Anda di halaman 1dari 11

BAB 1

REFORIVIASI IV1ANAJEMEN
KEUANGAN EAERAH

. Perkembangan Reformasi Manajemen Keuangan Daerah


n Aspek Utama Reformasi Manajemen Keuangan Daerah
7 Bab I Rcljrmu,si lvlona j':nu:rr Ktuottgdn [)ttt'rult

f,lerkembangan sistem tata kelola pemerintahan di lndonesia dalam satu dasawarsa terakhir (1998 s.d.
I 200u ) mengalami kemajuan yang sansat pesat. Daiam kurun 'waktu yang relatif singkat, pemerintah
trndonesia telah melewati serangkiian proses reformasi sektor publik, khususnya reformasi manajemen
keuangan daerah. Pada dasarnya refbrmasi manajemen keuangan daerah tersebut merupakan suatu
berkah (blessing in disguised') dari gerakan reformasi yang digelorakan pada tahun 1998 setelah
Indonesia mengalami krisis multidimensi. Tonggak sejarah reformasi manajemen keuangan daerah
ditandai dengan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi flskal yang dimuiai 1 Januari 2001.
Tuiuan pelaksanaan otonomi daerah tersebut secara umum adalah untuk meningkatkan kemandirian
daerah, memperbaiki transparansi dan akuntabilitas publik atas pengelolaan keuangan daerah,
meningkatkan responsivitas pemerintah terhadap kebutuhan publik, meningkatkan paftisipasi publik
dalam pembangunan daerah, meningkertkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan keuangan dan
pelayanan publik, sefta mendorong demokratisasi di daerah.

!'',i:Mrlnaiemen Keuangan Daerah

Reformasi manajemen keuangan daerah di Indonesia dapat dikatakan cukup terlambat hampir dua
dasarvarsa dibandingkan dengan reformasi yang telah dilakukan oleh negara-negara maju di Eropa
dan Amerika Serikat. Pemerintah Indonesia juga termasuk terlambat jika dibandingkan dengan
negara tetangga seperti Malaysia, Filipina, Singapura, dan Selandia Baru yang sudah sejak tahun
19l0an dan 1980an telah melakukan serangkaian refbrmasi di bidang manajemen keuangan publik.
Singapura misalnya, telah menggunakan anggaran berbasis kinerja Qterformance budget) sejak tahun
1980an, sedangkan pemerintah daerah di Indonesia baru menerapkannya tahun 2001. Pemerintah
Inggris telah memulai mereformasi sektor pubiiknya dengan konsep New Public Management sejak
tahun 1980an. Amerika Serikat menggunakan anggaran dengan pendekatan Planning Programming
Budgeting System, (PPBS) secara luas tahun 1965 dan Zero Base Budgeting (ZBB) tahun 1973.
Selandia Baru secara radikal menggunakan akuntansi akruai sejak tahun 1990an. Meskipun relatif
terlambat, reformasi nranajemen keuangan sektor publik di Indonesia dapat dikatakan mengalami
kemajuan yang cukup pesat.
Jika dilihat dari aspek historis, perjalanan reformasi manajemen keuangan daerah di Indonesia
dapat dibagi dalam tiga fase, yaitu: 1) era pra-otonomi daerah dan desentralisasi Iiskal (1914-1999),
2) era transisi otonomi (2000-2003), dan 3) era pascatransisi (2004-sekarang). Era pra-otonomi daerah
merupakan pelaksanaan otonomi ala Orde Baru berdasarkan UU No. 5 Tahun 1974 yang bersifat
sentralistis, top down planning dan budgeting, penggunaan anggaran tradisional, rezim anggaran
berimbang (balance budget), sistem pembukuan tunggal (single entry) dan akuntansi basis kas (caslr
basls). Selama masa pra-otonomi daerah dan desentralisasi fiskal tersebut praktis belum ada sistem
akuntansi keuangan daerah yang baik, yang ada baru sebatas tata buku. Pengelolaan keuangan daerah
mendasarkan pada buku Manual Administrasi Keuangan Daerah (MAKUDA) tahun 1981 yang pada
esensinya belum merupakan sistem akuntansi, tetapi sekadar penatausahaan keuangan atau tata
buku"
Era otonomi semu ini berlangsung selama 25 tahun sarnpai dengan pelaksanaan otonomi luas dan
nyata berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999 yang bersifat desentralisasi,
bottom up (participative) planning & budgeting, penggunaan anggaran berbasis kinerja, sistem
pembukuan berpasangan (.double entry bookkeeping), dan akuntansi basis kas modilikasian (modiJied
cash bttsis).
Reformasi manajemen keuangan daerah mulai dilaksanakan setelah diberlakukannya UU No.
22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999. Sebagai upaya konkret, pemerintah mengeluarkan PP
No. i05 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah dan PP No.
108 Tahun 2000 tentang Pertanggungjawaban Kepala Daerah dalam Pengelolaan Keuangan Daerah.
Sementara itu dikeluarkan pula petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan PP No. 105 Tahun 2000,
serta untuk secara bertahap mengganti model tata buku sebagaimana dalam Manual Administrasi
Keuangan Daerah menjadi sistem akuntansi, pemerintah mengeluarkan Kepmendagri No. 29 Tahun
2002. Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 tersebut menandai era transisi otonomi menuju sistem yang
lebih ideal.
Era transisi otonomi adalah masa antara tahun 2000 hingga 2003 yang merupakan masa ar,val
implementasi otonomi daerah. Masa transisi otonomi ini ditandai dengan masih belum manrapnya
perangkat hukum, kelembagaan, infiastruktur, dan sumber daya manusia (SDM) daerah cialam
mewujudkan tujuan otonomi daerah. Dalam masa transisi ini masih sering terjadi uji coba sistem baru,
belum mantapnya sistem sehingga sering terjadi revisi peraturan perundangan di bidang pengelolaan
keuangan negaraldaetah. Peraturan perundangan yang menonjol dalam era ini adalah keptnenOagri
No. 29 Tahun 2002.
Era pascatransisi adalah masa setelah diberlakukannya paket peraturan perundangan yang
merupakan suatu peraturan menyeluruh dan komprehensif (omnibus regulations) mulai dari perencanaan,
pelaksanaan, pelaporan, pengauditan, dan evaluasi kinerja atas pengelolaan keuangan daerah. paket
peraturan perundangan yang merupakan omnibus reguLations itu antara lain:

l. UU No. l7 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang menggantlkan Indische Comptabiliteit.swer
(ICW) warisan Pemerintah Hindia Belanda
2. UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
3. UU No. 15 Tahun 2004 tentang pemeriksaan pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan
Negara
4. UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
5. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (merupakan revisi UU No. 22 Tahun
r999)
6. UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah
(revisi UU No. 25 Tahun 1999)
7. PP No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi pemerinrah
8. PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah
9. PP No. 8 Tahun 2006 tentang Laporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah
10. PP No. 3 Tahun 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (LPPD) Kepada
Pemerintah, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Kepada DPRD, dan Infbrmasi
LPPD Kepada Masyarakat
11. Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah
12. Permendagri No. 59 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Permendagri No. 13 Tahun 2006

TABEL 1.1 Perkembangan Peraturan Perundangan Terkait Manajemen Keuangan Daerah

@ ffi
I uu Nto. zs rahun rggg
17
UU No.
1
UU No.
Tahun 2003
Tahun 2004

ffi pp rgzs @
I

UU
15
UU No.
No.25
Tahun
Tahun
2004
2004
I Nro. o ranun
I

I PP No. 108 Tahun 2000 UU No.32 Tahun 2004


I UU No.33 Tahun 2004

@
Manual Administrasi
Keuangan Daerah
(MAKUDA 1981) rahun 2002 ffi 2oo5
I I I uu No. 5s rahun
I

Peraturan Daerah: Permendagri No.13


Pokok-Pokok,Pengelolaan Tahun 2006 (Direvisi
Keuangan Daerah menjadi Permendagri
No. 59 Tahun 2007)
4i ,ii:iill gab I Relbrmasi Manujemen Keuangan Daerah.

men Keuangan Daerah


Aspek utama reformasi manajemen keuangan daerah meliputi:
t. perubahan sistem anggaran dari sistem anggaran tradisional menjadi sistem anggaran berbasis
prestasi kerja;
2. perubahan kelembagaan pengelolaan keuangan daerah dari sistem sentralisasi pada bagian
keuangan sekretariat daerah menjadi sistem desentralisasi ke masing-masing satuan kerja;
3. perubahan sistem akuntansi dari sistem tata buku tunggal (single entry bookkeeping) menjadi
sistem tata buku berpasangan (double entrt' bookkeeping);
4. perubahan basis akuntansi dari basis kas (caslz basls) menjadi basis akrual (accrual basis).

Perubahan Sistem Anggaran


Perubahan peftama yang dilakukan sebagai langkah refotmasi keuangan daerah adalah mengubah sistem
penganggaran. Perubahan sistem penganggaran tersebut meliputi perubahan dalam proses penganggaran
dan perubahan struktur anggaran. Perubahan proses penganggaran terkait dengan perubahan proses
penyusunan anggaran yang sebelumnya bersifat sentralistis dan top down diubah menjadi sistem
anggaran partisipatif (bottom up/participative budget). Jika sebelumnya program pembangunan lebih
banyak ditentukan oleh pemerintah pusat melalui Bappenas, maka dengan otonomi luas dan nyata
pemerintah daerah diberi kewenangan penuh untuk menentukan program pembangunan sesuai dengan
kebutuhan daerah. Jika sebelumnya APBD harus disahkan oleh presiden melalui menteri dalam negeri.
maka dengan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal APBD cukup disahkan oleh DPRD.
Perubahan sistem anggaran tidak saja menyangkut proses penganggarannya. tetapi juga perubahan
struktur anggaran. Struktur anggaran diubah dari struktur anggaran tradisional dengan pendekatan
anggaran berimbang menjadi struktur anggaran baru dengan pendekatan penganggaran berbasis kinerja
(performance based budgeting). Penganggaran berbasis kinerja merupakan pendekatan penganggaran
yang menekankan pentapaian hasil (outcome) dari program dan kegiatan yang dibiayai dengan APBD
dikaitkan dengan target kinerja terukur.
Penggunaan sistem penganggaran kinerja di pemerintah daerah telah membawa perubahan yang
radikal terkait dengan perubahan dalam perencanaan anggaran, pengisian anggaran, dan pelaporan
anggaran. Perubahan struktur anggaran ini secara manajerial berpengaruh terhadap perubahan paradigma
anggaran, sedangkan secara teknis berpengaruh terhadap kode rekening anggaran dan tata cara
pencatatannya. Klasifikasi belanja mengalami perubahan signifikan dari sistem lama. Dalam anggaran
kinerja dikenal pos pembiayaan yang sebelumnya tidak dikenal pada anggaran tradisional.
Pada anggaran tradisional, kinerja anggaran diukur dari sisi inputnya, yakni dilihat dari
kemampuannya dalam penyerapan anggaran. Jika satuan kerja dan pemerintah daerah secara
keseluruhan dapat menyerap anggaran, maka hal itu dinilai berhasil. Sebaliknya apabila anggaran
tidak terserap seluruhnya sehingga menimbulkan sisa anggaran maka hal itu dinilai kurang berhasil.
Anggaran yang tidak terserap (sisa anggaran) harus dikembalikan lagi ke rekening kas negara dan
sebagai konsekuensinya anggaran satuan kerja tersebut untuk tahun berikutnya terancam tidak akan
ditambah bahkan bisa dikurangi. Akibatnya pemerintah daerah dan satuan kerja di bawahnya selalu
berorientasi pada upaya menghabiskan anggaran agar anggaran mereka tidak dipotong. Namun dengan
digunakannya anggaran kinerja perilaku seperti itu tidak perlu terulang lagi, sebab anggaran kinerja
tidak lagi hanya berorientasi input, yaitu habis tidaknya anggaran, tetapi lebih berorientasi pada
hasil kinerja yaitu owtput dan outcome anggaran. Setiap anggaran dikaitkan dengan target kinerja
yang hendak dicapai, terdapat indikator kinerja yang jelas untuk mengukur keberhasilan anggaran,
meliputi indikator input, ouput, dan outcome. Apabila terjadi sisa anggaran pada akhir periode maka
sisa anggaran tersebut tidak akan lagi "hangus", tetapi dapat digunakan sebagai sumber pembiayaan
untuk tahun anggaran berikutnya yang masuk dalam kategori Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran
(siLPA).
Manajemen Keuangan Daerah .:i .ffi:,j

SiLPA merepresentasikan sisa kas yang timbul karena realisasi pendapatan daerah yang melebihi
realisasi belanja daerah. Ada tidaknya SiLPA dan besar kecilnya sangat tergantung pada tingkat
belanja yang dilakukan pemerintah daerah serta kinerja pendapatan daerah. Jika pada tahun anggaran
teftentu tingkat belanja daerah relatif rendah atau terjadi efisiensi anggaran, maka dimungkinkan akan
diperoleh SiLPA yang lebih tinggi. Tetapi sebaliknya jika belanja daerah tinggi, maka SiLpA yang
diperoleh akan semakin kecil, bahkan jika belanja daerah lebih besar daripada pendapatan daerah
sehingga menyebabkan terjadi defisit fiskal, maka dimungkinkan tidak terdapar SiLpA untuk tahun
anggaran bersangkutan tetapi justru terjadi Sisa Kurang Pembiayaan Anggaran (SiKpA). Dengan
demikian, keberadaan SiLPA tersebut memberikan sinyal adanya kinerja anggaran yang baik pada
tahun anggaran bersangkutan.

TABEL 1.2 Struktur Anggaran Tradisional

PENDAFAIAN JUMLAH BELANJA JUMLAH

PENERIMAAN DAERAH A. BELANJARUTIN


I. PENDAPATAN ASLI DAERAH a. Belanja Pegawai XXX
a. Pajak Daerah XXX b. Belanja Barang XXX
b. Retribusi Daerah XXX c. BelanjaPemeliharaan XXX
c. Bagian Laba Perusahaan Daerah XXX d. Belanja Perjalanan Dinas XXX
d. Lain-lain PAD XXX e. Belanja Lain-lain XXX

II. BAGIHASIL
f. Belanja Angsuran Utang/Bunga xxx
a. PBB S. Belanja Pensiun XXX

b, PBB-KB
XXX
XXX
h. Belanja Ganjaran, Subsidi, dan
Sumbangan
c. BPHTB XXX
i, Pengeluaran yang tidak termasuk
XXX

d. Bukan Pajak XXX


bagian lain XXX
III. SUMBANGAN DAN BANTUAN j. Pengeluaran yang tidak terduga XXX
a. Subsidi xxx
b. Ganjaran XXX B. BEI.ANJA PEMBANGUNAN
c. Bantuan Desa xxx a" lndustri XXX
d. Sumbangan Dati I XXX b. Pertanian dan Kehutanan XXX
e, Dana Fembangunan Dati ll XXX c. Sumber Daya Air dan lrigasi XXX
f. Bantuan APBD Tk I XXX d. Tenaga Kerja XXX
g. Bantuan Luar Negeri XXX Perdagangan, Pengembangan Usaha
Daerah, Keuangan Daerah dan Koperasi
B. PENERIMAAN PEMBANGUNAN t. Transportasi XXX
a.
Pinjaman Pemda XXX g. Pertambangap dan Energi XXX
b.
Piniaman BUMD XXX h. Pariwisata dan Telekomunikasi XXX
i^ Bangda XXX
c. KAS DAN PERHITUNGAN xxx i. Lingkungan Hidup dan Tata Ruang XXX
k. Pendidikan dan Kebudayaan XXX
t. Kependudukan xxx
m. Kesehatan/Kesra XXX
n. Permukiman XXX
o. Agama XXX
IPTEK XXX
q. Aparatur Pemerintah XXX
r. Politik XXX
s. Kamtib. Umum xxx
t. Program Daerah XXX
u. Bantuan Pembangunan Daerah XXX
n
Bawahan
XXX
Total Penerimaan xxx Total Pengeluaran XXX
II KLI!tltL\LtJt DLk ttlt

TABEL 1.0 Struktur Anggaran Kinerja lrerdasarkan Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 dan Permendagri No 59
Tahun 2007

KEPMENDAGRI NO. 29 TAHUN 2OO2 ] No. sgTAHUN 2oo?


t "ERMENDAGRT
l

PENDAPATAN PENDAPATAN
Pendapatan Asli Daerah XXX Pendapatan Asli Daerah XXX

XXX Dana Perimbangan XXX


Dana Perimbangan
Lain-lain Pendapatan Yang Sah XXX
Lain-lain Pendapatan Yang Sah XXX
xxx Total Pendapatan xxx
Total Pendapatan

BELANJA BELANJA
BELANJA APARATUR BELANJA TI DA.K LANGSUNG
XXX
A. Belanja Administrasi Umum: Belanja Pegawai
XXX
-Belania Pegawai XXX Belanja Bunga
Belanja Subsidi XXX
-Belanja Barang dan Jasa XXX
XXX
-Belanja Perlalanan Dinas XXX Belanja Hibah
Belanja Bantuan Sosial XXX
-Belania Pemeliharaan XXX
XXX
B. Belanja Operasi dan Pemeliharaan: Belanja Bagi Hasil
Belania Bantuan Keuangan XXX
-Belania Pegawai XXX
XXX
-Belanja Barang dan Jasa XXX Belanja Tidak Terduga
-Belanla Perjalanan Dinas XXX Total Belanja Tidak Langsung XXX

-Belanja Pemeliharaan XXX


C. Belanja Modal XXX BELANJA LANGSUNG
Belania Pegawai XXX
Belanja Barang dan Jasa XXX
BELANJA PUBLIK
XXX
A. Belanja Administrasi Umum: Belanja Modal
xxx
- Belanja Pegawai XXX Total Belania Langsung
- Belania Barang dan Jasa XXX
xxx
- Belanja Perjalanan Dinas XXX TOTAL BELANJA
- Belania Pemeliharaan XXX
xxx
B. Belanja Operasi dan Pemeliharaan: SURPLUSi{DEFlSlr)
- Belanja Pegawai XXX

- Belanja Barang dan Jasa XXX PEMBIAYAAN


- Belania Perjalanan Dinas XXX Penerimaan Pembiayaan
- Belania Pemeliharaan XXX Penggunaan SiLPA tahun lalu XXX

C. Belanja Modal XXX Pencairan Dana Cadangan XXX

D. Belanja Bantuan Keuangan XXX Penjualan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan XXX

E. Belanja Tak Terduga XXX Pinjaman Daerah XXX

Penerimaan Kembali Piniaman (Piutang) XXX

TOTAL BELANJA xxx Total Penerimaan PembiaYaan xxx

SURPLUS/(DEFISIT) xxx Pengeluaran Pembiayaan


Pembentukan Dana Cadangan XXX

PEMBIAYAAN Penyertaan Modal Pemerintah Daerah XXX

Penerimaan Pembiayaan Pembayaran Pokok Pinjaman XXX


XXX Pemberian Pinjaman XXX
S|LPA Tahun Lalu
Transfer dari Dana Cadangan XXX Total Pengeluaran Pembiayaan xxx
Penerimaan Pinjaman XXX
Penjualan Aset Tetap XXX PEMBIAYAAN NETO
Total Penerimaan PembiaYaan xxx
SiLPA Tahun Berkenaan
Pengeluaran Pembiayaan
SiLPA Tahun Berkenaan XXX
Transfer ke Dana Cadangan XXX
Pembayaran Pokok Pinjaman XXX
Penyertaan Modal XXX
Total Pengeluaran PembiaYaan xxx

TOTAL PEMBIAYAAN XXX


Manajemen Keuangan Daerah :;,,:tiii#iiii

Perubahan Kelembagaan Pengelolaan Keuangan Daerah


Perubahan sistem penganggaran berupa penggunaan anggaran berbasis kinerja berimplikasi pacla
perubahan kelembagaan pengelolaan keuangan daerah. Penataan ulang kelembagaan pengelolaan
keuangan daerah itu bukan saja untuk menyesuaikan sistem anggaran yang baru, tetapi juga dimaksudkan
untuk mendukung tercapainya tujuan desentralisasi fiskal. Beberapa perubahan kelembagaan pengelolaan
keuangan daerah tersebut antara lain:
a. Perubahan pengelolaan keuangan di pemerintah daerah dari sistem sentralisasi pada Bagian
Keuangan Sekretariat Daerah menjadi sistem desentralisasi ke masing-masing satuan kerja.
Konsekuensinya setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah harus menyelenggarakan akuntansi clan
menyusun Iaporan keuangan satuan kerja bersangkutan yaitu berupa Laporan Realisasi Anggaran,
Neraca, dan Catatan Atas Laporan Keuan-ean. Bagian Keuangan (BPKD) selanjutnya bertugas
mengkonsolidasikan iaporan keuangan seluruh satuan kerja yang ada menjadi Laporan Keuangan
Pemerintah Daerah.
b. Pejabat yang terkail dengan pengeloiaan keuangan daerah meliputi:
l. Kepala Daerah selaku Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Daerah
2. Sekretariat Daerah selaku Kuasa Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Daerah
sekaligus merupakan Koordinator Pengelolaan Keuangan Daerah
3. Kepala Badan Pengelola Keuangan Daerah (Biro/Bagian Keuangan) selaku Pejabat Pengelola
Keuangan Daerah (PPKD) sekaligus merupakan Bendahara Umum Daerah (BUD)
1. Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang
5. Kuasa Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Barang
6. Pejabat Penatausahaan Keuangan Satuan Kerja Perangkat Daerah (PPK-SKPD)
1. Bendahara Penerimaan/Pengeluaran SKPD
8. Bendahara Penerimaan/Pengeluaran Pembantu
9. Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK)
c. Digabungkannya fungsi pemungutan pendapatan daerah yang dilakukan oleh Dinas Pendapatan
Daerah dengan fungsi pengendalian belanja yang dilakukan oleh Biro/Bagian Keuangan dalam
satu lembaga, yaitu Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD). Peleburan fungsi penerimaan
dan pengeluaran dalam satu atap tersebut dimaksudkan agar perencanaan dan pengendalian
keuangan daerah menjadi lebih mudah dilakukan, komprehensif, dan tidak terfragmentasi.

Perubahan Sistem Akuntansi Keuangan Daerah


Untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas publik dalam rangka mendukung pelaksanaan
otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, maka diperlukan refbrmasi akuntansi sektor publik di
Indonesia. Reformasi akuntansi tersebut merupakan salah satu agenda penting dari reformasi mana.jemen
keuangan daerah. Aspek yang diperlukan dalam reformasi akuntansi tersebut adalah perlunya dimiliki
standar akuntansi pemerintahan dan perlunya dilakukan perubahan sistem akuntansi, yaitu perubahan
dari single entrt menjadt double entry.
Single entry pada ar'valnya digunakan sebagai dasar pembukuan di pemerintahan karena .sin11le
enlry cukup mudah dan praktis. Seiring dengan semakin tingginya tuntutan diciptakannya good
{iovernance yang mensyaratkan adanya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan kcuangan
publik, perubahan dari sistem single entrt menjadi tlouble entrt dipandang sebagai solusi yang
mendesak untuk diterapkan. Hal ini disebabkan penggunaan single entry tidak dapat membcrikan
informasi yang komprehensif dan mencerminkan kinerja yang sesungguhnya. Sistem single entrr-
juga telah ditinggalkan oleh banyak negara maju.
Pengapfikasian pencatatan transaksi dengan sistem doubLe entry ditujukan untuk menghasilkan
laporan keuangan yang lebih mudah untuk dilakukan audit (auclitable) dan pelacakan (.trut.eable\
antara bukti transaksi, catatan, dan keberadaan kekayaan, utang, dan ekuitas organisasi. Kedua hal ini
merupakan faktor utama untuk menghasilkan infbrmasi keuangan yang dapat dipertanggungjarvabkan
kepada publik. Dengan sistem double entrt-, maka pengukuran kinerja dapat dilakukan secara lebih
komprehensif.
Perubahan Basis Pencatatan Akuntansi
Perubahan dari single enlry menuju double entry akan lebih cepat memberikan pengaruh terhadap
penguatan akuntabilitas publik apabila diikuti dengan perubahan basis pencatatan transaksi akuntansi.
Selama ini, basis pencatatan akuntansi yang digunakan pada hampir semua lembaga pemerintahan di
Indonesia adalah basis kas (cash basis). Basis kas dinilai mengandung banyak kelemahan. Memang
setiap basis akuntansi yang digunakan, entah basis kas, basis kas modifikasian, akrual modifikasian
maupun basis akrual masing-masing memiliki keunggulan dan kelemahan. Keunggulan c'osh basis
adalah dapat mencerminkan pengeluaran yang aktual, riil dan objektif. Namun, cush basis memiliki
kelemahan yang mendasar, yaitu tidak dapat mencerminkan kinerja yang sesungguhnya karena dengan
cash basis tidak dapat diukur tingkat efisiensi da-r efektivitas suatu kegiatan, program, atau aktivitas
dengan baik. Perubahan teknik akuntansi dari basis kas menjadi akrual bertujuan agar pemerintah
daerah dapat menghasilkan laporan keuangan yang lebih dapat dipercaya, akurat, komprehensif, dan
relevan untuk pengambilan keputusan ekonomi. sosial. dan politik.

Perubahan dari Basis Kas Menuju Akrual (Cash Towards Accrual)


Basis akuntansi merupakan dasar akuntansi yang menetapkan kapan transaksi-transaksi yang
berpengaruh terhadap keuangan organisasi harus diakui atau dibukukan untuk tujuan pelaporan
keuangan. Pada dasarnya terdapat beberapa basis pencatatan akuntansi yang bisa dipilih oleh
pemerintah daerah, antara lain:

1. Akuntansi basis kas (cash basis)


2. Akuntansi basis kas modifikasian (.modified cash basis)
3. Akuntansi basis akrual modifikasian (modified accruttl basis)
4. Akuntansi basis akrual (accruaL basis)

Keempat pendekatan tersebut pada dasarnya bersifat continuum dari basis kas sampai basis
akrual. Perbedaan keempat basis akuntansi tersebut berkaitan dengan penetapan waktu pengakuan
dan pengukuran suatu transaksi (timing of recognition). Basis kas mengakui dan mencatat transaksi
pada saat kas diterima atau dikeluarkan. Pencatatan akuntansi basis kas tidak mencatat utang, piutang.
dan aktiva secara komprehensif. Terkait dengan penggunaan anggaran, akuntansi basis kas digunakan
untuk menunjukkan ketaatan pada anggaran belanja (spending limits). Namun demikian, basis kas
memiliki beberapa kelemahan dan mulai ditinggalkan di banyak negara. Kelemahan mendasarnya
adalah basis kas menghasilkan laporan keuangan yang kurang komprehensif untuk pengambilan
keputusan serta tidak dapat menggambarkan kinerja organisasi secara lebih baik. Basis kas tidak
mampu memberikan informasi aset, utang-piutang, dan ekuitas secara komprehensif.
Basis akrual mengakui transaksi keuangan pada saat terjadinya, yaitu ketika sudah menjadi
hak atau kewajibannya meskipun belum diterima atau dikeluarkan kasnya. Dengan basis akrual,
organisasi akan mengakui adanya utang, piutang, dan aset. Tujuan pengaplikasian accrual basis
pada sektor publik pada dasarnya berbeda dengan sektor bisnis. Pengaplikasian basis akrual dalam
akuntansi sektor publik bermanfaat untuk menentukan cosl of service dan charging for service,
yaitu untuk mengetahui besarnya biaya yang dibutuhkan untuk menghasilkan pelayanan publik serta
menentukan harga pelayanan yang dibebankan kepada publik. Basis akrual pada organisasi sektor
publik dimaksudkan untuk mengungkapkan informasi mengenai biaya operasi dan biaya pemulihan
(cost recovery) atas penyediaan suatu pelayanan dan sejauh mana biaya pelayanan tersebut dapat
ditutup oleh pendapatan dalam periode tertentu. Tujuan penentuan harga/tarif pelayanan publik
pun tidak sama dengan di sektor bisnis. Jika di sektor bisnis penentuan harga dimaksudkan untuk
memaksimalkan laba (maximizing profit;, namun di sektor publik penentuan tarif pelayanan publik
lebih banyak ditujukan untuk pemulihan biaya (cost recovery) agar pemerintah dapat terus memberikan
pelayanan publik secara berkesinambungan.
Tujuan pengaplikasian akuntansi basis akrual dalam sektor swasta digunakan untuk mengetahui
dan membandingkan besarnya biaya terhadap pendapatan (proper matching cost against revenue).
Perbedaan ini disebabkan karena pada sektor swasta orientasi lebih difokuskan pada usaha untuk
Manajemen Keuangan Daerah .,;,:,ii$ll

memaksimurnkan laba (proJit oriented), sedangkan dalam sektor publik orientasi difokuskan pacla
optimalisasi pelayanan ptbhk (public service oriented).
Sebenarnya pemerintah daerah bisa saja langsung berpindah dari basis kas ke basis akrual. Namun
demikian, Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 mengatur pemerintah daerah untuk menggunakan basis
kas modifikasian, yaitu kombinasi dasar kas dengan dasar akrual. Berdasarkan basis kas tersebut.
transaksi penerimaan kas atau pengeluaran kas dibukukan pada saat uang diterima atau dibayarkan
(basis kas). Kemudian pada akhir periode dilakukan penyesuaian untuk menghasilkan neraca yaitu
dengan cara mengakui transaksi dan kejadian dalam periode berjalan meskipun penerimaan atau
pengeluaran kas belum terealisir. Dengan demikian. pencatatan anggaran menggunakan basis kas,
sedangkan untuk menghasilkan laporan neraca di akhir periode akuntansi digunakan basis akrual.
Basis kas modifikasian mengukur arus kas dari sumber-sumber keuangan lancar dengan cara mengukur
kas dan kewajiban kas dengan mengakui transaksi-transaksi yang terjadi pada akhir tahun dan yang
secara normal diharapkan dari transaksi tersebut terjadi penerimaan dan pengeluaran kas pada periode
tertentu setelah akhir tahun.
Terdapat beberapa alasan mengapa Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 memilih basis kiis
modifikasian dibanding basis akrual. Pertama, semangat perubahan yang dikehendaki Kepmenciagri
No. 29 Tahun 2002 bersifat bertahap, tidak radikal. Perubahan secara langsung dari basis kas menladi
basis akrual akan bersifat radikal, padahal selama bertahun-tahun basis kas telah mendarah ciaging
bagi pegawai keuangan pemerintah daerah. Oleh karena itu, perlu dilakukan perubahan yang bertahap
dalam sistem pencatatan akuntansi yaitu dari basis kas menjadi basis kas modilikasian terlebih dahulu
yang mana dalam penggunaan basis kas modifikasian tersebut mulai dikenalkan basis akunransi
akrual.
Kedua, penerapan secara langsung basis akrual merfibutuhkan daya dukung teknolo-gi serta
sumber daya manusia (SDM) yang memiliki latar belakang pendidikan akuntansi yang mernadai.
padahal beberapa daerah belum memiliki kesiapan untuk itu. Masih sangat sedikit jumlah akuntan
atau pegawai yang berpendidikan tinggi akuntansi di pemerintah daerah. Permasalahan penerapan
basis akuntansi bukan sekadar masalah teknis akuntansi, yaitu bagaimana mencatat transaksi dar.r
menyajikan laporan keuangan, namun yang lebih penting adalah bagaimana menentukan kebijakan
akuntansi (accounting pollcy), perlakuan akuntansi untuk suatu transaksi (accounting treatment). pilihan
akuntansi (.accounting cfutice) dan mendesain atau menganalisis sistem akuntansi yang ada. Keputusan
untuk menentukan kebijakan akuntansi, perlakuan akuntansi, dan pilihan akuntansi tersebut tidak
dapat dilakukan oleh orang (pegawai) yang tidak memiliki pengetahuan di bidang ilmu akunransi.
Ketiga, masih terdapat beberapa permasalahan yang akan dihadapi apabila menggunakan secara
langsung akuntansi basis akrual. Hal itu terkait dengan deflnisi, pengakuan, pengukuran serta kebijakan
akuntansi aset, modal (ekuitas), pendapatan, dan belanja untuk organisasi pemerintah. Selain itu,
bentuk dan isi laporan keuangan serta cakupan pengungkapan (disclosure) juga berbeda den.san di
sektor swasta sehingga perlu pemahaman khusus bagi staf keuangan.
Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 meskipun belum ideal dan dalam beberapa hal masih terdapat
kelemahan, tetapi bagi daerah cukup membantu, terutama dalam tahap awal implementasi sistem
anggaran kinerja dan sistem akuntansi keuangan daerah. Namun demikian, Kepmendagri No. 29 Tahun
2002 tersebut bukan merupakan tujuan final, sebab arah reformasi akuntansi sektor publik aclalah
mengubah dari sistem akuntansi kas menjadi akrual. UU No. 11 12003 juga secara eksplisit menegaskan
tentang penggunaan akuntansi akrual, drmikian juga dengan PP No. 24Tahun 2005 tentang Standar
Akuntansi Pemerintahan. Semangat menuju akrual ini juga sejalan dengan yang disarankan IPSAS
(International Pttblic Sector Accounting Standard) dan lembaga-lembaga internasional terkemuka
Iainnya. Munculnya PP No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan merupakan
penyempurnaan dari Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 dilihat dari aspek akuntansinya.
Dalam PP No. 24 Tahun 2005 ini, basis pencatatan akuntansi yang digunakan sudah diarahkan
menuju akrual. Namun untuk pencatatan pendapatan, belanja dan pembiayaan tetap menggunakan
basis kas. Memang unit kerja dimungkinkan menggunakan basis akrual sepenuhnya, namun r.rntuk
pencatatan akuntansi pendapatan, belanja dan pembiayaan perlu dilakukan penyesuaian ke basis kas
di akhir periode. Hal itu menunjukkan bahrva sebenarnya PP No. 24 Tahun 2005 baru sebatas pada
ffiili$liH Bab I Reformasi Manaiemen Keuansan Daerah

accrual accounting, belum sepenuhnya accrual budgeting. Keadaan ini hampir sama ketika digunakan
Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 untuk pencatatan akun neraca. Berdasarkan Kepmendagri No. 29
Tahun 2002, pada saat transaksi berlangsung dicatat dengan basis kas, kemudian pada akhir periode
untuk menghasilkan neraca transaksi-transaksi tersebut disesuaikan dengan basis akrual. Untuk
memberikan kesan bahwa PP No. 24 Tahun 2005 tersebut masih memberikan ruang gerak untuk
melakukan transisi dari Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 dengan pendekatan basis kas modifikasian,
maka istilah yang kemudian dimunculkan a4alah pendekatan kas menuju akrual (.cash towards
accrual).
Dengan melihat kenyataan tersebut, sebenarnya PP No. 24 Tahun 2005 itu pun belum ideal.
Sebab adanya perbedaan basis akuntansi untuk akun riil (neraca) dan akun nominal (laporan realisasi
anggaran) dapat menimbulkan permasalahan teknis pencatatan akuntansinya. Memang untuk mengatasi
masalah perbedaan basis tersebut kemudian dikenalkan sistem pencatatan dengan 1wnal korolari.
Namun jurnal korolari tersebut berpotensi menimbulkan kesulitan dan kesalahan pencatatan. Di
samping itu, Standar Akuntansi Pemerintah yang diatur dalam PP No. 24 Tahun 2005 tersebut juga
belum ideal dilihat dari aspek legal dan badan penyusun standar akuntansinya.
Penting untuk dipahami bahwa perubahan akuntansi sebenarnya bukan semata-mata dipengaruhi
oleh masalah teknis akuntansi, tetapi sukses tidaknya reformasi akuntansi tersebut juga dipengaruhi
oleh faktor kultural, sosiologis, dan politis. Oleh karena itu tidak mengherankan jika perubahan
menuju akrual tersebut mengalami beberapa kendala dan permasalah di tingkat daerah. Permasalahan
yang muncul terkait dengan reformasi menuju akrual tersebut anta"ra lain: 1) masalah SDM terkait
dengan masih kurangnya tenaga akuntan di daerah, 2) masih rendahnya dukungan Teknologi Informasi
di daerah, 3) masih rendahnya tingkat penggunaan laporan keuangan daerah untuk pengambilan
keputusan, 4) belum adanya penghargaan (rewarQ yang memadai bagi daerah yang memiliki sistem
informasi akuntansi daerah yang baik, dan 5) masih tingginya ancaman korupsi sistemik di daerah
yang dapat menggagalkan implementasi akrual.

TABEL 1.4 nrafr per'uOahan Basis Akuntansi

Arah Perubahan Basis Akuntansi

Modified Cash Modified Accrual

Cash Accrual
Basis LlI I
Basls

f
I
K"pr"rd"stil
I
UU No 1712003
I zgrzooz I
PP No. 24 Tahun 2005

IPSAS
Manajemen Keuangan Daerah iiiiiH**ii:

1. Tujuan pelaksanaan otonomi daerah adalah mewujudkan sistem tata kelola pemerintahan yang
balk (good governance) yang ditandai dengan meningkatnya kemandirian daerah, adanya
transparansi dan akuntabilitas publik, pemerintah daerah yang semakin responsif terhaclap
masyarakat, meningkatnya parlisipasi publik dalam pembangunan daerah, meningkatnya efisiensi
dan efektivitas pengelolaan keuangan dan pelayanan publik, serta meningkatnya demokratisasi
di daerah.
) Secara historis, reformasi manajemen keuangan daerah di Indonesia dapat dibagi dalam tiga fase,
yaitu: 1) era pra-otonomi daerah dan desentralisasi fiskal (1914-1999),2) era transisi otonomi
(2000-2003), dan 3) era pascatransisi (2004-2008).
3. Aspek utama reformasi manajemen keuangan daerah meliputi perubahan sistem anggaran,
perubahan kelembagaan pengelolaan keuangan daerah, perubahan sistem akuntansi, dan perubahan
basis akuntansi.

l. Jelaskan perbedaan anggaran tradisional dengan anggaran berbasis kinerja.


2. Bandingkan kelebihan dan kelemahan sistem manajemen keuangan daerah sebelum dan sesudah
otonomi daerah.
3. Berikan pendapatAnda tentang dampak dilakukan p"ribuhun peraturan perundangan yang terkait
dengan pengelolaan keuangan daerah terhadap Pemerintah Daerah.
4. Diskusikan mengapa double entry accounting dan accrual bctsis menjadi salah satu agenda
utama reformasi keuangan daerah. Apa saja syarat yang harus dipenuhi agar proses menuju
basis akrual berhasil diterapkan pada pemerintah daerah di Indonesia.
5. Berikan evaluasi Anda tentang reformasi kelembagaan pengelolaan keuangan daerah yang
dilakukan pemerintah daerah. Apa saja yang menjadi kendala dan permasalahan dalam reftrrmasi
kelembagaan pengelolaan keuangan daerah tersebut.

Anda mungkin juga menyukai