Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi tugas mata kuliah audit sektor publik yang diampu
oleh bapak Nurkholis, Ph.D
Oleh :
Rendy Fadhlan Putra
(115020307111047)
(115020300111106)
Fanditama Akbar .N
(115020307111029)
JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
2014
informasi berbasis akuntansi akan mendorong sebagian pelaku bisnis di sektor swasta
untuk ikut menekuninya.
7. Akademisi. Akademisi terutama di sektor akuntansi menaruh perhatian yang cukup
besar atas perkembangan pengetahuan di bidang akuntansi pemerintahan. Perhatian
ini sangat erat kaitannya dengan penyiapan SDM yang menguasai kemampuan di
bidang akuntansi pemerintahan untuk memenuhi kebutuhan tenaga operasional dan
manajer akuntansi di pemerintahan..
8. Dunia Internasional (lender dan investor). World Bank, ADB, dan JBIC, merupakan
lembaga internasional (lender), yang ikut berkepentingan untuk berkembangnya
akuntansi sektor publik yang baik di Indonesia. Perkembangan akuntansi tadi
diharapkan dapat meningkatkan transparansi dan akuntanbilitas dari proyek
pembangunan yang didanai oleh lembaga tersebut.
9. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). UU No. 17 tahun 2003 dan UU No. 15 tahun
2004 menyebutkan bahwa Pertanggungjawaban pelaksanaan APBN dan APBD
diperiksa oleh BPK. Untuk dapat memberikan opininya, BPK memerlukan suatu
standar akuntansi pemerintahan yang diterima secara umum.
10. Aparat Pengawasan Intern Pemerintah. APIP yang meliputi Bawasda, Irjen, dan
BPKP merupakan auditor intern pemerintah yang berperan untuk membantu pimpinan
untuk terwujudnya sistem pengendalian intern yang baik sehingga dapat mendorong
peningkatan kinerja instansi pemerintah sekaligus mencegah praktik-praktik KKN.
Akuntansi pemerintahan sangat erat kaitan dan dampaknya terhadap sistem
pengendalian
intern
sehingga
auditor
intern
mau
tidak
mau
harus
Setelah paket perundangan keuangan negara yaitu UU No. 17 tahun 2003 tentang
Keuangan Negara, UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan UU No. 1
tahun 2004 diundangkan, langkah panjang reformasi masih terus bergulir untuk tahap
implementasi. PP 24 tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan yang mewajibkan
Laporan Keuangan Tahun Anggaran 2005 disusun berdasarkan Standar Akuntansi
Pemerintahan tidak dengan mudah dapat diterapkan.
Dalam anggaran pemerintah terdapat konsep penganggaran pemerintah, di Indonesia
dikenal tiga pendeketan system penganggaran (3 pilar penganggaran).
Tiga pendekatan sistem penganggaran :
a.
Pengaanggaran Terpadu
Penganggaran
terpadu
mengintegrasikan
seluruh
proses
perencanaan
dan
b.
c.
Dasar pendekatan ini adalah KEBIJAKAN, yang berimplikasi pada anggaran selama
lebih dari 1 tahun anggaran. Maka, pemerintah akan membuat prakiraan maju anggaran
sampai 3 tahun ke depan. Prakiraan itu akan menjadi baseline yang akan menjadi patokan
awal penyusunan anggaran tahun bersangkutan. Nah, setiap akan memasuki tahun tertentu,
maka wajiblah dilakukan penyesuaian base line. Hal ini wajar mengingat fluktuasi kondisi
ekonomi dan non-ekonomi yang terjadi di negara kita.
Tujuan dan Manfaat Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah dan Penganggaran Berbasis
Kinerja
b. Sebagai wahana untuk mengubah kebijakan, program dan kegiatan dari waktu,
mengalokasikan sumber daya dan menertapkan dengan lebih baik proiritas dan
sasaran penting pemerintah.
Tahap pertama, yakni persiapan, berkaitan dengan penyusunan atau penentuan mata
anggaran yang jelas berhubungan dengan sistem anggaran yang digunakan. Disinilah salah
satu poin penting reformasi anggaran daerah saat ini yakni yang termaktub dalam PP Nomer
105 tahun 2000 pasal 8 yang menyatakan bahwa APBD disusun dengan pendekatan kinerja.
Pasal ini menuntut perubahan paradigma yang selama ini dianut. Penentuan mata anggaran
yang selama ini didasarkan line-item dan incremental lebih berorientasi pada input yang
dikenal dengan sistem anggaran tradisional. Kelemahan sistem tersebut antara lain adalah
tidak mampu mengungkap besarnya dana yang dikeluarkan untuk setiap kegiatan, dan gagal
dalam memberikan informasi tentang besarnya rencana kegiatan, oleh karenanya tolok ukur
untuk pengawasan hanyalah tingkat kepatuhan penggunaan anggaran (Munir, 2003).
Paradigma tersebut direformasi yakni dengan sistem anggaran berbasis aktivitas atau kegiatan
yang lebih berorientasi pada output. Sistem atau pendekatan kinerja (Performance- Based
Budegting) inilah yang dikehendaki dalam penyusunan APBD di era reformasi ini.
Poin penting lainnya adalah terdapat dalam pasal 15, PP Nomer 105 tahun 2000
tersebut yang menekankan adanya perubahan paradigma struktur APBD. Selama ini sistem
anggaran berstruktur Pendapatan dan Belanja yang jumlahnya berimbang (BalancedBudget). Kelemahan struktur tersebut adalah terutama jika anggaran Belanja lebih besar dari
Pendapatan maka salah satu untuk menutupnya adalah dengan Pinjaman yang dimasukkan
sebagai bagian dari Pendapatan. Padahal pinjaman atau hutang bukanlah suatu Pendapatan,
tetapi tergolong sebagai Penerimaan. Tidak mengheran-kan paradigma seperti itu dapat
membuat bangsa Indonesia mempunyai budaya tidak merasa mempunyai hutang, sehingga
tidak terlalu memikirkan pelunasannya, tapi bagaimana menikmatinya. Paradigma sistem
anggaran tersebut direformasi dengan sistem anggaran yang berstruktur Pendapatan, dan
Belanja yang jumlahnya tidak berimbang (Surplus/Deficit-Budget), dan Pembiayaan.
Dengan struktur tersebut jika anggaran Belanja lebih besar daripada Penda-patan maka akan
ditutup dengan Pembiayaan yang dapat dilakukan dengan melakukan pinjaman yang
dipahami sebagai Penerimaan, bukan sebagai Pendapatan.
Pasal 22 dari PP Nomer 105 tahun 2000 dapat dikatakan refor-masi yang sangat
signifikan dalam tahap kedua yakni tahap ratifikasi atau persetujuan. Pada ayat (1) pasal
tersebut dinyatakan bahwa Kepala Daerah menyampaikan rancangan APBD kepada DPRD
untuk mendapatkan persetujuan. Boleh dikatakan, hal ini merupakan saripati otonomi daerah
dan aplikasi konsep desentralisasi dari aspek manajemen keuangan daerah. DPRD sebagai
lembaga wakil rakyat (legislatif) suatu daerah sudah seharusnya menyetujui atau tidak
menyetujui atas rancangan APBD yang diajukan oleh Pemerintah Daerah (eksekutif), karena
pada hakekatnya akan menyangkut dana rakyat daerah tersebut yang sesungguhnya, yakni
dana Desentralisasi yang manajemennya terpisah dengan dana yang lain. Pasal 17, 18 dan 19
Undang-undang (UU) Nomer 25 tahun 1999 jelas membedakan manajemen dana yang
dimaksud. Ini berbeda dengan rancangan APBD dan pengelolaannya sebelum reformasi
digulirkan yang sering masih mencampurnya dengan dana Dekonsentrasi, dan dana Pembantuan.
Lebih jauh, dengan adanya reformasi tahap ratifikasi ini, pemahaman aplikasi tentang
teori hubungan prinsipal-agen (principal-agent relationship theory) dalam kontek hubungan
antara DPRD sebagai prinsipal, dan Pemerintah Daerah sebagai agen lebih dapat dijelaskan.
Pemisahan eksekutif dan legislatif seperti yang tercantum dalam pasal 14 ayat (1) UU Nomer
22 tahun 1999 membantu memperjelas aplikasi dimaksud. Teori tersebut akan terasa lebih
penting lagi jika dihubungkan dengan pasal 24 ayat (1) UU Nomer 25 tahun 1999 yang
menyebutkan bahwa Kepala Daerah menyampaikan laporan pertanggungjawaban (LPJ)
kepada DPRD mengenai pengelolaan keuangan daerah dan kinerja keuangan daerah dari segi
efisiensi dan efektivitas keuangan dalam pelaksanaan desentralisasi. Ini berarti bahwa Kepala
Daerah sebagai Agen mempertanggung jawabkan wewenang yang diperolehnya dari rakyat
khususnya dari aspek keuangan melalui DPRD sebagai prinsipal. Kondisi ini jelas berbeda
dengan kondisi sebelum reformasi yang memposisikan Eksekutif dan Legislatif sebagai
Pemerintah Daerah. Akibatnya, sangat wajar peran DPRD relatif minim dibandingkan dengan
saat ini.
Dengan kondisi pada tahap ratifikasi di era reformasi saat ini maka sangat beralasan
untuk meyakini bahwa Pemerintah Daerah sebagai eksekutif harus mempunyai kemampuan
lebih, dibandingkan dengan kondisi sebelum reformasi. Tahap ini menuntut eksekutif tidak
hanya memiliki kemampuan managerial skill tetapi juga memiliki political skill,
salesmanship dan coalition building (Mardiasmo, 2002b). Di samping itu pihak legislatif juga
harus memahami posisinya sehingga dalam pembahasan rancangan APBD dapat dihindari
perbedaan persepsi dan tidak perlu terjadi suatu fight yang tidak pada tempatnya (Elmi,
2002).
Walau diakui bahwa sebenarnya anggaran dengan pendekatan kinerja bukanlah
barang baru karena sudah dipraktekkan sejak tahun 1960- an di negeri asalnya Amerika
Serikat, dan di Indonesia sendiri sudah diperkenalkan sejak tahun 1970-an terutama untuk
proyek-proyek berskala nasional (Elmi, 2002), tentu masih banyak kekurangan dan
tantangannya. Pada umumnya, daerah Kabupaten dan Kota yang sudah menyusun dan
melaksanakan reformasi tersebut adalah daerah yang kemitraan antara Eksekutif dan
Legislatifnya relatif terbina dengan baik seperti yang dikehendaki oleh UU Nomer 22 tahun
1999, dan dapat menjaga momentum reformasi dengan tidak terjebak pada euforia reformasi
itu sendiri.
Sebagaimana pada reformasi akuntansi keuangan daerah, usaha-usaha reformasi
penganggaran ini juga seharusnya tidak boleh patah semangat. Perlu disadari bahwa sebuah
reformasi penganggaran tidak cukup dalam waktu satu, dua atau tiga tahun. Banyak tahap
dan aspek yang harus dilakukan, misalnya peningkatan partisipasi masyarakat (citizen
participation in budgeting), pelaksanaan anggaran itu sendiri (budget excution) dan lain-lain.
Oleh sebab itu, apa yang sudah dilakukan dengan reformasi penganggaran saat ini
adalah sebuah lompatan yang cukup signifikan. Yang terpenting sekarang adalah bahwa
semua pihak seharusnya meng-inginkan dengan reformasi ini sebuah better government yang
dapat memberikan pelayanan yang lebih baik kepada rakyatnya. Tampaknya hal ini cukup
mendapat perhatian. Istilah good governance yang merupakan salah satu cita-cita reformasi
sudah cukup populer, yang pada intinya adalah menuju ke usaha-usaha pemerintahan yang
bersih, termasuk pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Dengan reformasi atas akuntansi dan anggaran daerah sebagai pilar manajemen
keuangan daerah, pemerintahan yang bersih diharap-kan lebih dapat terlaksana. Demikan
pula diharapkan akuntabilitas publik atas pengelolaan APBD, yang sering disebut sebagai
public financial accountability lebih meningkat, dan korupsi dapat ditekan. Akuntabilitas
publik adalah pemberian informasi dan pengungkapan atas aktivitas dan kinerja keuangan
pemerintah kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
media yang disusun berdasarkan standar eksplisit selanjutnya dikomunikasikan kepada pihak
internal dan eksternal secara periodik maupun insidental sebagai keharusan hukum bukan
semata-mata karena kesukarelaan.
(2)
(1)
berperilaku jujur dalam bekerja dan mentaati ketentuan hukum yang berlaku. Akuntabilitas
hukum berkaitan dengan kepatuhan terhadap hukum dan peraturan lain yang disyaratkan
dalam menjalankan organisasi, sedangkan akuntabilitas kejujuran berkaitan dengan
penghindaran penyalahgunaan jabatan (abuse of power), korupsi, dan kolusi.
(2)
Akuntabilitas manajerial
Akuntabilitas manajerial adalah pertanggungjawaban lembaga publik untuk melakukan
pengelolaan organisasi secara efisien dan efektif. Akuntabilitas manajerial juga dapat
diartikan sebagai akuntabilitas kinerja (performance accountability) dan berkaitan pula
dengan akuntabilitas proses (process accountability).
(3)
Akuntabilitas program
Akuntabilitas program berkaitan dengan pertimbangan apakah tujuan yang ditetapkan dapat
dicapai atau tidak, dan apakah organisasi telah mempertimbangkan alternatif program yang
memberikan hasil yang optimal dengan biaya yang minimal. Lembaga-lembaga publik harus
mempertanggungjawabkan program yang telah dibuat sampai pada pelaksanaan program.
(4)
Akuntabilitas kebijakan
Akuntabilitas kebijakan terkait dengan pertanggungjawaban lembaga publik atas kebijakankebijakan yang diambil. Dalam membuat kebijakan harus dipertimbangkan apa tujuan
kebijakan tersebut, mengapa kebijakan itu diambil, siapa sasarannya, pemangku kepentingan
(stakeholder) mana yang akan terpengaruh dan memperoleh manfaat dan dampak (negatif)
atas kebijakan tersebut.
(5)
Akuntabilitas finansial
Akuntabilitas
finansial adalah
pertanggungjawaban
lembaga-lembaga
publik untuk
menggunakan uang publik (public money) secara ekonomi, efisien, dan efektif, tidak ada
pemborosan dan kebocoran dana serta korupsi. Akuntabilitas finansial mengharuskan
lembaga-lembaga publik untuk membuat laporan keuangan untuk menggambarkan kinerja
finansial organisasi kepada pihak luar.
the Performance of
Management dijelaskan bahwa audit kinerja mengalami proses perkembangan demikian pula
dengan pengetahuan dan kompetensi yang diperlukan dalam bidang audit. Pada awalnya
audit kinerja disebut financial statement auditning pada tahun 1930 dan dilanjutkan dengan
management auditing pada tahun 1950 dan Program Auditing pada tahun 1970.
Pada tahun 1971, Elmer B Staat memperkenalkan Audit Kinerja (Performance Audit)
pada kongres INTOSAI (International Organization of Supreme Audit Institution) di
Montreal, Kanada.sejak saat itu, audit kinerja yang merupakan perluasan audit keuangan
diimplementasikan pada audit sektor public di seluruh dunia termasuk Indonesia.
Di Indonesia, audit kinerja dilaksanakan dengan mengacu pada standar audit kinerja
dunia.
Audit
kinerja
mulai
diperkenalkan
pada
tahun
1976,
yaitu
dengan
dimulainya management audit course di Badan Pemeriksa Keuangan dengan bekerja sama
dengan US-GAO (US
Goverment
Accountability
Office).
Kemudian,
perkembangan
pelaksanaan audit kinerja ini mengalami pasang surut. Pengembangan audit di sektor publik
mulai ditegaskan lagi ketika Menteri Keuangan RI menyampaikan White Paper dengan
judul Reform of Public Financial Management System in Indonesia: Principles and
Strategy pada tanggal 22 Mei 2002. Dengan surat tersebut, mulailah reformasi pada
pengelolaan dan pertanggungjawaban serta audit di bidang keuangan negara.
Reformasi keuangan negara memang menjadi hal yang krusial setelah keuangan
negara diterjang krisis ekonomi tahun 1998. Keseriusan dalam reformasi pengelolaan
keuangan negara kemudian ditunjukkan dengan terbitnya tiga paket undang-undang
keuangan negara, yaitu UU No. 17 tahun 2003 tentang keuangan negara, UU No. 1 tahun
2004 tentang perbendaharaan negara, dan UU No. 15 tahun 2004 tentang pemeriksaan
pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Reformasi juga dilakukan dengan
menerbitkan Standar Akuntansi Pemerintah pada tahun 2005 dan Standar Pemeriksaan
Keuangan Negara pada tahun 2007.
Secara khusus, reformasi dalam bidang audit sektor publik mulai digalakkan kembali
pada Oktober 2003 melalui program hibah dari Asian Development Bank (ADB). Dari
program
hibah
ini
dimulailah
proyek State
Audit
Reform-Sector
Development
Pemerintah
Bupati/Walikota.
Kabupaten/Kota
yang
bertanggung
jawab
kepada
kementerian
lainnya
bermula
dari
terbitnya
Keputusan
Presidium
Kabinet
pembentukan Badan
Alat
Pelaksana
Utama
Pengawasan
Departemen
masa
Kabinet
Pembangunan
dengan Rencana
Pembangunan
Lima
Tahunnya (Repelita), terbit Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Organisasi Departemen dan Keputusan Presiden Nomor 45 Tahun 1974 tentang Susunan
Organisasi Departemen. Sebagai pelaksanaan dari kedua Keputusan Presiden tersebut,
diterbitkanlah Keputusan Menteri Keuangan Nomor 405/MK/6/4/1975 tentang Susunan
Orgasnisasi dan Tata Kerja Departemen Keuangan. Pasal 189 Keputusan Menteri
Keuangan tersebut menetapkan susunan Organisasi Itjen Departemen Keuangan yang terdiri
atas:
1. Sekretariat
2. Inspektur Kepegawaian
3. Inspektur Keuangan dan Perlengkapan
4. Inspektur Pajak
5. Inspektur Bea dan Cukai
Setelah pada tahun 1983 DJPKN diubah menjadi BPKP sebagai aparat
pengawasan fungsional pemerintah di luar departemen, maka Departemen Keuangan hanya
memiliki satu aparat pengawasan fungsional yaitu Itjen. Mengingat beban tugas semakin
berat, dirasakan perlu adanya peninjauan kembali susunan organisasi Itjen Departemen
Keuangan,
dan
berdasarkan Keputusan
Menteri
Keuangan
Nomor
Kep-
Pada
awal
tahun
2011,
Kementerian
Keuangan
melakukan
perubahan
dalam formasi jajaran pejabat Eselon I dan Eselon II di lingkungan Kementerian Keuangan.
Selain itu, perubahan organisasi juga terjadi di Itjen. Berdasarkan Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 184/KMK.01/2010, susunan organisasi Itjen Kementerian Keuangan
diubah menjadi sebagai berikut:
1. Sekretariat
2. Inspektorat I-VII
3. Inspektorat Bidang Investigasi (IBI)
dimaksudkan untuk meningkatkan efektivitas kerja sama dan komunikasi dengan para
pemangku kepentingan BPK RI, terutama kaitannya dalam meningkatkan dampak dari hasil
pemeriksaan BPK RI.
Kerugian Negara
Sasaran Strategis ini merupakan upaya BPK RI untuk memastikan proses penetapan kerugian
negara dapat dilakukan secara lebih cepat. Efektifitas penyelesaian ganti kerugian
negara/daerah, baik dari sisi jangka waktu penyelesaian maupun besaran ganti rugi, dapat
tercapai dengan melakukan pemantauan penyelesaian ganti kerugian negara/daerah yang
didukung dengan database yang lengkap, akurat dan tepat waktu sebagaimana diamanatkan
dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2006.
Pencapaian Sasaran Strategis ini diukur dengan 2 IKU yaitu Persentase Penyelesaian
Penetapan Tuntutan Perbendaharaan dan Jumlah Laporan Pemantauan Kerugian Negara yang
Diterbitkan, Capaian untuk SS 4 tersebut pada tahun 2013 telah mencapai 80,81% hal ini
menunjukkan capaian yang baik. Adapun rincian dari masing masing IKU yang mendukung
capaian SS tersebut adalah sebagai berikut :
Sasaran Strategi
Pemerolehan
Keyakinan Mutu
Sistem Pemerolehan Keyakinan Mutu (SPKM) merupakan suatu sistem yang
dirancang untuk memastikan bahwa implementasi Sistem Pengendalian Mutu (SPM) telah
sesuai dengan standar. Sedangkan SPM merupakan suatu sistem yang dirancang untuk
memperoleh keyakinan yang memadai bahwa BPK dan pelaksananya mematuhi ketentuan
peraturan perundang-undangan, standar pemeriksaan, serta laporan yang dihasilkan sesuai
dengan kondisi yang ditemukan. Hubungan antara SPKM dan SPM dapat dilihat dari tujuan
suatu SPKM, yaitu untuk memperoleh keyakinan yang memadai apakah SPM telah meliputi
semua pengendalian yang diperlukan, telah diterapkan secara tepat, dapat memberikan
keyakinan atas kualitas pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
dan standar pemeriksaan, dan apakah dapat mengidentifikasi berbagai cara potensial untuk
memperkuat dan menyempurnakan SPM. Untuk memenuhi tujuan dari SPKM dan SPM,
BPK sesuai dengan Keputusan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Nomor
03/K/I-XIII.2/03/2009 tanggal 25 Maret 2009 tentang Petunjuk Pelaksanaan Sistem
Pemerolehan Keyakinan Mutu mengembangkan unsur-unsur terkait dengan pengendalian
mutu BPK. Unsur-unsur pengendalian mutu BPK adalah sebagai berikut:
1. Independensi dan Mandat (independence and mandate);
2. Kepemimpinan dan Tata Kelola Intern (leadership and internal governance);
3. Manajemen Sumber Daya Manusia (human resource management);
4. Standar dan Metodologi Pemeriksaan (auditing standard and methodology);
5. Dukungan Kelembagaan (institution support);
6. Hubungan BPK dengan Pemangku Kepentingan (stakeholder relation);
7. Penyempurnaan Berkelanjutan (continuous improvement);
8. Hasil (result); dan
9. Kinerja Pemeriksaan (audit performance).
Sasaran Strategis
Prasarana
Tersedianya fasilitas kerja yang memadai sesuai dengan standar sarana dan prasarana
kerja yang didukung dengan optimalisasi pemanfaatan teknologi informasi melalui
penyediaan infrastruktur dan jaringan pendukungnya menjadi pendorong tercapainya standar
kinerja yang diharapkan.
Sasaran Strategis 9 ini merupakan salah satu sasaran yang harus dicapai dalam rangka
merealisasikan tujuan strategis BPK RI yang ketiga yaitu mewujudkan birokrasi yang modern
di BPK RI. Sasaran Strategis ini diukur melalui dua Indikator Kinerja Utama (IKU), yaitu:
IKU 9.1 Persentase Pemenuhan Standar Sarana dan Prasarana Kerja; dan
IKU 9.2 Persentase Proses Bisnis yang Telah Memanfaatkan Teknologi Informasi dan
Komunikasi.
Pencapaian sasaran strategis ini dilaksanakan oleh seluruh satuan kerja yang ada di BPK RI
dengan Sekretariat Jenderal sebagai satuan kerja penanggung jawab.
Pada tahun 2013 pencapaian sasaran strategis ini cukup baik dengan memperoleh nilai
pencapaian kinerja sebesar 99,47%. Berikut uraian atas capaian masing-masing IKU tersebut
untuk periode tahun 2013.
Dengan demikian secara umum Sasaran Strategis untuk SS 10 telah dapat dicapai dengan
baik.