Anda di halaman 1dari 7

NAMA : ZULKARNAIM DG.

MADJID
NIM : A031211009
MATKUL : AKUNTANSI SEKTOR PUBLIK

PERKEMBANGAN REGULASI DI SEKTOR PUBLIK


Secara garis besar regulasi di sektor publik dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu
perkembangan regulai yg terkait dengan organisasi nirlaba & instansi pemerintah. Kedua jenis
perkembagan ini perlu dibedakan mengingat sifat regulasi di sektor publik bersifat spesifik untuk
setiap jenis organisasi. Selain itu, di instansi pemerintah, regulasi yg digunakan cenderung lebih
rumit dan detail.

 PERKEMBANGAN REGULASI TERKAIT ORGANISASI NIRLABA

 Regulasi Tentang Yayasan

Regulasi yg terkait dengan yayasan adalah UU RI No.16 tahun 2001 tentang yayasan.
UU ini dimaksudkan untuk menjamin kepastian dan ketertiban hukum agar yayasan dapat
berfungsi sesuai dengan maksud dan tujuannya berdasarkan prinsip keterbukaan dan
akuntabilitas kepada masyarakat. Kemudian UU tersebut diperbarui dalam beberapa aspek
dengan UU No.28 tahun 2004.
Selain dari dua UU tersebut, untuk lebih menjamin kepastian hukum pemerintah juga
mengeluarkan peraturan pemerintah No. 63 Tahun 2008 mengenai Undang Undang tentang
Yayasan.

 Regulasi Tentang Partai Politik

UU yg pertama ada setelah era reformasi adalah UU No. 2 tahun 1999. Seiring dengan
perkembangan masyarakat dan perubahan sistem ketatanegaraan yg dinamis di awal-awal
reformasi, UU ini diperbarui dengan keluarnya UU No.31 tahun 2002 tentang partai politik.
Kemudian UU 31/2002 kembali diperbarui pada tahun 2008 melalui UU No.2 tahum 2008
tentang partai politik.

 Regulasi Tentang Badan Hukum Milik Negara (BHMN) & Badan Hukum
Pendidikan (BHP)

BHMN adalah salahsatu bentuk badan hukum di Indonesia yg awalnya dibentuk untuk
mengakomodasikan kebutuhan khusu dalam rangka “privitisasi” lembaga pendidikan yg
memiliki karakteristik tersendiri, khususnya sifat non-profit meski berstatus sebagai badan
usaha.
Pada akhir tahun 2008, terdapat perkembangan baru pada dunia pendidikan tinggi di
Indonesia dengan disahkannya UU tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP).
BHP adalah badan hukum penyelenggaraan pendidikan formal dengan berprinsip nirlaba
yang memeliki kemandirian dalam pengelolaannya dengan tujuan memajukan satuan pendidikan.

 Regulasi Tentang Badan Layanan Umum (BLU)

BLU adalah instansi di lingkungan pemerintah yg dbentuk untuk memberikan pelayanan


kepada masyarakat berupa penyediaan barang/jasa yang tanpa mengutamakan mencari
keuntungan. BLU dibentuk untuk mempromosikan peningkatan layanan publik melalui
fleksibilitas pengelolaan keuangan BLU yg dikelola secara profesional dengan menonjolkan
produktivitas, efisiensi dan efektivitas.
Wacana tentang BLU dalam regulasi di level UU disebut dalam UU No.1 tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara. Level regulasi dibawahnya yang secara khusus menjelaskan
tentang BLU adalah peraturan pemerintah No.23 tahun 2005 tentang pengelolaan keuangan
badan layanan umum.
 DASAR HUKUM KEUANGAN SEKTOR PUBLIK

 Dasar Hukum Keuangan Negara

Wujud pelaksanaan keuangan negara tersebut dapat diidentifikasikan sebagai segala


bentuk kekayaan, hak, dan kewajiban negara yang tercantum dalam APBN dan laporan
pelaksanaannya.
Pelaksanaan kewajiban atau tugas-tugas pemerintah tersebut dapat berupa pengeluaran
dan diakui sebagai belanja negara. Dalam UUD 1945 Amandemen IV, secara khusus diatur
mengenai Keuangan Negara, yaitu pada BAB VIII pasal 23 yang berbunyi sebagai berikut :

1. Anggaran pendapatan dan belanja ditetapkan setiap tahun dengan Undang-Undang.


Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui anggaran yang diusulkan
Pemerintah, maka Pemerintah menjalankan anggaran tahun lalu.
2. Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan Undang-Undang
3. Jenis dan harga mata uang ditetapkan dengan Undang-Undang
4. Hal keuangan negara selanjutnya diatur dengan Undang-undang
5. Untuk memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan suatu Badan
Pemeriksa Keuangan, yang peraturannya ditetapkan dengan Undang-Undang. Hasil
pemeriksaan itu diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, ditetapkan Undang-undang tentang APBN untuk


tahun anggaran bersangkutan. Penyusunan APBN bukan hanya untuk memenuhi ketentuan
konstitusional yang dimaksud pada pasal 23 ayat (1) UUD 1945, tetapi juga sebagai dasar
rencana kerja yang dilaksanakan oleh pemerintah dalam tahun anggaran yang bersangkutan.
Oleh karena itu, penyusunannya didasarkan atas Rencana Strategi dalam UU Propenas, dan
pelaksanaannya dituangkan dalam UU yang harus dijalankan oleh Presiden/Wakil Presiden dan
Menteri-menteri serta pimpinan Lembaga Tinggi Negara Lainnya.

 Dasar Hukum Keuangan Daerah

Berdasarkan pasal 18 UUD 1945, tujuan pembentukan daerah otonom adalah


meningkatkan daya guna penyelenggaraan pemerintah untuk melayani masyarakat dan
melaksanakan program pembangunan. Dalam rangka penyelenggaraan daerah otonom, menurut
penjelasan pasal 64 Undang-undang No. 5 tanhun 1974, fungsi penyusunan APBD adalah
untuk :
1. Menentukan jumlah pajak yang dibebankan kepada Rakyat Daerah yang bersangkutan
2. Mewujudkan otonomi yang nyata dan bertanggung jawab
3. Memberi isi dan arti kepada tanggung jawab pemerintah daerah umumnya dan kepala
daerah khususnya, karena anggaran pendapatan dan belanja daerah itu menggambarkan
seluruh kebijaksanaan pemerintah daerah
4. Melaksanakan pengawasan terhadap pemerintahan daerah dengan cara yang lebih mudah
dan berhasil guna.
5. Merupakan suatu pemberian kuasa kepada kepala daerah untuk melaksanakan
penyelenggaraan Keuangan Daerah didalam batas-batas tertentu

 PARADIGMA BARU AKUNTANSI SEKTOR PUBLIK DI ERA REFORMASI

Paradigma baru dalam “Reformasi Manajemen Sektor Publik” adalah penerapan


akuntansi dalam praktik pemerintah guna mewujudkan good governance. Landasan hukum
pelaksanaan reformasi tersebut telah disiapkan oleh Pemerintah dalam suatu Paket UU Bidang
Keuangan Negara yang terdiri dari UU Keuangan Negara, UU Perbendaharaan Negara, dan UU
Pemeriksaan Tanggung Jawab Keuangan Negara yang pada saat ini telah disahkan oleh DPR.

Terdapat 4 prinsip dasar pengelolaan keuangan negara yang telah dirumuskan dalam 3 Paket
UU Bidang Keuangan Negara tersebut, yaitu :

1. Akuntabilitas berdasarkan hasil atau kinerja


2. Keterbukaan dalam setiap prinsip transaksi
3. Pemberdayaan manajer profesional
4. Adanya lembaga pemeriksa internal yang kuat, profesional, dan mendiri serta
dihindarinya duplikasi dalam pelaksanaan pemerintahan.

Prinsip-prinsip tersebut sejalan dengan prinsip-prinsip desentralisasi dan otonomi daerah


yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
dan Undang-Undang No. 25 Tahun Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Dengan demikian, pelaksanaan tiga UU Bidang Keuangan Negara tersebut nantinya, selain
menjadi acuan dalam pelaksanaan reformasi manajemen pemerintah, diharapkan akan
memperkokoh landasan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di NKRI.

 Paradigma Baru Regulasi Akuntansi Sektor Publik

1. UU No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara


2. UU No. 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara
3. UU No. 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan Keuangan Negara
4. UU No. 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan dan Pembangunan Nasional
5. UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
6. UU No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Daerah
7. PP No. 24 Tahun 2005 Tentang Standar Akuntansi Pemerintahan
8. PP No. 71 Tahun 2010 Tentang Standar Akuntansi Pemerintahan

 PERATURAN PEMERINTAH NO.71 SEBAGAI REGULASI TERKINI DI


INDONESIA

Dalam UU 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara pasal 1 angka 13, 14, 15, dan 16,
dapat dilihat bahwa definisi pendapatan dan belanja negara/daerah berbasis akrual karena disana
disebutkan bahwa: Pendapatan negara/daerah dalah hak pemerintah pusat/daerah yang diakui
sebagai penambah nilai kekayaan bersih dan Belanja negara/daerah adalah kewajiban
pemerintah pusat/daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih. Namun kita
diperkenankan untuk transisi karena saat itu praktik yang ada adalah dengan menggunakan basis
kas, dimana pendapatan dan belanja diakui saat uang masuk/keluar ke/dari kas umum
negara/daerah.
Dispensasi ini tercantum dalam Pasal 36 ayat 1 UU 17 Tahun 2003 yang intinya
ketentuan mengenai pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja berbasis akrual
dilaksanakan selambat-lambatnya dalam 5 (lima) tahun, artinya sampai dengan tahun 2008.
Untuk masa transisi itulah PP 24 tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintah terbit,
dimana kita memakai basis Kas Menuju Akrual (Laporan Realisasi Anggaran berdasarkan basis
kas, Neraca berdasarkan basis Akrual). Dalam pelaksanaan PP 24 Tahun 2005 tersebut hingga
Laporan Keuangan Pemerintah tahun 2008 selesai diaudit di tahun 2009, ternyata opini yang
didapat pemerintah saat itu masih menyedihkan. Untuk itulah, Pemerintah akhirnya berkonsultasi
dengan Pimpinan DPR, dan disepakati bahwa basis akrual akan dilaksanakan secara penuh mulai
tahun 2014.
Pada tahun 2010 terbit PP 71 tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintah sebagai
pengganti PP 24 tahun 2005. Diharapkan setelah PP ini terbit maka akan diikuti dengan aturan-
aturan pelaksanaannya baik berupa Peraturan Menteri Keuangan untuk pemerintah pusat maupun
Peraturan Menteri Dalam Negeri untuk pemerintah daerah. Ada yang berbeda antara PP 71 tahun
2010 ini dengan PP-PP lain. Dalam PP 71 tahun 2010 terdapat 2 buah lampiran.
- Lampiran I merupakan Standar Akuntansi Pemerintah berbasis Akrual yang akan
dilaksanakan selambat-lambatnya mulai tahun 2014, sedangkan
- Lampiran II merupakan Standar Akuntansi Pemerintah berbasis Kas Menuju Akrual yang
hanya berlaku hingga tahun 2014.
Perbedaan mendasar dari sisi jenis laporan keuangan antara Lampiran I dan Lampiran II adalah
sebagai berikut:

- Lampiran I

Laporan Anggaran (Budgetary Reports): Laporan Realisasi Anggaran, Laporan


Perubahan Saldo Anggaran Lebih
Laporan Keuangan (Financial Reports): Neraca, Laporan Operasional, Laporan
Perubahan Ekuitas, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan
- Lampiran II

Laporan terdiri dari Neraca, Laporan Realisasi Anggaran, Laporan Arus Kas, dan Catatan
atas Laporan Keuangan.

Dengan perbedaan jenis Laporan Keuangan yang akan dihasilkan, otomatis penjelasan
pada setiap Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan (PSAP) yang terkait dengan masing-
masing Laporan Keuangan akan mengalami perubahan.
Kedua daftar isi hampir serupa karena kebijakan yang diambil oleh Komite Standar
Akuntansi Pemerintah saat mengembangkan Standar Akuntansi Pemerintahan berbasis akrual ini
adalah dengan beranjak dari PP 24 tahun 2005 yang kemudian dilakukan penyesuaian-
penyesuaian terhadap PP 24 tahun 2005 itu sendiri. Dengan strategi ini diharapkan pembaca PP
71 tahun 2010 nantinya tidak mengalami kebingungan atas perubahan-perubahan tersebut karena
lebih mudah memahami perubahannya dibandingkan jika langsung beranjak dari penyesuaian
atas International Public Sector of Accounting Standards (IPSAS) yang diacu oleh KSAP.

 BARANG DAN JASA PUBLIK

 Barang & Jasa Publik Vs Barang & Jasa Swasta

Barang publik adalah barang kolektif yang seharusnya dikuasai oleh Negara/ pemerintah.
Sifatnya tidak eksklusif dan diperuntukkan bagi kepentingan seluruh warga dalam skala yang
luas, dan dapat dinikmati warga secara gratis, misalnya udara bersih, air bersih, dan lingkungan
yang aman. Sedangkan barang swasta adalah barang spesifik yang dimiliki oleh pihak swasta.
Sifatnya eksklusif dan hanya bisa dinikmati oleh mereka yang mampu membelinya, karena
harganya disesuaikan dengan harga pasar menurut penjual, misalnya perumahan mewah, villa,
dan hotel. Dan ada juga setengah kolektif yang dimiliki oleh swasta atau pemilik gabungan
antara swasta dan pemerintah. Seharusnya barang ini tidak boleh bersifat eksklusif, dan
pemerintah harus ikut menentukan harga penjualannya, yang biasanya tidak terjangkau oleh
rakyat kecil, misalnya sekolah dan rumah sakit.

 Konsep-Konsep Pokok Barang dan Jasa Publik

Suatu barang dikategorikan sebagai barang ‘swasta’ atau ‘publik’ dalam kaitannya
dengan tingkat excludability dan persaingannya. Tingkat excludablity suatu barang ditentukan
dengan kondisi dimana konsumen dan produsen barang atau pelayanan bisa memastikan bahwa
orang lain tidak memperoleh manfaat dari barang/pelayanan tersebut. Jika suatu barang memiliki
daya saing yang tinggi, barang tersebut dipergunakan secara perorangan dan apabila daya
saingnya rendah, barang tersebut dapat dimanfaatkan secara bersama-sama. Contoh taman umum
daya saingnya rendah, sedangkan ‘iphone’ daya saingnya tinggi.

1. Secara umum, barang publik memiliki tingkat excludability dan daya saing yang rendah.
Ini menandakan bahwa apabila barang itu diproduksi, barang tersebut dapat dipergunakan
oleh banyak orang. Barang publik ini dimanfaatkan oleh banyak orang, sehingga
umumnya dibiayai dari dana publik.
2. Barang swasta adalah barang yang punya excludability dan daya saing tinggi. Orang-
orang yang memanfaatkanya jelas, sehingga mudah dikenakan biaya.
3. Barang yang excludable, tetapi daya saingnya rendah disebut toll goods. Contohnya
sperti jalan tol.
4. Barang yang berdaya saing tinggi, tetapi non-excludable, disebut common pool goods.
Contohnya adalah pengadaan air disebuah desa; meskipun termasuk barang yang non-
excudable, namun penggunaannya secara berlebihan akan mengurangi kesempatan bagi
orang lain untuk menggunakannya.

 Penyedia Pelayanan

Barang/ pelayanan yang dibiayai secara publik dapat dikontrakkan kepada sektor swasta
misalnya, penggunaan kontraktor swasta dalam pembangunan lapangan terbang, atau sebaliknya
misalnya sekolah pemerintah menerima pembayaran dari orang tua murid dalam bentuk pemakai
pelayanan. Setor swasta mempunyai kecendrungan bekerja lebih efisien dan efektif karena :
1. Sektor swasta memiliki fleksibilitas dalam pengolahan sumber daya sehingga permintaan
pasar dapat ditanggapi.
2. Persaingan pelayanan mendorong lebih baiknya mutu pelayanan dengan harga yang lebih
murah bagi pelanggan.

 Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Publik

Pusat Pengembangan Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Publik mempunyai tugas
mengkaji, menyiapkan perumusan kebijakan, perencanaan kebijakan pengadaan barang/jasa
nasional, serta melaksanakan sosialisasi, pemantauan dan penilaian atas pelaksanaannya. Dalam
melaksanakan tugasnya, Pusat Pengembangan Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Publik
menyelenggarakan fungsi:
1. penyiapan dan perumusan kebijakan dan sistem pengadaan nasional
2. penyiapan dan perumusan kebijakan pengembangan dan pembinaan sumber daya
manusia di bidang pengadaan
3. pelayanan bimbingan teknis, pemberian pendapat dan rekomendasi, serta koordinasi
penyelesaian masalah di bidang pengadaan
4. pengembangan sistem informasi nasional di bidang pengadaan
5. pengawasan pelaksanaan pelayanan pengadaan barang/jasa dengan teknologi informasi
6. melaksanakan sosialisasi, pemantauan, dan penilaian pelaksanaan kebijakan dan sistem
pengadaan nasional

 ETIKA PENGELOLAAN KEUANGAN PUBLIK

Pihak member amanah (principal) percaya bahwa pihak pemegang amanah (agent)
mempunyai “kapasitas” yang menandai untuk menjalankan amanah yang didelegasikan. Makna
kapasistas disini hanya dilihat dari kompetensi pada bidang kerja, tetapi juga dilihat dari perilaku
etis. Perilaku etis nampaknya sangat menunjang kepercayaan para partner dan teman kerja.
Etika sering dilihat dari segala sesuatu yang terwujud (tangible). Di tengah masyarakat
yang masih mempercayai symbol-symbol (tanda-tanda (signals)), dan berbagai bentuk aksesoris
fisik lain, standar etika amat diperlukan untuk menetukan perilaku etis.
Etika bisnis adalah bagaimana tindakan atau perbuatan yang dapat dikatagorikan sebagai
etis atau tidak etis. Dalam banyak pembahasan tentang teori etika, para ahli filosofi umumnya
menitikberatkan pada etika secara umum daripada etika dari suatu kelompok kecil, misalnya
profesi dan bidang pekerjaan tertentu. Berbagai tulisan yang dibuat oleh para ahli filsafat sering
jadikan acuan atau pedoman untuk memahami nilai rasionalisasi suatu sikap dan perbuatan yang
disebut etis.

 Berikut ini adalah beberapa pemikiran dari para filsafat mengenai etika :

A. Socrates
Ia berpendapat bahwa semua pengetahuan (knowledge) dari seseorang itu sebetulnya
bersifat baik dan menjunjung nilai-nilai kebijakan. Tanpa didukung pengetahuan, seseorang tidak
mungkin dapat melakukan perbuatan-perbuatan yang berbudi luhur.

B. Hume
Ia berpendapat bahwa perilaku seseorang (personal merit) yang beretika sebenarnya
mempunyai beberapa nilai kualitas karakter dan kepribadian yang bermanfaat dan diterima baik
oleh orang lain maupun dirinya sendiri.

C. John
Ia berpendapat bahwa kebenaran, perilaku etis, dan prinsip moral seseorang sebenarnya
tidak dibawa sejak lahir. Berbagai pedoman etika bisa diperoleh melalui suatu persepsi dan
konsepsi. Ia juga mengemukakan bahwa hukum (law) merupakan sebuah kriteria untuk
memutuskan apakah suatu perbuatan itu baik atau buruk. Tiga tipe dari hukum ini yaitu : divine
law (hukum yang berkaitan dengan Ketuhanan), civil law (hukum yang berlaku di masyarakat),
law of opinion and reputation (hukum yang berhububgan dengan opini dan reputasi).

D. Kant
Ia berpendapat bahwa pentingnya standar formal sebagai pedoman umum untuk menilai
perilaku seseorang. Tetapi ia tidak setuju dengan perilaku etis ini dibentuk dari suatu tekanan
(hukum) yang disertai hukuman tertentu.
Dalam menyikapi pro-kontra terhadap suatu perbuatan, pengkategorian perilaku etis
sebaiknya berpedoman pada etika umum, antara lain : pengetahuan (knowledge), kesadaran akan
hidup bermasyarakat, respek terhadap divine law (hukum yang berkaitan dengan Ketuhanan),
memahami bahwa suatu pekerjaan membutuhkan pertanggungjawaban, menyadari bahwa norma
dari perilaku etis yang diakui masyarakat berlaku untuk semua jenis pekerjaan apapun.

 KEDUDUKAN DAN PERAN PEMERINTAH DALAM MEMPERBAIKI


KUALITAS PELAYANAN PUBLIK

Semua masyarakat memiliki hak yang sama atas jaminan sosial dan ekonomi dari
pemerintah sebagai konsekuensi langsung atas pembayaran pajak yang telah dipenuhi. Kebijakan
dan regulasi yang ditetapkan pemerintah bisa berimbas pada bidang yang lain. Pemerintah
mempunyai peran menentukan kualitas tingkat kehidupan masyarakat secara individual.
Peningkatan kualitas pelayanan publik dapat diperbaiki melalui perbaikan manajemen
kualitas jasa, yakni upaya meminimasi kesenjangan antara tingkat layanan dengan harapan
konsumen. Kinerja organisasi layanan publik harus diukur dari outcome-nya, karena outcome
merupakan variabel kinerja yang mewakili misi organisasi dan aktivitas oprasional, baik aspek
keuangan dan nonkeuangan. Dalam penentuan outcome sangat perlu untuk mempertimbangkan
dimensi kualitas (Mardiasmo 2007). Selanjutnya, monitoring kinerja perlu dilakukan untuk
mengevaluasi pelayanan publik dalam memenuhi kebutuhan masyarakat.
1. Langkah-langkah penting dalam memonitoring kinerja organisasi layanan publik yaitu :
Mengembangkan indikator kinerja yang mengembangkan pencapaian tujuan organisasi,
2. Memaparkan hasil pencapaian tujuan berdasarkan indikator kinerja diatas,
3. Mengidentifikasi apakah kegiatan pelayanan sudah efektif dan efisien sebagai dasar
pengusulan Program perbaikan kualitas pelayanan.
REFERENSI

Wibowo, Panji (2015). Regulasi Dan Standar Sektor Publik. From


https://www.academia.edu/8849434/Regulasi_dan_Standar_Sektor_Publik, 1 september 2015

Nordiawan, Deddi., & Ayuningtyas Hertianti (2010). Akuntansi Sektor Publik . Edisi 2.
Jakarta:Salemba Empat.

Anda mungkin juga menyukai