Anda di halaman 1dari 12

”TANTANGAN DAN HAMBATAN DALAM PENYELENGGARAAN

OTONOMI DAERAH”
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Metodologi Penelitian Sosial

Oleh :

Mustika Syafira Tubagus

Npp. 26.05.83

Program Studi : Manajemen Pemerintahan

Dosen:

Dr. Drs. Andi Heni Mulawati Nurdin

INSTITUT PEMERINTAHAN DALAM NEGERI

Jakarta, 2017
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Negara nasional terlalu kecil untuk mengatur dan mengurus masalah-masalah


yang sangat besar, tetapi terlalu besar untuk mengatur dan mengurus masalah-masalah
yang sangat kecil(Bell,1988:2). Ungkapan ini mengisyaratkan, bahwa peran negara
nasional sebagai pengatur dan penyelenggara akan semakin berkurang dan akan sangat
tergantung dengan mekanisme koordinasi dan pembagian kekuasaan baik pada tingkat
internasional maupun pada tingkat lokal (Fukuyama, 2004: 95). Konsekuensi logis dari
hal ini adalah penyerahan sebagian kekuasaan kepada unit-unit sub nasional dan lokal.
Hal ini pula yang kemudian menjiwai semangat Indonesia dalam merubah tatanan
pemerintahan melalui suatu mekanisme yang mempermudah pengelolaan negara.
Berdasarkan hal itu, melalui Reformasi dengan salah satu agendanya yaitu restrukturisasi
birokrasi, maka diterapkanlah suatu sistem yang memfokuskan pengelolaan potensi lokal
yang turut serta mendukung pengembangan potensi nasional. Sistem ini kemudian kita
kenal dengan desentralisasi, yang mekanisme pelaksanaannya ditetapkan dalam Undang-
Undang No. 22 Tahun 1999 Jo 32 Tahun 2004.
Desentralisasi dengan Otonomi Daerah sebagai konsekuensi logisnya, tentunya
berorientasi pada pengembangan potensi lokal dalam menjalankan pemerintahan daerah
yang turut menunjang pemerintahan nasional. Potensi lokal yang dimaksudkan di sini
tidak hanya terbatas pada sumber daya alam dan finansial, tetapi juga sumber daya
manusia, dalam hal ini elit-elit politik lokal. Pengembangan potensi yang di maksud
dalam pembahasan saat ini merupakan tantangan besar yang dihadapi oleh berbagai
daerah yang menyelenggarakan otonomi.
Oleh karena itu, sudah seyogyanya apabila terjadi kompetesi antar daerah dalam
mengembangkan potensinya sekaligus merangsang daerah-daerah kecil/ terpencil
mengembangkan potensi lokalnya guna memperjuangkan tercapainya pemekaran
wilayah. Memang otonomi daerah dan pemekaran wilayah adalah dua hal yang berbeda,
namun terdapat hubungan saling pengaruh di antara keduanya.
Otonomi daerah yang memberikan kewenangan kepada daerah secara
administratif dan politik, akan merangsang masing-masing daerah kecil/terpencil
berusaha sekeras mungkin agar dapat dimekarkan. Hal ini disebabkan karena dengan
pemekaran suatu daerah menjadi daerah otonom, maka hal ini mempermudah akses dana
untuk pembangunan di daerah itu, mempermudah pengembangan karir elit politik lokal
dll. Suatu kondisi yang berlainan dengan penerapan otonomi daerah apabila dikaitkan
dengan dinamika politik lokal yang kurang berkembang, dimana kurangnya kesiapan
pemerintah dan masyarakat, kurangnya potensi yang bisa dikembangkan baik kualitas dan
kuantitas SDM maupun SDA, tentunya akan menjadi hambatan dalam pelaksanaan
otonomi daerah secara menyeluruh. Hal inilah yang menurut hemat penulis sebagai
hambatan yang patut dianalisis lebih jauh guna menghasilkan sebuah solusi
pemecahannya. Berangkat dari hal di atas, maka penulis berupaya menganalisis secara
mendalam tentang penerapan otonomi daerah yang dikaitkan dengan dinamika politik
lokal dengan mengangkatnya ke dalam sebuah makalah dengan judul, ”Dinamika Politik
Lokal: Tantangan dan Hambatan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah”

2. Rumusan masalah
BAB II

PEMBAHASAN

Heinelt dan Wollmann (1991) mendefinisikan politik lokal sebagai suatu sense
Dalam pembagunan dan penghargaan secara sosial yang berupa keputusan-kepurusan
dalam sistem interaksi berdasarkan fisik dan ruang sosial. Sementara Otonomi Daerah
dapat diartikan sebagai kewenangan Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (Menurut UU No. 32 tahun
2004 tentang pemerintahan daerah). Berbicara tentang politik lokal akan terkait
dengan kekuasaan yang digunakan untuk memimpin suatu masyarakat tertentu. Di
mana kekuasaan itu tidak hanya didasarkan pada kemampuan tetapi juga oleh faktor
lain yang memiliki kaitan dengan keberadaan masyarakat atau daerah yang
bersangkutan.
Oleh karena itu ada dua faktor yang mempengaruhi kehidupan politik lokal
masyarakat Indonesia, pertama munculnya agenda pemekaran wilayah atas dasar
asumsi-asumsi etnisitas yang lebih spesifik, sebagai salah satu indikasi penguatan
identitas terhadap wacana demokrasi lokal. Masyarakat Indonesia yang kaya akan
identitas kelompok etnis, membutuhkan pemahaman yang serius dalam membangun
kerangka interaksi politik yang toleran, yang dalam potensinya bisa memperkuat
pluralisme (Abdilah, 2002) Sementara Giddens (2000) menjelaskan bahwa
heterogenitas itu sendiri bukan merupakan suatu halangan. Ia merupakan bagian
terpenting yang tak dapat dipisahkan dari makna “bangsa kosmopolitan” yang
sesungguhnya.
Kedua, Kehadiran masyarakat dalam wilayah publik yang terbuka merupakan
bagian dari perluasan arena gerakan rakyat dengan cara ikut berpartisipasi di dalam
pembentukan kebijakan daerah sebagai upaya penguatan basis lokal. Penguatan basis
lokal tersebut diharapkan bisa mengubah taraf kehidupan yang lebih baik dan lebih
bermartabat. Oleh sebab itu, bagaimana menggunakan pintu pemberian otonomi
daerah ini menjadi titik masuk bagi demokratisasi dan partisipasi rakyat. Sementara
pertumbuhan otoritas pemerintah pusat yang disejajarkan dengan pemerintah lokal
untuk melakukan stabilitas ekonomi dan politik serta meningkatkan partisipasi dalam
program pembangunan (Mac Andrew, 1986). Hal senada juga dinyatakan oleh Morfit,
(1995) bahwa usaha yang dilakukan pemerintah pusat dalam menangani masalah yang
ada di daerah adalah memperkuat posisi pemerintah daerah, ini semua terkait dengan
desentralisasi yang dilakukan. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya peran
pemerintah di aras lokal/ daerah dalam melaksanakan pembangunan di daerah.
Dengan demikian dapat kita lihat bahwa dinamika politik lokal sangat ditentukan oleh
tingakt keluasan otonomi yang diberikan kepada suatu daerah. Dalam artian semakin
luas otonomi suatu daerah, maka politik lokal di daerah tersebut akan semakin
berkembang. Realisasi hal ini dapat kita lihat pada tingginya tingkat permintaan
daerah yang ingin dimekarkan, dikarenakan aras perpolitikan yang kian berkembang.
Contoh kongkritnya dapat kita lihat dari pemekaran daerah Gorontalo menjadi
Provinsi. Sewaktu masih bergabung dengan Sulawesi Utara, maka Pemerintah
Gorontalo seakan-akan tidak punya taji dalam pemerintahan daerah, apalagi di kancah
nasional. Namun ketika dimekarkan sebagai sebuah provinsi, maka Gorontalo dapat
berbicara bukan saja di tingkat nasional bahkan di taraf internasional. Hal ini
dikarenakan dengan otonomi daerah yang diberikan, maka Gorontalo dapat dengan
mudah mengembangkan potensi lokal yang dimilikinya yang didukung oleh kebijakan
yang dirumuskan di tingkat lokal. Tentunya hal ini tidak terlepas dari peranan
masyarakat yang turut serta ambil bagian sejak perumusan hingga pelaksanaan
kebijakan di daerah. Contoh lain dapat kita lihat dalam pilkada langsung yang juga
merupakan suatu kemutlakan dalam otonomi daerah. Melalui pilkada yang diadakan
di berbagai daerah, dapat kita lihat antusias yang besar dari berbagai daerah dalam
pelaksanaannya. Begitu banyak potensi elit lokal yang mulai berkembang, bukan saja
melalui proses karir melalui partai politik tetapi juga melalui jalur independen. Hal ini
tentunya merupakan suatu kemajuan besar dalam sejarah perpolitikan daerah di mana
begitu ketatnya persaingan untuk menjadi pemimpin daerah, hingga setiap orang
berusaha dengan sebaik mungkin menambah kapasitas dan kapabilitasnya untuk
menarik simpati masyarakat. Selain itu juga suatu keuntungan besar juga diraih
masyarakat dalam hal kebebasan untuk memilih wakil-wakilnya sesuai nurani. Hal
inilah tentunya menyebabkan bertaburnya elit-elit lokal di daerah (caleg) yang
mencoba menarik simpati masyarakat dengan janji-janji yang menggiurkan rakyat.
Selain itu juga, peranan politik lokal demikan terasa ketika ada partai-partai lokal
yang kemudian ikut serta dalam pemilu yang nantinya akan diadakan pada april 2009.
Hal ini kemudian memunculkan statement bahwa setiap politik lokal adalah politik
nasional.
Merujuk pada pelaksanaan sebelumnya, maka setiap persoalan yang ada di
tingkal lokal diselesaikan oleh pemerintah pusat. Namun, setelah otonomi daerah
digalakkan, maka persoalan-persolaan yang terjadi pada tataran lokal harus
diselesaikan dengan kearifan lokal yang ada. Hal itu sejalan dengan pandangan kaum
lokalis yang dimotori Jones dan Stewart. Keduanya beranggapan, hanya orang lokal
yang dapat memahami kondisi dan nilai-nilai lokal, karena itu merekalah yang lebih
berkompeten untuk membuat kebijakan publik dan keputusan politik lainnya. Mereka
juga sangat anti-sentralisasi, sehingga menghendaki pengurangan, bahkan bila perlu
penghapusan, peran pemerintah pusat. Ketika terjadi konflik antara masyarakat dan
aparatur politik/negara, solusi yang paling efektif adalah memanfaatkan secara
optimal pendekatan etika dan budaya politik setempat, bukan justru jalur hukum
modern yang belum mengakar dalam memori kolektif masyarakat daerah. Setiap
kelompok masyarakat atau daerah niscaya mempunyai mekanisme resolusi konflik
yang khas karena tidak ada kelompok masyarakat atau daerah yang tidak
menghendaki perdamaian. Dalam konteks ini, budaya politik daerah mesti
dikembangkan dalam rangka pemberdayaan politik dan demokrasi di tingkat daerah,
dan tidak sekadar media yang efektif bagi resolusi konflik. Harapan kedepan adalah
demokrasi lokal secara bertahap dan pelan-pelan harus mendorong tumbuhnya
pemerintahan lokal yang semakin terbuka. Fenomena pergeseran dari pemerintahan
birokratis (bureaucratic government) ke pemerintahan partai (party government)
merupakan sebuah contoh hadirnya pemerintahan yang semakin terbuka.
Lebih jauh konteks dinamika perpolitikan lokal dalam pelaksanaan otonomi daerah ini
juga memiliki tujuan jangka panjang dalam hal ini berorientasi pada paradigma
penyelenggaraan pemerintah daerah, good governance. Dalam hal ini, maka orientasi
pemerintahan berada pada rakyat, di mana pemerintah daerah dituntut peranannya
dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat secara optimal. Tentunya hal ini
yang menjadi tujuan utama pelaksanaan otonomi daerah, di mana fokus utamanya
terletak pada apa yang dibutuhkan rakyat dan society empowerment (pemberdayaan
masyarakat) bukan sekedar formalitas (ceremonial) belaka. Berbagai hal di atas
menjadi tantangan besar yang harus dijawab dengan bukti nyata, sehingga memacu
setiap daerah untuk mengembangkan potensinya agar tidak tersingkirkan dalam
persaingan. Namun, tentu saja banyak daerah yang tidak siap dengan kondisi ini. Tapi
sebagian kepala daerah yang punya visi daerah yang jelas tidak mau terpuruk dalam
kondisi ini. Menemukan format baru pemerintahan yang diawali dengan merubah
paradigma sistem manajemen yang lebih baik seperti prinsip efisiensi dan ekonomis,
merampingkan struktur pemerintahan, wirausaha birokrasi, kompetensi para birokrat
dan melibatkan pihak swasta dalam memajukan daerah dan masyarakat. Oleh karena
itu dibutuhkanlah suatu inovasi yang besar dalam menjalankan pemerintahan.
Selain itu juga, pelaksanaan otonomi daerah tidak selamanya membawa hasil positif
dalam pemerintahan dan kemajuan dinamika politik lokal yang dapat disebabkan oleh
kurangnya potensi lokal (SDM dan SDA dan kalaupun ada kurang dikembangkan)
dan ketidaksiapan masyarakat dan pemerintah, pola rekruitment yang tidak jelas dll.
Bahkan hasil penelitian di beberapa daerah mengarahkan kepada kesimpulan
gagalnya otonomi daerah yang dicerminkan dari ketiadaan political equality, local
responsiveness dan local accountability (Yappika, 2006; lihat juga untuk konsep ini
Smith, 1985:24). Hal ini akan dijelaskan lebih jauh sebagai berikut.
Masalah Kurangnya potensi lokal serta kurangnya kesiapan pemerintah dan
masyarakat. Banyaknya urusan yang telah diserahkan kepada kabupaten/kota ternyata
tidak diikuti oleh kemampuan dan jumlah SDM Aparatur yang tersedia. Terbatasnya
kualifikasi dan jumlah SDM aparatur ini merupakan masalah utama yang dihadapi
oleh Kabupaten/Kota. Di beberapa daerah bahkan pengisian jabatan dilakukan dengan
mengatrol kepangkatan seseorang, karena keterbatasan SDM yang memenuhi
persyaratan. Mekanisme Baperjakat (Badan Penilai Jabatan dan Kepangkatan)
seringkali terbentur pada keterbatasan jumlah dan kualifikasi SDM yang tersedia, di
samping juga politik afiliasi dan politik akomodasi. Keterbatasan SDM aparatur ini
sangat dirasakan dalam pelayanan publik maupun dalam pengelolaan keuangan
daerah. Tidak terkecuali adalah keterbatasan kemampuan anggota DPRD dalam
proses penganggaran. Akibatnya, perencanaan dan pengelolaan keuangan daerah serta
proses penganggarannya masih jauh dari optimal. Hal ini dipersulit lagi oleh
perubahan sistem anggaran dari pusat yang sangat cepat dan susul menyusul bahkan
seringkali tumpang tindih, sehingga menyulitkan respon kemampuan SDM aparatur.
Selain itu juga, peranan SDA perlu diperhitungkan, dikarenakan SDA yang memadai
turut mendukung perkembangan suatu daerah dalam hal penyediaan dana yang
berasal dari pendapatan asli daerah (PAD) yang didapatkan melalui pengelolaan SDA
tersebut. Oleh karena itu, daerah yang kurang SDA-nya tidak sepatutnya untuk
dimekarkan dan diterapkan otonomi daerah. Selain itu juga, fungsi pemerintah untuk
mengelolanya tidak berjalan dengan baik, misalnya Gubernur sebagai wakil pusat
kurang menjalankan fungsinya dengan baik, sehingga SDM aparatur tidak dapat
didistribusikan secara merata kepada kabupaten/kota di provinsinya. Terkait dengan
ktidaksiapan masyarakat dalam berdemokrasi, hal ini juga akan menghambat
perkembangan dinamika politik lokal yang juga akan sangat berpengaruh dalam
pemerintahan.
Pola rekuitment yang tidak jelas. Pengisian formasi jabatan baik untuk jabatan
politik maupun untuk jabatan karir di Instansi daerah sering diwarnai dengan
menguatnya isu putra daerah lebih banyak ditentukan oleh akomodasi kepentingan-
kepentingan tertentu, seperti afilisasi seseorang dengan bupati/walikota. Menteri
Dalam Negeri dan Otonomi Daerah menyatakan otonomi daerah sering menimbulkan
berbagai gejolak biasanya terkait dengan proses pemilihan kepala daerah dan
pertanggung jawaban kepala daerah (Republika, 10 Januari 2001). Selain itu, partai
juga harus melakukan rekrutmen dengan baik. Selama ini perannya lebih terlihat
sebagai calo bagi individu yang ingin berlaga di Pilkada. Kadang momen Pilkada
benar-benar dijadikan meraup keutungan besar bagi partai-partai politik, dan bahkan
ada yang memasang bandrol dengan harga mahal bagi seseorang yang ingin maju
menjadi kepala daerah. Oleh karena itu, mulai saat ini rekrutmen politik harus
dilakukan dengan benar. Partai politik jangan lagi mengusung pihak yang bayar,
tetapi harus mencari calon pemimpin daerah yang sebenarnya. Penilaian harus
didasarkan pada kredibilitas, kemampuan memimpin, dan nilai diri di mata
masyarakat. Proses seleksinya dapat dilakukan dengan konvensi. Jadikan politik lokal
diera otonomi ini jauh lebih baik dan fair (Musfi Yendra 2009). Untuk pengisian
formasi jabatan karir pemda hendaknya mengedepankan profesionalisme sehingga
tidak terjebak pada fanatisme sempit berupa kesukuan, sebab bila hal ini yang
ditonjolkan oleh pemda maka selain merugikan pemda sendiri, juga akan mengusik
rasa persatuan dan kesatuan bangsa yang telah sejak lama dibangun dan
diperjuangkan bahkan jauh sebelum kemerdekaan RI. Berkaitan dengan rekruitment,
profesionalisme akan dapat memberikan kinerja yang unggul karena pendekatan yang
bersifat primordial adalah masa lalu yang harus segera ditinggalkan. Pembinaan
pegawai di pemerintah daerah harus sudah menerapkan merit system agar kinerja
pemda dapat menjadi clean government di tingkat local sebagai sumbangan untuk
menciptakan clean government secara Nasional. (Soenarto 2001). Strategi pengisian
formasi jabatan yang paling valid, adil dan layak di daerah adalah dengan
mengadakan Fit and Proper Test secara obyektif kepada setiap calon, tanpa melihat
dari mana suku dan daerahnya yang penting masih warga negara Indonesia. Hal ini
akan mampu menekan isi kesukuan yang sudah tidak relevan lagi untuk
dipertahankan di era globalisasi karena keaslian dan kesukuan tidak akan menunjang
keberhasilan pelaksanaan tugas (the righ man in the rigt place). Selain kedua hal di
atas, ada juga kelemahan-kelemahan dalam pelaksanaan otonomi secara menyeluruh.
Menurut M. Alfan Alfian M (2007), pasca Orde Baru, kondisi dan dinamika politik
lokal tampak lebih sering menggejolak. Ini bisa dijelaskan, setidaknya lewat tiga hal.
Pertama, konflik politik lokal berpeluang lebar muncul sebagai konflik terbuka, dan
tak bisa ditutup-tutupi lagi, misalnya oleh kekuatan politik tingkat pusat. Pada zaman
Orde Baru, jangankan konflik politik, konflik sosial pun "tidak sampai ke
permukaan". Itu disebabkan kuatnya "negara" dalam mengontrol segala hal (tetek
bengek) urusan politik dari tingkat lokal hingga nasional, dengan pola kebijakan yang
amat sentralistik. Kedua, bisa dijelaskan dengan teori "desentralisasi korupsi".
Meminjam sinyalemen Ketua Indonesian Corruption Watch (ICW) Teten Masduki,
pasca-Orde Baru, tak hanya struktur kebijakan sentralistik yang berubah, seiring
otonomi daerah (desentralisasi), tetapi juga pola korupsinya. Bila dulu korupsi
terpusat, itu bisa dipilah ke lingkup "istana" (Cendana), kini polanya menyebar dan
merata dari tingkat pusat dan daerah. Setidaknya lebih ekspresif. Ketiga, akibat
ledakan politik yang belum bisa lepas sepenuhnya dari fenomena euforia. Hakikat
berpolitik pun rata-rata belum bisa dipahami secara benar. Menjadi politisi masih
dianggap sama dengan profesi lain. Mochamad Basuki, misalnya, bahkan terang-
terangan mengatakan, kalau mau kaya jadilah politisi. Tentu saja ungkapan ini agak
aneh, mengingat profesi politisi, berbeda dibanding pengusaha. Faktor pemahaman
yang salah terhadap otonomi daerah juga sering mengancam integrasi bangsa
Indonesia, dengan banyaknya muncul gerakan-gerakan separatisme di beberapa
daerah. Ada upaya-upaya yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu baik dari dalam
Indonesia sendiri maupun dari pihak asing terhadap daerah otonom untuk merongrong
kesatuan negara Republik Indonesia. Wacana melepaskan diri dari negara Indonesia,
walaupun ini cepat diatasi oleh pemerintah pusat. Konflik horizontal belakangan juga
sering muncul dengan memanfaatkan kepolosan hati rakyat oleh elit politik lokal,
terutama dalam menyikapi kekalahan bagi calon kepala daerah yang tidak terpilih.
Sehingga Pilkada dibanyak daerah selalu menyisakan konflik yang berdampak buruk
terhadap ekonomi, sosial dan politik bagi masyarakat lokal daerah tersebut. Fenomena
kerusuhan di berbagai daerah yang ditimbulkan oleh sengketa pilkada juga merupakan
warning bagi partai politik untuk melakukan introspeksi diri. Partai politik harus
menjalankan undang-undang, melaksanakan pendidikan politik rakyat pada tingkat
lokal, dan menjamin iklim politik yang kondusif. Untuk mengatasi hambatan-
hambatan di atas, maka dituntut adanya sikap dewasa dan rasional serta sanggup
untuk menerima adanya perbedaan pendapat termasuk kekalahan dari calon atau
partai yang didukungnya. Sepanjang proses pemilihan Kepala Daerah telah dilakukan
secara demokratis dengan mengikuti aturan main yang telah ditetapkan maka semua
pihak harus siap menerima apapun hasilnya. Dalam demokrasi ada idiom yang
menyatakan bahwa tidak mungkin suatu pilihan memuaskan semua orang. Sepanjang
pemilihan itu telah memuaskan dan diterima oleh sebagian besar masyarakat maka
hasilnya harus diterima dan disahkan sebagai keputusan yang legal. Teror, ancam-
mengancam secara fisik dan psikis merupakan manifestasi dari sikap yang belum
dewasa dalam berdemokrasi, sehingga hal ini harus dihindarkan dalam praktek-
praktek politik di era reformasi saat ini. Selain itu juga, menurut Ibnu Purna untuk
dapat mengeliminir terjadinya ego daerahisme pelaksanaan otonomi daerah harus
dilandasi dengan semangat plurarisme dengan cara mempelajari kembali sejarah
pergerakan Nasional dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia (Republika, 22
November 2000). Oleh karena itu, demi kemajuan dinamika politik lokal dan
kesuksesan penerapan otonomi daerah maka dibutuhkan kesungguhan semua pihak
yang terlibat guna memaksimalkan segi positifnya dan meminimalisir segi negatifnya.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari rangkaian pembahasan di atas mengenai dinamika politik lokal dalam
penyelenggaraan otonomi daerah, maka penulis mengambil beberapa kesimpulan
sebagai berikut.
1. Perkembangan dinamika politik lokal sangat sangat ditentukan oleh peranan
masyarakat dan pemerintah dalam mengembangkan potensi lokal guna mencapai
tujuan negara.
2. Penerapan otonomi daerah dalam pemerintahan dapat membawa hasil positif dan
negatif dalam perkembangan dinamika politik lokal.

B. Saran

Berbagai tantangan dan hambatan yang turut mewarnai perkembangan


dinamika politik lokal dalam penyelenggaraan otonomi daerah tentunya perlu
mendapat perhatian yang khusus dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis
menyarankan beberapa hal sebagai berikut.
1. Hendaknya pemerintah memaksimalkan potensi daerah masing-masing guna eksis
dalam persaingan di tingkat nasional.
2. Perlu penanaman budaya politik dalam dinamika politik lokal, untuk
meminimalisir sisi negatif dari penerapan otonomi daerah.

DAFTAR PUSTAKA

Abdilah S., Ubed, 2002. Politik Identitas Etnis: Pergulatan Tanda Tanpa Identitas.
Magelang: Indonesiatera.
Fukuyama, Francis. 2004. State Building: Governance and World Order in the
Twenty-First Century. London.
Gidden, Anthony, 2000. Jalan Ketiga, Pembaruan Demokrasi Sosial, terj. Ketut
Arya Mahardika, Jakarta: Gramedia Pustaka.
Heinelt, Hubert and Wollmann, 2003. Local Politics Research In Germany:
Developmentsand Characteristics In Comparative Perspective. London: Sage
Publications.
Hoessein, Bhenyamin. 1995. Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Akan Berputarkah Roda Desentralisasi dari
Efisiensi ke Demokrasi. Pidato Pengukuhan Guru Besar Universitas Indonesia.
Depok.------------------------------. 2001. “Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan
sebagai Tanggap terhadap Aspirasi Kemajemukan Masyarakat dan Tantangan
Globalisasi”. Usahawan 04/April, Jakarta.
http://www.koranpolitik.com/index.php?
option=com_content&task=blogcategory&id=7&Itemid=19, Download 25
Februari 2008, Search google.com
John, Steward & Gerry Stoker, 1989. The Future of Local Government, London:
Macmillan.
Kaho, Joseph R. 2001. Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Morfit, M., Strengthening the Capacities of
Local Government : Policies and Constraints, in Mac Andrew (ed) 1986. Central
Government and Development in Indonesia, Singapore: Oxford University Press.
Muluk, M.R. Khairul. 2006. Partisipasi Masyarakat dalam Pemerintahan Daerah
dengan Pendekatan Berpikir Sistem (Studi Administrasi Publik di Kota Malang).
FISIP UI. Jakarta.
Rohdewohld, Rainer. 2003. “Decentralization and The Indonesian Bureaucracy:
Major Changes, Minor Impact?”, di dalam Aspinal, Edward dan Fealy, Greg.
Local Power and Politics in Indonesia: Decentralization and Democratization.
Institute of Southeast Asian Studies. Singapore.
Smith, Brian C.. 1985. Decentralization. The Teritorial Dimension of the State.
London.
Yappika. 2006. “Studi Pelaksanaan Desentralisasi yang Membukan Ruang
Partisipasi Politik Rakyat, Efektivitas Tata Pemerintahan, dan Meningkatkan
Kesejahteraan Sosial Ekonomi Masyarakat”, hasil penelitian tidak dipublikasikan.
Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai