Anda di halaman 1dari 57

BAB III

EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN


PERUNDANG UNDANGAN TERKAIT

A. Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945


Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD
NRI Tahun 1945) sebagai konstitusi tentu saja mengikat dalam
penyelenggaraan ketatanegaraan, termasuk dalam pembangunan hukum di
Indonesia. Sebagai hukum dasar tertulis, UUD NRI Tahun 1945 menjadi
dasar dan sumber dari peraturan-peraturan lain atau perundang-udangan lain
yang berlaku di wilayah negara kesatuan Republik Indonesia.
Dalam Pasal 18 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 dinyatakan bahwa
Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah- daerah provinsi dan
daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap -tiap provinsi,
kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan
undang-undang. Kemudian pada ayat (2) dinyatakan bahwasanya
Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan. Pada ayat (5) dinyatakan Pemerintahan daerah menjalankan
otonomi seluasluasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-
undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat. Lebih lanjut dalam Pasal
18 ayat (6) dinyatakan Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan
daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas
pembantuan.
Berdasarkan ketentuan tersebut dapat dipahami bahwa pemerintah daerah
diberikan hak, wewenang, dan kewajiban oleh Negara melalui UUD NRI
Tahun 1945 untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pemberian
otonomi daerah adalah dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat
di daerah. Untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat tersebut maka

1
diperlukan sumber pendapatan bagi daerah dalam menyelenggarakan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah.
Konsep tersebut sejalan desentralisasi fiskal yang menjadi dasar
penyerahan urusan pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah
otonom berdasarkan asas otonomi daerah. Komponen desentralisasi fiskal
dapat dibagi menjadi tiga, yaitu desentralisasi pengeluaran, desentralisasi
pengeluaran bangunan, dan desentralisasi penerimaan, yakni merupakan rasio
antara total penerimaan anggaran pendapatan belanja daerah. Dengan
desentralisasi fiskal maka daerah otonom diharapkan mampu membiayai
penyelenggaraan urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah dengan
mengoptimalkan potensi pendapatan daerah.
Pendapatan daerah antara lain yakni melalui pajak daerah dan retribusi
daerah. Pemerintah Daerah berwenang untuk mendapatkan sumber keuangan,
diantaranya kewenangan memungut dan mendayagunakan pajak daerah dan
retribusi daerah untuk membiayai layanan publik di wilayah lokal, membiayai
penyelengaraan pemerintahan dan pembangunan untuk memantapkan
otonomi daerah.1
Dalam Pasal 23A Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk
keperluan negara diatur dengan undang-undang. Berdasarkan ketentuan
tersebut telah disahkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah, yang kemudian undang-undang ini dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang
Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.

1
Devi Taurisa, Pajak dan Retribusi Daerah sebagai Penopang Otonomi Daerah Dilema
terhadap Kepastian Hukum bagi Iklim Usaha, University of Bengkulu Law Journal, Volume 5
Number 1, October 2020.

2
B. Undang-Undang Nomor Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
Berangkat dari adanya desentralisasi fiskal maka terjadi hubungan
keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah. Berdasarkan
Pasal 279 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2020, Hubungan keuangan dalam penyelenggaraan
Urusan Pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah salah satunya adalah
pemberian sumber penerimaan Daerah berupa pajak daerah dan retribusi
daerah.
Pajak daerah dan retribusi daerah merupakan sumber pendapatan daerah
yang berada dalam komponen pendapatan asli daerah. Hal ini diatur dalam
Pasal 285 ayat (1) yang berbunyi:
Sumber pendapatan Daerah terdiri atas:
a. pendapatan asli Daerah meliputi:
1. pajak daerah;
2. retribusi daerah;
3. hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan; dan lain-lain
pendapatan asli Daerah yang sah;
b. pendapatan transfer; dan
c. lain-lain pendapatan Daerah yang sah.
Selanjunya dalam Pasal 286 ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan:
(1) Pajak daerah dan retribusi daerah ditetapkan dengan undang-undang yang
pelaksanaan di Daerah diatur lebih lanjut dengan Perda.
(2) Pemerintah Daerah dilarang melakukan pungutan atau dengan sebutan lain
di luar yang diatur dalam undangundang.
Penyerahan sumber keuangan Daerah baik berupa pajak daerah dan
retribusi daerah maupun berupa dana perimbangan merupakan konsekuensi
dari adanya penyerahan Urusan Pemerintahan kepada Daerah yang
diselenggarakan berdasarkan Asas Otonomi. Untuk menjalankan Urusan

3
Pemerintahan yang menjadi kewenangannya, Daerah harus mempunyai
sumber keuangan agar Daerah tersebut mampu memberikan pelayanan dan
kesejahteraan kepada rakyat di Daerahnya. Pemberian sumber keuangan
kepada Daerah harus seimbang dengan beban atau Urusan Pemerintahan yang
diserahkan kepada Daerah. Keseimbangan sumber keuangan ini merupakan
jaminan terselenggaranya Urusan Pemerintahan yang diserahkan kepada
Daerah. Ketika Daerah mempunyai kemampuan keuangan yang kurang
mencukupi untuk membiayai Urusan Pemerintahan dan khususnya Urusan
Pemerintahan Wajib yang terkait Pelayanan Dasar, Pemerintah Pusat dapat
menggunakan instrumen DAK untuk membantu Daerah sesuai dengan
prioritas nasional yang ingin dicapai.2

C. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara


Pemerintah Pusat Dan Pemerintahan Daerah
Dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang
Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintahan Daerah
dinyatakan bahwa tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota mempunyai
pemerintahan sendiri. Pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota berhak
mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan menurut asas otonomi
dan tugas pembantuan. Urusan Pemerintahan yang menjadi tanggung jawab
Daerah dilaksanakan berdasarkan asas otonomi, sedangkan Urusan
Pemerintahan yang bukan merupakan tanggung jawab Pemerintah Daerah
dilaksanakan berdasarkan asas dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
Pelaksanaan Urusan Pemerintahan dari tingkat pusat hingga Daerah
merupakan bagian dari kekuasaan pemerintahan yang berada di tangan
Presiden sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 sehingga tidak dapat berjalan sendiri-sendiri. Hal ini menuntut
adanya sinergisme pendanaan atas urusan tersebut dalam rangka pencapaian
tujuan bernegara. Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut
2
Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020
tentang Cipta Kerja

4
disusunlah Undang-Undang tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintahan Daerah.
Penyusunan Undang-Undang ini juga didasarkan pada pemikiran
perlunya menyempurnakan pelaksanaan Hubungan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang selama ini dilakukan
berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dan Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Penyempurnaan implementasi Hubungan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintahan Daerah dilakukan sebagai upaya untuk menciptakan
alokasi sumber daya nasional yang efisien melalui Hubungan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang transparan,
akuntabel, dan berkeadilan, guna mewujudkan pemerataan layanan publik
dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di seluruh pelosok Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Salah satu esensi materi muatan dalam Undang-Undang ini adalah
pengaturan menyangkut pajak daerah dan retibusi daerah. Pajak daerah
didefinisikan sebagai kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh
orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-
Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan
untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Retribusi
daerah didefinsikan sebagai pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa
atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh
Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
Dalam rangka mengalokasikan sumber daya nasional secara lebih efisien,
Pemerintah memberikan kewenangan kepada Daerah untuk memungut Pajak
dan Retribusi dengan penguatan melalui restrukturisasi jenis Pajak,
pemberian sumber-sumber perpajakan Daerah yang baru, penyederhanaan
jenis Retribusi, dan harmonisasi dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2020 tentang Cipta Kerja.

5
Restrukturisasi Pajak dilakukan melalui reklasifikasi 5 (lima) jenis Pajak
yang berbasis konsumsi menjadi satu jenis Pajak, yaitu PBJT. Hal ini
memiliki tujuan untuk (i) menyelaraskan Objek Pajak antara pajak pusat dan
pajak daerah sehingga menghindari adanya duplikasi pemungutan pajak; (ii)
menyederhanakan administrasi perpajakan sehingga manfaat yang diperoleh
lebih tinggi dibandingkan dengan biaya pemungutan; (iii) memudahkan
pemantauan pemungutan Pajak terintegrasi oleh Daerah; dan (iv)
mempermudah masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya,
sekaligus mendukung kemudahan berusaha dengan adanya simplifikasi
administrasi perpajakan.
Penyederhanaan Retribusi dilakukan melalui rasionalisasi jumlah
Retribusi. Retribusi diklasifikasikan dalam 3 (tiga) jenis, yaitu Retribusi Jasa
Umum, Retribusi Jasa Usaha, dan Retribusi Perizinan Tertentu. Lebih lanjut,
jumlah atas jenis Objek Retribusi disederhanakan dari 32 (tiga puluh dua)
jenis menjadi 18 (delapan belas) jenis pelayanan. Rasionalisasi tersebut
memiliki tujuan agar Retribusi yang akan dipungut Pemerintah Daerah adalah
Retribusi yang dapat dipungut dengan efektif, serta dengan biaya pemungutan
dan biaya kepatuhan yang rendah.
Berikut matrik perbandingan pajak daerah dan retribusi daerah yang
diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang
Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah :

6
MATRIK PERBANDINGAN
ANTARA
UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK
DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
DENGAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2022 TENTANG HUBUNGAN
KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN
DAERAH

No Pajak Undang-Undang Nomor 28 Tahun Undang-Undang Nomor 1 Tahun


Daerah 2009 2022
dan
Retribusi
Daerah
1 Jenis Pajak 1. Pajak Hotel; 1. PBB-P2;
Daerah 2. Pajak Restoran; 2. PBHTB;
3. Pajak Hiburan; 3. PBJT :
4. Pajak Reklame; a. makanan
5. Pajak Penerangan Jalan; dan/atau
6. Pajak MBLB; minuman;
7. Pajak Parkir; b. Tenaga Listrik;
8. PAT; c. Jasa Perhotelan;
9. Pajak Sarang Burung Walet; d. Jasa Parkir; dan
10. PBB-P2; e. Jasa Kesenian
11. PBPHTB. dan Hiburan.
4. Pajak Reklame;
5. PAT;
6. Pajak MBLB;
7. Pajak Sarang Burung
Walet;
8. Opsen PKB;
9. Opsen BBNKB.
2 Jenis Retribusi
a Retribusi 1. Pelayanan Kesehatan; 1. Pelayanan Kesehatan;
Jasa 2. Pelayanan 2. Pelayanan Kebersihan;
Umum Persampahan/Kebersihan; 3. Pelayanan parkir di Tepi Jalan
3. Penggantian Biaya Cetak Umum;
KTP dan Akta Cacatan 4. Pelayanan Pasar;
Sipil; 5. Pengendalian Lalu Lintas.
4. Pelayanan Pemakaman dan
Pengabuan Mayat;
5. Pelayanan Parkir di Tepi
Jalan Umum;
6. Pelayanan Pasar;
7. Pengujian Kendaraan
Bermotor;
8. Pemeriksaan Alat Pemadam
Kebakaran;

7
9. Penggantian Biaya Cetak
Peta:
10. Penyediaan dan/atau
Penyedotan Kakus;
11. Pengolahan Limbah Cair;
12. Pelayanan Tera/Tera Ulang;
13. Pelayanan Pendidikan; dan
14. Pengendalian Menara
Telekomunikasi.

b Retribusi 1. Pemakaian Kekayaan 1. penyediaan tempat kegiatan


Jasa Usaha Daerah; usaha berupa pasar grosir,
2. Pasar Grosir dan/atau pertokoan, dan tempat
Pertokoan; kegiatan usaha lainnya;
3. Tempat Pelelangan; 2. penyediaan tempat
4. Terminal; pelelangan ikan, ternak, hasil
5. Tempat Khusus Parkir; bumi, dan hasil hutan
6. Tempat termasuk fasilitas lainnya
Penginapan/Pesanggrahan/v dalam lingkungan tempat
ila; pelelangan;
7. Rumah Potong Hewan; 3. penyediaan tempat khusus
8. Pelayanan Kepelabuhan; parkir di luar badan jalan;
9. Tempat Rekreasi dan Olah 4. penyediaan tempat
Raga; penginapan/
10. Penyeberangan di Air; dan pesanggrahan/vila;
11. Penjualan Produksi Usaha 5. pelayanan rumah
Daerah. pemotongan hewan ternak;
6. pelayanan jasa
kepelabuhanan;
7. pelayanan tempat rekreasi,
pariwisata, dan olahraga;
8. pelayanan penyeberangan
orang atau barang dengan
menggunakan kendaraan di
air;
9. penjualan hasil produksi
usaha Pemerintah Daerah;
dan
10. pemanfaatan aset Daerah
yang tidak mengganggu
penyelenggaraan tugas dan
fungsi organisasi perangkat
Daerah dan/atau optimalisasi
aset Daerah dengan tidak
mengubah status kepemilikan
sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-
undangan.

c Retribusi 1. Izin Mendirikan 1. persetujuan bangunan


Perizinan Bangunan; gedung;
Tertentu 2. Izin Tempat Penjualan 2. penggunaan tenaga kerja
Minuman Beralkohol; asing; dan
3. Izin Gangguan; 3. pengelolaan
4. Izin Trayek; dan pertambangan rakyat

8
5. Izin Usaha Perikanan.

 PAJAK DAERAH
Dalam Pasal 4 dinyatakan Pajak yang dipungut oleh pemerintah
kabupaten/kota terdiri atas:
a. PBB-P2;
b. BPHTB;
c. PBJT;
d. Pajak Reklame;
e. PAT;
f. Pajak MBLB;
g. Pajak Sarang Burung Walet;
h. Opsen PKB; dan
i. Opsen BBNKB.

Kemudian dalam Pasal 6 dinyatakan:


(1) Pemerintah Daerah dilarang memungut Pajak selain jenis Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2).
(2) Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2)
dapat tidak dipungut, dalam hal:
a. potensinya kurang memadai; dan/atau
b. Pemerintah Daerah menetapkan kebijakan untuk tidak memungut.
(3) Jenis Pajak yang tidak dipungut sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditetapkan dalam Perda mengenai Pajak dan Retribusi.

Jenis Pajak Daerah diuraikan sebagai berikut:


1. PBB-P2
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang selanjutnya
disingkat PBB-P2 adalah Pajak atas bumi dan/atau bangunan yang
dimiliki, dikuasai, dan / atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau
Badan.

9
PBB-P2 diatur antara lain dalam Pasal 38 sampai dengan Pasal 43
Undang-Undang ini, dengan uraian sebagai berikut:
Pasal 38 ayat (1) dan ayat (2) berbunyi:
(1) Objek PBB-P2 adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki,
dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan,
kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan,
perhutanan, dan pertambangan.
(2) Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk permukaan
Bumi hasil kegiatan reklamasi atau pengurukan.
Pasal 39 berbunyi:
(1) Subjek Pajak PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara
nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh
manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/ atau
memperoleh manfaat atas Bangunan.
(2) Wajib Pajak PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara
nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh
manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau
memperoleh manfaat atas Bangunan.
Pasal 40 berbunyi:
(1) Dasar pengenaan PBB-P2 adalah NJOP.
(2) NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan
proses penilaian PBB-P2.
(3) NJOP tidak kena pajak ditetapkan paling sedikit sebesar
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.
(4) Dalam hal Wajib Pajak memiliki atau menguasai lebih dari satu
objek PBB-P2 di satu wilayah kabupaten/kota, NJOP tidak kena
pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya diberikan atas
salah satu objek PBB-P2 untuk setiap Tahun Pajak.’
(5) NJOP yang digunakan untuk perhitungan PBB-P2 ditetapkan paling
rendah 20% (dua puluh persen) dan paling tinggi 100% (seratus

10
persen) dari NJOP setelah dikurangi NJOP tidak kena pajak
sebagaimana dimakspd pada ayat (3).
(6) NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 3 (tiga)
tahun, kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap
tahun sesuai dengan perkembangan wilayahnya.
(7) Besaran NJOP ditetapkan oleh Kepala Daerah.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai penilaian PBB-P2 sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
Dalam ketentuan Pasal 40, dinyatakan NJOP tidak kena pajak ditetapkan
paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap
Wajib Pajak. NJOP yang digunakan untuk perhitungan PBB-P2
ditetapkan paling rendah 20% (dua puluh persen) dan paling tinggi 100%
(seratus persen) dari NJOP setelah dikurangi NJOP tidak kena pajak.
Dengan demikian maka NJOP tidak kena pajak dan perhitungan
persentasi PBB-P2 mesti ditetapkan dalam Peraturan Daerah nantinya.

Untuk tarif PBB-P2 diatur dalam Pasal 41 yang berbunyi:


(1) Tarif PBB-P2 ditetapkan paling tinggi sebesar 0,5% (nol koma lima
persen).
(2) Tarif PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berupa
lahan produksi pangan dan ternak ditetapkan lebih rendah daripada
tarif untuk lahan lainnya.
(3) Tarif PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
ditetapkan dengan Perda.

Dalam Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah


ditetapkan tarif PBB-P2. Penetapan tarif dilakukan paling tinggi sebesar
0,5% (nol koma lima persen). Selain itu perlu dipastikan bahwa
penetapan tarif untuk lahan produksi pangan dan ternak ditetapkan lebih
rendah daripada tarif untuk lahan lainnya.

11
2. BPHTB
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang selanjutnya disingkat
BPHTB adalah Pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau Bangunan.
BPHTB diatur antara lain dalam Pasal 44 sampai dengan Pasal 49
Undang-Undang ini, dengan uraian sebagai berikut:

Pasal 44 berbunyi:
(1) Objek BPHTB adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
(2) Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi:
a. pemindahan hak karena:
1. jual beli;
2. tukar-menukar;
3. hibah;
4. hibah wasiat;
5. waris;
6. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;
7. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
8. penunjukan pembeli dalam lelang;
9. pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum
tetap;
10. penggabungan usaha;
11. peleburan usaha;
12. pemekaran usaha; atau
13. hadiah; dan
b. pemberian hak baru karena:
1. kelanjutan pelepasan hak; atau
2. di luar pelepasan hak.
(3) Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi:
a. hak milik;

12
b. hak guna usaha;
c. hak guna bangunan;
d. hakpakai;
e. hak milik atas satuan rumah susun; dan
f. hak pengelolaan.
(6) Yang dikecualikan dari objek BPHTB adalah Perolehan Hak atas
Tanah dan/atau Bangunan:
a. untuk kantor Pemerintah, Pemerintahan Daerah, penyelenggara
negara dan lembaga negara lainnya dicatat sebagai barang milik
negara atau barang milik Daerah;
b. oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk
pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
c. untuk badan atau perwakilan lembaga internasional dengan syarat
tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar
fungsi dan tugas badan atau perwakilan lembaga tersebut yang
diatur dengan Peraturan Menteri;.
d. untuk perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas
perlakuan timbal balik;
e. oleh orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena
perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
f. oleh orang pribadi atau Badan karena wakaf;
g. oleh orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan
ibadah; dan
h. untuk masyarakat berpenghasilan rendah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 45 berbunyi:
(1) Subjek Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang
memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
(2) Wajib Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang
memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.

13
Pasal 46 berbunyi:
(1) Dasar pengenaan BPHTB adalah nilai perolehan objek pajak.
(2) Nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan sebagai berikut:
a. harga transaksi untuk jual beli;
b. nilai pasar untuk tukar menukar, hibah, hibah wasiat, waris,
pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya,
pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, peralihan hak
karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan
hukum tetap, pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan
dari pelepasan hak, pemberian hak baru atas tanah di luar
pelepasan hak, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran
usaha, dan hadiah; dan
c. harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang untuk
penunjukan pembeli dalam lelang.
(3) Dalam hal nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang
digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun
terjadinya perolehan, dasar pengenaan BPHTB yang digunakan adalah
NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan
pada tahun terjadinya perolehan.
(4) Dalam menentukan besaran BPHTB terutang, Pemerintah Daerah
menetapkan nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak sebagai
pengurang dasar pengenaan BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
(5) Besarnya nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan
paling sedikit sebesar Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah)
untuk perolehan hak pertama Wajib Pajak di wilayah Daerah tempat
terutangnya BPHTB.

14
(6) Dalam hal perolehan hak karena hibah wasiat atau waris sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) huruf a angka 4 dan angka 5 yang
diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah
dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke
bawah dengan pemberi hibah wasiat atau waris, termasuk suami/istri,
nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan paling sedikit
sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
(7) Atas perolehan hak karena hibah wasiat atau waris tertentu,
Pemerintah Daerah dapat menetapkan nilai perolehan objek pajak
tidak kena pajak yang lebih tinggi daripada nilai perolehan objek
pajak tidak kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (6).
(8) Nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) dan ayat (6) ditetapkan dengan Perda.

Dalam ketentuan Pasal 46 ini terdapat pengaturan yang Besarnya nilai


perolehan objek pajak tidak kena pajak yang mesti ditetapkan dengan
Peraturan Daerah. Termasuk di dalamnya adalah penetapan besarnya
nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak karena hibah wasiat atau
waris tertentu, Pemerintah Daerah dapat menetapkan nilai perolehan
objek pajak tidak kena pajak yang lebih tinggi daripada nilai perolehan
objek pajak tidak kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (6).
Perolehan hak karena hibah wasiat atau waris tertentu antara lain waris
atau hibah wasiat yang berlaku pada kebudayaan dan adat istiadat di
Daerah tertentu di mana tanah/bangunan yang diperoleh tidak dapat
dijual atau harus diwariskan kembali.

Pasal 47 berbunyi :
(1) Tarif BPHTB ditetapkan paling tinggi sebesar 5% (lima persen).
(2) Tarif BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
Perda.

15
3. PBJT
Pajak Barang dan Jasa Tertentu yang selanjutnya disingkat PBJT adalah
Pajak yang dibayarkan oleh konsumen akhir atas konsumsi barang dan/
atau jasa tertentu. PBJT diatur dalam ketentuan Pasal 50 sampai dengan
Pasal 59 Undang-Undang ini dengan uraian sebagai berikut:
Pasal 50 berbunyi:
Objek PBJT merupakan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi
barang dan jasa tertentu yang meliputi:
a. Makanan dan/ atau Minuman;
b. Tenaga Listrik;
c. Jasa Perhotelan;
d. Jasa Parkir; dan
e. Jasa Kesenian dan Hiburan.

Pasal 51 berbunyi:
(1) Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf a meliputi Makanan
dan/atau Minuman yang disediakan oleh:
a. Restoran yang paling sedikit menyediakan layanan penyajian
Makanan dan/atau Minuman berupa meja, kursi, dan/atau
peralatan makan dan minum;
b. penyedia jasa boga atau katering yang melakukan:
1. proses penyediaan bahan baku dan bahan setengah jadi,
pembuatan, penyimpanan, serta penyajian berdasarkan
pesanan;
2. penyajian di lokasi yang diinginkan oleh pemesan dan
berbeda dengan lokasi dimana proses pembuatan dan
penyimpanan dilakukan; dan
3. penyajian dilakukan dengan atau tanpa peralatan dan
petugasnya.

16
(2) Yang dikecualikan dari objek PBJT sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) adalah penyerahan Makanan dan/atau Minuman:
a. dengan peredaran usaha tidak melebihi batas tertentu yang
ditetapkan dalam Perda;
b. dilakukan oleh toko swalayan dan sejenisnya yang tidak semata-
mata menjual Makanan dan/atau Minuman;
c. dilakukan oleh pabrik Makanan dan/atau Minuman; atau
d. disediakan oleh penyedia fasilitas yang kegiatan usaha utamanya
menyediakan pelayanan jasa menunggu pesawat (lounge\ pada
bandar udara.
Untuk penjualan/ penyerahan Makanan dan/atau Minuman perlu
ditetapkan peredaran usaha tidak melebihi batas tertentu yang ditetapkan
dalam Perda. Hal ini tentu saja mesti mempertimbangkan ekosistem
investasi dan kemudahan berusaha di Daerah serta keberpihakan kepada
usaha mikro kecil dan menengah yang merupakan penopang
perekonomian daerah dan perekonomian nasional.

Pasal 52 berbunyi:
(1) Konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50
huruf b adalah penggunaan Tenaga Listrik oleh pengguna akhir.
(2) Yang dikecualikan dari konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), meliputi:
a. konsumsi Tenaga Listrik oleh instansi pemerintah, Pemerintah
Daerah dan penyelenggara negara lainnya;
b. konsumsi Tenaga Listrik pada tempat yang digunakan oleh
kedutaan, konsulat, dan perwakilan asing berdasarkan asas
timbal balik;
c. konsumsi Tenaga Listrik pada rumah ibadah, panti jompo, panti
asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis;

17
d. konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri dengan
kapasitas tertentu yang tidak memerlukan izin dai instansi teknis
terkait; dan
e. konsumsi Tenaga Listrik lainnya yang diatur dengan Perda.
Dalam ketentuan ini diamanatkan bahwa Daerah perlu menetapkan
pengecualian terhadap konsumsi tenaga listrik yang diatur dalam
Peraturan Daerah.
Pasal 53 berbunyi:
(1) Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf c
meliputi jasa penyediaan akomodasi dan fasilitas penunjangnya,
serta penyewaan ruang rapat/pertemuan pada penyedia jasa
perhotelan seperti:
a. hotel;
b. hostel;
c. vila;
d. pondok wisata;
e. motel;
f. losmen;
g. pesanggrahan;
h. rumah penginapan/guesthouse/bungalo/resort/ cottage;
i. tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel; dan
j. glamping.
(2) Yang dikecualikan dari Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi:
a. Jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh
Pemerintah atau Pemerintah Daerah;
b. jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo,
panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis;
c. jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan
keagamaan;
d. jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata; dan

18
e. jasa persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel.

Pasal 54 berbunyi:
(1) Jasa Parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf d meliputi:
a. penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir; dan/atau
b. pelayanan memarkirkan kendaraan (parkir valet).
(2) Yang dikecualikan dari jasa penyediaan tempat parkir sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan
Pemerintah Daerah;
b. jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh perkantoran yang
hanya digunakan untuk karyawannya sendiri;
c. jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh kedutaan,
konsulat, dan perwakilan negara asing dengan asas timbal balik;
dan
d. jasa tempat parkir lainnya yang diatur dengan Perda.
Sama seperti ketentuan sebelumnya, dalam Pasal 55 juga diberikan
kewenangan kepada daerah untuk mengambil kebijakan yang
mengecualikan jasa penyediaan tempat parkir. Pengecualian antara lain
jasa parkir yang diselenggarakan oleh rumah ibadah.

Pasal 55 berbunyi:
(1) Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50
hunrf e meliputi:
a. tontonan film atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang
dipertontonkan secara langsung di suatu lokasi tertentu;
b. pergelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana;
c. kontes kecantikan;
d. kontes binaraga;
e. pameran;
f. pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap;

19
g. pacuan kuda dan perlombaan kendaraan bermotor;
h. permainanketangkasan;
i. olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ruang
dan/atau peralatan dan perlengkapan untuk olahraga dan
kebugaran;
j. rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan,
wahana budaya, wahana salju, wahana permainan,
pemancingan, agrowisata, dan kebun binatang;
k. panti pijat dan pijat refleksi; dan
l. diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.
(2) Yang dikecualikan dari Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah Jasa Kesenian dan Hiburan yang
semata-mata untuk:
a. promosi budaya tradisional dengan tidak dipungut bayaran;
b. kegiatan layanan masyarakat dengan tidak dipungut bayaran;
dan/atau
c. bentuk kesenian dan hiburan lainnya yang diatur dengan Perda.

Bentuk kesenian dan hiburan lainnya yang diatur dengan Perda sebagai
pengecualian antara lain haruslah dilandaskan pada kebijakan daerah
dalam mendukung perkembangan Jasa Kesenian dan Hiburan dengan
tetap mengedepankan kepentingan masyarakat dan kepentingan
Pemerintah Daerah.

Pasal 58 berbunyi:
(1) Tarif BJT ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen).
(2) Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab
malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40 % (empat
puluh persen) dan paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen).
(3) Khusus tarif PBJT atas Tenaga Listrik untuk:

20
a. konsumsi Tenaga Listrik dari sumber lain oleh industri,
pertambangan minyak bumi dan gas alam, ditetapkan paling
tinggi sebesar 3% (tiga persen); dan
b. konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri, ditetapkan
paling tinggi 1,5% (satu koma lima persen).
(4) Tarif PBJT sebagaimana dimaksud pada ayat (l), ayat (2), dan ayat (3)
ditetapkan dengan Perda.
4. Pajak Reklame
Pajak Reklame adalah Pajak atas penyelenggaraan reklame. Pajak
Reklame diatur dalam Pasal 60 sampai dengan Pasal 64 dalam Undang-
Undang ini dengan uraian sebagai berikut:

Pasal 60 berbunyi:
(1) Objek Pajak Reklame adalah semua penyelenggaraan Reklame.
(2) Objek Pajak Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Reklame papan/ billboard/ videotron/ megatron;
b. Reklame kain;
c. Reklame melekat/stiker;
d. Reklame selebaran;
e. Reklame berjalan, termasuk pada kendaraan;
f. Reklame udara;
g. Reklame apung;
h. Reklame filrn/ slide; dan
i. Reklame peragaan.
(3) Yang dikecualikan dari objek Pajak Reklame adalah:
a. penyelenggaraan Reklame melalui internet, televisi, radio, warta
harian, warta mingguan, warta bulanan, dan sejenisnya;
b. label/merek produk yang melekat pada barang yang
diperdagangkan, yang berfungsi untuk membedakan dari produk
sejenis lainnya;

21
c. nama pengenal usaha atau profesi yang dipasang melekat pada
bangunan dan/atau di dalam area tempat usaha atau profesi yang
jenis, ukuran, bentuk, dan bahan Reklamenya diatur dalam
Perkada dengan berpedoman pada ketentuan yang mengatur
tentang nama pengenal usaha atau profesi tersebut;
d. Reklame yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah
Daerah;
e. Reklame yang diselenggarakan dalam rangka kegiatan politik,
sosial, dan keagamaan yang tidak disertai dengan iklan komersial;
dan
f. Reklame lainnya yang diatur dengan Perda.

Pasal 61 berbunyi:
(1) Subjek Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang
menggunakan Reklame.
(2) Wajib Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang
menyelenggarakan Reklame.

Pasal 62 berbunyi:
(1) Dasar Pengenaan Pajak Reklame adalah nilai sewa Reklame.
(2) Dalam hal Reklame diselenggarakan oleh pihak ketiga, nilai sewa
Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
berdasarkan nilai kontrak Reklame.
(3) Dalam hal Reklame diselenggarakan sendiri, nilai sewa Reklame
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan
memperhatikan faktor jenis, bahan yang digunakan, lokasi
penempatan, waktu penayangan, jangka waktu penyelenggaraan,
jumlah, dan ukuran media Reklame.
(4) Dalam hal nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
tidak diketahui dan/atau dianggap tidak wajar, nilai sewa Reklame

22
ditetapkan dengan menggunakan faktor-faktor sebagaimana
dimaksud pada ayat (3).
(5) Perhitungan nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) ditetapkan dengan Perkada.

Pasal 63 berbunyi:
(1) Tarif Pajak Reklame ditetapkan paling tinggi sebesar 25% (dua
puluh lima persen).
(2) Tarif Pajak Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
dengan Perda.

5. PAT
Pajak Air Tanah yang selanjutnya disingkat PAT adalah Pajak atas
pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah. PAT diatur dalam Pasal
65 sampai dengan Pasal 70 Undang-Undang ini dengan uraian sebagai
berikut:
Pasal 65 berbunyi:
(1) Objek PAT adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
(2) Yang dikecualikan dari objek. PAT adalah pengambilan untuk:
a. keperluan dasar rumah tangga;
b. pengairan pertanian rakyat;
c. perikanan rakyat;
d. peternakan rakyat;
e. keperluan keagamaan; dan
f. kegiatan lainnya yang diatur dengan Perda.

Pasal 66 berbunyi :
(1) Subjek PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan
pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
(2) Wajib PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan
pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.

23
Pasal 67 berbunyi:
(1) Dasar pengenaan PAT adalah nilai perolehan Air Tanah.
(2) Nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah hasil perkalian antara harga air baku dengan bobot Air Tanah.
(3) Harga air baku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan
berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya Air
Tanah.
(4) Bobot Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan
dalam koefisien yang didasarkan atas faktor-faktor berikut:
a. jenis sumber air;
b. lokasi sumber air;
c. tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air;
d. volume air yang diambil dan/ atau dimanfaatkan;
e. kualitas air; dan
f. tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh
pengambilan dan/ atau pemanfaatan air.

Pasal 69 berbunyi:
(1) Tarif PAT ditetapkan paling tinggi sebesar 20 % (dua puluh persen).
(2) Tarif PAT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
Perda.

Pasal 70 berbunyi:
(1) Besaran pokok PAT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan
dasar pengenaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat
(1) dengan tarif PATsebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (2).
(2) PAT yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat pengambilan
dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
(3) Saat terutangnya PAT dihitung sejak pengambilan dan/ atau
pemanfaatan Air Tanah.

24
6. Pajak MBLB
Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disingkat MBLB
adalah mineral bukan logam dan batuan sebagaimana dimaksud di dalam
peraturan perundang-undangan di bidang mineral dan batu bara. MBLB
Pasal 71 berbunyi:
(1) Objek Pajak MBLB adalah kegiatan pengambilan MBLB yang
meliputi:
a. asbes;
b. batu tulis;
c. batu setengah permata;
d. batu kapur;
e. batu apung;
f. batu permata;
g. bentonit;
h. dolomit;
i. feldspar;
j. garam batu (halite);
k. grafit;
l. granit/andesit;
m. gips;
n. kalsit;
o. kaolin;
p. leusit;
q. magnesit;
r. mika;
s. marmer;
t. nitrat;
u. obsidian;
v. oker;
w. pasir dan kerikil;
x. pasir kuarsa;

25
y. perlit;
z. fosfat;
aa. talk;
bb. tanah serap (fullers earth);
cc. tanah diatom;
dd. tanah liat;
ee. tawas (alum);
ff. tras;
gg. yarosit;
hh. zeolit;
ii. basal;
jj. trakhit;
kk. belerang;
ll. MBLB ikutan dalam suatu pertambangan mineral; dan
mm. MBLB lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(2) Yang dikecualikan dari objek Pajak MBLB sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), meliputi pengambilan MBLB:
a. untuk keperluan rumah tangga dan tidak diperjualbelikan/
dipindahtangankan;
b. untuk keperluan pemancangan tiang listrik/telepon, penanaman
kabel, penanaman pipa, dan sejenisnya yang tidak mengubah
fungsi permukaan tanah; dan
c. untuk keperluan lainnya yang ditetapkan dengan Perda.

Pasal 72 berbunyi:
(1) Subjek Pajak MBLB adalah orang pribadi atau Badan yang
mengambil MBLB.
(2) Wajib Pajak MBLB adalah orang pribadi atau Badan yang mengambil
MBLB.

26
Pasal 73 berbunyi:
(1) Dasar pengenaan Pajak MBLB adalah nilai jual hasil pengambilan
MBLB.
(2) Nilai jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan
perkalian volume/tonase pengambilan MBLB dengan harga patokan
tiap-tiap jenis MBLB.
(3) Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung
berdasarkan harga jual rata-rata tiap-tiap jenis MBLB pada mulut
tambang yang berlaku di wilayah Daerah yang bersangkutan.
(4) Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
pertambangan mineral dan batu bara.

Pasal 74 berbunyi:
(1) Tarif Pajak MBLB ditetapkan paling tinggi sebesar 20% (dua puluh
persen).
(2) Khusus untuk Daerah yang setingkat dengan Daerah provinsi yang
tidak terbagi dalam Daerah kabupaten/kota otonom, tarif Pajak MBLB
ditetapkan paling tinggi sebesar 25 % (dua puluh lima persen).
(3) Tarif Pajak MBLB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
ditetapkan dengan Perda.

7. Pajak Sarang Burung Walet


Pajak Sarang Burung Walet adalah Pajak atas kegiatan pengambilan
dan/atau pengusahaan sarang burung walet. Pajak Sarang Burung Walet
diatur dalam Pasal 76 sampai dengan Pasal 80
Pasal 76 berbunyi:
(1) Objek Pajak Sarang Burung Walet adalah pengambilan dan/atau
pengusahaan sarang Burung Walet.
(2) Yang dikecualikan dari objek Pajak Sarang Burung Walet
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:

27
a. pengambilan sarang Burung Walet yang telah dikenakan
penerimaan negara bukan pajak; dan
b. kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet
lainnya yang ditetapkan dengan Perda.

Pasal 77 berbunyi:
(1) Subjek Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan
yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan sarang
Burung Walet.
(2) Wajib Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan
yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan sarang
Burung Walet.
Pasal 78 berbunyi:
(1) Dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet adalah nilai jual sarang
Burung Walet.
(2) Nilai jual sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dihitung berdasarkan perkalian antara harga pasaran umum sarang
Burung Walet yang berlaku di Daerah yang bersangkutan dengan
volume sarang Burung Walet.

Pasal 79 berbunyi:
(1) Tarif Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan paling tinggi sebesar
10% (sepuluh persen).
(2) Tarif Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan dengan Perda.

8. Opsen PKB dan Opsen BBNKB


Opsen adalah pungutan tambahan Pajak menurut persentase tertentu.
Opsen terdiri atas Opsen PKB, Opsen BBNKB, dan Opsen MBLB.
Pengaturan Opsen tentu saja harus disesuaikan dengan kewenangan yang
dimiliki oleh Pemerintah Daerah.

28
Opsen Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen PKB
adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok PKB
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut
Opsen BBNKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas
pokok BBNKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Opsen Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disebut
Opsen Pajak MBLB adalah Opsen yang dikenakan oleh provinsi atas
pokok Pajak MBLB sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan.
Opsen diatur dalam Pasal 81 sampai dengan Pasal 84 Undang-Undang
ini, dengan uraian sebagai berikut:
Pasal 81 berbunyi:
Opsen dikenakan atas Pajak terutang dari:
a. PKB;
b. BBNKB; dan
c. Pajak MBLB.
Pasal 82 berbunyi:
Wajib Pajak untuk Opsen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81
merupakan Wajib Pajak atas jenis Pajak:
a. PKB;
b. BBNKB; dan
c. Pajak MBLB.
Pasal 83 berbunyi:
(1) Tarif Opsen ditetapkan sebagai berikut:
a. Opsen PKB sebesar 66 % (enam puluh enam persen);
b. Opsen BBNKB sebesar 66% (enam puluh enam persen); dan
c. Opsen Pajak MBLB sebesar 25 % (dua puluh lima persen),
dihitung dari besaran Pajak terutang.
(2) Besaran tarif Opsen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
dengan Perda.

29
Pasal 84 berbunyi :
(1) Opsen dipungut secara bersamaan dengan Pajak yang dikenakan
Opsen.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan Opsen
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Pemerintah.
Pada dasarnya pengaturan Pajak Daerah perlu memastikan antara lain
menyangkut objek untuk setiap jenis pajak daerah yang telah ditentukan
dalam Undang-Undang ini, tarif dengan persentansi tertentu yang telah
ditentukan dalam Undang-Undang ini penetapan pengecualian dari objek
Pajak Daerah.

Penentuan tarif tentu saja haruslah menjamin keseimbangan penerimaan


daerah dan kemampuan masyarakat, setiap kenaikan tarif, penurunan tarif
serta tarif yang besarannya sama dengan Peraturan Daerah sebelumnya
mesti disertai dengan argumentasi dan analisis yang jelas dan dapat
dipertanggungjawabkan oleh daerah.

Di samping itu terdapat kewenangan daerah untuk menetapkan


pengecualian dari objek Pajak Daerah dalam Peraturan Daerah. Ketentuan
pengecualian ini haruslah menjadi bagian penting dalam kebijakan daerah
yang berorientasi kepada daya saing, optimalisasi potensi, jaminan atas
ekosistem investasi dan kemudahan berusaha serta peningkatan
pendapatan daerah yang bermuara pada kesejahteraan masyarakat di
daerah.

 RETRIBUSI DAERAH
Retribusi Daerah didefinisikan sebagai pungutan Daerah sebagai
pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan
dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi

30
atau badan. Berdasarkan Pasal 87 Undang-Undang ini diatur bahwa retribusi
daerah dibagi atas 3 jenis yaitu:
a. Retribusi Jasa Umum;
b. Retribusi Jasa Usaha; dan
Retribusi Perzinan Tertentu.
Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah
Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat
dinikmati oleh orang pribadi atau Badan.
Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah
Daerah yang dapat bersifat mencari keuntungan karena pada dasarnya dapat
pula disediakan oleh sektor swasta.
Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam
rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan
untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan,
pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana,
sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan
menjaga kelestarian lingkungan.
Objek Retribusi adalah penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa dan
pemberian izin tertentu kepada orang pribadi atau Badan oleh Pemerintah
Daerah.
Wajib Retribusi yang meliputi orang pribadi atau Badan yang
menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/ atau perizinan. Wajib
Retribusi tersebut wajib membayar atas layanan yang digunakan/ dinikmati.
Lebih lanjut dalam Pasal 88 Undang-Undang ini dinyatakan:
(1) Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) huruf a meliputi:
a. pelayanankesehatan;
b. pelayanan kebersihan;
c. pelayanan pasar; dan
d. pengendalian lalu lintas.

31
(2) Jenis pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat tidak
dipungut Retribusi apabila potensi penerimaannya kecil dan/atau dalam
rangka pelaksanaan kebijakan nasional/daerah untuk memberikan
pelayanan tersebut secara cuma-cuma.
(3) Jenis penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek
Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1)
huruf b meliputi:
a. penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan,
dan tempat kegiatan usaha lainnya;
b. penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil
hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat
pelelangan;
c. penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan;
d. penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/vila;
e. pelayanan rumah pemotongan hewan ternak;
f. pelayanan jasa kepelabuhanan;
g. pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
h. pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan
kendaraan di air;
i. penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah; dan
j. pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan
tugas dan fungsi organisasi perangkat Daerah dan/atau optimalisasi
aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Jenis pelayanan pemberian izin yang merupakan objek Retribusi
Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) huruf
c meliputi:
a. persetujuan bangunan gedung;
b. penggunaan tenaga kerja asing; dan
c. pengelolaan pertambangan rakyat.

32
(5) Retribusi persetujuan bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) huruf a merupakan pungutan atas penerbitan persetujuan bangunan
gedung oleh Daerah.
(6) Retribusi penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) huruf b merupakan dana kompensasi penggunaan tenaga kerja
asing atas pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing
perpanjangan sesuai wilayah kerja tenaga kerja asing.
(7) Retribusi pengelolaan pertambangan rakyat sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) huruf c merupakan pungutan Daerah berupa iuran pertambangan
rakyat kepada pemegang izin pertambangan rakyat oleh Pemerintah
Daerah dalam rangka menjalankan delegasi kewenangan Pemerintah di
bidang pertambangan mineral dan batu bara.
(8) Penambahan jenis Retribusi selain jenis Retribusi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.
(9) Ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah sebagaimana
dimaksud pada ayat (8) antara lain:
a. Objek Retribusi;
b. Subjek dan Wajib Retribusi;
c. Prinsip dan sasaran penetapan tarif Retribusi; dan
d. Tata cara penghitungan Retribusi.
Untuk menentukan besaran tarif retribusi, Pasal 90 menyatakan Besaran
Retribusi yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat
penggunaan jasa dengan tarif Retribusi. Lebih lanjut. Pasal 91 Tingkat
penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 merupakan jumlah
penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul
Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
Tarif retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali. Pasal 93
menyatakan:
(1) Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ditinjau kembali
paling lama 3 (tiga) tahun sekali.

33
(2) Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan
perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi.
(3) Penetapan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan
dengan Perkada.
Peninjauan ini semata-mata untuk menyesuaikan tarif dengan
memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa
melakukan penambahan objek Retribusi. Jadi, yang disesuaikan hanyalah
tarif tanpa menambah objek retribusi

 PERATURAN DAERAH PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI


Berdasarkan Pasal 94 Undang-Undang ini maka pengaturan pajak
daerah dan retribusi daerah berdasarkan undang-undangan ini digabung
menjadi satu Peraturan Daerah. Pasal 94 berbunyi : Jenis Pajak dan
Retribusi, Subjek Pajak dan Wajib Pajak, Subjek Retribusi dan Wajib
Retribusi, objek Pajak dan Retribusi, dasar pengenaan Pajak, tingkat
penggunaan jasa Retribusi, saat terutang Pajak, wilayah pemungutan
Pajak, serta tarif Pajak dan Retribusi, untuk seluruh jenis Pajak dan
Retribusi ditetapkan dalam 1 (satu) Perda dan menjadi dasar pemungutan
Pajak dan Retribusi di Daerah.
Sementara berkaitan dengan keberlakukan atau status hukum dari
Perda Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang telah berlaku selama ini
maka berdasarkan Pasal 187 huruf b dinyatakan bahwa Perda mengenai
Pajak dan Retribusi yang disusun berdasarkan Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah masih tetap
berlaku paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal diundangkannya
Undang-Undang ini.
Selanjutnya berdasarkan Pasal 189 huruf b dinyatakan bahwa Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049)

34
sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6573) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

D. Pengaturan Retribusi Daerah Dalam Peraturan Perundang-Undangan Lainnya

Dalam pengaturan retribusi daerah maka tidak semua jenis retribusi dapat
dipungut oleh, hal ini sangat bergantung pada kewenangan, potensi dan
kondisi masing-masing daerah dimaksud yang dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pada dasarnya pengaturan Retribusi Daerah mengacu pada ketentuan
peraturan perundang-undangan yang mengatur Retribusi Daerah, namun juga
berkaitan erat dengan berbagai peraturan perundang-undangan sektoral yang
materinya berhubungan dengan setiap jenis retribusi daerah dimaksud. Hal ini
disesuaikan dengan jenis masing-masing retribusi dimaksud.
Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana a
meliputi:
a. pelayanankesehatan;
b. pelayanan kebersihan;
c. pelayanan pasar; dan
d. pengendalian lalu lintas.
Jenis penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek
Retribusi Jasa Usaha meliputi:
a. penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan
tempat kegiatan usaha lainnya;
b. penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan
termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan;
c. penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan;
d. penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/vila;
e. pelayanan rumah pemotongan hewan ternak;

35
f. pelayanan jasa kepelabuhanan;
g. pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
h. pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan
kendaraan di air;
i. penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah; dan
j. pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan
tugas dan fungsi organisasi perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset
Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Jenis pelayanan pemberian izin yang merupakan objek Retribusi Perizinan


Tertentu meliputi:
a. persetujuan bangunan gedung;
b. penggunaan tenaga kerja asing; dan
c. pengelolaan pertambangan rakyat.

Berikut diuraikan masing-masing jenis retribusi dari pendekatan peraturan


perundang-undangan sektoral :
1. Retribusi Pelayanan Kesehatan
Objek Retribusi Pelayanan Kesehatan adalah pelayanan kesehatan di
puskesmas, puskesmas keliling, puskesmas pembantu, balai pengobatan,
rumah sakit umum daerah, dan tempat pelayanan kesehatan lainnya yang
sejenis yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, kecuali
pelayanan pendaftaran. Objek Retribusi Pelayanan Kesehatan dibatasi atas
pelayanan kesehatan yang diberikan kepada orang/ masyarakat oleh
fasilitas kesehatan yang dimiliki Pemerintah Daerah, sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Jenis
pelayanan kesehatan bersifat closed list.
Dikecualikan dari objek Retribusi pelayanan kesehatan adalah pelayanan
kesehatan yang dilakukan oleh Pemerintah, BUMN, BUMD, dan pihak
swasta. Tingkat penggunaan jasa berdasarkan frekuensi dan/atau jangka

36
waktu pelayanan. Prinsip dan sasaran penetapan besaran tarif retribusi
disesuaikan dengan tujuan pengenaan retribusi atas pelayanan tersebut.

2. Retribusi Pelayanan Kebersihan


Dalam pengelolaan sampah diperlukan kepastian hukum, kejelasan
tanggung jawab dan kewenangan Pemerintah, pemerintahan daerah, serta
peran masyarakat dan dunia usaha sehingga pengelolaan sampah dapat
berjalan secara proporsional, efektif, dan efisien. Untuk itu telah dibentuk
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah
serta ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012 tentang
Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Rumah
Tangga. Dalam Pasal 29 Peraturan Pemerintah ini dinyatakan bahwa
(1) Dalam penyelenggaraan penanganan sampah, pemerintah
kabupaten/kota memungut retribusi kepada setiap orang atas jasa
pelayanan yang diberikan.
(2) Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan secara
progresif berdasarkan jenis, karakteristik, dan volume sampah.
(3) Hasil retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan
untuk:
a. kegiatan layanan penanganan sampah;
b. penyediaan fasilitas pengumpulan sampah;
c. penanggulangan keadaan darurat;
d. pemulihan lingkungan akibat kegiatan penanganan sampah;
dan/atau
e. peningkatan kompetensi pengelola sampah.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perhitungan tarif retribusi
berdasarkan jenis, karakteristik, dan volume sampah sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang dalam negeri.

37
Lebih lanjut untuk melaksanakan ketentuan Pasal 29 ayat (4) Peraturan
Pemerintah dimaksud maka telah ditetapkan Peraturan Menteri dalam
Negeri Nomor 7 tahun 2021 Tentang Tata Cara Perhitungan Tarif
Retribusi Dalam Penyelenggaraan Penangan Sampah. Dalam Pasal 2
dinyatakan :
(1) Dalam penyelenggaraan penanganan sampah, pemerintah daerah
memungut Retribusi kepada setiap orang atas jasa pelayanan yang
diberikan.
(2) Sampah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
a. sampah rumah tangga; dan
b. sampah sejenis sampah rumah tangga.
(3) Objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pengambilan atau pengumpulan sampah dari sumbernya ke
lokasi pembuangan sementara;
b. pengangkutan sampah dari sumbernya dan/atau lokasi
pembuangan sementara ke lokasi pembuangan /pembuangan
akhir sampah; dan
c. penyediaan lokasi pembuangan atau pemusnahan akhir sampah.
(4) Dikecualikan dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) meliputi pelayanan kebersihan jalan umum, taman, tempat
ibadah, sosial, dan tempat umum lainnya.
Untuk subjek retribusi diatur dalam Pasal 3 yang menyatakan:
(1) Subjek Retribusi meliputi orang pribadi atau Badan yang
menggunakan/menikmati pelayanan persampahan.
(2) Wajib Retribusi meliputi orang pribadi atau Badan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan Retribusi diwajibkan
untuk melakukan pembayaran Retribusi, termasuk pemungut atau
pemotong Retribusi pelayanan persampahan atau kebersihan.
Sementara untuk Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif, lebih lanjut
diatur dalam Pasal 4 yang menyatakan:

38
(1) Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi ditetapkan
dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa, kemampuan
masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas
pelayanan.
(2) Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan biaya dalam
rangka penanganan sampah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang meliputi biaya operasi dan
pemeliharaan, dan biaya modal.
(3) Dalam hal penetapan tarif sepenuhnya memperhatikan biaya
penyediaan jasa, penetapan tarif Retribusi hanya untuk menutup
sebagian biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Lebih lanjut dalam Pasal 5 Penghitungan tarif Retribusi dalam
penyelenggaraan penanganan sampah tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

3. Retribusi Pelayanan Parkir Di Tepi Jalan Umum


Dalam Pasal 43 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan menyatakan:
(1) Penyediaan fasilitas Parkir untuk umum hanya dapat diselenggarakan
di luar Ruang Milik Jalan sesuai dengan izin yang diberikan.
(2) Penyelenggaraan fasilitas Parkir di luar Ruang Milik Jalan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh
perseorangan warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia
berupa:
a. usaha khusus perparkiran; atau
b. penunjang usaha pokok.
(3) Fasilitas Parkir di dalam Ruang Milik Jalan hanya dapat
diselenggarakan di tempat tertentu pada jalan kabupaten, jalan desa,
atau jalan kota yang harus dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas,
dan/atau Marka Jalan.

39
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Pengguna Jasa fasilitas Parkir,
perizinan, persyaratan, dan tata cara penyelenggaraan fasilitas dan
Parkir untuk umum diatur dengan peraturan pemerintah.
Parkir di tepi jalan umum adalah kegiatan parkir di dalam ruang milik
jalan dan hanya dapat diselenggarakan di tempat tertentu pada jalan
kabupaten, jalan desa, atau jalan kota yang memenuhi persyaratan
tertentu.
Pengaturan retribusi Pelayanan Parkir Di Tepi Jalan Umum merupakan
kewenangan dari pemerintah daerah kabupaten/kota, hal ini sesuai dengan
Pasal 100 sampai dengan Pasal 112 Peraturan Pemerintah Nomor 79
Tahun 2013 tentang Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang
menyatakan bahwa kegiatan parkir terdiri atas parkir di luar ruang milik
jalan dan parkir di dalam ruang milik jalan.
Objek Retribusi Parkir di Tepi Jalan Umum adalah penyediaan pelayanan
parkir di tepi jalan umum. Penggunaan jalan umum sebagai tempat parkir
ditentukan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Sedangkan subjek retribusi ini adalah Orang pribadi
atau badan yang memperoleh pelayanan parkir di tepi jalan umum.
Tingkat penggunaan jasa penyediaan pelayanan parkir di tepi jalan umum
diukur berdasarkan frekuensi layanan dan/atau jangka waktu pemakaian
tempat parkir.

4. Retribusi Pelayanan Pasar


Objek Retribusi Pelayanan Pasar adalah penyediaan fasilitas pasar
tradisional/ sederhana, berupa pelataran, los, kios yang dikelola
Pemerintah Daerah, dan disediakan untuk pedagang. Dikecualikan dari
objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan
fasilitas pasar yang dikelola BUMN, BUMD, dan pihak swasta. Subjek
retribusi ini adalah Orang pribadi atau badan yang memperoleh pelayanan
pasar. Tingkat penggunaan jasa penyediaan pelayanan pasar diukur

40
berdasarkan frekuensi layanan dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas
pasar.
Dalam Pasal 42 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 21 Tahun 2021
tentang Pedoman Pembangunan dan Pengelolaan Sarana Perdagangan
dinyatakan:
(1) Pemerintah Daerah menetapkan harga pemanfaatan toko/kios,los
dan/ atau hamparan/dasaran/jongko paling sedikit
mempertimbangkan:
a. sosial ekonomi daerah;
b. jumlah pedagang Pasar Rakyat;
c. lokasi pasar;
d. jenis dan lokasi unit usaha di dalam pasar;
e. biaya penyediaan jasa dan kemampuan masyarakat;
f. biaya operasi dan pemeliharaan, biaya bunga dan biaya
modal;
g. jam buka pasar;
h. luas toko/kios, los, dan/atau hamparan/dasaran/jongko;dan
i. jenis dagangan.
(2) Harga pemanfaatam sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupaka tarif retribusi daerah yang dipungut untuk menutup
sebagian biaya pelayanan pasar rakyat.

5. Retribusi Pengendalian Lalu Lintas


Berkaitan dengan retribusi Retribusi Pengendalian Lalu Lintas saat ini
belum ada pengaturan lebih lanjut dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2022, oleh sebab itu secara teknis masih dapat menggunakan tata cara
yang diatur dalam Peraturasn Pemerintah Nomor 97 Tahun 2012 tentang
Retribusi Pengendalian Lalu Lintas dan retribusi Perpanjangan Izin
Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing. Selanjutnya berdasarkan Pasal 3
Peraturan Pemerintah ini dinyatakan bahwa:

41
(1) Objek Retribusi Pengendalian Lalu Lintas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a meliputi penggunaan ruas jalan
tertentu, koridor tertentu, atau kawasan tertentu pada waktu tertentu
oleh kendaraan bermotor perseorangan dan barang.
(2) Tidak termasuk kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat
(1):
a. sepeda motor;
b. kendaraan penumpang umum;
c. kendaraan pemadam kebakaran; dan
d. ambulans.
Selanjutnya untuk ketentuan menyangkut ruas jalan diatur dalam Pasal 4
dinyatakan bahwa
(1) Ruas jalan tertentu, koridor tertentu, atau kawasan tertentu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) ditetapkan
berdasarkan kriteria:
a. memiliki 2 (dua) jalur jalan yang masing-masing jalur
memiliki paling sedikit 2 (dua) lajur; dan
b. tersedia jaringan dan pelayanan angkutan umum massal dalam
trayek.
(2) Angkutan umum massal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
harus memenuhi standar pelayanan minimal yang ditetapkan oleh
menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan prasarana lalu
lintas dan angkutan jalan.

Lebih lanjut Pasal 5 menyatakan:


(1) Waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1)
ditentukan berdasarkan tingkat kepadatan lalu lintas pada suatu
ruas jalan, koridor atau kawasan tertentu.
(2) Tingkat kepadatan lalu lintas sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditetapkan berdasarkan kriteria:

42
a. memiliki perbandingan volume lalu lintas kendaraan bermotor
dengan kapasitas jalan pada salah satu jalur jalan sama dengan
atau lebih besar dari 0,9 (nol koma sembilan); dan
b. kecepatan rata-rata sama dengan atau kurang dari 10 (sepuluh)
km/jam, berlangsung secara rutin pada setiap hari kerja.
(3) Penetapan pemenuhan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang
sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan setelah
berkoordinasi dengan forum lalu lintas dan angkutan jalan.

Untuk subjek retribusi diatur dalam Pasal 10 yang menyatakan:


(1) Subjek Retribusi Pengendalian Lalu Lintas meliputi orang
perseorangan dan badan hukum yang menggunakan kendaraan
bermotor perseorangan dan barang pada ruas jalan, koridor, atau
kawasan yang dikenakan Retribusi Pengendalian Lalu Lintas.
(2) Subjek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan Wajib Retribusi.

Pasal 11 mengatur prinsip dan sasaran dalam menetapkan tarif retribusi


yakni:
(1) Dalam penetapan tarif Retribusi Pengendalian Lalu Lintas harus
memenuhi prinsip dan sasaran yang meliputi:
a. efektivitas pengendalian lalu lintas; dan
b. dapat menutup biaya penyelenggaraan.
(2) Efektivitas pengendalian lalu lintas sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a diukur berdasarkan biaya kemacetan.
(3) Biaya penyelenggaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
meliputi biaya modal, biaya operasional, biaya pemeliharaan, dan
biaya bunga.

43
6. Retribusi Penyediaan Tempat Kegiatan Usaha Berupa Pasar Grosir,
Pertokoan, Dan Tempat Kegiatan Usaha Lainnya

Objek Retribusi Penyediaan Tempat Kegiatan Usaha Berupa Pasar


Grosir, Pertokoan, Dan Tempat Kegiatan Usaha Lainnya adalah
penyediaan fasilitas pasar grosir berbagai jenis barang, dan fasilitas
pasar/pertokoan yang dikon- trakkan, yang disediakan/diselenggarakan
oleh Pemerintah Daerah. Dikecualikan dari objek Retribusi adalah
fasilitas pasar yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh BUMN,
BUMD, dan pihak swasta. Orang pribadi atau badan yang menggunakan
atau memakai fasilitas pasar grosir berbagai jenis barang, fasilitas
pasar/pertokoan yang dikontrakkan, yang disediakan/diselenggarakan
oleh Pemerintah Daerah. Prinsip dan sasaran penetapan besaran tarif
Retribusi Pasar Grosir dan/atau Pertokoan didasarkan pada tujuan
memperoleh keuntungan yang layak.

7. Penyediaan Tempat Pelelangan Ikan, Ternak, Hasil Bumi, Dan Hasil


Hutan Termasuk Fasilitas Lainnya Dalam Lingkungan Tempat
Pelelangan

Objek Retribusi penyediaan tempat pelelangan ternak, hasil bumi, dan


hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat
pelelangan adalah penyediaan tempat pelelangan yang secara khusus
disediakan oleh Pemerintah Daerah untuk melakukan pelelangan ternak,
hasil bumi, dan hasil hutan termasuk jasa pelelangan serta fasilitas
lainnya yang disediakan di tempat pelelangan.
Dikecualikan dari objek Retribusi adalah tempat pelelangan ternak, hasil
bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat
pelelangan yang disediakan oleh Pemerintah, BUMN, BUMD, dan pihak
swasta.

44
Orang pribadi atau badan yang menggunakan tempat pelelangan yang
secara khusus disediakan oleh Pemerintah Daerah untuk melakukan
pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk jasa
pelelangan serta fasilitas lainnya yang disediakan di tempat pelelangan.
Tingkat penggunaan jasa tempat pelelangan diukur berdasarkan frekuensi
dan/atau jangka waktu penggunaan pelayanan tempat pelelangan.

8. Retribusi Penyediaan Tempat Khusus Parkir Di Luar Badan Jalan


Dalam Pasal 43 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan menyatakan:
(5) Penyediaan fasilitas Parkir untuk umum hanya dapat diselenggarakan
di luar Ruang Milik Jalan sesuai dengan izin yang diberikan.
(6) Penyelenggaraan fasilitas Parkir di luar Ruang Milik Jalan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh
perseorangan warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia
berupa:
c. usaha khusus perparkiran; atau
d. penunjang usaha pokok.
(7) Fasilitas Parkir di dalam Ruang Milik Jalan hanya dapat
diselenggarakan di tempat tertentu pada jalan kabupaten, jalan desa,
atau jalan kota yang harus dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas,
dan/atau Marka Jalan.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai Pengguna Jasa fasilitas Parkir,
perizinan, persyaratan, dan tata cara penyelenggaraan fasilitas dan
Parkir untuk umum diatur dengan peraturan pemerintah.
Lebih lanjut kewenangan tentang perparkiran pemerintah daerah
kabupaten/kota dilaksanakan sesuai dengan Pasal 100 sampai dengan
Pasal 112 Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2013 tentang Jaringan
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan tentang Jaringan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan, kegiatan parkir terdiri atas parkir di ruang milik jalan
dan parkir di dalam ruang milik jalan. Parkir di Tempat Khusus Parkir

45
adalah kegiatan parkir di luar ruang milik jalan. Sesuai dengan Undang-
Undang 1 Tahun 2022 dinyatakan bahwa retribusi penyediaan tempat
khusus parkir di luar badan jalan merupakan retribusi jasa usaha yang
dapat dipungut oleh pemerintah daerah kabupaten/kota.
Selanjutnya mengenai objek retribusi adalah pelayanan tempat khusus
parkir yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah
Daerah.
Dikecualikan dari objek Retribusi adalah pelayanan tempat parkir yang
disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah, BUMN, BUMD,
dan pihak swasta. Selanjutnya yang menjadi subjek retribusi ini adalah
Orang pribadi atau badan yang menggunakan tempat khusus parkir yang
disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
Berkaitan dengan cara mengukur tingkat penggunaan jasa diketahui
bahwa tingkat penggunaan jasa termpat khusus parkir diukur berdasarkan
frekuensi dan/atau jangka waktu penggunaan pelayanan tempat khusus
parkir.

9. Retribusi Penyediaan Tempat Penginapan/ Pesanggrahan/ Vila


Objek Retribusi Tempat Penginapan/ Pesanggrahan/Villa adalah
pelayanan tempat penginapan/pesanggrahan/villa yang disediakan,
dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah. Dikecualikan dari
objek Retribusi adalah tempat penginapan/pesanggrahan/villa yang
disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah, BUMN, BUMD,
dan pihak swasta. Berkaitan dengan Tingkat penggunaan jasa tempat
penginapan/pesanggrahan/villa diukur berdasarkan frekuensi/jangka
waktu penggunaan pelayanan tempat penginapan/pesanggrahan/villa

10. Retribusi pelayanan rumah pemotongan hewan ternak


Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 95 Tahun 2012 tentang Kesehatan
Masyarakat Veteriner Dan Kesejahteraan Hewan diatur ketentuan
mengenai pemotongan hewan dan rumah potong hewan. Pemotongan

46
Hewan didefinisikan serangkaian kegiatan di rumah potong Hewan yang
meliputi penerimaan Hewan, pengistirahatan, pemeriksaan kesehatan
Hewan sebelum dipotong, pemotongan/penyembelihan, pemeriksaan
kesehatan jeroan dan karkas setelah Hewan dipotong, dengan
memperhatikan Higiene dan Sanitasi, Kesejahteraan Hewan, serta
kehalalan bagi yang dipersyaratkan. Dalam Peraturan Pemerintah ini
diatur antara lain sebagai berikut:
Pasal 8 berbunyi:
(1) Pemotongan Hewan potong yang dagingnya diedarkan harus
dilakukan di rumah potong Hewan yang:
a. memenuhi persyaratan teknis yang diatur oleh Menteri; dan
b. menerapkan cara yang baik.
(2) Pendirian rumah potong Hewan harus memenuhi persyaratan
teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Cara yang baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dilakukan dengan:
a. pemeriksaan kesehatan Hewan potong sebelum dipotong;
b. penjaminan kebersihan sarana, prasarana, peralatan, dan
lingkungannya;
c. penjaminan kecukupan air bersih;
d. penjaminan kesehatan dan kebersihan personel;
e. pengurangan penderitaan Hewan potong ketika dipotong;
f. penjaminan penyembelihan yang Halal bagi yang
dipersyaratkan dan bersih;
g. pemeriksaan kesehatan jeroan dan karkas setelah Hewan
potong dipotong; dan
h. pencegahan tercemarnya karkas, daging, dan jeroan dari
bahaya biologis, kimiawi, dan fisik.
(4) Pemeriksaan kesehatan Hewan potong sebelum dipotong dan
pemeriksaan kesehatan jeroan dan karkas setelah Hewan potong
dipotong sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf g

47
harus dilakukan oleh Dokter Hewan di rumah potong Hewan atau
paramedik Veteriner di bawah Pengawasan Dokter Hewan
Berwenang.
Pasal 9 berbunyi:
(1) Pemeriksaan kesehatan Hewan potong sebelum dipotong
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf a dilakukan
untuk memastikan bahwa Hewan potong yang akan dipotong sehat
dan layak untuk dipotong.
(2) Hewan potong yang layak untuk dipotong harus memenuhi kriteria
paling sedikit:
a. tidak memperlihatkan gejala penyakit Hewan menular dan/atau
Zoonosis;
b. bukan ruminansia besar betina anakan dan betina produktif;
c. tidak dalam keadaan bunting; dan
d. bukan Hewan yang dilindungi berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Hewan potong yang telah diperiksa kesehatannya diberi tanda:
a. “SL” untuk Hewan potong yang sehat dan layak untuk dipotong;
dan
b. “TSL” untuk Hewan potong yang tidak sehat dan/atau tidak
layak untuk dipotong.
Pasal 10 berbunyi:
(1) Pemeriksaan kesehatan jeroan dan karkas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (3) huruf g dilakukan dengan cara inspeksi,
palpasi, dan insisi.
(2) Hasil pemeriksaan kesehatan jeroan dan karkas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yang aman dan layak dikonsumsi
dinyatakan dalam bentuk:
a. pemberian stempel pada karkas dan label pada jeroan yang
bertuliskan “telah diperiksa oleh Dokter Hewan”; dan
b. surat keterangan kesehatan daging.

48
(3) Jeroan dan karkas yang berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan tidak aman dan
tidak layak dikonsumsi wajib dimusnahkan di rumah potong
Hewan.
Pasal 11 berbunyi:
Pemotongan Hewan potong dapat dilakukan di luar rumah potong Hewan
dalam hal untuk:
a. upacara keagamaan;
b. upacara adat; atau
c. pemotongan darurat.

Pasal 12 berbunyi
Pemotongan Hewan potong untuk keperluan upacara keagamaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf a hanya dapat dilakukan
apabila di suatu kabupaten/kota:
a. belum memiliki rumah potong Hewan; atau
b. kapasitas pemotongan di rumah potong Hewan yang ada tidak
memadai.
Pasal 13 berbunyi:
Pemotongan Hewan potong untuk keperluan upacara adat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 huruf b hanya dapat dilakukan dalam rangka
upacara pemakaman atau pernikahan pada masyarakat tertentu.

Pasal 14 berbunyi:
Pemotongan darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf c hanya
dapat dilakukan pada Hewan potong dalam kondisi:
a. mengalami kecelakaan; atau
b. korban Bencana Alam yang bersifat nonbiologi yang mengancam
jiwanya.

49
Pasal 15 berbunyi:
(1) Pelaksanaan pemotongan Hewan potong untuk keperluan upacara
keagamaan dan upacara adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
huruf a dan huruf b paling sedikit harus memenuhi persyaratan cara
yang baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf a, huruf
b, dan huruf g.
(2) Pelaksanaan pemotongan Hewan potong sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat dilakukan setelah pemilik atau penanggung jawab Hewan
terlebih dahulu melapor kepada Otoritas Veteriner di bidang Kesehatan
Masyarakat Veteriner kabupaten/kota.
Pasal 16 berbunyi:
(1) Pelaksanaan pemotongan darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
11 huruf c paling sedikit harus memenuhi persyaratan cara yang baik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf g.
(2) Pelaksanaan pemotongan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan setelah pemilik atau penanggung jawab Hewan terlebih
dahulu melapor kepada Otoritas Veteriner di bidang Kesehatan
Masyarakat Veteriner kabupaten/kota.

Objek Retribusi Rumah Potong Hewan adalah pelayanan penyediaan


fasilitas rumah pemotongan hewan ternak termasuk pelayanan
pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dan sesudah dipotong, yang
disediakan, dimiliki, dan/ atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
Dikecualikan dari objek Retribusi adalah pelayanan penyediaan fasilitas
rumah pemotongan hewan ternak yang disediakan, dimiliki, dan/atau
dikelola oleh BUMN, BUMD, dan pihak swasta. Orang pribadi atau badan
yang menggunakan fasilitas rumah pemotongan hewan ternak termasuk
pelayanan pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dan sesudah dipotong,
yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
Berkaitan dengan subjek retribusi adalah Orang pribadi atau badan yang
menggunakan fasilitas rumah pemotongan hewan ternak termasuk

50
pelayanan pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dan sesudah dipotong,
yang disediakan
Selanjutnya mengenai cara mengukur tingkat penggunaan jasa tingkat
penggunaan jasa rumah potong hewan diukur berdasarkan frekuensi
dan/atau jangka waktu penggunaan pelayanan rumah potong hewan.
Penetapan tarif harus memperhatikan harga pasar, komponen biaya per
jenis layanan, dan ketersediaan pelayanan sejenis oleh pihak
swasta/masyarakat

11. Retribusi pelayanan jasa kepelabuhanan


Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Bidang Pelayaran terdapat pengaturan menyangkut
kepelabuhan. Pelabuhan didefinisikan tempat yang terdiri atas daratan
dan/atau perairan dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan
pemerintahan dan kegiatan pengusahaan yang dipergunakan sebagai
tempat kapal bersandar, naik turun penumpang, dan/atau bongkar muat
barang, berupa terminal dan tempat berlabuh kapal yang dilengkapi
dengan fasilitas keselamatan dan keamanan Pelayaran dan kegiatan
penunjang Pelabuhan serta sebagai tempat perpindahan intra dan/ atau
antarmoda transportasi. Pelabuhan terdiri atas :
Pertama, yakni Pelabuhan Utama adalah Pelabuhan yang fungsi
pokoknya melayani kegiatan angkutan laut dalam negeri dan
internasional, alih muat angkutan laut dalam negeri dan internasional
dalam jumlah besar, dan sebagai tempat asal tujuan penumpang dan/atau
barang, serta angkutan penyeberangan dengan jangkauan pelayanan
antarprovinsi.
Kedua, yakni Pelabuhan Pengumpul adalah Pelabuhan yang fungsi
pokoknya melayani kegiatan angkutan laut dalam negeri, alih muat
angkutan laut dalam negeri dalam jumlah menengah, dan sebagai tempat
asal tujuan penumpang dan/atau barang, serta angkutan penyeberangan
dengan jangkauan pelayanan antarprovinsi.

51
Ketiga, yakni Pelabuhan Pengumpan adalah Pelabuhan yang fungsi
pokoknya melayani kegiatan angkutan laut dalam negeri, alih muat
angkutan laut dalam negeri dalam jumlah terbatas, merupakan
pengumpan bagi Pelabuhan Utama dan Pelabuhan Pengumpul, dan
sebagai tempat asal tujuan penumpang dan/atau barang, serta angkutan
penyeberangan dengan jangkauan pelayanan dalam provinsi.

Dalam Pasal 63 Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2021 tentang


Penyelenggaraan Bidang Pelayaran dinyatakan Pembangunan Pelabuhan
laut dilaksanakan oleh Badan Usaha Pelabuhan, instansi Pemerintah
Pusat, dan Instansi Pemerintah Daerah. Instansi Pemerintah Daerah
berupa Unit Penyelenggara Pelabuhan Pemerintah Daerah.

Selanjutnya dalam Pasal 64 Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2021


tentang Penyelenggaraan Bidang Pelayaran dinyatakan Badan Usaha
Pelabuhan, instansi Pemerintah Pusat, dan Instansi Pemerintah Daerah.
Pembangunan dan pengoperasian Pelabuhan sungai dan danau yang
dilaksanakan oleh instansi Pemerintah Pusat atau instansi Pemerintah
Daerah harus mendapatkan persetujuan dari Menteri.

Objek Retribusi Pelayanan Kepelabuhanan adalah pelayanan jasa


kepelabuhanan, termasuk fasilitas lainnya di lingkungan pelabuhan yang
disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
Dikecualikan dari objek Retribusi adalah pelayanan jasa kepelabuhanan
yang disediakan, dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah, BUMN,
BUMD, dan pihak swasta. Subjek retribusi ini adalah Orang pribadi atau
badan yang menggunakan layanan jasa kepelabuhanan, termasuk fasilitas
lainnya di lingkungan pelabuhan yang disediakan, dimiliki, dan/atau
dikelola oleh Pemerintah Daerah. Tingkat penggunaan jasa
kepelabuhanan diukur berdasarkan frekuensi dan/atau jangka waktu
penggunaan pelayanan kepelabuhanan

52
12. Retribusi pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga
Objek Retribusi Tempat Rekreasi, pariwisata, dan Olahraga adalah
pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga yang disediakan,
dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
Dikecualikan dari objek Retribusi adalah pelayanan tempat rekreasi,
pariwisata, dan olahraga yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh
Pemerintah, BUMN, BUMD, dan pihak swasta. Subjek retribusi ini
adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan layanan tempat
rekreasi, pariwisata, dan olahraga yang disediakan, dimiliki, dan/atau
dikelola oleh Pemerintah Daerah. Tingkat penggunaan jasa tempat
rekreasi, pariwisata, dan olahraga diukur berdasarkan frekuensi dan/atau
jangka waktu penggunaan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga.
Penetapan tarif harus memperhatikan harga pasar, komponen biaya per
jenis layanan, dan ketersediaan pelayanan sejenis oleh pihak
swasta/masyarakat.

13. Retribusi pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan


menggunakan kendaraan di air
Objek Retribusi pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan
menggunakan kendaraan di air adalah pelayanan penyeberangan orang
atau barang dengan menggunakan kendaraan di air yang dimiliki dan/atau
dikelola oleh Pemerintah Daerah. Dikecualikan dari objek Retribusi ini
adalah pelayanan penyeberangan yang dikelola oleh Pemerintah, BUMN,
BUMD, dan pihak swasta. Orang pribadi atau badan yang menggunakan
layanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan
kendaraan di air yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
Penetapan tarif harus memperhatikan harga pasar, komponen biaya per
jenis layanan, dan ketersediaan pelayanan sejenis oleh pihak
swasta/masyarakat

53
14. Retribusi penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah
Objek Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah adalah penjualan hasil
produksi usaha Pemerintah Daerah. Dikecualikan dari objek Retribusi
adalah penjualan produksi oleh Pemerintah, BUMN, BUMD, dan pihak
swasta. Tingkat penggunaan jasa penjualan hasil produksi usaha daerah
diukur berdasarkan jenis dan/atau volume produksi usaha daerah.

15. Retribusi pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu


penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat Daerah dan/atau
optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Objek Retribusi pemanfaatan aset Daerah adalah pemanfaatan dan/atau
optimalisasi aset Pemerintah Daerah yang tidak mengganggu
penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat Daerah dan/ atau
optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Tarif Retribusi pemanfaatan aset Daerah ini merupakan nilai rupiah yang
ditetapkan untuk menghitung besarnya Retribusi yang terutang.

Jika aset daerah telah dijadikan objek retribusi maka tidak dapat
dikenakan sebagai objek pemanfaatan barang milik daerah. Hal ini
berdasarkan ketentuan Pasal 80 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
19 Tahun 2016 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah yang
menyatakan Barang milik daerah yang merupakan objek retribusi daerah
tidak dapat dikenakan sebagai objekpemanfaatan barang milik daerah.

16. Retribusi persetujuan bangunan gedung


Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah dinyatakan bahwa pemerintah daerah
kabupaten/kota mempunyai kewenangan dalam penyelenggaraan
bangunan gedung di wilayah kabupaten/kota, pemberian izin mendirikan

54
bangunan dan sertifikat laik fungsi bangunan gedung. Namun, setelah
ditetapkannnya Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta
Kerja yang mengubah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang
Bangunan Gedung, istilah izin mendirikan bangunan diganti menjadi
persetujuan bangunan gedung.
Berdasarkan Pasal 1 angka 17 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun
2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2002 tentang Bangunan Gedung dinyatakan bahwa Persetujuan
Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat PBG adalah perizinan
yang diberikan kepada pemilik Bangunan Gedung untuk membangun
baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat Bangunan
Gedung sesuai dengan standar teknis Bangunan Gedung.
Selanjutnya berdasarkan Pasal 261 PP 16 Tahun 2021 diatur bahwa :
(1) Penerbitan PBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 253 ayat (5)
huruf b meliputi:
a. penetapan nilai retribusi daerah;
b. pembayaran retribusi daerah; dan
c. penerbitan PBG.
(2) Penetapan nilai retribusi daerah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a dilakukan oleh Dinas Teknis berdasarkan perhitungan
teknis untuk retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 256
ayat (5) dan Pasal 258 ayat (5).
(3) Nilai retribusi daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (21
ditetapkan berdasarkan indeks terintegrasi dan harga satuan
retribusi.
(4) Indeks terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditentukan
berdasarkan fungsi dan klasifikasi Bangunan Gedung.
(5) Harga satuan retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
ditetapkan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota.

55
(6) Pembayaran retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dilakukan oleh Pemohon setelah ditetapkan nilai retribusi daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(7) Penerbitan PBG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
dilakukan setelah DPMPTSP mendapatkan bukti pembayaran
retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (6).
(8) Penerbitan PBG sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dilakukan
oleh DPMPTSP.
(9) PBG sebagaimana dimaksud pada ayat (8) meliputi:
a. dokumen PBG; dan
b. lampiran dokumen PBG.
Lebih lanjut Pasal 298 ayat (2) menyatakan Dinas Teknis dapat
memberikan bantuan teknis berupa pemeriksaan kelaikan fungsi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 297 ayat (3) untuk rumah tinggal
tunggal dan deret sebagaimana dimaksud dalam Pasal 297 ayat (2)
huruf a. Kemudian ayat (8) menyatakan Bantuan teknis sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dikenakan biaya retribusi sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.

17. Retribusi penggunaan tenaga kerja asing


Tenaga kerja asing yang selanjutnya disingkat TKA adalah
warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di
wilayah Indonesia. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor
34 Tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing,
dalam Pasal 23 dinyatakan bahwa pemberi kerja TKA wajib
membayar dana kompensasi penggunaan TKA (DKPTKA).
pembayaran DKPTKA merupakan persyaratan RPTKA.
Selanjtnya dalam Pasal 24 Peraturan Pemerintah ini
menyatakan bahwa pembayaran DKPTKA oleh pemberi kerja
TKA merupakan penerimaan negara bukan pajak atau
pendapatan daerah berupa retribusi daerah.

56
18. Retribusi Pengelolaan Pertambangan Rakyat
Berdasarkan Pasal 88 ayat (7) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022
dinyatakan bahwa retribusi pengelolaan pertambangan ralgiat
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c merupakan pungutan
Daerah berupa iuran pertambangan rakyat kepada pemegang izin
pertambangan rakyat oleh Pemerintah Daerah dalam rangka menjalankan
delegasi kewenangan Pemerintah di bidang pertambangan mineral dan
batu bara.
Selanjtnya berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021
tentang Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, dalam
Pasal 1 angka 1 dinyatakan bahwa Izin Pertambangan Ralryat, yang
selanjutnya disebut IPR, adalah izin untuk melaksanakan Usaha
Pertambangan dalam wilayah pertambangan rakyat dengan luas wilayah
dan investasi terbatas.

57

Anda mungkin juga menyukai