Anda di halaman 1dari 4

1.

Ajaran rumah tangga materiil (materiele huishoudingsleer) merupakan penyerahan urusan


rumah tangga daerah dimana antara pemerintah pusat dan daerah terdapat pembagian tugas
yang diperinci secara tegas di dalam undang-undang pembentukannya. Kewenangan setiap
daerah meliputi tugas-tugas yang ditentukan satu per satu. Oleh karena itu, apa yang tidak
tercantum dalam rincian tersebut tidak termasuk dalam urusan rumah tangga daerah. Daerah
tidak mempunyai kewenangan untuk mengatur kegiatan di luar yang sudah diperinci atau
ditetapkan. Dalam pola rumah tangga ini, isi atau luas otonomi bagi daerah amat mungkin
terbatas. Daerah yang bersangkutan tidak dapat melakukan sesuatu yang tidak diatur dalam
undang-undang pembentukannya.
Ajaran rumah tangga materiil (materiele huishoudingsleer) terlihat dengan ditentukannya 31
(tiga puluh satu) jenis urusan pemerintahan (dalam UU No. 32/2004) atau 36 (tiga puluh
enam) jenis urusan pemerintahan (dalam PP No. 38/2007). Selain itu, apabila terdapat urusan
pemerintahan yang muncul di luar jenis-jenis urusan yang telah ditetapkan sebelumnya maka
pemerintah daerah tidak otomatis dapat menjalankannya. Hal tersebut dapat dilihat melalui
ketentuan bahwa terkait “Urusan Pemerintahan Sisa”, maka:
a. Urusan pemerintahan yang tidak tercantum dalam lampiran PP 38/2007 menjadi
kewenangan masing-masing tingkatan dan/atau susunan pemerintahan yang penentuannya
menggunakan kriteria eksternalitas, efisiensi, dan akuntabilitas.
b. Pemerintahan daerah provinsi atau pemerintahan daerah kabupaten/kota yang hendak
menyelenggarakan urusan pemerintahan yang tidak tercantum tersebut, terlebih dahulu
mengusulkan kepada Pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri untuk mendapat
penetapannya.
Menurut Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah pada penjelasan
umum tentang keuangan daerah, disitu dijelaskan bahwa “penyelenggaraan fungsi
pemerintahan daerah akan terlaksana secara optimal apabila penyelenggara usaha pemerintah
diikuti dengan pemberian sumber-sumber penerimaan yang cukup pada daerah, dengan
mengacu pada undang-undang tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah, dimana besarnya disesuaikan dan diselaraskan dengan pembagian
kewenangan antara pemerintah dan daerah. Sedangkan semua sumber keuangan yang
melekat pada setiap urusan pemerintah, diserahkan kepada daerah menjadi sumber keuangan
daerah.” Hal ini, berarti bahwa daerah diberikan hak untuk mendapatkan keuangan serta
mengelola keuangan sendiri tetapi tetap berdasarkan ketentuan undang-undang atau dalam
pengawasan pemerintahan pusat.
2. Dana otonomi khusus untuk daerah diserahkan dari pusat untuk penyelenggaraan Urusan
Pemerintahan sesuai ketentuan undang-undang. Hubungan keuangan untuk
menyelenggarakan urusan pemerintah yang diserahkan kepada Daerah terdiri dari: pemberian
sumber penerimaan Daerah berupa pajak daerah dan retribusi daerah, pemberian dana
perimbangan, pemberian dana otonomi khusus dan pemberian dana darurat, insentif, hibah,
atau pinjaman sebagaimana yang diatur pada: Indonesia, Undang-Undang No. 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah, Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun
2014 No. 244 dan Tambahan Lembaran Negara (TLN) No. 5587. pasal 279 ayat (2)
‘Hubungan keuangan dalam penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang diserahkan kepada
Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: (C) Pemberian dana penyelenggaraan
otonomi khusus untuk Pemerintahan Daerah tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang.’
Disebutkan pula pada pasal 294 ayat 1, ‘Dana otonomi khusus sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 285 ayat (2) huruf a angka 2 dialokasikan kepada Daerah yang memiliki otonomi
khusus sesuai dengan ketentuan undang-undang mengenai otonomi khusus.
3. Sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Nomorr 23 Tahun 2014 tentang Manajemen
Pelayanan Publik Pasal 345.
1) Pemerintah Daerah wajib membangun manajemen pelayanan publik dengan mengacu
pada asas-asas pelayanan publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 344 ayat (2).
2) Manajemen pelayanan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pelaksanaan pelayanan;
b. pengelolaan pengaduan masyarakat;
c. pengelolaan informasi;
d. pengawasan internal;
e. penyuluhan kepada masyarakat;
f. pelayanan konsultasi; dan
g. pelayanan publik lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
3) Dalam melaksanakan manajemen pelayanan public sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
Pemerintah Daerah dapat membentuk forum komunikasi antara Pemerintah Daerah
dengan masyarakat dan pemangku kepentingan terkait.

Hubungan keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah berupa pendelegasian pengeluaran


(expenditure assignment) sebagai konsekuensi dari penyerahan kewenangan dan tanggung
jawab pelayanan publik; dan pendelegasian pendapatan (revenue assignment).

4. Sistem pengawasan sangat menentukan kemandirian satuan otonomi. Untuk menghindari


agar pengawasan tidak melemahkan otonomi, maka sistem pengawasan ditentukan secara
spesifik baik lingkup maupun tata cara pelaksanaannya. Karena hal-hal seperti
memberlakukan prinsip “pengawasan umum” pada satuan otonomi dapat mempengaruhi dan
membatasi kemandirian daerah. Makin banyak dan intensif pengawasan makin sempit
kemandirian daerah. Makin sempit kemandirian makin terbatas otonomi.

Akan tetapi dalam hal ini, tidak boleh ada sistem otonomi yang sama sekali meniadakan
pengawasan. Hal ini dikarenakan bahwa kebebasan berotonomi dan pengawasan merupakan
dua sisi dari satu lembaran dalam berotonomi untuk menjaga keseimbangan bandul antara
kecendrungan desentralisasi dan sentralisasi yang dapat berayun berlebihan. UU No. 22
Tahun 1999 tentang keuangan pemerintahan daerah, sangat mengendorkan sistem
pengawasan. Dapat dilihat pada penjelasan umum angka 10, disebutkan: “….sedangkan
pengawasan lebih ditekankan pada pengawasan represif untuk memberi kebebasan kepada
daerah otonomi dalam mengambil keputusan serta memberikan peran kepada DPRD dalam
mewujudkan fungsi sebagai badab pengawas terhadap pelaksanaan otonomi daerah. Karena
itu peraturan daerah yang ditetapkan daerah otonom tidak memerlukan pengesahan terlebih
dahulu oleh pejabat yang berwenang”.

Penjelasan umum tentang pengawasan terhadap daerah otonomi dalam UU No. 32 Tahun
2004 angka 1 menjelaskan bahwa, pengawasan yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah

adalah proses kegiatan yang ditujukan untuk menjamin agar pemerintah daerah berjalan

sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam

hal ini pengawasan dilaksanakan oleh pemerintah terkait dengan dan peraturan daerah dan

peraturan kepala daerah. Dimana, pengawasan pemerintah daerah adalah upaya yang

dilakukan oleh pemerintah dan atau Gubernur selaku wakil pemerintah di daerah untuk

mewujudkan tercapainya tujuan penyelenggaraan otonomi daerah.

Anda mungkin juga menyukai