Anda di halaman 1dari 39

REGULASI YANG TERKAIT DENGAN AKUNTANSI SEKTOR PUBLIK

Makalah

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Akuntansi Sektor Publik

Dosen Pembina: Daniel Nababan, S.E., M.Acc.

Disusun oleh:

Dicky Nugroho 0116101320

Rima Agustini 0116101322

Gerri Muhammad G 0116101325

Muhammad Ilham F 0116101327

Syifa Refianti 0116101328

Dian Weningsih 0116101351

Kelompok 1

Kelas H

FAKULTAS EKONOMI

PROGRAM STUDI AKUNTANSI S1

UNIVERSITAS WIDYATAMA

KOTA BANDUNG

2019
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas semua
rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Regulasi yang Terkait
Dengan Akuntansi Sektor Publik”.

Banyak kesulitan dan hambatan yang kami hadapi dalam penyusunan makalah ini, akan tetapi
berkat bantuan, dorongan serta bimbingan dari berbagai pihak, maka makalah ini dapat
diselesaikan sebagimana adanya. Pada kesempatan ini kami ingin mengucapkan terima kasih
kepada yang terhormat:

1. Bapak Dr. Islahuzzaman, S.E., M.Si., Ak., C.A. selaku rektor Universitas Widyatama.
2. Bapak Daniel Nababan, S.E., M.Acc. selaku dosen Akuntansi Sektor Publik yang telah
membantu kami dalam menyelesaikan tugas makalah ini.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna baik dalam kajian maupun
penyajiannya mengingat keterbatasan pengetahuan dan pengalaman, tetapi kami berusaha untuk
memberikan yang terbaik.

Bandung, Februari 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................................................... i

DAFTAR ISI................................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ...................................................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................................ 1

1.3 Tujuan Penulisan .................................................................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................................ 2

2.1 Definisi Audit Kecurangan.................................................................................................... 2

2.2 Mendeteksi Kecurangan (Fraud Auditing) ........................................................................... 2

2.3 Teknik Mendeteksi Kecurangan............................................................................................ 7

BAB 3 PENUTUP ........................................................................................................................ 34

3.1 Kesimpulan.......................................................................................................................... 34

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................... 36

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Melihat realita saat ini perkembangan zaman terutama dibidang teknologi informasi yang
semakkin berkembang. Hal ini berdampak juga dibidang ekonomi termasuk dalam ruang
lingkup auditing. Teknologi seakan-akan digunakan sebagai alat untuk mempermudah cara
untuk melakukan kecurangan yang didukung oleh tiga keadaan yakni insentif atau tekanan,
kesempatan, dan sikap rasionalisasi.
Disinilah terlihat bahwa perkembangan tekonologi yang semakin canggih akan
mempersulirt pendektisi kecurangan dalam dunia bisnis. Dan tanggung jawab seorang auditor
akan semakin berat untuk mendeteksi kecurangan oleh pihak-pihak tertentu. Dalam makalah
ini akan dibahas lebih detail lagi tentang bagaimana sikap auditor saat menemukan suatu
kecurangan.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa saja jenis-jenis kecurangan?
2. Bagaimana cara mendeteksi kecurangan?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Ingin mengetahui lebih dalam tentang apa itu jenis-jenis kecurangan yang dilakukan oleh
perusahaan klien auditor
2. Ingin mengetahui secara jelas tanggung jawab auditor terhadap kecurangan

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Regulasi Publik


Regulasi berasal dari bahasa Inggris, yaitu regulation yang artinya peraturan. Dalam kamus
bahasa Indonesia kata “peraturan” mengandung arti kaidah yang dibuat untuk mengatur,
petunjuk yang dipakai untuk menata suatu dengan aturan, dan ketentuan yang harus dijalankan
serta dipatuhi. Jadi, regulasi publik merupakan ketentuan yang harus dijalankan dan dipatuhi
dalam proses pengelolaan organisasi publik, baik pada organisasi pemerintahan pusat,
pemerintahan daerah, partai politik, yayasan, LSM, organisasi keagamaan/ peribadatan,
maupun organisasi sosial masyarakat lainnya.

2.2 Sejarah Regulasi Akuntansi Sektor Publik di Indonesia


2.2.1 Regulasi Akuntansi Sektor Publik di Era Pra Reformasi
Perjalanan akuntansi sektor publik di era pra reformasi didasari pada UU Nomor 5
Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Pengertian daerah dalam
era pra reformasi adalah daerah tingkat I yang meliputi propinsi dan daerah tingkat II
yang meliputi kotamadya atau kabupaten. Disamping itu, ada beberapa peraturan
pelaksanaan yang diturunkan dari perundang-undangan, antara lain:
1. Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1975 tentang Pengurusan,
Pertanggungjawaban, dan Pengawasan Keuangan Daerah
2. Pemerintah Pemerintah Nomor 6 Tahun 1975 tentang Penyusunan APBD,
Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah, dan Penyusunan Perhitungan APBD
3. Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 900-099 Tahun 1980 tentang Manual
Administrasi Keuangan Daerah
4. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan APBD
5. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang pajak Daerah dan Retribusi Daerah
6. Keputusan Mendagri Nomor 3 Tahun 1999 tentang Bentuk dan Susunan Perhitungan
APBD

2
2.2.2 Regulasi Akuntansi Sektor Publik di Era Reformasi
Reformasi politik di Indonesia telah mengubah sistem kehidupan negara. Tuntutan
good governance diterjemahkan sebagai terbebas dari tindakan KKN. Pemisahan
kekuasaan antareksekutif, yudikatif, dan legislatif dilaksanakan. Selain itu, partisipasi
masyarakat akan mendorong praktik demokrasi dalam pelaksanaan akuntabilitas publik
yang sesuai dengan jiwa otonomi daerah.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-
Undang Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah adalah
dua undang-undang yang berupaya mewujudkan etonomi daerah yang lebih luas.
Sebagai penjabaran otonomi daerah tersebut di bidang administrasi keuangan daerah,
berbagai peraturan perundangan yang lebih operasional dalam era reformasipun telah
dikeluarkan. Beberapa regulasi yang relevan antara lain:
1. Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang
Bebas Dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (Lembaga Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3851)
2. Peraturan pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah Dan
Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3952)
3. Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan
4. Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan
Pertanggungjawaban Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2000 Nomor 202, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4022)
5. Peraturan Pemerintah Nomor 107 Tahun 2000 tentang Pinjaman Daerah
6. Peraturan Pemerintah Nomor 108 Tahun 2000 tentang Tata Cara
Pertanggungjawaban Kepala Daerah

C. Paradigma Baru Akuntansi Sektor Publik di Era Reformasi

3
Paradigma baru dalam “Reformasi Manajemen Sektor Publik” adalah penerapan akuntansi
dalam praktik pemerintah guna mewujudkan good governance. Landasan hukum pelaksanaan
reformasi tersebut telah disiapkan oleh Pemerintah dalam suatu Paket UU Bidang Keuangan
Negara yang terdiri dari UU Keuangan Negara, UU Perbendaharaan Negara, dan UU Pemeriksaan
Tanggung Jawab Keuangan Negara yang pada saat ini telah disahkan oleh DPR.
Terdapat empat prinsip dasar pengelolaan keuangan negara yang telah dirumuskan dalam
3 Paket UU Bidang Keuangan Negara tersebut, yaitu :
1. Akuntabilitas berdasarkan hasil atau kinerja
2. Keterbukaan dalam setiap prinsip transaksi
3. Pemberdayaan manajer professional
4. Adanya lembaga pemeriksa internal yang kuat, profesional, dan mendiri serta dihindarinya
duplikasi dalam pelaksanaan pemerintahan
Prinsip-prinsip tersebut sejalan dengan prinsip-prinsip desentralisasi dan otonomi daerah
yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
dan Undang-Undang No. 25 Tahun Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Dengan demikian, pelaksanaan tiga UU Bidang Keuangan Negara tersebut nantinya, selain
menjadi acuan dalam pelaksanaan reformasi manajemen pemerintah, diharapkan akan
memperkokoh landasan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di NKRI.
Paradigma baru regulasi Akuntansi Sektor Publik
1. UU No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara
2. UU No. 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara
3. UU No. 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan Keuangan Negara
4. UU No. 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan dan Pembangunan Nasional
5. UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
6. UU No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Daerah
7. PP No. 24 Tahun 2005 Tentang Standar Akuntansi Pemerintahan
8. PP No. 71 Tahun 2010 Tentang Standar Akuntansi Pemerintahan

D. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Sebagai Regulasi Terkini di Indonesia

4
Dalam UU 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara pasal 1 angka 13, 14, 15, dan 16,
dapat dilihat bahwa definisi pendapatan dan belanja negara/daerah berbasis akrual karena disana
disebutkan bahwa : Pendapatan negara/daerah dalah hak pemerintah pusat/daerah yang diakui
sebagai penambah nilai kekayaan bersih dan Belanja negara/daerah adalah kewajiban pemerintah
pusat/daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih. Namun kita diperkenankan
untuk transisi karena saat itu praktik yang ada adalah dengan menggunakan basis kas, dimana
pendapatan dan belanja diakui saat uang masuk/keluar ke/dari kas umum negara/daerah.
Dispensasi ini tercantum dalam Pasal 36 ayat 1 UU 17 Tahun 2003 yang intinya ketentuan
mengenai pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja berbasis akrual dilaksanakan
selambat-lambatnya dalam 5 (lima) tahun, artinya sampai dengan tahun 2008. Untuk masa transisi
itulah PP 24 tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintah terbit, dimana kita memakai basis
Kas Menuju Akrual (Laporan Realisasi Anggaran berdasarkan basis kas, Neraca berdasarkan basis
Akrual). Dalam pelaksanaan PP 24 Tahun 2005 tersebut hingga Laporan Keuangan Pemerintah
tahun 2008 selesai diaudit di tahun 2009, ternyata opini yang didapat pemerintah saat itu masih
menyedihkan. Untuk itulah, Pemerintah akhirnya berkonsultasi dengan Pimpinan DPR, dan
disepakati bahwa basis akrual akan dilaksanakan secara penuh mulai tahun 2014.
Pada tahun 2010 terbit PP 71 tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintah sebagai
pengganti PP 24 tahun 2005. Diharapkan setelah PP ini terbit maka akan diikuti dengan aturan-
aturan pelaksanaannya baik berupa Peraturan Menteri Keuangan untuk pemerintah pusat maupun
Peraturan Menteri Dalam Negeri untuk pemerintah daerah. Ada yang berbeda antara PP 71 tahun
2010 ini dengan PP-PP lain. Dalam PP 71 tahun 2010 terdapat 2 buah lampiran. Lampiran I
merupakan Standar Akuntansi Pemerintah berbasis Akrual yang akan dilaksanakan selambat-
lambatnya mulai tahun 2014, sedangkan Lampiran II merupakan Standar Akuntansi Pemerintah
berbasis Kas Menuju Akrual yang hanya berlaku hingga tahun 2014. Lampiran I berlaku sejak
tanggal ditetapkan dan dapat segera diterapkan oleh setiap entitas (strategi pentahapan
pemberlakuan akan ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri),
sedangkan Lampiran II berlaku selama masa transisi bagi entitas yang belum siap untuk
menerapkan SAP Berbasis Akrual. Dengan kata lain, Lampiran II merupakan lampiran yang
memuat kembali seluruh aturan yang ada pada PP 24 tahun 2005 tanpa perubahan sedikit pun.
Perbedaan mendasar dari sisi jenis laporan keuangan antara Lampiran I dan Lampiran II
adalah sebagai berikut:

5
Lampiran I
 Laporan Anggaran (Budgetary Reports): Laporan Realisasi Anggaran, Laporan Perubahan
Saldo Anggaran Lebih
 Laporan Keuangan (Financial Reports): Neraca, Laporan Operasional, Laporan Perubahan
Ekuitas, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan
Lampiran II
 Laporan terdiri dari Neraca, Laporan Realisasi Anggaran, Laporan Arus Kas, dan Catatan
atas Laporan Keuangan
Dengan perbedaan jenis Laporan Keuangan yang akan dihasilkan, otomatis penjelasan
pada setiap Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan (PSAP) yang terkait dengan masing-
masing Laporan Keuangan akan mengalami perubahan.
Perbedaan daftar isi pada Lampiran I dan Lampiran II adalah sebagai berikut:
Lampiran I
 Kerangka Konseptual Akuntansi Pemerintahan
 PSAP Nomor 01 tentang Penyajian Laporan Keuangan;
 PSAP Nomor 02 tentang Laporan Realisasi Anggaran Berbasis Kas;
 PSAP Nomor 03 tentang Laporan Arus Kas;
 PSAP Nomor 04 tentang Catatan atas Laporan Keuangan;
 PSAP Nomor 05 tentang Akuntansi Persediaan;
 PSAP Nomor 06 tentang Akuntansi Investasi;
 PSAP Nomor 07 tentang Akuntansi Aset Tetap;
 PSAP Nomor 08 tentang Akuntansi Konstruksi Dalam Pengerjaan;
 PSAP Nomor 09 tentang Akuntansi Kewajiban;
 PSAP Nomor 10 tentang Koreksi Kesalahan, Perubahan Kebijakan Akuntansi, Perubahan
Estimasi Akuntansi, dan Operasi yang Tidak Dilanjutkan;
 PSAP Nomor 11 tentang Laporan Keuangan Konsolidasian.
 PSAP Nomor 12 tentang Laporan Operasional.
Lampiran II
 Kerangka Konseptual Akuntansi Pemerintahan
 PSAP Nomor 01 tentang Penyajian Laporan Keuangan;
 PSAP Nomor 02 tentang Laporan Realisasi Anggaran;

6
 PSAP Nomor 03 tentang Laporan Arus Kas;
 PSAP Nomor 04 tentang Catatan atas Laporan Keuangan;
 PSAP Nomor 05 tentang Akuntansi Persediaan;
 PSAP Nomor 06 tentang Akuntansi Investasi;
 PSAP Nomor 07 tentang Akuntansi Aset Tetap;
 PSAP Nomor 08 tentang Akuntansi Konstruksi Dalam Pengerjaan;
 PSAP Nomor 09 tentang Akuntansi Kewajiban;
 PSAP Nomor 10 tentang Koreksi Kesalahan, Perubahan Kebijakan Akuntansi, dan
Peristiwa Luar Biasa;
 PSAP Nomor 11 tentang Laporan Keuangan Konsolidasian;
a) Kedua daftar isi hampir serupa karena memang kebijakan yang diambil oleh Komite
Standar Akuntansi Pemerintah saat mengembangkan Standar Akuntansi Pemerintahan
berbasis akrual ini adalah dengan beranjak dari PP 24 tahun 2005 yang kemudian
dilakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap PP 24 tahun 2005 itu sendiri. Dengan
strategi ini diharapkan pembaca PP 71 tahun 2010 nantinya tidak mengalami
kebingungan atas perubahan-perubahan tersebut karena lebih mudah memahami
perubahannya dibandingkan jika langsung beranjak dari penyesuaian atas International
Public Sector of Accounting Standards (IPSAS) yang diacu oleh KSAP.
2.3 2.3 TEKNIK PENYUSUNAN REGULASI PUBLIK

Peraturan publik disusun dan ditetapkan terkait dengan beberapa hal, di mana yang pertama,
adalah regulasi publik dimulai dengan adanya berbagai isu yang terkait dengan isu tersebut. Kedua,
tindakan yang diambil terkait dengan isu yang ada adalah bentuk regulasi atau aturan yang dapat
diinterpretasikan sebagai wujud dukungan penuh organisasi publik. Ketiga, peraturan adalah hasil
dari berbagai aspek dan kejadian.

Pendahuluan

Permasalahan
Dengan apa diatur? Mengapa diatur ? mengaturnya?
dan Misi Diskusi/Musyawarah
Catatan
Bagaimana

7
Tahapan dalam Penyusunan Regulasi Publik

Tahapan di atas menunjukkan teknik penyusunan regulasi publik yang berupa rangkaian alur
tahapan, sehingga regulasi publik tersebut siap disusun dan kemudian ditetapkan serta diterapkan.

 Pendahuluan
Perancangan regulasi publik wajar mampu mendeskripsikan latar belakang perlunya
disusun regulasi publik. Sebuah regulasi publik disusun karena adanya permasalahan atau
tujuan yang ingin dicapai.
 Mengapa Diatur?
Sebuah regulasi publik disusun karena adanya berbagai isu terkait yang membutuhkan
tindakan khusus dari organisasi publik. Hal pertama yang harus dilakukan adalah mencari
jawaban atas pertanyaan mengapa isu tersebut harus diatur mengapa regulasi publik perlu
disusun.
 Permasalahan dan Misi
Sebuah regulasi publik disusun dan ditetapkan jika solusi alternatif atas suatu permasalahan
telah dirumuskan. Selain itu, penyusunan dan penetapan regulasi publik juga dilakukan
dengan misi tertentu sebagai wujud komitmen serta langkah organisasi publik menghadapi
rumusan solusi permasalahan yang ada.
 Dengan Apa Diatur?
Ada berbagai jenjang regulasi publik yang sudah dikenal luas. Di setiap jenjang struktur
pemerintahan dikenal regulasi tersendiri, seperti peraturan daerah atau keputusan kepala
daerah sebagai aturan di daerah, Bentuk aturan lainnya adalah Udang-udang Dasar, Udang-

8
undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Udang-udang, Peraturan Pemerintah, dan
Peraturan Presiden.
 Bagaimana Mengaturnya ?
Substansi regulasi publik yang disusun harus bisa menjawab pertanyaan bagaimana solusi
atas permasalahan yang ada akan dilaksanakan. Dengan demikian, regulasi publik yang
disusun benar-benar merupakan wujud kebijakan organisasi publik dalam menghadapi
berbagai permasalahan publik yang ada.
 Diskusi/Musyawarah
Materi regulasi publik harus disusun dan dibicarakan melalui mekanisme forum diskusi
atau pertemuan khusus publik yang membahas regulasi publik. Materi tersebut harus
dipersiapkan melalui proses penelitian yang menggambarkan aspirasi publik yang betul.
Karena itu, materi yang dibahas akan benar-benar menggambarkan permasalahan yang ada
dan aspirasi masyarakat.
 Catatan
Catatan yang dimaksud adalah hasil dari proses diskusi yang dilakukan sebelumnya. Hasil
catatan ini akan menjadi wujud tindakan lanjut dari keputusan organisasi publik
menyangkut bagaimana regulasi publik akan dihasilkan dan dilaksanakan terkait isu atau
permasalahan yang dihadapi.

Dalam istilah teknik, tahapan penyusunan regulasi publik diatur dengan aturan masing-masing
organisasi publik. Aturan tersebut dapat mengatur cara penyusunan draft regulasi maupun tahapan
mulai dari penyusunan, pembahasan, analisis, hingga penetapan regulasi.

2.3. REGULASI DALAM SIKLUS AKUNTANSI SEKTOR PUBLIK

Setiap organisasi publik pasti menghadapi berbagai isu dan permasalahan. Baik yang berasal dari
luar (lingkungan) maupun dari dalam organisasi. Oleh karena itu, setiap organisasi publik pasti
mempunyai regulasi publik sebagai wujud kejadian organisasi dalam menghadapi isu dan
permasalahan yang ada.

Dalam akuntansi sektor publik tahapan organisasi selalu terjadi di semua organisasi publik.
Semua proses tersebut terangkai mulai dari perencanaan, pengagaran, realisasi anggaran, realisasi
anggaran, pengadaan barang dan jasa, pelaporan keuangan, audit, serta pertanggungjawaban

9
publik. Pada setiap tahapan tersebut, isu dan permasalahan sering kali melingkupi, baik yang
fungsional maupun prosedural hingga pada tataran pelaksanaannya sehingga hasil akhir dari setiap
tahap dapat dipengaruhi. Dalam menghadapinya, organisasi publik pun menggunakan regulasi
publik sebagai alat untuk memperlancar jalannya siklus akuntansi sektor publik agar tujuan
organisasi dapat tercapai.

Regulasi
Perencanaan Regulasi
Regulasi Laporan
Publik Perencanaan
Pertanggungjawaban
Publik
Publik

Akuntansi
Sektor Publik

Regulasi Pengadaan Regulasi tentang


Barang dan Jasa Pelaksanaan Realisasi
Publik Anggaran Publik

Regulasi Tahapan dalam Siklus Contoh Hasil Regulasi Publik


Akuntansi Sektor Publik

10
Regulasi Perencanaan Publik Peraturan Pemerintah No.7/2005 mengenai
Rencana Pembangunan Jangka Menengah
(RPJM)
Regulasi Anggaran Publik Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18
Tahun 2006 tentang anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara Tahun Anggaran 2007
Regulasi tentang Pelaksanaan - Peraturan Presiden Republik Indonesia
Realisasi Anggaran Publik nomor 93 Tahun 2006 tentang Rincian
Anggaran Belanja Pemerintah Pusat
Anggaran 2007
- Otoritas Kepala Daerah Dokumen
Pelaksanaan Anggaran (DPA)
Regulasi Pengadaan Barang dan SK Gubernur tentang pemenang dalam
Jasa Publik pengadaan barang dan jasa
Regulasi Laporan Peraturan Daerah tentang penerimaan Laporan
Pertanggungjawaban Publik Pertanggungjawaban
Gubernur/Bupati/Walikota

Sebagai contoh, berikut adalah siklus dan tabel regulasi pada masing-masing proses akuntansi
sektor publik di organisasi pemerintahan.

11
Siklus Regulasi yang Mengatur Akuntansi Sektor Publik

Contoh Regulasi Publik yang Mengatur Akuntansi Sektor Publik

Tahapan dalam Siklus Contoh Regulasi Publik


Akuntansi Sektor Publik
Perencanaan Publik - UU No 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional
- Surat Edaran Bersama No 0295/M.PPN/I/2005050?166?SJ
tentang Tata cara Penyelenggaraan Musyawarah Perencanaan
Pembangunan tahun 2005
Penganggaran Publik - UU No 17 tahun 2003 tentang Keuangan Daerah
- UU No 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat
dan Daerah

12
- Permendagri No 13 tahun 2006 tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah
- Permendagri No 69 tahun 2007 tentang Perubahan atas
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 tahun 2006
tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah
Realisasi Anggaran Publik UU No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
Pengadaan Barang dan Jasa Peraturan Presiden No 32 Tahun 2005 tentang Perubahan
Publik Kedua Atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003
Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah
Pelaporan Keuangan Sektor PP No 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja
Publik Instansi Pemerintah
Audit Sektor Publik - UU No 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan
Tanggung Jawab Keuangan Negara
- SK BPK No 1 Tahun 2008 tentang Standar Pemeriksaan
Keuangan Negara
Pertanggungjawaban Publik Peraturan Pemerintah No 8 tahun 2006 tentang Pelaporan
Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah

Sebagai sebuah siklus, tahapan dalam akuntansi sektor publik saling terkait dan mempengaruhi
satu sama lain. Sebagai contoh, hasil perencanaan yang tidak baik akan mengakibatkan buruknya
tahapan penyusunan anggaran. Karena itu, peran regulasi publik pada siklus akuntansi sektor
publik ini sangatlah besar. Peran itu akan menjadi dasar pendukung utama bagi berhasil tidaknya
perjalanan siklus akuntansi sektor publik.

2.4 2.4 Penyusunan Regulasi Publik

Regulasi dalam akuntansi sektor publik adalah instrument aturan yang secara sah ditetapkan oleh
organisasi publik ketika menyelenggarakan perencanaan, penganggaran, realisasi anggaran,
pengadaan barang dan jasa, pelaporan keuangan, audit, serta pertanggungjawaban publik.

Perumusan Masalah

13
Penyusunan regulasi publik diawali dengan merumuskan masalah yang akan diatur. Untuk itu kita
harus menjawab pertanyaan “Apa masalah publik yang akan diselesaikan?” Seorang perancang
regulasi publik mampu mendeskripsikan masalah publik tersebut. Salah satu cara untuk menggali
permasalah ini adalah melakukan penelitian. Untuk masalah publik yang ada dalam masyarakat,
observasi atas objek permasalahan tu harus dilakukan.

Perumusan masalah publik meliputi hal-hal berikut:

a. Apa masalah publik yang ada!


b. Siapa masyarakat yang perilakunya bermasalah!
c. Siapa aparat pelaksana yang perilakunya bermasalah!
d. Analisis keuntungan dan kerugian atas penerapan regulasi publik!
e. Tindakan apa yang diperlukan untuk mengatasi masalah publik!

Terkait dengan akuntansi sektor publik, masalah-masalah yang akan dibahas adalah sebagai
berikut:

Tabel Contoh masalah Publik tentang Akuntansi Sektor Publik

Tahapan Siklus ASP Permasalahan Pihak Terkait


Perencanaan publik Ketimpangan pelayanan publik Bagan perencanaan, bagian
(kesehatan, pendidikan) program, stakeholder
Penganggaran publik Alokasi anggaran pelayanan Bagian anggaran, bagian
publik minimal keuangan
Realisasi anggaran publik Jumlah pencairan dana tidak Bagian anggaran, bagian
sesuai dengan anggaran keuangan

14
Pengadaan barang dan jasa Informasi tidak transparan Bagian pengadaan, organisasi
publik penyedia layanan barang dan
jasa
Pelaporan keuangan sektor Ketidaktepatan waktu pelaporan Bagian keuangan
publik
Audit sektor publik Kurangnya bukti Audit internal, audit eksternal
Pertanggungjawaban Keterbatasan pendistribusian Kepala organisasi, legislatif
publik informasi

Hasil analisis akan menjelaskan signifikansi keberhasilan atau kegagalan penerapan regulasi
publik dalam organisasi publik.

15
Perumusan Draft Regulasi Publik

Draft regulasi public pada dasarnya merupakan kerangka awal yang dipersiapkan untuk mengatasi
masalah public yang hendak diselesaikan. Terkait dengan jenis regulasi public yang akan dibentuk,
rancangan regulasi public tersebut harus secara jelas mendeskripsikan penataan wewenang bagi
lembaga pelaksana dan perilaku bagi organisasi public atau masyarakat yang harus mematuhinya.

Secara sederhana, draft regulasi public harus dapat menjelaskan siapa organisasi public
pelaksana aturan, kewenangan apa yang diberikan padanya, perlu tidaknya memisahkan antara
organ pelaksana peraturan dan organ yang menetapkan sanksi atas ketidakpatuhan, persyaratan
apa yang mengikat organisasi public pelaksana, serta aoa sanksi yang dapat dijatuhkan kepada
apparat pelaksanan jika menyalahgunakan wewenang. Rumusan permasalahan dalam masyarakat
akan berkisar pada siapa yang berperilaku bermasalah, jenis pengaturan apa yang proporsional
untuk mengendalikan perilaku bermasalah tersebut, dan jenis sanksi yang akan dipergunakan
untuk memakakan kepatuhan.

Penataan jenis perilaku itu akan menghasilkan regulasi public tentang larangan atau izin
dan kewajiban melakukan hal tertentu atau dispensasi. Penyusun draft harus menjeaskan pilihan
norma kelakuan yang dipilihnya dengan tujuan yang hendak dicapai. Norma larangan akan
menghasilkan bentuk pengaturan yang rinci tentang perbuatan yang dilarang. Jika menginginkan
perkecualian, maka norma izin juga harus dirumuskan. Konsekuensinya adalah berupa perumusan
sistem dan syarat perizinannya.

Prosedur Pembahasan

16
Terdapat tiga tahap penting dalam pembahasan draft regulasi publik, yaitu dengan lingkup tim
teknis pelaksana organisasi publik (eksekutif), dengan lembaga legislative (dewan penasehat,
dewan penyantun and lain – lain), dan dengan masyarakat. Pembahasan pada lingkup tim teknis
adalah yang lebih merepresentasi kepentingan eksekutif (manajemen). Setelah itu, dilakukan
public hearing (pengumpulan pendapat masyarakat). Pembahasan pada lingkup legislative
(DPR/D misalnya) dan masyarakat biasanya sangat sarat dengan kepentingan politis.

Pengesahan dan Pengundangan

Perjalanan terakhir dari perancangan draft regulasi publik adalah tahap pengesahan yang dilakukan
dalam bentuk penandatanganan naskah oleh pihak organisasi publik (pimpinan organisasi). Dalam
konsep hukum, regulasi publik tersebut telah mempunyai kekuatan hukum materiil terhadap pihak
yang menyetujuinya. Sejak ditandatangani, rumusan hukum yang ada dalam regulasi publik sudah
tidak dapat diganti secara sepihak.

Sebagai contoh, di lembaga pemerintah daerah, pengundangan dalam Lembaran Daerah adalah
tahapan yang harus dilalui agar rancangan regulasi publik mempunyai kekuatan hukum yang
mengikat kepada publik. Dalam konsep hukum, draft rancangan regulasi publik sudah menjadi
regulasi publik yang berkekuatan hukum formal. Secara teoretis, “Semua orang dianggap
mengetahui regulasi publik” mulai diberlakukan dan seluruh isi/muatan regulasi akuntansi sector
publik dapat diterapkan.

Pandangan sosiologi hukum dan psikologi hukum menganjurkan agar tahapan


penyebarluasan (sosialisasi) regulasi publik harus dilakukan. Hal ini diperlukan agar terjadi
komunikasi hukum antara regulasi publik dan masyarakat yang harus patuh. Pola ini diperlukan
agar terjadi internalisasi nilai atau norma yang diatur dalam regulasi akuntansi sector publik.
Karena itu, ada tahap pemahaman dan kesadaran untuk mematuhinya.

Perancang regulasi akuntansi sector publik adalah orang yang secara substansial meguasai
permasalahan publik di daerah/lokasi tersebut. Permasalahan yang akan diselesaikan harus
dirumuskan dengan jelas agar dapat dipilih instrument hukum yang tepat. Selain itu, perancang
adalah orang yang juga menguasai sistem hukum yang berlaku. Hal ini dimaksudkan agar produk

17
hukum regulasi akuntansi sector publik tidak bertentangan dengan ketentuan hukum yang lebih
tinggi, atau bahkan menimbulkan persoalan hukum dalam penerapannya.

2.5. REVIEW REGULASI AKUNTANSI SEKTOR PUBLIK

Di Indonesia, produk lembaga legislative bersama – sama eksekutif yang berupa Undang dinilai
tidak dapat diuji (judicial review) oleh cabang kekuasaan kehakiman. Jika hal itu hendak
dilakukan, pengujian itu akan dilakukan oleh lembaga yang membuat aturan itu sendiri.

“Judicial Review” (hak uji materiil) merupakan kewenangan lembaga peradilan untuk
menguji kesahihan dan daya jual produk- produk hokum yang dihasilkan oleh eksekutif,
legislative, serta yudikatif di hadapan konstitusi yang berlaku. Pengujian oleh hakim terhadao
oriduk cabang kekuasaan legislative dan cabang kekuasaan eksekutif adalah konsekuensi dari
dianutnya prinsip check and balances, berdasarkan doktrin pemisahan kekuasaan.

Amandemen ketiga UUD 1945 telah menetapkan kewenangan untuk mereview undang –
undang yang terdapat di Mahkamah Konstitusi, sedangkan kewenangan mereview peraturan
perundang – undangan di bawah UU diserahkan ke MA. Hal ini berpotensi menimbulkan masalah,
seperti kemungkinan munculnya persengketaan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah,
atau di antara Pemerintah Daerah karena adanya keputusa – keputusan yang bersifat mengatur
ataupun keputusan – keputusan penetapan administrative yang dianggap merugikan salah satu
pihak. Keputusan hokum tersebut dapat berbentuk keputusan Gubernur, keputusan Bupati,
ataupun peraturan daerah, padahal tingkatannya jelas berada di bawah Undang – Undang yang
seharusnya menjadi objek pengujian oleh Mahkamah Agung, bukan Mahkamah Konstitusi.
Akibatnya, sangat mungkin terjadi disharmonisasi dalam putusan Mahkamah Agung dan
Mahkamah Konstitusi menyangkut hal – hal yang berkaitan, namun dengan yurusdiksi berbeda.
Jika keduanya dibedakan secara teoretis dapat saja terjadi di mana untuk satu perkara yang
Konstitusi. Sebagai contoh, oleh Mahkamah Agung suatu Peraturan Pemerintah dinyatakan
bertentangan dengan Undang – undang, tetapi oleh Mahkamah Konstitusi Undang – undang yang
bersangkutan justru dinyatakan bertentangan dengan Konstitusi.

Dalam melakukan proses judicial review, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.
Pertama, setelah mengidentifikasi permasalahan yang ada mengenai regulasi terkait, surat

18
permohonan judicial review dapat diajukan kepada Ketua Mahkama Agung/Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia.

Dalam PERMA No. 1 Tahun 1999 disebutkan bahwa bila dalam 90 hari setelah putusan
diberikan kepada tergugat atau kepada Badan/Pejabat TUN, dan mereka tidak melaksanakan
kewajibannya, maka peraturan perundang – undangan yang dimaksud batal demi hokum. Putusan
yang dibacakan di siding yang terbuka untuk umum merupakan putusan yang mengikat.

Jadi, dapat diartikan bahwa jika dinyatakan suatu undang – undang, baik seluruh pasalnya
(berhubungan dengan keseluruhan jiwanya) maupun pasal – pasal tertentunya saja bertentangan
dengan UUD, maka putusan tersebut wajib dicabut oleh DPR dan Presiden dalam waktu tertentu.
Jika tidak, maka undang – undang tersebut otomatis batal demi hokum.

Kurang lebih ada dua alternative yang dapat ditawarkan untuk perbaikan di kemudian hari,
yaitu Alternatif pertama, segala peraturan atau kelengkapan dari peraturan yang diputuskan tidak
konstitusional, maka akan kehilangan pengaruhnya sejak hari di mana putusan tersebut dibuat.
Dengan catatan peraturan atau kelengkapan darinya sehubungan dengan hokum pidana kehilangan
pengaruhnya secara retroaktif.

Dalam hal demikian, dapat saja dibuka kembali persidangan mengingat tuduhannya
didasarkan pada peraturan yang dianggap inkonstitusional. Alternative kedua, dapat diberikan
kewenangan bagi MA ataupun MK (nantinya) untuk memutus dampak atas masing – masing
putusan, apakah berdampak terhadap peraturan yang timbul sejak pencabutan dilakukan atau
berdampak retroaktif (ex tunc).

Jika pencabutan putusan dilakukan secara ex tunc, pengaduan individu terhadap suatu
peraturan yang bersangkutan harus memiliki dampak umum (erga omnes), karena landasan hukum
suatu putusan pengadilan atau penetapan administrative telah dinyatakan batal demi hukum atau
dalam proses pembatalan. Dengan demikian, peraturan yang berlaku bagi individu yang
didasarkan pada landasan hukum yang serupa juga menjadi tidak berlaku.

Di sini prinsip jaminan terhadap individu di satu sisi dan prinsip kepastian hukum di sisi
lain harus berjalan seimbang. Setidaknya putusan dalam perkara criminal harus dapat dibuka

19
kembali oleh peradilan biasa berdasarkan adanya pembatalan dari norma hukum pidana yang
menjadi dasar putusan tersebut.

2.6 2.6 DASAR HUKUM KEUANGAN SEKTOR PUBLIK DI INDONESIA

Penyelenggaraan pemerintahan ditujukan untuk mengoordinasikan pelaksanaan hak dan


kewwajiban warga negara dalam suatu sistem pengelolaan keuangan negara. Pengelolaan
keuangan negara, baik keuangan negara dan keuangan daerah, sebagaimana dimaksud dalam
Undang – undang Dasar 1945 perlu dilaksanakan secara professional, terbuka, dan bertanggung
jawab untuk sebesar – besarnya kemakmuran rakyat.

2.6.1 Jenis-Jenis Organisasi Sektor Publik

Dalam prakteknya, definisi organisasi sektor publik di Indonesia adalah organisasi yang
menggunakan dana masyarakat. Di Indonesai jenis organisasi sektor publik yang dikenal antara
lain:

a. Organisasi Pemerintah Pusat

b. Organisasi Pemerintah Daerah

c. Organisasi Partai Politik

d. Organisasi LSM

e. Organisasi Yayasan

f. Organisasi Tempat Peribadatan

Jadi, organisasi sektor publik dapat dikarakteristikan seperti terlihat pada tabel dibawah:

TABEL 1.3 Karakteristik Organisasi Sektor Publik

Tujuan Untuk mensejahterakan masyarakat secara bertahap, baik dalam


kebutuhan dasar, dan kebutuhan lainnya baik jasmani maupun rohani.
Aktivitas Pelayanan publik (public servies) seperti dalam bidang pendidikan,
kesehatan, keamanan, penegakan hukum, transportasi publik, dan
penyediaan pangan

20
Sumber Berasal dari dana masyarakat yang berwujud pajak dan retribusi, laba
Pembiayaan perusahaan negara, pinjaman pemerintah, serta pendapatan lain-lain yang
sah dan tidak bertentangan dengan perundangan yang berlaku.
Pola Pertanggung- Bertanggung jawab kepada masyarakat melalui lembaga perwakilan
jawaban masyarakat, seperti dalam organisasi pemerintahan yang meliputi Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), serta dalam yayasan dan
LSM seperti dewan pengampu
Kultur Organisasi Bersifat birokratis, formal, dan berjenjang.
Penyusunan Dilakukan bersama masyarakat dalam perencanaan program. Penurunan
Anggaran anggaran program publik dipublikasikan untuk dikritisi dan didiskusikan
oleh masyarakat. Dan, akhirnya, disahkan oleh wakil masyarakat di
DPR, DPD, DPRD, majelis syuro partai, dewan pengurus LSM, atau
dewan pengurus yayasan.
Stakeholder Dapat dirinci sebagai masyarakat Indonesia, para pegawai organisasi, ara
kreditor, para investor, lembaga-lembaga internasional termasuk lembaga
Donor Internasional (seperti Bank Dunia (World Bank), International
Monetari Fund (IMF), Asian Development Bank (ADB), Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB), United Nation Development Program (UNDP),
USAID, dan pemerintah luar negeri.

2.6.1. Dasar Hukum Keuangan Negara

Keuangan negara dapat diinterpretasikan sebagai pelaksanaan hak dan kewajiban warga yang bisa
dinilai dengan uang dalam kerangka tata cara penyelenggaraan pemerintahan. Wujud pelaksanaan
keuangan negara tersebut dapat diidentifikasi sebagai segala bentuk kekayaan, hak, dan kewajiban
negara yang tercantum dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN serta laporan
pelaksanaannya.

Tabel 2.5 Hak dan Kewajiban Negara

Hak – hak Negara yang dimaksud, Kewajiban Negara adalah berupa


mencakup: pelaksanaan tugas – tugas pemerintah
sesuai dengan pembukaan UUD 1945,
yaitu:
(1) Hak monopoli mencetak dan (1) Melindungi segenap bangsa Indonesia
mengedarkan uang dan seluruh tumpah darah Indonesia;

21
(2) Hak untuk memungut sumber – sumber (2) Memajukan kesejahteraan umum;
keuangan seperti pajak, bead an cukai; (3) Mencerdaskan kehidupan bangsa;
(3) Hak untuk memproduksi barang dan (4) Ikut melaksanakan ketertiban dunia
jasa yang dapat dinikmati oleh yang berdasarkan kemerdekaan,
khalayak umum, yang dalam hal ini perdamaian abadi, dan keadilan social.
pemerintah dapat memperoleh (kontra
prestasi) sebagai sumber penerimaan
negara

Pelaksanaan kewajiban atau tugas – tugas pemerintah dilakukan dalam bentuk pengeluaran dan
diakui sebagai belanja negara. Da;am UUD 1945 Amandemen III, hal Keuangan Negara secara
khusus diatur, yaitu pada BAB VIII Pasal 23 yang berbunyi sebagai berikut:

1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan
negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka
secara bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat.
2. Rancangan Undang-undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara diajukan oleh
Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwskilsn Rakyat dengan memperhatikan
pertimbangan Dewan Perwkilan Daerah.
3. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyutujui rancangan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara yang diusulkan oleh Presiden, Pemerintah menjalankan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang lalu.

Pasal 23 A:

Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-
undang.

Pasal 23 B:

Macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undang-undang.

Pasal 23 C:

22
Hal-hal lain mengenai keuangan negara diatur dengan undang-undang.

Pasal 23 D:

Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan
indepedensinya diatur dengan undang-undang.

Berdasarkan ketentuan tersebut, Undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja


Negara (APBN) untuk tahun anggaran yang bersangkutan akan ditetapkan. Penyusunan APBN
bukan hanya untuk memenuhi ketentuan konstitusional yang dimaksud dalam pasal 23 ayat (1)
UUD 1945, tetapi juga sebagai dasar rencana kerja yang akan dilaksanakan oleh pemerintah dalam
tahun anggran yang bersangkutan. Karena itu, penyusunannya didasarkan atas Rencana
Pembangunan Jangka Panjang dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah, dan pelaksanaannya
dituangkan dengan undang-undang yang harus dijalankan oleh Presiden/Wakil Presiden serta para
Menteri dan pimpinan Lembaga Tinggi Negara lainnya. Setelah pengesahan undang-undang
APBN, APBN dilaksanakan dan dipertanggungjawabkan dalam bentuk Laporan Keuangan
Pemerintah Pusat.

Undang-Undang No. 17 tahun 2003 (Tentang Keuangan Negara)

Sebelumnya, pelaksanaan pengelolaan keuangan negara masih menggunakan ketentuan


perundang-undangan yang disusun pada masa pemerintahan colonial Hindia Belanda. Undang-
undang No. 17 Tahun 2003 adalah tonggak sejarah yang penting yang mengawali reformasi
keuangan negara menuju pengelolaan keuangan yang efisien dan modern. Beberapa hal penting
yang diatur dalam undang-undang ini adalah:

a. Kekuasaan atas Pengelolaan Keuangan Negara


Presiden selaku kepala pemerintahan memegang kekuasaan atas pengelolaan keuangan
negara sebagai bagia dari kekuasaan pemerintahan. Kekuasaan tersebut:

 Dikuasakan kepada Menteri keuangan, selaku pengelola fiscal dan wakil pemerintah
dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan.

23
 Dikuasakan kepada Menteri/pimpinan lembaga selaku pengguna anggran atau
pengguna barang kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya.
 Diserahkan kepada gubernur/bupati/walikota selaku kepala pemerintah daerah untuk
mengelola keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan
kekayaan daerah yang dipisahkan.
 Tidak termasuk kewenangan di bidang moneter, yang antara lain mengeluarkan dan
mengedarkan uang yang diatur dengan undang-undang.
b. Penyusunan dan Penetapan APBN
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) merupakan wujud pengelolaan
keuangan negara yang ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang. APBN harus sesuai
dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintah negara dan kemampuan dalam
menghimpun pendapatan negara. Hal penting yang ditetapkan dalam undang-undang ini
adalah penyusunan RAPBN yang harus berpedoman pada rencana kerja pemerintah dalam
rangka mewujudkan tercapainya tujuan bernegara. Jika anggran diperkirakan akan
mengalami deficit, sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut ditetapkan
dalam undang-undang tentang APBN. Jika anggaran diperkirakan mengalami surplus,
pemerintah pusat dapat mengajukan rencana penggunaan surplus anggaran kepada DPR.
Undang-undang ini juga menjabarkan tahapan penting dalam penyusunan APBN yang
diawali dengan penyampaian pokok-pokok kebijakan fiscal dan kerangka ekonomi makro
tahun anggaran berikutnya kepada DPR selambat-lambatnya pertengahan bulan Mei tahun
berjalan. Dilanjutkan dengan pembahasan RUU tentang APBN, sementara nota keuangan
dan dokumen-dokumen pendukungnya diserahkan ke Dewan Perwakilan Rakyat pada
bulan Agustus. Pengambilan keputudan oleh DPR menyangkut RUU tentang APBN
dilakukan selambat-lambatnya dua bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan
dilaksanakan.
c. Penyusunan dan Penetapan APBD
Seperti APBN, undang-undang ini juga menjabarkan tahapan penting dalam penyusunan
Anggran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), yang diawali dengan penyampaian
kebijakan umum APBD (KUA) sebagai landasan penyusunan RAPBD kepada DPRD
selambat-lambatnya pertengahan Juni tahun berjalan. Berdasarkan kebijakan umum,

24
APBD disepakati oleh DPRD. Pemerintah Daerah bersama DPRD membahas prioritas dan
plafon anggaran yang dijadikan acuan bagi setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD).
d. Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Bank Sentral, Pemerintah
Daerah, serta Pemerintah/Lembaga Asing
 Pemerintah Pusat dan Bank Sentral berkoordinasi dalam penetapan dan pelaksanaan
kebijakan fiscal serta moneter.
 Pemerintah Pusat mengalokasikan dana perimbangan kepada Pemerintah Daerah
berdasarkan undang-undang perimbangan keuangan pusat dan daerah. Pemerintah
Pusat dapat memberikan pinjaman dan hibah kepada pemerintah daerah atau
sebaliknya. Pemberian pinjaman dan hibah tersebut dilakukan setelah mendapat
persetujuan DPR.
e. Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Perusahaan Negara, Perusahaan
Daerah, Perusahaan Swasta, serta Badan Pengelola Dana Masyarakat
 Pemerintah dapat memberikan pinjaman/hibah/penyertaan modal dan menerima
pinjaman/ hibah dari perusahaan negara/daerah. Pemberian
pinjaman/hibah/penyertaan modal dan penerimaan pinjaman tersebut harus ditetapkan
terlebih dahulu dalam APBN/APBD.
 Menteri Keuangan melakukan pembinaan dan pengawasan kepada perusahaan negara.
 Gubernur/Bupati/Walikota melakukan pembinaan dan pengawasan kepada
perusahaan daerah.
 Pemerintah pusat dapat melakukan penjualan dan privatisasi perusahaan negara
setelah mendapat persetujuan DPR.
 Pemerintah daerah dapat melaukan penjualan dan privatisasi perusahaan daerah
setelah mendapat persetujuan DPRD.

Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBN dan APBD

Presiden dan para Kepala Daerah mempunyai kesempatan untuk menyampaikan laporan
pertanggungjawaban APBN/APBD kepada DPR/DPRD berupa:

 Laporan Realisasi Anggaran

25
 Neraca
 Laporan Arus Kas
 Catatan atas Laporan Keuangan

Laporan tersebut dilampiri dengan laporan keuangan perusahaan negara dan badan lainnya (Deddi
Nordiawan, 2006).

Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 (tentang Perbendaharaan Negara)

Penyelenggaraan pemerintahan negara untuk mewujudkan tujuan bernegara akan menimbulkan


hak dan kewajiban negara yang harus dikelola dalam sistem pengelolaan keuangan negara.
Pengelolaan keuangan negara, sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945, harus deilaksanakan
secara profesional, terbuka, dan bertanggungjawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
yang diwujudkan dalam APBN dan APBD. Sebelum lahir undang-undang tentang perbendaharaan
negara, kaidah-kaidah hukum administrasi keuangan negara masih didasarkan pada ketentuan
dalam undang-undang Perbendaharaan Indonesia (indische Comptabiliteitswet-ICW) Staatsblad
Tahun 1925 Nomor 448 sebagaimana telah beberapa kali diubah, dimana yang terakhir dengan
undang-undang Nomor 9 Tahun 1968 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1968 Nomor
53, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2860). Undang-undang Perbendaharaan Indonesia
tersebut tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan pengelolaan keuangan negara yang sesuai dengan
tuntutan perkembangan demokrasi, ekonomi, dan teknologi. Karena itu, undang-undang tersebut
harus diganti dengan undang-undang yang baru yang mengatur kembali ketentuan dibidang
perbendaharaan negara, sesuai dengan tuntutan perkembangan demokrasi, ekonomi, dan teknologi
modren.

Disini yang dimaksud dengan perbendaharaan negara dalam undang-undang ini adalah
pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara, termasuk investasi serta kekayaan yang
dipisahkan yang ditetapkan dalam APBN dan APBD. Berdasarkan pengertian tersebut, dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 ini diatur mengenai:

 Ruang lingkup dan asas umum perbendaharaan negara


 Kewenangan pejabat perbendaharaan negara

26
 Pelaksanaan pendapatan dan belanja negara/daerah
 Pengelolaan uang negara/daerah
 Pengelolaan piutang dan utang negara/daerah
 Pengelolaan investasi dan barang milik negara/daerah
 Penatausahaan dan pertanggungjawaban APBN/APBD
 Pengendalian internal pemerintah
 Penyelesaian kerugian negara/daerah
 Pengelolaan keuangan badan layanan umum

Undang-undang ini, selain menjadi landasan hukum dalam pelaksanaan refoemasi penglolaan
keuangan negara pada tingkat pemerintah pusat, juga berfungsi untuk memperkokoh landasan
pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah dalam kerangka NKRI.

Undang-undang No. 15 Tahun 2004 (Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab
Keuangan Negara)

Pemeriksaan keuangan negara meliputi pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara dan
pemeriksaan atas tanggung jawab keuangan negara. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
melaksanakan pemerikasaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Pemeriksaan
atas pengelolaan dan tangguang jawab keuangan negara yang dilakukan oleh BPK meliputi seluruh
unsur keuangan negara, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 undang-undang Nomor 17 Tahun
2003 tentang Keuangan Negara. Jika pemeriksaan dilaksanakan oleh akuntan publik berdasarkan
ketentuan undang-undang, laporan hasil pemeriksaan tersebut wajib disampaikan kepada BPK dan
dipublikasikan.

Pemeriksaan terdiri dari pemeriksaan keuangan (pemeriksaan atas laporan keuangan,


pemeriksaan aspek ekonomi dan efisiensi, serta pemeriksaan aspek efektivitas), dan pemeriksaan
dengan tujuan tertentu. Ketiga jenis pemeriksaan tersebut dilaksanakan berdasarkan standar
pemeriksaan yang disusun oleh BPK, setelah berkonsultasi dengan pemerintah.

Pelaksana Pemeriksaan:

27
Penentuan objek pemeriksaan, perencanaan dan pelaksanaan pemeriksaan, penentuan waktu dan
metode pemeriksaan, serta penyusunan dan penyajian laporan pemeriksaan dilakukan secara bebas
dan mandiri oleh BPK. Dalam perencanakan tugas pemeriksaan BPK memperhatikan permintaan
saran, dan pendapat lembaga perwakilan. Dan, untuk melaksanakan hal itu, BPK atau lembaga
perwakilan dalat mengadakan pertemuan konsultasi.

Dalam merencanakan tugas pemeriksaan, BPK dapat mempertimbangkan informasi dari


pemerintah, bank sentral, dan masyarakat. Dalam menyelenggarakan pemeriksaan atas
pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, BPK dapat memanfaatkan hasil pemeriksaan
aparat pengawasan internal pemerintah. Karena itu, laporan hasil pemeriksaan internal pemerintah
wajib disampaikan kepada BPK. (Deddi Nordiawan, 2006).

Undang-undang No. 25 Tahun 2004 (Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional)

Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional adalah suatu kesatuan dari tata cara perencanaan
pembangunan untuk menghasilkan rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka
menengah, dana jangka tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara serta
masyarakat di tingkat Pusat dan Daerah. Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional bertujuan
untuk: mendukung koordinasi antar pelaku pembangunan; menjamin terciptanya integrasi,
sinkronisasi, dan sinergi baik antardaerah, maupun antarruang, antarfungsi pemerintah maupun
antar Pusat dan Daerah; menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran,
pelaksanaan, dan pengawasan; mengoptimalkan partisipasi masyarakat, serta menjamin
tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan, dan berkelanjutan.

Perencanaan Pembangunan Nasional menghasilkan :

a. Rencana Pembangunan Jangka Panjang


b. Rencana Pembangunan Jangka Menengah
c. Rencana Pembangunan Tahunan

28
Proses perencanaan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dalam undang-undang ini
mencakup lima pendekatan dari seluruh rangkaian perencanaan, yaitu :

1. Politik
2. Teknokratik
3. Parsitipasif
4. Atas-bawah (top-down)
5. Bawah-atas (bottom-up)

Pendekatan politik memandang bawah pemilihan Presiden/Kepala Daerah merupakan


proses penyusunan rencana, karena rakyat pemilih menentukan pilihannya berdasarkan program-
program pembangunan yang ditawarkan masing-masing calon Presiden/Kepala Daerah

Pendekatan Politik memandang bahwa pemilihan Presiden/Kepala daerah merupakan


proses penyusunan rencana,karena rakyat pemilih menentukan pilihannya berdasarkan program-
program pembangunan yang ditawarkan masing-masing calon Presiden/kepala Daerah.Karna
itu,rencana pembangunan adalah penjabaran dari agenda-agenda pembangunan yang ditawarkan
calon presiden/kepala daerah pada saat kampanye ke dalam rencana pembangunan jangka
menengah. Perencanaan dengan pendekatan teknokratik, dilaksanakan dengan menggunakan
metode dan kerangka berfikir ilmiah oleh lembaga atau satuan kerja secara fungsional bertugas
untuk itu. Perencanaan memalui partisipatif dilaksanakan dengan melibatkan semua pihak yang
berkepentingan (Stakeholders) terhadap pembangunan. Perlibatan tersebut adalah untuk
mendapatkan aspirasi dan menciptakan rasa memiliki.
Sementara itu,pendekatan atas-bawah dan bawah-atas dalam perencanaan dilaksanakan
menurut jenjang pemerintahan. Rencana hasil proses atas-bawah dan bawah atas di selaraskan
melalui musyawarah yang dilaksanakan baik tingkat Nasional ,Provinsi ,Kabutapet/Kota
,Kecamatan ,maupun desa.

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomer 32 Tahun 2005 Tentang Perubahan


Kedua atas Keputusan Presiden Nomer 80 Tahun 2003 Tentang Pedoman Pelaksanaan
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Pengumuman pemilihan penyedia barang /jasa harus dapat memberikan informasi yang

29
luas kepada masyarakat dunia usaha,baik pengusaha daerah setempat maupun pengusaha daerah
lainnya. Dalam peraturan Presiden ini,masalah pengadaan barang dan pendistribusian logistik
pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang penanganannya memerlukan
pelaksanaan secara cepat dalam rangka penyelanggaraan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah yang diselenggarakan sampai dengan bulan juli 2005,juga di atur berdasarkan
peraturan perundang-undangan.

2.6.2 Dasar Hukum Keuangan Daerah

Pembangunan daerah sebagian bagian integral dari menbangunan nasional, didasarkan


pada prinsip otonomi daerah dalam pengelolaan sumber daya. Prinsip otonomi daerah memberikan
kewenangan yang luas dan tanggung jawab yang nyata kepada pemerintah daerah secara
proporsional. Dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional, baik yang
berupa uang maupun sumber daya alam, pemerintah pusat dan pemerintah daerah akan
mengembangkan suatu sistem perimbangan keuangan antara pusat dan daerah yang adil. Sistem
ini dilaksanakan untuk mencerminkan pembagian tugas kewenangan dan tanggung jawab yang
jelas antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah secara transparan. Kriteria keberhasilan
pelaksanaan sistem ini adalah tertampungnya aspirasi semua warga, dan berkembannya
pasrtisipasi masyarakat dalam prosoes pertanggungjawaban eksplorasi sumber daya yang ada serta
pengembangan sumber-sumber pembiayaan.

Pada Pasal 18 Undang-undang Dasar 1945, disebutkan bahwa negara kesatuan Republik
Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi. Daerah provinsi itu dibagu atas kabupaten dan kota,
dimana setiap privinsi,kabupaten,dan kota itu mempunyai pemerintah daerah yang di atur dengan
Undang-undang. Pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan
lain untuk melaksanakan otonomi serta tugas pembantuan.

2.6.3 Dasar Hukum Keuangan Organisasi Publik Lainnya

Di Indonesia, beberapa upaya untuk membuat standar yang relavan dengan praktek-praktek
akuntansi di organisasi sektor publik telah dilakukan baik oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI)
maupun oleh pemerintah sendiri. Untuk organisasi nirlaba, IAI menerbitkan Pernyataan Standar
Akuntansi Keuangan Nomor 45 (PSAK No 45) tentang organisasi nirlaba. PSAK ini berisi akidah-

30
akidah atau prinsip-prinsip yang harus diikuti oleh organisasi nirlaba dalam membuat laporan
keuangan.

a. Yayasan

Undang-Undang No. 16 Tahun 2001 yang diubah menjadi Undang-Undang No. 28 Tahun 2004
tentang Yayasan yang mengatur masalah organisasi publik yang berbentuk yayasan. Yayasan
diwajibkan menyusun laporan tahunan yang terdiri dari dua komponen, yaitu Laporan Kegiatan
dan Laporan Keuangan.

b. LSM

UU No. 17 Tahun 2013 yang diubah menjadi PP No. 2 Tahun 2017 tentang Organisasi
Kemasyarakatan.

c. Partai Politik

Regulasi publik terkait dengan partai politik seperti Undang-undang No 2 tahun 2008 tentang
partai politik, dan Peraturan Pemerintahan No. 5 Tahun 2009 (29 Tahun 2005) tentang Bantuan
Keuangan Kepada Partai Politik. Juga dijelaskan Permendagri No. 24 Tahun 2009 tentang
Pedoman Tata Cara Penghitungan, Penganggaran dalam APBD, Pengajuan dan Laporan
Pertanggungjawaban Penggunaan Bantuan Keuangan Parpol.

d. Tempat Peribadatan

yang menjadi acuan dasar penggunaan sistem akuntansi dalam organisasi ini adalah QS. An-Nisa
(4) ayat 6 dan QS. Qaf (50) ayat 18 yang memberikan prinsip tentang pengawasan dalam hal
organisasi masjid. Untuk organisasi gereja acuannya adalah Matius 10:10 dan Lukas 10:7 yang
menjelaskan bahwa pelayanan mempunyai hak menerima sokongan.

2.7. PERMASALAHAN REGULASI KEUANGAN PUBLIK DI INDONESIA


Permasalahan regulasi keuangan publik di Indonesia dapat disebutkan sebagai berikut :

1. Regulasi yang Berfokus pada Manajemen


Organisasi publik didirikan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Perwujudan ini dicapai melalui pelayanan publik yan menjadi muara dari seluruh proses

31
pengelolaan organisasi publik. Segala proses yang dilakukan organisasi publik, baik
keuangan maupun nonkeuangan,diatur dengan regulasi publik.
Dalam hal ini,salah satu permasalahan yang ada dalam regulasi keuangan pubolik adalah
regulasi yang berfokus pada menejemen organisasi publik. Regulasi yang hanya terfokus
pada pengaturan wilayah menejemen sering kali mengaburkan proses pencapaian
kesejahteraan masyarakat. Jadi,regulasi publik harus fokus pada tujuan pencapaian
organisasi publik yaitu kesejahteraan publik. Dengan demikian,menejemen akan menata
dirinya dalam segala situasi dan kondisi mengikuti regulasi yang berfokus pada tujuan
kesejahteraan publik tersebut.
2. Regulasi Belum Bersifat Teknik
Banyak regulasi publik di Indonesia yang tersusun dengan sangat baik untuk tujuan
kesejahteraan publik. Namun,banyak di antaranya tidak dapat diaplikasikan dalam
masyarakat. Hal ini terjadi karena regulasi tersebut tidak menjelaskan atau tidak disertai
dengan regulasi lain yang membahas secara lebih teknis bagaimana mengimplementasikan
regulasi tersebut. Selain itu, di Indonesia juga ada beberapa regulasi setingkat undang-
undang yang tidak diikuti peraturan pelaksanaan dibawahnya,sehingga pemerintah di
tingkat daerah tidak dapat melaksanakan undang-undang tersebut. Bahkan hal ini dapat
menimbulkan pertentangan antara undang-undang yang bersangkutan dan peraturan
pelaksanaan tingkat daerah.
3. Perbedaan Interpretasi antara Undang-undang dan Regulasi di Bawahnya
Regulasi ditetapkan untuk dilaksanakan dalam masyarakat. Regulasi yang baik harus
bersifat aplikatif,karena ergulasi yang tidak jelas dan tidak aplikatif akan menimbulkan
multiinterpretasi dalam pelaksanaannya. Multiinterpretasi ini selanjutnya dapat
menimbulkan berbagai penyimpangan dari tujuan regulasi semula.
Dalam kasus ini,salah satu permasalahan regulasi di Indonesia adalah perbedaan
interpretasi antara Undang-undang dan regulasi dibawahnya. Dalam banyak
kajian,beberapa ayat atau pasal dari undang-undang atau regulasi terkait sering
menimbulkan berbagai interpretasi yang berbeda dalam pelaksanaannya. Ditingkat
daerah,substansi dari isi undang-undang terkait tidak dapat diturunkan dalam peraturan
daerah. Kondisi ini membuat tujuan peraturan pemerintah tidak dapat tercapai sesuai
konsep awalnya.

32
4. Pelaksanaan Regulasi yang Bersifat Transisi Berdampak Pemborosan Anggaran
Seiring dengan era reformasi yang tengah melanda Indonesia,berbagai regulasi pun juga
mengikuti perubahan yang ada. Sejumlah besar revisi atau penyusunan regulasi yang baru
telah dilakukan oleh pemerintah atau organisasi publik lainnya. Sebagai contoh, di bidang
keuangan publik reformasi di tingkat regulasi dimulai dengan lahirnya UU No 17 tahun
2003, yang diikuti dengan lahirnya Permendagri No 13 Tahun 2006,yang direvisi kembali
menjadi Permendagri No 59 tahun 2007. Walaupun telah direvisi,berbagai friksi terkait
dengan materi peraturan tersebut tetap masih ada. Fenomena perbaikan regulasi yang tak
kunjung berakhir ini telah membuat para aparat keuangan di tingkat daerah menjadi
bingung. Selain itu. Untuk mengaplikasikan sebuah regulasi,kapasitas tertentu juga harus
ada sehingga wajar jika pergantian regulasi pasti akan diikuti dengan pengeluaran lain
sebagai dampak dari bagian pelaksanaan regulasi tersebut.
Saat ini,banyak regulasi yang bersifat transisi telah dilaksanakan secara bertahap
dan membutuhkan kapasitas tertentu untuk melaksanakannya. Hal ini akan mempengaruhi
anggaran yang senantiasa meningkat dan cenderung boros. Pemborosan anggaran akan
menurunkan kapasitas organisasi dalam menjalanka roga organisasi sehingga pencapaian
tujuan organisasi semakin menurun.
5. Pelaksanaan Regulasi Tanpa Sanksi
Kelemahan lain dari regulasi di Indonesia adalah pelaksanaan regulasi yang tanpa sanksi.
Dalam kasus ini, sanksi yang dimaksud adalah hukuman jika organisasi publik tidak
melaksanakn regulasi tersebut. Dengan tidak adanya sanksi,organisasi akan seenaknya
melaksanakan atau tidak melaksanakan regulasi tersebut. Sebuah regulasi disusun dan
disahkan dengan tujuan tertentu,yang dalam konteks ini sudah tentu sejahteraan publik.
Jika organisasi tidak melaksanakan regulasi tersebut,secara otomatis tujuan kesejahteraan
publik tidak dapat tercapai. Karna itu, sanksi terhadap organisasi yang tidak melaksanakan
regulasi hendaknya dicantumkan dalam setiap regulasi publik.

33
BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Kecurangan didefinisikan sebagai salah saji dalam laporan keuangan yang dilakukan
dengan sengaja. Dua kategori utama kecurangan adalah kecurangan dalam laporan keuangan
dan penyalahgunaan asset. Kecurangan dalam laporan keuangan merupakan salah saji atau
penghapusan terhadap jumlah ataupun pengungkapan yang sengaja dilakukan dengan tujuan
untuk mengelabui para penggunanya. Penyalahgunaan aset merupakan kecurangan yang
melibatkan pencurian atas aset milik suatu entitas.
Dengan menerapkan program-program dan pengendalian antikecuragan, manajemen
dapat mencegah kecurangan dengan mengurangi kesempatan yang memungkinkan terjadinya
kecurangan. Untuk membantu manajemen dan dewan direksi dalam menjalankan usaha
antikecurangan, AICPA, bekerja sama dengan beberapa organisasi profesi terkait, menerbitkan
Program dan Pengendalian Antikecurangan bagi Manajemen: Panduan untuk Membantu
Mencegah, Mengantisipasi, dan Mendeteksi Kecurangan.
Panduan tersebut mengidentifikasi adanya 3 elemen untuk mencegah, mengantisipasi
dan mendeteksi kecurangan, yaitu Budaya kejujuran dan etika yang bernilai tinggi, Tanggung
jawab manajemen untuk mengevaluasi resiko-resiko kecurangan dan pengawasan dari komite
Audit.
1. Mengubah Keseluruhan Pelaksanaan Audit
Pelaku kecurangan seringkali memiliki pengetahuan yang baik dalam prosedur audit.
Untuk alasan itu maka PSA 70 mengharuskan auditor untuk menerapkan rencana audit
yang tidak dapat diprediksi.
2. Merancang dan Melakukan Prosedur Audit untuk Menghadapi Resiko Kecurangan
3. Auditor merancang prosedur audit yang tepat digunakan untuk mengatasi resiko audit
spesifik sesuai dengan akun yang sedang diaudit dan jenis resiko kecurangan yang
teridentifikasi.
Sepanjang pengauditan, auditor terus-menerus mengevaluasi apakah bukti-bukti yang
didapatkan dan pengamatan-pengamatan lainnya mengindikasikan adanya salah saji material
yang disebabkan oleh kecurangan.
34
- Jenis teknik-teknik wawancara
- Tanya jawab informal
- Tanya jawab evaluasi
- Tanya jawab interogatif
- Mengevaluasi respons tanya jawab
- Teknik mendegarkan
- Mengamati tanda-tanda perilaku

35
DAFTAR PUSTAKA

Arens, A. A., Elder, R. J., & Beasley, M. S. (2012). Auditing and Assurance Services An Integrated
Approach.

Tuanakotta, Theodorus M. 2015. Audit Kontemporer. Jakarta: Salemba Empat.

36

Anda mungkin juga menyukai