PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah Manajemen keuangan daerah tidak terlepas dari perencanaan dan pelaksanaan
anggaran daerah oleh pemerintah daerah demi mewujudkan pelayanan publik yang sebaik-
baiknya. Di era otonomi ini, masing-masing daerah memiliki hak dan kewajiban untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya untuk meningkatkan efisiensi dan
efektifitas penyelenggaraan pemerintahan. Kualitas pelayanan yang baik tergantung pada
kelancaran pemerintah daerah dalam hal pendanaan untuk belanja dan membiayai semua
aktivitas kepemerintahan. Banyaknya aktivititas yang harus didanai dan dengan terbatasnya
sumber dana, mengharuskan pemerintah daerah untuk lebih bijak dalam membelanjakan
sumber dananya. Optimalisasi sumber dana harus dilakukan sebaik mungkin guna
ketersediaannya kepada satuan-satuan kerja yang memberikan pelayanan kepada publik.
Untuk mencapai pengelolaan keuangan daerah yang efektif, efisien, transparan, dan
akuntabel, bupati/walikota wajib melakukan pengendalian atas penyelenggaraan kegiatan
pemerintahan. Tuntutan transparansi dan akuntabilitas pada laporan keuangan pemerintah
daerah harus diimbangi dengan adanya suatu sistem yang mengatur dan mengelola keuangan
daerah. Penerapan sistem pengendalian intern pemerintah (SPIP) dan sistem akuntansi
pemerintah daerah.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
PEMBAHASAN
Reformasi manajemen keuangan daerah di Indonesia dapat dikatakan cukup terlambat hampir
dua dasawarsa dibandingkan dengan reformasi yang telah dilakukan oleh negara-negara maju
di Eropa dan Amerika Serikat. Pemerintah Indonesia juga termasuk terlambat jika
dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia, Filipina, Singapura, dan Selandia
Baru yang sudah sejak tahun 1970an dan 1980an telah melakukan serangkaian reformasi
dibidang manajemen keuangan publik. Singapura misalnya, telah menggunakan anggaran
berbasis kinerja (peformance budget) sejak tahun 1980an, sedangkan pemerintah daerah di
Indonesia baru menerapkannya pada tahun 2001. Pemerintah Inggris telah memulai
mereformasi sektor publiknya dengan konsep New Public Management sejak tahun 1980an.
Amerika Serikat menggunakan anggaran dengan pendekatan Planning (PBBS) secara luas
tahun 1965 dan Zero Base Budgeting (ZBB) tahun 1973. Selandia Baru secara radikal
menggunakan akutansi akrual sejak tahun 1990an. Meskipun relatif terlambat, reformasi
manajemen keuangan sektor publik di Indonesia dapat dikatakan mengalami kemajuan yang
cukup pesat.Jika dilihat dari aspek historis, perjalanan reformasi manajemen keuangan daerah
di Indonesia dapat dibagi dalam tiga fase, yaitu:
Era pra-otonomi daerah merupakan pelaksanaan otonomi ala Orde Baru berdasarkan UU No.
5 Tahun 1974 yang bersifat sentralistis top down planning dan budgeting, penggunaan
anggaran tradisional, rezim anggaran berimbang (balance budget), sistem pembekuan tunggal
(single entry) dan akutansi basis kas (cash basis) Selama masa pra- otonomi daerah dan
desentralisasi fiskal tersebut praktis belum ada sistem akutansi keuangan daerah yang baik,
yang ada baru sebatas tata buku. Pengelolaan keuangan daerah mendasarkan pada buku
Manual Administrasi Keuangan Daerah (MAKUDA) tahun 1981 yang ada esensinya belum
meni pakan sistem akuntansi, tetapi sekadar penatausahaan keuangan atau tata buku.
Era otonomi semu ini berlangsung selama 25 tahun sampai dengan pelaksanaan otonomi luas
dan nyata berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999 yang bersifat
desentralisasi, bottom up (participative) planning & budgeting, penggunaan anggaran
berbasis kinerja, sistem pembukuan berpasangan (double entry bookeeping), dan akutansi
basis kas modifikasian (modifiedcash basis).
Perubahan Sistem Anggaran Perubahan system anggaran traisional menjadi system anggaran
berbasis prestasi kerja. Perubahan system penganggaran ini meliputi perubahan dalam proses
penganggaran dan perubahan struktur anggaran. Perubahan system ini tidak hanya
menyangkut proses penganggarannya saja, tapi juga perubahan struktur anggaran. Struktur
anggaran dirubah dari struktur anggaran tradisional menjadi penganggaran berbasis kinerja.
Perubahan pengelolaan keuangan di pemerintah daerah dari system sentralisasi pada Bagian
Keuangan Sekretariat Daerah menjadi system desentralisasi ke masing-masing satuan kerja.
Konsekuensinya setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah harus menyelenggarakan akuntansi
dan menyusun laporan keuangan satuan kerja bersangkutan yaitu Laporan Realisasi
Anggaran, Neraca, dan Catatan Atas Laporan Keuangan. Bagian Keuangan (BPKD)
selanjutnya bertugas mengkonsolidasikan laporan keuangan seluruh satuan kerja yang ada
menjadi Laporan Keuangan Pemerintah Daerah.Pejabat yang terkait dengan pengelolaan
keuangan daerah meliputi:
Perubahan Sistem Akuntansi Keuangan Daerah Perubahan system akuntansi dari system tata
buku tunggal (single entry bookkeeping) menjadi sistem tata buku berpasangan (double entry
bookkeeping).Untuk meningkatkan transparasi dan akuntabilitas public dalam rangka
mendukung pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiscal, maka diperlukan reformasi
akuntansi sector public di Indonesia.Aspek yang diperlukan dalam reformasi akuntansi
adalah perlunya dimiliki standar akuntansi pemerintahan dan perlunya dilakukan perubahan
sistem akuntansi, yaitu perubahan dari single entry menjadi double entry. Single entry pada
awalnya digunakan sebagai dasar pembukuan di pemerintahan karena cukup mudah dan
praktis. Namun karena single entry tidak dapat memberikan informasi yang komprehensif
dan mencerminkan kinerja yang sesungguhnya. Maka beralihlah dari sistem single entry ke
double entry.Double entry ditujukan untuk menghasilkan laporan keuangan yang lebih
mudah untuk dilakukan audit dan pelacakan antara bukti transaksi, catatan, dan keberadaan
akekayaan, utang, dan ekuitas organisasi. Dengan sistem ini maka pengukuran kinerja dapat
dilakukan secara lebih komprehensif.Perubahan Basis Pencatatan Akuntansi Basis kas ini
dinilai mengandung banyak kelemahan. Memang setiap basis akuntansi yang digunakan, baik
basis kas, basis kas modifikasian, akrual modifikasian maupun basis akrual masing-masing
memiliki keunggulan dan kelemahan. Perubahan teknik akuntansi dari basis kas menjadi
akrual bertujuan agar pemerintah daerah dapat menghasilkan laporan keuangan yang lebih
dapat dipercaya, akurat, komprehensif, dan relevan untuk pengambilan keputusan ekonomi,
social, dan politik.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Tujuan pelaksanaan otonomi daerah adalah mewujudkan sistem tata kelola pemerintah yang
baik (good governance) yang ditandai dengan meningkatnya kemadirian daerah, adanya
transparasi dan akuntabilitas publik.pemerintah daerah yang semakin responsif terhadap
masyarakat, meningkatny partisipasi publik dalam pembangunan daerah, meningkanya
efesiensi dan efektifitas pengelolaan keuangan dan pelayanan publik serta meningkatnya
demokratisasi di daerah Secara historis, reformasi manajemen keuangan daerah dapat dibagi
dalam tiga fase, yaitu:
Aspek utama reformasi manajemen keuangan daerah meliputi perubahan sistem anggaran,
perubahan kelembagaan pengelolaan keuangan daerah, perubahan sistem akuntansi, dan
perubahan basis akuntansi.
B. SARAN
Diharapkan dengan adanya reformasi ini, pengelolaan keuangan daerah dapat berjalan
dengan lebih baik sehingga tidak ada lagi penyimpangan yang dilakukan oleh oknum yang
tidak bertanggung jawab dan menyebabkan masih tingginyan ancaman korupsi sistematik di
daerah sehingga dapat menggagalkan implementasi akrual
DAFTAR PUSTAKA
Noviades, D. (2013). Pengelolaan Keuangan Daerah Di Era Otonomi Daerah. Jurnal Ilmu
Hukum Jambi, 4(1), 43294.