Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masalah Manajemen keuangan daerah tidak terlepas dari perencanaan dan pelaksanaan
anggaran daerah oleh pemerintah daerah demi mewujudkan pelayanan publik yang sebaik-
baiknya. Di era otonomi ini, masing-masing daerah memiliki hak dan kewajiban untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya untuk meningkatkan efisiensi dan
efektifitas penyelenggaraan pemerintahan. Kualitas pelayanan yang baik tergantung pada
kelancaran pemerintah daerah dalam hal pendanaan untuk belanja dan membiayai semua
aktivitas kepemerintahan. Banyaknya aktivititas yang harus didanai dan dengan terbatasnya
sumber dana, mengharuskan pemerintah daerah untuk lebih bijak dalam membelanjakan
sumber dananya. Optimalisasi sumber dana harus dilakukan sebaik mungkin guna
ketersediaannya kepada satuan-satuan kerja yang memberikan pelayanan kepada publik.
Untuk mencapai pengelolaan keuangan daerah yang efektif, efisien, transparan, dan
akuntabel, bupati/walikota wajib melakukan pengendalian atas penyelenggaraan kegiatan
pemerintahan. Tuntutan transparansi dan akuntabilitas pada laporan keuangan pemerintah
daerah harus diimbangi dengan adanya suatu sistem yang mengatur dan mengelola keuangan
daerah. Penerapan sistem pengendalian intern pemerintah (SPIP) dan sistem akuntansi
pemerintah daerah.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana perkembangan Reformasi Manajemen Keuangan Daerah ?

2. Apasajakah Aspek-aspek utama Reformasi Manajemen Keuangan Daerah?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui bagaimana perkembangan reformasi keuangan daerah.

2. Mampu memahami aspek utama reformasi keuangan daerah.


BAB II

PEMBAHASAN

A. Perkembangan Reformasi Manajemen Keuangan Daerah

Reformasi manajemen keuangan daerah di Indonesia dapat dikatakan cukup terlambat hampir
dua dasawarsa dibandingkan dengan reformasi yang telah dilakukan oleh negara-negara maju
di Eropa dan Amerika Serikat. Pemerintah Indonesia juga termasuk terlambat jika
dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia, Filipina, Singapura, dan Selandia
Baru yang sudah sejak tahun 1970an dan 1980an telah melakukan serangkaian reformasi
dibidang manajemen keuangan publik. Singapura misalnya, telah menggunakan anggaran
berbasis kinerja (peformance budget) sejak tahun 1980an, sedangkan pemerintah daerah di
Indonesia baru menerapkannya pada tahun 2001. Pemerintah Inggris telah memulai
mereformasi sektor publiknya dengan konsep New Public Management sejak tahun 1980an.
Amerika Serikat menggunakan anggaran dengan pendekatan Planning (PBBS) secara luas
tahun 1965 dan Zero Base Budgeting (ZBB) tahun 1973. Selandia Baru secara radikal
menggunakan akutansi akrual sejak tahun 1990an. Meskipun relatif terlambat, reformasi
manajemen keuangan sektor publik di Indonesia dapat dikatakan mengalami kemajuan yang
cukup pesat.Jika dilihat dari aspek historis, perjalanan reformasi manajemen keuangan daerah
di Indonesia dapat dibagi dalam tiga fase, yaitu:

a. era pra-otonomi daerah dan desentralisasi fiskal (1974-1999),


b. era transisi otonomi (2000-2003), dan
c. era pascatransisi (2004-sekarang).

Era pra-otonomi daerah merupakan pelaksanaan otonomi ala Orde Baru berdasarkan UU No.
5 Tahun 1974 yang bersifat sentralistis top down planning dan budgeting, penggunaan
anggaran tradisional, rezim anggaran berimbang (balance budget), sistem pembekuan tunggal
(single entry) dan akutansi basis kas (cash basis) Selama masa pra- otonomi daerah dan
desentralisasi fiskal tersebut praktis belum ada sistem akutansi keuangan daerah yang baik,
yang ada baru sebatas tata buku. Pengelolaan keuangan daerah mendasarkan pada buku
Manual Administrasi Keuangan Daerah (MAKUDA) tahun 1981 yang ada esensinya belum
meni pakan sistem akuntansi, tetapi sekadar penatausahaan keuangan atau tata buku.
Era otonomi semu ini berlangsung selama 25 tahun sampai dengan pelaksanaan otonomi luas
dan nyata berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999 yang bersifat
desentralisasi, bottom up (participative) planning & budgeting, penggunaan anggaran
berbasis kinerja, sistem pembukuan berpasangan (double entry bookeeping), dan akutansi
basis kas modifikasian (modifiedcash basis).

Reformasi manajemen keuangan daerah mulai dilaksanakan setelah diberlakukannya UU No.


22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999. Sebagai upaya konkret, pemerintah
mengeluarkan PP No. 105 tahun 2000 tentang Pengelolaan dn Pertanggungjawaban
Keuangan Daerah dan PP No. 108 Tahun 2000 tentang Pertanggungjawaban Daerah dalam
Pengelolaan Keuangan Daerah. Sementara itu dikeluarkan pula petunjuk teknis dan petunjuk
pelaksanaan PP No. 105 Tahun 2000, serta untu secara bertahap mengganti model tata buku 6
sebagaimana dalam Manual Administrasi Keuangan Daerah menjadi sistem akuntansi,
pemerintah mengeluarkan Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 Kopmendagri No. 29 Tahun
2002 tersebut menjadi era transisi otonomi menuju sistem yang lebih ideal.

B. Aspek Utama Reformasi Manajemen Keuangan Daerah Aspek Utama Reformasi


Manajemen Keuangan Daerah meliputi :

Perubahan Sistem Anggaran Perubahan system anggaran traisional menjadi system anggaran
berbasis prestasi kerja. Perubahan system penganggaran ini meliputi perubahan dalam proses
penganggaran dan perubahan struktur anggaran. Perubahan system ini tidak hanya
menyangkut proses penganggarannya saja, tapi juga perubahan struktur anggaran. Struktur
anggaran dirubah dari struktur anggaran tradisional menjadi penganggaran berbasis kinerja.

Penggunaan system penganggaran kinerja di pemerintah daerah telah membawa perubahan


yang radikal terkait dengan perubahan dalam perencanaan anggaran, pengisian anggaran, dan
pelaporan anggaran. Secara manajerial perubahan struktur ini berpengaruh terhadap
perubahan paradigma anggaran. sedangkan secara teknis berpengaruh pada kode rekening
anggaran dan tata cara pencatatannya. Pada anggaran tradisional, kinerja anggaran diukur
dari sisi inputnya, yakni dilihat dari kemampuannya dalam penyerapan anggaran. Anggaran
yang tidak terserap (sisa anggaran) harus dikembalikan lagi ke rekening kas Negara dan
sebagai konsekuensinya anggaran satuan kerja tersebut untuk tahun berikutnya terancam
tidak akan ditambah bahkan bisa dikurangi. Perubahan Kelembagaan Pengelolaan Keuangan
Daerah Perubahan kelembagaan pengelolaan keuangan daerah dari system sentralisiasi pada
bagian keuangan secretariat daerah menjadi system desentralisasi ke masing-masing satuan
kerja.Penataan ulang kelembagaan pengelolaan keuangan daerah itu bukan saja untuk
menyesuaikan system anggaran yang baru, tapi juga dimaksudkan untuk mendukung
tercapainya tujuan desntralisasi fiscal. Beberapa perubahan kelembagaan pengelolaan
keuangan daerah tersebut antara lain:

Perubahan pengelolaan keuangan di pemerintah daerah dari system sentralisasi pada Bagian
Keuangan Sekretariat Daerah menjadi system desentralisasi ke masing-masing satuan kerja.
Konsekuensinya setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah harus menyelenggarakan akuntansi
dan menyusun laporan keuangan satuan kerja bersangkutan yaitu Laporan Realisasi
Anggaran, Neraca, dan Catatan Atas Laporan Keuangan. Bagian Keuangan (BPKD)
selanjutnya bertugas mengkonsolidasikan laporan keuangan seluruh satuan kerja yang ada
menjadi Laporan Keuangan Pemerintah Daerah.Pejabat yang terkait dengan pengelolaan
keuangan daerah meliputi:

 Kepala Daerah selaku Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Daerah


 Sekretariat Daerah selaku Kuasa Pemegang Kekuasaan Pengelolaan
 Keuangan Daerah sekaligus merupakan Koordinator Pengelolaan Keuangan Daerah
 Kepala Badan Pengelola Keuangan Daerah (Biro/Bagian Keuangan) selaku Pejabat
Pengelola Keuangan Daerah (PPKD) sekaligus merupakan Bendahara Umum Daerah
(BUD) Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah selaku Pengguna Anggaran/Pengguna
Barang Kuasa Pengguna Anggaran Kuasa Pengguna Barang
 Pejabat Penatausahaan Keuangan Satuan Kerja Perangkat Daerah (PPK-SKPD)
 Bendahara Penerimaan/Pengeluaran SKPD Bendahara Penerimaan Pengeluaran
Pembantu Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK)

Perubahan Sistem Akuntansi Keuangan Daerah Perubahan system akuntansi dari system tata
buku tunggal (single entry bookkeeping) menjadi sistem tata buku berpasangan (double entry
bookkeeping).Untuk meningkatkan transparasi dan akuntabilitas public dalam rangka
mendukung pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiscal, maka diperlukan reformasi
akuntansi sector public di Indonesia.Aspek yang diperlukan dalam reformasi akuntansi
adalah perlunya dimiliki standar akuntansi pemerintahan dan perlunya dilakukan perubahan
sistem akuntansi, yaitu perubahan dari single entry menjadi double entry. Single entry pada
awalnya digunakan sebagai dasar pembukuan di pemerintahan karena cukup mudah dan
praktis. Namun karena single entry tidak dapat memberikan informasi yang komprehensif
dan mencerminkan kinerja yang sesungguhnya. Maka beralihlah dari sistem single entry ke
double entry.Double entry ditujukan untuk menghasilkan laporan keuangan yang lebih
mudah untuk dilakukan audit dan pelacakan antara bukti transaksi, catatan, dan keberadaan
akekayaan, utang, dan ekuitas organisasi. Dengan sistem ini maka pengukuran kinerja dapat
dilakukan secara lebih komprehensif.Perubahan Basis Pencatatan Akuntansi Basis kas ini
dinilai mengandung banyak kelemahan. Memang setiap basis akuntansi yang digunakan, baik
basis kas, basis kas modifikasian, akrual modifikasian maupun basis akrual masing-masing
memiliki keunggulan dan kelemahan. Perubahan teknik akuntansi dari basis kas menjadi
akrual bertujuan agar pemerintah daerah dapat menghasilkan laporan keuangan yang lebih
dapat dipercaya, akurat, komprehensif, dan relevan untuk pengambilan keputusan ekonomi,
social, dan politik.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Tujuan pelaksanaan otonomi daerah adalah mewujudkan sistem tata kelola pemerintah yang
baik (good governance) yang ditandai dengan meningkatnya kemadirian daerah, adanya
transparasi dan akuntabilitas publik.pemerintah daerah yang semakin responsif terhadap
masyarakat, meningkatny partisipasi publik dalam pembangunan daerah, meningkanya
efesiensi dan efektifitas pengelolaan keuangan dan pelayanan publik serta meningkatnya
demokratisasi di daerah Secara historis, reformasi manajemen keuangan daerah dapat dibagi
dalam tiga fase, yaitu:

1), era pra-otonomi daerah dan desentralisasi fiskal (1974-1999),

2) era transisi otonomi (2000-2003), dan

3) era pascatransisi (2004-2008).

Aspek utama reformasi manajemen keuangan daerah meliputi perubahan sistem anggaran,
perubahan kelembagaan pengelolaan keuangan daerah, perubahan sistem akuntansi, dan
perubahan basis akuntansi.

B. SARAN

Diharapkan dengan adanya reformasi ini, pengelolaan keuangan daerah dapat berjalan
dengan lebih baik sehingga tidak ada lagi penyimpangan yang dilakukan oleh oknum yang
tidak bertanggung jawab dan menyebabkan masih tingginyan ancaman korupsi sistematik di
daerah sehingga dapat menggagalkan implementasi akrual
DAFTAR PUSTAKA

Mahmudi ( 2009 ) ‘ Manajemen keuangan Daerah ‘ Buku Seri Membudayakan Akuntabilitas


Publik,Yogyakarta:Erlangga.

Jayanti, I. P. (2014). Reformasi Pengelolaan Keuangan Daerah dalam Rangka Mewujudkan


Transparansi dan Akuntabilitas (Studi pada Pemerintah Kota Malang) (Doctoral dissertation,
Brawijaya University).

Noviades, D. (2013). Pengelolaan Keuangan Daerah Di Era Otonomi Daerah. Jurnal Ilmu
Hukum Jambi, 4(1), 43294.

Rosliyati, A. (2015). PENGARUH REFORMASI KEUANGAN DAERAH, TATA


KELOLA PEMERINTAHAN DAN SISTEM INFORMASI KEUANGANTERHADAP
PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA IMPLIKASINYA PADA KINERJA
KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH DI WILAYAH PRIANGAN TIMUR (Doctoral
dissertation, UNPAS).

Anda mungkin juga menyukai