Anda di halaman 1dari 4

Soal Tugas Tutorial 2

Nama : Fathur Husain Otta Dhaulagiri


NIM : 044723188

Pajak Daerah di Indonesia: Antara Close List dan Open List System

Pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia menemukan momentumnya pada masa


reformasi, yakni dengan disahkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah. Undang-undang ini merupakan pintu gerbang reformasi di bidang
birokrasi dan ekonomi. Dengan berlakunya undang-undang ini, pemerintah daerah diberikan
kesempatan untuk mengambil tanggung jawab yang lebih besar dalam pelayanan umum kepada
masyarakat serta mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.

Alokasi keuangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah merupakan konsekuensi logis
dari desentralisasi sistem pemerintahan yang dipilih oleh pemerintah. Di mana dalam
desentralisasi pemerintahan menghendaki adanya pemberian otonomi yang luas kepada
pemerintahan di daerah atau lokal untuk dapat mengelola sendiri sebagian urusannya.

Penyerahan urusan pemerintahan kepada daerah otomatis akan diiringi dengan penyerahan
sumber keuangan daerah baik berupa pajak daerah dan retribusi daerah maupun berupa dana
perimbangan untuk menjalankan urusan pemerintahan daerah yang menjadi kewenangannya.
Oleh karenanya daerah harus mempunyai sumber keuangan agar mampu memberikan
pelayanan dan kesejahteraan kepada rakyat di daerahnya.

Sumber-sumber pendanaan pelaksanaan pemerintahan daerah terdiri atas pendapatan asli


daerah, dana perimbangan, pinjaman daerah, dan lain-lain pendapatan yang sah.

Pendapatan asli daerah merupakan pendapatan daerah yang bersumber dari hasil pajak daerah,
hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain
pendapatan asli daerah yang sah. Tujuannya adalah untuk memberikan keleluasaan kepada
daerah dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai perwujudan
asas desentralisasi.

Dalam skema pengelolaan pajak daerah di Indonesia, pengaturan induknya ada di tingkat
undang-undang, yaitu Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah (UU PDRD). Ini artinya, penetapan pajak berdasarkan undang-undang
diselaraskan dengan konstitusi negara yaitu UUD 1945. Hal ini bermakna bahwa timbulnya
pajak-pajak dan/atau pungutan lain hanya boleh ditetapkan berdasarkan undang-undang saja,
tidak boleh dengan peraturan lain.

Adam Smith’s Canon telah memberikan panduan dalam menyusun perundang-undangan pajak.
Ada syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam menyusun undang-undang pajak, yaitu:
a. Syarat yuridis, syarat ini mengharuskan undang-undang pajak yang normatif harus
memberikan kepastian hukum dan keadilan di bawah prinsip equality dan equity.
b. Syarat ekonomis, pajak merupakan peralihan kekayaan dari rakyat kepada penguasa
tanpa imbalan yang secara langsung dapat ditunjuk. Pajak dijadikan sebagai instrumen
ekonomi negara yang harus dikelola secara hati-hati oleh pemerintah.
c. Syarat finansial, pajak dipungut untuk mengisi anggaran keuangan negara.
d. Syarat sosiologis, pajak adalah gejala sosial, hanya ada dalam masyarakat. Untuk itu
pajak harus dipungut sesuai dengan kebutuhan masyarakat serta memperhatikan
keadaan dan situasi masyarakat.
Sepanjang sejarah berlakunya pajak-pajak daerah di Indonesia, telah pernah dipraktikkan open
list system maupun close list system secara bergantian.

Pemerintah Indonesia tampaknya menyadari suatu paradigma besar dibalik euforia pemberian
otonomi luas kepada daerah. Kesadaran ini adalah kepentingan nasional yang lebih besar harus
lebih diutamakan daripada semangat kedaerahan yang cenderung partisan. Serta pada
kenyataannya daerah-daerah tersebut eksis dan menyatu membentuk wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Hal ini akan berarti bahwa apapun keadaan daerah-daerah itu akan
merepresentasikan wajah Indonesia.

Kesadaran inilah yang menjadi spirit dari pemberlakuan UU PDRD, Undang-undang No. 28
Tahun 2009. UU PDRD dirancang sebagai payung hukum bagi pelaksanaan pajak daerah di
Indonesia. Undang-undang ini membatasi jenis-jenis pajak apa saja yang boleh berlaku di
daerah otonom.

UU PDRD yang merombak prinsip-prinsip dalam ketentuan sebelumnya juga ingin


memperluas objek pajak daerah. Ini dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan pelayanan
kepada masyarakat dan kemandirian daerah. UU PDRD menetapkan lima jenis pajak untuk
provinsi dan 11 jenis pajak untuk kabupaten/ kota. Meningkat dari sebelumnya yang ada empat
jenis pajak provinsi dan tujuh jenis pajak kabupaten/kota.
Namun, UU PDRD menutup sama sekali inovasi daerah untuk menambah sendiri jenis pajak
yang baru. Dengan kata lain, pemerintah sekarang menerapkan close list system. UU hanya
memberikan diskresi kepada daerah dalam hal menetapkan tarif pajak yang berlaku. Itupun
dengan batasan ketat yang telah diatur oleh pemerintah.
Bahkan UU PDRD juga mengatur lebih lanjut detail substansi dan mekanisme pemungutan
setiap jenis pajak daerah. Hal ini mudah dipahami mengingat aspek kepastian hukum dan
harmonisasi berbagai pungutan di daerah harus menjadi prioritas dan tidak boleh menjadi
faktor penghambat kegiatan ekonomi dan investasi di daerah yang notabene masih wilayah
NKRI.
Pemerintah telah memperhitungkan dengan cermat perkembangan global dan posisi Indonesia
saat ini. Sebagai negara yang sedang mengejar daya saing, Indonesia masih membutuhkan
banyak investasi dari luar guna memacu pertumbuhan ekonomi lebih cepat lagi. Oleh karena
itu segala hal yang dapat menghambat masuknya investasi perlu dikurangi bahkan dihilangkan.
Salah satu dari hambatan investasi itu adalah kebijakan perpajakan yang berlaku. Penilaian dari
investor luar mengenai faktor-faktor penentu kemudahan berusaha sekarang ini bukan lagi
dilakukan dengan cara membandingkan negara per negara, tetapi sudah masuk sampai ke kota-
kotanya. Oleh karena itu, perbaikan iklim investasi di tingkat nasional tidak akan berarti apa-
apa tanpa membenahi hambatan-hambatan yang ada di daerah.
Laporan Doing Business dari Bank Dunia (World Bank) mengenai profil ekonomi Indonesia
tahun 2019 dan 2020 seolah mengonfirmasi argumentasi di atas. Disebutkan bahwa peringkat
daya siang Indonesia dalam kemudahan bisnis tidak beranjak dari posisi 73 dari 190 negara.
Tetapi, perolehan skornya justru meningkat tipis dari 67,9 ke 69,6. Menariknya, aspek
perpajakannya menunjukkan perbaikan peringkat, naik dari 112 menjadi 81 dari 190 negara.
Tentu capaian ini tak terlepas dari upaya pemerintah dan segenap stakeholder yang telah
bekerja keras memperbaiki regulasi dan sistem perpajakan, baik di pusat maupun daerah.
Di mana kebijakan pajak daerah yang diberlakukan di seluruh wilayah Indonesia haruslah
memperhatikan keseragaman, keselarasan, pembatasan, dan standardisasi baik dalam hal
penentuan objek, subjek, wajib pajak, tarif dan dasar pengenaan pajaknya, serta dalam hal
teknis pemungutan, pembayaran, pengawasan, pemberian sanksi, dan pemanfaatan/alokasinya.

Sumber: https://yoursay.suara.com/news/2020/11/28/191431/pajak-daerah-di-indonesia-
antara-close-list-dan-open-list-system
1. Bagaimana keterkaitan antara otonomi daerah dengan desentralisasi fiskal dan
pemungutan pajak daerah?

2. Apa hal-hal yang melatarbelakangi perubahan kebijakan pemerintah mengenai


pergantian dari open list system menjadi close list system?

3. Apa yang dimaksud dengan open list system dan close list system?

Jawaban:
1. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat, hal ini merupakan
salah satu bentuk pelimpahan kewenangan dari presiden selaku kepala pemerintahan.
Salah satu konsekuensi dari otonomi daerah adalah pelaksanaan desentralisasi fiskal
dimana terjadi penyerahan kewenangan fiskal dari pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah berupa pelimpahan wewenang untuk melakukan pengurusan fiskal. Instrumen
dalam desentralisasi fiskal berupa:
 Revenue sharing, yaitu pembagian sebagian penerimaan pemerintah pusat kepada
daerah berupa Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, dan
dalam bentuk pembagian dana-dana lainnya.
 Fiscal Sharing, yaitu pembagian kewenangan memungut pajak (Pajak Daerah) dan
belanja kepada pemerintah daerah.
 Pemberian Subsidi (Grants) kepada pemerintah daerah.
Instrument-instrumen desentralisasi fiskal tersebut merupakan bentuk pelaksanaan
prinsip “Money Follows Function”

2. Hal yang melatarbelakangi perubahan kebijakan pemerintah dari open list system
menjadi close list system dalam pemungutan pajak daerah adalah kekhawatiran akan
pajak daerah yang dipungut kurang tepat sasaran dan akan berdampak negatif terhadap
pertumbuhan ekonomi, dimana Indonesia sebagai negara berkembang, saat ini masih
sangat membutuhkan investasi dari berbagai pihak khususnya dari luar negeri.
Sehingga segala hal yang dapat menghambat masuknya investasi perlu dihambat atau
dihilangkan, salah satunya adalah pajak daerah. Sehingga pemerintah perlu mengganti
kebijakan dari open list system menjadi close list system, dimana pemerintah daerah
tidak memiliki wewenang untuk menetapkan jenis pajak baru selain yang sudah
ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan karena dikhawatirkan berbagai jenis
pajak daerah baru tersebut dapat menghambat kemudahan berusaha investor, sehingga
dengan close list system diharapkan iklim investasi tetap terjaga dan pertumbuhan
ekonmi indonesia dapat naik.
Selain itu, mengubah dari open list system menjadi close list system untuk memenuhi
aspek keadilan dan kemampuan masyarakat, karena dengan menerapkan close list
system maka jenis pajak daerah yang dikenakan terhadap masyarakat diseluruh wilayah
Indonesia sama sesuai dengan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.

3. Open List System adalah sistem dimana pemerintah provinsi dan kabupaten/kota
dapat menetapkan dan memungut jenis pajak baru di luar objek yang telah ditentukan
dalam peraturan perundang-undangan.
Close List system adalah sistem dimana pemerintah provinsi dan kabupaten/kota
dilarang memungut pajak daerah selalin jenis pajak yang telah disebutkan dan
ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.

Anda mungkin juga menyukai