Anda di halaman 1dari 84

Draft 02062017

RANCANGAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR ... TAHUN ...

TENTANG

HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT


DAN PEMERINTAHAN DAERAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas


daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi
atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi,
kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan
daerah;
b. bahwa pemerintahan daerah mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan
tugas pembantuan;
c. bahwa untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan
daerah yang efisien dan efektif, perlu diatur hubungan
keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan
Daerah berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
d. bahwa hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah, Pemerintahan Provinsi dengan
Pemerintahan Kabupaten/Kota, antar-Pemerintahan
Daerah pada tingkat pemerintahan yang sama, serta
antara Pemerintahan Daerah dan pihak ketiga/lembaga,
pemerintah daerah di luar negeri, dan lembaga
nonpemerintahan/Badan Usaha Milik Daerah, diatur dan

1
Draft 02062017

dilaksanakan secara adil, transparan, akuntabel dan


selaras berdasarkan Undang-Undang;
e. bahwa Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah sudah tidak sesuai dengan
perkembangan keadaan, ketatanegaraan serta tuntutan
penyelenggaraan otonomi daerah, sehingga perlu diganti
dengan peraturan yang mengatur hubungan keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan
huruf e, perlu membentuk Undang-Undang tentang
Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah;

Mengingat: Pasal 5 ayat (1), Pasal 18A ayat (2), dan Pasal 20 Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Dengan Persetujuan Bersama


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

UNDANG-UNDANG TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA


PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

2
Draft 02062017

1. Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan


Daerah adalah suatu sistem penyelenggaraan keuangan yang mengatur
hak dan kewajiban keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah, Pemerintahan Provinsi dengan Pemerintahan
Kabupaten/Kota, antar-Pemerintahan Daerah setingkat dan lintas
Pemerintahan Daerah pada tingkat pemerintahan yang sama, serta
antara Pemerintahan Daerah dan pihak ketiga/lembaga, pemerintah
daerah di luar negeri, dan/atau lembaga nonpemerintahan/Badan
Usaha Milik Daerah (BUMD) yang dilaksanakan secara adil,
transparan, akuntabel dan selaras berdasarkan undang-undang.
2. Pemerintah Pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah
Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden
dan menteri-menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
3. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan
oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi
seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
4. Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah sebagai unsur penyelenggara
Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
5. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang selanjutnya disingkat
DPRD, adalah lembaga perwakilan rakyat daerah yang
berkedudukan sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.
6. Daerah Otonom, yang selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan
masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang
berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia.

3
Draft 02062017

7. Urusan Pemerintahan adalah kekuasaan pemerintahan yang


menjadi kewenangan Presiden yang pelaksanaannya dilakukan oleh
kementerian negara dan penyelenggara Pemerintahan Daerah untuk
melindungi, melayani, memberdayakan, dan menyejahterakan
masyarakat.
8. Kepala Daerah adalah gubernur bagi Daerah provinsi atau bupati bagi
Daerah kabupaten atau walikota bagi Daerah kota.
9. Badan Usaha Milik Daerah, yang selanjutnya disingkat BUMD, adalah
badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh
Daerah.
10. Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat
dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun
berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan
pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
11. Desentralisasi adalah penyerahan Urusan Pemerintahan oleh
Pemerintah kepada Daerah berdasarkan asas otonomi.
12. Penerimaan Daerah adalah uang yang masuk ke kas Daerah.
13. Pengeluaran Daerah adalah uang yang keluar dari kas Daerah.
14. Pendapatan Daerah adalah semua hak Daerah yang diakui sebagai
penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang
bersangkutan.
15. Belanja Daerah adalah semua kewajiban Daerah yang diakui sebagai
pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang
bersangkutan.
16. Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali
dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun
anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran
berikutnya.
17. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yang selanjutnya disingkat
APBN, adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang
disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

4
Draft 02062017

18. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, yang selanjutnya disingkat


APBD, adalah rencana keuangan tahunan Pemerintahan Daerah yang
disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
19. Peraturan Daerah, yang selanjutnya disebut Perda atau yang disebut
dengan nama lain, adalah Perda Provinsi dan Perda Kabupaten/Kota.
20. Kebijakan Umum APBD, yang selanjutnya disingkat KUA, adalah
dokumen yang memuat kebijakan bidang pendapatan, belanja, dan
pembiayaan serta asumsi yang mendasarinya untuk periode 1 (satu)
tahun.
21. Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara, yang selanjutnya disingkat
PPAS, adalah program prioritas dan patokan batas maksimal anggaran
yang diberikan kepada Perangkat Daerah untuk setiap program sebagai
acuan dalam penyusunan rencana kerja dan anggaran satuan kerja
perangkat daerah.
22. Pendapatan Asli Daerah, selanjutnya disingkat PAD, adalah
pendapatan yang dipungut berdasarkan Perda berupa Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah, diperoleh sebagai hasil pengelolaan kekayaan
Daerah, dan/atau pendapatan lainnya yang sah sebagai hasil
pengelolaan APBD, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
23. Pajak Daerah adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang
oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan
Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung
dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
24. Retribusi Daerah adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas
jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau
diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi
atau Badan.
25. Transfer ke Daerah adalah bagian dari Belanja Negara dalam rangka
mendanai pelaksanaan desentralisasi fiskal berupa, antara lain, Dana
Perimbangan, Dana Insentif Daerah, Dana Otonomi Khusus, dan Dana
Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.

5
Draft 02062017

26. Dana Perimbangan adalah jenis dana transfer yang bersumber dari
pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah berupa Dana
Transfer Umum dan Dana Transfer Khusus untuk mendanai
penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan
Daerah sesuai dengan kebutuhan dan prioritas Daerah serta selaras
dengan prioritas nasional.
27. Dana Transfer Umum adalah jenis Dana Perimbangan berupa Dana
Bagi Hasil dan Dana Alokasi Umum yang penggunaannya diserahkan
kepada Daerah untuk mendanai penyelenggaraan Urusan
Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah sesuai dengan
kebutuhan dan prioritas Daerah serta selaras dengan prioritas
nasional.
28. Dana Bagi Hasil, yang selanjutnya disingkat DBH, adalah dana yang
bersumber dari pendapatan tertentu APBN yang dialokasikan kepada
Daerah penghasil berdasarkan angka persentase tertentu dengan
tujuan utama mengurangi ketimpangan insentifantara Pemerintah dan
Daerah, serta kepada Daerah nonpenghasil lainnya dalam rangka
pemerataan dan/atau menanggulangi eksternalitas negatif.
29. DBH Pajak adalah dana bagi hasil yang bersumber dari pendapatan
Pajak Bumi dan Bangunan dan Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Pasal
29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri, Pajak Penghasilan Pasal
21 dan cukai hasil tembakau.
30. Pajak Bumi dan Bangunan, yang selanjutnya disingkat PBB, adalah
pajak yang dikenakan atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki,
dikuasai dan/atau dimanfaatkan di kawasan yang digunakan untuk
kegiatan usaha perkebunan, perhutanan dan pertambangan,
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
Pajak Bumi dan Bangunan.
31. Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi
Dalam Negeri adalah Pajak Penghasilan terutang oleh Wajib Pajak
Orang Pribadi Dalam Negeri berdasarkan ketentuan mengenai Pajak
Penghasilan.

6
Draft 02062017

32. Pajak Penghasilan Pasal 21, yang selanjutnya disebut PPh Pasal 21,
adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium,
tunjangan dan pembayaran lainnya sehubungan dengan pekerjaan
atau jabatan, jasa dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak Orang
Pribadi berdasarkan ketentuan Undang-Undang mengenai Pajak
Penghasilan.
33. Cukai Hasil Tembakau, yang selanjutnya disingkat CHT, adalah
pungutan Negara yang dikenakan terhadap hasil tembakau
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
cukai.
34. DBH Sumber Daya Alam adalah dana bagi hasil yang bersumber dari
penerimaan sumber daya alam kehutanan, pertambangan mineral dan
batubara, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi, dan
pengusahaan panas bumi.
35. Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hutan, yang selanjutnya disingkat
IIUPH, adalah pungutan yang dikenakan kepada pemegang Izin Usaha
Pemanfaatan Hutan atas suatu kawasan hutan tertentu yang
dilakukan sekali pada saat izin tersebut diberikan berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan.
36. Provisi Sumber Daya Hutan, yang selanjutnya disingkat PSDH, adalah
pungutan yang dikenakan sebagai pengganti nilai intrinsik dari hasil
hutan negara berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
di bidang kehutanan.
37. Dana Reboisasi adalah pungutan yang dikenakan kepada pemegang
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan dari hutan alam yang berupa
kayu dalam rangka rehabilitasi hutan dan lahan serta kegiatan
pendukungnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang kehutanan.
38. Iuran Tetap adalah iuran yang diterima negara sebagai imbalan atas
kesempatan penyelidikan umum, eksplorasi atau eksploitasi pada
suatu wilayah kerja berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang pertambangan mineral dan batubara dan
pengusahaan panas bumi.

7
Draft 02062017

39. Iuran Produksi adalah iuran yang dibayarkan kepada negara atas hasil
yang diperoleh dari usaha pertambangan mineral dan batubara dan
pengusahaan panas bumi berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang pertambangan mineral dan batubara
dan pengusahaan panas bumi.
40. Bagian Negara dari pertambangan minyak bumi dan gas bumi, yang
selanjutnya disebut Bagian Negara, adalah penerimaan negara yang
diperoleh dari pertambangan minyak bumi dan gas bumi berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang minyak bumi dan
gas bumi.
41. Dana Alokasi Umum, yang selanjutnya disingkat DAU, adalah dana
yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan
tujuan utama pemerataan kemampuan keuangan antar-Daerah untuk
mendanai kebutuhan sesuai prioritas Daerah dan selaras dengan
prioritas nasional.
42. Dana Transfer Khusus adalah jenis Dana Perimbangan berupa Dana
Alokasi Khusus Fisik dan Dana Alokasi Khusus Operasional yang
dialokasikan dalam APBN kepada Daerah dengan tujuan untuk
membantu mendanai kegiatan khusus, baik fisik maupun operasional,
dalam rangka meningkatkan kuantitas dan kualitas pelayanan publik
yang merupakan urusan Daerah sesuai kebutuhan dan prioritas
Daerah serta selaras dengan prioritas nasional.
43. Dana Alokasi Khusus Fisik, yang selanjutnya disingkat DAK Fisik,
adalah dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada
Daerah dengan tujuan utama untuk mendanai kegiatan khusus
penyediaan prasarana dan sarana pelayanan dasar publik, baik untuk
pemenuhan standar pelayanan minimal, pencapaian prioritas nasional
maupun percepatan pembangunan Daerah dan kawasan dengan
karakteristik khusus dalam rangka mengatasi kesenjangan pelayanan
publik antar-Daerah.
44. Dana Alokasi Khusus Operasional, yang selanjutnya disingkat DAK
Operasional, adalah dana yang bersumber dari APBN yang
dialokasikan kepada Daerah dengan tujuan utama untuk mendukung

8
Draft 02062017

kelancaran penyelenggaraan pelayanan dasar publik yang menjadi


urusan Daerah.
45. Dana Desa adalah dana yang bersumber dari APBN yang
diperuntukkan bagi desa yang ditransfer melalui APBD
kabupaten/kota dan digunakan untuk membiayai penyelenggaraan
pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan
kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat.
46. Dana Insentif Daerah, yang selanjutnya disingkat DID, adalah dana
yang bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada Daerah
berdasarkan kategori tertentu dengan tujuan untuk memberikan
penghargaan atas perbaikan dan/atau pencapaian kinerja pengelolaan
keuangan Daerah, pelayanan dasar publik, dan kesejahteraan
masyarakat.
47. Dana Otonomi Khusus adalah dana yang bersumber dari APBN yang
dialokasikan kepada Daerah tertentu untuk mendanai pelaksanaan
otonomi khusus sebagaimana ditetapkan dalam undang-undang
mengenai otonomi khusus.
48. Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta adalah dana yang
bersumber dari APBN yang dialokasikan untuk mendukung urusan
keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagaimana ditetapkan
dalam undang-undang mengenai keistimewaan Yogyakarta.
49. Dana Tugas Pembantuan adalah dana untuk mendanai penugasan dari
Pemerintah kepada Daerah untuk melaksanakan sebagian Urusan
Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah atau dari
Pemerintah Daerah provinsi kepada Daerah kabupaten/kota untuk
melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangan Daerah provinsi.
50. Pinjaman Daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan Daerah
menerima sejumlah uang atau menerima manfaat yang bernilai uang
dari pihak lain sehingga Daerah tersebut dibebani kewajiban untuk
membayar kembali.
51. Obligasi Daerah adalah Pinjaman Daerah yang ditawarkan kepada
publik melalui penawaran umum di pasar modal.

9
Draft 02062017

52. Obligasi Daerah Syariah adalah Obligasi Daerah yang diterbitkan


berdasarkan prinsip syariah.
53. Hibah adalah pemberian dengan pengalihan hak atas sesuatu dari
Pemberi Hibah kepada Penerima Hibah yang secara spesifik telah
ditetapkan peruntukannya dan dilakukan melalui perjanjian.
54. Sistem Informasi Keuangan Daerah, yang selanjutnya disingkat SIKD,
adalah suatu sistem yang mendokumentasikan, mengadministrasikan,
serta mengolah data pengelolaan keuangan Daerah dan data terkait
lainnya menjadi informasi yang disajikan kepada masyarakat dan
sebagai bahan pengambilan keputusan dalam rangka perencanaan,
pelaksanaan, dan pelaporan pertanggungjawaban keuangan
Pemerintah Daerah.
55. Rekening Kas Umum Negara, yang selanjutnya disingkat RKUN, adalah
rekening tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh
Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara untuk
menampung seluruh penerimaan negara dan membayar seluruh
pengeluaran negara pada bank sentral.
56. Rekening Kas Umum Daerah, yang selanjutnya disingkat RKUD,
adalah rekening tempat penyimpanan uang Daerah yang ditentukan
oleh gubernur/bupati/walikota untuk menampung seluruh
Penerimaan Daerah dan membayar seluruh Pengeluaran Daerah pada
bank yang ditetapkan.
57. Rencana Kerja Pemerintah Daerah, yang selanjutnya disingkat RKPD,
adalah dokumen perencanaan Daerah untuk periode 1 (satu) tahun.
58. Perangkat Daerah adalah unsur pembantu Kepala Daerah dan DPRD
dalam penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangan Daerah.
59. Rencana Kerja satuan kerja Perangkat Daerah, yang selanjutnya
disingkat Renja satuan kerja Perangkat Daerah, adalah dokumen
perencanaan satuan kerja Perangkat Daerah untuk periode 1 (satu)
tahun.

10
Draft 02062017

60. Rencana Kerja dan Anggaran satuan kerja Perangkat Daerah, yang
selanjutnya disingkat RKA satuan kerja Perangkat Daerah, adalah
dokumen perencanaan dan penganggaran yang berisi program,
kegiatan, dan anggaran satuan kerja Perangkat Daerah yang
merupakan penjabaran dari RKPD dan rencana strategis satuan kerja
Perangkat Daerah yang bersangkutan dalam 1 (satu) tahun anggaran.
61. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
di bidang Keuangan Negara.

BAB II
RUANG LINGKUP

Pasal 2
Hubungan Keuangan, meliputi:
a. hubungan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah;
dan
b. hubungan keuangan antar Daerah.

BAB III
HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH
DAN PEMERINTAHAN DAERAH
Bagian Kesatu
Ruang Lingkup

Pasal 3
(1) Hubungan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a, meliputi pendanaan
penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang diserahkan dan/atau
ditugaskan kepada Daerah.
(2) Hubungan keuangan untuk mendanai penyelenggaraan Urusan
Pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), meliputi:
a. pemberian sumber Penerimaan Daerah; dan

11
Draft 02062017

b. pemberian kewenangan belanja.


(3) Pemberian sumber Penerimaan Daerah sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf a, meliputi:
a. kewenangan untuk mengelola sumber PAD;
b. Dana Perimbangan;
c. DID;
d. Dana Otonomi Khusus dan Dana Keistimewaan untuk Daerah
tertentu yang ditetapkan dalam Undang-Undang;
e. Dana Desa;
f. Hibah; dan
g. kewenangan untuk melakukan Pinjaman Daerah.
(4) Pemberian kewenangan belanja sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b, meliputi:
a. belanja sesuai dengan kebutuhan dan prioritas Daerah serta
selaras dengan prioritas nasional; dan
b. belanja tertentu yang telah ditentukan penggunaannya oleh
Pemerintah.
(5) Hubungan keuangan dalam penyelenggaraan Urusan Pemerintahan
yang ditugaskan kepada Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
disertai dengan pendanaan sesuai dengan urusan yang ditugaskan
sebagai pelaksanaan dari tugas pembantuan.
(6) Selain penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang diserahkan
dan/atau ditugaskan kepada Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), hubungan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah
mencakup juga pengelolaan keuangan Daerah, pemantauan dan
evaluasi, SIKD, dan kerja sama Daerah.

Bagian Kedua
Pendanaan Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan di Daerah

Pasal 4

12
Draft 02062017

(1) Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan


Daerah didanai dari dan atas beban APBD.
(2) Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan
Pemerintah di Daerah didanai dari dan atas beban APBN.

Pasal 5
(1) Pemerintah dilarang mengalokasikan Dana Tugas Pembantuan untuk
mendanai Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
(2) Pemerintah Daerah dilarang mendanai Urusan Pemerintahan yang
menjadi kewenangan Pemerintah, kecuali ditentukan lain dalam
undang-undang.

Pasal 6
(1) Pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat
(1), dikenakan sanksi berupa pengurangan/pemotongan anggaran
kementerian/lembaga Pemerintah nonkementerian yang bersangkutan
pada tahun anggaran berikutnya.
(2) Pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat
(2), dikenakan sanksi administratif berupa tidak dibayarkannya hak-
hak keuangan Kepala Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Bagian Ketiga
Pemberian Sumber Penerimaan Daerah
Paragraf 1
Kewenangan Untuk Mengelola Sumber PAD

Pasal 7
(1) Pemerintah Daerah diberikan kewenangan untuk memungut Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah dalam rangka melaksanakan urusan
yang menjadi kewenangan Daerah.

13
Draft 02062017

(2) Ketentuan mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah diatur dan
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Pasal 8
(1) Pemerintah Daerah diberi kewenangan untuk mengelola kekayaan
Daerah yang dipisahkan.
(2) Ketentuan mengenai pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Bagian Keempat
Dana Perimbangan
Paragraf 1
Jenis dan Besaran Dana Perimbangan

Pasal 9
(1) Dana Perimbangan terdiri atas:
a. Dana Transfer Umum; dan
b. Dana Transfer Khusus.
(2) Dana Transfer Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
terdiri atas:
a. DBH; dan
b. DAU.
(3) Dana Transfer Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
terdiri atas:
a. DAK Fisik; dan
b. DAK Operasional.

Pasal 10
(1) Besaran Dana Perimbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(1), ditetapkan setiap tahun dalam Undang-Undang mengenai APBN.

14
Draft 02062017

(2) Besaran Dana Perimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),


menjadi dasar penghitungan dalam penetapan rincian alokasi Dana
Perimbangan menurut provinsi/kabupaten/kota.
(3) Rincian alokasi Dana Perimbangan menurut provinsi/kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan dalam Peraturan
Presiden.

Paragraf 2
Dana Bagi Hasil

Pasal 11
(1) DBH bersumber dari penerimaan:
a. Pajak; dan
b. Sumber Daya Alam.
(2) DBH Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdiri atas:
a. PBB;
b. PPh Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri
dan PPh Pasal 21; dan
c. CHT.
(3) DBH Sumber Daya Alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
terdiri atas:
a. kehutanan;
b. mineral dan batubara;
c. minyak bumi;
d. gas bumi; dan
e. panas bumi.

Pasal 12

15
Draft 02062017

(1) DBH yang bersumber dari penerimaan PBB sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 11 ayat (2) huruf a, ditetapkan sebesar 100% (seratus
persen) untuk Daerah.
(2) DBH yang bersumber dari penerimaan PBB untuk Daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dibagi dengan rincian sebagai
berikut:
a. 18% (delapan belas persen) untuk provinsi yang bersangkutan;
b. 72% (tujuh puluh dua persen) untuk kabupaten/kota yang
bersangkutan; dan
c. 10% (sepuluh persen) dibagi secara merata untuk seluruh Daerah
kabupaten dan kota.
(3) Penerimaan PBB yang bersumber dari PBB sektor pertambangan dan
pengusahaan panas bumi yang diperoleh dari wilayah laut di atas 12
(dua belas) mil tidak dibagihasilkan kepada Daerah.

Pasal 13
DBH Pajak yang bersumber dari penerimaan PPh Pasal 25 dan Pasal 29
Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf b, ditetapkan sebesar 20% (dua
puluh persen) untuk Daerah, dengan rincian:
a. 8% (delapan persen) untuk provinsi yang bersangkutan; dan
b. 12% (dua belas persen) untuk kabupaten/kota yang bersangkutan.

Pasal 14
(1) DBH yang bersumber dari penerimaan CHT sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 ayat (2) huruf c, ditetapkan sebesar 2% (dua persen)
untuk Daerah, dengan rincian:
a. 0,6% (nol koma enam persen) untuk provinsi yang bersangkutan;
b. 0,8% (nol koma delapan persen) untuk kabupaten/kota penghasil;
dan
c. 0,6% (nol koma enam persen) untuk kabupaten dan kota lainnya
dalam provinsi yang bersangkutan.

16
Draft 02062017

(2) Pembagian untuk provinsi, kabupaten, dan kota sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b, didasarkan pada
kontribusi Daerah yang bersangkutan terhadap penerimaan CHT
dan/atau produksi tembakau.

Pasal 15
(1) DBH Sumber Daya Alam kehutanan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (3) huruf a, bersumber dari penerimaan:
a. IIUPH;
b. PSDH; dan
c. Dana Reboisasi.
(2) DBH Sumber Daya Alam kehutanan yang bersumber dari IIUPH
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, ditetapkan sebesar 80%
(delapan puluh persen) untuk bagian Daerah, dibagi dengan rincian:
a. 64% (enam puluh empat persen) untuk provinsi yang
bersangkutan; dan
b. 16% (enam belas persen) untuk kabupaten/kota penghasil.
(3) DBH Sumber Daya Alam kehutanan yang bersumber dari PSDH
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, yang dihasilkan dari
wilayah Daerah yang bersangkutan, ditetapkan sebesar 80% (delapan
puluh persen), dengan rincian:
a. 32% (tiga puluh dua persen) untuk provinsi yang bersangkutan;
b. 32% (tiga puluh dua persen) untuk kabupaten/kota penghasil; dan
c. 16% (enam belas persen) untuk kabupaten dan kota lainnya dalam
provinsi yang bersangkutan.
(4) DBH Sumber Daya Alam kehutanan yang bersumber dari Dana
Reboisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, ditetapkan
sebesar 40% (empat puluh persen) untuk provinsi penghasil.
(5) DBH Sumber Daya Alam kehutanan yang bersumber dari Dana
Reboisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4), digunakan untuk
kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan serta kegiatan pendukungnya
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
kehutanan.

17
Draft 02062017

Pasal 16
(1) DBH Sumber Daya Alam mineral dan batubara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 ayat (3) huruf b, bersumber dari penerimaan:
a. Iuran Tetap; dan
b. Iuran Produksi.
(2) DBH Sumber Daya Alam mineral dan batubara yang bersumber dari
Iuran Tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, yang
diperoleh dari wilayah darat dan wilayah laut sampai dengan 4 (empat)
mil, ditetapkan sebesar 80% (delapan puluh persen) untuk Daerah,
dengan rincian:
a. 64% (enam puluh empat persen) untuk provinsi yang
bersangkutan; dan
b. 16% (enam belas persen) untuk kabupaten/kota penghasil.
(3) DBH Sumber Daya Alam mineral dan batubara yang bersumber dari
Iuran Tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, yang
diperoleh dari wilayah laut di atas 4 (empat) mil sampai dengan 12 (dua
belas) mil, ditetapkan sebesar 80% (delapan puluh persen) untuk
provinsi penghasil.
(3) DBH Sumber Daya Alam mineral dan batubara yang bersumber dari
Iuran Produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, yang
dihasilkan dari wilayah darat dan wilayah laut sampai dengan 4
(empat) mil dari garis pantai Daerah kabupaten/kota yang
bersangkutan, ditetapkan sebesar 80% (delapan puluh persen), dengan
rincian:
a. 32% (tiga puluh dua persen) untuk provinsi yang bersangkutan;
b. 32% (tiga puluh dua persen) untuk kabupaten/kota penghasil; dan
c. 16% (enam belas persen) untuk kabupaten dan kota lainnya dalam
provinsi yang bersangkutan.
(4) DBH Sumber Daya Alam mineral dan batubara yang bersumber dari
Iuran Produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, yang
diperoleh dari wilayah laut di atas 4 mil sampai dengan 12 (dua belas)
mil, ditetapkan sebesar 80% (delapan puluh persen) untuk provinsi
penghasil.

18
Draft 02062017

(5) Dalam hal DBH Sumber Daya Alam mineral dan batubara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), berasal dari kawasan perhutanan, bagian
Daerah sebesar 80% (delapan puluh persen), dibagi dengan rincian:
a. 32% (tiga puluh dua persen) untuk provinsi yang bersangkutan;
b. 32% (tiga puluh dua persen) untuk kabupaten/kota wilayah
pertambangan; dan
c. 16% (enam belas persen) untuk kabupaten dan kota lainnya dalam
provinsi yang bersangkutan.

Pasal 17
(1) DBH Sumber Daya Alam minyak bumi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (3) huruf c, bersumber dari bagian negara yang diperoleh
dari pengusahaan pertambangan minyak bumi setelah dikurangi
komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) DBH Sumber Daya Alam minyak bumi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), yang dihasilkan dari wilayah darat dan wilayah laut sampai
dengan 4 (empat) mil dari garis pantai kabupaten/kota yang
bersangkutan, ditetapkan sebesar 15,5% (lima belas koma lima
persen), dengan rincian:
a. 3% (tiga persen) untuk provinsi yang bersangkutan;
b. 6,5% (enam koma lima persen) untuk kabupaten/kota penghasil;
dan
c. 6% (enam persen) untuk kabupaten dan kota lainnya dalam provinsi
yang bersangkutan.
(3) DBH Sumber Daya Alam minyak bumi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), yang diperoleh dari wilayah laut di atas 4 (empat) mil sampai
dengan 12 (dua belas) mil, ditetapkan sebesar 15,5% (lima belas koma
lima persen), dengan rincian:
a. 5% (lima persen) untuk provinsi yang bersangkutan; dan
b. 10,5% (sepuluh koma lima persen) untuk kabupaten dan kota
lainnya dalam provinsi yang bersangkutan.

19
Draft 02062017

Pasal 18
(1) DBH Sumber Daya Alam gas bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
11 ayat (3) huruf d, bersumber dari bagian negara yang diperoleh dari
pengusahaan pertambangan gas bumi setelah dikurangi komponen
pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) DBH Sumber Daya Alam gas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), yang dihasilkan dari wilayah darat dan wilayah laut sejauh 4
(empat) mil dari garis pantai kabupaten/kota yang bersangkutan,
ditetapkan sebesar 30,5% (tiga puluh koma lima persen), dengan
rincian:
a. 6% (enam persen) untuk provinsi yang bersangkutan;
b. 12,5% (dua belas koma lima persen) untuk kabupaten/kota
penghasil; dan
c. 12% (dua belas persen) untuk kabupaten dan kota lainnya dalam
provinsi yang bersangkutan.
(3) DBH Sumber Daya Alam gas bumi sebesar 30,5% (tiga puluh koma
lima persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (2), yang diperoleh dari
wilayah laut di atas 4 (empat) mil sampai dengan 12 (dua belas) mil,
dibagi dengan rincian:
a. 10% (sepuluh persen) untuk provinsi yang bersangkutan; dan
b. 20,5% (dua puluh koma lima persen) untuk kabupaten dan kota
lainnya dalam provinsi yang bersangkutan.

Pasal 19
(1) DBH Sumber Daya Alam panas bumi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (3) huruf e, bersumber dari:
a. Iuran Tetap; dan
b. Iuran Produksi.
(2) DBH Sumber Daya Alam panas bumi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), termasuk yang bersumber dari setoran bagian Pemerintah
atas dasar kontrak pengusahaan panas bumi yang ditandatangani
sebelum Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi.

20
Draft 02062017

(3) DBH Sumber Daya Alam panas bumi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan,
ditetapkan sebesar 80% (delapan puluh persen), dengan rincian:
a. 16% (enam belas persen) untuk provinsi yang bersangkutan;
b. 40% (empat puluh persen) untuk kabupaten/kota penghasil; dan
c. 24% (dua puluh empat persen) untuk kabupaten dan kota lainnya
dalam provinsi yang bersangkutan.

Pasal 20
(1) Gubernur menetapkan pembagian DBH untuk masing-masing
kabupaten dan kota, meliputi:
a. CHT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf c;
b. Sumber Daya Alam kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
15 ayat (3) huruf c;
c. Sumber Daya Alam mineral dan batubara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 ayat (3) huruf c dan ayat (5) huruf c;
d. Sumber Daya Alam minyak bumi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 ayat (2) huruf c dan ayat (3) huruf b;
e. Sumber Daya Alam gas bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
18 ayat (2) huruf c dan ayat (3) huruf b; dan
f. Sumber Daya Alam pengusahaan panas bumi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3) huruf c.
(2) Pembagian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan
mempertimbangkan, antara lain, jumlah penduduk, luas wilayah,
lokasi tempat pengolahan hasil eksploitasi Sumber Daya Alam, dan
dampak eksternalitas.

Pasal 21
(1) DBH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, dialokasikan sesuai
dengan penetapan dasar perhitungan dan Daerah penghasil.
(2) Alokasi DBH sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disalurkan
berdasarkan realisasi penerimaan tahun anggaran berjalan.

21
Draft 02062017

Paragraf 3
Dana Alokasi Umum

Pasal 22
(1) Pagu DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% (dua puluh enam
persen) dari Pendapatan Dalam Negeri yang ditetapkan dalam APBN
setelah dikurangi DBH dan bagian dari PNBP yang penggunaannya
telah ditentukan.
(2) Proporsi pagu DAU sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dibagi antara
provinsi dan kabupaten/kota dengan imbangan, sebagai berikut:
a. provinsi paling tinggi 15% (lima belas persen); dan
b. kabupaten dan kota paling rendah 85% (delapan puluh lima
persen).
(3) Pagu DAU sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat berubah dalam
hal terjadi perubahan perkiraan Pendapatan Dalam Negeri dalam APBN
Perubahan.
(4) Proporsi pagu DAU antara Daerah provinsi dan kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat berubah berdasarkan
imbangan Urusan Pemerintahan antara provinsi dan kabupaten/kota.

Pasal 23
(1) DAU suatu Daerah dialokasikan berdasarkan celah fiskal.
(2) Celah fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dihitung sebagai
selisih antara kebutuhan fiskal Daerah dan kapasitas fiskal Daerah.
(3) Kebutuhan fiskal Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
merupakan kebutuhan pendanaan Daerah dalam rangka
penyelenggaraan urusan wajib layanan dasar sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(4) Kapasitas fiskal Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
merupakan penjumlahan dari potensi PAD, perkiraan DBH, dan
perkiraan DAK Operasional.

22
Draft 02062017

Pasal 24
(1) Kebutuhan fiskal Daerah untuk masing-masing urusan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3), dihitung berdasarkan perkiraan
satuan biaya dikalikan dengan jumlah unit yang dilayani untuk
masing-masing urusan dan dikalikan dengan faktor penyesuaian.
(2) Faktor penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), adalah
indikator yang menggambarkan tingkat kesulitan penyediaan
pelayanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3).
(3) Satuan biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan oleh
kementerian/lembaga teknis terkait.

Pasal 25
(1) DAU suatu provinsi dihitung berdasarkan perkalian bobot provinsi
yang bersangkutan dengan jumlah DAU seluruh provinsi.
(2) Bobot provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dihitung dengan
membagi celah fiskal provinsi yang bersangkutan dengan total celah
fiskal seluruh provinsi.

Pasal 26
(1) DAU suatu kabupaten/kota dihitung berdasarkan perkalian bobot
kabupaten/kota yang bersangkutan dengan jumlah DAU seluruh
kabupaten dan kota.
(2) Bobot kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung
dengan membagi celah fiskal kabupaten/kota yang bersangkutan
dengan total celah fiskal seluruh kabupaten dan kota.

Pasal 27
(1) Dalam hal alokasi DAU suatu Daerah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 25 dan Pasal 26, mengalami peningkatan atau penurunan dari
alokasi DAU pada tahun terakhir sebelum diberlakukannya Undang-
Undang ini, peningkatan atau penurunan DAU untuk daerah yang
bersangkutan dibatasi sampai dengan persentase tertentu.

23
Draft 02062017

(2) Batasan persentase peningkatan atau penurunan DAU sebagaimana


dimaksud pada ayat (1), ditetapkan setiap tahun dalam Undang-
Undang mengenai APBN untuk jangka waktu paling lama 5 (lima)
tahun sejak diberlakukannya penghitungan DAU berdasarkan celah
fiskal sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

Paragraf 4
DAK Fisik
Pasal 28
(1) DAK Fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf a,
dialokasikan untuk mendanai kegiatan khusus dalam rangka:
a. mengatasi kesenjangan penyediaan pelayanan dasar publik antar-
Daerah;
b. pencapaian prioritas nasional; dan
c. percepatan pembangunan Daerah dan kawasan dengan
karakteristik khusus.
(2) Kegiatan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
dalam rencana kerja Pemerintah.
(3) Penyediaan pelayanan dasar publik sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a, dilakukan dengan memperhitungkan kesenjangan layanan
dasar publik antar-Daerah dan mempertimbangkan kapasitas fiskal
Daerah dalam rangka membantu pencapaian standar pelayanan
minimal.
(4) Pencapaian prioritas nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b, dilakukan melalui program-program prioritas dengan target
dan sasaran sebagaimana ditetapkan dalam rencana kerja Pemerintah.
(5) Percepatan pembangunan Daerah dan kawasan dengan karakteristik
khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, dilakukan
dengan mempertimbangkan kesenjangan layanan publik antar-Daerah
dan/atau kebijakan Pemerintah dalam rangka mendorong
pembangunan dan perekonomian.
(6) Daerah dan kawasan dengan karakteristik khusus sebagaimana
dimaksud pada ayat (5), antara lain:

24
Draft 02062017

a. Daerah tertinggal;
b. Daerah perbatasan;
c. Daerah kepulauan;
d. Daerah terluar; dan/atau
e. kawasan khusus yang ditetapkan dengan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 29
(1) DAK Fisik dialokasikan berdasarkan:
a. usulan Daerah; dan/atau
b. kebijakan Pemerintah.
(2) Usulan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a untuk
provinsi disampaikan kepada Pemerintah.
(3) Usulan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a untuk
kabupaten/kota disampaikan kepada Pemerintah dan Pemerintah
Provinsi yang bersangkutan.
(4) Pemerintah melakukan verifikasi dan penilaian atas usulan DAK Fisik
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3).
(5) Pemerintah Provinsi yang bersangkutan melakukan verifikasi dan
penilaian atas usulan DAK Fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
yang selanjutnya dijadikan sebagai rekomendasi atas usulan DAK Fisik
kabupaten/kota.
(6) Berdasarkan hasil verifikasi dan penilaian sebagaimana dimaksud
pada ayat (4), Pemerintah melakukan harmonisasi dan sinkronisasi
dengan memperhatikan:
a. kesesuaian antara program/kegiatan yang didanai dari DAK
dengan program/kegiatan yang didanai dari belanja
kementerian/lembaga dan sumber pendanaan lainnya;
b. kesesuaian program/kegiatan antarbidang DAK;
c. kesesuaian program/kegiatan antar-Daerah; dan
d. rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
(7) DAK Fisik yang dialokasikan berdasarkan kebijakan Pemerintah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dilakukan oleh

25
Draft 02062017

Pemerintah untuk program-program tertentu dalam rangka


mendukung prioritas nasional dan/atau kebijakan lainnya sesuai
dengan rencana kerja Pemerintah.

Pasal 30
(1) DAK Fisik digunakan untuk mendanai kegiatan penyediaan sarana
dan prasarana publik dan/atau kegiatan penunjang berdasarkan
petunjuk teknis yang diatur dalam Peraturan Presiden.
(2) Petunjuk teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat bersifat
tahunan atau tahun jamak.
(3) Petunjuk teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit
mengatur:
a. menu kegiatan;
b. target keluaran/hasil;
c. porsi belanja untuk mendukung target keluaran dan belanja
penunjang; dan
d. format usulan DAK Fisik untuk tahun anggaran berikutnya.

Paragraf 5
DAK Operasional
Pasal 31
(1) DAK Operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf
b, dialokasikan untuk mendukung kelancaran penyelenggaraan
pelayanan publik yang menjadi urusan Daerah.
(2) Jenis, target, dan sasaran DAK Operasional ditetapkan dalam rencana
kerja Pemerintah.
(3) Kementerian Keuangan, kementerian yang menangani perencanaan
pembangunan nasional bersama kementerian/lembaga Pemerintah
nonkementerian menghitung:
a. kebutuhan riil DAK Operasional berdasarkan keluaran/hasil
masing-masing jenis DAK Operasional; dan
b. besaran biaya satuan masing-masing jenis DAK Operasional

26
Draft 02062017

(4) Besaran biaya satuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b
dapat mempertimbangkan tingkat kemahalan.
(5) Kementerian Keuangan bersama kementerian/lembaga Pemerintah
nonkementerian menghitung besaran alokasi DAK Operasional per
jenis per Daerah berdasarkan perkalian antara kebutuhan riil
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dengan besaran biaya
satuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b.

Pasal 32
(1) DAK Operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf
b, digunakan berdasarkan petunjuk teknis penggunaan DAK
Operasional yang diatur dalam Peraturan Presiden.
(2) Petunjuk teknis penggunaan DAK Operasional sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), dapat bersifat tahunan atau tahun jamak.
(3) Petunjuk teknis penggunaan DAK Operasional sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), paling sedikit mengatur:
a. menu kegiatan yang bersifat tetap;
b. target keluaran/hasil; dan
c. porsi jenis belanja.

Paragraf 6
Penetapan Kebijakan DAU dan Dana Transfer Khusus

Pasal 33
(1) Pemerintah menetapkan kebijakan DAU dan Dana Transfer Khusus
dalam nota keuangan dan rancangan APBN tahun anggaran
berikutnya.
(2) Kebijakan DAU dan Dana Transfer Khusus sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), dibahas terlebih dahulu dalam forum Dewan
Pertimbangan Otonomi Daerah sebelum disampaikan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah.

27
Draft 02062017

Paragraf 7
Dana Perimbangan bagi Daerah Baru
Pasal 34
(1) Dana Perimbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1),
untuk Daerah baru, mulai dialokasikan secara mandiri untuk tahun
anggaran berikutnya, sejak undang-undang pembentukan Daerah
tersebut diundangkan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berlaku bagi Daerah
baru yang undang-undang pembentukannya diundangkan paling
lambat 30 Juni tahun berkenaan.
(3) Dana Perimbangan untuk Daerah baru yang belum dialokasikan secara
mandiri, diperhitungkan secara proporsional dari alokasi Dana
Perimbangan Daerah induk.
(4) Proporsi Dana Perimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
dihitung sekurang-kurangnya berdasarkan jumlah penduduk dan luas
wilayah.
(5) Penghitungan dan pengalokasian Dana Perimbangan untuk Daerah
baru dilakukan oleh Pemerintah.

Bagian Kelima
Dana Insentif Daerah
Pasal 35
(1) DID dialokasikan kepada Daerah dalam bentuk kategori-kategori
tertentu berdasarkan penilaian terhadap perbaikan dan/atau
pencapaian kinerja pengelolaan keuangan Daerah, pelayanan dasar
publik, dan kesejahteraan masyarakat.
(2) Kategori penilaian terhadap perbaikan dan/atau pencapaian kinerja
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan setiap tahun dalam
Undang-Undang mengenai APBN.
(3) Penilaian terhadap perbaikan dan/atau pencapaian kinerja
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan berdasarkan data
yang bersumber dari instansi/lembaga resmi sesuai dengan tugas dan
fungsinya.

28
Draft 02062017

Pasal 36
DID digunakan sesuai kebutuhan dan prioritas Daerah.

Pasal 37
(1) Pemerintah menetapkan kebijakan DID dalam nota keuangan dan
rancangan APBN tahun anggaran berikutnya, yang disampaikan
kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah
Republik Indonesia.
(2) Alokasi DID sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk masing-
masing Daerah ditetapkan dalam Peraturan Presiden.

Bagian Keenam
Dana Otonomi Khusus Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat, dan
Provinsi Aceh, serta Dana Tambahan Infrastruktur Provinsi Papua
dan Provinsi Papua Barat

Pasal 38
(1) Dana Otonomi Khusus Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat
dialokasikan dengan besaran setara 2% (dua persen) dari pagu DAU
Nasional.
(2) Dana Otonomi Khusus Provinsi Aceh dialokasikan dengan besaran
setara 2% (dua persen) dari pagu DAU Nasional.
(3) Dana Otonomi Khusus Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dibagi masing-masing dengan
proporsi 70% (tujuh puluh persen) untuk Provinsi Papua dan 30% (tiga
puluh persen) untuk Provinsi Papua Barat.
(4) Dana Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2), dibagi antara provinsi dan kabupaten/kota di wilayah provinsi yang
bersangkutan, secara adil dan berimbang berdasarkan Peraturan
Daerah Khusus atau Qanun atau sebutan lain.
(5) Penerimaan Dana Otonomi Khusus Provinsi Papua dan Provinsi Papua
Barat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama 20 (dua

29
Draft 02062017

puluh) tahun terhitung sejak dialokasikannya dalam APBN pada tahun


2002 sampai dengan tahun 2021.
(6) Penerimaan Dana Otonomi Khusus Provinsi Aceh sebagaimana diatur
pada ayat (2) berlaku selama 20 (dua puluh) tahun, dengan rincian:
a. tahun 2008 sampai dengan tahun 2022 besarnya setara dengan 2%
(dua persen) pagu DAU Nasional;
b. tahun 2023 sampai dengan tahun 2027 besarnya setara dengan 1%
(satu persen) pagu DAU Nasional.
(7) Dana Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditujukan
terutama untuk pendanaan pendidikan dan kesehatan.
(8) Dana Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditujukan
untuk pendanaan pembangunan terutama pembangunan dan
pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat,
pengentasan kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial, dan
kesehatan.
(9) Alokasi Dana Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2), untuk masing-masing Provinsi ditetapkan dalam
Peraturan Presiden.

Pasal 39
(1) Dana Tambahan Infrastruktur Provinsi Papua dan Provinsi Papua
Barat dialokasikan sebagai dana tambahan dalam rangka otonomi
khusus yang besarnya ditetapkan antara Pemerintah dan Dewan
Perwakilan Rakyat berdasarkan usulan Provinsi pada setiap tahun
anggaran.
(2) Dana Tambahan Infrastruktur Provinsi Papua dan Provinsi Papua
Barat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dibagi dengan imbangan
75% (tujuh puluh lima persen) untuk Provinsi Papua dan 25% (dua
puluh lima persen) untuk Provinsi Papua Barat.
(3) Penggunaan Dana Tambahan Infrastruktur Provinsi Papua dan
Provinsi Papua Barat ditujukan untuk pendanaan pembangunan
infrastruktur.

30
Draft 02062017

(4) Alokasi Dana Tambahan Infrastruktur Provinsi Papua dan Provinsi


Papua Barat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk masing-
masing Provinsi ditetapkan dalam Peraturan Presiden.

Pasal 40
(1) Pemerintah Daerah menyusun perencanaan dan penganggaran,
melaksanakan dan mempertanggungjawabkan penggunaan Dana
Otonomi Khusus dan Dana Tambahan Infrastruktur Provinsi Papua
dan Provinsi Papua Barat.
(2) Pemerintah Daerah menyampaikan RKA satuan kerja Perangkat
Daerah dan laporan realisasi penggunaan Dana Otonomi Khusus dan
Dana Tambahan Infrastruktur Provinsi Papua dan Provinsi Papua
Barat kepada Pemerintah.
(3) Pemerintah melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap
penggunaan Dana Otonomi Khusus dan Dana Tambahan Infrastruktur
Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.

Bagian Ketujuh
Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta
Pasal 41
(1) Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta dialokasikan dalam
rangka penyelenggaraan urusan keistimewaan Daerah Istimewa
Yogyakarta sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan
mengenai keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta sesuai dengan
kebutuhan Daerah Istimewa Yogyakarta dan kemampuan keuangan
negara.
(2) Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diperuntukkan bagi dan dikelola oleh
Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta yang pengalokasian dan
penyalurannya melalui mekanisme Transfer ke Daerah.
(3) Pemerintah mengalokasikan Dana Keistimewaan Daerah Istimewa
Yogyakarta sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam nota

31
Draft 02062017

keuangan dan rancangan APBN yang disampaikan kepada Dewan


Perwakilan Rakyat setiap tahunnya.
(4) Alokasi Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), ditetapkan dalam Peraturan Presiden.

Bagian Kedelapan
Dana Desa
Pasal 42
(1) Dana Desa dialokasikan dalam APBN kepada desa dan desa adat
dengan besaran 10% (sepuluh persen) dari dan diluar dana Transfer ke
Daerah secara bertahap sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dihitung berdasarkan
jumlah desa dan dialokasikan dengan memperhatikan jumlah
penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, dan tingkat kesulitan
geografis.
(3) Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dialokasikan melalui
APBD kabupaten/kota.
(4) Penganggaran, pengalokasian, dan penyaluran Dana Desa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Dana Desa yang bersumber dari APBN sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), untuk masing-masing kabupaten/kota ditetapkan dalam
Peraturan Presiden.

Bagian Kesembilan
Penyaluran Transfer Ke Daerah Dan Dana Desa
Pasal 43
(1) Penyaluran Transfer ke Daerah dan Dana Desa dilakukan melalui
pemindahbukuan dari RKUN ke RKUD.
(2) Penyaluran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan secara
bertahap berdasarkan kinerja pelaksanaan dengan mempertimbangkan

32
Draft 02062017

kondisi kas negara, persyaratan yang ditentukan, dan kebijakan


pengendalian Belanja Daerah.

Pasal 44
(1) Penyaluran Transfer ke Daerah dapat dilakukan dalam bentuk tunai
dan nontunai.
(2) Penyaluran Transfer ke Daerah dalam bentuk nontunai sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dapat berupa surat berharga negara.
(3) Penyaluran Transfer ke Daerah dalam bentuk nontunai sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dilakukan dalam rangka pengendalian Belanja
Daerah.
(4) Penyaluran Transfer ke Daerah dalam bentuk nontunai sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dilakukan terhadap DBH dan/atau DAU.
(5) Penyaluran Dana Otonomi Khusus dan Dana Tambahan Infrastruktur
Propinsi Papua dan Papua Barat dilaksanakan setelah mendapatkan
pertimbangan dari menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan dalam negeri.

Pasal 45
Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme perencanaan, pengalokasian,
penyaluran, penggunaan, pelaporan, pemantauan dan evaluasi Transfer ke
Daerah dan Dana Desa diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Bagian Kesepuluh
Hibah
Pasal 46
(1) Pemerintah Daerah dapat menerima Hibah dari Pemerintah atau
sebaliknya.
(2) Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat berbentuk uang,
barang, dan/atau jasa.

33
Draft 02062017

Pasal 47
(1) Hibah dari Pemerintah kepada Daerah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 46 ayat (1), diusulkan oleh kementerian/lembaga Pemerintah
nonkementerian kepada Menteri.
(2) Berdasarkan usulan kementerian/lembaga Pemerintah
nonkementerian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri
menetapkan Daerah penerima Hibah dan besaran alokasi Hibah
setelah dibahas bersama dengan kementerian/lembaga Pemerintah
nonkementerian.

Pasal 48
(1) Hibah dari Pemerintah kepada Pemerintah Daerah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1), dapat bersumber dari:
a. penerimaan dalam negeri;
b. Hibah luar negeri; dan/atau
c. pinjaman luar negeri.
(2) Hibah dari Pemerintah kepada Pemerintah Daerah yang bersumber
dari penerimaan dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, digunakan untuk:
a. kegiatan yang merupakan kewenangan Daerah dalam rangka
peningkatan pelayanan dasar, peningkatan fungsi pemerintahan,
dan pemberdayaan aparatur Pemerintah Daerah;
b. pelaksanaan kebijakan Pemerintah yang mengakibatkan
penambahan beban pada APBD;
c. kegiatan tertentu yang merupakan kewenangan Daerah yang
berkaitan dengan penyelenggaraan kegiatan berskala nasional atau
internasional;
d. kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi yang mendukung
penanggulangan pasca bencana alam; dan/atau
e. percepatan penyediaan prasarana/sarana di Daerah tertinggal,
perbatasan negara, kepulauan, terluar, dan/atau kawasan khusus.

34
Draft 02062017

(3) Hibah dari Pemerintah kepada Pemerintah Daerah yang bersumber


dari Hibah luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
dan pinjaman luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c,
digunakan untuk:
a. kegiatan yang mendukung program pembangunan nasional;
dan/atau
b. kegiatan tertentu yang secara spesifik ditentukan oleh pemberi
Hibah luar negeri.

Pasal 49
Pemberian Hibah dari Pemerintah Daerah kepada Pemerintah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1), dilakukan untuk:
a. kegiatan yang memberikan manfaat secara langsung kepada
masyarakat, bersifat mendesak, dan mendukung kebijakan Pemerintah;
dan/atau
b. kegiatan yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 50
(1) Hibah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46, dituangkan dalam
perjanjian Hibah yang ditandatangani oleh pemberi dan penerima
Hibah.
(2) Penerima Hibah menyampaikan laporan perkembangan pelaksanaan
kegiatan sesuai dengan perjanjian Hibah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).

Pasal 51
Ketentuan lebih lanjut mengenai penganggaran, pengalokasian, penyaluran,
pelaporan, dan pertanggungjawaban Hibah dari Pemerintah kepada
Pemerintah Daerah atau sebaliknya diatur dalam Peraturan Pemerintah.

35
Draft 02062017

Bagian Kesebelas
Belanja Daerah

Pasal 52
(1) Belanja Daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-
undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung
jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
(2) Belanja Daerah dialokasikan berdasarkan pada integrasi perencanaan,
penganggaran, serta pemantauan dan evaluasi sesuai kebutuhan dan
prioritas Daerah, serta yang diselaraskan dengan prioritas nasional.
(3) Pengalokasian Belanja Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
diprioritaskan untuk mendanai Urusan Pemerintahan wajib yang
terkait dengan pelayanan dasar publik, peningkatan ekonomi, dan
kesejahteraan masyarakat.
(4) Belanja untuk pelayanan dasar publik sebagaimana dimaksud pada
ayat (3), disesuaikan dengan kebutuhan untuk pencapaian standar
pelayanan minimal.
(5) Belanja Daerah yang berasal dari Transfer ke Daerah yang telah
ditentukan penggunaannya dialokasikan sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 53
(1) Belanja Daerah untuk Urusan Pemerintahan wajib yang terkait dengan
pelayanan dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (3)
maupun belanja untuk Urusan Pemerintahan wajib yang tidak terkait
dengan pelayanan dasar dan Urusan Pemerintahan pilihan didasarkan
pada analisis standar belanja dan standar biaya regional.
(2) Dalam rangka meningkatkan efisiensi dan kualitas Belanja Daerah,
serta kesetaraan standar belanja pelayanan antar-Daerah, Pemerintah
menetapkan pedoman tunjangan kinerja Daerah dan standar biaya
operasional penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
(3) Pedoman mengenai analisis standar belanja dan standar biaya regional
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pedoman tunjangan kinerja

36
Draft 02062017

Daerah dan standar biaya operasional penyelenggaraan Pemerintahan


Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diatur dalam Peraturan
Pemerintah.

Pasal 54
(1) Besaran Belanja Daerah untuk urusan pendidikan, termasuk belanja
untuk gaji tenaga pendidik, ditetapkan paling sedikit 20% (dua puluh
persen) dari total belanja APBD, kecuali ditentukan lain dalam undang-
undang.
(2) Besaran Belanja Daerah untuk urusan kesehatan ditetapkan paling
sedikit 10% (sepuluh persen) dari total belanja APBD di luar gaji PNSD
kecuali ditentukan lain dalam undang-undang.

Pasal 55
(1) Dana Transfer Umum diprioritaskan penggunaannya untuk belanja
prasarana/sarana yang langsung terkait dengan penyediaan fasilitas
pelayanan dasar publik dan fasilitas penunjang kegiatan ekonomi.
(2) Dalam rangka mengarahkan Belanja Daerah, Pemerintah dapat
menggunakan hasil pemeringkatan Daerah untuk menentukan
besaran Dana Transfer Umum yang harus digunakan secara khusus
oleh Daerah.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan Dana Transfer Umum
berdasarkan hasil pemeringkatan daerah sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 56
(1) DBH CHT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1), digunakan
sekurang-kurangnya 50% (lima puluh persen) untuk mendanai
kegiatan peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan industri,
pembinaan lingkungan sosial, sosialisasi ketentuan di bidang cukai,
dan/atau pemberantasan barang kena cukai ilegal.

37
Draft 02062017

(2) Dana Reboisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (5),


digunakan untuk kegiatan pendukung paling tinggi sebesar 30% (tiga
puluh persen) dari alokasi Dana Reboisasi.
(3) Dalam hal tidak terdapat hutan dan lahan untuk dilakukan rehabilitasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (5), Dana Reboisasi dapat
digunakan untuk kegiatan lain yang terkait dengan lingkungan hidup
dan kehutanan.

Pasal 57
(1) Penerimaan kabupaten/kota yang berasal dari DBH dan DAU dibagi
paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk alokasi dana desa.
(2) Untuk kabupaten/kota dengan jumlah desa lebih sedikit daripada
jumlah kelurahan, alokasi dana desa sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), dapat dialokasikan kepada desa berdasarkan proporsi
jumlah desa terhadap total jumlah desa dan kelurahan.

Pasal 58
Ketentuan lebih lanjut mengenai Belanja Daerah diatur dalam Peraturan
Pemerintah.

Bagian Keduabelas
Pinjaman Daerah

Paragraf 1
Batasan Pinjaman Daerah

Pasal 59
(1) Pemerintah Daerah dapat melakukan Pinjaman Daerah.
(2) Kegiatan yang dibiayai dari Pinjaman Daerah merupakan prakarsa dan
kewenangan Daerah.
(3) Pinjaman Daerah yang bersumber dari penerusan pinjaman luar negeri
dapat menggunakan mata uang Rupiah atau mata uang asing.

38
Draft 02062017

(4) Pinjaman Daerah dituangkan dalam perjanjian pinjaman yang


ditandatangani oleh pemberi dan penerima pinjaman.

Pasal 60
(1) Pemerintah Daerah dilarang melakukan pinjaman langsung kepada
pihak luar negeri.
(2) Pinjaman kepada pihak luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan melalui Pemerintah.

Paragraf 2
Sumber dan Jenis Pinjaman Daerah

Pasal 61
(1) Pinjaman Daerah bersumber dari:
a. Pemerintah;
b. lembaga keuangan bank;
c. lembaga keuangan bukan bank; dan
d. masyarakat.
(2) Pinjaman Daerah yang bersumber dari Pemerintah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a, diberikan melalui Menteri atau
lembaga pembiayaan yang mendapat penugasan khusus.
(3) Pinjaman Daerah yang diberikan melalui Menteri atau lembaga
pembiayaan yang mendapat penugasan khusus sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), dapat berasal dari penerimaan Hibah luar
negeri dan/atau penerusan pinjaman luar negeri.
(4) Pinjaman Daerah yang bersumber dari masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf d, berupa Obligasi Daerah dan Obligasi
Daerah Syariah.

Pasal 62
(1) Pinjaman Daerah terdiri atas:
a. Pinjaman jangka pendek; dan

39
Draft 02062017

b. Pinjaman jangka panjang.


(2) Pinjaman jangka pendek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
merupakan Pinjaman Daerah yang jatuh tempo dalam jangka waktu
paling lama 12 (dua belas) bulan dan dapat melampaui harus dilunasi
dalam tahun anggaran berkenaan.
(3) Pinjaman jangka panjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b, merupakan Pinjaman Daerah yang jatuh tempo dalam jangka waktu
lebih dari 1 (satu) tahun.

Pasal 63
Pinjaman jangka pendek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1)
huruf a, hanya digunakan untuk menutup kekurangan arus kas.

Pasal 64
(1) Pinjaman jangka panjang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat
(1) huruf b, merupakan bagian dari penerimaan Pembiayaan dalam
APBD.
(2) Pinjaman jangka panjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
digunakan untuk membiayai penyediaan prasarana/sarana pelayanan
publik yang:
a. menghasilkan penerimaan langsung berupa pendapatan bagi APBD
yang berkaitan dengan pembangunan prasarana/sarana tersebut;
b. menghasilkan penerimaan tidak langsung berupa penghematan
terhadap Belanja Daerah; dan/atau
c. memberikan manfaat ekonomi dan sosial.
(3) Pinjaman jangka panjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat
diteruspinjamkan dan/atau dijadikan penyertaan modal kepada
BUMD.
(4) Pemerintah dapat memberikan Hibah kepada Daerah untuk
mendukung pelaksanaan pinjaman jangka panjang yang bersumber
dari Pemerintah atau lembaga pembiayaan yang mendapat penugasan
khusus.

40
Draft 02062017

(5) Pinjaman jangka panjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1),


terlebih dahulu mendapat persetujuan DPRD.

Paragraf 3
Persyaratan Pinjaman Daerah

Pasal 65
(1) Pinjaman jangka panjang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat
(1) huruf b, harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. batas minimal rasio kemampuan keuangan Daerah untuk
mengembalikan pinjaman jangka panjang; dan
b. tidak mempunyai tunggakan atas pengembalian pinjaman yang
berasal dari Pemerintah dan masyarakat.
(2) Rasio kemampuan keuangan Daerah untuk mengembalikan pinjaman
jangka panjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
ditetapkan dalam Peraturan Menteri.
(3) Pinjaman Daerah yang berasal dari penerusan pinjaman luar negeri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (3), mendapatkan
persetujuan dari Menteri.
(4) Pinjaman Daerah yang bersumber dari penerusan pinjaman luar negeri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (3) dan masyarakat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (4), terlebih dahulu
mendapat pertimbangan dari menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan dalam negeri.

Pasal 66
(1) Pemerintah Daerah tidak dapat memberikan jaminan atas pinjaman
pihak lain.
(2) Barang milik Daerah tidak dapat dijadikan jaminan atau digadaikan
untuk mendapatkan Pinjaman Daerah.

41
Draft 02062017

Paragraf 4
Obligasi Daerah dan Obligasi Daerah Syariah

Pasal 67
(1) Pemerintah Daerah dapat menerbitkan Obligasi Daerah dan/atau
Obligasi Daerah Syariah dengan persetujuan DPRD.
(2) Obligasi Daerah dan/atau Obligasi Daerah Syariah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), diterbitkan melalui pasar modal domestik dan
dalam mata uang Rupiah.
(3) Obligasi Daerah dan Obligasi Daerah Syariah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), digunakan untuk membiayai kegiatan yang
menghasilkan penerimaan secara langsung maupun tidak langsung.
(4) Obligasi Daerah Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
digunakan untuk membiayai kegiatan yang menghasilkan penerimaan
secara langsung.
(5) Penerbitan Obligasi Daerah Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat
(4), dilakukan setelah mendapat pernyataan kesesuaian Obligasi
Daerah Syariah terhadap prinsip-prinsip syariah dari lembaga yang
memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
(6) Penerbitan Obligasi Daerah dan/atau Obligasi Daerah Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan setelah mendapat
persetujuan Menteri.

Pasal 68
(1) Barang milik Daerah dapat digunakan sebagai dasar penerbitan
Obligasi Daerah Syariah, yang untuk selanjutnya barang milik Daerah
dimaksud disebut sebagai aset Obligasi Daerah Syariah.
(2) Barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat
berupa tanah dan/atau bangunan.
(3) Penggunaan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dilakukan dengan cara menjual, menyewakan hak manfaat, atau
cara lain sesuai dengan perjanjian Obligasi Daerah Syariah.

42
Draft 02062017

(4) Pemerintah Daerah wajib membeli kembali barang milik Daerah,


membatalkan perjanjian sewa, dan mengakhiri perjanjian lainnya
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pada saat Obligasi Daerah
Syariah jatuh tempo.
(5) Dalam rangka pembelian kembali barang milik Daerah, pembatalan
perjanjian sewa dan pengakhiran perjanjian lainnya sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), Pemerintah Daerah membayar nilai nominal
Obligasi Daerah Syariah atau kewajiban pembayaran lain sesuai
perjanjian penerbitan Obligasi Daerah Syariah kepada pemegang
Obligasi Daerah Syariah.

Pasal 69
(1) Kepala Daerah bertanggung jawab atas pengelolaan Obligasi Daerah
dan Obligasi Daerah Syariah.
(2) Dalam melakukan pengelolaan Obligasi Daerah dan Obligasi Daerah
Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Daerah
membentuk unit pengelola Obligasi Daerah dan Obligasi Daerah
Syariah.
(3) Unit pengelola Obligasi Daerah dan Obligasi Daerah Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), memiliki tugas:
a. penetapan strategi pengelolaan Obligasi Daerah dan Obligasi
Daerah Syariah, termasuk kebijakan pengendalian risiko;
b. perencanaan dan penetapan struktur portofolio Obligasi Daerah
dan Obligasi Daerah Syariah;
c. penerbitan Obligasi Daerah dan Obligasi Daerah Syariah;
d. penjualan Obligasi Daerah dan Obligasi Daerah Syariah melalui
lelang dan/atau tanpa lelang;
e. pembelian kembali Obligasi Daerah dan Obligasi Daerah Syariah
sebelum jatuh tempo;
f. pelunasan Obligasi Daerah dan Obligasi Daerah Syariah; dan
g. aktivitas lain dalam rangka pengembangan pasar perdana dan
pasar sekunder Obligasi Daerah dan Obligasi Daerah Syariah.

43
Draft 02062017

(4) Kepala Daerah menyampaikan informasi secara berkala kepada


masyarakat mengenai:
a. kebijakan pengelolaan Obligasi Daerah dan Obligasi Daerah
Syariah dan rencana penerbitan yang meliputi perkiraan jumlah
dan jadwal waktu penerbitan; dan
b. jumlah Obligasi Daerah dan Obligasi Daerah Syariah yang beredar
beserta komposisinya, struktur jatuh tempo, dan besaran
kupon/imbalan.

Pasal 70
(1) Pemerintah Daerah wajib membayar bunga/kupon/imbalan dan
pokok/nilai nominal dari Pinjaman Daerah, Obligasi Daerah, dan/atau
Obligasi Daerah Syariah pada saat jatuh tempo.
(2) Dana untuk membayar bunga/kupon/imbalan dan pokok/nilai
nominal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dianggarkan dalam
APBD sampai dengan berakhirnya kewajiban.

Paragraf 5
Pertanggungjawaban dan Pelaporan
Pasal 71
(1) Kepala Daerah menyelenggarakan penatausahaan dan membuat
pertanggungjawaban atas pengelolaan Pinjaman Daerah, Obligasi
Daerah, dan/atau Obligasi Daerah Syariah.
(2) Pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan
sebagai bagian dari pertanggungjawaban Kepala Daerah atas
pelaksanaan APBD.
(3) Pemerintah Daerah menyampaikan laporan jumlah kumulatif dan
kewajiban Pinjaman Daerah, Obligasi Daerah, dan/atau Obligasi Daerah
Syariah kepada Menteri setiap semester dalam tahun anggaran berjalan.

Pasal 72
(1) Dalam hal Daerah tidak memenuhi kewajiban membayar bunga dan
pokok Pinjaman Daerah kepada Pemerintah sebagaimana dimaksud

44
Draft 02062017

dalam Pasal 70 ayat (1), Menteri dapat melakukan pemotongan Dana


Transfer Umum Daerah yang bersangkutan.
(2) Dalam hal Daerah tidak menyampaikan laporan posisi kumulatif
Pinjaman Daerah dan kewajiban Pinjaman Daerah kepada Menteri
setiap semester dalam tahun anggaran berjalan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3), Menteri dapat menunda penyaluran
Dana Transfer Umum Daerah yang bersangkutan.

Pasal 73
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara, dan mekanisme
Pinjaman Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), Obligasi
Daerah, dan Obligasi Daerah Syariah diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketigabelas
Dana Tugas Pembantuan
Paragraf 1
Umum

Pasal 74
(1) Dana Tugas Pembantuan dari Pemerintah dialokasikan untuk
mendanai Urusan Pemerintahan konkuren yang menjadi kewenangan
Pemerintah yang penyelenggaraannya ditugaskan kepada Daerah
provinsi dan/atau kabupaten/kota.
(2) Urusan Pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang
didanai dari Dana Tugas Pembantuan meliputi kegiatan yang lebih
efektif dan efisien dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah.
(3) Seluruh alokasi Dana Tugas Pembantuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), diberitahukan oleh menteri/pimpinan lembaga Pemerintah
nonkementerian kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah.
(4) Kegiatan yang didanai dari Dana Tugas Pembantuan dilaksanakan oleh
satuan kerja Perangkat Daerah yang ditetapkan oleh Kepala Daerah.

45
Draft 02062017

Paragraf 2
Penganggaran Dana Tugas Pembantuan

Pasal 75
(1) Dana Tugas Pembantuan merupakan bagian anggaran
kementerian/lembaga Pemerintah nonkementerian yang dialokasikan
berdasarkan rencana kerja dan anggaran kementerian/lembaga
Pemerintah nonkementerian.
(2) Besaran Dana Tugas Pembantuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), disesuaikan dengan program/kegiatan yang akan dilaksanakan
melalui tugas pembantuan.
(3) Rencana lokasi dan anggaran untuk program/kegiatan yang akan
ditugaskan disusun dengan memperhatikan kemampuan keuangan
negara, keseimbangan pendanaan antar-Daerah, dan kebutuhan
prasarana/sarana di Daerah.

Paragraf 3
Pencairan Dana Tugas Pembantuan

Pasal 76
(1) Pencairan Dana Tugas Pembantuan dilakukan oleh Bendahara Umum
Negara atau kuasanya melalui RKUN.
(2) Dalam hal pelaksanaan tugas pembantuan terdapat saldo kas pada
akhir tahun anggaran, saldo tersebut harus disetor ke RKUN.
(3) Dalam hal pelaksanaan tugas pembantuan menghasilkan penerimaan,
penerimaan tersebut merupakan penerimaan APBN yang harus disetor
ke RKUN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

46
Draft 02062017

Paragraf 4
Pertanggungjawaban dan Pelaporan
Dana Tugas Pembantuan

Pasal 77
(1) Penatausahaan keuangan dan barang dalam pelaksanaan tugas
pembantuan dilakukan secara terpisah dari penatausahaan keuangan
dan barang dalam pelaksanaan Desentralisasi.
(2) Satuan kerja Perangkat Daerah menyelenggarakan penatausahaan
keuangan dan barang dalam rangka tugas pembantuan secara tertib
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Satuan kerja Perangkat Daerah menyampaikan laporan pelaksanaan
kegiatan tugas pembantuan kepada Kepala Daerah.
(4) Kepala Daerah menyampaikan laporan pertanggungjawaban seluruh
pelaksanaan kegiatan tugas pembantuan kepada menteri/pimpinan
lembaga Pemerintah nonkementerian yang menugaskan.

Paragraf 5
Status Barang dalam Pelaksanaan Tugas Pembantuan

Pasal 78
(1) Semua barang yang diperoleh dari Dana Tugas Pembantuan dari
Pemerintah menjadi barang milik negara.
(2) Barang milik negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dihibahkan kepada Daerah yang memperoleh penugasan bersamaan
dengan berakhirnya pelaksanaan kegiatan.
(3) Barang milik negara yang dihibahkan kepada Daerah yang memperoleh
penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dikelola dan
ditatausahakan sebagai barang milik Daerah.
(4) Barang milik negara yang tidak dihibahkan kepada Daerah dikelola
dan ditatausahakan oleh kementerian/lembaga Pemerintah
nonkementerian yang menugaskan.

47
Draft 02062017

Pasal 79
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penganggaran, pencairan,
pelaporan, pertanggungjawaban, dan penghibahan barang milik negara
yang diperoleh atas pelaksanaan Dana Tugas Pembantuan dari Pemerintah
diatur dengan Peraturan Menteri.

Paragraf 6
Pengawasan dan Pemeriksaan

Pasal 80
Pengawasan dan pemeriksaan Dana Tugas Pembantuan dilaksanakan
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB IV
HUBUNGAN KEUANGAN ANTAR DAERAH

Bagian Kesatu
Ruang Lingkup

Pasal 81
(1) Dalam penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangannya, Daerah memiliki hubungan keuangan dengan Daerah
yang lain.
(2) hubungan keuangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi:
a. hubungan keuangan antara pemerintah provinsi dengan
pemerintah kabupaten/kota; dan
b. hubungan keuangan antar Pemerintahan Daerah Setingkat dan
Lintas Pemerintahan Daerah.
(3) Hubungan keuangan antara pemerintahan provinsi dengan
pemerintahan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf a, meliputi:

48
Draft 02062017

a. pendanaan penyelenggaraan Urusan Pemerintahan provinsi yang


ditugaskan kepada pemerintahan kabupaten/kota;
b. pemberian sumber penerimaan berupa bagi hasil pajak provinsi
dan bantuan keuangan;
c. pemberian Hibah kepada pemerintahan kabupaten/kota atau
sebaliknya;
d. pelaksanaan Dana Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, Provinsi
Papua Barat, dan Provinsi Aceh, Dana Tambahan Infrastruktur
bagi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, serta Dana
Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta;
e. pelaksanaan koordinasi dan sinkronisasi usulan DAK Fisik dari
pemerintahan kabupaten/kota kepada Pemerintah; dan
f. evaluasi APBD kabupaten/kota.
(4) Hubungan Keuangan antar Pemerintahan Daerah Setingkat dan Lintas
Pemerintahan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b,
meliputi:
a. pendanaan kerja sama antar-Daerah;
b. pemberian Hibah antar-Daerah;
c. pemberian pinjaman antar-Daerah; dan
d. pemberian bantuan keuangan.

Bagian Kedua
Hubungan Keuangan Antara Pemerintahan Provinsi dan Pemerintahan
Kabupaten/kota

Paragraf 1
Pendanaan Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan Provinsi yang
ditugaskan kepada Pemerintahan Kabupaten/Kota

Pasal 82
(1) Pendanaan penyelengaraan Urusan Pemerintahan provinsi yang
ditugaskan kepada pemerintahan kabupaten/kota sebagaimana

49
Draft 02062017

dimaksud dalam Pasal 81 ayat (3) huruf a, dilakukan melalui Dana


Tugas Pembantuan.
(2) Dana Tugas Pembantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dialokasikan untuk mendanai Urusan Pemerintahan konkuren yang
menjadi kewenangan provinsi yang penyelenggaraannya ditugaskan
kepada kabupaten/kota.
(3) Dana Tugas Pembantuan dari provinsi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), dianggarkan dalam APBD provinsi.
(4) Dana Tugas Pembantuan dari Provinsi merupakan bagian anggaran
satuan kerja Perangkat Daerah provinsi yang dialokasikan berdasarkan
RKA satuan kerja Perangkat Daerah provinsi.
(5) Besaran Dana Tugas Pembantuan dari Provinsi sebagaimana dimaksud
pada ayat (4), disesuaikan dengan program/kegiatan yang akan
dilaksanakan melalui tugas pembantuan.
(6) Rencana lokasi dan anggaran untuk program/kegiatan yang akan
ditugaskan disusun dengan memperhatikan kebutuhan
prasarana/sarana di Daerah.

Pasal 83
(1) Pencairan Dana Tugas Pembantuan dari Provinsi kepada
kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (1),
dilakukan oleh bendahara umum Daerah provinsi atau kuasanya
melalui RKUD Provinsi.
(2) Mekanisme pencairan Dana Tugas Pembantuan dari provinsi kepada
kabupaten/kota sebagaimana pada ayat (1), dilaksanakan berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 84
(1) Penatausahaan keuangan dan barang dalam pelaksanaan tugas
pembantuan dilakukan secara terpisah dari penatausahaan keuangan
dan barang dalam pelaksanaan Desentralisasi.

50
Draft 02062017

(2) Satuan kerja Perangkat Daerah menyelenggarakan penatausahaan


keuangan dan barang dalam rangka tugas pembantuan secara tertib
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Satuan kerja Perangkat Daerah menyampaikan laporan pelaksanaan
kegiatan tugas pembantuan kepada Kepala Daerah.
(4) Kepala Daerah menyampaikan laporan pertanggungjawaban seluruh
pelaksanaan kegiatan tugas pembantuan kepada Gubernur yang
menugaskan.

Pasal 85
(1) Barang milik Daerah provinsi yang tidak dihibahkan kepada
kabupaten/kota dikelola dan ditatausahakan oleh satuan kerja
Perangkat Daerah provinsi yang menugaskan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penganggaran, pencairan,
pemantauan dan evaluasi, pelaporan, pertanggungjawaban, dan
penghibahan barang milik provinsi yang diperoleh atas pelaksanaan
Dana Tugas Pembantuan dari provinsi diatur dengan peraturan
gubernur.

Paragraf 2
Bagi Hasil Pajak dan Bantuan Keuangan Provinsi

Pasal 86
(1) Pemerintah provinsi memberikan bagi hasil pajak provinsi kepada
kabupaten/kota sesuai realisasi penerimaan tahun anggaran berjalan.
(2) Bagi hasil pajak provinsi kepada kabupaten/kota sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ditetapkan oleh gubernur berdasarkan
rencana penerimaan tahun anggaran berjalan.
(3) Penyaluran bagi hasil pajak provinsi kepada kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan secara berkala paling
lama per triwulan.

51
Draft 02062017

(4) Penetapan gubernur mengenai bagi hasil pajak provinsi kepada


kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2), menjadi dasar
penyaluran bagi hasil pajak provinsi kepada kabupaten/kota.
(5) Penyaluran bagi hasil pajak provinsi kepada kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dilakukan melalui
pemindahbukuan dari RKUD provinsi ke RKUD kabupaten/kota.
(6) Dalam hal terdapat selisih antara realisasi penyaluran dengan realisasi
penerimaan pajak provinsi, selisih tersebut diperhitungkan pada tahun
anggaran berikutnya.
(7) Bagi hasil pajak provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 87
Dalam hal Daerah tidak menyalurkan bagi hasil pajak provinsi kepada
kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (3), Menteri
dapat melakukan penundaan dan/atau pemotongan Dana Transfer Umum.

Paragraf 3
Pemberian Hibah Dari Pemerintah Provinsi kepada Pemerintah
Kabupaten/Kota atau Sebaliknya

Pasal 88
(1) Pemerintah provinsi dapat memberikan Hibah kepada pemerintah
kabupaten/kota atau sebaliknya dalam satu wilayah provinsi, setelah
mendapat persetujuan DPRD.
(2) Pemberian Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan
setelah terpenuhinya memprioritaskan pemenuhan belanja Urusan
Pemerintahan Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan. dan yang
terkait dengan pelayanan dasar publik.
(3) Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat berbentuk uang,
barang, dan/atau jasa.

52
Draft 02062017

(4) Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), digunakan untuk


mendanai:
a. kegiatan yang merupakan kewenangan Daerah dalam rangka
peningkatan pelayanan dasar publik, peningkatan fungsi
pemerintahan, dan pemberdayaan aparatur Pemerintah Daerah;
b. kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi yang mendukung
penanggulangan bencana alam; dan/atau
c. percepatan penyediaan prasarana/sarana di Daerah tertinggal,
perbatasan, dan kepulauan.
(5) Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dituangkan dalam
perjanjian Hibah yang ditandatangani oleh pemberi dan penerima
Hibah.
(6) Penerima Hibah menyampaikan laporan perkembangan pelaksanaan
kegiatan sesuai dengan perjanjian Hibah sebagaimana dimaksud pada
ayat (5).
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan, pelaporan,
dan pertanggungjawaban Hibah dari pemerintah provinsi kepada
pemerintah kabupaten/kota atau sebaliknya sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Paragraf 4
Pelaksanaan Dana Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, Provinsi Papua
Barat, dan Provinsi Aceh, Dana Tambahan Infrastruktur bagi Provinsi
Papua dan Provinsi Papua Barat, serta Dana Keistimewaan DIY

Pasal 89
(1) Pemerintah provinsi penerima Dana Otonomi Khusus menetapkan
rencana induk.
(2) Rencana induk sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berlaku selama
5 (lima) tahun.
(3) Berdasarkan rencana induk sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Pemerintah provinsi menganggarkan Dana Otonomi Khusus dalam
APBD.

53
Draft 02062017

(4) Pemerintah provinsi penerima Dana Otonomi Khusus mengalokasikan


Dana Otonomi Khusus yang diterimanya untuk mendanai kegiatan
yang menjadi urusannya dan menjadi urusan pemerintah kabupaten
dan kota di wilayahnya.
(5) Pemerintah kabupaten dan kota mengajukan usulan program dan
kegiatan yang akan didanai dari Dana Otonomi Khusus kepada
pemerintah provinsi.
(6) Pemerintah provinsi melakukan pembahasan atas usulan program dan
kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dengan memperhatikan
dokumen perencanaan pembangunan pemerintah provinsi dan
Pemerintah.
(7) Pengalokasian Dana Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud pada
ayat (4), memperhatikan asas manfaat, keadilan, transparansi, dan
akuntabilitas.

Pasal 90
(1) Dana Tambahan Infrastruktur diberikan dalam rangka pelaksanaan
otonomi khusus Papua dan Papua Barat.
(2) Dana Tambahan Infrastruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ditujukan untuk pendanaan pembangunan infrastruktur lintas
kabupaten/kota.
(3) Penyusunan program/kegiatan yang didanai dari Dana Tambahan
Infrastruktur disinkronkan dengan program/kegiatan yang tercantum
dalam dokumen perencanaan pembangunan pemerintah provinsi dan
Pemerintah.
(4) Pengalokasian Dana Tambahan Infrastruktur, dilakukan dengan
memperhatikan asas manfaat, keadilan, transparansi, dan
akuntabilitas.

Pasal 91
(1) Gubernur dapat melimpahkan kewenangan kepada bupati/walikota
untuk merencanakan dan melaksanakan pembangunan infrastruktur
yang bersumber dari Dana Tambahan Infrastruktur.

54
Draft 02062017

(2) Pelimpahan kewenangan pembangunan infrastruktur dikelola melalui


bantuan program.
(3) Bantuan program sebagaimana dimaksud pada ayat (2), yang
bersumber dari Dana Tambahan Infrastruktur diatur lebih lanjut
dengan peraturan gubernur.

Pasal 92
(1) Dalam rangka pelaksanaan urusan keistimewaan, Pemerintah Daerah
wajib membuat rencana kebutuhan yang dituangkan dalam rencana
program dan kegiatan, baik tahunan maupun 5 (lima) tahunan.
(2) Penyusunan rencana program dan kegiatan tahunan dan 5 (lima)
tahunan dilakukan bersama DPRD.
(3) Gubernur sesuai kewenangannya dapat memberikan tugas sebagian
urusan keistimewaan dalam bidang kelembagaan, kebudayaan,
pertanahan dan tata ruang kepada pemerintah kabupaten/kota.
(4) Pemberian tugas disertai dengan anggaran yang bersumber dari dana
keistimewaan.
(5) Gubernur selaku pemegang kekuasaan pengelolaan dana keistimewaan
dapat melimpahkan kewenangan pengelolaan dana keistimewaan
kepada pejabat berwenang di lingkungan pemerintah provinsi maupun
pemerintah kabupaten dan kota.

Pasal 93
Penyaluran Dana Otonomi Khusus, Dana Tambahan Infrastruktur, dan
Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta dilakukan berdasarkan
kinerja pelaksanaan.

Paragraf 5
Pelaksanaan Koordinasi dan Sinkronisasi Usulan DAK Fisik dari
Pemerintahan Kabupaten/Kota Kepada Pemerintah

Pasal 94

55
Draft 02062017

(1) Pemerintah provinsi melakukan koordinasi dan sinkronisasi atas


perencanaan dan pembahasan usulan DAK Fisik dari pemerintah
kabupaten/kota kepada Pemerintah.
(2) Koordinasi dan sinkronisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dilakukan dengan memperhatikan:
a. kesesuaian antara program/kegiatan yang didanai dari DAK Fisik
dan program/kegiatan yang didanai dari belanja
kementerian/lembaga serta sumber pendanaan lainnya;
b. kesesuaian program/kegiatan antar bidang DAK Fisik; dan
c. kesesuaian program/kegiatan antar-Daerah.

Pasal 95
(1) Dalam rangka koordinasi dan sinkronisasi DAK Fisik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 94, kementerian/lembaga Pemerintah
nonkementerian dapat menugaskan gubernur sebagai wakil
Pemerintah dan/atau instansi Pemerintah yang ada di Daerah.
(2) Koordinasi dan sinkronisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
sekurang-kurangnya meliputi:
a. capaian keuangan;
b. capaian fisik; dan
c. capaian hasil.

Paragraf 6
Evaluasi Perda APBD Kabupaten/Kota

Pasal 96
(1) Gubernur sebagai wakil Pemerintah melakukan evaluasi terhadap
rancangan Perda kabupaten/kota tentang APBD, rancangan Perda
kabupaten/kota tentang perubahan APBD, rancangan Perda
kabupaten/kota tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD,
rancangan peraturan bupati/walikota tentang penjabaran APBD, dan
rancangan peraturan bupati/walikota tentang penjabaran
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD.

56
Draft 02062017

(2) Dalam melakukan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),


gubernur memperhatikan sinkronisasi program/kegiatan antar
kabupaten/kota dan antara kabupaten/kota dan provinsi.
(3) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dilakukan
sesuai peraturan perundang-undangan.

Bagian Ketiga
Hubungan Keuangan antar Pemerintahan Daerah Yang Setingkat dan
Lintas Pemerintahan Daerah

Paragraf 1
Pendanaan Kerja Sama

Pasal 97
(1) Pendanaan kerja sama antar-Daerah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 81 ayat (4) huruf a dilakukan berdasarkan pertimbangan efisiensi
dan saling menguntungkan.
(2) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diprioritaskan untuk
penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang memiliki eksternalitas
lintas Daerah dan efektivitas penyediaan layanan publik.
(3) Kerja sama antar kabupaten/kota dalam satu wilayah provinsi
dikoordinasikan oleh pemerintah provinsi.
(4) Kerja sama antar provinsi dikoordinasikan oleh Pemerintah.
(5) Pendanaan atas kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dibebankan pada APBD masing-masing Daerah.

Pasal 98
(1) Kerja sama antar-Daerah dikategorikan menjadi:
a. kerja sama wajib; dan
b. kerja sama sukarela.
(2) Kerja sama wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
merupakan kerja sama antar-Daerah yang berbatasan untuk
penyelenggaraan Urusan Pemerintahan:

57
Draft 02062017

a. yang memiliki eksternalitas lintas Daerah; dan


b. penyediaan layanan publik yang lebih efisien jika dikelola bersama.
(3) Kerja sama sukarela sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
dilaksanakan oleh Daerah yang berbatasan atau tidak berbatasan
untuk penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangan Daerah namun dipandang lebih efektif dan efisien jika
dilaksanakan dengan bekerja sama.

Pasal 99
(1) Pendanaan kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (1),
dibebankan pada APBD masing-masing Daerah yang bersangkutan.
(2) Pemerintah dapat memfasilitasi pelaksanaan kerja sama wajib antar
Daerah.
(3) Fasilitasi pelaksanaan kerjasama wajib antar Daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), dapat berupa:
a. koordinasi dan supervisi; dan
b. pendanaan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 100
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara, mekanisme, pelaporan, dan
pertanggungjawaban kerja sama antar-Daerah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 97 ayat (1), diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Paragraf 2
Pemberian Hibah antar-Daerah

Pasal 101
(1) Pemerintah Daerah dapat memberikan Hibah antar-Daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (4) huruf b setelah
mendapatkan persetujuan DPRD.
(2) Pemberian Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan
setelah terpenuhinya memprioritaskan pemenuhan belanja Urusan
Pemerintahan Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan, kecuali

58
Draft 02062017

ditentukan lain dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. dan


yang terkait dengan pelayanan dasar publik.
Penjelasan:
Yang dimaksud dengan ditentukan lain dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan adalah hibah dari daerah induk kepada daerah
otonom baru hasil pemekaran daerah sebagaimana diamanatkan
peraturan perundangundangan.
(3) Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat berbentuk uang,
barang, dan/atau jasa.
(4) Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), digunakan untuk
mendanai:
a. kegiatan yang merupakan kewenangan Daerah dalam rangka
peningkatan pelayanan dasar publik, peningkatan fungsi
pemerintahan, dan pemberdayaan aparatur Pemerintah Daerah;
b. kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi yang mendukung
penanggulangan bencana alam; dan/atau
c. percepatan penyediaan prasarana/sarana di Daerah tertinggal,
perbatasan, dan kepulauan.
(5) Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dituangkan dalam
perjanjian Hibah yang ditandatangani oleh pemberi dan penerima
Hibah.
(6) Penerima Hibah menyampaikan laporan perkembangan pelaksanaan
kegiatan sesuai dengan perjanjian Hibah sebagaimana dimaksud pada
ayat (5).
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan, pelaporan,
dan pertanggungjawaban Hibah antar-Daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Paragraf 3
Pemberian Pinjaman antar-Daerah

Pasal 102

59
Draft 02062017

(1) Pemerintah Daerah dapat memberikan pinjaman antar-Daerah


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (4) huruf c, setelah
mendapat persetujuan DPRD.
(2) Pinjaman antar-Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa
pinjaman jangka pendek.
(3) Pinjaman jangka pendek sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
merupakan Pinjaman Daerah yang jatuh tempo dalam jangka waktu
paling lama 12 (dua belas) 6 (enam) bulan dan dapat melampaui tahun
anggaran berkenaan sesuai dengan perencanaan kas daerah harus
dilunasi dalam tahun anggaran berkenaan.
(4) Pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (2), hanya digunakan
untuk menutup kekurangan arus kas.

Pasal 103
(1) Pemberian pinjaman jangka pendek sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 102 ayat (2), dilakukan dengan persyaratan sebagai berikut:
a. pemberi pinjaman memiliki saldo kas, setara kas, dan/atau
simpanan di bank melebihi kebutuhan belanja operasi, belanja
modal, transfer bagi hasil pendapatan, dan transfer bantuan
keuangan untuk kurun waktu 4 (empat) bulan berikutnya;
b. penerima pinjaman memiliki kekurangan arus kas sementara yang
diakibatkan adanya penerimaan yang belum diterima pada RKUD;
dan
c. jangka waktu pinjaman menyesuaikan antara saat terjadinya
kelebihan kas pada pemberi pinjaman dengan saat terjadinya
kekurangan kas pada penerima pinjaman.
(2) Dalam hal Daerah penerima pinjaman tidak memenuhi kewajiban
membayar pinjaman, Menteri dengan permintaan Daerah pemberi
pinjaman memperhitungkan kewajiban membayar pinjaman tersebut
dengan melakukan pemotongan Dana Transfer Umum Daerah yang
bersangkutan.
(3) Pemberian pinjaman dituangkan dalam perjanjian pinjaman.

60
Draft 02062017

Pasal 104
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara, dan mekanisme
pinjaman antar-Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 ayat (1),
diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Paragraf 4
Pemberian Bantuan Keuangan antar-Daerah
Pasal 105
(1) Pemerintah provinsi dapat menganggarkan bantuan keuangan kepada
pemerintah kabupaten/kota yang bersifat umum dan bersifat khusus
dengan mempertimbangkan karakteristik masing-masing Daerah.
(2) Bantuan keuangan yang bersifat umum sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), didasarkan pada pertimbangan untuk mengatasi kesenjangan
fiskal.
(3) Dalam penetapan bantuan keuangan yang bersifat umum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dapat menggunakan formula dengan variabel,
antara lain, pendapatan daerah, jumlah penduduk, jumlah penduduk
miskin, dan luas wilayah yang ditetapkan dengan Peraturan Kepala
Daerah.
(4) Bantuan keuangan yang bersifat khusus sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), didasarkan pada pertimbangan untuk membantu capaian
program prioritas pemerintah provinsi yang dilaksanakan sesuai
urusan yang menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota yang
tidak tersedia alokasi dananya.
(5) Bantuan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (4)
huruf d, dilakukan dalam rangka kerja sama maupun untuk tujuan
tertentu.
(6) Bantuan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

61
Draft 02062017

BAB V
PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH
Bagian Kesatu
Asas Umum

Pasal 106
(1) Keuangan Daerah dikelola secara tertib, taat pada ketentuan peraturan
perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan
bertanggung jawab dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan,
dan manfaat untuk masyarakat.
(2) APBD merupakan wujud pengelolaan keuangan Daerah.

Pasal 107
(1) APBD disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan Urusan
Pemerintahan Daerah dan kemampuan Pendapatan Daerah.
(2) Penyusunan APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berpedoman
pada RKPD.
(3) APBD, perubahan APBD, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD
setiap tahun ditetapkan dengan Perda.

Pasal 108
Semua Penerimaan Daerah dan Pengeluaran Daerah dalam tahun anggaran
yang bersangkutan dianggarkan dalam APBD.

Pasal 109
APBD mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi,
distribusi, dan stabilisasi.

Pasal 110
Tahun anggaran APBD sama dengan tahun anggaran APBN, yang meliputi
masa 1 (satu) tahun mulai tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31
Desember.

62
Draft 02062017

Bagian Kedua
Struktur APBD

Pasal 111
(1) APBD terdiri atas anggaran pendapatan, anggaran belanja, dan
pembiayaan.
(2) Pendapatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri atas PAD,
pendapatan transfer dan lain-lain Pendapatan Daerah yang sah.
(3) Belanja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), digunakan untuk
mendanai pelaksanaan Urusan Pemerintahan wajib dan Urusan
Pemerintahan pilihan dengan memprioritaskan pelaksanaan Urusan
Pemerintahan wajib yang terkait pelayanan dasar.
(4) Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri atas
penerimaan Pembiayaan dan pengeluaran Pembiayaan.

Pasal 112
(1) PAD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (2), meliputi :
a. Pajak Daerah;
b. Retribusi Daerah;
c. hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan
d. lain-lain PAD yang sah
(2) Pendapatan transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (2),
meliputi :
a. Transfer ke Daerah dan Dana Desa yang dialokasikan dari APBN;
dan
b. Transfer antar-Daerah.
(3) Lain-lain pendapatan Daerah yang sah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 111 ayat (2), meliputi pendapatan dari Hibah, dana darurat, dan
lain-lain pendapatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(4) Pendapatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (2),
dianggarkan dalam APBD berdasarkan perkiraan yang terukur secara

63
Draft 02062017

rasional dengan mempertimbangkan realisasi pendapatan tahun


sebelumnya, dan perkiraan Transfer ke Daerah dan Dana Desa yang
bersumber dari APBN setiap tahun.

Pasal 113
(1) Belanja sebagaimana dimaksud pada Pasal 111 ayat (3), dirinci
menurut organisasi, fungsi, dan jenis belanja.
(2) Belanja menurut organisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dialokasikan sesuai dengan satuan kerja Perangkat Daerah.
(3) Belanja menurut fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dialokasikan berdasarkan Urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangan Daerah untuk melaksanakan fungsi:
a. pelayanan umum;
b. ketertiban dan keamanan;
c. ekonomi;
d. lingkungan hidup;
e. perumahan dan fasilitas umum;
f. kesehatan;
g. pariwisata dan budaya;
h. agama;
i. pendidikan; dan
j. perlindungan sosial.
(4) Belanja menurut jenis belanja sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
terdiri dari:
a. belanja pegawai;
b. belanja barang dan jasa;
c. belanja modal;
d. bunga;
e. subsidi;
f. hibah;
g. bantuan sosial;
h. belanja bagi hasil;
i. bantuan keuangan; dan

64
Draft 02062017

j. belanja tidak terduga.

Pasal 114
(1) Penerimaan Pembiayaan Daerah sebagaimana dimaksud pada Pasal
111 ayat (4), bersumber dari:
a. SiLPA;
b. pencairan dana cadangan;
c. hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan;
d. penerimaan Pinjaman Daerah; dan/atau
e. penerimaan Pembiayaan lainnya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Pengeluaran Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat
(4), dapat digunakan untuk :
a. pembayaran cicilan pokok utang yang jatuh tempo;
b. penyertaan modal Daerah;
c. pembentukan dana cadangan;
d. pemberian pinjaman; dan/atau (masukkan dalam penjelasan
termasuk obligasi)
e. pengeluaran Pembiayaan lainnya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 115
(1) Dalam hal APBD diperkirakan surplus, dapat digunakan untuk
pengeluaran Pembiayaan.
(2) Dalam hal APBD diperkirakan defisit, dapat dibiayai dari penerimaan
Pembiayaan.
(3) Penggunaan surplus APBD dan sumber-sumber untuk menutup defisit
APBD ditetapkan dalam Perda tentang APBD.

Bagian Ketiga
Perencanaan dan Penganggaran

Pasal 116

65
Draft 02062017

(1) Dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Pemerintah


Daerah menyusun RKPD berpedoman pada Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan mengacu pada Rencana Kerja
Pemerintah (RKP) sebagai satu kesatuan dalam sistem perencanaan
pembangunan nasional.
(2) RKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disusun dengan
pendekatan berbasis program melalui penganggaran berbasis kinerja.
(3) RKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan dasar
penyusunan rancangan KUA dan PPAS.
(4) Berdasarkan KUA dan PPAS sebagaimana dimaksud pada ayat (3,
disusun RKA satuan kerja Perangkat Daerah.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan RKA satuan
kerja Perangkat Daerah diatur dalam Perda mengenai pengelolaan
keuangan Daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 117
(1) KUA dan PPAS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (2),
diajukan Kepala Daerah untuk dibahas bersama dengan DPRD.
(2) Pembahasan KUA dan PPAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dilakukan oleh tim anggaran Pemerintah Daerah dengan badan
anggaran DPRD.
(3) Hasil pembahasan KUA dan PPAS sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), dituangkan dalam nota kesepakatan yang ditandatangani oleh
Kepala Daerah dan pimpinan DPRD.

Pasal 118
(1) KUA dan PPAS yang telah disepakati Kepala Daerah bersama DPRD,
menjadi pedoman satuan kerja Perangkat Daerah dalam menyusun
RKA satuan kerja Perangkat Daerah.
(2) RKA satuan kerja Perangkat Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), disampaikan kepada pejabat pengelola keuangan Daerah sebagai
bahan penyusunan rancangan Perda tentang APBD tahun berikutnya.

66
Draft 02062017

Pasal 119
(1) RKA satuan kerja Perangkat Daerah disusun dengan pendekatan
prestasi kerja yang akan dicapai dan disesuaikan dengan tugas dan
fungsi satuan kerja Perangkat Daerah.
(2) RKA satuan kerja Perangkat Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), disertai dengan perkiraan belanja untuk tahun berikutnya.

Pasal 120
(1) Kepala Daerah wajib mengajukan rancangan Perda tentang APBD
disertai penjelasan dan dokumen pendukungnya kepada DPRD sesuai
waktu yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.
(2) Rancangan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dibahas
bersama antara Kepala Daerah dan DPRD dalam rangka mendapatkan
persetujuan.
(3) Rancangan APBD yang telah disetujui bersama oleh Kepala Daerah dan
DPRD ditetapkan menjadi Perda tentang APBD.
(4) Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri
melakukan evaluasi terhadap rancangan Perda provinsi tentang APBD
dan rancangan peraturan gubernur tentang penjabaran APBD.
(5) Gubernur sebagai wakil Pemerintah melakukan evaluasi terhadap
rancangan Perda kabupaten/kota tentang APBD dan rancangan
peraturan bupati/walikota tentang penjabaran APBD.
(6) Dalam melakukan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5),
gubernur memperhatikan sinkronisasi program/kegiatan antar
kabupaten/kota dan antara kabupaten/kota dan provinsi.
(7) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5), dilakukan
sesuai peraturan perundang-undangan.

Bagian Keempat
Pelaksanaan dan Penatausahaan

Pasal 121

67
Draft 02062017

(1) Semua Penerimaan Daerah dan Pengeluaran Daerah dilakukan melalui


RKUD yang dikelola oleh bendahara umum Daerah.
(2) Dalam hal Penerimaan Daerah dan Pengeluaran Daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), tidak dilakukan melalui RKUD, dilakukan
pencatatan dan pengesahan oleh bendahara umum Daerah.
(3) Setiap pengeluaran atas beban APBD diterbitkan dokumen
pelaksanaan anggaran dan surat penyediaan dana atau dokumen lain
yang dipersamakan dengan surat penyediaan dana oleh pejabat
pengelola keuangan Daerah selaku bendahara umum Daerah.
(4) Pengeluaran tidak dapat dibebankan pada anggaran belanja Daerah
jika anggaran untuk pengeluaran tersebut tidak tersedia atau tidak
cukup tersedia dalam APBD.
(5) Kepala Daerah, dan Perangkat Daerah dilarang melakukan
pengeluaran atas beban anggaran belanja Daerah untuk tujuan lain
dari yang telah ditetapkan dalam APBD.

Pasal 122
(1) Pengeluaran atas beban APBD dalam satu tahun anggaran hanya
dapat dilaksanakan setelah APBD tahun anggaran yang bersangkutan
ditetapkan dalam Perda.
(2) Apabila Kepala Daerah dan DPRD tidak mengambil persetujuan
bersama terhadap rancangan APBD paling lambat satu bulan sebelum
dimulainya tahun anggaran, Kepala Daerah menyusun dan
menetapkan peraturan Kepala Daerah tentang APBD setinggi-tingginya
sebesar angka APBD tahun anggaran sebelumnya.
(3) Pengguna anggaran melaksanakan kegiatan sesuai dengan dokumen
pelaksanaan anggaran yang telah disahkan.
(4) Pembayaran atas tagihan yang dibebankan APBD dilakukan oleh
bendahara sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 123
(1) Daerah dapat membentuk dana cadangan.

68
Draft 02062017

(2) Pembentukan dana cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),


ditetapkan dengan Perda.
(3) Dana cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat bersumber
dari penyisihan atas Penerimaan Daerah, kecuali dari Dana Transfer
Khusus dan Pinjaman Daerah.
(4) Penggunaan dana cadangan dalam satu tahun anggaran menjadi
penerimaan Pembiayaan APBD dalam tahun anggaran yang
bersangkutan.

Pasal 124
(1) Dana cadangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat (1),
ditempatkan pada rekening tersendiri dalam RKUD.
(2) Dalam hal dana cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), belum
digunakan sesuai dengan peruntukannya, dana tersebut dapat
ditempatkan dalam portofolio yang memberikan hasil tetap dengan
risiko rendah.

Pasal 125
(1) Dalam keadaan darurat, Pemerintah Daerah dapat melakukan
pengeluaran yang belum tersedia anggarannya.
(2) Pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditampung dalam
rancangan perubahan APBD dan/atau disampaikan dalam laporan
keuangan Pemerintah Daerah.
(3) Keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit
memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. bukan merupakan kegiatan normal dari aktivitas Pemerintah
Daerah dan tidak dapat diprediksikan sebelumnya;
b. tidak diharapkan terjadi secara berulang;
c. berada di luar kendali dan pengaruh Pemerintah Daerah; dan
d. memiliki dampak yang signifikan terhadap anggaran dalam rangka
pemulihan yang disebabkan oleh keadaan darurat.

Pasal 126

69
Draft 02062017

(1) Perubahan APBD ditetapkan paling lama 3 (tiga) bulan sebelum


berakhirnya tahun anggaran.
(2) Perubahan APBD hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali dalam 1 (satu)
tahun anggaran, kecuali dalam keadaan luar biasa.
(3) Keadaan luar biasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2), adalah
keadaan yang menyebabkan estimasi penerimaan dan/atau
pengeluaran dalam APBD mengalami kenaikan atau penurunan lebih
besar dari 50% (lima puluh persen).

Pasal 127
(1) Pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran, bendahara
penerimaan/pengeluaran dan orang atau badan yang menerima atau
menguasai uang/barang/kekayaan daerah, wajib menyelenggarakan
penatausahaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Pejabat yang menandatangani dan/atau mengesahkan dokumen yang
berkaitan dengan surat bukti yang menjadi dasar pengeluaran atas
beban APBD bertanggung jawab atas kebenaran material dan akibat
yang timbul dari penggunaan surat bukti dimaksud.

Bagian Kelima
Pelaporan dan Pertanggungjawaban

Pasal 128
(1) Kepala Daerah menyampaikan rancangan Perda tentang
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD dengan
dilampiri laporan keuangan yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa
Keuangan paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran
berakhir.
(2) Laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit
memuat:
a. laporan realisasi anggaran;
b. laporan perubahan saldo anggaran lebih;

70
Draft 02062017

c. neraca;
d. laporan operasional;
e. laporan arus kas;
f. laporan perubahan ekuitas;
g. catatan atas laporan keuangan; dan
h. ikhtisar laporan keuangan BUMD.
(3) Bentuk dan isi laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), disusun dan
disajikan sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan.

Bagian Keenam
Pengawasan dan Pemeriksaan

Pasal 129
(1) Pengawasan APBD dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Pemeriksaan APBD dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang pemeriksaan, pengelolaan, dan
pertanggungjawaban Keuangan Negara.

Bagian Ketujuh
Pengendalian APBD

Pasal 130
(1) Menteri menetapkan batas maksimal kumulatif defisit APBD dan batas
maksimal defisit APBD yang dibiayai dari Pinjaman Daerah paling lama
bulan Agustus tahun anggaran berjalan, dengan memperhatikan
keadaan dan perkembangan perekonomian nasional.
(2) Jumlah kumulatif defisit APBD yang dibiayai dari Pinjaman Daerah
dan defisit APBN, tidak melebihi 3% (tiga persen) dari perkiraan produk
domestik bruto tahun anggaran berkenaan.
(3) Jumlah kumulatif pinjaman Pemerintah dan Pinjaman Pemerintah
Daerah tidak melebihi 60% dari perkiraan Produk Domestik Bruto.

71
Draft 02062017

Pasal 131
(1) Pemerintah Daerah dilarang memiliki uang kas, setara kas, dan/atau
simpanan dalam jumlah tidak wajar.
(2) Bagi Daerah yang memiliki uang kas dan/atau simpanan dalam
jumlah tidak wajar, Pemerintah dapat melakukan konversi penyaluran
DBH dan/atau DAU dalam bentuk nontunai.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai konversi penyaluran DAU dan/atau
DBH sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diatur dengan peraturan
Menteri.
Bagian Kedelapan
Pengalokasian Dana APBD kepada Badan Usaha Milik Daerah

Pasal 132
(1) Dalam rangka memenuhi kewajiban dalam penyediaan pelayanan
publik (Public Service Obligations/PSO) yang ditugaskan oleh
Pemerintah Daerah, Pemerintah Daerah dapat memberikan pinjaman
kepada BUMD.
(2) Pemberian pinjaman kepada BUMD sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), diberikan setelah mendapat persetujuan DPRD.
(3) Pemberian pinjaman kepada BUMD sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dapat dilakukan melalui mekanisme penerusan pinjaman luar
negeri.
(4) Pemberian pinjaman kepada BUMD sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dilakukan sesuai dengan rencana bisnis dan rencana keuangan
atas penggunaan pinjaman.
(5) Pemberian pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan
dengan memperhatikan:
a. kemampuan keuangan Daerah;
b. kemampuan teknis dan manajerial BUMD untuk melaksanakan
penugasan; dan
c. kemampuan keuangan BUMD untuk mengembalikan pinjaman
tepat waktu.

72
Draft 02062017

(6) Dalam hal BUMD tidak dapat memenuhi kewajiban pembayaran


kembali pinjaman, Pemerintah Daerah dapat melakukan
restrukturisasi pinjaman melalui penjadwalan kembali tunggakan
pembayaran pinjaman yang disesuaikan dengan kemampuan
keuangan BUMD.
(7) Dalam hal BUMD tidak dapat memenuhi kewajiban membayar kembali
pinjaman setelah dilakukan restrukturisasi pinjaman sebagaimana
dimaksud pada ayat (6), Pemerintah Daerah dapat mengalihkan
pinjaman tersebut menjadi penyertaan modal Daerah.
(8) Pemberian pinjaman dituangkan dalam perjanjian pinjaman.
(9) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara, dan
mekanisme pemberian pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 133
(1) Dalam rangka peningkatan kapasitas lembaga nonpemerintah/BUMD,
Pemerintah Daerah dapat memberikan Hibah kepada lembaga
nonpemerintah/BUMD.
(2) Pemberian Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan
setelah mendapat persetujuan DPRD.
(3) Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat berbentuk uang,
barang, dan/atau jasa.
(4) Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dituangkan dalam
perjanjian Hibah yang ditandatangani oleh pemberi dan penerima
Hibah.
(5) Penerima Hibah menyampaikan laporan perkembangan pelaksanaan
kegiatan sesuai dengan perjanjian Hibah sebagaimana dimaksud pada
ayat (4).
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan, pelaporan, dan
pertanggungjawaban Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 134

73
Draft 02062017

(1) Dalam rangka peningkatan kapasitas lembaga nonpemerintah/BUMD,


Pemerintah Daerah dapat memberikan subsidi kepada BUMD.
(2) Pemberian subsidi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan
setelah mendapat persetujuan DPRD.
(3) Pemberian subsidi kepada BUMD sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dilakukan dengan kriteria:
a. seluruh modalnya dimiliki oleh Pemerintah Daerah; dan
b. menyelenggarakan penyediaan barang dan/atau jasa bagi
pemenuhan hajat hidup orang banyak yang bersifat lokal dan
tidak diselenggarakan oleh Pemerintah.
(4) Subsidi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan apabila
Pemerintah Daerah menetapkan tarif barang dan/atau jasa di bawah
biaya produksi rata-rata.
(5) Subsidi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan setelah
dilakukan audit khusus terhadap efisiensi biaya produksi.
(6) Subsidi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dianggarkan dalam
APBD.

Pasal 135
(1) Pemerintah Daerah dapat melakukan penyertaan modal kepada BUMD
yang ditetapkan dalam Perda.
(2) Penyertaan modal kepada BUMD sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
diprioritaskan untuk badan usaha yang menyelenggarakan penyediaan
barang dan/atau jasa bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak.
(3) Penyertaan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan
dalam rangka pendirian atau penambahan modal.
(4) Penambahan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan
dalam rangka memperbaiki struktur permodalan dan/atau
meningkatkan kapasitas usaha.
(5) Penyertaan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan
dalam APBD.

Bagian Kesembilan

74
Draft 02062017

Pengalokasian Dana APBD Dalam Rangka Kerjasama Antara Pemerintah


Daerah dengan Pihak Ketiga dan Lembaga/Pemerintah Daerah
di Luar Negeri

Pasal 136
(1) Dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan
Urusan Pemerintahan Daerah, Pemerintah Daerah dapat
melaksanakan Kerja sama dengan Pihak Ketiga dan
Lembaga/Pemerintah Daerah di Luar Negeri.
(2) Biaya pelaksanaan kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibebankan pada APBD masing-masing Daerah yang bersangkutan.

Pasal 137
(1) Kerja sama Daerah dengan Pihak Ketiga sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 136 ayat (1), meliputi:
a. kerja sama dalam penyediaan pelayanan publik;
b. kerja sama dalam pengelolaan aset untuk meningkatkan nilai
tambah yang memberikan pendapatan bagi Daerah;
c. kerja sama investasi; dan
d. kerja sama lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(2) Kerja sama Daerah dengan Pihak Ketiga sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), dituangkan dalam kontrak kerja sama yang paling sedikit
mengatur:
a. hak dan kewajiban para pihak;
b. jangka waktu kerja sama;
c. penyelesaian perselisihan; dan
d. sanksi bagi pihak yang tidak memenuhi perjanjian.
(3) Kerja sama Daerah dengan Pihak Ketiga sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), harus didahului dengan uji tuntas yang dilakukan oleh para
pihak yang melakukan kerja sama.

Pasal 138

75
Draft 02062017

(1) Kerja sama dengan lembaga atau pemerintah daerah di luar negeri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 135 ayat (1), dilakukan dalam
rangka:
a. pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
b. pertukaran budaya;
c. peningkatan kemampuan teknis dan manajemen pemerintahan;
d. promosi potensi Daerah; dan
e. kerja sama lainnya yang tidak bertentangan dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan
negara yang mempunyai hubungan diplomatik dengan Republik
Indonesia setelah mendapatkan persetujuan menteri yang membidangi
urusan luar negeri dan menteri yang menangani urusan pemerintahan
dalam negeri.
(3) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 139
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara, mekanisme, pelaporan, dan
pertanggungjawaban kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 135,
diatur dalam Peraturan Pemerintah.

BAB VI
SISTEM INFORMASI KEUANGAN DAERAH
Bagian Kesatu
Penyelenggaraan Sistem Informasi Keuangan Daerah

Paragraf 1
Penyelenggaraan Sistem Informasi Keuangan Daerah Secara Nasional

Pasal 140
(1) Pemerintah menyelenggarakan SIKD secara nasional, dengan tujuan:

76
Draft 02062017

a. membantu Pemerintah dalam merumuskan kebijakan keuangan


Daerah dan pengendalian fiskal nasional;
b. menyusun konsolidasi laporan keuangan Pemerintah Daerah
secara nasional;
c. menyajikan informasi keuangan Daerah secara nasional;
d. membantu Pemerintah dalam melakukan pemantauan dan
evaluasi pendanaan Desentralisasi, dan tugas pembantuan; dan
e. membantu Pemerintah melakukan evaluasi pengelolaan keuangan
Daerah.
(2) Pemerintah dapat mengembangkan sistem informasi dan teknologi
komunikasi data untuk mendukung penyelenggaraan SIKD secara
nasional yang dapat digunakan oleh Pemerintah Daerah.
(3) Penyelenggaraan SIKD secara nasional sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), dilakukan oleh Menteri.

Pasal 141
SIKD secara nasional diselenggarakan oleh Menteri sebagaimana dimaksud
pada Pasal 139 ayat (3), mempunyai fungsi:
a. penyusunan standar informasi keuangan Daerah;
b. penyajian informasi keuangan Daerah kepada masyarakat;
c. penyiapan rumusan kebijakan teknis penyajian informasi;
d. penyiapan rumusan tata kelola dan kebijakan teknis di bidang
teknologi pengembangan SIKD;
e. pembangunan, pengembangan dan pemeliharaan SIKD;
f. pembakuan SIKD yang meliputi prosedur, pengkodean, infrastruktur
pendukung, aplikasi dan pertukaran informasi; dan
g. pengkoordinasian jaringan komunikasi data dan pertukaran informasi
antar instansi Pemerintah.

Paragraf 2
Penyelenggaraan Sistem Informasi Keuangan Daerah di Daerah

Pasal 142

77
Draft 02062017

Pemerintah Daerah menyelenggarakan SIKD di daerahnya masing-masing.

Pasal 143
Penyelenggaraan SIKD di Daerah mempunyai tujuan:
a. membantu Kepala Daerah dalam menyusun perencanaan,
penganggaran, pelaksanaan anggaran termasuk penerimaan, dan
pengeluaran serta pelaporan dan pertanggungjawaban pengelolaan
keuangan Daerah;
b. membantu Kepala Daerah dalam merumuskan kebijakan keuangan
Daerah;
c. membantu Kepala Daerah dan instansi terkait lainnya dalam melakukan
evaluasi kinerja keuangan Daerah;
d. membantu menyediakan kebutuhan statistik keuangan Daerah;
e. mendukung konsolidasi laporan keuangan pusat dan Daerah;
f. mendukung keterbukaan informasi kepada masyarakat; dan
g. mendukung penyediaan informasi keuangan Daerah yang dibutuhkan
dalam SIKD secara nasional.

Pasal 144
Penyelenggaraan SIKD di Daerah, meliputi:
a. pembangunan, pengembangan dan pemeliharaan SIKD;
b. penyajian informasi perencanaan anggaran, laporan pelaksanaan
anggaran, dan laporan pertanggungjawaban anggaran;
c. penyajian informasi keuangan Daerah melalui situs resmi Pemerintah
Daerah;
d. penyediaan data dan informasi dalam rangka mendukung SIKD secara
nasional;
e. penerapan tata kelola dan pembakuan SIKD sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 140 huruf d dan huruf f.

Bagian Kedua
Penyediaan Informasi Keuangan Daerah

78
Draft 02062017

Pasal 145
(1) Pemerintah Daerah wajib menyediakan informasi keuangan Daerah.
(2) Informasi Keuangan Daerah yang disampaikan harus memenuhi
prinsip-prinsip akurat, relevan, tepat waktu, dan dapat
dipertanggungjawabkan.
(3) Informasi keuangan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
sedikit meliputi informasi anggaran, laporan pelaksanaan anggaran, dan
laporan pertanggungjawaban anggaran.
(4) Informasi anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi Perda
APBD, Perda Perubahan APBD, dan Peraturan Kepala Daerah mengenai
penjabaran APBD.
(5) Informasi pelaksanaan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
paling sedikit meliputi laporan realisasi APBD secara bulanan dan
semesteran, termasuk posisi kas daerah dan perkiraan kebutuhan dan
realisasi APBD bulan kedepan.
(6) Informasi laporan pertanggungjawaban anggaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) paling sedikit meliputi Perda laporan
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, neraca Daerah, laporan arus
kas, laporan keuangan pemerintah Daerah berbasis akrual, dan catatan
atas laporan keuangan.
(7) Informasi keuangan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat
diakses oleh masyarakat.

Pasal 146
(1) Kepala Daerah menyampaikan informasi keuangan Daerah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 144 ayat (3) kepada Menteri dan Menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri.
(2) Selain informasi keuangan sebagaimana dimaksud pada Pasal 144 ayat
(3), Kepala Daerah menyampaikan informasi kepada Menteri mengenai
data ekonomi dan sosial yang terkait hasil dan dampak dari pengelolaan
keuangan Daerah.

Pasal 147

79
Draft 02062017

Kepala Daerah yang terlambat atau tidak menyampaikan informasi


keuangan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145, dikenakan
sanksi administratif berupa penundaan penyaluran Dana Transfer Umum
dan/atau sanksi administratif lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 148
Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem informasi keuangan Daerah diatur
dalam Peraturan Pemerintah.

BAB VII
PEMANTAUAN DAN EVALUASI

Pasal 149
(1) Pemantauan dan evaluasi, dilakukan terhadap:
a. pelaksanaan Transfer ke Daerah dan Dana Desa; dan
b. pengelolaan keuangan Daerah.
(2) Pemantauan dan evaluasi Transfer ke Daerah dan Dana Desa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, paling sedikit dilakukan
terhadap:
a. pagu alokasi;
b. realisasi penyaluran;
c. realisasi penyerapan;
d. kesesuaian penggunaan;
e. pencapaian target keluaran; dan
f. pencapaian target hasil.
(3) Pemantauan dan evaluasi pengelolaan keuangan Daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b, paling sedikit dilakukan terhadap:
a. Pendapatan Daerah;
b. Belanja Daerah; dan
c. Pembiayaan Daerah.
(4) Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dilakukan oleh Menteri.

80
Draft 02062017

Pasal 150
(1) Dalam rangka pemantauan dan evaluasi terhadap Transfer ke Daerah
untuk jenis Dana Transfer Khusus, Menteri berkoordinasi dengan
menteri/pimpinan lembaga Pemerintah nonkementerian terkait.
(2) Dalam rangka pemantauan dan evaluasi terhadap Dana Desa, Menteri
berkoordinasi dengan menteri/pimpinan lembaga Pemerintah
nonkementerian terkait.
(3) Dalam rangka pemantauan dan evaluasi Dana Transfer Khusus
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menteri/pimpinan lembaga
Pemerintah nonkementerian dapat menugaskan Gubernur sebagai
wakil Pemerintah di daerah dan/atau instansi Pemerintah yang ada di
Daerah.
(4) Hasil pemantauan dan evaluasi Dana Transfer Khusus dan Dana Desa
dapat dijadikan sebagai dasar kebijakan Dana Transfer Khusus dan
Dana Desa tahun berikutnya.

Pasal 151
(1) Berdasarkan hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud
pada Pasal 149 ayat (4), Menteri dapat melakukan pemeringkatan
kesehatan fiskal Daerah.
(2) Pemeringkatan kesehatan fiskal Daerah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), dilakukan berdasarkan kinerja kesehatan keuangan daerah,
kinerja pelayanan dasar publik, dan kinerja kesejahteraan.
(3) Selain berdasarkan data pada SIKD, pemeringkatan kesehatan fiskal
Daerah dapat menggunakan data ekonomi dan sosial dari instansi
yang berwenang.
(4) Pemeringkatan kesehatan fiskal Daerah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), dapat digunakan sebagai dasar:
a. pengalokasian DID;
b. peningkatan kapasitas pengelolaan fiskal Daerah; dan/atau
c. pertimbangan alokasi Transfer ke Daerah.

81
Draft 02062017

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemeringkatan kesehatan fiskal


Daerah diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 152
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemantauan dan evaluasi diatur dalam
Peraturan Pemerintah.

BAB VIII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 153
(1) Dalam rangka mengamankan penerimaan Negara, Pemerintah dapat
memungut pajak pusat melalui pemotongan Transfer ke Daerah dan
Dana Desa.
(2) Pemotongan Transfer ke Daerah dan Dana Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai uang muka setoran pajak.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran pemotongan dan tata cara
memungut pajak pusat melalui pemotongan Transfer ke Daerah dan
Dana Desa diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 154
(1) Dalam hal terjadi sengketa antara Pemerintah Daerah dengan
pemegang izin yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah, maka segala
kewajiban yang timbul dari sengketa tersebut, baik dalam bentuk uang
maupun bukan uang menjadi beban Pemerintah Daerah yang
bersangkutan.
(2) Pemegang izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
perusahaan asing/multi nasional.
(3) Dalam hal Pemerintah Daerah tidak melaksanakan kewajiban dalam
bentuk uang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka Pemerintah
dapat mengambil alih kewajiban dimaksud.

82
Draft 02062017

(4) Kewajiban dalam bentuk uang yang diambil alih oleh Pemerintah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diperhitungkan dengan cara
memotong Dana Transfer Umum sebesar kewajiban yang seharusnya
dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah yang bersangkutan.
(5) Pemotongan Dana Transfer Umum sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) dapat dilakukan secara sekaligus atau bertahap.

BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 155
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua Peraturan Perundang-
undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor
126, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4438), dinyatakan masih tetap
berlaku sepanjang belum diganti dan tidak bertentangan dengan ketentuan
dalam Undang-Undang ini.

Pasal 156
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4438);
b. Pasal 66A sampai dengan Pasal 66D Undang-Undang Nomor 11 Tahun
1995 tentang Cukai (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 76,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3613) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai (Lembaran
Negara Tahun 2007 Nomor 105, Tambahan Lembaran Negara Nomor
4738);
c. Pasal 72 ayat (4) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
(Lembaran negara Tahun 2014 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 5495);

83
Draft 02062017

dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 157
Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini ditetapkan paling lama 2
(dua) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku.

Pasal 158
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 20…

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-


Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal…
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN… NOMOR

84

Anda mungkin juga menyukai