Anda di halaman 1dari 3

TUGAS 1 HUKUM AGRARIA

Nama : Fathur Husain Otta Dhaulagiri

NIM : 044723188

Soal

1. Bagaimanakah sengketa pertanahan antara Sukawi dengan Tan Yangky Tanuputra dapat terjadi?
2. Bagaimana prosedur administrasi dalam permohonan hak atas tanah?

Jawab

1. Sengketa pertanahan anatara Sukawi dan Tan Yangky Tanuputra terjadi karena adanya kepemilikan
sertifikat ganda atas objek tanah yang sama yaitu tanah seluas 675m2 di Bendan Ngisor, Semarang.
Sukawi mempunyai bukti kepemilikan tanah tersebut berdasarkan Sertifikat Hak Milik Nomor 712
sendangkan Tan Yangky Tanuputra mempunyai bukti kepemilikan tanah yang sama berdasarkan
HGB Nomor 1079.
Terdapat beberapa alat bukti kepemilikan hak katas tanah, yaitu:
a. Sertifikat, merupakan alat bukti yang paling kuat, tetapi tidak mutlak terhadap kepemilikan
suatu tanah dan surat yang disebut sertifikat ini disebut alat bukti yang kuat tetapi tidak mutlak
artinya alat bukti yang terkuat diantara alat bukti yang lainnya, dikatakan tidak mutlak karena
alat bukti sertifikat ini masih bisa dianggap tidak sah, apabila ada pihak lain yang bisa
membuktikan kebalikannya. Dalam pembuktian, pemegang alat bukti yang paling lengkap
serta cara peralihan hak dan pembuatan alat buktinya melalui prosedur yang semestinya, yang
akan menang dalam kepemilikan dan sebaliknya bagi alat bukti atau sertifikat yang
pembuatannya tidak prosedural yang dianggap kalah dalam pembuktian.
b. Akta merupakan suatu alat bukti kepemilikan suatu benda, untuk tanah akta ini berupa akta
peralihan hak termasuk akta jual beli, waris, hibah dan lain sebagainya. Akta merupakan alat
yang melalui proses Pejabat Pembuat Akta Tanah atau pejabat lain yang mempunyai
wewenang. Alat bukti ini merupakan alat terhadap kepemilikan tanah dan menjelaskan cara
peralihan hak atas tanah termasuk akta jual beli, akta waris, akta hibah dan sebagainya. Secara
yuridis alat bukti ini juga sudah mempunyai kekuatan hukum, akan tetapi tidak sekuat
sertifikat.
c. Alat bukti yang lain, seperti girik, petok dan sejenisnya, alat bukti semacam ini termasuk alat
bukti yang lemah, namun di Indonesia terutama di daerah alat bukti semacam ini masih banyak
diketemukan dan dimiliki para pemilik tanah.

Dalam kasus sengketa tanah dengan indikasi sertifikat ganda antara Sukawi dengan Tan Yangky
Tanuputra, keduanya memiliki alat bukti berupa sertifikat. Sertifikat atas tanah merupakan alat
bukti hak atas tanah dan berlaku sebagai tanda pembuktian yang paling kuat. Berdasarkan
ketentuan pasal 31 dan pasal 32 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran
Tanah serta penjelasan pasal demi pasal tersebut, sertifikat tanah di maksudkan agar pemegang
hak dengan mudah membuktikan haknya. Dari peraturan tersebut sebenarnya diharapkan
seseorang dapat membuktikan haknya dengan mudah, akan tetapi tetap terjadi sengketa
pertanahan dengan indikasi sertifikat ganda atau tanah tumpang tindih. Sertifikat ganda atau tanah
tumpang tindih sering kali terjadi karena terdapat beberapa faktor, yaitu:
a. Tidak adanya basis data yang valid mengenai tanah secara detail di Kantor Badan Pertanahan
Nasional (BPN). Sehingga apabila tanah tersebut didaftarkan lagi maka dapat diketahui tanah
tersebut sudah bersertipikat.
b. Keteledoran/kealpaan BPN dalam pelaksanaan pembaharuan Peta Pendaftaran. Dimana setiap
pelaksanakan pengukuran bidang tanah harus diikatkan dengan titik dasar teknik yang ada dan
penempatan gambar bidang tanah harus digambar pada posisi yang tepat pada peta
pendaftaran tanah. Seringkali karena kurang teliti terjadi salah penempatan gambar ataupun
lupa tidak digambar pada Peta Pendaftaran.
c. Tidak cukup tersedianya peta pendaftaran tanah yang meliputi seluruh wilayah kabupaten, dan
banyak gambar bidang tanah yang tidak dipetakan.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sengketa yang terjadi antara Sukawi dan Tan Yangky
Tanuputra dikarenakan tidak adanya basis data yang valid dan kurangnya peta pendaftaran tanah di
BPN yang menyebabkan BPN menerbitkan dua sertifikat hak kepemilikan tanah atas dua orang yang
berbeda dengan objek tanah yang sama.

2. Prosedur administrasi dalam permohonan hak atas tanah.

Prosedur administrasi dalam permohonan hak atas tanah diatur dalam Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 5 Tahun 1973 Tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Tata Cara Pemberian Hak
Atas Tanah. Dalam peraturan tersebut terdapat 5 jenis hak yang dapat dimohonkan hak atas
tanahnya, yaitu hak milik, hak guna usaha, hak guna bagunan, hak pakai, dan hak pengelolaan.

A. Tata Cara Permohonan Hak Milik


1. Pemohon mengajukan permohonan Hak Milik kepada pejabat yang berwenang
melalui Bupati Walikota Kepala Daerah c.q. Kepala Sub Direktorat Agraria Kabupaten
atau Kotamadya yang bersangkutan secara tertulis.
2. Permohonan tersebut harus memuat antara lain, sebagai berikut :
a. Pemohon:
1. Jika pemohon adalah perorangan, harus memuat keterangan berupa nama,
umur, kewarganegaraan, tempat tinggal, dan pekerjaannya serta jumlah istri dan
anaknya yang masih menjadi tanggungannya. Jika ia seorang istri, juga
disebutkan keterangan mengenai suaminya.
2. Jika pemohon adalah badan hukum, harus memuat nama, tempat kedudukan,
akta atau peraturan pendiriannya, tanggal dan nomor surat Keputusan Menteri
Dalam Negeri tentang penunjukannya sebagai badan hukum yang boleh
mempunyai tanah dengan Hak Milik.
3. Tanahnya memuat tentang:
a. Letak, luas, dan batas-batasnya.
b. Status tanahnya.
c. Jenis tanahnya
d. Tanah tersebut telah atau belum dikuasai pemohon. Apabila telah dikuasi
sebelumnya, atas dasar apa ia memperoleh atau menguasainya.
e. Penggunaannya.
4. Lain-lain:
a. Melampirkan keterangan-keterangan mengenai status hukum, letak dan tanda
bukti dari tanah-tanah yang telah dimiliki oleh pemohon termasuk yang dimiliki
oleh suami atau istri serta anak-anaknya yang masih menjadi tanggungannya.
b. Keterangan lain yang dianggap perlu.
c. Permohonan tersebut di atas harus dilampiri dengan:
a. Mengenai diri pemohon:
1. Perorangan
2. Badan hukum.
b. Mengenai tanahnya.
c. Turunan dari surat-surat bukti perolehan hak secara beruntun mengenai
penguasaan tanah oleh pemohon.

B. Tata Cara Permohonan Hak Guna Usaha

1. Pemohon mengajukan permohonan secara tertulis kepada Pejabat yang berwenang


melalui Kepala Direktorat Agraria Provinsi yang bersangkutan, dengan tembusan
kepada Bupati Kepala Daerah c.q. Kepala Sub Direktorat Agraria yang bersangkutan.
Jika tanah tersebut terletak dalam wilayah lebih dari satu Kabupaten, maka tembusan
permohonan tersebut harus disampaikan kepada masing-masing Bupati Kepala
Daerah c.q. Kepala Sub Direktorat Agraria yang bersangkutan.
2. Mengenai kelengkapan keterangan-keterangan berlaku sesuai dengan kelengkapan
keterangan dalam pengajuan permohonan hak milik dan ditambah dengan
keterangan-keterangan, sebagai berikut :
a. Tentang bonafiditas dan likuiditas perusahaan.
b. Rencana pengusahaan tanah jangka pendek dan jangka panjang.
c. Tenaga ahli yang tersedia.
d. Rekomendasi dari instansi-instansi yang dianggap perlu.
3. Setelah menerima berkas permohonan Hak Guna Usaha, maka berlaku juga tata cara
penyelesaian permohonan Hak Guna Usaha sesuai tata cara penyelesaian
permohonan Hak Milik.

C. Tata Cara Permohonan Hak Guna Bangunan


Tata cara permohonan pemberian Hak Guna Bangunan, penyelesaian permohonan
Hak Guna Bangunan dan pendaftarannya berlaku sesuai dengan tata cara pemberian
Hak Milik.

D. Hak Pakai dan Hak Pengelolaan


Tata cara permohonan pemberian Hak Pakai dan Hak Pengelolaan, penyelesaian
permohonan Hak Pakai dan Hak Pengelolaan, pendaftarannya berlaku sesuai dengan
tata cara pemberian Hak Milik.

Anda mungkin juga menyukai