Anda di halaman 1dari 25

“ MAKALAH AKUNTANSI SEKTOR PUBLIK “

PERKEMBANGAN REGULASI AKUNTANSI SEKTOR PUBLIK

PERBEDAAN REGULASI AKUNTANSI SEKTOR PUBLIK


SEBELUM DAN SESUDAH REFORMASI

Dosen Pengampu : Gandy Wahyu Maulana Zulma, S. Pd., M.S., Ak.

DI SUSUN OLEH : KELOMPOK F

Agung Rizki Dwi Putra C1C021217

Nurjannah C1C021225

Nurul Vialeta C1C021219

Putri Bernita C1C021214

Sherly Heriyanti C1C021202

Program Studi :Akuntansi

Fakultas :Ekonomi Dan Bisnis

Universitas Jambi
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadiran Tuhan Maha Esa karena dengan rahmat
nya lah kami dapat menyelesaikan makalah Akuntansi Sektor Publik dengan judul
“Perkembangan Regulasi Akuntansi Sektor Publik Dan Perbedaan Regulasi
Akuntansi Sektor Publik Sebelum Dan Sesudah Reformasi” dengan tepat waktu.
Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas Akuntasi Sektor
Publik.sehubungan dengan tersusunnya makalah ini kami mengucapkan terimakasih
kepada Gandy Wahyu Maulana Zulma, S. pd., M.S., Ak. selaku dosen pengampu
mata kuliah Akuntansi Sektor Publik. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kami dan
pembaca.dan kami menyadari bahwa makalah ini masih terdapat kelemahan dan
kekurangan.namun penyusun tetap mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
konstruktif sehingga dapat menjadi acuan dalam penyusunan makalah selanjutnya.

Jambi,7 September 2022

Disusun oleh

kelompok F
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................2
Daftar Isi ............................................................................................................................. 3

BAB 1 PENDAHULUAN...................................................................................................4

1.1 Latar Belakang Masalah.................................................................................................4

1.2 Rumusan Masalah .........................................................................................................5

1.3 Tujuan Penulisan ...........................................................................................................5

BAB 2 PEMBAHASAN .....................................................................................................6

2.1 Konsep dan dasar hukum pajak penghasilan……..........................................................6

BAB III PENUTUP.............................................................................................................9

3.1 Kesimpulan....................................................................................................................9

3.2 Saran .............................................................................................................................9

Daftar Pustaka....................................................................................................................10
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Akuntansi sektor publik adalah proses pengumpulan, pencatatan,


pengklasifikasian, analisis, dan pembuatan laporan keuangan untuk sebuah organisasi
publik yang menyajikan informasi keuangan kepada pihak-pihak yang
membutuhkannya. Akuntansi sektor publik biasanya digunakan sebagai alat
pertanggungjawaban lembaga publik kepada masyarakat, sehingga pengelolaan
keuangan menjadi lebih transparan. akuntansi sektor publik lebih menekankan pada
pemeriksaan serta sistem akuntansinya. Standar sistem akuntansi negara, terutama
lembaga pemerintah membuat akuntansi ini menjadi akuntansi yang harus
disesuaikan dengan standar akuntansi di setiap lembaga. Ukuran prestasi dan kinerja
sektor publik menjadi titik berat dalam pengembangan akuntansi sektor publik.
Tekanan pada efektivitas manajemen serta efisiensi keuangan pun menjadi titik fokus
utama dalam bidang akuntansi ini.

Bicara tentang akuntansi, tentu selalu berdampingan dengan karakteristiknya.


Berikut ini karakteristik akuntansi sektor publik yang penting untuk diketahui.
Berdasarkan penggunaan, akuntansi jenis ini digunakan oleh lembaga pemerintah
pusat maupun daerah. Dari sisi sifatnya, akuntansi bersifat khusus untuk organisasi
non profit yang tidak menghasilkan laba. Sedangkan dari fokus tujuan lembaga,
akuntansi hanya menyajikan informasi pelayanan kepada publik untuk kesejahteraan
mereka. Dilihat dari lingkungan, lembaga atau sektor publik bergerak pada
lingkungan turbulence dan sangat kompleks.

Ruang lingkup di atas tersebut dibedakan atas 2 jenis, yakni:

Akuntansi Pemerintah: Data akuntansi ditujukan untuk memberi informasi


tentang transaksi ekonomi maupun keuangan pemerintah kepada pihak eksekutif,
legislatif, yudikatif, dan masyarakat.

Akuntansi Sosial: Masuk dalam lingkup akuntansi khusus yang diterapkan pada
lembaga, seperti makro yang melayani perekonomian nasional. Akuntansi sosial
menjadi akuntansi yang digunakan dalam pencatatan peristiwa ekonomi dalam
sebuah organisasi non profit/nirlaba. Misalnya, partai politik, tempat ibadah, instansi
pendidikan dan kesehatan, serta lembaga masyarakat lainnya.
1.1 Rumusan Masalah

Dalam hal ini saya telah menyusun beberapa masalah yang akan di bahas
dalam makalah ini dalam pembahasan bab isi. Adapun perumusan
pembahasan sebagai berikut :

1. Memahami,menguasai dan menjabarkan Perkembangan regulasi


akuntansi sektor publik
2. Memahami Perbedaan regulasi akuntansi sektor publik sebelum dan
sesudah reformasi

1.2 Tujuan Penulisan

Berdasarkan dari perumusan masalah di atas maka tujuan dalam penulisan


makalah ini sebagai berikut :

1. Mengetahui konsep dan dasar akuntansi sektor publik


2. Memahami perbedaan sebelum dan sesudah reformasi

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Perkembangan regulasi akuntansi sketor publik

Pada era keterbukaan seperti sekarang ini, informasi berperan penting bagi kita
semua. Informasi merupakan sarana komunikasi efektif antara anggota masyarakat
dengan anggota masyarakat lainnya atau antara suatu entitas tertentu dengan
masyarakat di sekitarnya. Pada kondisi tersebut, penyajian informasi yang utuh akan
menciptakan transparansi dan pada gilirannya akan mewujudkan akuntabilitas publik.

Seperti telah dijelaskan pada bab sebelumnya, kita mengetahui bahwa aktivitas
organisasi sektor publik memengaruhi hajat hidup orang banyak. Atas fakta itu, untuk
mencegah terjadinya penyalahgunaan yang merugikan masyarakat, organisasi sektor
publik perlu diatur dengan peraturan-peraturan. Nantinya, regulasi ini akan bersifat
lebih detail dibandingkan dengan regulasi yang mengatur sektor komersial mengingat
sifatnya yang memengaruhi kepentingan orang banyak. Selain itu, sebagai organisasi
yang mengelola dana masyarakat, organisasi sektor publik juga seyogyanya mampu
memberikan pertanggungjawaban publik melalui laporan keuangannya. Seperti yang
dilakukan oleh perusahaan-perusahaan komersial, informasi berupa laporan keuangan
tersebut seharusnya merupakan hasil dari sebuah proses akuntansi.

PERKEMBANGAN REGULASI DI SEKTOR PUBLIK Regulasi di sektor


publik dapat dibagi dalam dua bagian besar, yaitu perkembangan regulasi yang terkait
dengan organisasi nirlaba dan instansi pemerintah. Kedua jenis perkembangan ini
perlu dibedakan mengingat sifat regulasi di sektor publik bersifat spesifik untuk
setiap jenis organisasi Selain itu, di instansi pemerintah, regulasi yang digunakan juga
cenderung lebih rumit dan detail. Perkembangan Regulasi Terkait Organisasi Nirlaba
Regulasi tentang Yayasan Yayasan merupakan salah satu bentuk badan hukum yang
keberadaannya telah lama berkembang di Indonesia, Yayasan adalah badan hukum
yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan
tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan yang tidak mempunyai
anggota. Yayasan dapat melakukan kegiatan usaha untuk mencapai maksud dan
tujuannya dengan mendirikan badan usaha dan/atau ikut serta dalam suatu badan
usaha dengan persyaratan persyaratan tertentu. Dengan kegiatan yayasan yang terkait
dengan kesejahteraan sosial masyarakat luas, regulasi yang detail dibutuhkan untuk
mengatur pelaksanaan yayasan. Sebelumnya, pendirian yayasan di Indonesia
dilakukan berdasarkan kebiasaan dalam masyarakat karena belum ada peraturan
perundangan yang mengatur tentang yayasan.

Regulasi yang terkait dengan yayasan adalah Undang-Undang RI Nomor 16


Tahun 2001 tentang Yayasan. Undang-Undang ini dimaksudkan untuk menjamin
kepastian dan ketertiban hukum agar yayasan dapat berfungsi sesuai dengan maksud
dan tujuannya berdasarkan prinsip keterbukaan dan akuntabilitas kepada masyarakat.

Berikut isi Undang-Undang No.16/2001 secara ringkas.


Ketentuan Umum Yayasan yang meliputi pengertian yayasan beserta organ-organ
1. yang membentuknya, persyaratan kegiatan usaha yang dapat dilakukan, dan
kekayaan yayasan.
2. Tata cara Pendirian Yayasan sejak pengajuan pendirian, pembuatan akta,
sampai dengan permohonan pengesahannya ke Menteri Kehakiman dan Hak
Asasi Manusia (sekarang bernama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia).
3. Tata cara perubahan Anggaran Dasar Yayasan.
4. Kewajiban pengumuman akta pendirian yayasan dalam Tambahan Berita
Negara Republik Indonesia.
5. Kekayaan yayasan.
6. Organ yayasan yang terdiri atas pembina, pengurus, dan pengawas.
7. Laporan tahunan yang harus disampaikan.
8. Tata cara pemeriksaan dan pembubaran yayasan.

Dalam pengelolaannya, BHP mendasarkan pada sepuluh prinsip berikut.


1. Nirlaba, artinya kegiatan yang dilakukan tidak dengan tujuan mencari laba
sehingga jika ada kelebihan hasil usaha, kelebihan tersebut dünvestasikan
kembali untuk meningkatkan mutu pendidikan.
2. Otonom, artinya kewenangan dan kemampuan untuk menjalankan kegiatan
secara Mandiri baik dalam bidang akademik maupun non-akademik.
3. Akuntabel, artinya kemampuan dan komitmen untuk
mempertanggungjawabkan semua kegiatan yang dijalankan pada seluruh
pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders).
4. Transparan, artinya kemampuan menyajikan informasi yang relevan secara
tepat waktu sesuai dengan peraturan perundangan dan standar yang berlaku.
5. Penjaminan mutu, artinya kegiatan sistemis dalam memberikan layanan
pendidikan formal yang memenuhi atau melampaui Standar Nasional
Pendidikan dan meningkatkan mutu pelayanan pendidikan secara
berkesinambungan.
6. Layanan prima, artinya orientasi dan komitmen untuk memberikan layanan
pendidikan Formal yang terbaik bagi peserta didik pada khususnya dan
pemangku kepentingan pada umumnya.
7. Akses yang berkeadilan, artinya memberikan pelayanan pendidikan kepada
calon peserta didik tanpa memandang latar belakang, agama, ras, etnis,
gender, status sosial, Serta kemampuan ekonomi.
8. Keberagaman, artinya kepekaan dan sikap akomodatif terhadap berbagai
perbedaan Pemangku kepentingan yang bersumber dari kekhasan agama,
ras, etnis, dan budaya Masing-masing.
9. Keberlanjutan, artinya kemampuan untuk memberikan layanan pendidikan
formal kepada peserta didik secara terus-menerus.
10. Partisipasi atas tanggung jawab negara, artinya keterlibatan pemangku
kepentingan dalam penyelenggaraan pendidikan formal untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa.

Regulasi tentang Badan Layanan Umum


Badan Layanan Umum (BLU) adalah instansi di lingkungan pemerintah yang
dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang
dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan. Dalam
melakukan kegiatannya, BLU didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas.
Yang dapat menjadi BLU adalah satuan kerja pemerintah operasional yang
melayani publik seperti layanan kesehatan, pendidikan, pengelolaan kawasan,
pengelolaan dana bergulir untuk usaha kecil dan menengah, lisensi, dan lain-lain.
Kriteria yang lebih lengkap bagi suatu satua kerja untuk dapat menjadi BLU adalah:
1. bukan kekayaan negara/daerah yang dipisahkan sebagai satuan kerja instan
pemerintah;
2. dikelola secara otonom dengan prinsip efisiensi dan produktivitas ala
korporasi;
3. berperan sebagai agen dari menteri/pimpinan lembaga induknya:
a.kedua belah pihak menandatangani kontrak kinerja,
b. menteri/pimpinan lembaga bertanggung jawab atas kebijakan layanan yang
hendak dihasilkan.
c. BLU bertanggung jawab menyajikan layanan yang diminta.

BLU dibentuk untuk mempromosikan peningkatan layanan publik melalui


fleksibilitas pengelolaan keuangan BLU yang dikelola secara profesional
dengan menonjolkan produktivitas, efisiensi, dan efektivitas. Dalam tataran
pengatur regulasi, BLU diatur oleh Direktorat Pembinaan Pengelolaan
Keuangan BLU yang ada di bawah Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang
ada di Departemen Keuangan. Wacana tentang BLU dalam regulasi di level
undang-undang disebut dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara. Level regulasi di bawahnya yang secara khusus
menjelaskan tentang BLU adalah Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun
2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum.

Perkembangan Regulasi Terkait Keuangan Negara


Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara

Selama ini, pelaksanaan pengelolaan keuangan negara masih digunakan


ketentuan perundang undangan yang disusun pada masa pemerintahan
kolonial Hindia Belanda yang berlaku berdasarkan Aturan Peralihan Undang-
Undang Dasar 1945, yaitu Indische Comptabiliteitswet yang lebih dikenal
dengan nama ICW Stbl. Selanjutnya, 1925 No. 448 diubah dan diundangkan
dengan Lembaran Negara 1954 Nomor 6, 1955 Nomor 49, dan terakhir
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1968 yang ditetapkan pertama kali pada
Tahun 1864 dan mulai berlaku pada Tahun 1867, Indische Bedrijvenwet
(IBW) Stbl. 1927 No. 419 jo. Stbl. 1936 Nomor 445 dan Reglement voor het
Administratief Beheer (RAB) Stbl. 1933 Nomor 381. Sementara itu,
pelaksanaan pemeriksaan pertanggungjawaban keuangan negara
menggunakan Instructie en verdere bepalingen voor de Algemeene
Rekenkamer (LAR) Stbl. 1933 Nomor 320.

1.Kekuasaan atas Pengelolaan Keuangan Negara


Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan
keuangan Negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Kekuasaan
tersebut.
Dikuasakan kepada Menteri Keuangan, selaku pengelola fiskal dan Wakil
Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan:
b. Dikuasakan kepada menteri/pimpinan lembaga selaku Pengguna Anggaran/
Pengguna Barang kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya;
c. diserahkan kepada gubernur/bupati/walikota selaku kepala pemerintahan
daerah untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah
dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan:

d. Tidak termasuk kewenangan di bidang moneter, yang antara lain


meliputimengeluarkan dan mengedarkan uang yang diatur dengan undang-
undang
Penyusunan dan Penetapan APBN
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) merupakan wujud
pengelolaan keuangan negara yang ditetapkan tiap tahun dengan undang-
undang. APBN harus sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan
pemerintahan negara dan kemampuan dalam menghimpun pendapatan negara.
Jadi, hal penting yang ditekankan dalam UU ini penyusunan RAPBN harus
berpedoman kepada rencana kerja Pemerintah dalam rangka mewujudkan
tercapainya tujuan bernegara. Dalam hal anggaran diperkirakan defisit,
ditetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut dalam
UU tentang APBN. Dalam hal anggaran diperkirakan surplus, Pemerintah
Pusat dapat mengajukan rencana penggunaan surplus anggaran kepada Dewan
Perwakilan Rakyat. Undang-undang ini juga menjabarkan tahapan penting
dalam penyusunan APBN yang diawali dengan penyampaian pokok-pokok
kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro tahun anggaran berikutnya
kepada DPR, selambat-lambatnya pertengahan bulan Mei tahun berjalan.
Kemudian, dilanjutkan dengan pembahasan RUU tentang APBN, disertai nota
keuangan dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada Dewan Perwakilan
Rakyat pada bulan Agustus. Pengambilan keputusan oleh DPR mengenai
RUU tentang APBN dilakukan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sebelum
tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan.

Penyusunan dan Penetapan APBD

Seperti halnya APBN, undang-undang ini juga menjabarkan tahapan penting


dala penyusunan APBD yang diawali dengan penyampaian kebijakan umum
APBD (KUA) sebagai landasan penyusunan RAPBD kepada DPRD,
selambat-lambatnya pertengaha Juni tahun berjalan. Berdasarkan kebijaka
umum APBD yang telah disepakati denga DPRD, Pemerintah Daerah
bersama DPRD membahas prioritas dan plafon anggaran sementara untuk
dijadikan acuan bagi setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah.
Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Bank Sentral,
Pemerintah Daerah, serta Pemerintah/Lembaga Asing

a. Pemerintah Pusat dan bank sentral berkoordinasi dalam penetapan dan


pelaksanaan kebijakan fiskal dan moneter.

b. Pemerintah Pusat mengalokasikan dana perimbangan kepada Pemerintah


Daerah berdasarkan undang-undang perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Pemerintah Pusat dapat memberikan pinjaman dan/atau hibah kepada
Pemerintah Daerah atau sebaliknya. Pemberian pinjaman dan/atau hibah
tersebut dilakukan setelah mendapat persetujuan DPR.

Hubungan Keuangan antara Pemerintah dan Perusahaan Negara,


Perusahaan Daerah. Perusahaan Swasta, serta Badan Pengelola Dana
Masyarakat

a. Pemerintah dapat memberikan pinjaman/hibah/penyertaan modal kepada


dan menerima pinjaman/hibah dari perusahaan negara/daerah. Pemberian
pinjaman hibah/penyertaan modal dan penerimaan pinjaman/hibah
tersebut terlebih dahulu ditetapkan dalam APBN/APBD.
b. Menteri Keuangan melakukan pembinaan dan pengawasan kepada
perusahaan negara.
c. Gubernur/bupati/walikota melakukan pembinaan dan pengawasan kepada
perusahaan daerah.
d. Pemerintah Pusat dapat melakukan penjualan dan/atau privatisasi
perusahaan negara setelah mendapat persetujuan DPR.
e. Pemerintah Daerah dapat melakukan penjualan dan/atau privatisasi
perusahaan daerah setelah mendapat persetujuan DPRD.
Pertanggung jawaban Pelaksanaan APBN dan APBD pertanggung
jawaban
Presiden dan para kepala daerah wajib menyampaikan laporan pelaksanaan
APBN/APBD kepada DPR/DPRD berupa:

a. Laporan Realisasi Anggaran,


b. Neraca,
c. Laporan Arus Kas,
d. Catatan atas Laporan Keuangan, yang dilampiri dengan laporan keuangan
perusahaan negara dan badan lainnya

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara

Penyelenggaraan pemerintahan negara untuk mewujudkan tujuan bernegara


menimbulkan hak dan kewajiban negara yang perlu dikelola dalam suatu sistem
pengelolaan keuangan negara. Pengelolaan keuangan negara sebagaimana dimaksud
dalam UUD 1945 perlu dilaksanakan secara profesional, terbuka, dan bertanggung
jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang diwujudkan dalam APBN
dan APBD. Sebelum ada UU tentang Perbendaharaan Negara, kaidah-kaidah hukum
administrasi keuangan negara masih didasarkan pada ketentuan dalam UU
Perbendaharaan Indonesia/Indische Comptabiliteitswet (ICW) Staatsblad Tahun 1925
Nomor 448 sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan UU Nomor 9
Tahun 1968 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1968 Nomor 53,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 2860). UU Perbendaharaan Indonesia tersebut
tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan pengelolaan keuangan negara yang sesuai
dengan tuntutan perkembangan demokrasi, ekonomi, dan teknologi. Oleh karena itu,
UU tersebut perlu diganti dengan UU baru yang mengatur kembali ketentuan di
bidang perbendaharaan negara, sesuai dengan tuntutan perkembangan demokrasi,
ekonomi, dan teknologi modern.
Perbendaharaan Negara dalam UU ini adalah pengelolaan dan pertanggungjawaban
keuangan negara, termasuk investasi dan kekayaan yang dipisahkan yang ditetapkan
dalam APBN dan APBD. Sesuai dengan pengertian tersebut, UU Nomor 1 Tahun
2004 ini mengatur:

1. ruang lingkup dan asas umum perbendaharaan negara,

2. kewenangan pejabat perbendaharaan negara,

3. pelaksanaan pendapatan dan belanja negara/daerah.

4. pengelolaan uang negara/daerah.

5. pengelolaan piutang dan utang negara/daerah,

6. pengelolaan investasi dan barang milik negara/daerah.

7. penatausahaan dan pertanggungjawaban APBN/APBD,

8. pengendalian intern pemerintah,

9. penyelesaian kerugian negara/daerah,

10. pengelolaan keuangan badan layanan umum.

Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum

Dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, dapat dibentuk Badan


Layanan Umum yang bertugas memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa
penyediaan barang dan/atau jasa yang diperlukan dalam rangka memajukan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Kekayaan Badan Layanan
Umum merupakan kekayaan negara yang tidal dipisahkan serta dikelola dan
dimanfaatkan sepenuhnya untuk menyelenggarakan kegiata Badan Layanan Umum
yang bersangkutan. Berkenaan dengan itu, rencana kerja dan anggara serta laporan
keuangan dan kinerja Badan Layanan Umum disusun dan disajikan sebagai bagian
yang tidak terpisahkan dari rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan
kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah.

Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan


Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara

Pemeriksaan adalah proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi yang


dilakukan seca independen, objektif, dan profesional berdasarkan standar
pemeriksaan untuk menilai kebenara kecermatan, kredibilitas, dan keandalan
informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawa keuangan negara.
pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh BPK
meliputi seluruh unsur keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Pemeriksaan dilaksanakan oleh akuntan publik berdasarkan ketentuan
undang-undang, laporan hasil pemeriksaan tersebut wajib disampaikan kepada
BPK dan dipublikasikan.

Pemeriksaan terdiri atas pemeriksaan keuangan, yaitu pemeriksaan atas


laporan keuangan: pemeriksaan kinerja (pemeriksaan atas pengelolaan
keuangan negara yang terdiri atas pemeriksaan aspek ekonomi dan efisiensi
serta pemeriksaan aspek efektivitas), dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu.
Ketiga jenis pemeriksaan tersebut dilaksanakan berdasarkan standar
pemeriksaan yang disusun oleh BPK setelah berkonsultasi dengan
Pemerintah.

Pelaksanaan Pemeriksaan

Penentuan objek pemeriksaan, perencanaan dan pelaksanaan pemeriksaan, penentuan


waktu dan metode pemeriksaan, serta penyusunan dan penyajian laporan pemeriksaan
dilakukan secara bebas dan mandiri oleh BPK. Dalam merencanakan tugas
pemeriksaan, BPK memperhatikan permintaan, saran, dan pendapat lembaga
perwakilan. Untuk melaksanakan hal itu, BPK atau lembaga perwakilan dapat
mengadakan pertemuan konsultasi.

 Hasil Pemeriksaan dan Tindak Lanjut

Pemeriksa menyusun laporan hasil pemeriksaan setelah pemeriksaan selesai


dilakukan. Jika diperlukan, pemeriksa dapat menyusun laporan interim
pemeriksaan.

1. Laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah memuat


opini
2. Laporan hasil pemeriksaan atas kinerja memuat temuan, kesimpulan, dan
rekomendasi.
3. Laporan hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu memuat kesimpulan.

Laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah pusat


disampaikan oleh B kepada DPR dan DPD, selambat-lambatnya 2 (dua) bulan
setelah menerima laporan keuang dari pemerintah pusat. Laporan hasil
pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah daer disampaikan oleh BPK
kepada DPRD selambat-lambatnya 2 (dua) bulan setelah meneri laporan
keuangan dari pemerintah daerah. Laporan tersebut disampaikan pula kepada
Preside gubernur/bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
Laporan hasil pemeriksaan kinerja disampaikan kepada DPR/DPD/DPRD
sesuai denga kewenangannya. Laporan hasil pemeriksaan dengan tujuan
tertentu disampaikan kepada DP DPD/DPRD sesuai dengan kewenangannya.
Kedua jenis laporan tersebut juga disampaika kepada
presiden/gubernur/bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

Perkembangan Regulasi Terkait Otonomi Daerah


Dalam kaitannya dengan otonomi daerah, sesuai dengan amanat
Undang-Undang Dasar Negar Republik Indonesia tahun 1945, pemerintah
daerah dinyatakan berwenang mengatur das mengurus sendiri urusan
pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Jadi, sejak tahun
2001 atau tepatnya sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1999 tentan Pemerintah Daerah, pemerintah melaksanakan otonomi daerah
dalam rangka penyelenggaraa urusan pemerintah yang lebih efisien, efektif,
dan bertanggung jawab Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan
untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui
peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat. Di
samping itu, melalui otonomi luas, daerah diharapkan mampu meningkatkan
daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan,
keistimewaan dan kekhususan, serta potensi dan keanekaragaman daerah
dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Selama tiga tahun pelaksanaan otonomi daerah, kemudian, pemerintah


menyadari masih terdapat banyak aspek yang menjadi kelemahan sekaligus
celah dalam peraturan perundangan yang sering menimbulkan kerancuan.
Selain itu, disadari pula bahwa isi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan
tuntutan penyelenggaran otonomi daerah yang lebih efisien. Dengan
demikian, dikeluarkanlah undang-undang pengganti berikut.

1. 1.Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah


Daerah, dan
2. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pusat dan Daerah.

FIGUR 2.1
Perkembangan undang-undang otonomi daerah
Perubahan undang-undang tentang Pemerintah Daerah ini merupakan salah
satu hal signifikan yang berperan penting dalam perkembangan pelaksanaan
otonomi daerah. Perubahan

Itu sendiri dilandasi oleh beberapa hal berikut.

1. Adanya semangat desentralisasi yang menekankan pada upaya efektivitas


dan Efisiensi pengelolaan sumber daya daerah, khususnya keuangan
daerah dengan tujuan meningkatkan pelayanan umum dan kesejahteraan
masyarakat di daerah.
2. Adanya semangat tata kelola yang baik (good governance) yang
mengedepankan perlunya transparansi, akuntabilitas, dan mendekatkan
masyarakat dalam proses pengambilan Keputusan.
3. 3.Adanya konsekuensi berupa penyerahan urusan dan pendanaan (money
follows function) yang mengatur hak dan kewajiban daerah terkait
keuangan daerah
4. Perlunya penyelarasan dengan paket UU Keuangan Negara, yaitu UU
Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 1 Tahun
2004 tentang Perbendaharaan Negara, UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang
Pemeriksaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, serta UU Nomor 25
Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.

 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan


Daerah

UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah merupakan perubahan dan


penyempurnaan terhadap UU 22/1999 dengan perihal yang sama. Undang-
undang ini mengatur otonomi yang didefinisikan sebagai otonomi seluas-
luasnya dalam arti daerah memiliki kewenangan mengatur semua urusan
pemerintahan, selain urusan urusan yang menjadi urusan pemerintah, yaitu
politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal
nasional, serta agama. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan
daerah dalam rangka memberikan pelayanan, meningkatkan peran serta,
prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang pada akhirnya bertujuan
meningkatkan kesejahteraan rakyat. Selain itu, otonomi dikembangkan sejalan
dengan prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Otonomi nyata
dibangun atas kehendak untuk menangani urusan pemerintahan berdasarkan
tugas, wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi
tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi daerah yang khas.
Dengan demikian, isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama
satu sama lain. Otonomi yang bertanggung jawab dimaksudkan sebagai
otonomi yang dalam penyelenggaraannya benar benar sejalan dengan maksud
dan tujuan pemberian otonomi yang pada dasarnya bertujuan memberdayakan
daerah dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Secara keseluruhan, UU 32/2004 mengatur pokok-pokok tentang: (a)
pembentukan daerah Dan kawasan khusus, (b) pembagian urusan
pemerintahan, (c) pemerintahan daerah, (d) Perangkat daerah, (e) keuangan
daerah, (f) peraturan daerah dan peraturan kepala daerah. (g) Kepegawaian
daerah, (h) pembinaan dan pengawasan, serta (1) desa. Terkait keuangan
daerah, UU Ini menggariskan prinsip bahwa “uang mengikuti fungsi
Penyelenggaraan fungsi pemerintahan Daerah diikuti dengan pemberian
sumber-sumber penerimaan yang cukup kepada daerah, mengacu Pada
Undang-Undang tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah, di mana besarnya disesuaikan dan diselaraskan dengan
pembagian kewenangan antara Pemerintah dan daerah. Dengan demikian,
semua sumber keuangan yang melekat pada setiap Urusan pemerintah yang
diserahkan kepada daerah menjadi sumber keuangan daerah.
 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah

Perimbangan keuangan antara pemerintah dan pemerintahan daerah mencakup


pembagian keuangan antara pemerintah dan pemerintahan daerah secara
proporsional, demokratis, adil, dan transparan dengan memperhatikan potensi,
kondisi, dan kebutuhan daerah. Dalam rangka penyelenggaraan otonomi
daerah, penyerahan, pelimpahan, dan penugasan urusan pemerintahan kepada
daerah secara nyata dan bertanggung jawab harus diikuti dengan pengaturan,
pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional secara adil, termasuk
perimbangan keuangan antara pemerintah dan pemerintahan daerah. Sebagai
daerah otonom, penyelenggaraan pemerintahan Dan pelayanan tersebut
dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip transparansi, partisipasi,Akuntabilitas.
Dana perimbangan merupakan pendanaan daerah yang bersumber dari APBN
yang terdir atar dana bagi hasil (DBH), dana alokasi umum (DAU), dan dana
alokasi khusus (DAK). Selai dimaksudkan untuk membantu daerah dalam
mendanai kewenangannya, dana perimbangan juga bertujuan mengurangi
ketimpangan sumber pendanaan pemerintahan antara pusat dan daeni serta
untuk mengurangi kesenjangan pendanaan pemerintahan antardaerah. Ketiga
kompone dana perimbangan ini merupakan sistem transfer dana dari
pemerintah serta merupakan sat kesatuan yang utuh.

DBH adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang


dibagihasilkan kepada daerah berdasarkan angka persentase tertentu.
Pengaturan DBH dalam undang-undang ini merupakan penyelarasan dengan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2000. Dalam undang-undang ini, dimuat pengaturan
mengenai Bagi Hasil peneriman Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25/29 Wajib
Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 serta sektor
pertambangan panas bumi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi. Selain itu, dana reboisasi yang
semula termasuk bagian dan DAK. Dialihkan menjadi DBH

DAU bertujuan bagi pemerataan kemampuan keuangan antardaerah yang


dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan
antardaerah melalui penerapan formula yang mempertimbangkan kebutuhan
dan potensi daerah. DAU suatu daerah ditentukan atas besar-kecilnya celah
fiskal (fiscal gap) suatu daerah yang merupakan selisih antara kebutuhan
daerah (fiscal need) dan potensi daerah (fiscal capacity). Dalam undang-
undang ini, formula celah fiskal dan penambahan variabel DAU ditegaskan
kembali. Alokasi DAU bagi daerah yang potensi fiskalnya besar, tetapi
kebutuhan fiskal kecil akan memperoleh alokasi DAU relatif kecil
Sebaliknya, daerah yang potensi fiskalnya kecil, tetapi kebutuhan fiskal besar
akan memperoleh alokasi DAU relatif besar. Secara implisit, prinsip tersebut
menegaskan fungsi DAU sebagai faktor pemerataan kapasitas fiskal.

DAK dimaksudkan untuk membantu membiayai kegiatan-kegiatan khusus di


daerah tertentu yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas
nasional, khususnya untuk membiayai kebutuhan sarana dan prasarana
pelayanan dasar masyarakat yang belum mencapai standar tertentu atau untuk
mendorong percepatan pembangunan daerah.

2.2 Perbedaan regulasi akutansi sektor pbulik sebelum dan sesudah


reformasi

Perbedaan Regulasi Akuntansi Sektor Publik di Era Pra Reformasi


Peraturan dan karakter pengelolaan keuangan daerah yang ada pada masa
Era pra Reformasi dapat dirincikan sebagai berikut :
1.UU 5/1975 tentang Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan
Keuangan Daerah
2. PP 6/1975 tentang Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha
Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan APBD. Indikator kinerja
Pemda,yaitu meliputi :
• Perbandingan anggaran dan realisasi
• Perbandingan standar dan realisasi
• Target prosentase fisik proyek
3.Kepmendagri No.900-099 tahun 1980 tentang Manual Administrasi
Keuangan Daerah. Dalam sistem ini, pencatatan transaksi ekonomi
diperkenalkan double entry bookkeeping.
4.Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2/1994 tentang Pelaksanaan
APBD.
5.UU 18/1997 tentang Pajak dan Retribusi Daerah.
6.Kepmendagri 3/1999 tentang Bentuk dan susunan Perhitungan APBD.
Bentuk laporan perhitungan APBD :
• Perhitungan APBD
• Nota Perhitungan
• Perhitungan Kas dan Pencocokan sisa Kas dan sisa Perhitungan
(PP/1975)

Regulasi Akuntansi Sektor Publik di Era Reformasi


Tujuan dari regulasi Akuntansi Sektor Publik di Era Reformasi adalah
untuk mengelola keuangan negara/daerah menuju tata kelola yang baik
Bentuk Reformasi yang ada meliputi :
1. Penataan peraturan perundang-undangan;
2. Penataan kelembagaan;
3. Penataan sistem pengelolaan keuangan negara/daerah; dan
4. Pengembangan sumber daya manusia di bidang keuangan
Paradigma Baru Akuntansi Sektor Publik di Era Reformasi
Kebutuhan atas standar akuntansu sektor publik terus berkembang akibat
kedinamisan regulasi pemerintah. Kedinamisan ini ditandai dengan
pelaksanaan otonomi daerah dan reformasi keuangan.
Otonomi daerah berlaku akibat Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintah Daerah. UU ini menjelaskan bahwa pemerintah
melaksanakan otonomi daerah dalam rangka penyelenggaraan urusan
pemeirntah yang lebih efisien, efektif, dan bertanggun jawab. UU ini mulai
berlaku sejak tahun 2001.
Lalu, pemerintah merasa UU Nomor 22 Tahun 1999 tidak lagi sesuai dengan
perkembangan yang ada. Oleh karena itu, pemerintah mengeluarkan UU baru,
yaitu :
1.Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
2.Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimabangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Adanya semangat tata kelola yang baik (good governance).

Adanya konsekuensi berupa penyerahan urusan dan pendanaan ( money


follows function ) yang mengatur hak dan kewajiban daerah terkait dengan
keuangan daerah.
Perlunya penyelarasan dengan paket Undang-undang (UU) Keuangan Negara,
yaitu UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang keuangan Negara, UU Nomor 1
Tahun 2004 tentang perbendeharaan negara, UU Nomor 15 Tahun 2004
tentang pemeriksaan pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara,
serta UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional.
Peraturan perundangan terus bergerak dinamis khususnya Peraturan
Pemerintahan (PP) sebagai turunan berbagai undang-undang di atas, antara
lain :
1. PP Nomor 23 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum
2. PP Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan.
3. PP Nomor 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah.
4. PP Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan.
5. PP Nomor 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah.
6. PP Nomor 57 Tahun 2005 tentang Hibah kepada Daerah.
7. PP Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengeloalaan Keuangan Daerah.
8. PP Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan
Standar Pelayanan Minimal.
9. PP 71 tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintah

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Anda mungkin juga menyukai