komersil.
4. Birokrasi. Pemerintahan merupakan penyusun dan sekaligus pemakai yang sangat
berkepentingan akan adanya suatu akuntansi pemerintahan yang handal. Dengan
diundangkannya tiga paket keuangan negara maupun undang-undang yang terkait
dengan pemerintahan daerah mendorong instansi pemerintah baik pusat dan daerah
untuk secara serius menyiapkan sumber daya dalam pengembangan dan penyusunan
laporan keuangan pemerintah..
5. Masyarakat (LSM dan wakil rakyat). Masyarakat melalui LSM dan wakil rakyat di
DPR, DPD, dan DPRD juga menaruh perhatian terhadap praktik good governance
pada pemerintahan di Indonesia.
6. Sektor Swasta. Perhatian dari sektor swasta mungkin tidak terlalu signifikan karena
akuntansi pemerintahan tidak terlalu berdampak secara langsung atas kegiatan dari
sektor swasta. Namun, penggunaan teknologi informasi dan pengembangan sistem

informasi berbasis akuntansi akan mendorong sebagian pelaku bisnis di sektor swasta
untuk ikut menekuninya.
7. Akademisi. Akademisi terutama di sektor akuntansi menaruh perhatian yang cukup
besar atas perkembangan pengetahuan di bidang akuntansi pemerintahan. Perhatian
ini sangat erat kaitannya dengan penyiapan SDM yang menguasai kemampuan di
bidang akuntansi pemerintahan untuk memenuhi kebutuhan tenaga operasional dan
manajer akuntansi di pemerintahan..
8. Dunia Internasional (lender dan investor). World Bank, ADB, dan JBIC, merupakan
lembaga internasional (lender), yang ikut berkepentingan untuk berkembangnya
akuntansi sektor publik yang baik di Indonesia. Perkembangan akuntansi tadi
diharapkan dapat meningkatkan transparansi dan akuntanbilitas dari proyek
pembangunan yang didanai oleh lembaga tersebut.
9. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). UU No. 17 tahun 2003 dan UU No. 15 tahun
2004 menyebutkan bahwa Pertanggungjawaban pelaksanaan APBN dan APBD
diperiksa oleh BPK. Untuk dapat memberikan opininya, BPK memerlukan suatu
standar akuntansi pemerintahan yang diterima secara umum.
10. Aparat Pengawasan Intern Pemerintah. APIP yang meliputi Bawasda, Irjen, dan
BPKP merupakan auditor intern pemerintah yang berperan untuk membantu pimpinan
untuk terwujudnya sistem pengendalian intern yang baik sehingga dapat mendorong
peningkatan kinerja instansi pemerintah sekaligus mencegah praktik-praktik KKN.
Akuntansi pemerintahan sangat erat kaitan dan dampaknya terhadap sistem
pengendalian

intern

sehingga

auditor

intern

mau

tidak

mau

harus

memiliki kemampuan di bidang akuntansi pemerintahan sehingga dapat berperan


untuk mendorong penerapan akutansi pemerintahan yang sedang dikembangkan.

Setelah paket perundangan keuangan negara yaitu UU No. 17 tahun 2003 tentang
Keuangan Negara, UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan UU No. 1
tahun 2004 diundangkan, langkah panjang reformasi masih terus bergulir untuk tahap
implementasi. PP 24 tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan yang mewajibkan
Laporan Keuangan Tahun Anggaran 2005 disusun berdasarkan Standar Akuntansi
Pemerintahan tidak dengan mudah dapat diterapkan.
Dalam anggaran pemerintah terdapat konsep penganggaran pemerintah, di Indonesia
dikenal tiga pendeketan system penganggaran (3 pilar penganggaran).
Tiga pendekatan sistem penganggaran :

a.

Pengaanggaran Terpadu

Penganggaran

terpadu

mengintegrasikan

seluruh

proses

perencanaan

dan

penganggaran di lingkungan K/L untuk menghasilkan dokumen RKA-K/L dengan klasifikasi


menurut organisasi, fungsi, kegiatan, dan jenis belanja.
Tujuan Penganggaran Terpadu:

Tidak terjadi duplikasi dalam penyediaan dana K/L

Mewujudkan satker sebagai satu-satunya entitas akuntansi

Adanya akun standar, sehingga duplikasi dapat dihindari

b.

Penganggaran Berbasis Kinerja

Penganggaran berbasis kinerja merupakan sebuah pendekatan dalam sistem


penganggaran yang memperhatikan keterkaitan antara pendanaan dengan keluaran dan hasil
yang diharapkan, termasuk efisiensi dalam pencapaian hasil dan keluaran tersebut. Ciri
utama penganggaran berbasis kinerja adalah anggaran yang disusun dengan memperhatikan
keterkaitan antara pendanaan (input), keluaran (output), dan hasil yang diharapkan
(outcomes) sehingga dapat memberikan informasi tentang efektivitas dan efisiensi
pelaksanaan setiap kegiatan.

Penerapan penganggaran berbasis kinerja diharapkan

diharapkan dapat memberikan informasi kinerja atas pelaksanaan suatu program/kegiatan


pada suatu Kementerian/Lembaga serta dampak atau hasilnya yang dapat dirasakan langsung
oleh masyarakat luas.

c.

Pendekatan Pengeluaran Jangka Menengah

Dasar pendekatan ini adalah KEBIJAKAN, yang berimplikasi pada anggaran selama
lebih dari 1 tahun anggaran. Maka, pemerintah akan membuat prakiraan maju anggaran
sampai 3 tahun ke depan. Prakiraan itu akan menjadi baseline yang akan menjadi patokan
awal penyusunan anggaran tahun bersangkutan. Nah, setiap akan memasuki tahun tertentu,
maka wajiblah dilakukan penyesuaian base line. Hal ini wajar mengingat fluktuasi kondisi
ekonomi dan non-ekonomi yang terjadi di negara kita.

Tujuan dan Manfaat Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah dan Penganggaran Berbasis
Kinerja

Tujuan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah :


a. Untuk mencapai keberlangsungan fiskal.

b. Sebagai wahana untuk mengubah kebijakan, program dan kegiatan dari waktu,
mengalokasikan sumber daya dan menertapkan dengan lebih baik proiritas dan
sasaran penting pemerintah.

Manfaat Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah :


a. Meningkatnya kepastian dan otonomi untuk pengelolaan anggaran dan dengan
demikian meningkatkan kinerja Kementerian/Sektoral.
b. Meningkatkan kinerja, efisiensi dan efektivitas pemerintah dari waktu ke waktu.

Tujuan Penganggaran Berbasis Kinerja :


a. Agar institusi pemerintah bertanggung jawab atas pemberian layanan dan jasa tertentu
(outputs) guna mencapai tujuan yang disepakati (outcomes) dan tidak hanya terfokus
pada Dana Alokasi Kas yang masuk (input).
b. Memastikan tanggung jawab, akuntabilitas dan transparasnsi dalam alikasi dan
utilisasi sumber daya.

Manfaat Penganggaran Berbasis Kinerja :


a. Alat pengukur hasil dari penggunaan anggaran.
b. Mendorong pemimpin berakuntabilitas yang transparan dan objektif kepada publik.
c. Meningkatkan efisiensi dan efektifitas layanan jasa public

Untuk memahami manajemen keuangan daerah atau APBD sangat diperlukan


pengertian yang komprehensif tentang proses atau siklus anggaran APBD yang terdiri atas
empat tahap yakni tahap persiapan, ratifikasi, implementasi, serta pelaporan dan evaluasi.
Dari tahap-tahap inilah dapat dipahami reformasi anggaran daerah saat ini di pemerintahan
daerah dikaitkan dengan peraturan perundangan yang telah dikeluarkan.
Pada prinsipnya, reformasi anggaran daerah mencakup keempat tahap tersebut,
namun karena keterkaitan antara anggaran dan akuntansi sebagai pilar manajemen keuangan
daerah maka dapat dipahami bahwa reformasi anggaran daerah terfokus pada tahap pertama
dan kedua dari siklus penganggaran. Tahap ketiga dan keempat lebih terkait dengan
reformasi akuntansi keuangan daerah yang uraiannya telah disampaikan lebih dahulu di
muka.

Tahap pertama, yakni persiapan, berkaitan dengan penyusunan atau penentuan mata
anggaran yang jelas berhubungan dengan sistem anggaran yang digunakan. Disinilah salah
satu poin penting reformasi anggaran daerah saat ini yakni yang termaktub dalam PP Nomer
105 tahun 2000 pasal 8 yang menyatakan bahwa APBD disusun dengan pendekatan kinerja.
Pasal ini menuntut perubahan paradigma yang selama ini dianut. Penentuan mata anggaran
yang selama ini didasarkan line-item dan incremental lebih berorientasi pada input yang
dikenal dengan sistem anggaran tradisional. Kelemahan sistem tersebut antara lain adalah
tidak mampu mengungkap besarnya dana yang dikeluarkan untuk setiap kegiatan, dan gagal
dalam memberikan informasi tentang besarnya rencana kegiatan, oleh karenanya tolok ukur
untuk pengawasan hanyalah tingkat kepatuhan penggunaan anggaran (Munir, 2003).
Paradigma tersebut direformasi yakni dengan sistem anggaran berbasis aktivitas atau kegiatan
yang lebih berorientasi pada output. Sistem atau pendekatan kinerja (Performance- Based
Budegting) inilah yang dikehendaki dalam penyusunan APBD di era reformasi ini.
Poin penting lainnya adalah terdapat dalam pasal 15, PP Nomer 105 tahun 2000
tersebut yang menekankan adanya perubahan paradigma struktur APBD. Selama ini sistem
anggaran berstruktur Pendapatan dan Belanja yang jumlahnya berimbang (BalancedBudget). Kelemahan struktur tersebut adalah terutama jika anggaran Belanja lebih besar dari
Pendapatan maka salah satu untuk menutupnya adalah dengan Pinjaman yang dimasukkan
sebagai bagian dari Pendapatan. Padahal pinjaman atau hutang bukanlah suatu Pendapatan,
tetapi tergolong sebagai Penerimaan. Tidak mengheran-kan paradigma seperti itu dapat
membuat bangsa Indonesia mempunyai budaya tidak merasa mempunyai hutang, sehingga
tidak terlalu memikirkan pelunasannya, tapi bagaimana menikmatinya. Paradigma sistem
anggaran tersebut direformasi dengan sistem anggaran yang berstruktur Pendapatan, dan
Belanja yang jumlahnya tidak berimbang (Surplus/Deficit-Budget), dan Pembiayaan.
Dengan struktur tersebut jika anggaran Belanja lebih besar daripada Penda-patan maka akan
ditutup dengan Pembiayaan yang dapat dilakukan dengan melakukan pinjaman yang
dipahami sebagai Penerimaan, bukan sebagai Pendapatan.
Pasal 22 dari PP Nomer 105 tahun 2000 dapat dikatakan refor-masi yang sangat
signifikan dalam tahap kedua yakni tahap ratifikasi atau persetujuan. Pada ayat (1) pasal
tersebut dinyatakan bahwa Kepala Daerah menyampaikan rancangan APBD kepada DPRD
untuk mendapatkan persetujuan. Boleh dikatakan, hal ini merupakan saripati otonomi daerah
dan aplikasi konsep desentralisasi dari aspek manajemen keuangan daerah. DPRD sebagai
lembaga wakil rakyat (legislatif) suatu daerah sudah seharusnya menyetujui atau tidak
menyetujui atas rancangan APBD yang diajukan oleh Pemerintah Daerah (eksekutif), karena

pada hakekatnya akan menyangkut dana rakyat daerah tersebut yang sesungguhnya, yakni
dana Desentralisasi yang manajemennya terpisah dengan dana yang lain. Pasal 17, 18 dan 19
Undang-undang (UU) Nomer 25 tahun 1999 jelas membedakan manajemen dana yang
dimaksud. Ini berbeda dengan rancangan APBD dan pengelolaannya sebelum reformasi
digulirkan yang sering masih mencampurnya dengan dana Dekonsentrasi, dan dana Pembantuan.
Lebih jauh, dengan adanya reformasi tahap ratifikasi ini, pemahaman aplikasi tentang
teori hubungan prinsipal-agen (principal-agent relationship theory) dalam kontek hubungan
antara DPRD sebagai prinsipal, dan Pemerintah Daerah sebagai agen lebih dapat dijelaskan.
Pemisahan eksekutif dan legislatif seperti yang tercantum dalam pasal 14 ayat (1) UU Nomer
22 tahun 1999 membantu memperjelas aplikasi dimaksud. Teori tersebut akan terasa lebih
penting lagi jika dihubungkan dengan pasal 24 ayat (1) UU Nomer 25 tahun 1999 yang
menyebutkan bahwa Kepala Daerah menyampaikan laporan pertanggungjawaban (LPJ)
kepada DPRD mengenai pengelolaan keuangan daerah dan kinerja keuangan daerah dari segi
efisiensi dan efektivitas keuangan dalam pelaksanaan desentralisasi. Ini berarti bahwa Kepala
Daerah sebagai Agen mempertanggung jawabkan wewenang yang diperolehnya dari rakyat
khususnya dari aspek keuangan melalui DPRD sebagai prinsipal. Kondisi ini jelas berbeda
dengan kondisi sebelum reformasi yang memposisikan Eksekutif dan Legislatif sebagai
Pemerintah Daerah. Akibatnya, sangat wajar peran DPRD relatif minim dibandingkan dengan
saat ini.
Dengan kondisi pada tahap ratifikasi di era reformasi saat ini maka sangat beralasan
untuk meyakini bahwa Pemerintah Daerah sebagai eksekutif harus mempunyai kemampuan
lebih, dibandingkan dengan kondisi sebelum reformasi. Tahap ini menuntut eksekutif tidak
hanya memiliki kemampuan managerial skill tetapi juga memiliki political skill,
salesmanship dan coalition building (Mardiasmo, 2002b). Di samping itu pihak legislatif juga
harus memahami posisinya sehingga dalam pembahasan rancangan APBD dapat dihindari
perbedaan persepsi dan tidak perlu terjadi suatu fight yang tidak pada tempatnya (Elmi,
2002).
Walau diakui bahwa sebenarnya anggaran dengan pendekatan kinerja bukanlah
barang baru karena sudah dipraktekkan sejak tahun 1960- an di negeri asalnya Amerika
Serikat, dan di Indonesia sendiri sudah diperkenalkan sejak tahun 1970-an terutama untuk
proyek-proyek berskala nasional (Elmi, 2002), tentu masih banyak kekurangan dan
tantangannya. Pada umumnya, daerah Kabupaten dan Kota yang sudah menyusun dan
melaksanakan reformasi tersebut adalah daerah yang kemitraan antara Eksekutif dan

Legislatifnya relatif terbina dengan baik seperti yang dikehendaki oleh UU Nomer 22 tahun
1999, dan dapat menjaga momentum reformasi dengan tidak terjebak pada euforia reformasi
itu sendiri.
Sebagaimana pada reformasi akuntansi keuangan daerah, usaha-usaha reformasi
penganggaran ini juga seharusnya tidak boleh patah semangat. Perlu disadari bahwa sebuah
reformasi penganggaran tidak cukup dalam waktu satu, dua atau tiga tahun. Banyak tahap
dan aspek yang harus dilakukan, misalnya peningkatan partisipasi masyarakat (citizen
participation in budgeting), pelaksanaan anggaran itu sendiri (budget excution) dan lain-lain.
Oleh sebab itu, apa yang sudah dilakukan dengan reformasi penganggaran saat ini
adalah sebuah lompatan yang cukup signifikan. Yang terpenting sekarang adalah bahwa
semua pihak seharusnya meng-inginkan dengan reformasi ini sebuah better government yang
dapat memberikan pelayanan yang lebih baik kepada rakyatnya. Tampaknya hal ini cukup
mendapat perhatian. Istilah good governance yang merupakan salah satu cita-cita reformasi
sudah cukup populer, yang pada intinya adalah menuju ke usaha-usaha pemerintahan yang
bersih, termasuk pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Dengan reformasi atas akuntansi dan anggaran daerah sebagai pilar manajemen
keuangan daerah, pemerintahan yang bersih diharap-kan lebih dapat terlaksana. Demikan
pula diharapkan akuntabilitas publik atas pengelolaan APBD, yang sering disebut sebagai
public financial accountability lebih meningkat, dan korupsi dapat ditekan. Akuntabilitas
publik adalah pemberian informasi dan pengungkapan atas aktivitas dan kinerja keuangan
pemerintah kepada pihak-pihak yang berkepentingan.

Akuntabilitas Sektor Publik


Pengertian Akuntabilitas Publik
Fenomena yang dapat diamati dalam perkembangan sektor publik dewasa ini adalah
semakin menguatnya tuntutan pelaksanaan akuntabilitas publik oleh organisasi sektor publik
termasuk pemerintah. Tuntutan akuntabilitas sektor publik terkait dengan perlu dilakukannya
transparansi dan pemberian informasi kepada publik dalam rangka pemenuhan hak-hak
publik.
Menurut Ihyaul Ulum. MD pengertian akuntabilitas publik adalah sebagai berikut:
Suatu pertanggungjawaban oleh pihak-pihak yang diberi kepercayaan oleh
masyarakat atau individu dimana nantinya terdapat keberhasilan atau
kegagalan di dalam pelaksanaan tugasnya tersebut dalam mencapai tujuan yang
telah ditetapkan.
(2004:40)
Sedangkan menurut Mahmudi pengertian akuntabilitas publik dalam konteks
organisasi pemerintah adalah sebagai berikut:
Akuntabilitas publik adalah pemberian informasi atas aktivitas dan kinerja
pemerintah kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
(2007:9)
Dari pengertian di atas, maka penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa
akuntabilitas publik adalah kewajiban pemerintah sebagai pihak pemegang amanah (agent)
untuk memberikan pertanggungjawaban, menyajikan, melaporkan, dan mengungkapkan
segala aktivitas dan kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya kepada masyarakat sebagai
pihak pemberi amanah (principal) yang memiliki hak dan kewenangan untuk meminta
pertanggungjawaban tersebut.
Kewajiban pemerintah dimaksud terutama berkaitan dengan aktivitas birokrasi dalam
memberikan pelayanan sebagai kontraprestasi atas hak-haknya yang telah dipungut langsung
maupun tidak langsung dari masyarakat. Oleh sebab itu perlu pertanggungjawaban melalui

media yang disusun berdasarkan standar eksplisit selanjutnya dikomunikasikan kepada pihak
internal dan eksternal secara periodik maupun insidental sebagai keharusan hukum bukan
semata-mata karena kesukarelaan.

Jenis-jenis Akuntabilitas Publik


Menurut Mardiasmo akuntabilitas publik terdiri atas dua macam, yaitu:
1. Akuntabilitas vertikal (vertical accountability)
2. Akuntabilitas horisontal (horizontal accountability).
(2004:21)
Lebih lanjut jenis-jenis akuntabilitas publik tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
(1)

Akuntabilitas vertikal (vertical accountability) adalah pertanggungjawaban atas pengelolaan


dana kepada otoritas yang lebih tinggi. Misalnya pertanggungjawaban unit-unit kerja (dinas)
kepada pemerintah daerah, pertanggungjawaban pemerintah daerah kepada pemerintah pusat,
dan pemerintah pusat kepada MPR. Berlaku bagi setiap tingkatan dalam organisasi internal
penyelenggaraan negara termasuk pemerintah. Dimana setiap pejabat atau petugas publik baik
individu atau kelompok secara hirarki berkewajiban untuk mempertanggungjawabkan kepada
atasan langsungnya mengenai perkembangan kinerja atau hasil pelaksanaan kegiatannya
secara periodik maupun sewaktu-waktu bila dipandang perlu.

(2)

Akuntabilitas horisontal (horizontal accountability) adalah pertanggungjawaban kepada


masyarakat luas. Melekat pada setiap lembaga negara sebagai satu organisasi untuk
mempertanggungjawabkan semua amanat yang telah diterima dan dilaksanakan ataupun
perkembangannya untuk dikomunikasikan kepada pihak eksternal dan lingkungannya.

Dimensi Akuntabilitas Publik


Menurut Mahmudi dimensi akuntabilitas publik yang harus dipenuhi oleh organisasi
sektor publik antara lain:

1. Akuntabilitas hukum dan kejujuran (accountability for probity and legality),


2. Akuntabilitas manajerial (manajerial accountability),
3. Akuntabilitas program (programe accountability),
4. Akuntabilitas kebijakan (policy accountability), dan
5. Akuntabilitas finansial (financial accountability).
(2007:9)
Dari penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa akuntabilitas publik hendaknya
dipahami bukan sekedar akuntabilitas finansial saja, akan tetapi akuntabilitas lainnya yaitu
akuntabilitas kejujuran dan hukum, akuntabilitas manajerial, akuntabilitas program, dan
akuntabilitas kebijakan.
Lebih lanjut dimensi akuntabilitas publik tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

(1)

Akuntabilitas hukum dan kejujuran


Akuntabilitas hukum dan

kejujuran adalah akuntabilitas lembaga-lembaga publik untuk

berperilaku jujur dalam bekerja dan mentaati ketentuan hukum yang berlaku. Akuntabilitas
hukum berkaitan dengan kepatuhan terhadap hukum dan peraturan lain yang disyaratkan
dalam menjalankan organisasi, sedangkan akuntabilitas kejujuran berkaitan dengan
penghindaran penyalahgunaan jabatan (abuse of power), korupsi, dan kolusi.
(2)

Akuntabilitas manajerial
Akuntabilitas manajerial adalah pertanggungjawaban lembaga publik untuk melakukan
pengelolaan organisasi secara efisien dan efektif. Akuntabilitas manajerial juga dapat
diartikan sebagai akuntabilitas kinerja (performance accountability) dan berkaitan pula
dengan akuntabilitas proses (process accountability).

(3)

Akuntabilitas program
Akuntabilitas program berkaitan dengan pertimbangan apakah tujuan yang ditetapkan dapat
dicapai atau tidak, dan apakah organisasi telah mempertimbangkan alternatif program yang
memberikan hasil yang optimal dengan biaya yang minimal. Lembaga-lembaga publik harus
mempertanggungjawabkan program yang telah dibuat sampai pada pelaksanaan program.

(4)

Akuntabilitas kebijakan
Akuntabilitas kebijakan terkait dengan pertanggungjawaban lembaga publik atas kebijakankebijakan yang diambil. Dalam membuat kebijakan harus dipertimbangkan apa tujuan
kebijakan tersebut, mengapa kebijakan itu diambil, siapa sasarannya, pemangku kepentingan
(stakeholder) mana yang akan terpengaruh dan memperoleh manfaat dan dampak (negatif)
atas kebijakan tersebut.

(5)

Akuntabilitas finansial
Akuntabilitas

finansial adalah

pertanggungjawaban

lembaga-lembaga

publik untuk

menggunakan uang publik (public money) secara ekonomi, efisien, dan efektif, tidak ada
pemborosan dan kebocoran dana serta korupsi. Akuntabilitas finansial mengharuskan
lembaga-lembaga publik untuk membuat laporan keuangan untuk menggambarkan kinerja
finansial organisasi kepada pihak luar.

Audit Kinerja Sektor Publik di Indonesia


Pengertian audit kinerja adalah suatu proses sistematis dalam mendapatkan dan
mengevaluasi bukti secara objektif atas kinerja suatu organisasi, program, fungsi, atau
kegiatan yang dilakukan berdasarkan aspek ekonomi dan efisiensi operasi, efektivitas dalam
mencapai hasil yang diinginkan, serta kepatuhan terhadap hukum, peraturan dan kebijakan
terkait.
Pelaksana Audit Kinerja Sektor Publik ada dua yaitu audit eksternal yaitu oleh BPK (Badan
Pemeriksa Keuangan) dan audit internal oleh APIP (Aparat Pengawasan Internal Pemerintah)
dalam hal ini BPKP, Inspektorat Jendral dan lembaga lain yang sejenis yang akan dijelaskan
selanjutnya.
Perkembangan Audit Kinerja di Indonesia
Berdasarkan buku Leo Herbert yang berjudul Auditing

the Performance of

Management dijelaskan bahwa audit kinerja mengalami proses perkembangan demikian pula
dengan pengetahuan dan kompetensi yang diperlukan dalam bidang audit. Pada awalnya
audit kinerja disebut financial statement auditning pada tahun 1930 dan dilanjutkan dengan
management auditing pada tahun 1950 dan Program Auditing pada tahun 1970.
Pada tahun 1971, Elmer B Staat memperkenalkan Audit Kinerja (Performance Audit)
pada kongres INTOSAI (International Organization of Supreme Audit Institution) di
Montreal, Kanada.sejak saat itu, audit kinerja yang merupakan perluasan audit keuangan
diimplementasikan pada audit sektor public di seluruh dunia termasuk Indonesia.
Di Indonesia, audit kinerja dilaksanakan dengan mengacu pada standar audit kinerja
dunia.

Audit

kinerja

mulai

diperkenalkan

pada

tahun

1976,

yaitu

dengan

dimulainya management audit course di Badan Pemeriksa Keuangan dengan bekerja sama
dengan US-GAO (US

Goverment

Accountability

Office).

Kemudian,

perkembangan

pelaksanaan audit kinerja ini mengalami pasang surut. Pengembangan audit di sektor publik
mulai ditegaskan lagi ketika Menteri Keuangan RI menyampaikan White Paper dengan
judul Reform of Public Financial Management System in Indonesia: Principles and
Strategy pada tanggal 22 Mei 2002. Dengan surat tersebut, mulailah reformasi pada
pengelolaan dan pertanggungjawaban serta audit di bidang keuangan negara.
Reformasi keuangan negara memang menjadi hal yang krusial setelah keuangan
negara diterjang krisis ekonomi tahun 1998. Keseriusan dalam reformasi pengelolaan
keuangan negara kemudian ditunjukkan dengan terbitnya tiga paket undang-undang
keuangan negara, yaitu UU No. 17 tahun 2003 tentang keuangan negara, UU No. 1 tahun
2004 tentang perbendaharaan negara, dan UU No. 15 tahun 2004 tentang pemeriksaan

pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Reformasi juga dilakukan dengan
menerbitkan Standar Akuntansi Pemerintah pada tahun 2005 dan Standar Pemeriksaan
Keuangan Negara pada tahun 2007.
Secara khusus, reformasi dalam bidang audit sektor publik mulai digalakkan kembali
pada Oktober 2003 melalui program hibah dari Asian Development Bank (ADB). Dari
program

hibah

ini

dimulailah

proyek State

Audit

Reform-Sector

Development

Program (STAR-SDP Project) untuk lebih memantapkan koordinasi dan pengembangan


audit sektor publik. Sasaran dari STAR-SDP adalah untuk meningkatkan pengelolaan serta
kehematan, efisiensi, dan efektivitas audit di sektor publik.
Manfaat audit kinerja
1. Bagi pemerintah, audit kinerja dapat menjadi ukuran penilaian dan perbaikan atas 3E
(ekonomi, efektivitas dan efisiensi) dari program kegiatan pemerintah dan pelayanan
public.
2. Bagi Legislatif dan masyarakat, memberikan informasi independen apakah uang
Negara digunakan secara 3E serta mendukung pengawasan dan pengambilan
keputusan oleh legislative.
3. BPK, melakkan peningkatan kematangan organisasi dan nilai BPK di masyarakat,
meningkatkan motivasi pemeriksa dan mendorong kreativitas dan pembelajaran
4. Menilai ketaatan aparatur pemerintah terhadap undang-undang dan peraturan yang
berlaku
5. Peningkatan akuntabilitas public berupa perbaikan pertanggungjawaban manajemen
kapada lembaga perwakilan, pengembangan bentuk-bentuk laporan akuntabilitas,
perbaikan indicator kinerja, perbaikan perbandingan pekerja antara organisasi sejenis
yang diperiksa.
Untuk pencapaian manfaat-manfaat tersebut, maka dibentuklah instansi pemerintah
yang bertindak sabagai pengawas yang dikenal dengan sebutan APIP (Aparat Pengawasan
Intern Pemerintah) yang terdiri atas :
1. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang bertanggung jawab
kepada Presiden;
2. Inspektorat Jenderal (Itjen)/Inspektorat Utama (Ittama)/Inspektorat yang bertanggung
jawab kepada Menteri/Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND);
3. Inspektorat Pemerintah Provinsi yang bertanggung jawab kepada Gubernur, dan;
4. Inspektorat

Pemerintah

Bupati/Walikota.

Kabupaten/Kota

yang

bertanggung

jawab

kepada

Perkembangan instansi audit di Indonesia sebagai berikut :

Djawatan Akuntan Negara (Regering Accountantsdienst)


Dengan besluit Nomor 44 tanggal 31 Oktober 1936, secara eksplisit ditetapkan

bahwa Djawatan Akuntan Negara (Regering Accountantsdienst) bertugas melakukan


penelitian terhadap pembukuan dari berbagai perusahaan negara dan jawatan tertentu.
Dengan demikian, dapat dikatakan APIP pertama di Indonesia adalah Djawatan Akuntan
Negara (DAN) di mana DAN bertugas mengawasi pengelolaan perusahaan negara. Secara
struktural, DAN berada di bawah Thesauri Jenderal pada Kementerian Keuangan.
Pada perkembangan selanjutnya, kedudukan DAN dilepas dari Thesauri Jenderal dan
ditingkatkan kedudukannya langsung di bawah Menteri Keuangan berdasarkan Peraturan
Presiden Nomor 9 Tahun 1961 tentang Instruksi bagi Kepala Djawatan Akuntan Negara
(DAN). DAN merupakan alat pemerintah yang bertugas melakukan semua pekerjaan akuntan
bagi pemerintah atas semua departemen, jawatan, dan instansi di bawah kekuasaannya.
Sementara itu, fungsi pengawasan anggaran dilaksanakan oleh Thesauri Jenderal.

Direktorat Djendral Pengawasan Keuangan Negara (DDPKN)


Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 239 Tahun 1966, dibentuklah Direktorat

Djendral Pengawasan Keuangan Negara (DDPKN) pada Departemen Keuangan. Tugas


DDPKN (dikenal kemudian sebagai DJPKN) meliputi pengawasan anggaran dan pengawasan
badan usaha/jawatan, yang semula menjadi tugas DAN dan Thesauri Jenderal.
DJPKN bertugas melaksanakan pengawasan seluruh pelaksanaan anggaran negara,
anggaran daerah, dan badan usaha milik negara/daerah. Namun, berdasarkan Keputusan
Presiden Nomor 70 Tahun 1971, khusus pada Departemen Keuangan, tugas Inspektorat
Jendral dalam bidang pengawasan keuangan negara dilakukan oleh DJPKN.

Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP)


Pada tanggal 30 Mei 1983, diterbitkan Keputusan Presiden Nomor 31 Tahun 1983.

Berdasarkan keputusan tersebut, DJPKN ditransformasikan menjadi BPKP sebuah lembaga


pemerintah non departemen (LPND) yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung
kepada Presiden.
Salah satu pertimbangan dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 31 Tahun 1983
tentang BPKP adalah diperlukannya badan atau lembaga pengawasan yang dapat
melaksanakan fungsinya secara leluasa tanpa mengalami kemungkinan hambatan dari unit

organisasi pemerintah yang menjadi obyek pemeriksaannya. Mengingat DJPKN adalah


aparat Menteri Keuangan, maka tidak mungkin DJPKN dapat independen melakukan
pengawasan dan pemeriksaan terhadap Menteri Keuangan dan jajarannya.
Keputusan Presiden Nomor 31 Tahun 1983 tersebut menunjukkan bahwa Pemerintah
telah meletakkan struktur organisasi BPKP sesuai dengan proporsinya dalam konstelasi
lembaga-lembaga Pemerintah yang ada. BPKP dengan kedudukannya yang terlepas dari
semua departemen atau lembaga sudah barang tentu dapat melaksanakan fungsinya secara
lebih baik dan obyektif.

Inspektorat Jenderal (Itjen)


Keberadaan Inspektorat Jenderal di Kementerian keuangan maupun kemernterian-

kementerian

lainnya

bermula

dari

terbitnya

Keputusan

Presidium

Kabinet

Nomor15/U/KEP/8/1966 yang isinya mengharuskan adanya Inspektorat Jenderal pada setiap


Departemen. Pembentukan Institusi Itjen pada suatu Departemen pada saat itu dilakukan
sesuai kebutuhan. Dengan Keputusan Presidium Nomor 38/U/Kep/9/1966 dibentuklah Itjen
pada delapan departemen termasuk Departemen Keuangan.
Masih dalam Kabinet Ampera, dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor
133/Men.Keu/1967 ditetapkan (sambil menunggu pengesahan dari Presidium Kabinet
Ampera),

pembentukan Badan

Alat

Pelaksana

Utama

Pengawasan

Departemen

Keuangan yaitu Itjen Departemen Keuangan.


Pada

masa

Kabinet

Pembangunan

dengan Rencana

Pembangunan

Lima

Tahunnya (Repelita), terbit Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Organisasi Departemen dan Keputusan Presiden Nomor 45 Tahun 1974 tentang Susunan
Organisasi Departemen. Sebagai pelaksanaan dari kedua Keputusan Presiden tersebut,
diterbitkanlah Keputusan Menteri Keuangan Nomor 405/MK/6/4/1975 tentang Susunan
Orgasnisasi dan Tata Kerja Departemen Keuangan. Pasal 189 Keputusan Menteri
Keuangan tersebut menetapkan susunan Organisasi Itjen Departemen Keuangan yang terdiri
atas:
1. Sekretariat
2. Inspektur Kepegawaian
3. Inspektur Keuangan dan Perlengkapan
4. Inspektur Pajak
5. Inspektur Bea dan Cukai

Dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor Kep-959/KMK.01/1981, Susunan Organisasi


Itjen disempurnakan menjadi sebagai berikut:
1. Sekretariat
2. Inspektur Kepegawaian
3. Inspektur Keuangan
4. Inspektur Perlengkapan
5. Inspektur Pajak
6. Inspektur Bea dan Cukai
7. Inspektur Umum

Setelah pada tahun 1983 DJPKN diubah menjadi BPKP sebagai aparat
pengawasan fungsional pemerintah di luar departemen, maka Departemen Keuangan hanya
memiliki satu aparat pengawasan fungsional yaitu Itjen. Mengingat beban tugas semakin
berat, dirasakan perlu adanya peninjauan kembali susunan organisasi Itjen Departemen
Keuangan,

dan

berdasarkan Keputusan

Menteri

Keuangan

Nomor

Kep-

800/KMK.01/1985 tanggal 28 September 1985 maka susunan organisasi Itjen Departemen


Keuangan diubah menjadi sebagai berikut:
1. Sekretariat
2. Inspektur Kepegawaian
3. Inspektur Keuangan
4. Inspektur Perlengkapan
5. Inspektur Anggaran
6. Inspektur Pajak
7. Inspektur Bea dan Cukai
8. Inspektur Umum

Pada

awal

tahun

2011,

Kementerian

Keuangan

melakukan

perubahan

dalam formasi jajaran pejabat Eselon I dan Eselon II di lingkungan Kementerian Keuangan.
Selain itu, perubahan organisasi juga terjadi di Itjen. Berdasarkan Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 184/KMK.01/2010, susunan organisasi Itjen Kementerian Keuangan
diubah menjadi sebagai berikut:
1. Sekretariat
2. Inspektorat I-VII
3. Inspektorat Bidang Investigasi (IBI)

Sasaran stratergis instansi


Sasaran Strategis 1 - Meningkatkan Efektivitas Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan dan
Memenuhi Harapan Pemilik Kepentingan
BPK RI mampu memberikan rekomendasi yang bermutu dan dapat menyelesaikan
berbagai permasalahan dalam pengelolaan keuangan negara sehingga dapat mewujudkan
pengelolaan keuangan negara yang transparan

dan akuntabel. Selain itu, SS ini juga

dimaksudkan untuk meningkatkan efektivitas kerja sama dan komunikasi dengan para
pemangku kepentingan BPK RI, terutama kaitannya dalam meningkatkan dampak dari hasil
pemeriksaan BPK RI.

Sasaran Strategi 2 - Meningkatkan Fungsi Manajemen Pemeriksaan


Manajemen pemeriksaan mencakup kegiatan perencanaan strategis pemeriksaan,
perencanaan pemeriksaan, pelaksanaan pemeriksaan, dan pelaporan hasil pemeriksaan untuk
seluruh jenis pemeriksaan yang dilaksanakan oleh BPK RI. BPK RI berupaya untuk
meningkatkan cakupan pemeriksaan melalui perencanaan dan pelaksanaan pemeriksaan yang
terintegrasi, serta berupaya untuk mengendalikan mutu pemeriksaan agar sesuai dengan
Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) dan kode etik pemeriksaan yang berlaku
dengan menerapkan sistem pengendalian mutu yang memadai.
Strategis ini diukur melalui empat IKU yang mengukur jumlah Laporan Hasil
Pemeriksaan (LHP) yang diterbitkan, jumlah LHP kinerja yang diterbitkan, ketepatan waktu
pelaksanaan dan pelaporan pemeriksaan, serta pemenuhan Quality Assurance dalam
pemeriksaan.
Untuk periode pengukuran tahun 2013, capaian atas Sasaran Strategis 2 yang
didukung oleh masing-masing IKU diatas sudah cukup baik, yaitu telah mencapai 97,64%.
Skor tersebut diperoleh dari pencapaian atas IKU-IKU yang mendukung sasaran strategis ini,
sebagaimana dijabarkan sebagai berikut.

Sasaran Strategis 3 - Meningkatkan Mutu Pemberian Pendapat dan Pertimbangan


BPK RI dapat memberikan pendapat kepada DPR, DPD, DPRD, Pemerintah Pusat/
Pemerintah Daerah, BUMN/BUMD, Badan Layanan Umum, Lembaga Negara Lain, Bank
Indonesia, Yayasan, dan lembaga atau badan lain, yang diperlukan karena sifat pekerjaannya.
Pendapat BPK RI dapat mencakup perbaikan di bidang pendapatan, pengeluaran, pinjaman,
privatisasi, likuidasi, merger, akuisisi, penyertaan modal pemerintah, penjaminan pemerintah,
dan bidang lain yang berkaitan dengan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
Amanat inilah yang ingin direalisasikan dalam Sasaran Strategis 3 BPK RI yaitu
Meningkatkan Mutu Pemberian Pendapat dan Pertimbangan. Sasaran Strategis ini diukur
melalui 1 IKU yaitu jumlah pendapat BPK RI yang diterbitkan. Secara umum, capaian
Sasaran Strategis ini adalah sebesar 50%, maka dapat disimpulkan bahwa Sasaran Strategis 3
belum tercapai karena tidak memenuhi dua target pendapat yang diterbitkan.

Sasaran Strategis 4 - Meningkatkan Percepatan Penetapan


Tuntutan Perbendaharaan dan Pemantauan Penyelesaian Ganti

Kerugian Negara

Sasaran Strategis ini merupakan upaya BPK RI untuk memastikan proses penetapan kerugian
negara dapat dilakukan secara lebih cepat. Efektifitas penyelesaian ganti kerugian
negara/daerah, baik dari sisi jangka waktu penyelesaian maupun besaran ganti rugi, dapat
tercapai dengan melakukan pemantauan penyelesaian ganti kerugian negara/daerah yang
didukung dengan database yang lengkap, akurat dan tepat waktu sebagaimana diamanatkan
dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2006.
Pencapaian Sasaran Strategis ini diukur dengan 2 IKU yaitu Persentase Penyelesaian
Penetapan Tuntutan Perbendaharaan dan Jumlah Laporan Pemantauan Kerugian Negara yang
Diterbitkan, Capaian untuk SS 4 tersebut pada tahun 2013 telah mencapai 80,81% hal ini
menunjukkan capaian yang baik. Adapun rincian dari masing masing IKU yang mendukung
capaian SS tersebut adalah sebagai berikut :

Sasaran Strategi

5 Meningkatkan Efektivitas Penerapan Sistem

Pemerolehan

Keyakinan Mutu
Sistem Pemerolehan Keyakinan Mutu (SPKM) merupakan suatu sistem yang
dirancang untuk memastikan bahwa implementasi Sistem Pengendalian Mutu (SPM) telah
sesuai dengan standar. Sedangkan SPM merupakan suatu sistem yang dirancang untuk
memperoleh keyakinan yang memadai bahwa BPK dan pelaksananya mematuhi ketentuan
peraturan perundang-undangan, standar pemeriksaan, serta laporan yang dihasilkan sesuai

dengan kondisi yang ditemukan. Hubungan antara SPKM dan SPM dapat dilihat dari tujuan
suatu SPKM, yaitu untuk memperoleh keyakinan yang memadai apakah SPM telah meliputi
semua pengendalian yang diperlukan, telah diterapkan secara tepat, dapat memberikan
keyakinan atas kualitas pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
dan standar pemeriksaan, dan apakah dapat mengidentifikasi berbagai cara potensial untuk
memperkuat dan menyempurnakan SPM. Untuk memenuhi tujuan dari SPKM dan SPM,
BPK sesuai dengan Keputusan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Nomor
03/K/I-XIII.2/03/2009 tanggal 25 Maret 2009 tentang Petunjuk Pelaksanaan Sistem
Pemerolehan Keyakinan Mutu mengembangkan unsur-unsur terkait dengan pengendalian
mutu BPK. Unsur-unsur pengendalian mutu BPK adalah sebagai berikut:
1. Independensi dan Mandat (independence and mandate);
2. Kepemimpinan dan Tata Kelola Intern (leadership and internal governance);
3. Manajemen Sumber Daya Manusia (human resource management);
4. Standar dan Metodologi Pemeriksaan (auditing standard and methodology);
5. Dukungan Kelembagaan (institution support);
6. Hubungan BPK dengan Pemangku Kepentingan (stakeholder relation);
7. Penyempurnaan Berkelanjutan (continuous improvement);
8. Hasil (result); dan
9. Kinerja Pemeriksaan (audit performance).

Sasaran Strategis 6 - Pemenuhan dan Harmonisasi Peraturan di Bidang Pemeriksaan


Keuangan Negara
Pemenuhan Peraturan BPK RI diartikan sebagai ketersediaan Produk Hukum BPK RI,
yakni segala peraturan yang mendukung tugas pokok BPK RI baik yang tersurat maupun
tersirat dalam undang-undang yang dihasilkan melalui proses legislasi. Produk hukum BPK
RI bukan hanya yang secara eksplisit diamanahkan di dalam peraturan perundang-undangan,
tetapi juga yang secara implisit dalam peraturan perundang-undangan. Melalui SS ini, BPK
RI bertekad menyelesaikan peraturan pelaksanaan yang dibutuhkan serta pro aktif dalam
proses harmonisasi peraturan perundangan terkait pengelolaan dan pemeriksaan keuangan
negara. SS 6 diukur melalui satu IKU yang merupakan indikator proses, yaitu IKU 6.1
Persentase Pemenuhan Penyusunan Peraturan BPK RI. Capaian SS 6 pada tahun 2013 baru
mencapai 66,67%.

Sasaran Strategis 7 - Meningkatkan Mutu Kelembagaan dan Ketatalaksanaan


Sistem dan tata kelola yang efisien serta dukungan sumber daya manusia yang
kompeten dan berkualitas merupakan kebutuhan mendasar bagi suatu organisasi birokrasi
modern. Adanya standar mutu yang diturunkan dalam kebijakan, pedoman maupun prosedur
kerja merupakan bagian dari kerangka pengendalian mutu kelembagaan untuk menghasilkan
standar kinerja yang terukur dan memenuhi harapan para pemangku kepentingan. Untuk itu,
sasaran strategis ini diukur melalui 1 IKU yaitu pemenuhan ketersediaan perangkat lunak
pemeriksaan/non pemeriksaan.
Capaian Sasaran Strategis Meningkatkan Mutu Kelembagaan dan Ketatalaksanaan
pada tahun 2013 adalah sebesar 88,89%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Sasaran
Strategis 7 sudah tercapai cukup baik. Berikut rincian atas capaian IKU yang mendukung
Sasaran Strategis 7.

Sasaran Strategis 8 - Meningkatkan Kompetensi SDM dan Dukungan Manajemen


Dalam pelaksanaan tugasnya, BPK RI perlu didukung dengan sumber daya manusia
yang memiliki tingkat kompetensi yang memadai serta motivasi tinggi dalam melaksanakan
tugas. Oleh karena itu, sumber daya manusia merupakan aset terpenting bagi BPK RI,
sehingga pengembangan baik dari aspek kualitas (tingkat kompetensi) maupun aspek
kuantitas ( jumlah pegawai) terus ditingkatkan. Selain itu, kebutuhan pegawai atas
kesejahteraan yang layak dan lingkungan kerja yang kondusif juga menjadi salah satu aspek
yang perlu diperhatikan.
Melalui SS ini, manajemen sumber daya manusia harus memastikan bahwa pegawai
BPK RI memiliki kemampuan, kompetensi, dedikasi dan pengabdian untuk mendukung tugas
BPK RI dalam melakukan pemeriksaan terhadap pengelolaan dan tanggung jawab keuangan
negara. SS ini diukur melalui 3 IKU yaitu:
IKU 8.1 Persentase Pegawai yang Memenuhi Standar Kompetensi yang Dipersyaratkan
IKU 8.2 Persentase Pemenuhan Standar Jam Pelatihan Pemeriksa, dan
IKU 8.3 Indeks Kepuasan Kerja Pegawai.
SS ini dilaksanakan oleh seluruh satker di BPK RI karena pemanfaatan SDM ada di
seluruh satker, yang kemudian dikoordinasikan oleh Biro SDM selaku pengelola utama
manajemen SDM dan Pusdiklat sebagai pelaksana seluruh kegiatan pendidikan dan pelatihan
bagi pegawai BPK RI. Pada tahun 2013, SS ini telah tercapai dengan baik yaitu sebesar
93,34%. Capaian untuk masing- masing IKU akan dijabarkan lebih lanjut pada bagian
berikut.

Sasaran Strategis

9 - Meningkatkan Pemenuhan Standar dan Mutu Sarana dan

Prasarana
Tersedianya fasilitas kerja yang memadai sesuai dengan standar sarana dan prasarana
kerja yang didukung dengan optimalisasi pemanfaatan teknologi informasi melalui
penyediaan infrastruktur dan jaringan pendukungnya menjadi pendorong tercapainya standar
kinerja yang diharapkan.
Sasaran Strategis 9 ini merupakan salah satu sasaran yang harus dicapai dalam rangka
merealisasikan tujuan strategis BPK RI yang ketiga yaitu mewujudkan birokrasi yang modern
di BPK RI. Sasaran Strategis ini diukur melalui dua Indikator Kinerja Utama (IKU), yaitu:

IKU 9.1 Persentase Pemenuhan Standar Sarana dan Prasarana Kerja; dan

IKU 9.2 Persentase Proses Bisnis yang Telah Memanfaatkan Teknologi Informasi dan

Komunikasi.
Pencapaian sasaran strategis ini dilaksanakan oleh seluruh satuan kerja yang ada di BPK RI
dengan Sekretariat Jenderal sebagai satuan kerja penanggung jawab.
Pada tahun 2013 pencapaian sasaran strategis ini cukup baik dengan memperoleh nilai
pencapaian kinerja sebesar 99,47%. Berikut uraian atas capaian masing-masing IKU tersebut
untuk periode tahun 2013.

Sasaran Strategis 10 - Meningkatkan Pemanfaatan Anggaran


Sasaran Strategis ini merupakan rumusan dari tujuan BPK untuk mendorong
terwujudnya pengelolaan keuangan negara yang tertib, taat pada peraturan perundangan,
ekonomis, efisien, efektif, transparan, dan bertanggung jawab. Seluruh satuan kerja di BPK
RI bertanggung jawab dalam melaksanakan pengelolaan anggaran sesuai dengan peraturan
yang berlaku. Pengelolaan keuangan di BPK RI dikoordinasikan oleh Biro Keuangan. Untuk
itu, pencapaian Sasaran Strategis Pemanfaatan Anggaran ini diukur melalui dua IKU berikut:

IKU 10.1 Opini Laporan Keuangan BPK RI

IKU 10.2 Persentase Pemanfaatan Anggaran


Tahun 2013, BPK RI telah memenuhi target pada Sasaran Strategis 10 sebesar 98,08.

Dengan demikian secara umum Sasaran Strategis untuk SS 10 telah dapat dicapai dengan
baik.

Anda mungkin juga menyukai