Oleh:
Kelompok II
1. Johanes
2. Rafel Pramana Putra
3. Nasrullah Muzhaffar Kamil Asri
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan kuasa
rahmat serta ilmu yang senantiasa diberikanNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
Makalah Mengenai “ Reformasi Anggaran Daerah“. Makalah ini disusun sebagai salah
satu upaya untuk memenuhi tugas mata kuliah Keuangan Daerah.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah Keuangan
Daerah yang telah membimbing terkait materi ini dalam mata kuliah tersebut. Penulis
menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan makalah ini masih terdapat banyak
kekurangan, untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan untuk
kesempurnaan penelitian yang akan datang. Penulis berharap semoga Makalah ini dapat
bermanfaat dan berguna bagi semua pihak.
Penulis
i
DAFTAR ISI
3. 1 Kesimpulan ...................................................................................................... 10
3. 2 Saran ................................................................................................................ 10
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang
Masalah Anggaran Keuangan daerah tidak terlepas dari perencanaan dan
pelaksanaan anggaran daerah oleh pemerintah daerah demi mewujudkan pelayanan
publik yang sebaik-baiknya. Di era otonomi ini, masing-masing daerah memiliki
hak dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya
untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan.
Kualitas pelayanan yang baik tergantung pada kelancaran pemerintah daerah dalam
hal pendanaan untuk belanja dan membiayai semua aktivitas kepemerintahan.
Banyaknya aktivititas yang harus didanai dan dengan terbatasnya sumber dana,
mengharuskan pemerintah daerah untuk lebih bijak dalam membelanjakan sumber
dananya. Optimalisasi sumber dana harus dilakukan sebaik mungkin guna
ketersediaannya kepada satuan-satuan kerja yang memberikan pelayanan kepada
publik. Untuk mencapai pengelolaan keuangan daerah yang efektif, efisien,
transparan, dan akuntabel, bupati/walikota wajib melakukan pengendalian atas
penyelenggaraan kegiatan pemerintahan. Tuntutan transparansi dan akuntabilitas
pada laporan keuangan pemerintah daerah harus diimbangi dengan adanya suatu
sistem yang mengatur dan mengelola keuangan daerah. Penerapan sistem
pengendalian intern pemerintah (SPIP) dan sistem akuntansi pemerintah daerah.
1. 2 Rumusan Masalah
1. Bagaiamana Perkembangan Reformasi Anggaran Daerah?
2. Apa Saja Aspek-aspek Utama Reformasi Manajemen Keuangan Daerah?
1. 3 Tujuan Penulisan
1. Untuk Mengetahui Perkembangan Reformasi Anggaran Daerah
2. Untuk Mengetahui Aspek-aspek Utama Reformasi Manajemen Keuangan
Daerah
1
BAB II
PEMBAHASAN
2. 1 Perkembangan Reformasi Anggaran Daerah
Reformasi manajemen keuangan daerah di Indonesia dapat dikatakan
cukup terlambat hampir dua dasawarsa dibandingkan dengan reformasi yang
telah dilakukan oleh negara-negara maju di Eropa dan Amerika Serikat.
Pemerintah Indonesia juga termasuk terlambat jika dibandingkan dengan negara
tetangga seperti Malaysia, Filipina, Singapura, dan Selandia Baru yang sudah
sejak tahun 1970an dan 1980an telah melakukan serangkaian reformasi dibidang
manajemen keuangan publik. Singapura misalnya, telah menggunakan anggaran
berbasis kinerja (peformance budget) sejak tahun 1980an, sedangkan pemerintah
daerah di Indonesia baru menerapkannya pada tahun 2001. Pemerintah Inggris
telah memulai mereformasi sektor publiknya dengan konsep New Public
Management sejak tahun 1980an. Amerika Serikat menggunakan anggaran
dengan pendekatan Planning (PBBS) secara luas tahun 1965 dan Zero Base
Budgeting (ZBB) tahun 1973. Selandia Baru secara radikal menggunakan
akutansi akrual sejak tahun1990an. Meskipun relatif terlambat, reformasi
manajemen keuangan sektor publik di Indonesia dapat dikatakan mengalami
kemajuan yang cukup pesat.
Jika dilihat dari aspek historis, perjalanan reformasi manajemen keuangan
daerah di Indonesia dapat dibagi dalam tiga fase, yaitu: 1) era pra-otonomi daerah
dan desentralisasi fiskal (1974-1999), 2) era transisi otonomi (2000-2003), dan
3) era pascatransisi (2004-sekarang). Era pra-otonomi daerah merupakan
pelaksanaan otonomi ala Orde Baru berdasarkan UU No. 5 Tahun 1974 yang
bersifat sentralistis,top down planning dan budgeting, penggunaan anggaran
tradisional, rezim anggaran berimbang (balance budget), sistem pembekuan
tunggal (single entry) dan akutansi basis kas (cash basis) Selama masa pra-
otonomi daerah dan desentralisasi fiskal tersebut praktis belum ada sistem
akutansi keuangan daerah yang baik, yang ada baru sebatas tata buku.
Pengelolaan keuangan daerah mendasarkan pada buku Manual Administrasi
Keuangan Daerah (MAKUDA) tahun 1981 yang ada esensinya belum meru
pakan sistem akuntansi, tetapi sekadar penatausahaan keuangan atau tata buku.
2
Era otonomi semu ini berlangsung selama 25 tahun sampai dengan
pelaksanaan otonomi luas dan nyata berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 dan UU
No. 25 Tahun 1999 yang bersifat desentralisasi, bottom up (participative )
planning & budgeting, penggunaan anggaran berbasis kinerja, sistem pembukuan
berpasangan (double entry bookeeping), dan akutansi basis kas modifikasian
(modifiedcash basis).
5
6. Pejabat Penatausahaan Keuangan Satuan Kerja Perangkat Daerah (PPK-
SKPD)
7. Bendahara Penerimaan/Pengeluaran SKPD
8. Bendahara Penerimaan/ Pengeluaran Pembantu
9. Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK)
Keempat pendekatan ini pada dasarnya bersifat continuum dari basis kas
sampai basis akrual. Perbedaan Basis kas Akuntansi tersebut berkaitan dengan
penetapan waktu pengakuan dan pengukuran suatu transaksi (timing of
recognition).
Basis Kas mengakui dan mencatat transkasi pada saat kas diterima/
dikeluarkan. Basis Kas tidak mencat utang, piutang dan aktiva secara
komprehensif. Akuntansi basis kas digunakan untuk menunjukan ketaatan pada
anggaran belanja (spending limits). Akuntansi basis kas mempunyai kelemahan,
yaitu menghasilkan laporan keuangan yang kurang komprehensif untuk
pengambilan keputusan serta tidak dapat menggambarkan kinerja organisasi
secara lebih baik. Dan tidak mampu memberikan informasi aset, utang-piutang,
dan ekuitas secara komprehensif.
Pemerintah daerah bias saja langsung pindah dar basis kas ke basis akrual.
Namun Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 mengatur pemerintah daerah untuk
menggunakan basis kas modifikasian, yaitu kombinasi dasar kas dengan akrual.
Berdasrkan basis kas tersebut, transaksi penerimaan kas atau pengeluaran kas
dibukukan pada saat uang diterima/ dibayarkan (basis kas). Dan pada akhir
periode dilakukan penyesuaian untuk menghasilkan neraca yaitu dengan cara
7
mengakui transaksi dan kejadian dalam periode berjalan walaupun penerimaan/
pengeluaran kas belum terealisir. Dengan demikian, pencatatan anggaran
menggunakan basis kas, sedangkan untuk menghasilkan laporan neraca di akhir
periode akuntansi digunakan basis akrual.
Perubahan secara langsung dari basis kas menjadi basis akrual akan bersifat
radikal, padahal selama bertahun-tahun basis kas telah mendarah daging bagi
pegawai keuangan pemerintah daerah. Penerapan secara langsung basis akrual
membutuhkan daya dukung teknologi serta sumber daya manusia yang memiliki
latar belakang pendidikan akuntansi yang memadai. Permasalahan penerapan
basis akuntansi bukan sekedar masalah teknis akuntansi, yaitu bagaimana
mencatat transaksi dan menyajikan laporan keuangan, tapi yang lebih penting
adalah bagaimana menentukan kebijakan akuntansi (accounting policy),
perlakuan akuntansi untuk suatu transaksi (accounting treatment), pilihan
akuntansi (accounting choice) dan mendesain/ menganalisis sistem akuntansi
yang ada.
8
memberikan ruang gerak untuk melakukan transisi dari Kepmendagri No. 29/
2002 dengan pendekatan basis kas modifikasian, maka istilah yang kemudian
dimunculkan adalah pendekatan kas menuju akrual (cash towards accrual).
Dengan kenyataan tersebut , sebenarnya PP No. 24/ 2005 itu belum ideal. Karena
adanya perbedaab basis akuntansi untuk akun riil (neraca) dan akun nominal
(laporan realisasi anggaran) dapat menimbulkan permasalahan teknis pencatatan
akuntansinya.
9
BAB III
PENUTUP
3. 1 Kesimpulan
3. 2 Saran
10
DAFTAR PUSTAKA
Mahmudi (2009) “Manajemen Keuangan Daerah” Buku Seri Membudayakan
Akuntabilitas Publik, Yogyakarta: Erlangga.
11