Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

REFORMASI ANGGARAN DAERAH


MATA KULIAH KEUANGAN DAERAH

Oleh:
Kelompok II
1. Johanes
2. Rafel Pramana Putra
3. Nasrullah Muzhaffar Kamil Asri

Kelas RA2 Ekonomi Pembangunan

PROGRAM STUDI EKONOMI PEMBANGUNAN


FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAMBI
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan kuasa
rahmat serta ilmu yang senantiasa diberikanNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
Makalah Mengenai “ Reformasi Anggaran Daerah“. Makalah ini disusun sebagai salah
satu upaya untuk memenuhi tugas mata kuliah Keuangan Daerah.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah Keuangan
Daerah yang telah membimbing terkait materi ini dalam mata kuliah tersebut. Penulis
menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan makalah ini masih terdapat banyak
kekurangan, untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan untuk
kesempurnaan penelitian yang akan datang. Penulis berharap semoga Makalah ini dapat
bermanfaat dan berguna bagi semua pihak.

Jambi, 03 Mei 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................. i

DAFTAR ISI ................................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 1

1. 1 Latar Belakang ................................................................................................. 1


1. 2 Rumusan Masalah ............................................................................................ 1
1. 3 Tujuan Penulisan .............................................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................. 2

2. 1 Perkembangan Reformasi Anggaran Daerah ................................................... 2


2. 2 Aspek Utama Reformasi Anggaran Daerah ..................................................... 4

BAB III PENUTUP ..................................................................................................... 10

3. 1 Kesimpulan ...................................................................................................... 10
3. 2 Saran ................................................................................................................ 10

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang
Masalah Anggaran Keuangan daerah tidak terlepas dari perencanaan dan
pelaksanaan anggaran daerah oleh pemerintah daerah demi mewujudkan pelayanan
publik yang sebaik-baiknya. Di era otonomi ini, masing-masing daerah memiliki
hak dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya
untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan.
Kualitas pelayanan yang baik tergantung pada kelancaran pemerintah daerah dalam
hal pendanaan untuk belanja dan membiayai semua aktivitas kepemerintahan.
Banyaknya aktivititas yang harus didanai dan dengan terbatasnya sumber dana,
mengharuskan pemerintah daerah untuk lebih bijak dalam membelanjakan sumber
dananya. Optimalisasi sumber dana harus dilakukan sebaik mungkin guna
ketersediaannya kepada satuan-satuan kerja yang memberikan pelayanan kepada
publik. Untuk mencapai pengelolaan keuangan daerah yang efektif, efisien,
transparan, dan akuntabel, bupati/walikota wajib melakukan pengendalian atas
penyelenggaraan kegiatan pemerintahan. Tuntutan transparansi dan akuntabilitas
pada laporan keuangan pemerintah daerah harus diimbangi dengan adanya suatu
sistem yang mengatur dan mengelola keuangan daerah. Penerapan sistem
pengendalian intern pemerintah (SPIP) dan sistem akuntansi pemerintah daerah.

1. 2 Rumusan Masalah
1. Bagaiamana Perkembangan Reformasi Anggaran Daerah?
2. Apa Saja Aspek-aspek Utama Reformasi Manajemen Keuangan Daerah?

1. 3 Tujuan Penulisan
1. Untuk Mengetahui Perkembangan Reformasi Anggaran Daerah
2. Untuk Mengetahui Aspek-aspek Utama Reformasi Manajemen Keuangan
Daerah

1
BAB II
PEMBAHASAN
2. 1 Perkembangan Reformasi Anggaran Daerah
Reformasi manajemen keuangan daerah di Indonesia dapat dikatakan
cukup terlambat hampir dua dasawarsa dibandingkan dengan reformasi yang
telah dilakukan oleh negara-negara maju di Eropa dan Amerika Serikat.
Pemerintah Indonesia juga termasuk terlambat jika dibandingkan dengan negara
tetangga seperti Malaysia, Filipina, Singapura, dan Selandia Baru yang sudah
sejak tahun 1970an dan 1980an telah melakukan serangkaian reformasi dibidang
manajemen keuangan publik. Singapura misalnya, telah menggunakan anggaran
berbasis kinerja (peformance budget) sejak tahun 1980an, sedangkan pemerintah
daerah di Indonesia baru menerapkannya pada tahun 2001. Pemerintah Inggris
telah memulai mereformasi sektor publiknya dengan konsep New Public
Management sejak tahun 1980an. Amerika Serikat menggunakan anggaran
dengan pendekatan Planning (PBBS) secara luas tahun 1965 dan Zero Base
Budgeting (ZBB) tahun 1973. Selandia Baru secara radikal menggunakan
akutansi akrual sejak tahun1990an. Meskipun relatif terlambat, reformasi
manajemen keuangan sektor publik di Indonesia dapat dikatakan mengalami
kemajuan yang cukup pesat.
Jika dilihat dari aspek historis, perjalanan reformasi manajemen keuangan
daerah di Indonesia dapat dibagi dalam tiga fase, yaitu: 1) era pra-otonomi daerah
dan desentralisasi fiskal (1974-1999), 2) era transisi otonomi (2000-2003), dan
3) era pascatransisi (2004-sekarang). Era pra-otonomi daerah merupakan
pelaksanaan otonomi ala Orde Baru berdasarkan UU No. 5 Tahun 1974 yang
bersifat sentralistis,top down planning dan budgeting, penggunaan anggaran
tradisional, rezim anggaran berimbang (balance budget), sistem pembekuan
tunggal (single entry) dan akutansi basis kas (cash basis) Selama masa pra-
otonomi daerah dan desentralisasi fiskal tersebut praktis belum ada sistem
akutansi keuangan daerah yang baik, yang ada baru sebatas tata buku.
Pengelolaan keuangan daerah mendasarkan pada buku Manual Administrasi
Keuangan Daerah (MAKUDA) tahun 1981 yang ada esensinya belum meru
pakan sistem akuntansi, tetapi sekadar penatausahaan keuangan atau tata buku.
2
Era otonomi semu ini berlangsung selama 25 tahun sampai dengan
pelaksanaan otonomi luas dan nyata berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 dan UU
No. 25 Tahun 1999 yang bersifat desentralisasi, bottom up (participative )
planning & budgeting, penggunaan anggaran berbasis kinerja, sistem pembukuan
berpasangan (double entry bookeeping), dan akutansi basis kas modifikasian
(modifiedcash basis).

Reformasi manajemen keuangan daerah mulai dilaksanakan setelah


diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999. Sebagai
upaya konkret, pemerintah mengeluarkan PP No. 105 tahun 2000 tentang
Pengelolaan dn Pertanggungjawaban Keuangan Daerah dan PP No. 108 Tahun
2000 tentang Pertanggungjawaban Daerah dalam Pengelolaan Keuangan Daerah.
Sementara itu dikeluarkan pula petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan PP
No. 105 Tahun 2000, serta untu secara bertahap mengganti model tata
buku sebagaimana dalam Manual Administrasi Keuangan Daerah menjadi sistem
akuntansi, pemerintah mengeluarkan Kepmendagri No. 29 Tahun 2002.
Kopmendagri No. 29 Tahun 2002 tersebut menjadi era transisi otonomi menuju
sistem yang lebih ideal.
Era transisi otonomi adalah masa antara tahun 2000 hingga 2003 yang
merupakan masa awal implementasi otonomi daerah. Masa transisi otonomi ini
ditandai dengan masih belum mantapnya hukum, kelembagaan, infrastruktur,
dan sumber daya manusia (SDM) daerah dalam mewujudkan tujuan otonomi
daerah. Dalam masa transsi ini masih sering terjadi uji coba sistem baru, belum
mantapnya sistem sehinggasering terjadi revisi peraturan perundangan di bidang
pengelolaan keuangan negara/daerah. Peraturan perundangan yang menonjol
dalam era ini adalah Kepmendagri No. 29 Tahun 2002.
Era pascatransisi adalah masa setelah diberlakukannya paket peraturan
perundangan yang merupakan suatu peraturan menyeluruh dan komprehensif
(amnibus regulations) mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pelaporan,
pengauditan, dan evaluasi kinerja atas pengelolaan keuangan daerah. Paket
peraturan perundangan yang merupakan omnibus regulations itu antara lain:
1. UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang menggantikan
paket peraturan perundangan yang (ICW) warisan Pemerintahan Hindia
3
Belanda.
2. UU No. 1 Tahun 2004 tentang Pembendaharaan Negara.
3. UU No. 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan
Tanggung Jawab Keuangan Negara.
4. UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.
5. UU. No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (merupakan revisi
UU No. 22 Tahun 1999).
6. UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah ( revisi UU No. 25 Tahun 1999).
7. PP No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintah.
8. PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
9. PP No. 8 Tahun 2006 tentang Laporan Keuangan dan Kinerja
Instansi Pemerintah.
10. PP No. E Tahun 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintah
Daerah (LPPD) Kepada Pemerintah, Laporan Keterangan
Pertanggungjawaban (LKPJ) Kepada DPRD, dan Informasi LPPD
Kepada Masyarakat.
11. Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan Daerah.
12. Permendagri No. 59 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Permendagri No.
13 Tahun 2006.

2. 2 Aspek Utama Reformasi Anggaran Daerah

Aspek Utama Reformasi Anggaran Daerah meliputi :


Perubahan Sistem Anggaran
Perubahan system anggaran traisional menjadi system anggaran berbasis
prestasi kerja. Perubahan system penganggaran ini meliputi perubahan dalam
proses penganggaran dan perubahan struktur anggaran. Perubahan system ini
tidak hanya menyangkut proses penganggarannya saja, tapi juga perubahan
struktur anggaran. Struktur anggaran dirubah dari struktur anggaran tradisional
menjadi penganggaran berbasis kinerja.
Penggunaan system penganggaran kinerja di pemerintah daerah telah
membawa perubahan yang radikal terkait dengan perubahan dalam perencanaan
anggaran, pengisian anggaran, dan pelaporan anggaran. Secara manajerial
perubahan struktur ini berpengaruh terhadap perubahan paradigma anggaran,
sedangkan secara teknis berpengaruh pada kode rekening anggaran dan tata cara
pencatatannya.
Pada anggaran tradisional, kinerja anggaran diukur dari sisi inputnya, yakni
4
dilihat dari kemampuannya dalam penyerapan anggaran. Anggaran yang tidak
terserap (sisa anggaran) harus dikembalikan lagi ke rekening kas Negara dan
sebagai konsekuensinya anggaran satuan kerja tersebut untuk tahun berikutnya
terancam tidak akan ditambah bahkan bisa dikurangi.

Perubahan Kelembagaan Pengeloalaan Keuangan Daerah


Perubahan kelembagaan pengelolaan keuangan daerah dari system
sentralisiasi pada bagian keuangan secretariat daerah menjadi system
desentralisasi ke masing-masing satuan kerja.

Penataan ulang kelembagaan pengelolaan keuangan daerah itu bukan saja


untuk menyesuaikan system anggaran yang baru, tapi juga dimaksudkan untuk
mendukung tercapainya tujuan desntralisasi fiscal. Beberapa perubahan
kelembagaan pengelolaan keuangan daerah tersebut antara lain:

• Perubahan pengelolaan keuangan di pemerintah daerah dari system


sentralisasi pada Bagian Keuangan Sekretariat Daerah menjadi system
desentralisasi ke masing-masing satuan kerja. Konsekuensinya setiap Satuan
Kerja Perangkat Daerah harus menyelenggarakan akuntansi dan menyusun
laporan keuangan satuan kerja bersangkutan yaitu Laporan Realisasi
Anggaran, Neraca, dan Catatan Atas Laporan Keuangan. Bagian Keuangan
(BPKD) selanjutnya bertugas mengkonsolidasikan laporan keuangan seluruh
satuan kerja yang ada menjadi Laporan Keuangan Pemerintah Daerah.

• Pejabat yang terkait dengan pengelolaan keuangan daerah meliputi :


1. Kepala Daerah selaku Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Daerah
2. Sekretariat Daerah selaku Kuasa Pemegang Kekuasaan Pengelolaan
Keuangan Daerah sekaligus merupakan Koordinator Pengelolaan
Keuangan Daerah
3. Kepala Badan Pengelola Keuangan Daerah (Biro/Bagian Keuangan)
selaku Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD) sekaligus
merupakan Bendahara Umum Daerah (BUD)
4. Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah selaku Pengguna Anggaran/
Pengguna Barang
5. Kuasa Pengguna Anggaran/ Kuasa Pengguna Barang

5
6. Pejabat Penatausahaan Keuangan Satuan Kerja Perangkat Daerah (PPK-
SKPD)
7. Bendahara Penerimaan/Pengeluaran SKPD
8. Bendahara Penerimaan/ Pengeluaran Pembantu
9. Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK)

Perubahan Sistem Akuntansi Keuangan Daerah


Perubahan system akuntansi dari system tata buku tunggal (single entry
bookkeeping) menjadi sistem tata buku berpasangan (double entry bookkeeping).
Untuk meningkatkan transparasi dan akuntabilitas public dalam rangka Mendukung
pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiscal, maka diperlukan reformasi
akuntansi sector public di Indonesia.

Aspek yang diperlukan dalam reformasi akuntansi adalah perlunya dimiliki


standar akuntansi pemerintahan dan perlunya dilakukan perubahan sistem
akuntansi, yaitu perubahan dari single entry menjadi double entry.

Single entry pada awalnya digunakan sebagai dasar pembukuan di


pemerintahan karena cukup mudah dan praktis. Namun karena single entry tidak
dapat memberikan informasi yang komprehensif dan mencerminkan kinerja yang
sesungguhnya. Maka beralihlah dari sistem single entry ke double entry.

Double entry ditujukan untuk menghasilkan laporan keuangan yang lebih


mudah untuk dilakukan audit dan pelacakan antara bukti transaksi, catatan, dan
keberadaan akekayaan, utang, dan ekuitas organisasi. Dengan sistem ini maka
pengukuran kinerja dapat dilakukan secara lebih komprehensif.

Perubahan Basis Pencatatan Akuntansi


Basis kas ini dinilai mengandung banyak kelemahan. Memang setiap basis
akuntansi yang digunakan, baik basis kas, basis kas modifikasian, akrual
modifikasian maupun basis akrual masing-masing memiliki keunggulan dan
kelemahan. Perubahan teknik akuntansi dari basis kas menjadi akrual bertujuan
agar pemerintah daerah dapat menghasilkan laporan keuangan yang lebih dapat
dipercaya, akurat, komprehensif, dan relevan untuk pengambilan keputusan
ekonomi, social, dan politik.

Perubahan dari Basis Kas Menuju Akrual (Cash Towards Accrual)


6
Perubahan basis akuntansi dari basis kas (cash basis) menjadi basis akrual
(accrual basis).
Basis akuntansi merupakan dasar akuntansi yang menetapkan kapan
transaksi-transaksi yang berpengaruh terhadap keuangan organisasi harus diakui/
dibukukan untuk tujuan pelaporan keuangan. Ada beberapa basis pencatatan
akuntansi yang bias dipilih oleh pemerintah daerah, diantaranya :

1. Akuntansi basis kas (cash basis)


2. Akuntansi basis kas modifikasian (modified cash basis)
3. Akuntansi basis akrual modifikasian (modified accrual basis)
4. Akuntansi basis akrual (accrual basis)

Keempat pendekatan ini pada dasarnya bersifat continuum dari basis kas
sampai basis akrual. Perbedaan Basis kas Akuntansi tersebut berkaitan dengan
penetapan waktu pengakuan dan pengukuran suatu transaksi (timing of
recognition).

Basis Kas mengakui dan mencatat transkasi pada saat kas diterima/
dikeluarkan. Basis Kas tidak mencat utang, piutang dan aktiva secara
komprehensif. Akuntansi basis kas digunakan untuk menunjukan ketaatan pada
anggaran belanja (spending limits). Akuntansi basis kas mempunyai kelemahan,
yaitu menghasilkan laporan keuangan yang kurang komprehensif untuk
pengambilan keputusan serta tidak dapat menggambarkan kinerja organisasi
secara lebih baik. Dan tidak mampu memberikan informasi aset, utang-piutang,
dan ekuitas secara komprehensif.

Basis Akrual mengakui transaksi keuangan pada saat terjadinya, yaitu


ketika sudah menjadi hak atau kewajibannya meskipun belum diterima/
dikeluarkan kasnya. Dengan basis akrual organisasi akan mengakui adanya
utang, piutang dan asset.

Pemerintah daerah bias saja langsung pindah dar basis kas ke basis akrual.
Namun Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 mengatur pemerintah daerah untuk
menggunakan basis kas modifikasian, yaitu kombinasi dasar kas dengan akrual.
Berdasrkan basis kas tersebut, transaksi penerimaan kas atau pengeluaran kas
dibukukan pada saat uang diterima/ dibayarkan (basis kas). Dan pada akhir
periode dilakukan penyesuaian untuk menghasilkan neraca yaitu dengan cara
7
mengakui transaksi dan kejadian dalam periode berjalan walaupun penerimaan/
pengeluaran kas belum terealisir. Dengan demikian, pencatatan anggaran
menggunakan basis kas, sedangkan untuk menghasilkan laporan neraca di akhir
periode akuntansi digunakan basis akrual.

Perubahan secara langsung dari basis kas menjadi basis akrual akan bersifat
radikal, padahal selama bertahun-tahun basis kas telah mendarah daging bagi
pegawai keuangan pemerintah daerah. Penerapan secara langsung basis akrual
membutuhkan daya dukung teknologi serta sumber daya manusia yang memiliki
latar belakang pendidikan akuntansi yang memadai. Permasalahan penerapan
basis akuntansi bukan sekedar masalah teknis akuntansi, yaitu bagaimana
mencatat transaksi dan menyajikan laporan keuangan, tapi yang lebih penting
adalah bagaimana menentukan kebijakan akuntansi (accounting policy),
perlakuan akuntansi untuk suatu transaksi (accounting treatment), pilihan
akuntansi (accounting choice) dan mendesain/ menganalisis sistem akuntansi
yang ada.

Masih terdapat beberapa permasalahan yang akan dihadapi apabila


menggunakan secara langsung akuntansi basis akrual. Hal ini terkait dengan
definisi, pengakuan, pengukuran serta kebijakan akuntansi asset, modal (ekuitas),
pendapatan dan belanja untuk organisasi pemerintah. Kepmendagri No. 29 Tahun
2002 meskipun belum ideal dan dalam beberapa hal masih terdapat kelemahan,
tapi juga bagi daerah cukup membantu, terutama dalam tahap awal implementasi
sistem anggaran kinerja dan sistem akuntansi keuangan daerah. UU No. 17/2003
juga secara eksplisit menegaskan tentang pengguanaan akuntansi akrual,
demikian juga dengan PP No. 24/2005 tentang standar Akuntansi Pemerintahan.
Munculnya PP No. 24/2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan merupakan
penyempurnaan dari Kepmendagri No. 29/2002 dilihat dari aspek akuntansinya.
Dalam PP No. 24/2005 ini, basis pencatatan akuntansi yang digunakan sudah
diarahkan menuju akrual. Memang unit kerjanya dimungkinkan menggunakan
basis akrual sepenuhnya, namun untuk pencatatan akuntansi pendapatan, belanja
dan pembiayaan perlu dilakukan penyesuaian ke basis kas di akhir periode.

Untuk memberikan kesan bahwa PP No. 24/2005 tersebut masih

8
memberikan ruang gerak untuk melakukan transisi dari Kepmendagri No. 29/
2002 dengan pendekatan basis kas modifikasian, maka istilah yang kemudian
dimunculkan adalah pendekatan kas menuju akrual (cash towards accrual).
Dengan kenyataan tersebut , sebenarnya PP No. 24/ 2005 itu belum ideal. Karena
adanya perbedaab basis akuntansi untuk akun riil (neraca) dan akun nominal
(laporan realisasi anggaran) dapat menimbulkan permasalahan teknis pencatatan
akuntansinya.

Permasalahan yang muncul terkait dengan reformasi menuju akrual


tersebut diantaranya :
1. Masalah SDM terkait dengan masih kurangnya tenaga akuntan di daerah.
2. Masih rendahnya dukungan Teknologi Informasi di daerah.
3. Masih rendahnya tingkat penggunaan laporan keuangan daerah
untuk pengambilan keputusan.
4. Belum adanya penghargaan (reward) yang masih memadai bagi daerah
yang memiliki sistem informasi akuntansi daerah yang baik.
5. Masih tingginya ancaman korupsi sistematik di daerah yang dapat
menggagalkan implementasi akrual.

9
BAB III

PENUTUP

3. 1 Kesimpulan

Tujuan pelaksanaan otonomi daerah adalah mewujudkan sistem tata kelola


pemerintah yang baik (good governance) yang ditandai dengan meningkatnya
kemadirian daerah, adanya transparasi dan akuntabilitas publik,pemerintah
daerah yang semakin responsif terhadap masyarakat, meningkatny partisipasi
publik dalam pembangunan daerah, meningkanya efesiensi dan efektifitas
pengelolaan keuangan dan pelayanan publik serta meningkatnya demokratisasi
di daerah

Secara historis, reformasi anggaran keuangan daerah dapat dibagi dalam


tiga fase, yaitu: 1). era pra-otonomi daerah dan desentralisasi fiskal (1974-1999),
2) era transisi otonomi (2000-2003), dan 3) era pascatransisi (2004-2008).

Aspek utama reformasi anggaran keuangan daerah meliputi perubahan


sistem anggaran, perubahan kelembagaan pengelolaan keuangan daerah,
perubahan sistem akuntansi, dan perubahan basis akuntansi.

3. 2 Saran

Diharapkan dengan adanya reformasi ini, pengelolaan keuangan daerah


dapat berjalan dengan lebih baik sehingga tidak ada lagi penyimpangan yang
dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab dan menyebabkan masih
tingginyan ancaman korupsi sistematik di daerah sehingga dapat menggagalkan
implementasi akrual.

10
DAFTAR PUSTAKA
Mahmudi (2009) “Manajemen Keuangan Daerah” Buku Seri Membudayakan
Akuntabilitas Publik, Yogyakarta: Erlangga.

11

Anda mungkin juga menyukai