Anda di halaman 1dari 7

REFORMASI MANAJEMEN KEUANGAN DAERAH

Perkembangan system tata kelola pemerintahan di Indonesia dalam satu dasawarsa terakhir (1998
s.d 2008) mengalami suatu kemajuan yang sangat pesat. Dalam waktu yang sangat singkat,
pemerintah Indonesia telah melewati serangkain proses reformasi sector public, khusunya reformasi
manajemen keuangan daerah. Reformasi manajemen keuangan daerah merupakan suatu
berkah dari gerakan reformasi yang digelorakan di tahun 1998 setelah Indonesia mengalami krisis
multidimensi.

Perkembangan Reformasi Manajemen Keuangan Daerah

Perjalanan reformasi manajemen keuangan derah di Indonesia dibagi dalam 3 fase, yaitu :

Era pra-otonomi daerah dan desentralisasi fiscal. Selama masa ini belum ada system akuntansi
keuangan daerah yang baik, yang ada baru sebtas tata buku. Pengelolaan keuangan daerah
mendasarkan pada buku Manual Administrasi Keuangan Daerah (MAKUDA) tahun 1981 yang pada
esensinya belum merupakan system akuntansi, tetapi sekadar penatausahaan keuangan/ tata buku.

Era Transisi Otonomi (2000-2003).  Merupakan masa awal implementasi otonomi daerah. Masa ini
masih belum mantapnya perangkat hokum, kelembagaan infrastruktur, dan sumber daya manusia
daerah dalam mewujudkan tujuan otonomi daerah. Peraturan perundangan yang menonjol dalam
era ini adalah Kepmendagri No. 29 tahun 2002.

Era pascatransisi (2004-sekarang). Adalah masa setelah diberlakukannya paket peraturan


perundangan yang merupakan suatu peraturan menyeluruh dan komprehensif (omnibus
regulations) mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pelaporan, pengauditan dan evaluasi kinerja atas
pengelolaan keuangan daerah.

Tabel 1.1 Perkembangan Peraturan Perundangan Terkait Manajemen Keuangan Daerah

Pra-otonomi Daerah dan Transisi otonomi Pascatransisi Otonomi


Desentralisai Fisikal (Reformasi Tahap 1) (Reformasi Tahap 2)

UU No. 17 Thn 2003

UU No. 1    Thn 2004

UU No. 5 Thn 1974 UU No. 22 Thn 1999 UU No. 15  Thn 2004

UU No. 25 Thn 1999 UU No. 25  Thn 2004

UU No. 32 Thn 2004

UU No. 33 Thn 2004

PP No. 5 Thn 1975 PP No. 105 Thn 2000 UU No. 24 Thn 2005
PP No. 6 Thn 1975 PP No. 108 Thn 2000 UU No. 58 Thn 2005

Kepmendagri No. 29

Manual Administrasi Thn 2002 Permendagri No. 13 Tahun


2006 (Direvisi menjadi
Keuangan Daerah Peraturan Daerah : Permendagri No. 59 Tahun
(MAKUDA 1981) Pokok-pokok Pengelolaan 2007)

Keuangan Daerah

Peraturan KDH

Aspek Utama Reformasi Manajemen Keuangan Daerah

Aspek Utama Reformasi Manajemen Keuangan Daerah meliputi :

1.      Perubahan Sistem Anggaran

Perubahan system anggaran traisional menjadi system anggaran berbasis prestasi kerja. Perubahan
system penganggaran ini meliputi perubahan dalam proses penganggaran dan perubahan struktur
anggaran.  Perubahan system ini tidak hanya menyangkut proses penganggarannya saja, tapi juga
perubahan struktur anggaran. Struktur anggaran dirubah dari struktur anggaran tradisional menjadi
penganggaran berbasis kinerja.

Penggunaan system penganggaran kinerja di pemerintah daerah telah membawa perubahan yang
radikal terkait dengan perubahan dalam perencanaan anggaran, pengisian anggaran, dan pelaporan
anggaran. Secara manajerial perubahan struktur ini berpengaruh terhadap perubahan paradigma
anggaran, sedangkan secara teknis berpengaruh pada kode rekening anggaran dan tata cara
pencatatannya.

Pada anggaran tradisional, kinerja anggaran diukur dari sisi inputnya, yakni dilihat dari
kemampuannya dalam penyerapan anggaran. Anggaran yang tidak terserap (sisa anggaran) harus
dikembalikan lagi ke rekening kas Negara dan sebagai konsekuensinya anggaran satuan kerja
tersebut untuk tahun berikutnya terancam tidak akan ditambah bahkan bisa dikurangi.

2.      Perubahan Kelembagaan Pengeloalaan Keuangan Daerah

Perubahan kelembagaan pengelolaan keuangan daerah dari system sentralisiasi pada bagian
keuangan secretariat daerah menjadi system desentralisasi ke masing-masing satuan kerja.
Penataan ulang kelembagaan pengelolaan keuangan daerah itu bukan saja untuk menyesuaikan
system anggaran yang baru, tapi juga dimaksudkan untuk mendukung tercapainya tujuan
desntralisasi fiscal. Beberapa perubahan kelembagaan pengelolaan keuangan daerah tersebut
antara lain:

a.       Perubahan pengelolaan keuangan di pemerintah daerah dari system sentralisasi pada Bagian
Keuangan Sekretariat Daerah menjadi system desentralisasi ke masing-masing satuan kerja.
Konsekuensinya setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah harus menyelenggarakan akuntansi dan
menyusun laporan keuangan satuan kerja bersangkutan yaitu Laporan Realisasi Anggaran, Neraca,
dan Catatan Atas Laporan Keuangan. Bagian Keuangan (BPKD) selanjutnya bertugas
mengkonsolidasikan laporan keuangan seluruh satuan kerja yang ada menjadi Laporan Keuangan
Pemerintah Daerah.

b.       Pejabat yang terkait dengan pengelolaan keuangan daerah meliputi :

1.       Kepala Daerah selaku Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Daerah

2.       Sekretariat Daerah selaku Kuasa Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Daerah sekaligus
merupakan Koordinator Pengelolaan Keuangan Daerah

3.       Kepala Badan Pengelola Keuangan Daerah (Biro/Bagian Keuangan) selaku Pejabat Pengelola
Keuangan Daerah (PPKD) sekaligus merupakan Bendahara Umum Daerah (BUD)

4.       Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah selaku Pengguna Anggaran/ Pengguna Barang

5.       Kuasa Pengguna Anggaran/ Kuasa Pengguna Barang

6.       Pejabat Penatausahaan Keuangan Satuan Kerja Perangkat Daerah (PPK-SKPD)

7.       Bendahara Penerimaan/Pengeluaran SKPD

8.       Bendahara Penerimaan/ Pengeluaran Pembantu

9.       Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK)

3.      Perubahan Sistem Akuntansi Keuangan Daerah

Perubahan system akuntansi dari system tata buku tunggal (single entry bookkeeping) menjadi
sistem tata buku berpasangan (double entry bookkeeping).

Untuk meningkatkan transparasi dan akuntabilitas public dalam rangka mendukung pelaksanaan
otonomi daerah dan desentralisasi fiscal, maka diperlukan reformasi akuntansi sector public di
Indonesia.
Aspek yang diperlukan dalam reformasi akuntansi adalah perlunya dimiliki standar akuntansi
pemerintahan dan perlunya dilakukan perubahan sistem akuntansi, yaitu perubahan dari single
entry menjadi double entry.

Single entry pada awalnya digunakan sebagai dasar pembukuan di pemerintahan karena cukup
mudah dan praktis. Namun karena single entrytidak dapat memberikan informasi yang komprehensif
dan mencerminkan kinerja yang sesungguhnya. Maka beralihlah dari sistem single entry ke double
entry.

Double entry ditujukan untuk menghasilkan laporan keuangan yang lebih mudah untuk dilakukan
audit dan pelacakan antara bukti transaksi, catatan, dan keberadaan  akekayaan, utang, dan ekuitas
organisasi. Dengan sistem ini maka pengukuran kinerja dapat dilakukan secara lebih komprehensif.

Perubahan Basis Pencatatan Akuntansi

Basis kas ini dinilai mengandung banyak kelemahan. Memang setiap basis akuntansi yang digunakan,
baik basis kas, basis kas modifikasian, akrual modifikasian maupun basis akrual masing-masing
memiliki keunggulan dan kelemahan. Perubahan teknik akuntansi dari basis kas menjadi akrual
bertujuan agar pemerintah daerah dapat menghasilkan laporan keuangan yang lebih dapat
dipercaya, akurat, komprehensif, dan relevan untuk pengambilan keputusan ekonomi, social, dan
politik.

4.      Perubahan dari Basis Kas Menuju Akrual (Cash Towards Accrual)

Perubahan basis akuntansi dari basis kas (cash basis) menjadi basis akrual(accrual basis).

Basis akuntansi merupakan dasar akuntansi yang menetapkan kapan transaksi-transaksi yang
berpengaruh terhadap keuangan organisasi harus diakui/ dibukukan untuk tujuan pelaporan
keuangan. Ada beberapa basis pencatatan akuntansi yang bias dipilih oleh pemerintah  daerah,
diantaranya :

                  1.       Akuntansi basis kas (cash basis)

                  2.       Akuntansi basis kas modifikasian (modified cash basis)

                  3.       Akuntansi basis akrual modifikasian (modified accrual basis)

                  4.       Akuntansi basis akrual (accrual basis)


Keempat pendekatan ini pada dasarnya bersifat continuum dari basis kas sampai basis akrual.
Perbedaan Basis kas Akuntansi tersebut berkaitan dengan penetapan waktu pengakuan dan
pengukuran suatu transaksi (timing of recognition).

Basis Kas mengakui dan mencatat transkasi pada saat kas diterima/ dikeluarkan.  Basis Kas tidak
mencat utang, piutang dan aktiva secara komprehensif. Akuntansi basis kas digunakan untuk
menunjukan ketaatan pada anggaran belanja (spending limits). Akuntansi basis kas mempunyai
kelemahan, yaitu menghasilkan laporan keuangan yang kurang komprehensif untuk pengambilan
keputusan serta tidak dapat menggambarkan kinerja organisasi secara lebih baik. Dan tidak mampu
memberikan informasi aset, utang-piutang, dan ekuitas secara komprehensif.

Basis Akrual mengakui transaksi keuangan pada saat terjadinya, yaitu ketika sudah menjadi hak atau
kewajibannya meskipun belum diterima/ dikeluarkan kasnya. Dengan basis akrual organisasi akan
mengakui adanya utang, piutang dan asset.

Pemerintah daerah bias saja langsung pindah dar basis kas ke basis akrual. Namun Kepmendagri No.
29 Tahun 2002 mengatur pemerintah daerah untuk menggunakan basis kas modifikasian, yaitu
kombinasi dasar kas dengan akrual. Berdasrkan basis kas tersebut, transaksi penerimaan kas atau
pengeluaran kas dibukukan pada saat uang diterima/ dibayarkan (basis kas). Dan pada akhir periode
dilakukan penyesuaian untuk menghasilkan neraca yaitu dengan cara mengakui transaksi dan
kejadian dalam periode berjalan walaupun penerimaan/ pengeluaran kas belum terealisir. Dengan
demikian, pencatatan anggaran menggunakan basis kas, sedangkan untuk menghasilkan laporan
neraca di akhir periode akuntansi digunakan basis akrual.

Perubahan secara langsung dari basis kas menjadi basis akrual akan bersifat radikal, padahal selama
bertahun-tahun basis kas telah mendarah daging bagi pegawai keuangan pemerintah daerah.
Penerapan secara langsung basis akrual membutuhkan daya dukung teknologi serta sumber daya
manusia yang memiliki latar belakang pendidikan akuntansi yang memadai. Permasalahan
penerapan basis akuntansi bukan sekedar masalah teknis akuntansi, yaitu bagaimana mencatat
transaksi dan menyajikan laporan keuangan, tapi yang lebih penting adalah bagaimana menentukan
kebijakan akuntansi (accounting policy), perlakuan akuntansi untuk suatu transaksi (accounting
treatment),pilihan akuntansi (accounting choice) dan mendesain/ menganalisis sistem akuntansi
yang ada.

Masih terdapat beberapa permasalahan yang akan dihadapi apabila menggunakan secara langsung
akuntansi basis akrual. Hal ini terkait dengan definisi, pengakuan, pengukuran serta kebijakan
akuntansi asset, modal (ekuitas), pendapatan dan belanja untuk organisasi pemerintah.
Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 meskipun belum ideal dan dalam beberapa hal masih terdapat
kelemahan, tapi juga bagi daerah cukup membantu, terutama dalam tahap awal implementasi
sistem anggaran kinerja dan sistem akuntansi keuangan daerah.  UU No. 17/2003 juga secara
eksplisit menegaskan tentang pengguanaan akuntansi akrual, demikian juga dengan PP No. 24/2005
tentang standar Akuntansi Pemerintahan. Munculnya PP No. 24/2005 tentang Standar Akuntansi
Pemerintahan merupakan penyempurnaan dari Kepmendagri No. 29/2002 dilihat dari aspek
akuntansinya. Dalam PP No. 24/2005 ini, basis pencatatan akuntansi yang digunakan sudah
diarahkan menuju akrual. Memang unit kerjanya dimungkinkan menggunakan basis akrual
sepenuhnya, namun untuk pencatatan akuntansi pendapatan, belanja dan pembiayaan perlu
dilakukan penyesuaian ke basis kas di akhir periode.

Untuk memberikan kesan bahwa PP No. 24/2005 tersebut masih memberikan ruang gerak untuk
melakukan transisi dari Kepmendagri No. 29/ 2002 dengan pendekatan basis kas modifikasian, maka
istilah yang kemudian dimunculkan adalah pendekatan kas menuju akrual (cash towards
accrual). Dengan kenyataan tersebut , sebenarnya PP No. 24/ 2005 itu belum ideal. Karena adanya
perbedaab basis akuntansi untuk akun riil (neraca) dan akun nominal (laporan realisasi anggaran)
dapat menimbulkan permasalahan teknis pencatatan akuntansinya.

Permasalahan yang muncul terkait dengan reformasi menuju akrual tersebut diantaranya :

Masalah SDM terkait dengan masih kurangnya tenaga akuntan di daerah.

Masih rendahnya dukungan Teknologi Informasi di daerah.

Masih rendahnya tingkat penggunaan laporan keuangan daerah untuk pengambilan keputusan.

Belum adanya penghargaan (reward) yang masih memadai  bagi daerah yang memiliki sistem
informasi akuntansi daerah yang baik.

Masih tingginya ancaman korupsi sistematik di daerah yang dapat menggagalkan implementasi
akrual.

IKHTISAR

Tujuan pelaksanaan otonomi daerah adalah mewujudkan sistem tata kelola pemerintahan yang baik
yang ditandai dengan meningkatnya kemandirian daerah, adanya transparasi dan akuntabilitas
public, pemerintah daerah yang semakin responsif pada masyarakat, meningkatnya partisipasi public
dalam pembengunan daerah, meningkatnya efisiensi dan efektifitas pengelolaan keuangan dan
pelayanan public, serta meningkatnya demokratisasi di daeah.

Secara historis, reformasi manajemen keuangan daerah di Indonesia dapat dibagi dalam 3 fase,
yaitu: 1) era pra-otonomi daerah dan desntralisasi fiscal (1974-1999), 2) era transisi otonomi (2000-
2003), dan era pascatransisi (2004-2008).
Aspek utama reformasi manajemen keuangan daerah meliputi perubahan sistem anggaran,
perubahan kelembagaan pengelolaan keuangan daerah, perubahan sistem akuntansi, dan
perubahan basis akuntansi.

Anda mungkin juga menyukai