Anda di halaman 1dari 5

1. Jelaskan perbedaan anggaran tradisional dengan anggaran berbasis kinerja.

2. Bandingkan kelebihan dan kelemahan sistem manajemen keuangan daerah sebelum dan
sesudahotonomi daerah.

3. Berikan pendapatAnda tentang dampak dilakukan p"ribuhun peraturan perundangan yang terkait
dengan pengelolaan keuangan daerah terhadap Pemerintah Daerah.4. Diskusikan mengapa double
entry accounting dan accrual bctsis menjadi salah satu agenda utama reformasi keuangan daerah. Apa
saja syarat yang harus dipenuhi agar proses menuju basis akrual berhasil diterapkan pada pemerintah
daerah di Indonesia.5. Berikan evaluasi Anda tentang reformasi kelembagaan pengelolaan keuangan
daerah yang dilakukan pemerintah daerah. Apa saja yang menjadi kendala dan permasalahan dalam
reftrrmasiJawaban

1. Anggaran tradisional sebelumnya merupakan pendekatan yang banyak digunakan di negara


berkembang. Anggaran ini memiliki ciri, yakni; incrementalism , struktur dan susunan anggaran yang
bersifat line-item, cenderung sentralistis, bersifat spesifikasi, tahunan, dan menggunakan prinsip
anggaran bruto.

Anggaran tradisional dicirikan sebagai incrementalism karena dalam pendekatan penganggaran ini
hanya ada istilah mengurangi maupun menambah jumlah rupiah pada item-item penganggaran yang
ada sebelumnya dengan berpatokan pada penganggaran tahun lalu sebagai dasar penentuan jumlah
besarnya penambahan maupun pengurangan tanpa ada kajian mendalam mengenai tingkat kebutuhan
pada saat ini . Padahal belum tentu anggaran tahun lalu masih sesuai dengan keadaan saat ini sehingga
dipandang kurang dapat memenuhi kebutuhan serta jika terdapat kesalahan maupun ketidaktepatan
pada anggaran-anggaran sebelumnya akan terus berlanjut dan berlarut-larut untuk kedepannya karena
tidak adanya kajian yang mendalam serta inisiatif untuk merubah kebijakan (line-item). Alhasil,
pendekatan penganggaran tradisional jauh akan konsep value for money yang identik dengan 3e
(ekonomis, efektif, dan efisien) karena terkesan lebih berorientasi pada input daripada output. Dampak
lebih lanjut dari hal ini adalah kesulitan untuk melakukan penilaian/pengukuran kinerja secara akurat
karena tidak ada landasan yang kuat sebagai tolok ukurnya, hanya berpedoman pada ketaatan dalam
menggunakan dana yang diusulkan.

Sementara itu, pendekatan anggaran berbasis kinerja hadir sebagai suatu konsep yang mengatasi
berbagai kelemahan pada anggaran tradisional. Anggaran ini didasarkan pada tujuan maupun sasaran
kinerja. Pelaksanaan kinerja sudah dapat diukur lebih baik dan akurat dengan berpatokan pada konsep
value for money dan pengawasan atas kinerja output sehingga pemerintah didorong agar menggunakan
dana secara ekonomis, efisien, dan efektif(tepat sasaran) dalam pencapaian tujuan.

2.Berdasarkan peraturan diatas, dapat disilmpulakn beberapa ciri pengelolaan keuangan daerah di era
prareformasi, antara lain:

1. Pengertian pemda adalah kepala daerah dan DPRD (pasal 13 ayat (1) UU Nomor 5 Tahun 1975).
Artinya tidak terdapat pemisahan secara kongkret antara lembaga eksekutif dan legistatif.
2. Perhitungan APBD berdiri sendiri, terpisah dari pertanggungjawaban mkepala daerah (pasal 33 PP
Nomor 6 Tahun 1975).

3. Bentuk laporan perhitungan APBD terdiri atas:

a. Perhitungan APBD

b. Nota Perhitungan

c. Perhitungan kas dalam pencocokan antara sisa perhitungan.

Dilengkapi dilengkapi dnegan lampiran Ringkasan Perhitungan Pendapatab dan Belanja (PP Nomor 6
Tahun 1975 dan Kepmendagri Nomor 3 Tahun 1999)

4. Pinjaman, baik pinjaman pemda maupun pinjaman BUMD, diperhitungkan sebagai pendapatan
pemda, yang dalam struktur APBD, menurut Kepmendagri Nomor 903-057 Thaun 1988 tentang
Penyempurnaan Bentuk dan Susunan Anggaran Pendapatan Daerah, masuk dalam pos Penerimaan
Pembangunan.

5. Unsur-unsur yang terlibat dalam penyusunan APBD adalah pemda yang terdiri atas kepala daerah
dan DPRD, belum melibatkan masyarakat.

6. Indikator kinerja pemda mencakup:

a. Perbandingan antara anggaran dan realisasinya

b. Perbandinagn antara standar biaya dengan realisasinya

c. Target dan persentase fisik proyek

Hal ini tercantum dalam penjabaran perhitungan APBD (PP Nomor 6 Tahun 1975 tentang Cara
Penyususnan Perhitungan APBD).

7. Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah dan Laporan Perhitungan APBD, baik
yang dibahas DPRD maupun yang tidak dibahas DPRD, tidak mengandung konsekwensi terhadap masa
jabatan kepala daerah.

Berdasarkan peraturan-peraturan tersebut, maanajemen keuangan daerah di era reformasi memiliki


karakteristik yang berbeda dari pengelolaaan keuangan daerah di era prareformasi, seperti:

1. Pengertian daerah adalah profinsi dan kota atau kabupaten. Istilah pemda tingkat I dan II sera
kotamadya tidk lagi digunakan.

2. Pengertian pemda adalah kepala daerah beserta perangkat lainnya. Pemda yang dimaksut disini
adalah bada eksekutif, sedang badan legislatifnya adalah DPRD (Pasal 14 UU Nomor 22 Tahun 1999).
Jadi, terdapat pemisahan yang nyata antara lembaga legislatif dan eksekutif.
3. Perhitungan APBD menjadi satu dnegan pertanggungjawaban kepala daerah (Pasal 5 PP Nomor
108 Tahun 2000).

4. Bentuk laporan pertanggungjawaban akhir tahun anggaran terdiri atas:

a. Laporan Perhitungan APBD

b. Nota Perhitungan APBD

c. Laporan Aliran Kas

d. Neraca Daerah

Dilengkapi dengan penilaian kinerja berdasarkan tolak ukur rencana strategi-renstra (Pasal 5 PP Nomor
108 Tahun 2000)

5. Pinjaman APBD tidal lagi masuk dalam pos Pendapatan (yang menunjukkan hak pemda), tetapi
masuk dalam pos Peneriman (yang belum tentu menjadi hak pemda).

6. Masyarakat termasuk dalam unsur-unsur penyusun APBD, selain pemda yang terdiri atas kepala
daerah dan DPRD.

7. Indikator kinerja pemda tidak hanya mencakup:

a. Perbandingan antara anggaran dan realisasinya

b. Perbandingan antara standar biaya dan realisasinya

c. Target dan persentase fisik proyek

tetapi juga meliput standar pelayanan yang diharapkan.

8. Laporan pertanggungjawaban Kepala Daerah pada akhir tahun anggaran yang bentuknya

adalah Laporan Perhitungan APBD diabahas oleh DPRD dan mengandung konsekwensi terhadap masa
jabatan kepala daerah apabila mengalami penolakan dari DPRD.

9. Digunakannya akuntansi dalam pengelolaan daerah.

Diantara peraturan-peraturan tersebut diatas, peraturan yang mengakibatkan adanya perubahan


mendasar dalam pengelolaan anggaran daerah (APBD) adalah PP Nomor 105/2000 dan Kepmendagri
Nomor 29 Tahun 2002. Perubahan mendasar tersebut adalah adanya tuntutan akan akuntabilitas dan
transparansi yang lebih besar dalam pengelolaan anggaran. Secara umum, terdapat enam pergeseran
dalam pengelolaan anggaran daerah
4. Sementara itu, dalam salah satu situs referensi menejemen keuangan sektor publik yang diakses
melalui www.medina.co.id, mengatakan ada beberapa langkah yang bisa dilaksanakan pemerintah
untuk menerapkan akuntansi berbasis akrual, yaitu:

1. Menyiapkan pedoman umum pada tingkat nasional tentang akuntansi akrual. Pedoman ini
digunakan untuk menyamakan persepsi di semua daerah sekaligus sebagai jembatan teknis atas standar
akuntansi pemerintahan berbasis akrual yang akan diterapkan.

2. Menyiapkan modul pada tingkat nasional yang dapat digunakan oleh berbagai pihak dalam rangka
pelatihan akuntansi berbasis akrual.

3. Menentukan daerah percontohan di setiap regional sebagai upaya menciptakan benchmarking.


Dengan cara ini, pemerintah dapat memfokuskan pada beberapa daerah dulu sebelum pada akhirnya
dapat digunakan oleh seluruh daerah.

4. Diseminasi/sosialisasi tingkat nasional. Hal tersebut dapat digunakan untuk menyerap input berupa
saran ataupun keluhan dari daerah terkait penerapan akuntansi basis akrual.

Sedangkan pada tingkat daerah, strategi penerapan basis akrual dapat dilakukan dengan langkah-
langkah berikut ini:

Sosialisasi dan pelatihan yang berjenjang. Berjenjang yang dimaksud meliputi pimpinan level kebijakan
sampai dengan pelaksana teknis, dengan tujuan sosialisasi dan pelatihan untuk meningkatkan skill
pelaksana, membangun awareness, dan mengajak keterlibatan semua pihak.

Menyiapkan dokumen legal yang bersifat lokal seperti peraturan kepala daerah tentang kebijakan
akuntansi dan sistem prosedur.

Melakukan uji coba sebagai tahapan sebelum melaksanakan akuntansi berbasis akrual secara penuh.

5.Masalah-masalah yang dihadapi dalam pengelolaan keuangan daerah diantaranya yaitu:

1.Rendahnya efektivitas dan efisiensi penggunaan keuangan pemerintah akibat maraknya irasionalitas
pembiayaan kegiatan negara. Kondisi ini disertai oleh rendahnya akuntabilitas para pejabat pemerintah
dalam mengelola keuangan publik. Karenanya, muncul tuntutan yang meluas untuk menerapkan sistem
anggaran berbasis kinerja.

2.Tidak adanya skala prioritas yang terumuskan secara tegas dalam proses pengelolaan keuangan
negara yang menimbulkan pemborosan sumber daya publik. Selama ini, hampir tidak ada upaya untuk
menetapkan skala prioritas anggaran di mana ada keterpaduan antara rencana kegiatan dengan
kapasitas sumber daya yang dimiliki. Juga harus dilakukan analisis biaya-manfaat (cost and benefit
analysis) sehingga kegiatan yang dijalankan tidak saja sesuai dengan skala prioritas tetapi juga
mendatangkan tingkat keuntungan atau manfaat tertentu bagi publik.
3.Terjadinya banyak kebocoran dan penyimpangan sebagai akibat dari adanya praktek KKN.

4.Rendahnya profesionalisme aparat pemerintah dalam mengelola anggaran publik.

Anda mungkin juga menyukai