Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Desentralisasi

1. Pengertian Desentralisasi

Desentralisasi merupakan pelimpahan wewenang dan tanggung jawab atau

kekuasaan untuk menyelenggarakan sebagian atau seluruh fungsi manajemen dan

administrasi pemerintahan dari pemerintah pusat dan lembaga-lembaganya;

pejabat pemerintah atau perusahaan yang bersifat semi otonom; kewenangan

fungsional lingkup regional atau daerah; lembaga non pemerintah atau lembaga

swadaya masyarakat (Smith dalam Domai, 2011:54-55).

Hal senada juga diungkapkan oleh Rondenelli dalam Domai (2011:15) yang

menyatakan bahwa “desentralisasi berarti pemindahan atau penyerahan

perencanaan, membuat keputusan atau otoritas manajemen dari pemerintah pusat

dan perwakilannya kepada organisasi lapangan, unit-unit pemerintah yang lebih

rendah, badan hukum publik, penguasa wilayah luas maupun regional, para ahli

fungsional, ataupun kepada organisasi non pemerintah”.

Pengertian desentralisasi juga dijelaskan oleh pakar administrasi publik dan

politik Indonesia. Salah satunya yaitu Hendratno (2009:64) yang mendefinisikan

desentralisasi sebagai penyerahan kekuasaan pemerintahan dari pusat kepada

daerah-daerah yang mengurus rumah tangganya sendiri (daerah otonom).

Penyerahan kewenangan kepada daerah otonom berupa otonomi daerah ini adalah

sebagai penyelenggaraan pemerintahan daerah, dimana pemerintahan daerah yang

mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya. Pemerintah daerah

11
12

diharapkan dapat membantu mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat

karena dengan tugas-tugas yang sudah terdesentralisasi tersebut pemerintah

daerah dapat membantu pemerintah pusat untuk mengurus Negara pada daerahnya

masing- masing (daerah otonom).

Menurut UNDP (1997:4) sebagaimana dikutip oleh Noor (2012:5),

desentralisasi merujuk pada restrukturisasi atau reorganisasi wewenang sehingga

ada sebuah sistem tanggung jawab bersama antara institusi pemerintah pada

tingkat pusat dan daerah menurut prinsip subsidiaritas, sehingga bisa

meningkatkan keseluruhan kualitas dan keefektifan sistem pemerintahan, dan juga

meningkatkan wewenang dan kapasitas daerah. Dengan desentralisasi, diharapkan

mampu memberikan peluang bagi terciptanya pemerintahan yang baik, seperti

meningkatkan peluang masyarakat untuk berpartisipasi dalam bidang ekonomi,

sosial, dan berbagai keputusan politik; membantu kapasitas rakyat yang masih

dalam taraf berkembang, dan memperluas tanggung jawab, transparansi, dan

akuntabilitas.

Malysheva dalam Elizabeth (2004) memberikan penjelasan Desentralisasi

adalah mentransfer kekuatan dari pusat ke tingkat regional/daerah dengan

memberikan fungsi- fungsi manajemen kepada otoritas lainnya.

Desentralisasi fiskal atau pewarisan kekuasaan fiskal dari pemerintah pusat

kepada pemerintah daerah dipandang sebagai bagian dari Paket reformasi untuk

meningkatkan efisiensi pada sektor public dalam meningkatkan kompetisi antar

pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan publik, dan untuk merangsang

pertumbuhan ekonomi (Bahl dan Linn dalam Davoodi (1998)).


13

Berdasarkan berbagai pendapat tentang desentralisasi diatas, maka

desentralisasi dapat diartikan sebagai proses penyerahan wewenang dan tanggung

jawab yang semula adalah urusan pemerintah pusat atau nasional kepada

pemerintah daerah atau lokal agar urusan-urusan tersebut menjadi wewenang serta

tanggung jawab pemerintah daerah.

2. Jenis Desentralisasi

Desentralisasi berdasarkan level atau tingkat kewenangan yang diberikan

kepada pemerintah daerah secara luas dibagi menjadi empat jenis, yaitu:

a) Deconcentration : penyerahan sejumlah kewenangan atau tanggung

jawab administrasi kepada tingkatan yang lebih rendah dalam kementrian

badan pemerintah.

b) Delegation : perpindahan tanggung jawab fungsi-fungsi tertentu kepada

organisasi diluar struktur birokrasi regular dan hanya di kontrol oleh

pemerintah pusat secara tidak langsung.

c) Devolution : pembentukan dan penguatan unit-unit pemerintah secara

subnasional dengan aktivitas yang substansial berada dikantor

pemerintah pusat.

d) Privatization : memberikan semua tanggung jawab atau fungsi-fungsi

kepada organisasi non-pemerintah atau perusahaan swasta yang

independen dari pemerintah (Rodenelli dalam Muluk, 2009:12).

Pendapat lain juga diungkapkan oleh Rondinelli (2000) sebagaimana dikutip

oleh Taufiq (2010:6) yang membagi jenis desentralisasi berdasarkan bidang

kewenangan yang diberikan kepada pemerintah daerah, yaitu:


14

1. Desentralisasi Politik, desentralisasi yang berkaitan dengan peningkatan

kekuasaan kepada penduduk dan perwakilan politik mereka dalam

pembuatan keputusan publik.

2. Desentralisasi Administrasi, berupa pelimpahan kewenangan layanan

publik kepada pihak lain dalam struktur kelembagaan Negara.

3. Desentralisasi Fiskal, desentralisasi yang berkaitan dengan perbaikan

kinerja keuangan melalui peningkatan keputusan dalam menciptakan

penerimaan dan pengeluaran yang rasional.

4. Desentralisasi Ekonomi atau Pasar, desentralisasi untuk menciptakan

lingkungan yang lebih baik bagi dunia usaha dan menyediakan barang

dan jasa berdasarkan respon terhadap kebutuhan lokal dan mekanisme

pasar.

Secara lebih lanjut, Simanjuntak (2001) sebagaimana dikutip oleh Taufiq

(2010:7), melakukan penyederhanaan jenis desentralisasi berdasarkan bidang

kewenangan yang diberikan kepada pemerintah daerah menjati 3 bagian, yaitu

desentralisasi politik, desentralisasi administrasi dan desentralisasi fiskal, yang

diantara ketiganya saling berkaitan erat satu sama lain dan sebaiknya dilaksanakan

bersama-sama agar tujuan otonomi daerah misalnya kemandirian daerah dapat

tercapai.

Berdasarkan berbagai pendapat diatas, maka jenis-jenis desentralisasi dapat

diketahui dalam 2 aspek yaitu jenis desentralisasi berdasarkan level atau tingkat

kewenangan yang diberikan kepada pemerintah daerah dan jenis desentralisasi

berdasarkan bidang kewenangan yang diberikan kepada pemerintah daerah. Jenis


15

desentralisasi berdasarkan level atau tingkat kewenangan yang diberikan kepada

pemerintah daerah sebagaimana dijelaskan diatas sebenarnya dapat

disederhanakan menjadi 3 jenis saja yaitu deconcentration, delegation, dan

devolution karena sudah mencakup dari keseluruhan jenis yang ada. Sedangkan

jenis desentralisasi menurut bidang kewenangan yang diberikan kepada

pemerintah daerah yang dilihat dari berbagai sumber seperti dijelaskan diatas

maka secara umum dibagi menjadi 3 yaitu desentralisasi administrasi,

desentralisasi fiskal dan desentalisasi politik.

3. Urgensi Desentralisasi

Desentralisasi merupakan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah

untuk mengubah sistem pemerintahan yang sentralistik (terpusat) menjadi

desentralistik. Sebagaimana diungkapkan oleh Khusaini (2006:7) yang

menjelaskan bahwa sistem pemerintahan sentralisasi cenderung akan menurunkan

peran pemerintah daerah karena aktivitas pemerintah pusat pada level lokal tidak

dijalankan berdasarkan pada kepentingan masyarakat setempat, melainkan

berdasar kepentingan pemerintah pusat. Permasalahan lainnya adalah korupsi

yang akan terjadi pada level pusat. Pemerintah pusat tidak menunjukkan

transparansi dalam beberapa aktivitas mereka, khususnya pada aktivitas yang

mengeluarkan uang.

Rondenelli dalam Domai (2011:17-18) mengidentifikasi sejumlah

argumentasi yang telah dibuat untuk desentralisasi, diantaranya yaitu:

a) Memudahkan artikulasi dan pelaksanaan kebijaksanaan pembangunan

yang dibuat untuk menyelesaikan perkembangan dengan adil melalui


16

usaha. Mempertinggi kapasitas satuan regional dan subregional dan

mencegah pemimpin politik dan pejabat setempat untuk mengemukakan

masalah dan prioritas pembangunan mereka sendiri.

b) Mengurangi pembatasan (keterikatan) dan prosedur birokrasi yang terlalu

tinggi.

c) Meningkatkan kesatuan nasional dan kekuasaan politik pemerintah dengan

menyediakan mekanisme pada masyarakat untuk mengemukakan masalah

mereka dan membicarakan tuntutan mereka pada perwakilan pemerintah

yang sesuai.

d) Menghasilkan koordinasi perencanaan dan pelaksanaan lokal yang lebih

efektif.

e) Sebagai alat untuk meningkatkan efisiensi perwakilan pemerintah pusat

dengan membebaskan administrator tingkat tinggi dari tugas-tugas ringan

yang dapat dikerjakan lebih efektif oleh pegawai lokal.

f) Sering dianggap sebagai prasyarat untuk meningkatkan partisipasi

penduduk dalam proses perencanaan pembangunan.

g) Memudahkan masuknya fasilitas dan program-program pemerintah dengan

mengurangi pengawasan dari kalangan elite setempat terhadap kegiatan

pembangunan, dengan mengawasi sekali-kali secara periodik dan

mengadakan evaluasi program oleh generasi berikutnya.

h) Meningkatkan efisiensi pelayanan kepentingan pokok masyarakat dengan

mengurangi biaya untuk pelayanan, propinsi, mengidentifikasi masalah


17

dalam sistem pemberitaan pada masyarakat, dan mendtangkan respon

umum pada rangka dasar pemerintahan dan fasilitas kesejahteraan sosial.

i) Meningkatkan fleksibilitas perwakilan pusat, pegawai lapangan dan

pemimpin lokal yang berkenaan dengan masalah khusus dalam sebuah

daerah atau wilayah, mencoba menerapkan program pada daerah yang

cocok, menguji inovasi administratif dalam suatu wilayah dan

menganjurkan pejabat lokal dan pemimpin politik untuk berinisiatif.

Pendapat lain juga diungkapkan oleh Sarundajang (2002) sebagaimana

dikutip oleh Khusaini (2006:74-75) yang memberikan alasan dilaksanakannya

desentralisasi, yaitu:

(a) Dari segi politik adalah untuk menyalurkan inspirasi dan aspirasi

masyarakat, sebagai wujud demokrasi melalui dukungan terhadap politik

serta kebijakan nasional dalam rangka pembangunan.

(b) Dari segi manajemen pemerintahan adalah untuk memberikan pelayanan

yang bervariasi melalui berbagai bidang yang dibutuhkan masyarakat.

(c) Dari segi kemasyarakatan adalah untuk meningkatkan partisipasi

masyarakat dengan menumbuhkan kemandirian masyarakat melalui usaha

pemberdayaan masyarakat.

(d) Dari segi ekonomi pembangunan adalah untuk melancarkan pelaksanaan

program pembangunan agar kesejahteraan masyarakat semakin meningkat.

Berdasarkan beberapa pendapat diatas, maka dapat disimpulkan bahwa

dianutnya sistem desentralisasi adalah karena beberapa kelemahan yang timbul

dari sistem pemerintahan sentralistik, salah satunya adalah penanganan segala


18

urusan lokal (pemerintah daerah) yang ditangani langsung secara sentral

(pemerintah pusat) sehingga rawan terjadi korupsi akibat kurang transparansi dan

tidak terpenuhinya layanan publik didaerah akibat kurang informasi secara detail

kebutuhan yang dibutuhkan oleh pemerintah daerah. Alasan lain

diselenggarakannya sistem desentralisasi adalah untuk meningkatkan efektifitas

dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan di daerah, karena dengan adanya

pembagian wewenang/kekuasaan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah

maka segala permasalahan yang ada di daerah akan lebih cepat terselesaikan

karena pemerintah daerah lebih faham dari pada pemerintah pusat.

B. Desentralisasi di Indonesia

Kebijakan desentralisasi di Indonesia diberlakukan berdasarkan Undang-

undang No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah pada awal Januari 2001.

Sebagaimana diungkapkan Piliang dalam Noor (2012:61-62) yang menjelaskan

Adanya UU No. 22 Tahun 1999, UU No. 25 Tahun 1999, dan PP No. 105 Tahun

2000 serta pedoman yang ditetapkan Menteri Dalam Negeri di atas menunjukkan

bahwa awal tahun 2001 merupakan landasan pacu bagi terjadinya desentralisasi

pemerintahan secara massif dan drastis, bahkan bisa juga disebut sebagai sebuah

lompatan yang luar biasa dalam tata kelola pemerintahan di negara ini. Tentu saja

perwujudan dari desentralisasi ini adalah otonomi daerah, di mana dalam otonomi

daerah ini pemerintah daerah memiliki hak, wewenang, dan kewajiban untuk

mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.


19

Kehadiran Undang-undang No. 22 Tahun 1999 dan Undang-undang No. 25

Tahun 1999 tampaknya belum mampu memberikan solusi terkait Desentralisasi di

Indonesia khususnya Desentralisasi fiskal daerah. Oleh karena itu pemerintah

kemudian merevisi kedua Undang-undang tersebut. Undang-undang No. 22

Tahun 1999 direvisi menjadi Undang-undang No. 32 Tahun 2004 Tentang

Pemerintahan daerah dan Undang-undang No. 25 Tahun 1999 direvisi menjadi

Undang-undang No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Seiring dengan berjalannya roda pemerintahan, segala UU dan peraturan


yang telah disahkan sebelumnya mengalami perubahan agar lebih maksimal
dalam penerapannya di lapangan. Dalam hal ini, Undang-Undang No. 22
Tahun 1999 diubah menjadi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah yang mengatur wewenang serta tanggung jawab politik dan
administratif pemerintah pusat, provinsi, kota, dan kabupaten dalam struktur
yang terdesentralisasi. Sedangkan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999
diubah menjadi UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan dasar hukum
bagi desentralisasi fiskal dengan menetapkan aturan baru tentang pembagian
sumber-sumber pendapatan dan transfer antarpemerintah (Noor, 2012:62).

Adapaun sebab-sebab yang menjadi latar belakang perlunya Undang-

Undang Nomor 22 Tahun 1999 direvisi bahkan diganti sebagaimana yang

diungkapkan Astawa (2009:47) antara lain yaitu:

(a) Adanya ketentuan dalam Undang-Undang Nomer 22 Tahun 1999 yang


mengurangi kewenangan pusat secara drastik sehingga dianggap tidak
sesuai dengan semangat NKRI ( Pasal 7 ayat 1);
(b) Adanya beberapa ketentuan yang menimbulkan penafsiran ganda yang
berkenaan dengan hubungan hierarki jabatan (Pasal 4 ayat 2) dan campur
aduk antara asas dekonsentrasi dengan desentralisasi (pasal 63);
(c) Konflik pemanfaatan sumber daya kelautan (Pasal 3);
(d) Kesenjangan antar daerah terutama pembagian sumber keuangan;
(e) Kecenderungan terjadinya praktik money politic, baik dalam Pilkada oleh
DPRD maupun dalam penyampaian LPJ Kepala Daerah kepada DPRD;
(f) Adanya perubahan system kepegawaian yang membuat PNS berkotak-
kotak dan bersifat kedaerahan;
20

(g) Hubungan desa dengan kabupaten, provinsi dengan kabupaten/kota


bersifat saling bebas, tidak dalam hubungan hierarki dan rentang kendali
(span of control) terlampau luas/jauh.

Diberlakukannya Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan

daerah dan Undang-undang No. 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan

antara pusat dan daerah memberikan dua dimensi dasar dalam desentralisasi.

Diantaranya yaitu:

a) Dimensi pertama sebagaimana tercermin dalam UU No. 32 Tahun 2004

yang menitikberatkan pada apa yang disebut sebagai desentralisasi

administratif. Desentralisasi administratif adalah pelimpahan wewenang

untuk mendistribusikan kewenangan, tanggung jawab, dan sumber daya

keuangan sebagai upaya menyediakan pelayanan umum kepada berbagai

level pemerintah.

b) Dimensi kedua sebagaimana diatur dalam UU No. 33 Tahun 2004 yang

menitik beratkan pada desentralisasi keuangan sebagai komponen inti dari

konsep desentralisasi. Desentralisasi keuangan merupakan konsekuensi

dari adanya kewenangan untuk mengelola keuangan (expenditure) secara

mandiri (Halim dkk, 2009:25-26).

Setelah berjalan beberapa tahun, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

tentang pemerintahan daerah dianggap terdapat beberapa kekurangan yang perlu

adanya beberapa perbaikan. Oleh karena itu pemerintah kemudian merevisi

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 untuk diganti dengan Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah. Penerapan Undang-Undang

ini lebih ditekankan kepada otonomi pada desa untuk membangun dari pinggiran.
21

Wewenang tersebut dilakukan karena perkotaan dianggap jauh lebih tinggi

pertumbuhan ekonominya daripada di desa. Sehingga semakin menumbuhkan

ketidak merataan pembangunan di Indonesia.

Berikut ini akan dijelaskan mengenai perbedaan isi undang-undang tentang

pemerintahan daerah, mulai dari undang-undang nomor 22 tahun 1999, undang-

undang nomor 32 tahun 2004, dan undang-undang nomor 23 tahun 2014 dilihat

dari segi asas dan pembagian kewenangan antara pemerintah provinsi dengan

kabupaten/ kota sebagaimana tabel 1 berikut:

Tabel 1. Perbedaan isi Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah

di Indonesia

No. Segi UU No. 22 UU No. 32 UU No. 23 Tahun


Tahun 1999 Tahun 2004 2014
1 Asas Asas Adanya Sembilan Adanya asas
desentralisasi asas yang tambahan dari
dan digunakan dalam undang-undang
dekonsentrasi penyelenggaraan sebelumnya yaitu
untuk daerah pemerintahan asas keadilan
provinsi dan daerah yaitu asas
asas kepastian hukum,
desentralisasi tertib
untuk daerah penyelenggaraan
kabupaten/kota Negara,
kepentingan
umum,
keterbukaan,
proporsionalitas,
profesional,
akuntabilitas,
efisiensi, dan
efektivitas.
2 Pembagian Titik berat Adanya beberapa Beberapa urusan
kewenangan otonomi daerah urusan yang berkaitan
antara difokuskan pemerintah dengan lintas
pemerintah untuk kepala kabupaten/kota daerah
provinsi daerah dengan provinsi kabupaten/kota
dengan (kabupaten/kota) yang tumpang diserahkan
22

kabupaten/ bukan tindih kewenangannya


kota pemerintah kepada provinsi,
provinsi. Selain sementara
itu daerah kabupaten/kota
provinsi hanya hanya memiliki
sebagai daerah kewenangan
administrative mengatur urusan
dalam daerah
kabupaten/kota
Sumber: Undang-Undang RI, Diolah oleh peneliti (2017)

Adapun penjelasan mengenai perbedaan isi undang-undang tentang

perimbangan keuangan Antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah di

Indonesia mulai dari undang-undang nomor 25 tahun 1999 hingga undang-undang

nomor 33 tahun 2004 akan dijelaskan pada tabel 2 berikut:

Tabel 2. Perbedaan isi Undang-undang tentang Perimbangan Keuangan

Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah di Indonesia

No. Segi UU No. 25 Tahun 1999 UU No. 33 Tahun 2004


1 Peraturan Tidak ada pasal yang Terdapat pasal yang mengatur
mengatur atau melarang atau melarang daerah dalam
daerah dalam upayaupaya peningkatan
peningkatan PendapatanPendapatan Asli Daerah
Asli Daerah (PAD) (PAD)
2 Pendapatan Pendapatan dari Pendapatan dari pemerintah
pemerintah atasan berupa atasan berupa dana
subsidi, bantuan atau perimbangan yang terdiri atas
ganjaran bagi hasil pajak dan bukan
pajak, DAU dan DAK
Sumber: Undang-Undang RI, Diolah oleh peneliti (2017)

C. Kemandirian Keuangan Daerah

1. Pengertian Kemandirian Keuangan Daerah

Kemandirian keuangan daerah merupakan salah satu aspek yang sangat

penting dari otonomi daerah secara keseluruhan. Sebagaimana yang tercantum

dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 bahwa, “Kemandirian keuangan


23

daerah berarti pemerintah dapat melakukan pembiayaan dan pertanggungjawaban

keuangan sendiri, melaksanakan sendiri, dalam rangka asas desentralisasi.”

Kemandirian keuangan daerah (otonomi fiskal) menunjukkan kemampuan


pemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan,
pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar
pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah.
Kemandirian keuangan daerah sendiri ditunjukan oleh besar kecilnya
pendapatan asli daerah dibandingkan dengan pendapatan daerah yang
berasal dari sumber lain misalnya, bantuan pemerintah pusat ataupun dari
pinjaman (Halim, 2002:128).
Keuangan daerah menurut Mamesah dalam Halim (2002) dapat diartikan

sebagai “semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula

segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan

daerah sepanjang belum dimiliki oleh negara atau daerah yang lebih tinggi serta

pihak-pihak lain sesuai peraturan perundangan yang berlaku”.

Dwiandra dalam Halim (2001:167) juga mengemukakan kemandirian

keuangan daerah berarti daerah harus memiliki keuangan dan kemampuan untuk

menggali sumber-sumber keuangan, mengelola dan menggunakan keuangan

sendiri yang cukup memadai untuk membiayai penyelenggaraan

pemerintahannya.

Dari beberapa pendapat yang dikemukakan diatas, dapat diambil

kesimpulan bahwa kemandirian keuangan daerah adalah kemampuan pemerintah

daerah dalam menggali dan mengelola sumber daya atau potensi daerah yang

dimilikinya secara efektif dan efisien sebagai sumber utama keuangan daerah

yang berguna untuk membiayai kegiatan penyelenggaraan pemerintahan didaerah.


24

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemandirian Keuangan Daerah

Menurut Mahi dalam Nogi (2007:82), dalam upaya untuk kemandirian

keuangan daerah, tampaknya PAD (indikator kemandirian keuangan daerah)

masih belum dapat diandalkan sebagai sumber pembiayaan desentralisasi karena

beberapa alasan, yaitu:

1. Relatif rendahnya basis pajak/retribusi daerah

2. Perannya tergolong kecil dalam total penerimaan daerah

3. Kemampuan administrasi pemungutan didaerah yang masih rendah

4. Kemampuan perencanaan dan pengawasan yang masih rendah.

Nogi (2007:89-92) mengemukakan bahwa terdapat faktor-faktor yang

mempengaruhi kemandirian keuangan daerah, antara lain:

1. Potensi daerah, indikator yang banyak digunakan sebagai tolak ukur


potensi ekonomi daerah adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).
2. Kemampuan Dinas Pendapatan Daerah, artinya kemandirian keuangan
daerah dapat ditingkatkan secara terencana melalui kemampuan atau
kinerja institusi atau lembaga yang inovatif dan pemanfaatan lembaga
Dispenda untuk meningkatakan penerimaan daerah.

Sedangkan Hamrolie (1990:47) secara lebih khusus mengemukakan faktor-

faktor yang mempengaruhi pendapatan asli daerah dari sektor pajak daerah adalah

sebagai berikut:

1. Potensi Wajib Pajak

2. Potensi besarnya pajak yang ditetapkan

3. Efektivitas pemungutan pajak

4. Tarif pajak

5. Dasar pajak (tax base)


25

Merujuk pada beberapa teori sebagaimana dijelaskan diatas, maka dapat

ditarik kesimpulan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi kemandirian

keuangan daerah adalah efektivitas pemungutan pajak/retribusi daerah.

3. Ukuran Kemandirian Keuangan Daerah

Pemerintah Daerah sebagai pihak yang diberikan tugas menjalankan

pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat wajib melaporkan

pertanggungjawaban keuangan atas sumber daya yang dihimpun dari masyarakat

sebagai dasar penilaian kinerja keuangannya. Salah satu alat untuk menganalisis

Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah dalam mengelola keuangan daerahnya

adalah dengan melakukan analisis keuangan terhadap APBD yang telah

ditetapkan dan dilaksanakannya (Halim, 2007: 231).

Untuk melihat tingkat kemandirian keuangan daerah dapat diukur

menggunakan rasio kemandirian (derajat desentralisasi). Rasio kemandirian ini

menggambarkan tingkat ketergantungan daerah terhadap sumber dana ekstern.

semakin tinggi rasio kemandirian berarti tingkat ketergantungan daerah terhadap

bantuan pihak ekstern (terutama pemerintah pusat dan provinsi) semakin rendah,

dan demikian pula sebaliknya (Halim, 2007:233). Adapun formula yang

digunakan untuk menghitung rasio kemandirian adalah:

PAD
RK = x 100%
TPD

Keterangan: RK = Rasio Kemandirian

PAD = Pendapatan Asli Daerah

TPD = Total Pendapatan Daerah


26

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa PAD merupakan aspek

yang sangat menentukan keberhasilan suatu daerah dalam menyelenggarakan

desentralisasi. Semakin tinggi PAD maka semakin besar kemampuan keuangan

daerah untuk membiayai belanja pemerintah dalam menjalankan roda

pemerintahan. Kriteria penilaian tingkat kemandirian dapat dikategorikan seperti

tabel berikut ini:

Tabel 3. Rasio Kemandirian

PAD/TPD (%) Tingkat Kemandirian


<10,00 Sangat Kurang
10,01 – 20,00 Kurang
20,01 – 30,00 Cukup
30,01 – 40,00 Sedang
40,01 – 50,00 Baik
>50,01 Sangat Baik
Sumber: Departemen Dalam Negeri

Semakin tinggi kemandirian suatu daerah menunjukkan bahwa daerah

tersebut semakin mampu membiayai pengeluarannya sendiri tanpa bantuan dari

pemerintah pusat.

D. Penelitian Yang Relevan

Beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini dan dapat menjadi

referensi pembanding adalah sebagai berikut:

1. Penelitian yang dilakukan oleh Aleksander Aristovnik dengan judul Fiscal

decentralization In eastern europe: trends And selected issues. Penelitian

ini membahas tentang analisis proses desentralisasi fiscal di Eropa Timur


27

selama 18 tahun terahir yaitu Antara tahun 1993 hingga 2010. Hasil

penelitian ini menunjukkan bahwa Hungaria dan Armenia memiliki

tingkat kemandirian keuangan (otonomi fiskal) terendah yaitu 33,4 % dan

46,4%, sedangkan tingkat kemandirian keuangan (otonomi fiskal)

tertinggi dimiliki oleh kroasia dan belarusia dengan tingkat kemandirian

86,0% dan 75,4%. Rendahnya tingkat kemandirian keuangan di Hungaria

dan Armenia menunjukkan bahwa pemerintah daerah memiliki daya serap

disektor perpajakan yang rendah.

2. Penelitian yang dilakukan oleh Irfan Supriyono tentang perkembangan

pendapatan asli daerah dalam mendukung kemandirian fiskal daerah

Kabupaten Malang tahun 2005-2009. Penelitian ini membahas tentang

perkembangan pendapatan asli daerah dan tingkat kemandirian fiskal

daerah Kabupaten Malang tahun 2005-2009. Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa selama tahun 2005-2009 rata-rata perkembangan

penerimaan pajak daerah sebesar 9%, retribusi daerah sebesar 27%, hasil

kekayaan daerah yang dipisahkan sebesar 17%, lain-lain pendapatan asli

daerah yang sah sebesar 96%. Adapun tingkat kemandirian fiskal di

Kabupaten Malang dilihat masih kategori rendah, hal ini dapat dilihat dari

derajat desentralisasi fiskal, BHPBP secara rata-rata selama lima tahun

anggaran (2005-2009) sebesar 7,94% dan 6,06% sedangkan sumbangan

atau subsidi dari pemerintah pusat sebesar 86,04%. Pemerintah

Kabupaten Malang mempunyai kapasitas fiskal yang lebih kecil

dibandingkan dengan kebutuhan fiskalnya. Hal ini menunjukkan bahwa


28

pemerintah Kabupaten Malang belum mampu memenuhi kebutuhan fiskal

daerahnya atau dengan kata lain belum mampu meningkatkan pendapatan

asli daerahnya sehingga masih bergantung pada subsidi dari pemerintah

pusat.

3. Penelitian lain juga dilakukan oleh Dori Saputra tentang Analisis

Kemandirian dan Efektivitas Keuangan Daerah pada Kabupaten dan Kota di

Propinsi Sumatera Barat. Penelitian ini membahas tentang Rasio

kemandirian keuangan daerah, Rasio efektivitas pendapatan asli daerah,

Trend kemandirian keuangan daerah, dan Trend efektivitas keuangan

daerah periode anggaran 2004-2011. Hasil penelitian ini menunjukkan

bahwa Rasio kemandirian keuangan daerah secara rata-rata berada pada

6,5% dengan kategori rendah sekali dari tahun 2004-2011, Rasio

Efektivitas pendapatan asli daerah secara rata-rata berada pada

kecendrungan sebesar 109,8% dengan kategori sangat efektif dari tahun

2004-2011, Trend kemandirian keuangan daerah secara rata-rata berada

pada kecendrungan 95,3% dari tahun 2005-2011, dan Trend efektivitas

keuangan daerah secara rata-rata berada pada kecendrungan 116,2% dari

tahun 2005-2011. Pemerintah Provinsi Sumatera Barat mempunyai rasio

kemandirian yang rendah sekali dengan rata-rata dibawah 10.00%. Hal ini

menunjukkan bahwa pemerintah Provinsi Sumatera Barat masih belum

mampu memenuhi kebutuhan keuangan daerahnya sehingga masih

bergantung pada batuan dari pemerintah pusat.


29

4. Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Irsutami tentang Analisis Tingkat

Kemandirian Keuangan Pemerintah Daerah Kota Batam Untuk Tahun

2006-2010. Penelitian ini membahas tentang perkembangan Pendapatan

Asli Daerah, Pendapatan daerah, dan tingkat kemandirian keuangan

daerah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pendapatan asli daerah

Kota Batam cenderung mengalami peningkatan dari tahun 2006-2010 dan

relatif melampaui target yang telah direncanakan. Pendapatan daerah Kota

Batam setiap tahunnya sejak 2006-2010 juga mengalami peningkatan

dimana realisasi penerimaan setiap tahunnya diatas 100%. Tingkat

kemandirian keuangan daerah Kota Batam selama 2006-2010 memiliki

rata-rata tingkat kemandirian keuangan yang masih sangat rendah, hal ini

berarti tingkat ketergantungan terhadap pemerintah pusat masih sangat

tinggi.

Anda mungkin juga menyukai