Anda di halaman 1dari 7

Tugas 3

Era reformasi dengan kebijakan desentralisasi menjadikan politik lokal di Indonesia dinamis.
Pilkada langsung. Pemberdayaan masyarakat dan memaksimalkan potensi ekonomi lebih
mudah untuk dilakukan.

Jawaban

desentralisasi adalah sistem pemerintahan yang lebih banyak memberikan kekuasaan kepada
pemerintah daerah.adapun berdasarkan UU No.23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah,
desentralisasi didefinisikan sebagai penyerahan urusan pemerintahan oleh pemerintah pusat,
kepada daerah otonom berdasarkan asas otonomi.setiap daerah tentunya memiliki
permasalahan yang tidak sama berbeda-beda. oleh karena itu, dalam penyelenggaraan
pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan daerah diperlukan sistem sesuai dengan
permasalahannya masing-masing.
Fungsi sistem desentralisasi adalah untuk meringankan beban pekerjaan yang ada di
pemerintah pusat, sehingga pekerjaan dapat dialihkan kepada pemerintah daerah. Supaya
dalam penyelenggaraan suatu pemerintahan, tidak terjadi penumpukan kekuasaan pada salah
satu pihak saja. tujuan desentralisasi adalah agar terwujudnya suatu pemerintahan yang
demokratis, melalui pelayanan masyarakat yang efektif, efisien dan ekonomis.seperti dikutip
dari modul PPKn yang disusun oleh Dr. Ida Rohayani, M. Pd., salah satu ciri dari negara
kesatuan adalah kedaulatan negaranya tidak terbagi-bagi. pemerintah pusat memang
mempunyai wewenang untuk menyerahkan sebagian dari kekuasaannya kepada pemerintah
daerah, namun, tanggung jawab akhir penyelenggaraan pemerintahan daerah tetap berada di
tangan pemerintah pusat sebagai pemegang kekuasaan. negara kesatuan mempunyai dua
bentuk, yakni negara kesatuan yang menggunakan sistem sentralisasi, dan sistem
desentralisasi. Negara kesatuan dengan sistem sentralisasi, bisa kita lihat apabila seluruh
urusan negaranya langsung dikendalikan dan diatur oleh pemerintah pusat, yang diikuti
wilayah daerah. sementara itu, negara kesatuan dengan desentralisasi adalah pemerintahnya
memberikan kewenangan kepada daerah, untuk mengatur suatu rumah tangganya sendiri atau
daerah otonom, seperti dikutip dalam modul Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
SMA/MA Kelas XII oleh R. Abdurrakhim Abubakar, S.Pd. dan Euis Laelasari, M.M.Pd.
penerapan desentralisasi dalam negara kesatuan menandakan bahwa kedudukan pemerintah
pusat adalah tetap, yakni sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Hal ditandai dengan daerah
yang juga ikut bertanggung jawab, terhadap pemerintah pusat dalam pelaksanaan otonomi
daerah. karakteristik Negara Kesatuan Republik Indonesia atas Pembagian Daerahnya
Indonesia adalah negara kesatuan, atau dikenal dengan sebutan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) yang ditegaskan dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (1). Indonesia menganut
asas desentralisasi, dengan sistem otonomi daerah.
pemberian otonomi daerah di Indonesia sendiri, dilaksanakan atas dasar prinsip negara
kesatuan. Pemilihan bentuk negara kesatuan tersebut, sangatlah sesuai dengan karakteristik
yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sendiri, karena Indonesia mempunyai beragam kekayaan
yang bisa dilihat dari suku bangsa, agama, dan budayanya.
NKRI terbagi menjadi daerah provinsi, dimana daerah provinsi tersebut terdiri atas daerah
kabupaten dan kota. Daerah kabupaten/kota terbagi lagi atas kecamatan yang terdiri dari
kelurahan atau desa. Daerah provinsi dan kabupaten/kota adalah termasuk wilayah yang
masing-masing mempunyai pemerintahan daerah. Pemerintah daerah ditugaskan dan diberi
kewenangan untuk mengatur dan mengurus daerahnya, berdasarkan aspirasi dan kepentingan
masyarakatnya. Sesuai dalam UU No. 23 tahun 2014, pelaksanaan otonomi daerah harus
didasarkan pada prinsip akuntabilitas, efisiensi, eksternalitas, dan kepentingan strategis
nasional.menurut modul PPKN Kemdikbud Dr. AT. Sugeng Priyanto, M.Si., menulis ada
beberapa urusan pemerintahan yang tidak diberikan kewenangan kepada daerah yaitu,
pertahanan negara, urusan pemerintahan politik luar negeri, yustisi, agama, moneter dan
fiskal nasional.urusan pemerintahan konkuren diserahkan ke daerah, sehingga menjadi dasar
pelaksanaan otonomi daerah. Urusan pemerintahan umum merupakan urusan pemerintahan,
yang menjadi kewenangan presiden sebagai kepala pemerintahan asas otonomi daerah terdiri
atas asas desentralisasi, asas dekonsentrasi, dan asas tugas pembantuan. Asas desentralisasi
adalah penyerahan urusan pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom.
Asas dekonsentrasi adalah pelimpahan sebagian urusan pemerintahan pemerintah pusat
kepada gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, kepada instansi vertikal di wilayah tertentu,
atau kepada gubernur dan bupati/walikota untuk urusan pemerintahan umum.
Asas tugas pembantuan adalah penugasan yang diberikan pemerintah pusat kepada daerah
otonom untuk sebagian urusan pemerintahan, dari pemerintah daerah provinsi, kepada
kabupaten/kota yang menjadi kewenangan daerah provinsi. Pada era reformasi secara factual
politik local dianggap telah mengalami banyak perubahan dan memberikan dampak
signifikan dalam praktek-praktek kepemrintahan daerah.Institusi politik local, peran-peran
yang dimakinkan oleh institusi politik, dan perkembangan rekru itmen kepemimpinan di
daerah telah memberikan warna baru bagi kondisi pembangunan di daerah.Banyak pihak
menginginkan adanya evaluasi terhadap praktek-praktek politik yang berkembang
di era reformasi tersebut.Dalam tatanan pemerintah daerah, politik local demikian
mewarnai perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembangunan sebagai kegiatan
pengambilan keputusan politik. Terdapat anggapan menguatnya politik local di
era reformasi telah muncul ekses antara lain fenomena tergerusnya semangat dan
nilai-nilai gotong royong dan konsep musyawarah mufakat dalam pengambilan
keputusan, dan diganti dengan pemungutan suara yang berpotensi memunculkan
konflik serta terjadinya kecurangan sebaga i akibat pengelolaan yang kurang baik.
Potensi kecurangan inilah selanjutnya akan berpotensi terjadinya konflik antar
sesama rakyat dalam perebutan kekuasa n, sehingga mencederai akar budaya
politik lokal yang menjunjung semangat musyawarah mufakat yang merupakan
tiang utama dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang demokrasi
berdasarkan Pacasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Politik local hidup dalam system politik nasional yang akan memberikan
kontribusi dalam perkembangan dan dinamikanya. Berkaitan dengan hal tersebut,
maka kajian ini perlu memberikan jawaban atas beberapa pertanyaan mendasar
sebagai berikut:
a.Bagaimana peta praktek politik di era orde baru, dan era reformasi.
b.Bagaimana pelaksanaan praktek politik lokal di era reformasi.
c.Bagaimana pengaruh politik lokal te rhadap efektifitas pemerintahan
daerah.
d.Bagaimana menyusun model dan alternatif kebijakan dalam
meningkatkan kualitas politik l okal dalam mendorong efektifitas
pemerintahan daerah.

dinamika etnisitas pada politik lokal di Sumatera Utara. Dinamika dimaksud adalah menyoal
tentang pendefenisian etnisitas yang bukan semata-mata secara primordial tetapi lebih kepada
konstruksi sosial yakni sebagai alat atau instrumen politik. Dinamika etnisitas ini kontras
menampak di Sumatera Utara pada era desentralisasi dan otonomi daerah tahun
1998. Kebijakan berupa „lokalisasi kekuasaan‟ ke daerah-daerah otonom ini melahirkan
arena politik baru yang lebih kecil dari politik nasional yakni politik lokal. Dinamika etnisitas
pada politik lokal menampilkan wajahnya berupa penguatan tema-tema etnisitas pada
pemekaran daerah, pemilihan kepala daerah, pemilihan legislatif daerah, maupun distribusi
jabatan-jabatan (birokrat) daerah. Setidaknya, dinamika etnisitas seperti ini ditemukan dan
dikemukakan penulisnya pada delapan kasus di Sumatera Utara. Agenda desentralisasi dan
otonomi daerah yakni ‘democratic decentralization’ yang pada ruang politik sekaligus
menjadi ‘political decentralization’ menampilkan proses demoktratisasi yang kebablasan.
Demokrasi dan kehidupan politik dimaknai sebagai „pertarungan identitas‟ sebagai wujud
politik aliran seperti disebut Liddle (1970:21). Pada taraf tertentu, pemaknaan politik seperti
ini sebenarnya cukup signifikan mencederai politik itu sendiri karena adanya pemaknaan
parsial, bias dan tandus. Akibatnya, proses demokratisasi yang terjadi di daerah sangat kerdil
dan kering. Sumatera Utara adalah wilayah Indonesia yang pertama kali menunjukkan
fenomena pembelahan etnik secara politik, religius dan ekonomi. Sebelumnya, kenyataan
seperti ini telah ditegaskan Liddle (1970:21) ataupun Bruner (1975:261) bahwa pembedaan
dan pembelahan sosial di Sumatera Utara terjadi karena faktor etnisitas. Etnisitas dalam
kajian ini tidak di pandang sebagai kesatuan identitas yang didasarkan pada ikatan primordial
(primordial ties) sebagaimana disebut Geertz (1975:61). Ikatan-ikatan seperti ini dalam
kehidupan organsiasi justru berdampak pada kemunculan birokrasi dan organisasi
patrimonial yang paradoks dengan birokrasi dan organisasi modern. Namun, etnisitas dalam
kajian ini dilihat sebagai konstruksi sosial (social construction) yakni sebagai alat
(instrumen). Sebagai kontruksi sosial, maka etnisitas berfungsi sebagai instrumen atau alat
(Nagata, 1981:93), Barth (1969:9), Hale (2008:5), ataupun strategi pada masyarakat majemuk
(Royce, 1983:4). Sebagai alat (mobilisasi), etnisitas dipandang sebagai kelompok
kepentingan yang dapat wujud karena adanya„kemantapan strategis etnisitas‟ (Glazer dan
Moynihan, 1971:iii).Kenyataan ini sejalan dengan van den Berghe (1981:5) bahwa etnisitas
adalah „permainan etnik‟ yang sengaja memperalat simbol-simbol etnik untuk memperoleh
akses ke sumberdaya ekonomi dan politik. Menurut Perret (2010:17), etnisitas sangat terkait
dengan„kepentingan etnik‟ di mana referensi etnik pada arena sosial diterapkan ke semua
aspek kehidupan sehari-hari yang melahirkan strategi dan taktik yang cenderung diproduksi
terus menerus mengubah bentuk identitas yang diakui. Karena itu, etnisitas menurut
Hale (2004:3) adalah referensi personal, sumber motivasi dan konstruksi sosial sebagai radar
sosial guna memahami dunia sosial. Delapan daerah yang dijelaskan pada buku ini masing-
masing diantaranya menunjukkan penguatan etnisitas pada setiap momen-momen politik.
Labuhanbatu di mekarkan untuk membentuk daerah-daerah baru sebagai perebutan tahta
politik berdasarkan etnisitas. Diselatan Nias menunjukkan pembelahan internal etnik Nias
karena sentimen kampung pada pilkada dan penyusunan birokrat daerah. Diutara Tapanuli
sentimen klan dan descendant semakin menguat untuk membentuk daerah administratif baru
sekaligus sebagai cara

memberi peluang pada klan dan descendant sebagai „pemimpin‟ dimasing-masing culture
area-nya. Kedua daerah ini, yakni Kepulauan Nias dan utara Tapanuli masih memiliki mimpi
terpendam yakni membentuk provinsi di daerah mereka masing-masing. Rencana ini tidak
lain dan tidak bukan adalah sebagai bentuk peneguhan deprivasi politiknya di Provinsi
Sumatera Utara.Sedikit berbeda di selatan Tapanuli dimana kedua etnik yakni Mandailing
dan Angkola memiliki sejarah buruk menyoal hubungan antaretnik di Kota Medan. kedua
wilayah ini memekarkan diri dari Tapanuli Selatan untuk meneguhkan culture area menjadi
daerah administrasi. Meskipun masih tertunda, tapi kedua etnik yang tidak sepaham ini
memiliki cita-cita membentuk provinsi di selatan Tapanuli sebagai pengakuan deprivasi
politik di Provinsi Sumatera Utara. Situasinya berbeda pada etnik Pakpak di Kabupaten Dairi.
Etnik Pakpak sebagai pemilik ulayat di Dairi merasakan marginalisasi identitas etnik,
eksklusi etno-religio maupun deprivasi politik. Keterpinggiran seperti ini menjadi dasar bagi
konsolidasi diinternal etnik Pakpak guna menuntut „hak-hak yang lebih besar‟yakni
pemekaran Dairi dengan pembentuk Pakpak Bharat. Di Simalungun menunjukkan fenomena
yang berbeda. Jika pemekaran di setiap daerah muncul dari elit internal etnik, maka di
Simalungun gagasan dan prakarsa pemekaran muncul dari elit etnik lain. Elit Simalungun di
peralat sebagai cara „menutup aib rencana pemekaran‟ yang muncul dari etnik luar (outsider
ethnic). Kenyataan ini menjadi salah satu faktor kegagalan pemekaran Simalungun sejak
tahun 2000. Konsep „Batak dan Melayu‟ di Sumatra Utara menjadi identitas yang kabur
(evasive identity). Kekaburan ini menyoal siapa dan dimana kedua etnik yang dikontruksi
etnograf asing sejak pertengahan abad ke-17. Label „Batak‟ disebutkan terdiri dari 6 subetnik
sedangkan subetnik sama sekali tidak dikenal dalam konsep antropologi. Persoalan ini belum
lagi menyentuh banyak kajian yang menyebutkan adanya perbedaan kontras diantara 6
kelompok etnik yang dipersamakan pada satu label yakni „Batak‟ itu. Demikian halnya
dengan label „Melayu‟. Label inipun menjadi kabur pada saat menunjuk siapakah etnik
Melayu yang sesungguhnya?. Menurut Perret (2010:373-384), Melayu di Langkat, Binjai dan
Medan adalah orang Karo yang menjadi Islam. Demikian pula Melayu di Serdang adalah
orang Karo dan Simalungun yang menjadi Islam, sedangkan Melayu di Bedagai,
Tebingtinggi dan Batubara adalah orang Simalungun yang menjadi Islam. Pun demikian
Melayu di Asahan adalah orang Toba yang menjadi Islam. Terakhir yang turut disoroti pada
naskah ini adalah menyoal Pemilihan Gubernur Sumatera Utara tahun 2018. Pilgub Sumatera
Utara menguatkan tesis Liddle (1971) tentang politik aliran. Kehidupan politik aliran seperti
ini menurut Bruner (1975:261) muncul dari faktor etnik. Politisasi agama dan etnik terasa
cukup kuat selama proses Pilgub Sumatera Utara. Melalui mimbar-mimbar agama ataupun
penonjolan simbol-simbol skriptualis sangat jelas tampak pada berbagai wilayah di Sumatera
Utara. Politisasi agama seperti ini muncul dari pasangan calon Eramas yang mengemas
agama sebagai kekuatan politik dan bukan sebagai kekuatan moral. Sementara itu, pasangan
calon Djoss mengemas etnik sebagai kekuatan politiknya. Namun, kekuatan agama jauh lebih
dahsyat jika dibanding dengan kekuatan etnik. Kenyataan ini dapat wujud karena„perasaan
sebagai bagian dari‟ agama tertentu lebih kuat dan intens bila dibanding dengan „perasaan
sebagai bagian dari‟ kelompok etnik. Situasi seperti ini terbentuk karena mimbar-mimbar
agama dan penonjolan simbol skritualis oleh tokoh-tokoh agama. Politisasi skriptual
menimbulkan ketakutan luar biasa bagi masyarakat sebab adanya stigma „kafir‟,
„pertanggungjawaban akhirat‟, dan lain-lain yang sama sekali tidak dimiliki identitas etnik.
Kenyataan diSumatera Utara semakin diperparah butterfly effect Pilkada DKI 2017 silam.
Kepakan kecil kupu-kupu di Pilgub DKI menimbulkan badai tornado di Sumatera Utara.
Namun, menguatnya politik identitas dan politik aliran melalui politisasi agama dan etnik ini
menunjuk pada kegagalan partai politik menghadirkan multikandidat
yang pluralism. Pada akhirnya, etnisitas selalu dikonstruksi sebagai radar sosial
guna meraih dan menguasai peluang sosial. Identitas etnik tidak permanen tetapi dinamis
sebagai sumber inspirasi, motivasi dan konstruksi simbol sosial

Politik desentralisasi pada era Orde Reformasi bersifat sangat dinamis,ditandai dengan
adanya tiga buah UU tentang Pemerintahan Daerah (UU Nomor 22 Tahun 1999, UU Nomor
32 Tahun 2004, dan UU Nomor 23 Tahun 2014) yang usianya relatif pendek, serta berbag ai
UU yang mengubah secara minor ketiga UU tersebut. Pada uraian selanjutnya dapat disusun
intisari politik desentralisasi pada era Orde Reformasi sebagai berikut :
1) Politik desentralisasi pada era Or de Reformasi sangat dinamis mengakibatkan peraturan
perund ang-undangan yang mengaturnya berusia pendek dan sering berganti-ganti, sehingga
menimbulkan ketidakpastian hukum ataupun meni mbulkan salah pemahaman para
penyelenggara pemerintahan daerah.
2) Secara implisit ada keinginan untuk memakai model desentralisasi berkeseimbangan baik
secara vertikal maupun horisontal, sekaligus meninggalkan paradigma titik berat otonomi
pada daerah kabupaten/kota, yang ditandai penguatan peran gube rnur sebagai Wakil
Pemerintah Pusat, pemindahan sebagian urusan pemerintahan dari kabupate/kota ke provinsi,
serta penguatan peran DPRD terutama dalam pembuatan peraturan daerah dalam rangka
menjalankan fungsi mengatur.
3) Ada indikasi demokratisasi yang di jalankan di daerah dalam rangka desentralisasi telah
bergeser ke arah plutokrasi yang ditandai dengan masuknya orang-orang yang memiliki dana
untuk menjadi pejabat politik– baik kepala daerah maupun anggota DPRD - karena besarnya
biaya politik yang harus disiapkan untuk terjun ke dunia politik.
4) Perubahan politik desentralisasi yang dilakukan melalui serangkaian penyempurnaan
berbagai peraturan perundang-undangan telah mendorong perubahan dari demokrasi
prosedural ke arah demokrasi substansial, yang ditandai dengan semakin banyaknya
pemerintah daerah menggunakan teknologi informatika sehingga tercipta “open government

Anda mungkin juga menyukai