Anda di halaman 1dari 22

PERMASALAHAN KEUANGAN NEGARA DAN

DAERAH

Abstrak
Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji permasalahan keuangan negara dan daerah
berkaitan dengan pengendalian manajemen dan akuntabilitas. Seperangkat
peraturan perundang-undangan sebagai produk dari eksekutif bersama legislatif
telah dihasilkan untuk mengatur (manajemen) keuangan daerah, dari perencanaan,
pengorganisasian, menggerakkan dan pengawasan. Namun dalam pelaksanaannya
masih terdapat banyak kekurangan dan kesalahan. Akar permasalahan
pengelolaan keuangan negara dan daerah terletak pada komitmen pemimpin dan
pengambil kebijakan untuk melaksanakan aturan perundang-undangan secara
konsisten. Motif-motif ekonomi dan politis
dalam melaksanakan pengelolaan keuangan negara dan daerah masih menjadi
main set aparatur eksekutif dan legislatif.
Kata Kunci : Keuangan Negara, Keuangan Daerah, Pengendalian Manajemen,
Akuntabilitas

American Accounting Association (AAA, 1970) dalam Glynn (1993)


menyatakan bahwa tujuan akuntansi pada sektor publik adalah
pertama, memberikan informasi yang diperlukan untuk mengelola
secara tepat, efisien, dan ekonomis atas suatu operasi dan alokasi
sumber daya yang dipercayakan kepada organisasi. Tujuan ini terkait
dengan pengendalian manajemen (management control). Kedua,
memberikan informasi yang memungkinkan bagi manejer untuk
melaporkan pelaksanaan pengelolaan secara tepat dan efektif program
dan penggunaan sumber daya yang menjadi wewenangnya dan
memungkinkan bagi pegawai pemerintah untuk melaporkan
kepada publik atas hasil operasi pemerintah dan penggunaan dana
publik. Tujuan ini terkait dengan akuntabilitas (accountability).
Tujuan management controlsangat penting terkait dengan besarnya
sumber daya terutama dana yang dikelola oleh sektor publik, sehingga
penting bagi setor publik untuk merencanakan, mengorganisasikan,
menjalankan, dan mengawasi sumber-sumber daya yang
kepemilikannya adalah publik (rakyat). Tujuan accountabilityberkaitan
dengan bentuk pertanggungjawaban atas
pengelolaan sumber daya dengan cara melaporkan
sumber
-
sumber pendapatan dan penggunaannya
kepada publik (rakyat).
Alat yang dapat digunakan untuk mencapai
kedua tujuan tersebut
adalah akuntansi sektor
publik. Isu
-
isu penting muncul berkaitan dengan
istilah untuk menciptakan
good public and
corporate governance
seperti akuntabilitas publik,
value for money
, reformasi sektor publik,
privatisasi,dan lain
-
lainnya. Isu
-
isu tersebut men
jadi
akar tuntutan diciptakannya sektor publik yang
ekonomis, efisien, efektif, transparan, responsif dan
memiliki akuntabilitas yang tinggi.
Perkembangan akuntansi sektor publik erat
kaitannya dengan perkembangan sektor publik.
Mulai tahun 1950an dan 1960
an sektor publik
memainkan peran penting sebagai pembuat dan
pelaksana strategi pembangunan. Istilah sektor
publik (sektor pemerintahan) mulai dipakai pertama
kali tahun 1952 (Mardiasmo, 2002). Saat itu sektor
publik dikaitkan sebagai bagian dari ekonomi
m
akro yang terkait dengan pembangunan dan
pelaksana pembangunan.
Pada tahun 1970an terdapat kritikan yang
mempertanyakan kembali peran sektor publik
dalam pembangunan. Sektor publik dianggap tidak
efisien dan tertinggal dengan perkembangan dan
kemajuan sek
tor swasta. Hal ini berakibat pada
kebijakan publik semakin lemah karena orientasi
pembangunan diarahkan pada sektor swasta dan
cenderung mengabaikan sektor publik.Pada tahun
1980an reformasi sektor publik dilakukan di
negara
-
negara industri maju. Berbagai
perubahan
dilakukan, misalnya dengan mengadopsi
New
Public Management
(NPM) dan
Reinventing
Goverment
dibanyak negara terutama negara
Anglo Saxon (Renowijoyo, 2008)
Adanya perubahan
-
perubahan pada sektor
publik mengakibatkan perubahan terhadap
akuntansi s
ektor publik. Perubahan dari Sistem
Cash Basis yang selama ini dilakukan menjadi
Accrual Basis. Salah satu pemerintah yang
mengimplementasikan adalah pemerintah New
Zealand pada tahun 1991, kemudian diikuti oleh
pemerintah Jepang, Italia, dan negara
-
negara
eropa lainnya (Mardiasmo, 2002).
Di negara
-
negara berkembang kinerja
sektor publik dinilai kurang baik, walaupun tidak
semuanya. Negara
-
negara seperti Korea Selatan,
Taiwan, Malaysia, Singapura, dan Thailand
memiliki pelayanan publik dan perusahaan publik
yang baik kinerjanya, yang dapat memberikan
kontribusi yang besar terhadap pembangunan
nasional dan stabilitas politik.
Desentralisasi dan Konsekuensi Pengelolaan
Keuangan di Indonesia
Peraturan perundang
-
undangan Nomor 32
Tahun 2004 sebagai pengganti Undang
-
Undang
Tahun 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah
dan Undang
-
Undang Nomor 33 Tahun 2004 sebagai
pengganti Undang
-
Undang Nomor 25 tahun 1999
tentang perimbangan keuangan antara p
usat dan
daerah, telah membawa perubahan yang sangat
mendasar terhadap pengaturan hubungan antara
pusat dan daerah. Pengaturan tersebut terutama
dalam bidang administrasi pemerintahan dan
hubungan keuangan antara pusat dan daerah yang
dalam banyak literatu
r keuangan sektor publik
disebut dengan
intergovernmental fiscal relation
atau
perimbangan keuangan dalam Undang
-
Undang
Nomor 25 Tahun 1999.
Bird dan Vaillancourt (2000)
mengungkapkan tiga variasi desentralisasi dalam
kaitannya dengan derajat kemandir
ian pengambilan
keputusan daerah:
pertama
, dekonsentrasi, suatu
situasi dimana desentralisasi berlangsung dalam
tingkat nasional dan hanya terbatas pada
penyebaran tanggung jawab fiskal di antara instansi
-
instansi vertikal pusat yang ada di daerah
-
daerah.
Kedua
, delegasi berhubungan dengan situasi, yaitu
daerah bertindak sebagai perwakilan pemerintah
untuk melaksanakan fungsi
-
fungsi tertentu atas
nama pemerintah.
Ketiga
, devolusi (pelimpahan),
merupakan desentralisasi fiskal yang tidak hanya
mengalihkan ke
wenangan dalam melaksanakan
penugasan pengeluaran tetapi juga kewenangan
untuk memutuskan apa yang perlu dikerjakan,
berada di daerah.
Sebuah negara yang melaksanakan
desentralisasi akan dapat dinilai dengan jelas derajat
desentralisasinya, apakah lebih
bersifat
dekonsentrasi, delegasi atau devolusi. Hal ini juga
tergantung dari cara memandangnnya dari atas ke
bawah (
top down
) atau dari bawah ke atas (
bottom
up
). Pendekatan desentralisasi fiskal dari bawah ke
atas umumnya menekankan nilai politis, misaln
ya
perbaikan pemerintahan dalam kaitannya dengan
kemauan menerima saran daerah dan partisipasi
politik di daerah serta efisiensi alokasi dalam arti
perbaikan kesejahteraan. Proses desentralisasi dari
atas ke bawah (
top down
) di dasari oleh pemikiran
untuk
meringankan beban pusat dengan
mengalihkannya ke bawah. Langkah ini merupakan
sebagian dari keinginan pusat untuk mencapai
tujuan alokasi dengan lebih efisien melalui
pendelegasian atau desentralisasi kewenangan ke
daerah. Pendekatan
top down
menekankan ba
hwa
kriteria utama untuk mengevaluasi desentralisasi
fiskal adalah seberapa baik hal ini dapat membantu
tercapainya tujuan nasional (Bird dan Vaillancourt,
2000).
Pemerintah pusat menggulirkan reformasi
tata kelola keuangan negara/daerah yang
merupakan l
angkah maju dalam menata sistem
keuangan. Reformasi tata kelola keuangan
negara/daerah secara ideal tidak hanya mencakup
reformasi akuntansi keuangannya. Namun
demikian, reformasi akuntansi sektor publik
merupakan sesuatu yang sangat fundamental
khususnya
bagi pengelolaan keuangan daerah.
Reformasi ini, secara substantif mengandung
pengertian pengelolaan sumber
-
sumber daya
daerah secara ekonomis, efisien, efektif,
transparan, dan akuntabel dalam rangka
peningkatan kesejahteraan dan pemberdayaan
daerah.
Dite
rbitkannya Undang
-
Undang No 17
Tahun 2003 mengenai Keuangan Negara telah
memberikan landasan/payung hukum di bidang
pengelolaan dan administrasi keuangan
negara/daerah. Undang
-
undang ini dimaksudkan
pula untuk memperkokoh landasan pelaksanaan
desentralisas
i dalam kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi kepada daerah telah diberikan
kewenangan yang luas, demikian pula dana yang
diperlukan untuk menyelenggarakan kewenangan
itu. Agar kewenangan dan dana tersebut dap
at
digunakan dengan sebaik
-
baiknya untuk
penyelenggaraan tugas pemerintahan di daerah,
diperlukan kaidah
-
kaidah sebagai rambu
-
rambu
dalam pengelolaan keuangan daerah.
Desentralisasi merupakan upaya
pemberdayaan daerah dalam pengambilan
keputusan daerah se
cara lebih leluasa dan
bertanggung jawab untuk mengelola sumber daya
yang dimiliki sesuai dengan kepentingan, prioritas,
dan potensi daerah sendiri. Kewenangan yang
luas, utuh dan bulat yang meliputi perencanaan,
pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan
e
valuasi pada semua aspek pemerintahan ini, pada
akhirnya harus dipertanggungjawabkan kepada
pemberi wewenang dan masyarakat. Penerapan
otonomi daerah seutuhnya membawa konsekuensi
logis berupa pelaksanaan penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan daerah
berdasarkan manajemen keuangan yang sehat.
Oleh karena itu, diperlukan sistem pengelolaan
keuangan daerah yang baik dalam rangka
mengelola dana APBD secara transparan,
ekonomis, efisien, efektif dan akuntabel.
Perundang
-
undangan bidang keuangan
negara sec
ara tegas mengatur bagaimana
pemerintah daerah menata sistem pemerintahan
khususnya di bidang keuangan. Undang
-
undang ini
mengatur mengenai asas umum perbendaharaan
negara, kewenangan pejabat pengelola keuangan
negara, pelaksanaan pendapatan dan belanja
ne
gara/daerah, pengelolaan uang, piutang dan
utang negara/daerah, pengelolaan investasi dan
barang milik negara/daerah, penatausahaan dan
pertanggungjawaban APBN/APBD, pengendalian
intern pemerintah, penyelesaian kerugian
negara/daerah, serta pengelolaan keu
angan badan
layanan umum. Penyusunan RAPBD dengan
pendekatan prestasi kerja, penerapan sistem
akuntansi keuangan daerah, penyajian neraca
daerah dan laporan arus kas, laporan realisasi
anggaran dan catatan atas laporan keuangan
(CALK) sebagai bentuk pertan
ggungjawaban
Kepala Daerah, merupakan beberapa hal baru
yang diamanahkan dalam peraturan tersebut.
Gubernur/Bupati/Walikota harus membuat
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD dalam
bentuk laporan keuangan yang telah diaudit oleh
BPK (Badan Pemeriksa Keuanga
n), hal ini
diamanatkan di Undang
-
Undang No.17 tahun
2003 pasal 31. Laporan keuangan ini terdiri atas
Laporan Realisasi APBD, Neraca, Laporan Arus
Kas dan Catatan atas Laporan Keuangan. Hal ini
menuntut kemampuan manajemen pemerintahan
daerah untuk menga
lokasikan sumber daya secara
efisien dan efektif. Kemampuan ini memerlukan
informasi akuntansi sebagai salah satu dasar
penting dalam pengambilan keputusan alokasi
sumber daya ekonomis. Laporan
-
laporan ini dapat
dihasilkan dengan diterapkannya suatu sistem
dan
prosedur akuntansi yang integral dan terpadu
dalam pengelolaan keuangan daerah. Dengan
demikian laporan
-
laporan di atas dapat dihasilkan
engan diterapkannya suatu Sistem Informasi
Akuntansi Keuangan Daerah (SIAKD).
Kepala Satuan Kerja Perangkat Daer
ah
(SKPD) selaku Pengguna Anggaran harus
menyelenggarakan akuntansi atas transaksi
keuangan, aset, utang, dan ekuitas dana, termasuk
transaksi pendapatan dan belanja, yang berada
dalam tanggung jawabnya, hal ini diamanatkan di
Undang
-
Undang No. 1 tahun 200
4 tentang
Perbendaharaan Negara pasal 51 ayat (2). Artinya
bahwa setiap SKPD harus membuat laporan
keuangan unit kerja. Pasal 56 UU ini menyebutkan
bahwa laporan keuangan yang harus dibuat setiap
unit kerja adalah Laporan Realisasi Anggaran,
Neraca, dan Ca
tatan atas Laporan Keuangan,
sedangkan yang menyusun laporan arus
Kasadalah Kepala Satuan Kerja Pengelola
Keuangan Daerah selaku Bendahara Umum
daerah.
P
erundang
-
undangan
ya
ng
M
elandasai
P
elaksanaan
P
engelolaan
K
euangan
D
aerah
Peraturan perundang
-
undangan yang
melandasi pelaksanaan pengelolaan keuangan
negara dan daerah di Indonesia sebagai berikut :
1.
UU No. 20 Tahun 1999 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah
2.
UU No. 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan
daerah
3.
UU No. 1 Tahun 2004
tentang
perbedaharaan
4.
UU No. 15 Tahun 2004 tentang
Pemeriksaan
Pengelolaan dan
TanggungJawab
Keuangan Negara
5.
UU No. 25 Tahun 2004 tentang
Sistem
Perencanaan
Pembangunan
Nasional
6.
UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah
Daerah
7.
UU No. 33 Tahun 2004 tentang
Pe
rimbangan
Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintah
Daerah
8.
PP. No 65 Tahun 2001 tentang
Pajak
Daerah
9.
PP No. 66 Tahun 2001 tentang Retribusi
Daerah
10.
PP No. 24 Tahun 2004 tentang Kedudukan
Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan
Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah
yang telah diubah dengan PP No. 37
Tahun 2005, PP No. 37 Tahun 2006 dan
PP No. 21 Tahun 2007
11.
PP No. 14 Tahun 2005 tentang
Tatacara
Penghapusan
Piutang Negara/Daerah
12.
PP 23 Tahun 2005 tentang
Estándar
Akuntansi
Pemerintahan
13.
PP No. 24 Tahun 2005
Standar Akuntansi
Pemerintahan
14.
PP No. 54 Tahun 2005 tentang
Pinjaman
Daerah
PP No. 55 Tahun 2005 tentang Dana
Perimbangan
16.
PP No. 56 Tahun 2005 tentang
Sistem
Informasi
Keuangan
Daerah
17.
PP No. 57 Tahun 2005 tentang
Hibah
Kepada
Daerah
18.
PP No. 58 Tahun 2005 t
entang
Pengelolaan Keuangan Daerah
19.
PP No. 65 Tahun 2005 tentang
Pedoman
Penyusunan dan Penerapan Estándar
Pelayanan
Minimal
20.
PP No. 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan
Barang Milik Negara/Daerah
21.
PP No. 8 Tahun 2006 tentang Laporan
Keuangan dan Kinerja Instansi
Pemerintah
22.
Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang
Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah
23.
Permendagri No. 17 Tahun 2007 tentang
Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik
Daerah
24.
Permendagri No. 23 Tahun 2007 tentang
Pedoman Tata Cara Pengawasan atas
Penyelenggara
an Pemerintahan Daerah
25.
Permendagri No. 24 Tahun 2007 tentang
Pedoman Pemeriksaaan dalam rangka
berakhirnya Masa Jabatan Kepala Daerah
26.
Permendagri No. 25 Tahun 2007 tentang
Pedoman Penanganan Pengaduan
Masyarakat di Lingkungan Departemen
Dalam Negeri dan Pe
merintah Daera
h
27.
Permendagri No. 59 Tahun 2007 tentang
Perubahan Peraturan Menteri Dalam
Negara No. 13 tahun 2006 tentang
Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah
28.
Undang
-
Undang No. 28 Tahun 2009
tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah
29.
Peraturan Pemerintah No
71 Tahun 2010
Tentang Standar Akuntansi Pemerintahan.
Permasalahan Keuangan Negara dan Daerah
Tuntutan untuk mengurangi kekuasan
pemerintah pusat terhadap daerah baik dari aspek
tata laksana pemerintahan dan pengelolaan
keuangan yang digulirkan sejak era r
eformasi
ternyata tidak di iringi dengan kesiapan sumber
daya manusia. Kondisi ini terjadi baik pada tingkat
pusat dan daerah untuk mengurus sumber daya
ekonomi yang sangat besar, sehingga prinsip
-
prinsip pengelolaan keuangan yang memenuhi
prinsip
-
prinsip
secara tepat, efisien, dan ekonomis
dan bertanggung jawab belum tercapai.
Permasalahan keuangan negara dan
daerah menurut Marbyanto dalam Fachturahman
Nur sebagai berikut :
1.
Intervensihak budget DPRD terlalu kuat
dimana anggota DPRD sering mengusulkan
ke
giatan
-
kegiatan yang menyimpang jauh dari
usulan masyarakat yang dihasilkan dalam
Musrenbang. Jadwal reses DPRD dengan
proses Musrenbang yang tidak
match
misalnya Musrenbang sudah dilakukan, baru
DPRD reses mengakibatkan banyak usulan
DPRD yang kemudian mu
ncul dan merubah
hasil Musrenbang. Intervensi legislative ini
kemungkinan didasari motif politis yakni
kepentingan untuk mencari dukungan
konstituen sehingga anggota DPRD berperan
seperti sinterklas yang membagi
-
bagi proyek.
Selain itu ada kemungkinan juga
didasari motif
ekonomis yakni membuat proyek untuk
mendapatkan tambahan income bagi pribadi
atau kelompoknya dengan mengharap bisa
intervensi dalam aspek pengadaan barang
(procurement)
atau pelaksanaan kegiatan.
2.
Pendekatan partisipatif dalam perencanaan
melalui mekanisme musrenbang masih
menjadi retorika
. Perencanaan pembangunan
masih didominasi oleh: Kebijakan kepala
daerah, hasil reses DPRD dan Program dari
SKPD. Kondisi ini berakibat timbulnya
akumulasi kekecewaan di tingkat desa dan
kecamatan yang sud
ah memenuhi kewajiban
membuat rencana tapi realisasinya sangat
minim.
3.
Proses Perencanaan kegiatan yang terpisah
dari penganggaran
, Karena ketidakjelasan
informasi besaran anggaran, proses
Musrenbang kebanyakan masih bersifat
menyusun daftar belanja (
shoppi
ng list
)
kegiatan. Banyak pihak seringkali membuat
usulan sebanyak
-
banyaknya agar probabilitas
usulan yang disetujui juga semakin banyak.
Ibarat memasang banyak perangkap, agar
banyak sasaran yang terjerat.
4.
Ketersediaan dana yang tidak tepat waktu
.
Terpisahnya proses perencanaan dan
anggaran ini juga berlanjut pada saat
penyediaan anggaran. APBD disahkan pada
bulan Desember tahun sebelumnya, tapi dana
seringkali lambat tersedia. Bukan hal yang
aneh, walau tahun anggaran mulai per 1
Januari tapi sampa
i bulan Juli
-
pun anggaran
program di tingkat SKPD masih sulit
didapatkan.
5.
Breakdown
RPJPD ke RPJMD dan RPJMD ke
RKPD seringkali tidak nyambung
(match).
Ada
kecenderungan dokumen RPJP ataupun
RPJM/Renstra SKPD seringkali tidak dijadikan
acuan secara serius
dalam menyusun
RKPD/Renja SKPD. Kondisi ini muncul salah
satunya disebabkan oleh kualitas tenaga
perencana di SKPD yang terbatas kuantitas
dan kualitasnya. Dalam beberapa kasus
ditemui perencanaan hanya dibuat oleh
Pengguna Anggaran dan Bendahara, dan
kura
ng melibatkan staf program sehingga
banyak usulan kegiatan yang sifatnya
copy
paste
dari kegiatan yang lalu dan tidak
visioner.
6.
Kualitas RPJPD, RPJM Daerah dan Renstra
SKPD seringkali belum optimal
. Beberapa
kelemahan yang sering ditemui dalam
penyusunan R
encana tersebut adalah;
indicator capaian yang seringkali tidak jelas
dan tidak terukur (kalimat berbunga
-
bunga),
data dasar dan asumsi yang seringkali kurang
valid, serta analisis yang kurang mendalam
dimana jarang ada analisis mendalam yang
mengarah pada
“how to achieve”
suatu target.
7.
Terlalu banyak “order” dalam proses
perencanaan
dan masing
-
masing ingin
menjadi arus utama misalnya
gender
mainstreaming, poverty mainstreaming,
disaster mainstreaming
dll. Perencana di
daerah seringkali kesulitan untuk
ment
erjemahkan isu
-
isu tersebut. Selain itu

mainstreaming
” yang seharusnya dijadikan
“prinsip gerakan pembangunan” seringkali
malah disimplifikasi menjadi se
k
tor
-
sektor
baru
.
8.
Koordinasi antar SKPD untuk proses
perencanaan masih lemah
sehingga kegiatan
yang di
bangun jarang yang sinergis bahkan
tidak jarang muncul egosektoral..
9.
SKPD yang mempunyai alokasi anggaran
besar misal Dinas Pendidikan dan Dinas PU
seringkali tidak mempunyai tenaga perencana
yang memadai
. Akibatnya proses
perencanaan seringkali molor.
10.
AP
BD kabupaten/Kota perlu evaluasi oleh
Pemprop
. Disisi lain Pemprop mempunyai
keterbatasan tenaga untuk melakukan
evaluasi tersebut. Selain itu belum ada
instrument yang praktis yang bisa digunakan
untuk evaluasi anggaran tersebut. Hal ini
berakibat proses
evaluasi memakan waktu
agak lama dan berimbas pada semakin
panjangnya proses revisi di daerah
(kabupaten/kota).
11.
Kualitas hasil Musrenbang Desa/Kecamatan
seringkali rendah karena kurangnya Fasilitator
Musrenbang yang berkualitas
. Fasilitasi
proses perencana
an tingkat desa yang
menurut PP 72 tahun 2005 diamanahkan
untuk dilaksanakan oleh Pemerintah
Kabupaten (bisa via Pemerintah Kecamatan)
seringkali tidak berjalan. Proses fasilitasi
hanya diberikan dalam bentuk surat edaran
agar desa melakukan Musrenbang, da
n jarang
dalam bentuk bimbingan fasilitasi di lapangan.
12.
Pedoman untuk Musrenbang atau
perencanaan (misal Permendagri 66 tahun
2007) cukup rumit (
complicated)
dan agak sulit
untuk diterapkan secara mentah
-
mentah di
daerah pelosok pedesaan yang sebagian
pera
ngkat desa dan masyarakatnya
mempunyai banyak keterbatasan dalam hal
pengetahuan, teknologi dll.
13.
Dalam praktek penerapan P3MD, pendekatan
pemecahan masalah yang HANYA melihat ke
AKAR MASALAH saja dapat berpotensi
menimbulkan bias dan oversimplifikasi
terha
dap suatu persoalan
.
Permasalahan tambahan lain berkaitan
dengan keuangan negara dan daerah menurut
penulis sebagai berikut :
1.
Penyusunan anggaran partisipatif yang
diamanatkan undang
-
undang hanya
dilaksanakan untuk memenuhi syarat
formalitas. Musrenbang
sebagai media
bagi stakeholder terutama masyarakat
untuk mengaspirasi kebutuhan
-
kebutuhan
dasar belum tersosialisasi dengan baik.
Masyarakat belum mengetahui hak dan
kewajibannya berkaitan dengan
penyusunan anggaran melalui
Musrenbang.
2.
Entitas Pelaporan
dan Entitas Akuntansi
yang menjadi amanat undang
-
undang tidak
terjadi di pemerintahan. Sumber daya
manusia aparatur pemerintah yang tidak
berlatarbelakang pendidikan akuntansi
mengakibatkan pemahaman terhadap
proses akuntansi tidak terlaksana.
3.
Salah satu i
nstansi pemerintah yang
menjadi advisor dalam penyusunan
laporan keuangan daerah tidak melakukan

tranfer knowledge
” terhadap entitas
akuntansi maupun entitas pelaporan.
4.
Advisor dari instansi pemerintah berperan
ganda sebagai pemeriksa eksternal. Hal ini
j
elas melanggar prinsip Sistem
Pengendalian Intern (SPI). Seharusnya
Entitas pemeriksa eksternal tidak
melaksanakan pendampingan kepada
entitas akuntansi atau entitas pelaporan.
5.
Masih banyak entitas pelaporan yang
menganggap bahwa laporan keuangan
pemerinta
h daerah adalah dokumen
rahasia. Akses masyarakat untuk
memperoleh laporan keuangan sulit,
bahkan terkesan di tutup tutupi oleh
pemerintah daerah. Undang
-
undang
mengamanatkan untuk mempublikasikan
sebagai bentuk pertangungjawaban
pemerintah atas sumber day
a yang
dikelolanya.
6.
Banyak peraturan perundang
-
undangan
seringkali menyulitkan bagi aparatur di
daerah untuk mengimplementasikannya.
Belum tuntas pemahaman mengenai
aturan yang terdahulu, disusul lagi dengan
peraturan baru
Kesimpulan
Karakteristik penge
lolaan keuangan negara
dan daerah mengharuskan untuk taat terhadap
peraturan perundang
-
undangan. Seperangkat
peraturan perundang
-
undangan sebagai produk
dari eksekutif bersama legislatif telah dihasilkan
untuk mengatur (manajemen) keuangan daerah,
dari per
encanaan, pengorganisasian,
menggerakkan dan pengawasan. Namun dalam
pelaksanaannya masih terdapat banyak
kekurangan dan kesalahan. Akar permasalahan
pengelolaan keuangan negara dan daerah terletak
pada komitmen pemimpin dan pengambil kebijakan
untuk melak
sanakan aturan perundang
-
undangan
secara konsisten. Motif
-
motif ekonomi dan politis
dalam melaksanakan pengelolaan keuangan
negara dan daerah masih menjadi
main
set
aparatur eksekutif dan legislatif.
Motif
-
motif tersebut harus di geser kepada
motif
-
motif y
ang memperhatikan standar
-
standar
etika hakiki. Budaya sekulerisme menjadi virus
penyakit mewabah yang memisahkan berbagai
aspek kehidupan dengan standar etika hakiki.
Menjadi hal yang aneh dan tabu jika bicara
mengenai standar etika hakiki yang identik de
ngan
kebenaran dan keadilan. Ini sebagai bukti lunturnya
karakter bangsa yang seharusnya menjadi
perhatian serius oleh pengambil kebijakan.
Daftar Pustaka
Bird, R.M. dan Vailancourt, F. 2000. Fiscal
Decentralization in Developing Countries.
Cambridge Univ
ersity Press. PT. Gramedia
Pustaka Utama (penterjemah). 2000.
Desentralisasi Fiskal di Negara
-
Negara
Berkembang. Cetakan Pertama. PT. Sun.
Jakarta.
Fachturahman Nur, Turiman, 2009.13 Masalah
Keuangan Negara dan Daerah,
http://rajawaligarudapancasila.blogspot.co
m
, Di akses 13 Juli 2012
Mardiasmo, 2002.Akuntansi Sektor Publik, Andi
Yogyakarta
Renyowijoyo, Muindro, 2008. Akuntansi Sektor
Publik Organisasi Non Laba, Mit
ra Wacana
Media Jakarta.
Republik Indonesia. 2004. Undang
-
Undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah.
--------------------------
. 1999. Undang
-
Undang Nomor
22 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah.
--------------------------
. 1999. Undang
-
Undang
Nomor
251999 tentang Pemerintah Daerah.
--------------------------
. 2004. Undang
-
Undang Nomor
33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Daerah
dan Pusat.
--------------------------
.. 2004.
Undang
-
Undang No. 1
Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara.
--------------------------
.. 2003. Undang
-
Undang No. 17
Tahun 2003 tentang Keuangan Negara

Anda mungkin juga menyukai