Anda di halaman 1dari 29

REFORMASI MANAJEMEN

KEUANGAN DAERAH

LUCIA EVIANTI PATULAK, S.E., M.M


Page 1
Poin yang akan dibahas :
1. Perkembangan Reformasi
Manajemen Keuangan Daerah

2. Aspek Utama Reformasi


Manajemen Keuangan Daerah

Page 2
Perkembangan sistem tata Kelola pemerintah
di Indonesia dalam satu dasawarsa terakhir
(1998 s.d 2008) mengalami kemajuan yang
pesat.

Dalam kurun waktu yang relatif singkat,


pemerintah Indonesia telah melewati
serangkaian proses reformasi sektor publik,
khususnya reformasi manajemen keuangan
daerah.

Tonggak sejarah reformasi manajemen


keuangan daerah ditandai dengan pelaksanaan
otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang
dimulai 1 januari 2001.

Page 3
Tujuan pelaksanaan otonomi daerah tersebut
secara umum adalah untuk:

Meningkatkan kemandirian daerah,


Memperbaiki transparasi dan akuntabilitas
publik atas pengelolaan keuangan daerah,
 Meningkatkan responsivitas pemerintah
terhadap kebutuhan publik,
 Meningkatkan partisipasi publik dalam
pembangunan daerah,
Meningkatkan efisiensi dan efektivitas
pengelolaan keuangan dan pelayanan publik,
serta mendorong demokratisasi di daerah.

Page 4
Perkembangan Reformasi
Manajemen Keuangan Daerah

Reformasi manajemen keuangan daerah di


Indonesia dapat dikatakan cukup terlambat
hampir dua dasawarsa dibandingkan dengan
reformasi yang telah dilakukan oleh negara-
negara maju di Eropa dan Amerika Serikat.

Pemerintah Indonesia juga termasuk terlambat


jika dibandingkan dengan negara tetangga
seperti Malaysia, Filipina, Singapura dan Selandia
Baru yang sudah sejak tahun 1970an dan 1980an
telah melakukan serangkaian reformasi di bidang
manajemen keuangan publik.
Page 5
Perkembangan Reformasi
Manajemen Keuangan Daerah
Dilihat dari aspek historis, perjalanan
manajemen keuangan daerah di Indonesia
dibagi dalam 3 fase:
1.Era pra-otonomi daerah dan
desentralisasi fiskal (1974-1999)
2.Era transisi otonomi (2000-2003)
3.Era pascatransisi (2004 sampai
sekarang)

Page 6
1. Era pra-otonomi daerah dan
desentralisasi fiskal (1974-1999)

Era pra-otonomi daerah merupakan


pelaksanaan otonomi ala Orde Baru
berdasarkan UU. No.5 Tahun 1974 yang
bersifat sentralis, top down planning dan
budgeting, penggunaan anggaran
tradisional, sistem pembukuan tunggal dan
akuntansi basis kas.

Page 7
1. Era pra-otonomi daerah dan
desentralisasi fiskal (1974-1999)

Selama masa pra-otonomi daerah dan


desentralisasi fiskal tersebut praktis belum
ada sistem akuntansi keuangan daerah yang
baik, yang ada baru sebatas tata buku.

Pengelolaan keuangan daerah mendasarkan


pada buku Manual Administrasi Keuangan
Daerah (MAKUDA) tahun 1981 yang pada
esensinya belum merupakan sistem
akuntansi, tetapi sekedar penatausahaan
keuangan atau tata buku.

Page 8
2. Era transisi otonomi (2000-2003)

Era pra-otonomi berlangsung selama 25


tahun (1974-1999) sampai dengan
pelaksanaan otonomi luas dan nyata
berdasarkan UU Np. 22 tahun 1999 dan UU
No. 25 Tahun 1999 yang bersifat
desentralisasi, bottom up (participative)
planning and budgeting, penggunaan
anggaran berbasis kinerja, sistem
pembukaan berpasangan.

Page 9
2. Era transisi otonomi (2000-2003)
Reformasi manajemen keuangan daerah mulai
dilaksanakan setelah diberlakukannya UU No.22 Tahun
1999 dan UU No.25 tahum 1999.

Sebagai upaya konkret, pemerintah mengeluarkan PP


No.105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan
Pertanggungjawaban Kepala Daerah dalam
Pengelolaan Keuangan Daerah.

Sementara itu dikeluarkan pula petunjuk teknis dan


petunjuk pelaksanaan PP No. 105 Tahun 2000, serta
untuk secara bertahap mengganti model tata buku
sebagaimana dalam Manual Administrasi Keuangan
Daerah menjadi sistem Akuntansi, Pemerintah
mengeluarkan Kepmendagri No. 29 Tahun 2002.

Kepmendagri N0.29 Tahun 2002 tersebut menandai


era transisi otonomi menuju sistem yang lebih ideal.
Page 10
2. Era transisi otonomi (2000-2003)

Era transisi otonomi adalah masa antara


tahun 2000 hingga 2003 yang merupakan
masa awal implementasi otonomi daerah.

Masa transisi otonomi ini ditandai dengan


masih belum mantapnya perangkat hukum,
kelembagaan, infrastruktur dan sumber
daya manusia daerah dalam mewujudkan
otonomi daerah.

Page 11
2. Era transisi otonomi (2000-2003)

Dalam masa transisi ini masih sering terjadi


uji coba sistem baru, belum mantapnya
sistem sehingga sering terjadi revisi
peraturan perundangan di bidang
pengelolaan keuangan negara/daerah.

Peraturan perundangan yang menonjol


dalam era ini adalah Kepmendagri No.29
tahun 2002.

Page 12
3. Era pascatransisi (2004 sampai
sekarang)

Era pascatransisi adalah masa setelah


diberlakukannya paket peraturan
perundangan yang merupakan suatu
peraturan menyeluruh dan komprehensif
mulai dari perencanaan, pelaksanaan,
pelaporan, pengendalian dan evaluasi
kinerja atas pengelolaan keuangan daerah.

Page 13
Perkembangan Peraturan Perundangan
Terkait Manajemen Keuangan daerah

Pra-otonomi Daerah dan Transisi otonomi Pascatransisi Otonomi (Reformasi


Desentralisai Fisikal (Reformasi Tahap 1) Tahap 2)
UU No. 17 Thn 2003
UU No. 5 Thn 1974 UU No. 22 Thn 1999
UU No. 1    Thn 2004
UU No. 25 Thn 1999
UU No. 15  Thn 2004
UU No. 25  Thn 2004
UU No. 32 Thn 2004
UU No. 33 Thn 2004
PP No. 5 Thn 1975 PP No. 105 Thn 2000 UU No. 24 Thn 2005
PP No. 6 Thn 1975 PP No. 108 Thn 2000 UU No. 58 Thn 2005
Kepmendagri No. 29
Manual Administrasi Permendagri No. 13 Tahun 2006
Thn 2002
Keuangan Daerah (Direvisi menjadi Permendagri No.
Peraturan Daerah :
(MAKUDA 1981) 59 Tahun 2007)
Pokok-pokok Pengelolaan
Keuangan Daerah
Peraturan KDH
Page 14
Aspek Utama Reformasi
Manajemen Keuangan Daerah

1) Perubahan Sistem Anggaran


2) Perubahan Kelembagaan
Pengeloalaan Keuangan
Daerah
3) Perubahan Sistem Akuntansi
Keuangan Daerah
4) Perubahan dari Basis Kas
Menuju Akrual (Cash Towards
Accrual)

Page 15
1. Perubahan Sistem Anggaran

Perubahan pertama yang dilakukan sebagai


Langkah reformasi keuangan daerah adalah
mengubah sistem penganggaran.

Perubahan sisten penganggaran tersebut


meliputi perubahan dalam proses
penganggaran dan perubahan struktur
anggaran.

Page 16
1. Perubahan Sistem Anggaran

Perubahan proses penganggaran terkait


dengan perubahan proses penyusunan
anggaran yang sebelumnya bersifat
sentralis dan top down diubah menjadi
sistem anggaran partisipatif.

Jika sebelumnya program pembangunan


lebih banyak ditentukan oleh pemerintah
pusat melalui Bappenas, maka dengan
otonomi luas dan nyata pemerintah daerah
diberi kewenangan penuh untuk
menentukan program pembangunan sesuai
dengan kebutuhan daerah.
Page 17
1. Perubahan Sistem Anggaran
Perubahan sistem penganggaran kinerja di
pemerintah daerah telah membawa perubahan yang
radikal terkait dengan perubahan dalam
perencanaan anggaran, pengisian anggaran dan
pelaporan anggaran.

Pada anggaran tradisional, kinerja anggaran disusun


diukur dari sisi inputnya, yakni dilihat dari
kemampuannya dalam penyerapan anggaran. Jika
satuan kerja dan pemerintah daerah secara
keseluruhan dapat menyerap anggaran, maka hal itu
dinilai berhasil.

Sebaliknya apabila anggaran tidak terserap


seluruhnya sehingga menimbulkan sisa anggaran
maka hal itu dinilai kurang berhasil.

Page 18
1. Perubahan Sistem Anggaran
Anggaran yang tidak terserap (sisa anggaran) harus
dikembalikan lagi ke rekening kas negara dan
sebagai konsekuensinya anggaran satuan kerja
tersebut untuk tahun berikutnya terancam tidak
akan ditambah bahkan bisa dikurangi.

Akibatnya pemerintah daerah dan satuan kerja


dibawahnya selalu berorientasi pada upaya
menghabiskan anggaran agar anggaran mereka tidak
dipotong.

Namun dengan digunakannya anggaran kinerja,


perilaku seperti itu tidak perlu terulang lagi, sebab
anggaran kinerja tidak lagi berorientasi input, yaitu
habis tidaknya anggaran, tetapi lebih berorientasi
pada hasil kinerja yaitu output dan outcome
anggaran.
Page 19
2. Perubahan Kelembagaan
Pengelolaan Keuangan Daerah

Perubahan sistem penganggaran berupa


penggunaan anggaran berbasis kinerja
berimplikasi pada perubahan kelembagaan
pengelolaan keuangan daerah.

Penataan ulang kelembagaan pengelolaan


keuangan daerah itu bukan saja
menyesuaikan sistem anggaran yang baru,
tetapi juga dimaksudkan untuk mendukung
tercapainya tujuan desentralisasi fiskal.

Page 20
2. Perubahan Kelembagaan
Pengelolaan Keuangan Daerah
Beberapa perubahan kelembagaan pengelolaan keuangan
daerah tersebut antara lain:

Perubahan pengelolaan keuangan di pemerintah


daerah menjadi sistem desentralisasi ke masing-
masing satuan kerja.

Konsekuensinya setiap satuan kerja perangkat daerah


harus menyelenggarakan akuntansi dan Menyusun laporan
keuangan satuan kerja bersangkutan yaitu berupa Laporan
Realisasi Anggaran, Neraca, dan Catatan Atas Laporan
Keuangan.

Bagian Keuangan (BPKD) selanjutnya bertugas


mengkosolidasikan laporan keuangan seluruh satuan kerja
yang ada menjadi Laporan Keuangan Pemerintah Daerah.

Page 21
3. Perubahan Sistem Akuntansi
Keuangan Daerah
Untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas
publik dalam rangka mendukung pelaksanaan
otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, maka
diperlukan reformasi akuntansi sector publik di
Indonesia.

Reformasi akuntansi tersebut merupakan salah satu


agenda penting dari reformasi manajemen keuangan
daerah.

Aspek yang diperlukan dalam reformasi akuntansi


adalah perlunya dimiliki standar akuntansi
pemerintahan dan perlunya dilakukan perubahan
sistem akuntansi, yaitu perubahan dari single entry
menjadi double entry.
Page 22
3. Perubahan Sistem Akuntansi
Keuangan Daerah
Single entry pada awalnya digunakan sebagai dasar
pembukuan di pemerintah karena single entry
mudah dan praktis.

Seiring dengan semakin tingginya tuntukan


diciptakannya good governance yang mensyaratkan
adanya transparansi dan akuntabilitas dalam
pengelolaan keuangan publik, perubahan dari sistem
single entry menjadi double entry dipandang sebagai
solusi yang mendesak untuk diterapkan.

Hal ini disebabkan penggunaan single entry tidak


dapat memberikan informasi yang komprehensif dan
mencerminkan kinerja yang sesungguhnya.

Page 23
3. Perubahan Sistem Akuntansi
Keuangan Daerah
Pengaplikasian pencatatan transaksi dengan sistem
double entry ditujukan untuk menghasilkan laporan
keuangan yang lebih mudah untuk dilakukan audit
dan pelacakan antara bukti transaksi, catatan dan
keberadaan kekayaan, utang dan ekuitas organisasi.

Kedua hal ini merupakan faktor utama untuk


menghasilkan informasi keuangan yang dapat
dipertanggungjawabkan kepada publik.

Dengan sistem double entry, maka pengukuran


kinerja dapat dilakukan secara lebih komprehensif.

Page 24
4. Perubahan Basis Pencatatan
Akuntansi
Perubahan dari single entry menuju double entry
akan lebih cepat memberikan pengaruh terhadap
penguatan akuntabilitas publik apabila diikuti
dengan perubahan basis pencatatan transaksi
akuntansi.

Selama ini, basis pencatatan akuntansi yang


digunakan pada hampir semua lembaga
pemerintahan di Indonesia adalah basis kas.

Basis kas dinilai mengandung banyak kelemahan.


Memang setiap basis akuntansi yang digunakan,
entah basis kas, basis kas modifikasi, akrual
modifikasian maupun basis akrual masing-masing
memiliki keunggulan dan kelemahan.
Page 25
4. Perubahan Basis Pencatatan
Akuntansi
Keunggulan basis kas adalan dapat mencerminkan
pengeluaran yang aktrual, riil dan objektif.

Namun basis kas memiliki kelemahan yang


mendasar, yaitu tidak dapat mencerminkan kinerja
yang sesungguhnya karena dengan basis kas tidak
dapat diukur tingkat efisiensi dan efektivitas suatu
kegiatan, program, atau aktivitas dengan baik.

Perubahan teknik akuntansi dari basis kas menjadi


aktrual bertujuan agar pemerintah daerah dapat
menghasilkan laporan keuangann yang lebih dapat
dipercaya, akurat,komprehensif dan relavan untuk
pengambilan keputusan ekonomi, sosial dan politik.

Page 26
Rangkuman Materi
1) Tujuan pelaksanaan otonomi daerah adalah
mewujudkan sistem tata Kelola pemerintahan yang
baik (good governance) yang ditandai dengan
meningkatnya kemandirian daerah, adanya
transparasi dan akuntabilitas publik, pemerintah
daerah yang semakin responsif terhadap masyarakat,
meningkatnya partisipasi publik dalam
pembangunan daerah, meningkatnya efisiensi dan
efektivitas pengelolaan keuangan dan pelayanan
publik, serta meningkatnya demokratisasi di daerah.

1) Secara historis, reformasi manajemen keuangan


daerah di Indonesia dapat dibagi dalam tiga fase,
yaitu 1) era pra otonomi daerah dan desentraliasi
fiscal (1974-1999), 2) era transisi otonomi (2000-
2003), dan 3) era pascatransisi (2003-2008)
Page 27
Rangkuman Materi
3) Aspek utama refomasi manajemen keuangan daerah
meliputi perubahan sistem anggaran,perubahan
kelembagaan pengelolaan keuangan daerah,
perubahan sistem akuntansi, dan perubahan basis
akuntansi.

Page 28
-END-

Page 29

Anda mungkin juga menyukai