Anda di halaman 1dari 77

PENDAHULUAN Setiap negara, apapun bentuk Negara tersebut, memiliki fungsi-fungsi tertentu sebagai upaya untuk mencapai tujuan

negara. Menurut Pratikno (2006), terdapat 3 fungsi yang di miliki oleh negara yaitu; fungsi pelayanan publik (public services), fungsi pembangunan/kesejahteraan (welfare), dan fungsi

pengaturan/ketertiban (governability). Untuk melaksanakan ketiga fungsi ini agar lebih efektif dan efisien, maka Pemerintah Pusat perlu melakukan transfer atau memberikan kewenangan dan tanggungjawab kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah (daerah). Transfer/memberikan kewenangan dan tanggungjawab dari Pemerintah Pusat kepada pemerintah tingkat yang lebih rendah di namakan dengandesentralisasi. Sejak berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian direvisi menjadi UU Nomor 32 Tahun 2004, telah terjadi mekanisme bahwa kewenangan itu didesentralisasikan ke daerah. Untuk memahami desentralisasi, konep dan prakteknya serta kendala dan manfaatnya bagi peningkatakan kualitasa hubungan negara dan masyarakatnya akan dibahas dalam tulisan ini.

1.1.

PengertianDesentralisasi Konsep desentralisasi secara umum dapat dikategorikan kedalam 2 (dua)

perspektif

utama,

yakni

political

decentralisation

perspecitve

(perspektif

desentralisasi politik) dan administrative decentralisation perspecitve (perspektif desentralisasi administrasi). Perbedaan mendasar dua perspekstif ini terletak pada rumusan definisi dan tujuan desentralisasi. Perspektif desentralisasi politik mendefinisikan desentralisasi sebagai devolusi kekuasaan (devolution of power) dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Parson (1961), misalnya, mendefinisikan desentralisasi sebagai sharing of the governmental power by a central ruling group with other groups, each having authority within a specific area of the state.

Sedangkan dekonsentrasi, menurut Parson, adalah the sharing of power between members of the same ruling group having authority respectively in different areas of the state. Dengan merujuk pada definisi desentralisasi dan dekonsentrasi yang dirumuskan Parson tersebut, Mawhood (1987: 9) mengatakan bahwa

desentralisasi adalah devolution of power from central to local governments2. Hal senada juga dikemukakan oleh Smith (1985), yang mendefinisikan desentralisasi sebagai the transfer of power, from top level to lower level, in a territorial hierarchy, which could be one of government within a state, or offices within a large organisation. Poin penting yang menarik untuk digarisbawahi di sini adalah bahwa Smith mendudukkan ide devolution of power sebagai substansi utama

desentralisasi, kendati devolusi kekuasaan yang dimaksud tidak hanya dibatasi pada struktur pemerintahan. Pada sisi lain, perspektif desentralisasi administrasi lebih menekankan definisi desentralisasi sebagai delegasi wewenang administratif (administrative

authority) dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Rondinelli and Cheema (1983: 18), mengatakan: Decentralisation is the transfer of planning, decision-making, or administrative authority from central government to its field organisations, local administrative units, semi autonomous and parastatal organisations, local government, or non-government organisations. Transfer kewenangan atau pembagian kekuasaan ini terjadi dalam perencanaan

pemerintah, pengambilan keputusan dan administrasi dari pemerintah pusat ke unit-unit organisasi lapangannya, unit-unit pemerintah daerah, organisasi setengah swatantra-otorita, pemerintah daerah dan non pemerintah daerah. Selanjutnya menurut Rondinelli, terdapat empat model desentralisasi yang umum dijumpai dalam prakteknya, yaitu dekonsentrasi, devolusi, delegasi dan privatisasi. Istilah dekonsentrasi ini dipakai untuk menggambarkan pemindahan beberapa kekuasaan administrasi ke kantor-kantor daerah dari Departemen pemerintah pusat. Karena dalam model ini hanya melibatkan pemindahan fungsi administratif, bukan kekuasaan politis, maka jenis ini merupakan bentuk

desentralisasi yang paling lemah. Dekonsentrasi ini merupakan bentuk desentralisasi yang paling sering diterapkan di negara-negara sedang berkembang sejak tahun 1970-an. Istilah Devolusi ini merupakan kebijakan untuk membentuk atau memperkuat pemerintahan tingkat sub-nasional. Biasanya di tingkat sub-nasional telah mempunyai status hukum yang jelas, mempunyai batasan geografis yang tegas, sejumlah fungsi yang harus dikerjakan, dan kewenangan untuk mencari pendapatan dan membelanjakannya. Istilah Delegasi ini merupakan pemindahan tanggung jawab manajerial untuk tugas-tugas tertentu ke organisasi-organisasi yang berada di luar struktur pemerintah pusat dan hanya secara tidak langsung dikontrol oleh pemerintah pusat. Istilah privatisasi merupakan pemindahan tugas-tugas dan pengelolaan ke organisasi-organisasi sukarelawan atau perusahaan privat yang mencari laba maupun tidak. Banyak pemerintah di negara berkembang telah lama bergantung kepada organisasi-organisasi sukarela dalam penyediaan pelayanan publik. Konsekuensi dari penyerahan wewenang dalam pengambilan keputusan dan pengawasan kepada pemerintah lokal akan memberdayakan kemampuan daerah (empowerment local capacity). Perbedaan kedua perspektif dalam mendefinisikan desentralisasi,

berimplikasi pada perbedaan dalam merumuskan tujuan utama yang hendak dicapai. Secara umum, perspektif desentralisasi politik lebih menekankan tujuan yang hendak dicapai pada aspek politis, antara lain: meningkatkan keterampilan dan kemampuan politik para penyelenggara pemerintah dan masyarakat, serta mempertahankan integrasi nasional. Menurut Sadu Wasistiono (2005 : 61), terdapat 2 tujuan desentralisasi yaitu tujuan politik dan tujuan administratif. Tujuan politik dari desentralisasi adalah dalam rangka mewujudkan demokratisasi, sedangkan tujuan

administratifnya adalah dalam rangka efektivitas dan efisiensi pemerintahan.

Dari pengertian diatas dapat dikatakan bahwa desentralisasi pada dasarnya merupakan proses demokratisasi pemerintahan dengan memberikan kewenangan yang lebih luas kepada pemerintahan lokal (local government) dalam mengurus rumah tangga daerahnya untuk mencapai efektivitas dan efisiensi pemerintahan. Riswandha Imawan (2005 : 39) mengatakan bahwa desentralisasi merupakan konsekwensi dari demokratisasi. Tujuannya adalah membangun good governance mulai dari akar rumput politik. Dengan demikian, setiap keputusan harus dibicarakan bersama dan pelaksanaan dari keputusan itu

didesentralisasikan menjadi elemen penting dalam proses demokratisasi. Bahkan secara tegas dinyatakan oleh Ryaas Rasyid, (2007 : 17-18) bahwa Kebijakan desentralisasi yang melahirkan otonomi daerah adalah salah satu bentuk implementasi dari kebijakan demokratisasi. Hal ini berarti Tidak ada demokrasi pemerintahan tanpa desentralisasi. Dalam formulasi yang lebih rinci, Smith (1985) membedakan tujuan desentralisasi berdasarkan kepentingan nasional (pemerintah pusat), dan dari sisi kepentingan pemerintah daerah. Bila dilihat dari sisi kepentingan pemerintah pusat, tulis Smith (1985), sedikitnya ada tiga tujuan utama desentralisasi. Pertama, political education (pendidikan politik)3, maksudnya adalah, melalui praktik desentralisasi diharapkan masyarakat belajar mengenali dan

memahami berbagai persoalan sosial, ekonomi, dan politik yang mereka hadapi; menghindari atau bahkan menolak untuk memilih calon anggota legislatif yang tidak memiliki qualifikasi kemampuan politik; dan belajar mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah, termasuk masalah penerimaan dan belanja daerah (Maddick, 1963: 50-106). Kedua desentralisasi dari sisi kepentingan pemerintah pusat adalah to provide training in political leadership (untuk latihan kepemimpinan). Tujuan

desentralisasi yang kedua ini berangkat dari asumsi dasar bahwa pemerintah daerah merupakan wadah yang paling tepat untuk training bagi para politisi

dan birokrat sebelum mereka menduduki berbagai posisi penting di tingkat nasional. Kebijakan desentralisasi diharapkan akan memotivasi dan

melahirkan calon-calon pimpinan pada level nasional Ketiga desentralisasi dari sisi kepentingan pemerintah pusat adalah to create political stability (untuk menciptakan stabilitas politik). Melalui kebijakan desentralisasi akan terwujud kehidupan sosial yang harmonis dan kehidupan politik yang stabil (Smith, 1985: 23).

Dari sisi kepentingan pemerintah daerah, tujuan desentralisasi adalah untuk Pertama untuk mewujudkan political equality. Melalui pelaksanaan

desentralisasi diharapkan akan lebih membuka kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam berbagai aktivitas politik di tingkat lokal. Masyarakat di daerah, tulis Smith (1985: 24), dapat mempraktekkan bentukbentuk partisipasi politik, misalnya menjadi anggota partai politik dan kelompok kepentingan, mendapatkan kebebasan mengekspresikan

kepentingan, dan aktif dalam proses pengambilan kebijakan. Kedua, desentralisasi dari sisi kepentingan pemerintah daerah adalah local accountability. Melalui pelaksanaan desentralisasi diharapkan dapat tercipta peningkatan kemampuan pemerintah daerah dalam memperhatikan hak-hak komunitasnya, yang meliputi hak untuk ikut serta dalam proses pengambilan keputusan dan implementasi kebijakan di daerah, serta hak untuk mengontrol pelaksanaan pemerintahan daerah. Ketiga, desentralisasi dari sisi kepentingan pemerintah daerah adalah local responsiveness. Asumsi dasar dari tujuan desentralisasi yang ketiga ini adalah: karena pemerintah daerah dianggap lebih mengetahui berbagai masalah yang dihadapi komunitasnya, pelaksanaan desentralisasi akan menjadi jalan terbaik untuk mengatasi masalah dan sekaligus meningkatkan akselerasi

pembangunan sosial dan ekonomi di daerah.

Tujuan desentralisasi menurut perspektif desentralisasi administrasi (administrative decentralisastion perspective) lebih menekankan pada aspek efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan ekonomi di daerah sebagai tujuan utama desentralisasi. Rondinelli (1983: 4), misalnya, menyebutkan bahwa tujuan utama yang hendak dicapai melalui kebijakan desentralisasi adalah untuk meningkatkan kemampuan pemerintah daerah

dalam menyediakan public good and services, serta untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pembangunan ekonomi di daerah. Ruland (1992), lebih menekankan aspek partisipasi masyarakat dalam pembangunan ekonomi sebagai tujuan utama desentralisasi. Lebih jelasnya, Ruland (1992:3) mengatakan Decentralisation, as a corollary local autonomy, is seen as a positive contribution to increase people participation, which would eventually lead to socio-economic development (1992: 3). Hal penting yang perlu menjadi catatan dalam tulisan ini adalah bahwa selain memiliki beberapa perbedaan mendasar, antara perspektif desentralisasi politik dan desentralisasi administrasi, juga memiliki persamaan. Keduanya mendudukkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagai Potensi Lokal adalah bagian dari faktor penentu pencapaian desentralisasi. Peristilahan desentralisasi yang dinamis mengalami perkembangan dan perluasan arti. Desentralisasi tidak hanya diartikan sebagai pelimpahan kewenangan dari Pusat kepada Daerah, tetapi juga diartikan pelimpahan kewenangan dan pemerintah kepada sektor swasta. Hal tersebut antara lain dikemukakan oleh Litvack dkk. (1998:) yang memberi pengertian desentralisasi sebagai berikut. "Decentralizationthe transfer of authority and responsibility for public functions from the central government to subcordinate or quasi independent government or organization or the private sectorcovers a broad rang of concepts. Each type of decentralizationpolitical, administrative, fiscal, and markethas different characteristics, policy implications, and conditions for success. keberhasilan atau kegagalan tujuan

1.2.

Pengertian Otonomi Daerah Otonomi daerah merupakan realisasi dari ide desentralisasi (Imawan,

2005). Daerah otonom merupakan wujud nyata dan dianutnya asas devolusi dan dekonsentrasi sebagai makna dari desentralisasi sendiri. Dalam konteks ini, otonomi harus dipahami secara fungsional. Maksudnya, orientasi otonomi seharusnya pada upaya pemaksimalan fungsi pemerintahan (pelayanan, pengaturan, dan pemberdayaan) agar dapat dilakukan secepat, sedekat, dan setepat mungkin dengan kebutuhan masyarakat. Sejalan dengan Imawan (2005), Chaidir (2005) menyatakan bahwa otonomi merupakan wujud nyata desentralisasi. Dalam bahasa yang sederhana otonomi adalah suatu keadaan yang tidak tergantung pada siapa pun. Dalam bahasa yang lebih politis, dalam konteks hubungan pusat daerah, otonomi merupakan sebuah kewenangan yang dimiliki oleh daerah untuk mengatur sistem administrasi birokrasi, keuangan, kebijakan publik, dan hal hal lain, dalam batasan batasan yang telah ditetapkan dan disepakati bersama. Dengan adanya otonomi sebuah pembangunan yang lebih terarah dan tepat sasaran akan lebih dimungkinkan. Otonomi daerah menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri. Dan urusan pemerintahan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sementara daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk memaknai otonomi daerah, perlu dipahami bagaimana filosofi dan visi dari otonomi daerah itu sendiri. Menurut Syamsuddin Harris, (2007), ada 2 filosofi otonomi daerah yang penting untuk dipahami, yaitu : 1) Melihat otonomi daerah sebagai otonomi dari masyarakat daerah, bukan sekadar otonomi pemerintahan daerah. Konsekuensi logis dari cara

pandang ini adalah bahwa kebijakan otonomi daerah harus berorientasi pada pemberdayaan dan kesejahteraan bagi masyarakat lokal. 2) Memandang otonomi daerah sebagai hak daerah yang sudah ada pada masyarakat setempat. Konsekuensi logis dari cara pandang ini adalah bahwa otonomi daerah sebagai hak masyarakat tidak dapat dicabut oleh pemerintah pusat. Visi otonomi daerah menurut Ryaas Rasyid, (2007 : 9) dapat dirumuskan dalam 3 ruang lingkup interaksinya yang utama, yaitu politik, ekonomi serta sosial budaya.

1) Visi otonomi daerah di bidang politik : Karena otonomi daerah adalah buah dari kebijakan desentralisasi dan demokratisasi, maka ia harus dipahami sebagai sebuah proses untuk membuka ruang bagi lahirnya kepala pemerintahan yang dipilih secara demokratis, memungkinkan berlangsungnya pemerintahan yang responsif terhadap kepentingan masyarakat luas, dan memelihara suatu mekanisme pengambilan keputusan yang taat pada asas pertanggungjawaban publik. 2) Visi Otonomi daerah di bidang Ekonomi Otonomi daerah harus menjamin lancarnya pelaksanaan kebijakan ekonomi nasional di daerah, dan di lain pihak, terbukanya peluang bagi pemerintah daerah dalam mengembangkan kebijakan regional dan lokal untuk mengoptimalkan potensi ekonomi di daerahnya, sehingga otonomi daerah akan membawa masyarakat ke tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi dari waktu ke waktu. 3) Visi otonomi daerah di bidang sosial budaya : Otonomi daerah harus dikelola sebaik mungkin demi menciptakan dan memelihara harmoni sosial, dan pada saat yang sama memelihara nilai-nilai lokal yang dipandang bersifat kondusif terhadap kemampuan masyarakat dalam merespon dinamika kehidupan di sekitarnya.

1.3.

Desentralisasi dan Kualitas Hubungan Negara dan Masyarakat (State-

Society Relation)
Bila desentralisasi dipahami berdasarkan perspektif state-society relation, akan diketahui bahwa sejatinya keberadaan desentralisasi adalah untuk mendekatkan negara kepada masyarakat, sedemikian rupa sehingga antara keduanya dapat tercipta interaksi yang dinamis, baik pada proses pengambilan keputusan maupun dalam implementasi kebijakan (Vincent Ostrom, 1991). Dengan mendudukkan desentralisasi seperti ini, tegas Ostrom, maka diharapkan terwujud the features of governance that would be appropriate to circumstance where people govern rather than presuming that government govern (1991:6). Dalam kerangka berfikir perspektif state-society relation desentralisasi bukan sebagai tujuan akhir tetapi hanya sebagai alat atau sarana untuk menegakkan kedaulatan rakyat (society). Tujuan akhir yang hendak dicapai tidak lain adalah demokratisasi, kemakmuran, dan kesejahteraan rakyat. Dengan kerangka berfikir perspektif state-society relation cenderung tidak memisahkan antara konsep dan implementasi kebijakan desentralisasi dengan sistem politik dari negara yang sedang berkuasa Dalam negara demokrasi pola interaksi antara state dan society sangat dinamis. Terjadi suatu interaksi dua arah antara state dan society, baik pada proses pengambilan keputusan (policy making) maupun pada tahap implementasi kebijakan (policy implementation). Berbagai keputusan yang diambil oleh negara secara prinsip merupakan persenyawaan antara tuntutan masyarakat (society) dan kepentingan pihak state. Tegasnya, kalaupun negara secara legal formal memiliki otoritas untuk menjatuhkan palu akhir atas berbagai keputusan, namun peran dalam proses pengambilan keputusan lebih sebagai mediator atas kompleksitas dan perbedaan kepentingan kalangan masyarakat. Praktek desentralisasi dalam negara demokrasi memiliki hubungan interkoneksitas dengan karakteristik pola interaksi state-society seperti dijelaskan sebagai berikut :

Sebagai bagian dari kebijakan nasional, baik perumusan konsep maupun implementasi kebijakan desentralisasi didasarkan pada interaksi dua arah antara state dan society. Sehingga keberadaannya merupakan persenyawaan antara kepentingan pihak state dan society.

Hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam hal ini lebih didasarkan pada prinsip salingketergantungan dan saling membutuhkan.

Pengertian daerah dalam konteks hubungan pusat-daerah lebih merujuk pada entitas yang terdiri dari pemerintah daerah dan masyarakat daerah. Sehingga, pada tataran yang lebih mikro, kesetaraan interaksi antara state dan society dapat tercipta, yakni antara pemerintah daerah dan komunitasnya.

Interkorelasi antara pola hubungan state-society dan kebijakan desentralisasi dalam negara demokrasi dapat dilihat pada Gambar 1. Pola Interaksi Negara Masyarakat Kebijakan Desentralisasi

Negara

Pemerintah Pusat

Pemda Masyarakat Masyarakat

Gambar 1.

Pola interaksi state-society dan kebijakan desentralisasi pada negara demokrasi

10

1.4.

Implementasi Desentralisasi dan Otonomi Daerah Berdasarkan Perpektif Hubungan Negara Masyarakat untuk Mencapai Tujuan Negara Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah pada tataran konseptual

(normatif), tidak akan mencapai hasil optimal bila tidak diikuti upaya penataan yang baik pada tataran operasional, yang antara lain menghendaki adanya reformasi pendekatan dalam implementasi kebijakan desentralisasi. Pendekatan kebijakan yang harus diterapkan adalah pendekatan yang bersifat holistik. Terminologi holistik dapat dimaknai sedikitnya dalam dua dimensi. Pertama, sebagai salah satu instrumen untuk mewujudkan cita-cita berbangsa dan bernegara, maka kebijakan desentralisasi tidak dapat berdiri sendiri, namun harus terkait dan sejalan dengan kebijakan-kebijakan pada bidang lain, sehingga dapat tercipta kondisi saling dukung dan saling mengisi, bukan sebaliknya, antara kebijakan desentralisasi dengan kebijakan-kebijakan pada bidang lain. Kedua, holistik juga berarti bahwa dalam implementasi kebijakan

desentralisasi harus memperhatikan karakteristik, potensi, dan kekhususankekhususan yang dimiliki masing-masing daerah. Skema pendekatan Implementasi Desentralisasi dan Otonomi Daerah berdasarkan Perpektif Hubungan Negara Masyarakat tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.

11

(1)
DESENTRALISASI
1. Pengaturan ttg Hub Kekuasaan Pusat dan Daerah 2. Pengaturan ttg Hub Keuangan Pusat dan Daerah

(2)
OTDA
Hak Pemda dan masyarakat utk mengambil keputusan dan mengimplementasikan berbagai kebijakan yang telah diambil berdasarkan prakarsa, aspirasi dan kemampuan yang dimiliki daerah

(3)

TUJUAN YG INGIN DICAPAI


1. Mempertahankan integrasi bangsa

2.

2. Training Kepemimpinan Nasional 3. Percepatan Pencapaian kesejahteraan n Kemakmuran Rakyat 4. Demokrasi di tkt Lokal 5. Efisiensi dan Efektifitas Penyelenggaraan Pemda 6. Peningkatan Pelayanan Publik

(5)
Karakter Daerah Kemampuan Daerah (Pluralitas Lokal)

(4) KEBIJAKAN PENUNJANG


Persepsi para penyelenggara Pemda dan masy. Ttg Desentralisasi n Otda Perilaku Politik para penyelenggara Pemda Keb. Partisipasi masyarakat Keb. Parpol, Kel. Kepentingan, Ormas, dan Media Massa Keb. Sistem Pemilu Keb. Kepegawaian Keb. Hankam Keb. Hub. LN Keb. Penegakan Hukum Keb. Peningkatan Kualitas SDM di daerah Keb. Pengelolaan SDA dan Lingkungan Keb. Investasi Keb. Gender dll

Gambar 2.

Pendekatan Implementasi Desentralisasi dan Otonomi Daerah berdasarkan Perpektif Hubungan Negara - Masyarakat

12

Secara umum pendekatan Implementasi Desentralisasi dan Otonomi Daerah berdasarkan Perpektif Hubungan Negara Masyarakat pada Gambar 2. dapat dijelaskan sebagai berikut: Kebijakan desentralisasi pada prisipnya lebih banyak mengatur dua variabel utama, yaitu hubungan kekuasan dan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah (Kotak 1). Dengan adanya penyerahan kekuasaan, termasuk didalamnya kekuasaan dalam hal keuangan, akan terwujud otonomi daerah, yakni hak pemerintah daerah dan masyarakat untuk mengambil keputusan dan dan aspirasi

mengimplementasikan

kebijakan

berdasarkan

prakarsa

masyarakat, serta kemampuan yang dimiliki daerah (Kotak 2). Ini berarti, secara implisit, mengindikasikan bahwa ruang lingkup otonomi yang dimiliki daerah sangat ditentukan oleh seberapa jauh kekuasaan yang telah diserahkan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah melalui kebijakan desentralisasi. Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah bagaikan dua sisi mata uang: antara satu dan yang lain berbeda letak dan status, namun saling mengisi dan memberi makna. Selanjutnya, tujuan yang hendak dicapai melalui kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, antara lain untuk mepertahankan integrasi bangsa, training kepemimpinan nasional, mempercepat mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, menciptakan demokratisasi di tingkat lokal, efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan daerah, dan peningkatan pelayanan publik (Kotak 3). Tujuan yang hendak dicapai tersebut telah merangkum tujuan desentralisasi berdasarkan kepentingan nasional dan tujuan desentralisasi berdasarkan kepentingan daerah. Untuk mencapai tujuan tersebut tidak mungkin terlaksana bila hanya bertumpu pada kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah semata tanpa terkait dan didukung oleh kebijakan-kebijakan pada bidang lain.

13

Demikian juga halnya dengan keinginan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mustahil terwujud bila hanya didasarkan pada kebijakan pengaturan hubungan keuangan pusat- daerah,tanpa terkait dan didukung oleh kebijakan bidang investasi, pengelolaan sumber daya alam, dan lain sebagainya.

Jadi, untuk dapat mewujudkan tujuan ideal kebijakan desentralisasi, maka pada tingkat implementasi ia harus terkait dan didukung oleh kebijakankebijakan pada bidang lain. Kebijakan pada bidang lainnya tersebut diberi status sebagai digambarkan sebagaimana Kotak 4. Dengan status ini, secara eksplisit ditunjukkan bahwa keberadaan kebijakan bidang-bidang lain dapat berperan sebagai pendukung atau penghambat bagi pencapaian tujuan ideal desentralisasi (Kotak 3).

Faktor lain yang penting diperhitungkan dalam implementasi kebijakan desentralisasi adalah karakteristik, potensi, dan kekhususan-kekhususan yang dimiliki masing-masing daerah (Kotak 5). Kebijakan desentralisasi yang ideal adalah jika penyerahan kekuasaan kepada daerah disesuaikan dengan karakteristik dan kemampuan nyata masingmasing daerah. Ini berarti, jumlah dan ruang lingkup kekuasaan yang diserahkan tidak harus sama antara daerah satu dengan yang lain.

Proses penyerahan kekuasaan seyogianya dilakukan secara bertahap, disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan masing-masing daerah.

14

PEMILIHAN KEPALA DAERAH LANGSUNG (PILKADASUNG) SEBAGAI PROSES DEMOKRATISASI LOKAL DI ERA OTONOMI DAERAH Oleh : Yeti Kuswati

2.2.

Pilkadasung sebagai Proses Demokratisasi Dalam perspektif desentralisasi dan proses demokrasi lokal pada masa

sekarang salah satunya yaitu dengan diterapkannya sistem pemilihan kepala daerah langsung (Pilkadasung) merupakan sebuah inovasi yang bermakna dalam proses konsolidasi demokrasi di era otonomi daerah. Pilkadasung memiliki sejumlah keunggulan dibandingkan dengan sistem rekruitmen politik yang ditawarkan oleh model sentralistik ala UU no. 5 tahun 1974 atau model demokrasi perwakilan yang dimuat dalam UU no. 22 tahun 1999. Tetapi sejak dikeluarkannya undang-undang nonor 32 tahun 2004, bahwa proses demokrasi lokal sejalan dengan perkembangan era otonomi daerah merupakan suatu proses yang sangat penting dan menentukan masa depan daerahnya, sehingga daerah tersebut dapat menata pemerintahan dan pembangunan daerahnya masingmasing setelah menetapkan pimpinan daerah melalui pilkadasung. Tantangan bagi konsolidasi demokrasi ini adalah bagaimana memberikan akses demokrasi kepada masyarakat dan pembentukan serta penguatan institusiinstitusi demokrasi di daerah. Di titik inilah desentralisasi dengan perwujudan otonomi daerah memiliki peran yang sangat penting dalam konsolidasi demokrasi. Peran desentralisasi dalam konsolidasi demokrasi tersebut berasal dari adanya proses demokrasi lokal yang memotivasi otoritas lokal dalam menjawab aspirasi dan kebutuhan konstituennya/masyarakatnya. Selain itu salah satu pemikiran diterapkannya desentralisasi ini adalah agar institusi demokrasi lokal akan lebih memahami dan merespon aspirasi lokal , karena jika dilihat dari aspek jarak institusi dan masyarakat lokal berada pada posisi lebih dekat, mereka memiliki akses yang lebih baik terhadap informasi yang diperlukan.

15

Desentralisasi bukan hanya persoalan pengaturan hubungan antar berbagai tingkatan pemerintahan namun juga merupakan persoalan mengenai hubungan antara negara dan rakyatnya. Kebijakan desentralisasi bukanlah tanggung jawab pemerintah pusat atau daerah semata namun juga merupakan tanggung jawab masyarakat lokal sebagai pihak yang memiliki hak utama dalam penyelenggaraan kehidupan lokal. Hal ini akan tercapai melalui lembaga perwakilan masyarakat lokal dalam wadah DPRD melalui proses pemilu yang bebas. Demokratisasi di Indonesia kemudian diperkuat dengan adanya pemilihan kepala daerah secara langsung atau yang lebih dikenal dengan pilkadasung mulai tahun 2005 dan geliat pilkadasung akhir-akhir ini semakin dinamis. Pilkadasung merupakan proses demokrasi lokal, karena dengan pilkadasung kepala daerah yang akan memimpin daerah dalam mencapai tujuan desentralisasi akan terpilih melalui tangan-tangan masyarakat lokal secara langsung. Kepala daerah terpilih inilah yang nantinya akan menjadi pemimpin dalam pembangunan di daerah termasuk di dalamnya penguatan demokrasi lokal dan penerapan prinsip menata pemerintahan yang baik. Bagi calon incumbent yang maju untuk kedua kalinya, pilkadasung menjadi sarana masyarakat lokal untuk mengevaluasi kinerja calon selama yang bersangkutan menjabat sebagai kepala daerah. Komitmen luhur untuk mengembangkan demokratisasi dan membangun pemerintahan yang baik dibarengi setidaknya faktor sistem hukum yang dirakit, kelembagaan pemerintah, dan dan menejemen pemerintahan, profesionalisme pilkadasung, aparatur kesiapan

penyelenggaraan

masyarakat/stakeholder,dll. Dukungan dimaksud terkadang masih jauh dari kenyataan, sehingga pagelaran demokrasi lewat pilkadasung masih semerawut dengan sederatan masalah. Dari sejumlah pilkadasung yang telah digelar contohnya di Jawa Barat tercatat sejumlah kecenderungan, antara lain: 1) Masih rendahnya tingkat apresiasi politik masyarakat; 2) Kebablasan dalam memahami dan mengaktualisasi demokrasi sebagai proses dan nilai;

16

3) Partai Politik digarap sebagai lahan mencari nafkah, bukan sebagai suatu wadah yang memperjuangkan ideology tertentu; 4) Budaya kepemerintahan yang mengkultuskan dan terpusat pada figure tertentu, pemangku pemerintahan lebih menampakkan diri sebagai pangreh yang dilayani bukan sebagai pamong yang melayani; 5) Infrastruktur politik dan sosial masih jauh dari transparansi dan akuntabilitas; 6) Krisis pemimpin yang berkualitas; 7) Pilkadasung terkait dengan bayang-bayang uang. Dari fenomena yang terukir dalam pagelaran pilkadasung sebagai wujud dari proses demokratisasi di daerah tentunya membawa implikasi bagi pengembangan pembangunan daerahnya, baik implikasi positif maupun implikasi negatif. Oleh karenanya, dalam topik ini berusaha menyajikan tentang Pemilihan kepala daerah langsung(pilkadasung) sebagai proses demokratisasi lokal di era otonomi daerah berimplikasi daerah. terhadap kemajuan pembangunan

Landasan hukum pilkadasung Landasan hukum penyelenggaraan pemilihan umum kepala daerah secara langsung dituangkan dalam: 1. UU nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; 2. UU nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi; 3. UU nomor 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu. Mencermati landasan hukum pilkadasung yang telah ditetapkan, terlihat secara formal tersedia rambu-rambu bagi penyelenggaraan pilkadasung, karena berbagai konsekuensi yang berkenaan dengan Pilkadasung. Ketersediaan landasanhukum secara formal tidak sepenuhnya menjamin terselenggaranya pilkadasung secara baik dan dapat membangun kepercayaan masyarakat

terhadap mekanisme demokrasi tersebut. Pilkadasung secara demokratis ditandai dengan ciri-ciri yang dikemukakan Patrick Marloe (1999:1), yaitu menghargai dan

17

menjunjung tinggi hak-hak asasi, kepercayaan masyarakat dan persaingan yang adil. Dalam kaitannya dengan pengembangan demokrasi justru perangkat hukum pilkadasung bukan sekedar suatu proses teknis, tetapi harus memenuhi tuntutan substansi demokrasi. Pilkadasung merupakan bagian dari suatu proses politik dan proses demokrasi masyarakat yang beradab, sehingga hukum dibutuhkan untuk membangkitkan dan memulihkan kepercayaan masyarakat. Sebagaimana ditulis Patrick Marloe (1999:3), UU dan prosedur pemilihan yang baik memang penting tapi belum cukup; masyarakat termasuk para calon, harus percaya bahwa pemilihan itu akan dilaksanakan secara efektif dan tidak memihak. 2.2. Hambatan dalam Pilkadasung Sebagai gambaran tentang fenomena demokrasi yang berkembang dalam era otonomi daerah, dapatlah dikemukakan kasus pemilihan kepala daerah

langsung (pilkadasung) yang telah berjalan dibeberapa tempat mengalami adanya hambatan dalam proses pemilihannya. Pilkadasung dipraktekkan sebagai salah satu wujud reformasi terkait dengan obsesi untuk mengembangkan dan menumbuhsuburkan demokrasi. Proses pilkadasung memang merupakan indikator tumbuhnya (transisi) demokrasi lokal, namun dalam praktiknya (proses, hasil dan dampak) pilkadasung selama era reformasi juga menimbulkan sejumlah masalah yang runyam. Sandungan yang sering terjadi dalam pelaksanaan pilkadasung pada

umumnya diantaranya : Pertama, pilkadasung hanya berlangsung dalam ruang yang oligarkis dalam partai politik dan DPRD. Di dalamnya hampir tidak terjadi proses politik secara sehat untuk memperjuangkan nilai-nilai ideal jangka panjang, melainkan hanya terjadi permainan politik jangka pendek seperti intrik, manipulasi, konspirasi, money politics.

18

Kedua, partisipasi masyarakat yang betul-betul otentik tidak ada dalam proses pilkadasung. Dalam pilkadasung tidak terjadi kontrak sosial antara

mandat dan visi, atau antara kandidat dan konstituen. Aktor-aktor politik yang bermain melakukan mobilisasi massa untuk membuat seru pilkadasung, tetapi mobilisasi itu bukanlah partisipasi (voice, akses dan kontrol) masyarakat, melainkan hanya untuk kepentingan konspirasi dan pertarungan antar power blocking dalam jangka pendek. Partai politik maupun aktor-aktor politik lainnya sangat hebat dalam memobilisir massa, tetapi telah gagal mengorganisir massa secara beradab dan demokratis. Semakin besar dan brutal mobilisasi massa itu, maka konflik fisik tidak bisa dihindari lagi. Ketiga, karena berlangsung dalam proses politik yang tidak sehat dan tidak beradab, pilkadasung sering menghasilkan kepala daerah yang bermasalah (berijazah palsu, premanisme, pelaku kriminal, koruptor, bodoh, dan seterusnya). Tidak sedikit bupati/walikota yang hanya berorientasi politik jangka pendek untuk mengejar kekuasaan dan kekayaan saja. Sekarang sering muncul istilah raja-raja kecil untuk menunjuk bupati/walikota yang menumpuk kekuasaan dan kekayaan itu. Keempat, mekanisme dan hasil akuntabilitas politik kepala daerah sangat lemah. Komitmen luhur untuk membangun demokrasi yang sehat dibarengi

setidaknya oleh faktor sistem hukum yang dirakit, kelembagaan pemerintahan, manajemen pemerintahan, profesionalisme aparatur pemerintah, dan kesiapan masyarakat/stakeholder, itu hampir kurang menunjang. Dalam kenyataan Pilkadasung di Jawa Barat, komitmen tersebut masih tersandung pada sederetan masalah/tantangan dalam proses yang telah berlangsung, diantaranya yaitu: 1) Monopoli mekanisme pengajuan pasangan calon Kepala Daerah & Wakil Kepala Daerah oleh partai politik atau gabungan partai politik menjadikan pilkadasung sangat potensial sebagai ajang elit politik dan money politics; Partai politik lebih leluasa menjadikan dirinya sebagai kendaraan bagi

19

mereka yang berminat ke bursa pencalonan dengan menyediakan sejumlah dana tertentu. 2) Ketentuan UU No. 32/2004, Pasal 59 ayat (5) menyebutkan bahwa PNS, anggota TNI dan kepolisian yang menduduki jabatan negeri (jabatan struktural dan fungsional) yang mengajukan dirinya sebagai calon, cukup dengan mengundurkan diri dari jabatannya, dalam prakteknya tidak memperkuat institusi partai politik. Singkatnya jarak waktu antara

pengunduran diri (non-aktif) bagi mereka yang sedang menjabat Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah/Sekretaris Daerah yang kemudian

mencalonkan diri, menyebabkan bahwa calon yang pernah berkuasa masih mempunyai kesempatan dan kemampuan untuk mengendalikan aparat pemerintah demi kepentingan politiknya, sehingga tidak menjamin netralitas Pegawai Negeri Sipil/TNI/Kepolisian, yang ikut dalam pencalonan pilkada tersebut. 3) Rendahnya partisipasi warga masyarakat dalam pilkadasung berhubungan dengan banyaknya warga masyarakat yang tidak tercantum dalam daftar pemilih atau tidak memperoleh kartu pemilih. Masalah penyusunan data pemilih merupakan salah satu hal yang paling semrawut dan mengundang protes dalam pilkada. Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005, pelaksanaan pemutakhiran data pemilih merupakan kewajiban dan

tanggungjawab Pemerintah Daerah yang dilakukan unit kerja yang melaksanakan urusan pendaftaran penduduk (Dinas kependudukan dan Catatan Sipil). Permasalahan tersebut muncul karena: a) kurangnya koordinasi antara Dinas Kependudukan & Catatan Sipil dengan KPUD. b) Kurangnya keterlibatan RT/RW dalam proses pendaftaran pemilih; c) Kartu pemilih terlambat atau tidak disampaikan sama sekali; d) atas dasar pertimbangan politik disinyalir ada petugas pendaftaran pemilih sengaja tidak mendaftarkan atau menyampaikan kartu pemilih kepada warga tertentu.

20

4) Pilkadasung yang dilakukankepada rakyat, tidak berarti Kepala Daerah & Wakil Kepala Daerah terpilih, akan langsung lebih tanggap terhadap rakyat yang menjadi konstituen dengan merealisasikan program-program yang dijanjikannya ketika kampanye. 5) Pengabaian terhadap aspirasi dan keterlibatan perempuan sebagai kandidat kepala daerah dan wakil kepala daerah. 6) Gugatan hasil Pilkadasung ke Pengadilan Tinggi dan gugatan terhadap keputusan KPUD ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Hampir seluruh pilkada di Jawa Barat berujung dengan gugatan terhadap hasil pilkada dengan kecurigaan terjadinya kecurangan, namun tidak satupun gugatan tersebut dikabulkan. 2.3. Implikasi Positip dan Negatip dalam Pilkadasung Pilkadasung berimplikasi terhadap pertumbuhan demokrasi dan jalannya pemerintahan di daerah.Pilkadasung telah bergulir sebagai sebuah hajatan demokrasi yang bergengsi di era reformasi. Hajatan tersebut tentunya menjanjikan sebuah proses yang demokratis, sehingga dapat menciptakan pemerintahan yang akuntabel dan menjelmakan kesejahteraan masyarakat. Masyarakat Indonesia telah terlibat dalam proses tersebut, namun belum serius mengawali proses yang berlangsung tersebut. Demikian pula sejumlah aktor yang terlibat dalam proses pilkadasung belum mengapresiasi secara baik asas transparansi dan akuntabilitas, sehingga proses pilkadasung masih meninggalkan sederetan sandungan menuju terwujudnya cakrawala demokrasi yang semakin berkualitas. Realitas tersebut pada gilirannya berkonsekuensi pada hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap perangkat hukum yang mengatur sistem dan proses pilkadasung. Pilkadasung mempunyai implikasi positif terhadap kemajuan

pembangunan daerahnya, diantaranya sbb: Dengan dilaksanakannya pilkadasung, menjadikan daerah tersebut dapat menerapkan demokrasi lokal dimasyarakatsesuai dengan kemampuannya,

21

dan menjadikan daerah tersebut bisa maju dan berkembang, serta dapat menata pembangunan daerahnya kearah yang lebih baik lagi. Dengan adanya pilkadasung, masyarakat lokalmempunyai hak memilih dan hak suaranyauntuk diberikan kepada calon yang dipilihnya, dengan sebutan one man one vote, sehingga hak masyarakat tidak bisa diwakilkan lagi kepada wakil-wakil rakyat yang lain dalam memilih pemimpinnya. Dengan dilaksanakannya pilkadasung, pemerintah daerah mempunyai kesempatan untuk menerapkan demokratisasi lokal dalam memilih

pimpinannya yang sesuai dengan keinginan rakyatnya.

Selain itu, tercatat sederetan implikasi negatif akibat penyelenggaraan pilkadasung, antara lain: 1. Kelemahan-kelemahan pada pelaksanaan pilkadasung berujung pada

sengketa pasca pilkadasung dan kekecewaan yang berlanjut. Hal ini menunjukkan di beberapa kabupaten, pilkadasung gagal menetapkan pemenang yang diterima khalayak, dan di banyak tempat telah meningkatkan persaingan politik yang tidak sehat antar elit-elit politik. Persaingan yang tidak sehat ini telah menghentikan roda pemerintahan pada satu kabupaten. 2. Metode-metode kampanye dan mobilisasi telah membangun atau

memperkuat hubungan-hubungan patronase yang mendorong penyaluran kekuasaan dan sumberdaya pemerintah melalui jalur tidak resmi, sehingga semakin mengukuhkan siklus pemerintahan yang korup. Fenomena ini sudah memunculkan konflik di antara para elite lokal yang saling berebut dukungan, dan menurut sejumlah indikasi yang ada sekarang, akan terus mempersempit peluang untuk memperbaiki pemerintahan yang sedang berlangsung. 3. Terdapat beberapa tanda-tanda awal bahwa jaringan patronase yang dikembangkan selama pilkadasung akan dimanfaatkan untuk memobilisasi kekecewaan ditingkat masyarakat.

22

4. Praktek lima tahunan pilkadasung ini masih memunculkan permasalahan yang berimplikasi terhadap konflik sosial dan kelembagaan legislatif dan eksekutif daerah, serta munculnya ketidakharmonisan hubungan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. 5. Pemborosan anggaran. Penggunaan uang yang semakin marak dari waktu ke waktu untuk membeli suara konstituen dan ongkos pilkada yang amat mahal, tidak adanya jaminan pasangan calon terbaik akan menang, sehingga akibatnya biaya kampanye yang besar sulit dipisahkan dari perilaku koruptif kepala daerah terpilih.Realitas yang dipaparkan ini sangat kontras dengan hakekat otonomi daerah dan demokrasi yang pada hakekatnya adalah pemerataan dan peningkatan kesejahteraan serta keadilan masyarakat di daerah. Harapan untuk percepatan kesejahteraan rakyat telah didistorsi oleh sistem pilkadasung

23

PELAYANAN PUBLIK SEBAGAI BENCHMARKS PEMERINTAH DAERAH DI ERA DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH Oleh: Tintin Kartini

3.1.

Konteks Pelayanan Publik Pelayanan pada dasarnya didefinisikan sebagai aktivitas seseorang,

sekelompok atau organisasi baik langsung ataupun tidak langsung, untuk memenuhi kebutuhan. Monir (2003:16) mengatakan bahwa pelayanan adalah proses pemenuhan kebutuhan melalui aktivitas orang lain secara langsung. Sedangkan Mentri PAN (1993) mengemukakan bahwa pelayanan adalah segala bentuk barang atau jasa dalam rangka upaya pemenuhan masyarakat. Definisi pelayanan menurut Sinambela (2005 :5) adalah setiap kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap sejumlah manusia yang memiliki setiap kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan atau kesatuan dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu produk secara fisik. Agung Karmawan (2005:26) mengatakan bahwa pelayanan publik adalah pemberian

pelayanan (melayani) keperluan orang lain atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan. Pelayanan publik pada dasarnya menyangkut aspek kehidupan yang sangat luas. Dalam kehidupan bernegara, maka pemerintah memiliki fungsi berbagai pelayanan publik yang diperlukan oleh masyarakat. Mulai dari pelayanan bentuk pengaturan ataupun pelayanan lain dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat, misalnya dalam bidang pendidikan, kesehatan dan lainnya. Pelayanan publik dalam masyarakat dan keterbukaan informasi publik tidak dapat dipisahkan. Walaupun hal tersebut telah diatur dalam UU tersendiri, negara berkewajiban melayani setiap warganya untuk memenuhi hak dan kebutuhan dasarnya dalam kerangka pelayanan publik. Saat ini penyelenggaraan

24

pelayanan publik masih dihadapkan pada kondisi yang belum sesuai dengan kebutuhan dan perubahan di berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pelayanan Publik oleh Kepmen PAN No. 58 Tahun 2002 terbagi tiga kelompok yaitu : 1. Kelompok Pelayanan Administratif : yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk dokumen formal yang dibutuhkan oleh publik. Beberapa jenis pelayanan publik yang dapat dikategorikan sebagai bagian dari pelayanan administratif misalnya penerbitan dokumen yang berkaitan dengan : status kependudukan atau kewarganegaraan (misalnya : Kartu Tanda Penduduk, pasport, akta nikah, akta kelahiran, akta kematian, dll); status kepemilikan (misalnya : Sertifikat Hak Atas Tanah, Buku Pemilik Kendaraan ermotor, dll); Status kompetensi (misalnya : Surat Ijin Mengemudi, Ijin Mendirikan Bangunan, Surat Ijin Usaha, dll.). 2. Kelompok Pelayanan Barang : yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk/jenis barang yang digunakan oleh publik. Hal ini berkaitan dengan tugas-tugas yang dilaksanakan oleh Negara selaku pelaku usaha, yang kewenangannya dilaksanakan oleh Badan Usaha Milik Negara (misalnya penyediaan air minum/air bersih, penyedia listrik, penyediaan jaringan telekomunikasi, dll). 3. Kelompok Pelayanan Jasa : yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk/jenis barang yang dibutuhkan oleh publik (misalnya: pelayanan pendidikan, pemeliharaan kesehatan, penyelenggaraan transportasi,

penyelenggaraan pos, dll). Ruang lingkup penyelenggaraan pelayanan publik dewasa ini semakin meluas dan menyentuh tidak saja pemenuhan atau penegakkan hak-hak dasar manusia, seperti pendidikan, sandang, pangan, perumahan, pekerjaan yang layak, jaminan kesehatan, lingkungan hidup yang sehat, dan lain sebagainya, akan tetapi juga menyangkut hal-hal yang langsung menyentuh kehidupan masyarakat sehari-hari, seperti perijinan, identitas

25

status, penyaluran kebutuhan bahan pokok, transportasi, telekomunikasi, dan sebagainya. 3.2. Indikator Pelayanan Publik Prima Pelayanan publik prima atau pelayanan yang berkualitas didefinisikan oleh beberapa pakar sebagai berikut: 1. Menurut Osborne & Gebler (1995), Bloom (1981) antara lain memiliki ciriciri seperti tidak prosedural (birokratis) terdistribusi dan terdesentralisasi serta berorientasi kepada pelanggan. 2. Menurut Kasmir (2005:31) mengatakan pelayanan yang baik adalah kemampuan seseorang dalam memberikan pelayanan yang dapat memberikan kepuasan kepada pelanggan dengan standar yang ditentukan. 3. Menurut Zethami & Haywood Farmer dalam Warella (1997:17) ada tiga karakteristik utama tentang pelayanan yaitu : Intangibility, heterogeinity,inseparability. Intangibility berarti bahwa pelayanan pada dasarnya bersifat

performance dan hasil pengalaman dan bukannya objek. Kebanyakan pelayanan tidak dapat dihitung, diukur, diraba atau di tes sebelum disampaikan untuk menjamin kualitas. Berbeda dengan barang yang dihasilkan oleh suatu pabrik yang dapat di tes kualitasnya sebelum disampaikan kepada pelanggan. Heterogeinity berarti pemakai jasa atau klien atau pelanggan memiliki kebutuhan yang sangat heterogen. Pelanggan dengan pelayanan yang sama mungkin mempunyai prioritas berbeda. Demikian pula

performance sering bervariasi dari suatu prosedur ke prosedur lainnya bahkan dari waktu ke waktu. Inseparability berarti bahwa produksi dan konsumsi suatu pelayanan tidak terpisahkan. Konsekuensinya di dalam industri pelayanan kualitas tidak direkayasa ke dalam produksi di sektor pabrik dan

26

kemudian disampaikan kepada pelanggan. Kualitas terjadi selama interaksi antara klien dan penyedia jasa. 3.3. Pelayanan Publik sebagai Benchmarks Pemerintah Daerah Pelayanan publik merupakan salah satu bidang yang dikaji oleh Ilmu Adminstrasi Publik, maka cakupan dari ilmu Adminstrasi Publik adalah kepentingan publik (Public Interest) dan urusan publik (Public Affair). Dalam upaya pelaksanaan pelayanan publik, tugas administrasi publik adalah memberikan pelayanan yang baik terhadap kepentingan rakyat dan masyarakat. Jadi bukanlah sebaliknya rakyat yang mengabdi kepada kepentingan administrasi publik. Untuk membangun pelayanan publik yang berorientasi kepada kepentingan publik maka dibutuhkan administrasi dan birokrasi yang

profesional. Lewat upaya penataan administrasi yang baik pastinya akan berakibat baik pula terhadap pelayanan yang diberikan, oleh sebab itu, maka administrasi publik sangat berkaitan erat dengan pelayanan publik. Pelayanan Publik di Indonesia masih rendah. Demikian salah satu kesimpulan Bank Dunia yang dilaporkan dalam World Development Report 2004, dan hasil penelitian Governance and Desentralitation Survey (GDS) 2002. Buruknya pelayanan publik, bukan hal baru, fakta di lapangan banyak menunjukkan hal ini. Tiga Masalah penting yang banyak terjadi di lapangan dalam penyelenggaraan Pelayanan Publik yaitu : 1. Besarnya diskriminasi pelayanan, pelayanan masih diselenggarakan sangat dipengaruhi oleh hubungan pertemanan, kesamaan afiliasi politik, etnis dan agama. 2. Tidak adanya kepastian biaya dan waktu pelayanan yang sering menjadi penyebab munculnya KKN, sebab para pengguna jasa cenderung memilih menyogok dengan biaya tinggi kepada penyelenggara pelayanan untuk mendapatkan kepastian dan kualitas pelayanan. 3. Rendahnya tingkat kepuasan masyarakat terhadap layanan publik, ini merupakan konsekuensi logis dari adanya diskriminasi pelayanan dan

27

ketidakpastian tersebut. SOP (Standard Operating Procedure) pada masingmasing service provider belum diidentifikasi dan disusun sehingga tujuan pelayanan masih menjadi pertanyaan besar. Akibatnya pada satu pihak penyedia pelayanan dapat bertindak semaunya tanpa rasa bersalah kepada masyarakat.

Gambaran kondisi pelayanan publik di Indonesia pada saat ini (Dadang Solihin, 2012) , adalah : Masih rendahnya kualitas pelayanan Masih besarnya peranan Pemerintah Daerah dalam penyediaan pelayanan Tidak jelasnya standar pelayanan Rendaknya akuntabilitas pelayanan Hal-hal yang perlu diperhatikan untuk mengatasi masalah pelayanan publik di era desentralisasi antara laian adalah: 1. Penerapan standar pelayanan. 2. Pengembangan standar operating Prosedur (SOP), 3. Penggembangan survey kepuasan pelanggan; 4. Pengembangan sistem pengelompokan pengaduan. 5. Antisipasi berbagai penyakit dalam pelayanan publik dan sistem birokrasi seperti : pungli, korupsi, kolusi, dan nepotiesme, diskriminasi pelayanan, proseduralisme dan berbagai macam kegiatan yang tidak efektif dan efisien. 6. Kembangkan asas keterbukaan dalam pelayanan publik dibutuhkan karena tidak adanya keterbukaan dapat menimbulkan penyalahgunaan kewenangan dari pejabat negara sehingga pelayanan publik dalam penyelenggaraan negara tersebut semakin dapat dipertanggungjawabkan. 7. Meningkatkan kualitas pelayanan dalam proses pengambilan keputusan publik 8. Mengubah pola pikir para pejabat bahwa Republik Indonesia ini, bukan lagi Negara kekuasaan tetapi sudah menjadi Negara Pelayanan Publik.

28

IMPLIKASI DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT Oleh: Aan Anwar Shihabudin

4.1.

Konteks Kesejahteraan Masyarakat Istilah kesejahteraan berasal dari kata sejahtera yang mendapat awalan

ke dan akhiran an. Mansur Muslich menjelaskan bahwa bentuk dasar yang dapat dilekati morfem imbuhan (ke-an) pada umumnya berkelas kata kerja, kata benda, kata sifat dan kata bilangan.Dalam hal ini maka kata sejahtera yang mendapat awalan ke dan akhiran an berubah dari kata sifat menjadi kata benda. Sehingga arti sejahtera berbeda dengan arti kesejahteraan, kalau arti sejahtera adalah tenang dan tenteram, selamat, tak kurang sesuatu apapun. Menurut Sudarman Danim manusia yang sejahtera adalah manusia yang memiliki tata kehidupan dan penghidupan, baik material maupun spiritual yang disertai dengan rasa keselamatan, kesusilaan dan ketenraman lahir dan batin, yang pada akhirnya dapat memenuhi kebutuhan jasmaniah, rohaniah dan sosialnya. Dari pengertian diatas, maka dapat diambil suatu pengertian bahwa yang dimaksud dengan tingkat kesejahteraan adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan seseorang baik sosial material maupun spiritual yang disertai dengan rasa keselamatan, kesusilaan dan ketentraman lahir dan batin sehingga dapat memenuhi kebutuhan jasmaniah, rohaniah dan sosialnya. Menurut Meadows (1998), kualitas kehidupan merupakan suatu tingkat kesejahteraan. Proses perubahan kualitas hidup dibagi dalam empat tingkatan yang menggambarkan proses terjadinya perubahan kualitas hidup manusia yang masing-masing memiliki implikasi terhadap kebutuhan hidup sehari-hari. Tingkat kesejahteraan tersebut adalah pemenuhan kebutuhan dasar (ultimate means), pemenuhan kebutuhan primer (Intermediate means), pemenuhan kebutuhan

29

sekunder (Intermediate ends), dan pemenuhan kebutuhan tersier (Ultimate ends) (Meadows dalam Sarifuddin, 2006 : 30). Kesejahteraan adalah kondisi agregat dari kepuasan individu-individu. Pengertian dasar itu mengantarkan kepada pemahaman kompleks yang terbagi dalam dua arena perdebatan. Pertama adalah apa lingkup dari substansi kesejahteraan. Kedua adalah bagaimana intensitas substansi tersebut bisa direpresentasikan secara agregat. Meskipun tidak ada suatu batasan substansi yang tegas tentang kesejahteraan, namun tingkat kesejahteraan mencakup pangan, pendidikan, kesehatan, dan seringkali diperluas kepada perlindungan sosial lainnya seperti kesempatan kerja, perlindungan hari tua, keterbebasan dari kemiskinan, dan sebagainya. Sebagai atribut agregat, kesejahteraan merupakan representasi yang bersifat kompleks atas suatu lingkup substansi kesejahteraan tersebut.

Kesejahteraan bersifat kompleks karena multidimensi, mempunyai keterkaitan antardimensi dan ada dimensi yang sulit direpresentasikan. Kesejahteraan tidak cukup dinyatakan sebagai suatu intensitas tunggal yang merepresentasikan keadaan masyarakat, tetapi juga membutuhkan suatu representasi distribusional dari keadaan itu. Penentuan batasan substansi kesejahteraan dan representasi kesejahteraan menjadi perdebatan yang luas. Perumusan tentang batasan tersebut seringkali ditentukan oleh perkembangan praktik kebijakan yang dipengaruhi oleh ideologi dan kinerja negara yang tidak lepas dari pengaruh dinamika pada tingkat global. Salah satu bentuk kesejahteraan masyarakat digambarkan dengan kualitas hidupnya. Secara teoritis, manusia yang berkualitas, misalnya cerdas,

berpendidikan dan yang sehat, akan selalu meningkatkan kualitasnya dan sekaligus sebagai anggota masyarakat akan ikut membantu meningkatkan kualitas hidup bermasyarakat. Peranan kualitas hidup dapat dilihat dari peningkatan penghasilan, kualitas perumahan, kesehatan yang baik dan lainnya. Namun dalam kenyataannya hubungan tersebut tidak hanya searah, tetapi timbal

30

balik. Kualitas hidup yang tinggi juga akan mempengaruhi kualitas manusia. Misalnya penghasilan yang tinggi mampu menyediakan keberagaman gizi untuk perkembangan kecerdasan anak-anak dan membuka peluang untuk

meningkatkan pendidikan yang tinggi. Keberhasilan kegiatan pembangunan akan terlihat dampaknya pada peningkatan kualitas tersebut. Masalahnya adalah sektor yang terlibat. Oleh karena itu masalah selanjutnya apakah semua sektor dalam pembangunan berpengaruh dalam peningkatan kualitas hidup.

(Faturochman, 1990) Pada awalnya GNP dianggap sebagai indikator kualitas hidup yang memadai. Namun kemudian banyak ahli yang menyanggahnya (Mukhar, 1988). Sejak tahun 1978 kualitas hidup dinyatakan dalam indikator, yaitu tingkat kematian bayi, harapan hidup usia satu tahun, dan melek huruf. Menurut Sajogyo (1984) hal tersebut merupakan satu set indikator ekonomi. Bahkan akhir-akhir ini kualitas hidup tidak hanya diindikasikan oleh hal-hal tersebut diatas, tetapi juga melibatkan indikator psikologis (Andrews, 1986; Mukharjee, 1988). Kualitas Kehidupan Masyarakat indikatornya dilihat dari Indeks

Pembangunan Manusia (IPM), yang terdiri tiga komponen yaitu Pendidikan, Kesehatan dan Daya Beli. Pengkajian kualitas hidup terus dilakukan, bahkan secara internasional dimotori oleh Organization of Economic and Development (OECD) yang berkedudukan di Paris. Untuk mengetahui kualitas hidup, maka harus diketahui terlebih dahulu indikatornya. Menurut OECD (1982) indikator kualitas hidup adalah pendapatan, perumahan, lingkungan, stabilitas sosial, kesehatan, dan kesempatan kerja. Kualitas hidup akan berarti kesejahteraan jika diarahkan kepada sesuatu yang bersifat individual, (Dissart & Deller, 2000 : 135). Dalam beberapa pandangan, hidup dapat dikatakan berkualitas jika seseorang memiliki kemampuan untuk memilih serta banyak pilihan yang dapat dipilih (Kuswartojo, 2005 : 18). Pengertian ini sejalan dengan pendapat Campbell yang menyatakan bahwa kualitas hidup dapat didefenisikan berdasarkan

31

kemampuan seseorang dalam hal peningkatan derajat kesejahteraan, kepuasan, dan standar hidup (Campbell dalam Yuen, 1994 : 4). Menurut Kane, komponen kualitas hidup dibagi ke dalam 11 bagian : 1). Keamanan, 2). Ketenangan fisik, 3). Kepuasan, 4). Kegiatan yang bermanfaat, 5). Pola hubungan sosial, 6). Keahlian yang bermanfaat, 7). Kedudukan, 8). Privasi, 9). Kepribadian, 10). Otonomi, dan 11). Keimanan (Kane dalam ibid). Dari sudut pandang yang lain, kualitas hidup bukan hanya menyangkut aspek material tertentu dalam kehidupan seperti misalnya kualitas tempat tinggal, sarana fisik yang tersedia maupun fasilitas-fasilitas sosial, akan tetapi juga menyangkut aspek-aspek tidak terukur seperti kesehatan dan kebutuhan rekreasi (Yuan, et al, 1994 : 4).

1.1.

Indikator Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Untuk mengukur tingkat kesejahteraan, telah dikembangkan beberapa

indikator operasional yang menggambarkan tingkat pemenuhan kebutuhan dasar, kebutuhan sosial psikologis dan kebutuhan pengembangan. Sedangkan untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang tingkat kesejahteraan akan digunakan beberapa indikator yang telah digunakan oleh BKKBN. Indikator ini berdasarkan pendataan keluarga tahun 2000, adapun beberapa indikator tersebut adalah sebagai berikut : a. Keluarga Pra Sejahtera : Yaitu keluarga yang tidak dapat memenuhi syarat-syarat sebagai keluarga sejahtera I.

b. Keluarga Sejahtera I Melaksanakan ibadah menurut agama yang dianut masing-masing Makan dua kali sehari atau lebih. Pakaian yang berbeda untuk berbagai keperluan. Lantai rumah bukan dari tanah. Jika anak sakit dibawa ke sarana/ petugas kesehatan.

32

c. Keluarga Sejahtera II Anggota keluarga melaksanakan ibadah secara teratur menurut agama yang dianut masing-masing. Minimal seminggu sekali keluarga tersebut menyediakan daging/ ikan/ telur sebagai lauk pauk. Memperoleh pakaian baru dalam setahun terakhir. Luas lantai tiap penghuni rumah satu 8 m. Anggota keluarga sehat dalam keadaan tiga bulan terakhir, sehingga dapat menjalankan fungsi masing-masing. Keluarga yang berumur 15 tahun keatas mempunyai penghasilan tetap. Bisa baca tulis latin bagi anggota keluarga dewasa yang berumur 10-60 tahun. Seluruh anak yang berumur 7-15 tahun bersekolah pada saat ini. Anak hidup dua atau lebih dan saat ini masih memakai alat kontrasepsi.

d. Keluarga Sejahtera III Keluarga mempunyai upaya untuk meningkatkan pengetahuan agama. Keluarga mempunyai tabungan. Keluarga biasanya makan bersama minimal sekali dalam sehari. Turut serta dalam kegiatan masyarakat. Keluarga mengadakan rekreasi bersama minimal sekali dalam 6 bulan. Keluarga dapat memperoleh berita dari surat kabar/ radio/ televisi/ majalah. Anggota keluarga dapat menggunakan sarana transportasi.

e. Keluarga Sejahtera III Plus Memberikan sumbangan secara teratur dan sukarela untuk kegiatan sosial masyarakat dalam bentuk materi.

33

Aktif sebagai pengurus yayasan/ instansi Desentralisasi dan Otonomi Daerah sebagai Determinan dalam

1.2.

Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat.

Tingkat Kesejahteraan Masyarakat adalah salah satu dari indikator lokal untuk memonitoring kemajuan kabupaten dan kota agar dapat menurunkan proporsi penduduk yang tingkat pendapatannya di bawah $1 per hari menjadi setengahnya, sebagai upaya menanggulangi kemiskinan dan kelaparan. Untuk mengetahui tingkat kesejahteraan masyarakat dalam rangka program pembangunan dan pengentasan kemiskinan, ada beberapa pentahapan keluarga sejahtera ialah sebagai berikut: a. Keluarga Pra Sejahtera yaitu keluarga-keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) secara minimal, seperti: kebutuhan spiritual, pangan, sandang, papan dan kesehatan atau keluarga yang belum dapat memenuhi salah satu indikator-indikator keluarga sejahtera I. b. Keluarga Sejahtera I yaitu keluarga-keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal, tetapi belum dapat memenuhi keseluruhan kebutuhan sosial psikologisnya, seperti: kebutuhan akan pendidikan, keluarga berencana, interaksi dalam keluarga, interaksi dengan lingkungan sekitar dan transportasi. c. Keluarga Sejahtera II yaitu keluarga-keluarga yang disamping dapat memenuhi kebutuhan dasarnya, juga telah dapat memenuhi kebutuhan sosial psikologisnya, tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan pengembangan, seperti: menabung dan memperoleh informasi. d. Keluarga Sejahtera III yaitu keluarga-keluarga yang telah dapat memenuhi keseluruhan kebutuhan dasar, kebutuhan sosial psikologisnya dan kebutuhan pengembangan, tetapi belum dapat memberikan sumbangan yang maksimal dan teratur bagi masyarakat dalam bentuk material, seperti: sumbangan materi

34

untuk kepentingan sosial kemasyarakatan atau yayasan sosial, keagamaan, kesenian, olah raga, pendidikan dan lain sebagainnya. e. Keluarga Sejahtera III Plus yaitu keluarga-keluarga yang telah dapat

memenuhi seluruh kebutuhannya, baik yang bersifat dasar, sosial psikologis maupun pengembangan serta telah memberikan sumbangan yang nyata dan berkelanjutan bagi masyarakat

1.3.

Kesejahteraan Masyarakat Kota Tasikmalaya Pasca Desentralisasi Tingkat kesejahteraan masyarakat Kota Tasikmalaya yang tercermin

1.3.1. Pendapatan Perkapita

melalui pendapatan perkapita memiliki tren positif (progresif) dari tahun 20022007. Sejak awal proses pemekaran (2002), pendapatan perkapita masyarakat Kota Tasikmalaya relatif lebih tinggi dibandingkan dengan Kabupaten Tasikmalaya, yakni dengan rasio 1,71. Namun begitu, nilai tersebut masih relatif rendah dibandingkan Propinsi Jawa Barat (rasio 0,82). Pendapatan perkapita masyarakat Kota Tasikmalaya relatif meningkat setelah tahun 2003, dimana diasumsikan telah mulai terdapat perhitungan yang lebih akurat antara kedua wilayah, baik mengenai jumlah penduduk maupun jenis kegiatan yang menghasilkan nilai tambah (khususnya dikotomi wilayah, penduduk maupun berbagai data yang berkaitan dengan keruangan). Kondisi tersebut sangat terkait dengan penentuan batas administratif yang sangat mempengaruhi terhadap perhitungan penduduk maupun nilai tambah wilayah. Hal ini dapat diamati dengan pertumbuhan yang cukup besar diikuti dengan peningkatan rasio rata-rata yang lebih besar terhadap wilayah induk (2,85) maupun terhadap wilayah region Jawa Barat (1,22). Dengan peningkatan nilai pendapatan perkapita maupun rasio tersebut diasumsikan terjadi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kesejahteraan masyarakat tersebut tercermin atas peningkatan daya dukung wilayah dalam memenuhi kebutuhan masyarakat

35

setempat akibat berkurangnya beban penduduk dibandingkan periode sebelum pemekaran. Masyarakat diasumsikan memiliki akses yang lebih baik terhadap berbagi sumber daya dan potensi ekonomi wilayah. 1.3.2. Kesenjangan Pendapatan (Koefisien Gini) Guna mendalami efek pemekaran wilayah terhadap kesejahteraan masyarakat, maka digunakan koefisien gini. Koefi sien ini bertujuan untuk mengukur kemampuan wilayah dalam mendistribusikan pendapatan wilayah kepada seluruh masyarakat. Pendapatan wilayah selama ini belum mampu terdistribusi secara optimal dan proporsional ke seluruh masyarakat Kota Tasikmalaya. Hal ini tercermin pada koefi sien gini rata-rata yang berada pada kisara 0,202. Artinya bahwa masih terjadi konsentrasi distribusi pada kelompok masyarakat tertentu (20 % dari total masyarakat). Namun demikian, distribusi pendapatan yang dilakukan telah relatif lebih baik dibandingkan di wilayah induk maupun di wilayah region Jawa Barat yang ditunjukkan melalui rasio rata-rata yang mencapai 1,040 dan 1,064. Bila ditelusur ke belakang (periode sebelum pemekaran), nampak bahwa telah terjadi sedikit perbaikan distribusi pendapatan yang ditunjukkan melalui peningkatan rasio terhadap regional yang meningkat sebesar 0,019 (dari 1,045 ke 1,064). Kondisi ini dapat berarti bahwa melalui pemekaran wilayah, distribusi pendapatan berjalan lebih baik dibanding sebelum pada periode pemekaran. Ditengarai, komponen jumlah dan struktur penduduk sangat kuat mempengaruhi proses distribusi pendapatan ini. 1.3.3. Tingkat Pengangguran Nampaknya terdapat korelasi positif antara peningkatan pendapatan perkapita dengan pengurangan pengangguran di Kota Tasikmalaya. Hal tersebut dapat dilihat dari pertumbuhan rata-rata pengangguran yang cenderung menurun (8,33%). Penurunan terbesar justru terjadi pada tahun 2004 (-49,72 %) dari 64.606

36

(2003) menjadi 32.486. Fluktuasi pertumbuhan terjadi pada tahun 2003 (64.606) dan 2005 (37.352), dimana memiliki pertumbuhan positif sebesar 16,63 % dan 14,98 %. Demikian pula dengan tingkat rasio pengangguran terhadap total penduduk yang semakin menurun, seperti tahun 2003 sebesar 0,117 menjadi 0,046. Rasio rata-rata mencapai 0,072 sehingga dapat dikatakan bahwa pertumbuhan pengangguran cenderung lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan penduduk. Sementara bila dikaitkan dengan wilayah propinsi, nampak bahwa rasio cenderung menurun, dimana mengindikasikan bahwa pertumbuhan pengangguran di Kota Tasikmalaya relatif lebih kecil dibandingkan dengan tingkat pengangguran propinsi. Hal tersebut mengindikasikan bahwa meskipun dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah dibandingkan Propinsi Jawa Barat, Pemerintah setempat relatif mampu menciptakan lapangan pekerjaan yang lebih besar. Dengan kata lain pertumbuhan yang tercipta justru pertumbuhan ekonomi yang relatif berkualitas dan mampu menciptakan berbagai usaha yang bersifat padat karya. Hal ini relevan dengan perkembangan sektor industri dan perdaganganhotel-restoran yang cukup pesat dimana diprediksi sebagai media penyedia lapangan kerja yang lebih besar. 1.3.4. Indeks Pembangunan Manusia Peningkatan pendapatan perkapita maupun tingkat kesenjangan pendapatan belum cukup dalam menggambarkan adanya peningkatan

kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat. Oleh karena itu melalui IPM diharapkan mampu menggambarkan tentang kinerja ekonomi wilayah yang terkait dengan pelayanan publik. Sejak awal pemekaran hingga tahun 2006, IPM Kota Tasikmalaya terus mengalami pertumbuhan positif. Nilai IPM Propinsi Jawa Barat cenderung lebih tinggi baik bila dibandingkan terhadap wilayah induk (1,04) maupun region Propinsi Jawa Barat (1,03). Artinya bahwa kebijakan yang

37

dikeluarkan

Pemerintah

setempat

mampu

meningkatkan

kualitas

hidup

masyarakat Kota Tasikmalaya. Dalam sisi kesejahteraan masyarakat, nampak bahwa pemekaran

memberikan implikasi positif. Beberapa indikator seperti kualitas hidup, pendapatan perkapita, distribusi pendapatan maupun tingkat pengangguran menunjukkan berbagai indikator yang positf. Namun demikian beberapa hal yang harus diwaspadai adalah kegiatan ekonomi yang tercipta belum mampu menumbuhkan usaha-usaha baru dalam skala yang lebih besar di tengah masyarakat. Industri di Kota Tasikmalaya didominasi oleh usaha-usaha kecil dan menengah. Harapannya dengan adanya Perubahan struktur sektoral juga harus diwaspadai terhadap adanya gejala polarisasi kembali ke Kota Tasikmalaya yang mana bila diantisipasi menimbulkan berbagai masalah dibelakangnya. Oleh karena itu guna mendorong pertumbuhan ekonomi maupun kesejahteraan masyarakat ke arah yang lebih baik, beberapa hal dapat dipertimbangkan sebagai upaya perbaikan, yaitu : 1. Menyelesaikan konflik eksternal dengan wilayah induk (Kabupaten Tasikmalaya), baik secara administratif, pembagian aset, maupun dalam berbagai program pembangunan. 2. Mempercepat pembangunan infrastruktur, khususnya jalan raya demi memudahkan masuknya investasi dan pengembangan potensi ekonomi daerah. 3. Menumbuhkan industri-industri pemenuhan kebutuhan input bagi

kegiatan ekonomi/produksi di wilayah Kota Tasikmalaya. Hal ini diharapkan mampu meningkatkan efek pengganda yang lebih besar dibanding sebelumnya. 4. Meneruskan program pembangunan industri, khususnya UKM melalui insentif pada skala yang lebih luas guna mempercepat sektor industri sebagai mesin penggerak utama ekonomi sekaligus menciptakan lapangan kerja yang lebih luas sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

38

IMPLIKASI DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TERHADAP BESARAN BEBAN / ONGKOS POLITIK, ADMINISTRASI DAN KEUANGAN Oleh : Bunga Eka Fajarwati

5.1. Beban / Ongkos Politik Pasca Desentralisasi Dengan diimplementasikannya UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999 pada bulan Januari tahun 2001, Indonesia telah melakukan transformasi tata pemerintahan dari sentralisasi menuju desentralisasi. Dengan ditetapkannya UU No. 22 Tahun 1999, maka akan terjadi perluasan wewenang pemerintah daerah tingkat II, dan dengan UU No. 25 Tahun 1999 akan tercipta peningkatan kemampuan keuangan daerah. Oleh karena itu otonomi daerah diharapkan bisa menjadi formula terbaik untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk lokal melalui berbagai efek multiplier dari desentralisasi yang diharapkan bisa terwujud. Secara teoretis, kehadiran kedua undang-undang tersebut cukup menjanjikan bagi terwujudnya local accountability, yakni meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam memperhatikan hak-hak dari komunitasnya. Meski demikian, perlu disadari bahwa tujuan ideal desentralisasi dan otonomi daerah tidak dengan serta merta dapat dicapai hanya dengan kehadiran kedua UU tersebut. Untuk mencapai atau paling tidak mendekati tujuan dari proses desentralisasi sedikitnya ada tiga persoalan mendasar yang perlu mendapat perhatian khusus dalam waktu dekat yaitu (1) political commitment dari pemerintah pusat dan political will dari pemerintah daerah itu sendiri untuk menata kembali hubungan kekuasaan pusat-daerah. (2) Pengaturan hubungan keuangan pusat-daerah yang lebih didasari oleh itikad untuk memperkuat kemampuan keuangan daerah (bukan sebaliknya). Dan (3) perubahan perilaku elite lokal dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Tanpa itu semua tujuan desentralisasi tidak akan pernah tercapai.

39

Dengan diserahkannya beberapa kewenangan ke pemerintah daerah, diharapkan pelayanan masyarakat semakin efisien dan pada gilirannya akan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Fenomena di Indonesia menunjukkan bahwa setelah tiga tahun pelaksanaan desentralisasi, banyak masyarakat Indonesia merasa bahwa desentralisasi tidak membawa pada kondisi

perekonomian yang lebih baik, bahkan muncul pandangan bahwa desentralisasi hanyalah persoalan hubungan antar pemerintahan tanpa menimbulkan efek positif bagi kesejahteraan masyarakat lokal. Dan sebalikanya pelaksanaan desentralisasi fiskal tersebut juga justru menunjukkan missing link antara desentralisasi fiskal dengan pembangunan ekonomi daerah. Beberapa pemerintahan di seluruh dunia termasuk Indonesia, telah melakukan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Hasil empiris menunjukkan bahwa kesuksesan desentralisasi dan otonomi daerah telah meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelayanan sektor publik, dan telah ebrhasil mengakomodasi dari tekanan kekuatan-kekuatan politik. Sebaliknya,

ketidaksuksesan desentralisasi dan otonomi daerah telah telah mengancam stabilitas ekonomi dan politik serta mengganggu penyediaan publik (Bird and Vailandcourt, 1998; Ter-Minassian, 1997; World Bank, 2000; Shah, 2003). Sejumlah studi di negara maju dan berkembang menunjukkan bahwa berlakunya Undang-undang desentralisasi dan otonomi daerah telah mendukung dilaksanakannya akuntabilitas horizontal, namun juga menjadi peluang terjadinya saluran baru bagi praktik penyalahgunaan kekuasaan seperti korupsi, kolusi, nepotisme, politik uang (money politic), lobi-lobi, suap atau gratifikasi. Selain itu, salah satu risiko dari sistem desentralisasi dan otonomi daerah adalah kemungkinan terjadinya kontrol penuh oleh elit daerah. Sejalan dengan desentralisasi, buruknya kualitas Pilkada adalah salah satu contoh dari kelemahan dalam implementasi desentralisasi dan otonomi daerah. Dalam pelaksanaannya, umum diketahui, pelaksanaan pilkada sejak 2005 sarat dengan politik uang. Mahalnya ongkos politik saat Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) menyebabkan perilaku korup para pejabat daerah.

40

Penyebab terjadinya kasus hukum, seperti korupsi, sebenarnya disebabkan karena ongkos politik yang tinggi sebagai kepala daerah. Sehingga, setelah terpilih mereka mencari jalan pintas untuk korupsi, karena pendapat bulanannya tidak akan cukup untuk menutupi modal kampanye yang pada akhirnya akan menyengsarakan masyarakat didaerah yang dipimpinnya.

5.2. Efektifitas Administrasi Pemerintah Pasca Desentralisasi Penerapan desentralisasi merupakan proses pemberian wewenang dalam pengelolaan kekuasaan daerah yang diharapkan dapat bermuara pada

terselenggaranya good local governance. Namun sebagai proses, good local governance yang ditempuh melalui desentralisasi tidaklah secara serta merta dapat terjadi, namun ia memerlukan rangkaian tahapan yang amat panjang. Efektifitas pemerintahan lokal sebagai manifestasi good local governance amat bertumpu pada terwujudnya peningkatan pelayanan publik (pendidikan dan kesehatan) maupun berbagai hal yang terkait dengan pembangunan daerah yang pada dasarnya kesejahteraan masyarakat. Keputusan untuk melakukan desentralisasi selain tujuan tersebut diharapkan dalam jangka panjang akan menumbuhkan demokratis melalui peranserta masyarakat, terkait masukan atas program pembangunan daerah. Dalam memahami kebutuhan masyarakat akan pelayanan publik kiranya diawal bagian ini perlu dipahami apa yang dimaksud dengan pelayanan publik. Pelayanan publik yang dimaksud disini adalah sebuah bentuk layanan bagi masyarakat yang merepresentasikan ekstistensi birokrasi pemerintah karena pemerintah sendiri memiliki fungsi sebagai pemberi pelayanan. Berdasar pemahaman tersebut maka kualitas pelayanan publik merupakan cerminan dari sebuah kualitas birokrasi pemerintah. Pemahaman tersebut menjadi landasan dalam menjelaskan keterkaitan hubungan antara pelayanan publik dengan birokrasi pemerintah daerah.

41

5.2.1. Peran Pemerintah Dalam Penyediaan Pelayanan Publik Bagi Masyarakat Tata kelola hubungan pemerintah pusat dan daerah mengalami perubahan signifikan semenjak UU No 22 dan 23 Tahun 1999 kemudian diperbaharui menjadi UU No 32 dan 33 tahun 2004, dimana pemerintah Kabupaten/Kota memiliki peluang lebih besar untuk mengelola daerah sesuai kewenangan yang dimilikinya. Desentralisasi kewenangan berdasarkan UU Otonomi merupakan bentuk keseimbangan hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, dimana masing-masing intitusi tingkat pusat dan daerah dapat dipandang sebagai hubungan principalagent. Berdasarkan UU Otonomi telah di rumuskan kedudukan pemerintah pusat dan daerah terkait kewenangan administrasi maupun keuangan. Pengaturan kewenangan tersebut di harapkan akan mendorong masing-masing tingkatan pemerintah (pusat maupun daerah) dapat mengambil peran sesuai kewenangan yang ada. Pemerintah pusat maupun daerah didorong untuk dapat menyelenggarakan tata pemerintahan yang efisien sehingga proses pembangunan akan tepat guna sehingga dapat mewujudkan pembangunan berkualitas. Berkaitan dengan kewenangan administrasi, yang dimaksud dengan administrasi publik bukan sekadar instrumen birokrasi negara, fungsinya lebih daripada itu. Administrasi publik merupakan sebuah bentuk instrumen kolektif, sebagai sarana publik untuk menyelenggarakan tatakelola kepentingan bersama dalam jaringan kolektif untuk mencapai tujuan-tujuan publik yang telah disepakati. Pemahaman administrasi publik oleh Frederickson disebut sebagai governance, dimana administrasi publik mempunyai lokus pada wilayah publik dengan menyertakan pelaku-pelaku dari publik/warga masyarakat dengan fokus agenda interest publik yang memang menjadi kebutuhannya. Pemerintah Kabupaten/Kota, dalam kerangka desentralisasi kewenangan terkait dengan pemahaman yang dikemukakan Frederickson tersebut perlu merumuskan kebijakan dan program agar operasionalisasi kebijakan

pembangunan dapat dilaksanakan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah/SKPD. Dalam menyusun kebijakan pembangunan daerah birokrasi pemerintah perlu

42

memahami beberapa hal yang terkait penyelenggaraan pemerintahan, antara lain peningkatan kapabilitas daerah, peningkatkan prakarsa, kreativitas, dan

peranserta masyarakat dan keserasian hubungan antar daerah dan antara Pusat dan Daerah, termasuk keserasian kebijakan dalam dan antar daerah, serta antara kebijakan nasional dan daerah. Proses pembangunan baik pusat maupun daerah dari sisi administrasi dipandang sebagai organisasi pemerintah dan akan terfokus pada birokrasi pemerintah. Kedudukan birokrasi pemerintah menjadi penting, menurut Ginanjar (1997) birokrasi pemerintah akan mempengaruhi pelayanan publik dalam pengelolaan pembangunan sosial ekonomi terlebih pada negara berkembang. Pemahaman atas kedudukan birokrasi pemerintah tersebut menjadi penting sebab birokrasi pemerintah merupakan sebuah bentuk organisasi yang akan mempengaruhi pelayanan publik. Sektor publik diartikan sebagai sector yang bercirikan non komersial, berorientasi pada kepentingan umum, sehingga birokrasi pemerintah berdasarkan legitimasi kekuasaan hanya berperan sebagai pembuat kebijakan. Dinamika desentralisasi menuntut pemerintah daerah untuk dapat mengoptimalisasi pelayanan publik melalui birokrasi pemerintah. Namun kultur birokrasi pemerintah yang terbangun selama ini menggambarkan belum optimalnya pelayanan publik bagi masyarakat. Rendahnya kualitas pelayanan publik yang diterima masyarakat disebabkan kurang responsive-nya birokrasi pemerintah memahami partisipasi masyarakat. Terlebih bagi daerah baru yang menghadapi kendala infrastruktur, akan menjadi permasalahan dalam

membangun prosedur baku pelayanan publik. Hal lain yang menjadi kendala birokrasi pemerintah memenuhi kebutuhan publik, belum terbiasanya birokrasi pemerintah menciptakan suatu mekanisme-mekanisme baru untuk dapat menghasilkan kinerja yang maksimal terhadap pelayanannya kepada masyarakat. Dalam mencapai pelayanan publik yang prima birokrasi pemerintah menurut pandangan Osborne dan Gaebler perlu memahami konsep Reinventing Government. Reinventing Government menekankan peran manajer publik untuk melakukan inovasi dalam mencapai tujuan penyediaan pelayanan publik. Dalam

43

memberikan pelayanan publik diperlukan manajer publik yang mampu mengarahkan pelayanan publik untuk dapat dijalankan oleh pihak lain melalui mekanisme pasar. Untuk dapat melaksanakan pelayanan publik yang prima manajer publik penting memahami 10 prinsip Reinventing Government, yaitu : 1. Pemerintahan katalis: mengarahkan ketimbang mengayuh. Pandangan ini mendorong terbentuknya organisasi pemerintah yang ramping tetapi kuat sehingga birokrasi pemerintah lebih berkonsentrasi pada pembuatan kebijakan strategis daripada mengurusi teknis pelayanan. 2. Pemerintah milik rakyat: lebih baik memberikan peluang dan wewenang daripada melayani. Pemerintah mengupayakan agar tugas pelayanan menjadi tugas dan kepentingan masyarakat. Pendelegasian tugas pelayanan tersebut dilakukan dengan melibatkan peran serta masyarakat (partisipatif) melalui organisasi sosial. 3. Pemerintah yang kompetitif: menumbuhkan persingan dalam pemberian pelayanan. Dalam upaya memberikan pelayanan birokrasi pemerintah harus memmperhatikan kemampuan pemerintah sendiri jangan sampai mengorbankan kualitas dan efektifitas pelayanan publik. Pelayanan prima atas kebutuhan masyarakat tersebut dilakukan dengan menerapkan kompetensi dalam pemenuhan pelayanan publik baik yang diadakan oleh masyarakat sendiri maupun oleh organisasi non pemerintah. 4. Pemerintah berpedoman pada peraturan daripada kepada misi : mengubah organisasi yang digerakkan oleh peraturan. Walaupun pemerintah dijalankan berdasarkan peraturan, agar efektif dan efisien maka birokrasi pemerintah diberi keleluasaan untuk menjalankan misi dan tujuan sehingga timbul inovasi dalam mencapai pelayanan publik yang prima. 5. Pemerintah yang berorientasi hasil : membiayai outcome bukan input. Pembiayaan pemerintah biasanya berdasarkan input sehingga kurang menghasilkan kinerja yang baik, bila dilakukan berdasarkan outcome birokrasi pemerintah akan lebih objektif dan berprestasi.

44

6. Pemerintah

yang

mengabdi

masyarakat

memenuhi

kebutuhan

masyarakat, bukan birokrasi. Pemerintah harus menempatkan masyarakat sebagai pelanggan yang harus diperhatikan, sehingga birokrasi

pemerintah perlu belajar dari sector bisnis. Pemerintah harus secara cermat memahami kebutuhan pelanggan dan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk dapat memilih berbagai macam pelayanan sebagai bentuk penciptaan keadilan atas pelayanan publik. 7. Pemerintah yang berorientasi wirausaha: menghasilkan ketimbang membelanjakan Dalam menjalankan proses pembangunan pemerintah mengalami

permasalahan yang sama dengan sektor bisnis, yaitu keterbatasan akan pembiayaan/keuangan. Dalam keterbatasan pembiayaan tersebut maka birokrasi pemerintah dituntut untuk berinovasi dalam menjalankan program sehingga kebutuhan pelayanan publik akan terpenuhi. 8. Pemerintah berkemampuan antisipatif: lebih baik mencegah daripada mengobati. Pola pemerintahan tradisional yang birokratis lebih

memusatkan pada penyediaan jasa untuk memerangi masalah. Seiring dengan perubahan tuntutan masyarakat maka pola preventif harus dikedepankan sehingga pemerintah akan lebih responsive atas masalahmasalah publik yang muncul. 9. Pemerintah desentralisasi : dari hirarki menuju partisipasi dan kerja kelompok Perkembangan pola hubungan antara pusat dan daerah telah mendorong implementasi desentralisasi yang lebih luas bagi daerah. Dengan kewenangan yang dimiliki pemerintintah daerah, kerjasama antar sektor pemerintah akan terfokus demikian halnya dengan tumbuhnya civil socity akan mendorong terciptanya kerja kelompok dalam menyediakan pelayanan publik. 10. Pemerintah berorientasi pasar : mendorong perubahan melalui pasar. Pemerintah atau organisasi publik lebih baik berfungsi sebagai fasilitator untuk merespon perubahan melalui penetapan strategi yang inovatif.

45

Peran pemerintah melalui institusi politik akan menjamin berjalannya penyediaan pelayanan publik yang efisien dan memberikan kesempatan yang sama pada penyedia pelayanan publik. Penyediaan pelayanan publik yang menekankan pentingnya peran manajer publik, dalam hal ini government bureaucratic/ birokrasi pemerintah akan mendorong tercapainya efisiensi dan efektifitas. Penyediaan pelayanan publik oleh pemerintah selama ini dihadapkan pada permasalahan pendanaan dan sumber daya manusia dengan demikian birokrasi pemerintah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan pelayanan publik perlu memiliki inovasi. Pada kenyataannya bagi birokrasi pemerintah tidak hanya diperlukan inovasi tetapi juga perlu memahani secara benar kebutuhan masyarakat akan pelayanan publik. Berdasarkan hal tersebut perkembangan pemikiran publik administrasi

berkembang pada konsep new public service dimana masyarakat/warga negara menjadi salah satu bagian penting dalam sebuah sistem pemerintahan demokratis. Konsep new public service diawali oleh pemikiran Denhardt dimana pemilik kepentingan publik sebenarnya adalah masyarakat sehingga pemerintah dalam hal ini birokrasi pemerintah sebagai administrator publik perlu memusatkan perhatian dan tanggung jawab melayani dan memberdayakan warga negara melalui pengelolaan organisasi publik dan mengimplementasikan kebijakan publik. Kepentingan publik tidak lagi dipandang sebagai agregasi dari kepentingan pribadi, namun sebagai hasil interaksi/keterlibatan publik dalam menentukan nilai dan kepentingan bersama. Berdasarkan pandangan konsep new public service warga negara ditempatkan menjadi focus, sehingga administrator publik akan memposisikan diri bukan hanya sebagai pengarah dan pengayuh tetapi lebih pada bagaimana membangun institusi publik yang didasarkan pada integritas dan respons. Upaya membangun institusi publik yang direpresentasikan melalui administrator publik/ birokrasi penting kiranya pemahaman akan prinsip new public service, antara lain :

46

1. Serve citizens, not customers Berdasarkan pemahaman bahwa kepentingan publik merupakan hasil dialog tentang nilai-nilai bersama dari pada agregasi kepentingan pribadi/perorangan maka administrator publik tidak semata-mata

merespon tuntutan pelanggan tetapi justeru memusatkan perhatian untuk membangun kepercayaan dan kolaborasi dengan dan diantara warga negara. 2. Seek the public interest Administartor publik harus memberikan pemikiran penting agar dapat menumbuhkan pemikiran untuk dapat menyediakan kepentingan publik bersama. Tujuannya tidak untuk menemukan solusi cepat yang diarahkan oleh pilihan-pilihan perorangan tetapi menciptakan kepentingan bersama dan tanggung jawab bersama. 3. Value citizenship over entrepreneurship Penyediaan kepentingan publik lebih baik dijalankan oleh administrator publik dan warga negara yang memiliki komitmen untuk memberikan sumbangsih daripada dijalankan oleh manajer wirausaha yang bertindak seolah-olah uang masyarakat adalah milik mereka sendiri. 4. Think strategically, act democratically Kebijakan dan program untuk memenuhi kebutuhan publik dapat dicapai secara efektif dan efisien melalui upaya kolektif dan proses kolaboratif. 5. Recognize that accountability is not simple Administrator publik seharusnya lebih peduli daripada mekanisme pasar. Selain itu, juga harus mematuhi peraturan perundangundangan, nilai-nilai kemasyarakatan, norma politik, standar profesional, dan kepentingan warga negara. 6. Serve rather than steer Penting sekali bagi administrator publik untuk menerapkan kepemimpinan yang berbasis pada nilai bersama dalam membantu warga negara

47

mengemukakan 7.

kepentingan

bersama

dan

memenuhinya

daripada

mengontrol atau mengarahkan masyarakat ke arah nilai baru. Value people, not just productivity Organisasi publik beserta jaringannya lebih memungkinkan mencapai keberhasilan dalam jangka panjang jika dijalankan melalui proses kolaborasi dan kepemimpinan bersama yang didasarkan pada

penghargaan kepada semua orang. Dalam kerangka otonomi/ kiranya pelayanan kepada masyarakat merupakan tugas utama bagi administrator publik sekaligus sebagai fasilitator bagi perumusan kepentingan publik dan partisipasi masyarakat dalam pemerintahan. Dalam penyelenggaraan pemerintahan lokal, partisipasi

masyarakat merupakan unsur penting, partisipasi masyarakat tersebut dapat dilakukan melalui beberapa hal. Pertama, referendum yang dilaksanakan untuk mengambil keputusan terhadap isu-isu vital di daerah. Kedua, konsultasi dan kerjasama dengan masyarakat sesuai kebutuhan dan tuntutan lokal. Ketiga, penempatan pejabat lokal yang diisi berdasarkan prosedur pemilihan (elected member) sebagai bentuk pemerintahan perwakilan sehingga para pejabat memiliki akuntabilitas yang lebih besar kepada masyarakat. Keempat, melakukan desentralisasi kepada unit-unit pemerintahan yang lebih kecil. Untuk melihat efektivitas pemerintah daerah pasca desentralisasi, daerah yang diamati sebagai studi dalam makalah ini adalah Tasikmalaya. Sebagai sebuah daerah baru, langkah efisiensi dan efektifitas penggunaan sumberdaya menjadi kunci dalam proses pembangunan Kota Tasikmalaya. Keberhasilan suatu daerah baru maupun daerah lain yang telah mendapatkan desentralisasi/ pelimpahan kewenangan maka ada tiga hal yang dapat dijadikan ukuran dalam menilai keberhasilan desentralisasi, yaitu institusional, keuangan dan kemampuan aparatur daerah. Ketiga hal tersebut akan saling terkait dalam menumbuhkan modal sosial sehingga potensi dan kemampuan daerah dapat dioptimalkan. Sebagai langkah konkrit pelaksanaan pembangunan daerah, pemerintah Kota Tasikmalaya telah menetapkan visi dan misi pembangunan yang menjadi

48

arah dan pendorong kebijakan pembangunan berkelanjutan agar terwujud menjadi kota termaju di wilayah Priangan Timur. Sasaran pembangunan Kota Tasikmalaya akan dicapai dengan mengacu pada visi daerah, yaitu

Kesejahteraan Masyarakat Dalam Bingkai Iman dan Taqwa. Semenjak bersetatus sebagai sebuah daerah otonom baru sesuai UU No. 10 Tahun 2001, Kota Tasikmalaya berupaya melakukan pembangunan di berbagai sektor. Proses pembangunan daerah Kota Tasikmalaya secara makro dapat dilihat dari laju pertumbuhan ekonomi daerah, pada tahun 2004 sebesar 4,99 % sedangkan pada tahun 2007 mencapai 5,98 %. Meningkatnya laju pertumbuhan ekonomi tersebut menggambarkan terjadinya peningkatan produktivitas atas aktivitas ekonomi Kota Tasikmalaya. Peningkatan pertumbuhan ekonomi tersebut memberikan indikasi bahwa Kota Tasikmalaya telah dapat mengelola potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang dimiliki. Sesuai dengan visi daerah penting untuk dilihat sejauh mana keberhasilan peningkatan pertumbuhan ekonomi tersebut terhadap kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan atas pengertian kesejahteraan adalah kondisi agregat dari kepuasan individu-individu, dimana tingkat kepuasan dan kesejahteraan adalah dua pengertian yang saling berkaitan (Bappenas, 2008). Pemahaman tersebut memberikan pengertian bahwa tingkat kepuasan merujuk kepada keadaan individu atau kelompok, sedangkan tingkat kesejahteraan mengacu kepada keadaan komunitas atau masyarakat luas. Dengan pemekaran wilayah peran pemerintah Kota Tasikmalaya untuk memberikan pelayanan prima kepada masyarakat sebagai satu kesatuan pengguna pelayanan publik akan meningkat demikian halnya dengan kesejahteraan yang dirasakan masyarakat.

5.3. Pemberdayaan Potensi Lokal dalam Pembiayaan Pembangunan Daerah Dinamika politik tingkat lokal di Indonesia mengalami perkembangan pesat pasca diberlakukannya otonomi daerah melalui UU. No. 22 dan 25 Tahun

49

1999. Hal tersebut secara langsung telah mengubah hubungan antara pemerintah pusat dan daerah yang tadinya semua keputusan ada di pusat (sentralisasi kewenangan) menjadi daerah berperan aktif dalam menetapkan kebijakan sesuai kewenangan yang dilimpahkan (desentralisasi kewenangan). Dalam

perjalanannya, dirasakan pelimpahan kewenangan (desentralisasi) masih terdapat beberapa kelemahan dan kekurangan sehingga disempurnakan menjadi UU. No. 32 dan 33 Tahun 2004 tentang otonomi dan desentralisasi fiskal. Terkait dengan UU tersebut, di tetapkan PP No. 25 Tahun 2000 dan PP 41 Tahun 2007, tentang Standar Operasional Tata Kewenangan, dimana secara konkueren (ultravires) Pemerintah Daerah mempunyai kewenangan 26 urusan wajib dan 8 urusan pilihan. Artinya bahwa semakin banyak kewenangan dan tanggungjawab yang diberikan kepada Pemerintah Daerah oleh Pusat, akan mampu menjamin terselenggaranya pembangunan daerah yang mendorong terciptanya

kesejahteraan masyarakat lokal. Dinamika desentralisasi yang mendorong terjadinya pemekaran wilayah menuntut pemerintah baru hasil pemekaran tidak hanya berkosentrasi pada urusan politik. Pembangunan daerah baru selain dibutuhkan dukungan politik juga perlu inovasi dari pemerintah daerah dalam mengelola potensi ekonomi. Pengelolaan potensi ekonomi secara tepat akan mendorong pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Potensi ekonomi daerah perlu dikelola secara efi siensi dan sehingga diperlukan kebijakan pemerintah daerah yang mampu bersaing sesuai karateristik lokal, guna mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Pertumbuhan ekonomi tersebut akan memberikan jaminan kepada masyarakat untuk memperoleh pelayanan publik prima. Dalam mengukur kinerja ekonomi pasca desentralisasi dapat digunakan metode Indeks Kinerja Ekonomi (IKE) Daerah yang terdiri dari beberapa komponen seperti : 1) Pertumbuhan Ekonomi (ECGI); 2) PDRB per Kapita (WELFI); 3) Rasio PDRB Kabupaten terhadap PDRB Propinsi (ESERI); 4) Angka Kemiskinan. Namun demikian tidak seluruhnya komponen tersebut digunakan dalam mengupas implikasi

50

desentralisasi terhadap perekonomian maupun kesejahteraan masyarakat. Di tingkat makro, akan digunakan indikator PDRB (kontribusi maupun

pertumbuhannya) dan Rasio PDRB terhadap propinsi. Sementara di tingkat mikro dikembangkan dari indikator pendapatan perkapita, IPM, dan koefisien gini. Dalam aspek desentralisasi fiskal, sejak 2001 dilakukan alokasi pusat kepada daerah yang dikenal sebagai dana perimbangan, dalam bentuk dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK) dan dana bagi hasil (DBH), baik yang berasal dari pajak maupun sumber daya alam. Secara umum kebijakan desentralisasi belum mampu menghasilkan kesejahteraan rakyat secara signifikan. Berdasarkan nilai riil tahun 2007, dalam periode 1996-2009, dana perimbangan dari pusat telah meningkat hampir 4 kali lipat dari Rp.44,5 triliun menjadi Rp.209,8 triliun, dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 28,6 persen per tahun. Di luar dari komponen dana perimbangan, pendapatan daerah terdiri dari PAD dan pendapatan daerah lainnya yang secara rata-rata dalam periode yang sama berkontribusi sebesar 14 persen terhadap pendapatan daerah. Jika dilihat kecenderungannya, proporsi PAD terhadap pendapatan APBD mengalami penurunan dari 13 persen pada tahun 1996 menjadi 6 persen pada tahun 2008, sedangkan pendapatan daerah lainnya meningkat dari 1 persen menjadi 7 persen pada periode yang sama (Decentraliazation Support Facility, 2011). Penataan desentralisasi fiskal diarahkan untuk mendukung pembiayaan pembangunan bagi daerah dengan kebutuhan khusus. Selama ini mekanisme transfer pemerintah terutama yang dilaksanakan melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Alokasi Umum (DAU) belum responsif dalam mendukung pemberdayaan potensi lokal. Alokasi DAK menunjukkan kecenderungan pada fungsi penyebaran dengan meninggalkan fungsi kekhususan melaporkan

31% penerima DAK adalah daerah dengan DAU per kapita yang relatif tinggi. Disamping itu DAK bersifat top down sehingga tidak responsif terhadap kebutuhan daerah. Hal ini terutama terlihat pada alokasi DAK yang bersifat non

51

fisik padahal kebutuhan pemberdayaan potensi lokal tidak hanya kegiatan fisik tapi juga non fisik misalnya pengembangan tenaga terampil. Formula DAK juga dirasakan memberatkan untuk daerah dengan kapasitas fiskal rendah karena mensyaratkan adanya dana pendamping. Formula DAU cenderung menciptakan efek negatif terhadap kemandirian daerah. seperti terlihat pada tabel dibawah, tax effort daerah menurun. Formula DAU menciptakan kesan bahwa jika PAD naik maka DAU akan diturunkan. Oleh sebab itu banyak daerah yang justru enggan mengolah potensi lokalnya untuk mendongkrak PADnya.

Sumber : World Bank, 2012 Efek negatif lain dari DAU adalah dorongan bagi daerah untuk merekrut pegawai. DAU dialokasikan berdasarkan formula yang terdiri atas celah fiskal dan alokasi dasar dimana alokasi Dasar (AD) jumlah gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah. AD mendorong daerah untuk mengangkat pegawai sebanyak banyaknya. Dengan kata lain, bagi pemerintah daerah tidak ada insentif untuk merekrut pegawai secara rasional sesuai beban kerja.

52

5.4.

Kolaborasi

Pembiayaan

dan

Pemberdayaan

potensi

Lokal

untuk

Keberlangsungan Pembangunan Kota Tasikmalaya pasca Desentralisasi 5.4.1. Anggaran Daerah Terkait dengan tata kelola pemerintah Kota Tasikmalaya, anggaran pembangunan merupakan salah satu komponen yang penting dalam mendukung kegiatan pembangunan daerah. Dalam menyusun anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Kota Tasikmalaya telah menerapkan anggaran berbasis kinerja sesuai Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 29 Tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertangungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Besarnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Tasikmalaya meningkat signifikan dari Rp. 186,04 milyar pada tahun 2002 menjadi Rp. 472,5 milyar pada tahun 2007. Namun demikian bila dilihat dari komponen pembentukan APBD Kota Tasikmalaya pada periode 2002-2006 porsi dana perimbangan masih menjadi penyumbang terbesar dalam pembentukan APBD daerah (85,52 persen secara ratarata setiap tahunnya). Komponen pendapatan dari pendapatan asli daerah (PAD) memberikan kontribusi rata-rata sebesar 10,81 persen sedangkan komponen pendapatan lain-lain yang sah kontribusi rata-rata hanya 3,67 persen setiap tahun. Sebagai sebuah wilayah yang memiliki perkembangan kegiatan ekonomi yang cukup berkembang, Kota Tasikmalaya banyak memperoleh keuntungan atas aktivitas ekonomi yang berkembang tersebut. Manfaat yang dapat diterima dari perkembangan aktivitas ekonomi berupa potensi PAD, dimana secara umum memberikan kontribusi sebesar rata-rata 10,81 persen. Komponen PAD ini merupakan bagian penting dari peningkatan status (terjadinya pemekaran) menjadi Kota Tasikmalaya, berdasarkan besarnya penerimaan PAD

menggambarkan meningkatnya aktivitas sosial ekonomi. Secara umum di beberapa daerah Kabupaten/Kota penerimaan yang bersumber dari PAD rata53

rata 5 persen, Kota Tasikmalaya PADnya mampu berkontribusi cukup besar, artinya kegiatan perekonomian yang berkembang menjadi salah satu pendorong pembangunan daerah. Walaupun pendapatan asli daerah (PAD) cukup besar, untuk menjalankan kegiatan pembangunan, pemerintah Kota Tasikmalaya tetap mengandalkan penerimaan dari dana perimbangan. Hal ini Nampak dari besarnya komponen dana perimbangan dalam struktur APBD Kota Tasikmalaya. Beban kegiatan pemerintahan dengan adanya peningkatan status/pemekaran secara signifikan berpengaruh terhadap kebutuhan pendanaan dan kebutuhan yang terbesar diterima dari dana perimbangan. Sedangkan sumber APBD yang berasal dari pendapatan lain-lain hanya reltif kecil dalam struktur APBD Kota Tasikmalaya, secara rata-rata tahun 2002-2006 berkontribusi sebesar 3,67 persen. Keberadaan Kota Tasikmalaya menjadi strategis dalam hal kegiatan perekonomian, dimana aktivitas perekonomian (perdagangan, industry dan pariwisata) secara nyata berada di wilayah Kota Tasikmalaya. Perkembangan kegiatan ekonomi yang terjadi dapat di indikasikan dari besarnya potensi PAD yang dapat digali oleh pemerintah daerah Kota Tasikmalaya. Namun demikian terkait dengan pembiayaan pembangunan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat Kota Tasikmalaya masih tergantung dari bantuan pemerintah pusat (Dana Perimbangan) melalui Dana Alokasi Umum. Pembangunan yang dijalankan semenjak tahun 2001 (secara definitive berstatus Kota Tasikmalaya) yang tercermin dari besarnya anggaran pembangunan diharapkan akan digunakan bagi upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Untuk dapat mewujudkan hal tersebut perlu peningkatan kapasitas kemampuan dari segenap eleman dalam pemerintahan Kota Tasikmalaya.

5.4.2. Pemberdayaan Potensi Lokal Sesuai dengan sejarah pembentukan Kota Tasikmalaya, kota ini lahir pada tahun 2001 yang mana merupakan hasil pemekaran dari Kotib Tasikmalaya. Bila diamati secara sekilas terdapat beberapa hal yang menarik atas kontribusi sektoral

54

Kota Tasikmalaya. Pertama, terdapat perubahan yang signifi kan dalam struktur ekonominya, yakni pergeseran dari sektor pertanian, perdagangan dan sektor jasa (periode Kotib) menjadi sektor perdagangan (29,16 %); industri (17,42 %) dan jasajasa (13,52 %) sebagai penggerak utama perekonomian. Sektor pertanian yang sebelumnya (periode Kotib) mendominasi struktur perekonomian justru

menyusut kontribusinya. Hal ini disebabkan wilayah Kota Tasikmalaya mayoritas berada di Kota, sehingga lahan pertanian cenderung terbatas yang secara langsung berpengaruh pada penurunan nilai tambah yang dihasilkan. Kedua, terdapat kecenderungan bahwa perkembangan sektor unggulan tersebut merupakan bagian/hasil dari kegiatan yang terjadi di periode Kotib dan dibawa pada periode Kota Tasikmalaya. Dengan kata lain bahwa sektor unggulan tersebut (khususnya sektor perdagangan hotel dan restoran) bukan merupakan hasil pembangunan (prestasi) Kota Tasikmalaya itu sendiri, namun lebih merupakan warisan dari Kotib Tasikmalaya.

Tabel 1.1. Kontribusi Sektoral Perekonomian Kota Tasikmalaya Sektor Pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, kehutanan Pertambangan dan penggalian Industri Pengolahan Listrik, bersih Bangunan Perdagangan, hotel dan restauran Pengangkutan dan 10.2 10.1 9.82 9.61 9.49 9.12 9.73 9.52 30.5 9.45 30.0 9.14 28.8 8.89 27.9 9.44 9.83 9.38 29.15 gas, dan 16.5 air 1.43 16.8 1.41 17.3 1.39 17.8 1.51 17.89 18.0 1.60 1.64 17.42 1.50 0.68 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.12 2002 10.7 2003 10.4 2004 10.0 2005 9.69 2006 9.15 2007 8.98 Rata-Rata 8.92

28.51 29.0

55

Komunikasi Keuangan, sewa dan jasa perusahaan Jasa-jasa 14.3 13.9 13.4 13.2 13.36 12.7 13.52 6.03 7.82 9.92 11.02 10.54 10.5 9.35

Sumber: BPS Kota Tasikmalaya Argumentasi diatas nampaknya cukup relevan bila dalam analisis berikut melihat perubahan struktur ekonomi Kabupaten Tasikmalaya sebagai bagian dari hasil Pemekaran Kotib Tasikmalaya (hasil pemekaran Kotib adalah munculnya Kota Tasikmalaya dan Kabupaten Tasikmalaya). Kabupaten Tasikmalaya selanjutnya disebut sebagai Daerah Induk (DI), sementara Kota Tasikmalaya disebut sebagai Daerah Otonomi Baru (DOB). Perkembangan sektor Perdagangan Hotel Restoran (PHR) di Kota Tasikmalaya berkorelasi positif (29,16 %) dengan perkembangan sektor PHR pada periode Kotib (24,23 %). Artinya bahwa sektor PHR merupakan hasil perkembangan dari Kotib dibandingkan tercipta (terbangun) akibat pemekaran. Lebih jauh, nampak terjadi pembagian sektor unggulan antara Kota dan Kabupaten Tasikmalaya dari adanya pemekaran. Kondisi ini dapat dilihat dari sektor unggulan serupam (PHR) yang memiliki kontribusi cukup besar terhadap perekonomian Kabupaten Tasikmalaya (21,70 %). Bilamana diperbandingkan secara nilai antara Kota dan Kabupaten maka nampak bahwa sektor PHR Kabupaten Tasikmalaya (Rp. 847,49 milyar) cenderung memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan Kota Tasikmalaya (Rp.916,32 milyar). Hal ini menunjukkan bahwa Kabupaten memiliki kekuatan lebih dalam mengakomodasi sektor ini dibandingkan dengan Kota sebagai hasil dari pemekaran Kotib Tasikmalaya. Sementara itu, sektor industri yang menjadi sektor unggulan kedua setelah sektor PHR di Kota Tasikmalaya, secara tidak langsung diprediksi merupakan hasil dari pemekaran wilayah. Argumentasinya adalah : pertama bila dibandingkan dengan Kabupaten (7,05 %) , Kota (17,42 %) cenderung memiliki kontribusi sektor industri lebih besar. Kedua, nilai tambah sektor industri Kota (Rp. 508,18 milyar) lebih besar dibanding kabupaten (Rp. 327.10 milyar). Ketiga,

56

dengan

adanya

pemekaran

sistem

birokrasi

dan

dukungan

terhadap

perkembangan sektor usaha relatif lebih baik. Hal ini sesuai dengan hasil indepth interview terhadap salah satu pengusaha batik yang menyatakan bahwa dengan adanya pemekaran, insentif bagi pengusaha cenderung lebih banyak

dibandingkan periode sebelumnya. Beberapa bentuk insentif yang diberikan adalah fasilitasi pameran, pemberian modal maupun pelatihan. Selain itu, melalui Bappeda dan Dinas Perindustrian memberikan kemudahan dalam hak ijin usaha sehingga akses perbankan relatif lebih mudah. Hal ini mengindikasikan bahwa target pemekaran untuk memberikan kedekatan pelayanan kepada masyarakat secara sekilas tercapai. Dalam sisi pertumbuhan ekonomi, nampak bahwa laju pertumbuhan ekonomi (LPE) memliki tren yang terus meningkat sejak adanya pemekaran dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 4,9%. Di tingkat sektoral, pertumbuhan terbesar justru terjadi pada sektor non unggulan, yaitu keungan, sewa dan jasa perusahaan (17,98). Sementara sektor unggulan seperti industri pengolahan (IP) dan PHR cenderung tumbuh rata-rata pada level yang lebih rendah (6,60 % dan 3,79 %) Pada awal pemekaran (2003), LPE hanya sebesar 4,43 % dan terus meningkat menjadi 5,98 % (2007). Namun demikian LPE Kota Tasik (4,9 %) relatif lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan LPE Propinsi Jawa Barat (5,3%). Hal ini disebabkan karena sebagai DOB, Kota Tasikmalaya masih terfokus pada upaya untuk melakukan sinkronisasi, penataan dan restrukturisasi kembali hingga penyesuaian kembali seluruh sistemnya (baik pemerintahan maupun ekonomi). Selain itu, Kota Tasikmalaya dihadapkan pada permasalahan konflik asset dengan Kabupaten Tasikmalaya, khususnya atas aset-aset daerah yang potensial. Secara langsung hal ini menghambat pada proses pembangunan khususnya dalam konsentrasi mengerahkan dan mengelola segala potensi yang dimiliki.

57

58

REALITAS IMPLEMENTASI DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH DI INDONESIA Oleh: Wawan Tuswandi

Keberhasilan implementasi kebijakan otonomi daerah ditentukan oleh berbagai faktor, salah satu diantaranya adalah kinerja dan Pemerintah Daerah (Syaukani, 2005). Walaupun kinerja pemerintah daerah bukanlah faktor yang paling dominan dalam menentukan keberhasilan implementasi kebijakan otonomi daerah namun perlu perhatian dan upaya untuk meningkatkan kinerja pemerintah daerah, secara simultan juga harus dilakukan peningkatan faktor faktor lainnva. Syaukani (2005) mengemukakan bahwa antara implementasi kebijakan otonomi daerah dan kinerja pemerintah daerah dapat ditarik hubungan sebab akibat yang cukup signifikan. Antara kedua kondisi tersebut saling

mempengaruhi, selain implementasi otonomi daerah dipengaruhi oleh kinerja pemerintah daerah, sebaliknya kinerja pemerintah daerah juga dipengaruhi oleh implementasi kebijakan otonomi daerah. Seiring dengan berkembangnya konsep tentang pembangunan, sisi pembiayaan tidaklah menjadi satu-satunya acuan kinerja pemerintahan suatu wilayah, kinerja suatu daerah hanya dinilai dari aspek makro secara ekonomi, yaitu dari : (1) Kemampuan daerah tersebut untuk menciptakan dan mempertahankan kenaikan tahunan atas pendapatan daerah bruto (Product Domestic Regional Brutto) atau pertumbuhan ekonomi, (2) Tingkat pertumbuhan pendapatan per kapita riil (income regional per capita) yaitu PDRB per kapita yang telah dikurangi dengan faktor inflasi, dan (3) Tingkat kemajuan struktur produksi dan penyerapan sumberdaya, yang biasanya diindikasikan oleh pergeseran struktur produksi dan sector pertanian ke sektor industri.

59

Dalam

perkembangan

selanjutnya,

konsep

pembangunan

yang

menekankan pentingnya pertumbuhan banyak dipersoalkan, karena disadari bahwa tolok ukur kinerja daerah yang murni bersifat ekonomi harus pula didukung oleh tolok ukur yang bersifat non ekonomi. Paradigma pembangunan daerah pun kemudian mulai bergeser ke arah pembangunan yang seimbang. Paradigma ini mengungkap kembali pentingnya the second fundamental theory of welfare economics yaitu keseimbangan

pembangunan ekonomi dan non ekonomi. Strategi pembangunan kini lebih memberikan penekanan utama kepada manusia sebagai subjek utama dalam pembangunan. Hal terpenting di sini adalah bagaimana memperluas pilihan-pilihan penduduk untuk hidup lebih panjang, lebih terdidik dan lebih mendapatkan akses terhadap sumberdaya untuk mempertahankan standar hidup yang layak. Karenanya indikator pembangunan atau kinerja suatu daerah juga mengalamai perubahan. Disamping pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pendapatan, kinerja daerah juga dinilai dan berbagai indikator kemajuan makro sosial. Sejalan dengan semangat otonomi daerah, kinerja daerah terukur melalui kemampuan daerah mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Kaho (1997) menyatakan bahwa salah satu kriteria penting untuk mengetahui secara nvata kemampun daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganva adalah self-supporting dalam bidang keuangan. Hal ini berarti bahwa keuangan merupakan factor esensial dalam mengukur tingkat kemampuan daerah dalam melaksanakan otonominya. Pemerintah daerah diharapkan mampu menetapkan belanja daerah yang wajar, efisien dan efektif (Aslym, 1999). Pendapatan Asli Daerah (PAD) idealnya menjadi sumber pendapatan pokok daerah. Sumber pendapatan lain dapat bersifat fluktuatif dan cenderung di luar kontrol kewenangan daerah. Melalui kewenangan yang dimiliki, daerah diharap dapat meningkatkan PAD, sambil tetap memperhatikan aspek ekonomis, efisierisi, dan netralitas. Kinerja PAD terukur melalui Ukuran Elastisitas, Share dan Growth. Kombinasi indeksasi dan ketiga ukuran tersebut merupakan Indeks

60

Kemampuan Keuangan (IKK) yang sekaligus digunakan dalam menilai kinerja daerah dalam pengelolaan input. Selanjutnya Bappenas menyatakan bahwa elastisitas adalah rasio

pertumbuhan PAD dengan pertumbuhan PDRB.

Rasio ini bertujuan melihat

sensitivitas atau elastisitas PAD terhadap perkembangan ekonomi suatu daerah. Sedangkan share merupakan rasio PAD terhadap belanja daerah (belanja aparatur daerah dan belanja pelayanan publik). Rasio ini mengukur seberapa jauh kemampuan daerah membiayai kegiatan aparatur daerah dan kegiatan pelayanan publik. Rasio ini dapat digunakan untuk melihat kapasitas kemampuan keuangan daerah, dan growth merupakan angka pertumbuhan PAD tahun i dan tahun i-l. Indikator kinerja kunci yang digunakan untuk Evaluasi Kinerja

Pelaksanaan Otonomi Daerah (EKPOD) yang terdapat dalam PP No. 8 Tahun 2008 disebutkan bahwa: Tujuan akhir otonomi daerah ditunjukkan dengan parameter tinggi kualitas manusia yang secara internasional diukur dengan indeks pembangunan manusia (IPM). Dalam EKPOD, IPM ini digunakan untuk mengecek apakah aspek aspek yang digunakan untuk mengukur kemampuan penyelenggaraan otonomi daerah dapat dipertanggung jawabkan. Dengan demikian IPM idealnya menjadi salah satu indikator pengukuran kinerja daerah dilihat dan sisi outcomes. Pengamatan terhadap kondisi IPM di 19 (Sembilan belas) Provinsi adalah terdapat peningkatan secara signifikan setelah kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah Sedangkan pengamatan terhadap kinerja daerah di 19 (Sembilan belas) Provinsi, berdasikator Indeks Kemampuan Keuangan (IKK), meningkat secara signifikan setelah pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah. Secara normatif, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, desentralisasi dipahami sebagai penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan

61

Republik Indonesia. Dalam hal ini, otonomi daerah merupakan bagian yang melekat dari implementasi sistem desentralisasi. Dalam suatu negara yang menganut kebijakan desentralisasi, ditandai dengan adanya penyerahan sebagian urusan pemerintahan yang sebelumnya menjadi kewenangan pusat untuk menjadi kewenangan daerah. Pada era reformasi dewasa ini kita menerapkan pola otonomi luas, dimana daerah diberikan kewenangan yang luas untuk mengatur dan mengurus urusan-urusan pemerintahan yang menjadi kepentingan masyarakat daerah. Dalam koridor otonomi luas setidaknya terdapat 31 sektor pemerintahan yang merupakan urusan pemerintahan yang di-desentralisasikan ke daerah baik yang terkait dengan urusan yang bersifat wajib untuk menyelenggarakan pelayanan dasar maupun urusan yang bersifat pilihan untuk menyelenggarakan pengembangan sector unggulan, dimana pelaksanaannya berpedoman pada Standar Pelayanan Minimal (SPM). Adapun urusan-urusan pemerintahan yang di desentralisasikan ke daerah sebagai berikut, Pertama urusan wajib yang meliputi pendidikan, pemuda dan olahraga, kesehatan, pekerjaan umum, lingkungan hidup, perumahan, penanaman modal, UKM, kependudukan, tenaga kerja dan transmigrasi, pemberdayaan perempuan, keluarga berencana, perhubungan, komunikasi dan informasi (kominfo), pertanahan, kesatuan bangsa, pemberdayaan masyarakat desa, sosial. Kedua, urusan pilihan meliputi kelautan dan perikanan laut, pertanian, perkebunan, peternakan, tanaman pangan, perikanan darat, kehutanan, pertambangan, pariwisata dan kebudayaan, industri, perdagangan. UU No. 32 Tahun 2004 telah mengatur kriteria pembagian urusan yang dikerjakan bersama oleh Pusat, Provinsi dan Kabupaten/ Kota dengan menggunakan tiga kriteria yakni eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi. Urusan pemerintahan Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota tersebut dapat dideskripsikan sebagai berikut:,

62

Pertama, pemerintah pusat membuat aturan main dalam bentuk norma, standar dan prosedur untuk melaksanakan suatu urusan pemerintahan; menegakkan aturan main dalam bentuk monitoring, evaluasi dan supervisi agar urusan pemerintahan tersebut dilaksanakan dalam koridor norma, standar, prosedur yang dibuat pusat; melakukan fasilitasi dalam bentuk pemberdayaan/capacity building agar daerah mampu melaksanakan

otonominya dalam norma, standard dan prosedur yang dibuat pusat; melaksanakan urusan-urusan pemerintahan yang berdampak nasional/lintas provinsi dan internasional. Kedua, pemerintah provinsi mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam skala provinsi (lintas kabupaten/kota) sesuai norma, standar, prosedur yang ditetapkan oleh pemerintah pusat dan gubernur sebagai wakil pemerintahan di wilayah provinsi. Ketiga, kabupaten/kota mengatur dan mengurus urusanurusan pemerintahan dalam skala kabupaten/kota sesuai norma, standar dan prosedur yang ditetapkan pemerintah pusat. Walaupun terdapat pembagian urusan pemerintahan antar tingkatan pemerintahan (pusat, provinsi dan kabupaten/kota), namun tetap terdapat hubungan keterkaitan/interrelasi dan ketergantungan/interdependensi dalam pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi domain masing-masing sebagai satu kesatuan sistem.

Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, daerah otonom berhak, berwenang, dan sekaligus berkewajiban mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah, dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, menyediakan pelayanan umum, dan meningkatkan daya saing daerah sesuai dengan potensi, kekhasan, dan unggulan daerah yang dikelola secara demokratis, transparan dan akuntabel.

63

Untuk mencapai hasil yang optimal, pemerintahan daerah selaku penyelenggara urusan pemerintahan harus dapat memproses dan melaksanakan hak dan kewajiban berdasarkan asas-asas kepemerintahan yang baik (good governance) sesuai dengan asas umum penyelenggaraan negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sebagaimana diamanatkan Pasal 6 dan Pasal 222 UU Nomor 32 Tahun 2004, pemerintah melakukan evaluasi, pembinaan dan pengawasan terhadap pemerintahan daerah. Dalam hal ini, telah diatur secara tegas di dalam PP Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, bahwa Kementerian Dalam Negeri melakukan evaluasi terhadap kinerja pemerintahan daerah atau disebut sebagai Evaluasi Penyelenggaraan

Pemerintahan Daerah (EPPD) untuk mengetahui keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam memanfaatkan hak yang diperoleh daerah dengan capaian keluaran dan hasil yang telah direncanakan. Adapun tujuan utama dilaksanakannya evaluasi, adalah untuk menilai kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam upaya peningkatan kinerja untuk mendukung pencapaian tujuan penyelenggaraan otonomi daerah berdasarkan prinsip tata kepemerintahan yang baik. Dalam hal ini EPPD meliputi tiga macam evaluasi yakni, Pertama, evaluasi kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah (EKPPD), yang dilakukan untuk menilai kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam upaya peningkatan kinerja berdasarkan prinsip tata kepemerintahan yang baik. Kedua, evaluasi kemampuan penyelenggaraan otonomi daerah (EKPOD), yang dilakukan untuk menilai kemampuan daerah dalam mencapai tujuan otonomi daerah yang meliputi peningkatan kesejahteraan masyarakat, kualitas pelayanan umum, dan kemampuan daya saing daerah; dan

64

Ketiga, evaluasi daerah otonom baru (EDOB), yang dilakukan untuk memantau perkembangan kelengkapan aspek-aspek penyelenggaraan

pemerintahan daerah pada daerah yang baru dibentuk.

Hasil evaluasi kinerja penyelenggaraan pemerintah daerah terhadap provinsi dan kabupaten/kota dituangkan di dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri, yang secara regular disampaikan kepada publik secara luas setiap tahunnya pada tanggal 25 April, bertepatan dengan diselenggarakannya peringatan hari ulang tahun otonomi daerah. Penyebarluasan informasi evaluasi penyelenggaraan pemerintah daerah, di samping untuk menjadi bahan pengambilan kebijakan lebih lanjut juga turut mendukung terwujudnya transparansi dalam pengelolaan pemerintahan sebagaimana juga telah diatur dalam UU Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. PENATAAN DAERAH Daerah otonom baru yang dimungkinkan pembentukannya secara masif sejak diterbitkannya UU Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian diganti dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dalam perjalanannya menunjukkan dinamika yang dapat berkembang sesuai tujuan pembentukannya dan dalam batas tertentu mengalami berbagai persoalan yang berdampak buruk pada pelayanan publik. Adapun dalam rentang waktu lebih dari satu dasawarsa sejak tahun 1999, jumlah daerah otonom di Indonesia telah bertambah 205 (dua ratus lima) daerah terdiri dari 7 (tujuh) provinsi, 164 (seratus enam puluh empat) kabupaten dan 34 (tiga puluh empat) kota. Dengan demikian, penambahan ini telah menambah total jumlah daerah otonom di Indonesia menjadi 524 (lima ratus dua puluh empat) daerah otonom, yang terdiri dari 33 (tiga puluh tiga) provinsi, 398 (tiga ratus Sembilan puluh delapan kabupaten, 93 (sembilan puluh tiga) kota, dimana jumlah tersebut tidak termasuk enam daerah administratif di Provinsi DKI Jakarta.

65

Sebagai bahan komparasi terdapat beberapa studi dan evaluasi yang menunjukkan fakta tentang dinamika daerah otonom baru, bahwa hasil evaluasi Kementerian Dalam Negeri terhadap 148 daerah otonom baru, menunjukkan bahwa pembentukan daerah baru belum mensejahterakan masyarakat. Hal itu terlihat, baik di daerah baru maupun daerah induknya. Belum terwujudnya kesejahteraan masyarakat dilihat dari angka kemiskinan di daerah otonom baru, rata-rata di tahun 2003 (17,91%) dan tahun 2004 (18,01%). Angka kemiskinan di daerah induk rata-rata 21,03% (tahun 2003) dan 19,54% (tahun 2004). Angka itu dinilai masih di atas angka kemiskinan nasional, yaitu 16,66% di tahun 2004. Berdasarkan hasil penelitian Bappenas dan UNDP (2008), menunjukkan adanya gejala kegagalan pemekaran. Indikator utamanya adalah daerah-daerah hasil pemekaran belum bisa berkembang secara akseleratif, minimal mendekati perkembangan daerah induknya. Riset itu dilakukan terhadap 6 provinsi dan 72 kabupaten/kota di Indonesia selama 2002-2007. Terdapat empat bidang kajian, yaitu ekonomi daerah, keuangan daerah, pelayanan publik, dan aparatur di daerah. Hasil Pemeriksaan Semester II Tahun 2009 oleh BPK atas kinerja daerah pemekaran menunjukkan bahwa: (a) beberapa indikator kinerja daerah induk dan daerah otonom baru, yakni seluruh komponen aspek kesejahteraan, dan belanja modal, rata-rata tidak tercapai karena masih di bawah rata-rata nasional seluruh kabupaten/kota di Indonesia. (b) pemenuhan masa transisi pemerintahan baru tidak dapat tercapai dengan baik, misalnya pembiayaan daerah otonom baru tidak diatur secara jelas dan didokumentasikan dengan memadai. (c) belum ditemukan dokumen sumber yang memadai mengenai komitmen pembiayaan dari pemerintah provinsi dan daerah induk.

66

Berdasarkan tinjauan efektifitas, secara umum kebijakan pemekaran daerah sejauh ini belum menunjukkan capaian yang cukup positif. Sebaliknya kompleksitas gagasan pemekaran memunculkan beragam persoalan pada tahap inisiasi pemekaran, proses pemekaran maupun kinerja daerah otonom baru. Sementara itu ekses negatif dari pemekaran daerah juga berimbaspada keuangan negara, yang dalam hal ini telah menyebabkan lonjakan beban anggaran yang luar biasa dalam APBN dalam kurun waktu 1999-2010. Menyikapi situasi ini, Pemerintah saat ini menerapkan moratorium (jeda) pemekaran daerah sembari menunggu landasan hukum yang kuat dalam revisi UU Nomor 32 Tahun 2004 yang nantinya menginisiasi suatu manajemen transisi pemekaran suatu daerah. Di samping itu, pemerintah juga telah menyusun suatu desain besar (grand design) bagi penataan daerah yang bersifat komprehensif menyangkut

dimensidimensi strategis penataan daerah. Desain Besar Penataan Daerah (Desartada) ini mencakup empat elemen dasar yakni : Pertama, pembentukan daerah persiapan sebagai tahap awal sebelum ditetapkan sebagai daerah otonom. Kedua, penggabungan dan penyesuaian daerah otonom. Ketiga, penataan daerah yang memiliki karakteristik khusus. Keempat, penetapan estimasi jumlah maksimal daerah otonom (provinsi, kabupaten dan kota) di Indonesia untuk tahun 2010-2025. Dengan demikian melalui penataan daerah yang menyeluruh, ke depan dapat diproyeksikan suatu akselerasi pengembangan potensi nasional yang diarahkan bagi pemantapan integrasi nasional, peningkatan pembangunan ekonomi dan penguatan kualitas pelayanan publik bagi masyarakat seluruh daerah di Indonesia di dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah secara bertanggungjawab.

67

PEMILIHAN KDH

DAN HUBUNGAN

SINERGIS

PENYELENGGARA

PEMERINTAHAN DAERAH Penerapan kebijakan desentralisasi dimaksudkan tidak hanya untuk mewujudkan kesejahteraan dan meningkatkan daya saing daerah, tetapi juga bertujuan untuk mengakselerasi agenda demokratisasi di daerah. Secara umum tujuan berdemokrasi juga akan memposisikan Pemerintah Daerah sebagai instrumen pendidikan politik di tingkat lokal yang secara agregat akan memberikan sumbangsih terhadap pendidikan politik secara nasional sebagai elemen dasar dalam menciptakan kesatuan dan persatuan bangsa dan negara serta mempercepat terwujudnya masyarakat yang demokratis. Salah satu proses demokrasi di tingkat lokal termanifestasi dalam mekanisme Pemilihan Kepala Daerah (Pemilukada), dimana hal tersebut telah diamanatkan dalam UUD NRI Tahun 1945 Pasal 18 Ayat (4) yang berbunyi : Gubernur, Bupati, dan Walikota masing- masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Sedangkan pengaturan tentang pemilihan kepala daerah dari segi undangundang, khususnya Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengatur bahwa Kepala Daerah, baik Gubernur maupun Bupati/Walikota dipilih secara bersama-sama dengan wakilnya secara langsung oleh rakyat di daerah Sejak pertama kalinya dilaksanakan pada tanggal tanggal 1 Juni 2005, proses Pemilukada telah menimbulkan dinamika politik yang cukup tinggi, baik secara vertikal dalam tata kepemerintahan maupun dalam kehidupan sosial politik masyarakat di daerah. Penyelenggaraan pemilukada dapat membawa implikasi terjadinya konflik horizontal yang memicu tindakan-tindakan anarkis di tengahtengah masyarakat dan maraknya praktik politik uang hingga munculnya gejala dekadensi etika berdemokrasi. Tidak hanya itu, penyelenggaraan pemilukada dapat pula membawa implikasi pada penguatan partisipasi politik publik yang masif dan dalam skala yang luas. Namun demikian, secara substantif pemilihan KDH dapat melahirkan kepala daerah yang berkualitas sehingga mampu menciptakan

68

pemerintahan daerah yang efektif dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat sebagaimana amanat dari konstitusi, UUD NRI Tahun 1945. Oleh karena itu, saat ini Pemerintah telah merampungkan penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Kepala Daerah sebagai satu basis regulasi yang secara komprehensif memuat ketentuan tentang pemilihan kepala daerah yang mampu memberikan kepastian hukum serta menjadi faktor utama dalam melahirkan kepala daerah dan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah yang berkualitas. Terkait hal tersebut, perlu digarisbawahi bahwa Kepala Daerah yang baru saja terpilih agar memperhatikan secara serius penganggaran dalam perhelatan pemilihan kepala daerah. Hal ini dikarenakan pembiayaan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah bersumber kepada APBD, sehingga perlu adanya alokasi anggaran yang telah dipersiapkan dalam tahun pertama kepemimpinan, sehingga di tahun akhir kepemimpinan tidak terjadi ketidaktersediaan dana. Di samping itu tanpa adanya suatu skema terencana terhadap pembiayaan dalam postur APBD, menyebabkan maraknya fenomena penyanderaan anggaran

penyelenggaraan pemilihan kepala daerah. Hal ini tidak hanya berakibat pada tertundanya pemilihan kepala daerah, namun lebih dari itu telah menciderai komitmen dari seorang kepala daerah untuk mengakselerasi agenda demokrasi di daerahnya. Sementara itu, pasca perubahan konstitusi hingga keempat kali, UUD NRI 1945 menganut sistem pembagian kekuasaan berdasarkan prinsip checks and balances, sehingga masih ada koordinasi antar lembaga negara, baik di tataran pusat maupun daerah. Dalam konteks konfigurasi pemerintahan daerah, saat ini hubungan antara kepala daerah dan DPRD bersifat kemitraan dalam koridor harmonis-sinergis dan bukannya harmonis-kolutif, sehingga kerjasama yang dinamis dan produktif antara kepala daerah dan DPRD mampu menggerakan perubahan positif bagi daerahnya dan bukan sebaliknya. Adanya hubungan yang sinergis antara kepala daerah dan DPRD kemudian tidak hanya membawa manfaat bagi daerah yang bersangkutan, namun juga dapat mendukung

69

terwujudnya sinergi nasional. Hal ini merujuk pada kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dapat segera dioperasionalisasi di tingkat regional maupun lokal, dengan adanya iklim yang kondusif dalam sistem pemerintahan daerah. Hubungan yang sinergis itu pula, mutlak berlaku bagi pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah, dimana hubungan yang konfrontatif antara kepala daerah dan wakil kepala daerah hanya akan menyebabkan

terfragmentasinya pemerintah daerah yang pada muaranya akan mendistorsi visi misi yang pernah diusung bersama di kala pemilihan yang lampau. OPTIMALISASI PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DALAM TATA KELOLA PEMERINTAHAN YANG BAIK

Penerapan tata kelola pemerintahan yang baik erat kaitannya dengan pelaksanaan agenda percepatan reformasi birokrasi, baik pada tataran pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Hal ini merupakan suatu kebutuhan yang mutlak sebagai upaya untuk melakukan perbaikan kinerja birokrasi dengan meningkatkan kualitas regulasi, meningkatkan efisiensi, efektivitas dan akuntabilitas di seluruh aspek

penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan prima kepada publik yang pada gilirannya akan meningkatkan legitimasi publik kepada pemerintah serta mendukung terwujudnya good governance. Dalam konteks kekinian saat ini, reformasi tidak bisa lagi dimaknai sebagai satu semangat dan atau suatu simbol semata, namun reformasi harus dipandang sebagai satu kebijakan yang konkrit dan sistemik dalam rangka mengakselerasi agenda mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik. Terhadap hal itu, INPRES Nomor 1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional, menempatkan Reformasi Birokrasi dan Tata Kelola menjadi instruksi pertama dari Presiden terkait pelaksanaan prioritas

70

pembangunan nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) Tahun 2010-2014. Dalam hal peningkatan kinerja pemerintahan daerah melalui program pengembangan kapasitas pemerintah daerah dilaksanakan berpedoman pada Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2012 Tentang Kerangka Nasional Pengembangan Kapasitas Pemerintahan Daerah, yang mencakup 3 (tiga) bidang yakni pengembangan dibidang kebijakan, kelembagaan dan sumber daya manusia (SDM). Peningkatan kinerja pemerintah daerah melalui program pengembangan kapasitas tersebut menjadi langkah strategis bagi Pemerintah Daerah menuju optimalisasi pelaksanaan otonomi daerah yang efektif, efisien dan responsif dalam merespon tuntutan masyarakat terhadap pelayanan publik yang lebih berkualitas dan profesional. Adapun secara konseptual, guna mencapai optimalisasi penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah tentunya tidak dapat dilepaskan dengan peranan aktif dari organisasi birokrasi pelaksana otonomi daerah. Organisasi birokrasi memiliki tugas yakni, Pertama, memberikan pelayanan umum (services) yang bersifat rutin kepada masyarakat seperti memberikan pelayanan perijinan, pembuatan dokumen, perlindungan, pemeliharaan fasilitas umum, pemeliharaan kesehatan, dan penyediaan jaminan keamanan bagi penduduk. Kedua, melakukan pemberdayaan (empowerment) terhadap masyarakat untuk mencapai kemajuan dalam kehidupan yang lebih baik, seperti melakukan pembimbingan, pendampingan, konsultasi, menyediakan modal dan fasilitas usaha, serta melaksanakan pendidikan. Ketiga, menyelenggarakan pembangunan (development) di tengah masyarakat, seperti membangun infrastruktur perhubungan, perdagangan, dan

sebagainya. Namun demikian, diakui atau tidak, dari segi mentalitas birokrasi di daerah masih dipengaruhi oleh pola budaya feodal yang telah sekian lama

71

mengakar. Budaya feodal itu kemudian menyebabkan mentalitas personil birokrasi pada umumnya kurang kondusif dalam mendorong sistem birokrasi bekerja optimal dalam memberikan pelayanan publik secara prima. Diantara beberapa sikap itu adalah : Pertama, sikap mental yang berorientasi membelanjakan daripada menghasilkan.

Para birokrat menganggap bahwa anggaran dan fasilitas mereka adalah milik negara sehingga birokrat tidak perlu bersusah payah untuk mengelola secara baik apalagi memberi nilai tambah pada aset-aset itu. Para birokrat bahkan cenderung ceroboh dalam mengelola aset-aset pemerintah Kedua, sikap minta dilayani, bukan melayani. Hal ini sedikit banyak merupakan warisan paham masa lampau baik masa kerajaan yang menempatkan birokrat sebagai priyayi, maupun masa penjajahan yang menempatkan birokrat sebagai ambtenaar yang memiliki hak-hak dan status khusus. Ketiga, motivasi birokrasi pada umumnya keliru. Sejak awal para personil birokrasi mendaftar menjadi pegawai bukan untuk melayani dan mengabdi, melainkan mencari status dan gaji, sehingga tentu saja tatkala bekerja orientasinya sudah tidak sesuai lagi dengan tugas dan fungsi utama birokrasi. Dengan demikian terdapat tugas seorang kepala daerah yang tentunya dibantu oleh wakil kepala daerah untuk secara konsisten mengawal agenda percepatan reformasi birokrasi. Aspek kepemimpinan yang dapat dijadikan suri tauladan bagi jajaran aparat pemerintah daerah menjadi modal yang mutlak dimiliki oleh kepala daerah maupun wakil kepala daerah, sehingga kepercayaan yang telah diberikan rakyat dalam pemilihan kepala daerah dapat dibuktikan dengan kerja yang nyata.

72

KESIMPULAN DAN SARAN/REKOMENDASI

1.4.

Kesimpulan Dalam pendekatan implementasi kebijakan desentralisasi berdasarkan perspektif Hubungan negara masyarakat, desentralisasi dipandang kepada

sebaagai salah satu sarana untuk mendekatkan negara

masyarakat. Formulasi definsi desentralisasi lebih merujuk pada perspektif desentralisasi politik, dengan tekanan pada aspek

penyerahan kekuasaan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, namun dalam formulasi tujuan yang hendak dicapai tidak mendikotomikan antara tujuan menurut konsep desentralisasi politik dan desentralisasi administrasi. Dalam perspektif Hubungan negara masyarakat, baik tujuan politik

maupun tujuan administrasi adalah sama penting. Perbedaan lebih terletak pada metode dan tekanan prioritas untuk mencapai tujuan. Itulah sebabnya tujuan desentralisasi yang dibangun lebih

diformulasikan menurut kepentingan nasional dan daerah. Dari sisi kepentingan nasional, tujuan desentralisasi meliputi, antara lain, memperkuat integrasi bangsa; training bagi calon-calon pemimpin nasional; dan percepatan pencapaian kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Sedangkan dari sisi kepentingan daerah, tujuan desentralisasi meliputi, antara lain mewujudkan demokratisasi di tingkat lokal; meningkatkan pelayanan publik; serta menciptakan efisiensi dan efektifitas

penyelenggaraan pemerintahan. Tujuan desentralisasi secara nasional perlu medapat penekanan, karena dalam praktik desentralisasi di Indonesia sejauh ini, tujuan tersebut belum dirumuskan secara eksplisit, baik pada tataran konsep maupun pada tingkat kebijakan. Implikasinya, kebijakan desentralisasi sering antara lain, pelaksanaan dengan kekuaatiran
73

dikaitkan

terancamnya integrasi bangsa. Kecenderungan ini dimengerti, karena apabila tujuan desentralisasi berdasarkan kepentingan nasional tersebut dikonkritkan pada level konsep dan kebijakan akan mempersempit ruang gerak rezim yang berkuasa untuk melakukan diskresi

desentralisasi, yaitu memanipulasi konsep dan kebijakan desentralisasi guna membelenggu daerah. Sudah saatnya, untuk dikaji dan dilakukan segera reformulasi tujuan desentralisasi. Implementasi kebijakan desentralisasi tidak dapat berdiri sendiri, tetapi harus terkait dan sejalan dengan kebijakan-kebijakan pada bidang lain Selain itu, implementasi kebijakan desentralisasi juga harus tidak mengabaikan karakteristik masing-masing daerah. Dalam pendekatan desentralisasi secara holistik, persoalan hubungan pusat-daerah tidak dapat diselesaikan secara parsial, dengan hanya mengutak-atik kebij akan tentang pengaturan hubungan kekuasaan dan keuangan pusat-daerah dan kebijakan otonomi daerah, tetapi juga menghendaki perbaikan kebijakan pada bidang-bidang lain Implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia, lebih banyak diperlihatkan dengan marak tumbuhnya daerah otonom baru hasil pemekaran daerah, namun kondisi yang lebih baik sebagai implikasi dari terwujudnya tujuan desentralisasi belum terwujud dengan baik. Sebagian besar daerah otonom (70 persen) belum mampu melaksanakan desentralisasi kekuasaan dan kewenangan keuangan untuk mengurus dan memenuhi kebutuhannya daerahnya sendiri

1.5.

Saran / Rekomendasi Setelah mamahami dan mencermati segala dampak positif dan negative sebagai implikasi dari kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang diterapkan di Indonesia dalam rangka meningkatkan kualitas

74

hubungan negara masyarakat, disampaikan beberapa rekomendasi sebagai berikut: 1. Perlu dilakukan kajian yang lebih kongkret dalam reformulasi tujuan desentralisasi, khususnya tujuan secara nasional. Hal ini ditujukan untuk mengantisipasi semakin besarnya gap kondisi antar daerah akibat dari arogansi otonomi. Kondisi tersebut akan bertendensi

mengakibatkan terjadinya disentegrasi bangsa, yang pada dahulu kala telah diikat dengan semangat kesatuan dan persatuan. 2. Salah satu mekanisme yang dipandang akan mampu mengikat kesatuan dan persatuan bangsa antara lain adalah dengan

memperkuat kerjasama antar daerah dalam berbagai bidang dan sektor yang dituangkan dalam komitmen legal antar kepala daerah.

75

DAFTAR PUSTAKA Cheema, G Shabbir, Dennis A Rondenelli, 1983. Decentralization and Development, Policy Implementation in Developing Countries. Sage Publication, Beverly Hills/London/New Delhi Conyers, Diana, 1986. Decentralization and Development: a Framework for Analysis, Community Development Journal. (Vol.21, Number 2, April) Dariwardani, Ni Made Inna dan Siti Noor Amani, 2012., Kinerja Provinsi di Indonesia Sebelum dan Setelah Pemberlakuan Otonomi Daerah,. Program Studi Manajemen Ekonomi Publik., STIA- LAN., Jakarta Djohan, Djohermansyah, 2012. Kebijakan Desentralisasi dalam Penyelenggaraan Pemerintah Daerah di Indonesia, dalam: Jornal Pamong Praja, Volume I, Nomor: 1 Tahun 2012 (1-7) Imawan, Riswandha. 2005. Desentralisasi, Demokratisasi dan Pembentukan Good Governance dalam Haris, Syamsuddin (2005). Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Jakarta: LIPI Press. Kaho, Josef Riwu. 1997. Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia: Identifikasi Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Penyelenggaraannya. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Kuncoro, Mudrajat. 2004. Otonomi Daerah dan Pembangunan Daerah: Reformasi, Perencanaan, Strategi dan Peluang. Jakarta: Erlangga. Millet, John D., 1954, Management in the Public Service, New York : McGraw-Hill Book Company, Inc Pratikno. 2005. Pengelolaan Hubungan Antar Pusat dan Daerah, dalam Haris, Ruland, J. (1993) Urban Development in Southeast Asia: Regional Cities and Local Government, Boulder: Westview Press. Ryaas, Rasyid M., 1996, Makna Pemerintahan Tinjauan Dari Segi Etika dan Kepemimpinan, Jakarta : Yarsif Watampone Smith, Brian C., 1985, Decentralization The Teritorial Dimension Of The State, Sydney

76

Sudarman Danim, Transformasi Sumber Daya Manusia: Analisis Fungsi Pendidikan Dinamika Prilaku dan Kesejahteraan Manusia Indonesia Masa Depan (Jakarta: Bumi Aksara,1995),7. Syamsuddin (2005). Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Jakarta: LIPI Press. Syaukani. 2005. Peningkatan Kinerja Eksekutif dan Implementasi Otonomi Daerah, dalam Haris, Syamsuddin (2005). Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Jakarta: LIPI Press.

77

Anda mungkin juga menyukai