Anda di halaman 1dari 63

ANALISIS PASAL 18 B AYAT 2 UUD 1945 DIKAJI SECARA UBI SOCIETAS IBI IUS

Pengakuan dan penghormatan satuan pemerintahan daerah bersifat khusus dan


kesatuan masyarakat hukum adat.

Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengatur pengakuan
dan penghormatan satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan istimewa oleh negara
dalam satu pasal, yaitu Pasal 18B ayat (1) dan ayat (2) dengan rumusan sebagai berikut.

Pasal 18B

(1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat
khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.

Ketentuan ini mendukung keberadaan berbagai satuan pemerintahan yang bersifat khusus atau
istimewa (baik provinsi, kabupaten dan kota, maupun desa). Contoh satuan pemerintahan bersifat
khusus adalah Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta; contoh satuan pemerintahan bersifat
istimewa adalah Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta dan Daerah Istimewa (DI) Nanggroe Aceh
Darussalam (NAD).

(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat


beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-
undang.

Satuan pemerintahan di tingkat desa seperti gampong (di NAD), nagari (di Sumatera Barat),
dukuh (di Jawa), desa dan banjar (di Bali) serta berbagai kelompok masyarakat di berbagai
daerah hidup berdasarkan adat dengan hak-haknya seperti hak ulayat, tetapi dengan satu syarat
bahwa kelompok masyarakat hukum adat itu benar-benar ada dan hidup, bukan dipaksa-
paksakan ada; bukan dihidup-hidupkan. Oleh karena itu dalam pelaksanaannya, kelompok itu
harus diatur lebih lanjut dalam peraturan daerah yang ditetapkan oleh DPRD. Selain itu,
penetapan itu tentu saja dengan suatu pembatasan, yaitu tidak boleh bertentangan dengan
prinsip-prinsip negara kesatuan.
 KESIMPULAN

Jadi, sesuai dengan asas Ibi societas Ubi Ius (dimana ada masyarakat disitu ada hukum),
maka selaras dengan Negara mengakui dan menghormati Kesatuan Masyarakat Hukum
Adat dengan memberikan peluang kepada masyarakat untuk dapat memakai Hak-hak
nya, dalam mempertahankan keberadaannya untuk mencapai kemakmuran.
Kajian Pasal 18B Ayat (2) Dikaitkan Dengan Ubi Societas Ibi Ius

“Ubi societas ibi ius” atau yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia “Dimana ada
masyarakat disitu ada hukum” adalah perkataan dari Marcus Tullius Cicero seorang filsuf,ahli
hukum, dan ahli politik kelahiran Roma. Perkataan Cicero tersebut pun melintasi jaman, kalimat
yang diutarakan Cicero lebih kurang 19 abad yang lalu masih berlaku hingga sekarang.

Teori ini mengungkapkan konsep filosofi Cicero yang menyatakan bahwa hukum tidak
dapat dipisahkan dari masyarakat. Kedamaian dan keadilan dari masyarakat hanya bisa dicapai
apabila tatanan hukum telah terbukti mendatangkan keadilan dan dapat berfungsidengan efektif
Definisi masyarakat menurut Paul B. Horton & C. Hunt masyarakat merupakan kumpulan
manusia yang relatif mandiri, hidup bersama-sama dalam waktu yang cukup lama, tinggal di
suatu wilayah tertentu, mempunyai kebudayaan sama serta melakukan sebagian besar kegiatan di
dalam kelompok / kumpulan manusia tersebut.

Sedangkan hukum adalah ketentuan-ketentuan yang menjadi peraturan hidup suatu


masyarakat yang bersifat kendalikan, mencegah, mengikat, memaksa. Dinyatakan atau dianggap
sebagai peraturan yang mengikat bagi sebagian atau seluruh anggota masyarakat tertentu, dengan
tujuan untuk mengadakan suatu tata yang dikehendaki oleh penguasa tersebut.

Dengan kata lain Hukum merupakan serangkaian aturan yang berisi perintah ataupun larangan
yang sifatnya memaksa demi terciptanya suatu kondisi yang aman, tertib, damai dan
tentram,serta terdapat sanksi bagi siapapun yang melanggarnya.

Hubungan antara masyarakat dengan hukum tidak bisa dipisahkan, karena sejatinya hukum itu
sendiri diciptakan untuk mengatur kehidupan masyarakat. Maka dapat dibenarkan perkataan
Cicero tersebut bahwa di mana ada masyarakat di situ ada hukum.

Apabila ada seorang manusia yang hidup di suatu tempat yang tidak berpenduduk, dan dia hidup
sendiri di tempat itu, maka dapat dipastikan tidak ada hukum di wilayah tersebut. Karena
seseorang tadi bebas melakukan apapun yang ia kehendaki.

Berbeda lagi ceritanya apabila ada seseorang lagi yang datang ke tempat tersebut dan hidup
bersama penghuni pertama. Masing-masing orang tersebut jelas mempunyai kepentingan dan
kehendak sendiri, dan tidak menutup kemungkinan pula akan terjadi konflik antara kedua orang
itu. Disinilah peran hukum muncul, hukum akan mengatur bagaimana tata cara kehidupan
mereka agar terjadi keadilan dan kedamaian diantara masing-masing individu.

Kesimpulannya adalah hukum tidak dapat muncul/timbul jika hanya ada satu orang saja. Harus
ada 2 individu atau lebih (masyarakat) sehingga tercipta hukum. Ketika hukum tercipta dan
berjalan dengan baik maka hukum akan menciptakan perlindungan bagi masyarakat yang
berujung terwujudnya suatu keadilan.

Dalam kaitannya dengan pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 dapat kita lihat sebagai berikut :

“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat


beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-
undang.”

Sesuai dengan bunyi isi Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 bahwa Negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradiosionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Meskipun telah dimuat dalam
beberapa peraturan perundang-undangan, namun sejauh ini bekum ada undang-undang yang
mengatur secara khusus tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat adat sehingga belum
mampu menjamin terpenuhinya hak-hak masyarakat adat.

Dalam istilah “ubi societas ibi ius” yang mengartikan “dimana ada masyarakat disitu ada
hukum”, jika dihubungkan dengan Pasal 18 B ayat (2) tentang “Pengakuan Negara terhadap
suatu kelompok masyarakat”, jadi disimpulkan bahwa masyarakat hukum adat yang berada
dalam suatu tempat atau wilayah diakui keberadaannya dan dilindungi hak-hak nya oleh Negara,
apabila masyarakat Hukum Adat hidup dan menaati segala ketentuan yang berdasarkan Undang-
undang yang berlaku di Indonesia. Dalam proses pengakuannya ditetapkan melalui Peraturan
Daerah yang disusun dengan mempertimbangkan hasil penelitian para pakar hukum adat,
aspirasi masyarakat setempat, dan tokoh masyarakat adat yang ada di daerah bersangkutan, serta
instansi atau pihak lain yang terkait
Ubi Societas Ibi Ius adalah ungkapan yang dikemukakan oleh Marcus Tulius Cicero yang

artinya “dimana ada masyarakat di situ ada hukum.” Ungkapan klasik tersebut memberikan

gambaran bahwa kapan hukum pertama kali tercipta, pertanyaan tersebut mengandung

pengertian yaitu bahwa hukum tercipta pada saat manusia tercipta juga, karena pada saat ada

manusia dan pergaulannya pada saat itulah hukum sudah ada.

Secara tradisional, masyarakat dimaknai sebagai sekelompok orang yang hidup bersama

dalam waktu relatif lama, sehingga menciptakan kebudayaan. Kebudayaan di sini termasuk nilai-

nilai untuk bersikap dan berperilaku dalam berinteraksi sesama anggota masyarakat itu. Interaksi

inilah sebenarnya kata kunci di dalam hukum. Tanpa ada interaksi, tidak akan ada benturan

kepentingan atau potensi benturan kepentingan. Hukum diperlukan untuk mengatur agar

interaksi tadi tidak sampai bersifat destruktif bagi masyarakat.

Istilah Masyarakat Hukum Adat merupakan terjemahan dari istilah

rechtsgemeenchappen. Istilah ini pertama kali ditemukan dalam buku Mr. B. Ter Haar Bzn. yang

berjudul ‘Beginselen en Stelsel van Hat Adat Recht’. Pada perkembangan selanjutnya dari kajian

hukum, penggunaan istilah Masyarakat Hukum Adat banyak ditemukan ketika para ahli hukum

membahas tentang isu Sumber Daya Alam (selanjutnya disingkat SDA). Di mana dalam kajian

hukum tentang SDA ini banyak dibahas pertemuan antara kepentingan dan aturan yang dimiliki

oleh Masyarakat Hukum Adat berhadapan dengan Negara. Sebetulnya, dalam berbagai peraturan

perundang-undangan tentang sumber daya alam produk Negara, telah diatur syarat-syarat

pengakuan dan penghormatan terhadap Masyarakat Hukum Adat. Pengaturan termutakhir adalah

pada amandemen kedua Undang-Undang Dasar Negara R.I Tahun 1945, secara khusus pada

ketentuan Pasal 18 B Ayat 2. Pengaturan mengenai Masyarakat Hukum Adat ditempatkan


sebagai bagian dari pengaturan tentang Pemerintah Daerah. Istilah yang digunakan di dalam

Pasal tersebut adalah ‘kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat’.

Lebih dari itu kesimpang siuran penggunaan istilah juga menambah ketidak jelasan apa

yang dimaksud dengan ‘masyarakat hukum adat’. Pasal 18B Ayat (2) UUD RI Tahun 1945

menggunakan istilah Kesatuan-Kesatuan Masyarakat Hukum Adat. Berbagai peraturan lain

dalam bidang hukum sumber daya alam menggunakan istilah yang berbeda-beda, seperti:

Masyarakat Adat, Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat Tradisional. Persoalannya,

keberagaman tersebut tidak hanya menyangkut istilah, tetapi juga berdampak pada keragaman

pemaknaan pula atas batasan kelembagaan dari Masyarakat Hukum Adat itu. Dalam ranah

aplikatif ketentuan normatif diperlukan terjemahan yang tegas, baik tentang pengertian, jenis dan

bentuk Masyarakat Hukum Adat, sehingga dengan demikian pengakuan dan perlindungan

tersebut dapat dilaksanakan oleh Negara. Pengakuan dan perlindungan yang dilaksanakan oleh

Negara terhadapMasyarakat Hukum Adat, dapat terwujud apabila ada landasan hukumnya dalam

bentuk aturan perundang-undangan, yaitu Undang-undang tentang Masyarakat Hukum Adat.

Pengaturan mengenai masyarakat hukum adat juga selain terdapat dalam UUD 1945,

terdapat juga dalam UUPA No. 5 Tahun 1960 salah satunya mengatur mengenai hak ulayat.

Mengenai pelaksanaannya, menurut UUPA pelaksanaan hak ulayat, tidak boleh bertentangan

dengan kepentingan nasional dan negara dan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang

dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.

Fakta membuktikan bahwa tidak jarang terjadi, pelaksanaan hak ulayat bertentangan

dengan kepentingan nasional dan negara, ini terlihat dalam pelaksanaan hak layat seringkali

menghambat bahkan merintangi usaha-usaha besar (proyek-proyek pembangunan) peme-


rintah. Pengalaman juga menunjukkan bahwa hak ulayat ada kalanya merupakan penghambat

pembangunan di daerah itu sendiri. Ketika pemerintah menerbitkan hak guna usaha di atas tanah

hak ulayat, pasti sudah melalui proses dan pertimbangan-pertimbangan yang matang dari segala

aspek dan penerbitan hak guna usaha sudah pasti pula akan berdampak luas terhadap

pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di daerah hak ulayat itu sendiri (lapangan kerja,

investasi, pembangunan infrastruktur, dan lain-lain) dan pada gilirannya akan berdampak pula

terhadap perkembangan dan pertumbuhan ekonomi nasional, sehingga penerbitan hak guna usaha

sudah pasti kepentingan nasional dan negara melekat di dalamnya.

Menurut UUPA, hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai

langsung oleh Negara, guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan. Hak ulayat

menurut pengertian UUPA adalah termasuk golongan tanah yang dikuasai langsung oleh

negara. Oleh karena itu negara mempunyai kewenangan penuh untuk mengatur dan

menyelenggarakan peruntukkan dan penggunaan tanah hak ulayat. Dengan demikian menolak

keberadaan hak guna usaha di atas tanah hak ulayat adalah salah satu bentuk perlawanan

terhadap negara dan perlawanan terhadap undang-undang (UUPA).


 Pemerintahan Daerah

Sebelum diubah, ketentuan mengenai Pemerintahan Daerah diatur dalam satu pasal yakni Pasal
18 (tanpa ayat), setelah diubah menjadi tiga pasal yaitu Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B.
Semua pasal diputus pada Perubahan Kedua (tahun 2000).

Perubahan dalam bab ini dan juga pada bagian lainnya merupakan suatu pendekatan baru dalam
mengelola negara. Di satu pihak ditegaskan tentang bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) dan di pihak lain ditampung kemajemukan bangsa sesuai dengan sasanti Bhinneka
Tunggal Ika.

Pencantuman tentang Pemerintah Daerah di dalam perubahan Undang-Undang Dasar Negara


Republik Indonesia Tahun 1945 dilatarbelakangi oleh kehendak untuk menampung semangat
otonomi daerah dalam memperjuangkan kesejahteraan masyarakat daerah. Hal itu dilakukan
setelah belajar dari praktik ketatanegaraan pada era sebelumnya yang cenderung sentralistis,
adanya penyeragaman sistem pemerintahan seperti dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1974 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang
Pemerintahan Desa, serta mengabaikan kepentingan daerah. Akibat kebijakan yang cenderung
sentralistis itu, Pemerintah Pusat menjadi sangat dominan dalam mengatur dan mengendalikan
daerah sehingga daerah diperlakukan sebagai objek, bukan sebagai subjek yang mengatur dan
mengurus daerahnya sendiri sesuai dengan potensi dan kondisi objektif yang dimilikinya.

Perubahan Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjadi
dasar hukum bagi pelaksanaan otonomi daerah yang dalam era reformasi menjadi salah satu
agenda nasional. Melalui penerapan Bab tentang Pemerintahan Daerah diharapkan lebih
mempercepat terwujudnya kemajuan daerah dan kesejahteraan rakyat di daerah, serta
meningkatkan kualitas demokrasi di daerah. Semua ketentuan itu dirumuskan tetap, dalam
kerangka menjamin dan memperkuat NKRI, sehingga dirumuskan hubungan kewenangan
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dengan memperhatikan kekhususan dan
keragaman daerah.

Ketentuan Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B ini berkaitan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (1)
yang menyatakan Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk Republik, Pasal 4 ayat (1)
yang menyatakan Presiden memegang kekuasaan pemerintahan dan Pasal 25A mengenai
wilayah negara, yang menjadi wadah dan batas bagi pelaksanaan Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal
18B.

a. Pembagian daerah
b. Mengenai pembagian daerah Indonesia yang semula diatur dalam satu pasal tanpa ayat
diubah men-jadi satu pasal dengan tujuh ayat. Substansi pembagian daerah yang semula
diatur dalam Pasal 18, setelah diubah ketentuan tersebut diatur menjadi Pasal 18 ayat (1)
dengan rumusan sebagai berikut.

Rumusan perubahan:

Pasal 18

(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah
provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu
mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.

Rumusan naskah asli:

Pasal 18

Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan
pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan meman-dang dan mengingati dasar
permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah
yang bersifat istimewa.

Perubahan itu dimaksudkan untuk lebih mem-perjelas pembagian daerah dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) yang meliputi daerah provinsi dan dalam daerah provinsi terdapat
daerah kabupaten dan kota. Ketentuan Pasal 18 ayat (1) mempunyai keterkaitan erat dengan
ketentuan Pasal 25A mengenai wilayah Negara Kesatuan Republik Inonesia.

Ungkapan dibagi atas (bukan terdiri atas) dalam ketentuan Pasal 18 ayat (1) bukanlah istilah
yang digu-nakan secara kebetulan. Ungkapan itu digunakan untuk menjelaskan bahwa negara
kita adalah negara kesatuan yang kedaulatan negara berada di tangan Pusat. Hal itu konsisten
dengan kesepakatan untuk tetap mem-pertahankan bentuk negara kesatuan. Berbeda dari terdiri
atas yang lebih menunjukkan substansi fede-ralisme karena istilah itu menunjukkan letak
kedaulatan berada di tangan negara-negara bagian.

Ketentuan Pasal 18 ayat (1) ini sesuai dengan sejarah Indonesia, yakni asal muasal negara
Indonesia adalah negara kesatuan.

c. Pemerintahan Daerah
d. Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tentang
pemerintahan daerah diatur dalam Pasal 18 ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6),
dan ayat (7), yang rumusannya sebagai berikut.

Pasal 18

(2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus endiri
urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

(3) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.

(4) Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah
provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.

(5) Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan


yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.

(6) Pemerintahan daerah berhak menetapkan per-aturan daerah dan peraturan-peraturan lain
untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.

(7) Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerin-tahan daerah diatur dalam undang-
undang.
Dalam ketentuan itu, antara lain, ditegaskan bahwa pemerintah daerah (baik provinsi, kabupaten,
maupun kota) mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan
tugas pembantuan. Penegasan ini menjadi dasar hukum bagi seluruh pemerintahan daerah untuk
dapat menjalankan roda pemerintahan (termasuk menetapkan peraturan daerah dan peraturan
lainnya) secara lebih leluasa dan bebas serta sesuai dengan kebutuhan, kondisi, dan karakteristik
daerahnya masing-masing, kecuali untuk urusan pemerintahan yang dinyatakan oleh undang-
undang sebagai urusan pemerintah pusat.

Mengenai asas dekonsentrasi tidak diatur dalam bab yang memuat ketentuan tentang
pemerintahan daerah ini. Tugas dekonsentrasi adalah bagian dari tugas pemerintahan negara
yang berkaitan dengan Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara. Namun, meskipun
daerah diberi hak untuk membentuk peraturan daerah dan peraturan lain dalam rangka
melaksanakan otonomi daerah [ayat (6) di atas], itu bukan berarti bahwa daerah boleh membuat
peraturan yang bertentangan dengan prinsip negara kesatuan. Hal itu menjadi penting karena
Pemerintahan Daerah dalam menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali menyangkut urusan
pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat, daerah
dalam melaksanakan urusan pemerintahan itu juga harus memperhatikan hubungan wewenang
antarpemerintahan yang diatur dengan undang-undang. Untuk itu hak pemerintahan daerah
tersebut sangat berkaitan erat dengan ketentuan Pasal 4 ayat (1) dalam menjalankan urusan
pemerintahan dan Pasal 33 serta Pasal 34 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dalam menjalankan perekonomian dan kesejahteraan sosial.

Selain itu tercantum pula ketentuan bahwa pemerintahan daerah memiliki DPRD yang
anggotanya dipilih melalui pemilihan umum. Ketentuan ini dilatarbelakangi oleh keinginan
untuk mewujudkan demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan daerah yang DPRD-nya
berwenang dalam menetapkan peraturan daerah dan APBD bersama-sama dengan pemerintah
daerah, serta mengawasi penyelenggaraan pemerintah daerah.

Dalam pasal ini juga dimuat ketentuan bahwa kepala pemerintah daerah dipilih secara
demokratis. Ketentuan itu mengandung arti bahwa pemilihan itu harus dilakukan dengan cara
yang demokratis, yang menjamin prinsip kedaulatan rakyat, seperti dipilih secara langsung atau
cara lain sesuai dengan keistimewaan atau kekhususan daerah yang diatur dengan undang-
undang, tetapi tetap kedaulatan ada di tangan rakyat.

 Hubungan wewenang pemerintah pusat dan pemerintahan daerah

Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengatur hubungan
wewenang pemerintah pusat dan pemerintahan daerah dalam satu pasal, yaitu Pasal 18A ayat (1)
dan ayat (2) dengan rumusan sebagai berikut.

Pasal 18A

(1) Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi,
kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang
dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.

Ketentuan Pasal 18A ayat (1) ini terkait erat dengan Pasal 4 ayat (1) dengan ketentuan bahwa
Daerah dalam mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya berlandaskan atau
mengacu pada Pasal 4 ayat (1) yang menyatakan bahwa Presiden memegang kekuasaan
pemerintahan.

(2) Hubungan keuangan, pelayanan umum, peman-faatan sumber daya alam dan sumber daya
lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan
selaras berdasarkan undang-undang.

Ketentuan Pasal 18A ayat (2) ini dimaksudkan agar penyelenggaraan pemerintahan daerah tetap
menjamin adanya prinsip keadilan dan keselarasan. Sementara itu, hal-hal yang menyangkut
keuangan, termasuk yang menyangkut hak-hak daerah, diatur dalam undang-undang. Demikian
pula halnya dengan urusan pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya
lainnya juga ditata agar daerah mendapatkan bagian secara proporsional. Seiring dengan itu,
pasal ini juga menjamin sejumlah kewajiban untuk memperhatikan daerah lain bagi yang
memiliki sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang berbeda atau daerah lain yang tidak
memilikinya, yang semuanya harus diatur dengan undang-undang.
 Pengakuan dan penghormatan satuan pemerintahan daerah bersifat khusus dan
kesatuan masyarakat hukum adat.

Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengatur pengakuan
dan penghormatan satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan istimewa oleh negara
dalam satu pasal, yaitu Pasal 18B ayat (1) dan ayat (2) dengan rumusan sebagai berikut.

Pasal 18B

(1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat
khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.

Ketentuan ini mendukung keberadaan berbagai satuan pemerintahan yang bersifat khusus atau
istimewa (baik provinsi, kabupaten dan kota, maupun desa). Contoh satuan pemerintahan bersifat
khusus adalah Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta; contoh satuan pemerintahan bersifat
istimewa adalah Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta dan Daerah Istimewa (DI) Nanggroe Aceh
Darussalam (NAD).

(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat


beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-
undang.

Satuan pemerintahan di tingkat desa seperti gampong (di NAD), nagari (di Sumatera Barat),
dukuh (di Jawa), desa dan banjar (di Bali) serta berbagai kelompok masyarakat di berbagai
daerah hidup berdasarkan adat dengan hak-haknya seperti hak ulayat, tetapi dengan satu syarat
bahwa kelompok masyarakat hukum adat itu benar-benar ada dan hidup, bukan dipaksa-
paksakan ada; bukan dihidup-hidupkan. Oleh karena itu dalam pelaksanaannya, kelompok itu
harus diatur lebih lanjut dalam peraturan daerah yang ditetapkan oleh DPRD. Selain itu,
penetapan itu tentu saja dengan suatu pembatasan, yaitu tidak boleh bertentangan dengan
prinsip-prinsip negara kesatuan.

Dimana ada masyarakat disana pasti ada hukum (ubi Societas ibi ius).Hukum ada pada setiap
masyarakat manusia dimanapun juga dimuka bumi ini.Bagaimanapun primitifnya manusia dan
bagaimanapun modernnya suatu masyarakat pasti mempunyai hukum.Oleh karena itu
keberadaan hukum sifatnya universal.Hukum tidak bisa dipisahkan dengan masyarakat, tetapi
justru mempunyai hubungan timbal balik antara keduanya.

Hukum mengatur kehidupan manusia sejak berada dalam kandungan sampai meninggal
dunia.Hukum mengatur semua aspek kehidupan masyarakat baik ekonomi, politik, sosial,
budaya dan sebagainya.Tidak ada satupun aspek kehidupan manusia dalam masyarakat yang
luput dari sentuhan hukum.Dengan demikian hukum itu berada dalam masyarakat, karena
masyarakatlah yang membentuk hukum.

Keadaan dan perkembangan hukum senantiasa dipengaruhi oleh masyarakat, sehingga hukum
merupakan manifestasi dari nilai-nilai kehidupan masyarakat dimana hukum itu berlaku.Dalam
kehidupan modern, hukum memiliki posisi yang cukup sentral. Kita dapat mencatat bahwa
hampir sebagian besar sisi dari kehidupan kita telah diatur oleh hukum, baik yang berbentuk
hukum tertulis maupun hukum yang tidak tertulis

Hukum sebagaimana dikemukakan di atas adalah hukum dalam arti luas, ia tidak hanya sekadar
peraturan tertulis yang dibuat oleh penguasa atau badan khusus pembuat undang-undang atau
dengan kata lain hukum bukan hanya sesuatu yang bersifat normatif. Hukum juga merupakan
fenomena sosial yang tertuang dalam perilaku manusia atau lebih tepatnya perilaku sosial.

Hukum dapat dikatakan sebagai konsensus yang harus diterima bersama sebagai aturan yang
wajib di taati dan didukung oleh suatu kekuasaan dalam mempengaruhi kebiasaan-kebiasaan
agar selalu berada pada kondisi kesusilaan dalam mewujudkan keserasian keselarasan dan
keseimbangan dalam hidupnya. Menurut Sunaryati Hartono ada 4 fungsi hukum dalam
pembangunan yaitu :

1. Hukum sebagai pemelihara ketertiban dan keamanan

2. Hukum sebagai sarana pembangunan


3. Hukum sebagai sarana penegak keadilan

4. Hukum sebagai sarana pendidikan masyarakat.

Dimana hukum sebagai pemelihara ketertiban dan keamanan berfungsi mewujudkan kehidupan
dalam bermasyarakat secara serasi, selaras dan seimbang.Keserasian, keselarasan dan
keseimbangan tersebut belum tentu dapat berjalan bersamaan dengan hukum.

Dalam hal ini bisa saja terjadi aneka bentuk kejahatan dalam masyarakat yang merupakan bentuk
ketidakseimbangan dalam masyarakat tersebut dan hukum sebagai alat pemelihara ketertiban dan
keamanan tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik.

 KESIMPULAN

Jadi, sesuai dengan apa yang kaji dari asas Ubi societas Ibi Ius (dimana ada masyarakat
disitu ada hukum), maka selaras dengan Negara atau Pemerintah mengakui dan
menghormati Hak-hak dari Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dengan memberikan
peluang kepada masyarakat untuk dapat memakai Hak-hak nya, dalam mempertahankan
keberadaan suatu kelompok Kesatuan Masyarakat Hukum Adat untuk mencapai
kemakmuran.
Analisis Mengenai Pasal 18 B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 dihubungkan dengan
ubi societas ibi ius.

Bunyi Pasal 18 B ayat (2) :

“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta


hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-
undang.”

Satuan pemerintahan di tingkat desa seperti gampong (di NAD), nagari (di Sumatera
Barat), dukuh (di Jawa), desa dan banjar (di Bali) serta berbagai kelompok masyarakat di
berbagai daerah hidup berdasarkan adat dengan hak-haknya seperti hak ulayat, tetapi dengan satu
syarat bahwa kelompok masyarakat hukum adat itu benar-benar ada dan hidup, bukan dipaksa-
paksakan ada; bukan dihidup-hidupkan. Oleh karena itu dalam pelaksanaannya, kelompok itu
harus diatur lebih lanjut dalam peraturan daerah yang ditetapkan oleh DPRD. Selain itu,
penetapan itu tentu saja dengan suatu pembatasan, yaitu tidak boleh bertentangan dengan
prinsip-prinsip negara kesatuan.

Meskipun telah dimuat dalam beberapa peraturan perundang-undangan, namun sejauh ini
belum ada undang-undang yang mengatur secara khusus tentang pengakuan dan perlindungan
masyarakat adat sehingga belum mampu menjamin terpenuhinya hak-hak masyarakat adat.

Pentingnya pengakuan terhadap masyarakat hukum adat ialah untuk memberikan kepastian
hukum dalam mempertahankan dan memperjuangkan hak-haknya yang telah dijamin secara
konstitusional serta sebagai jaminan perlindungan dari tindakan diskriminasi dan kekerasan.

“Ubi societas ibi ius” atau yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia “Dimana ada
masyarakat disitu ada hukum” adalah perkataan dari Marcus Tullius Cicero seorang filsuf,ahli
hukum, dan ahli politik kelahiran Roma. Perkataan Cicero tersebut pun melintasi jaman, kalimat
yang diutarakan Cicero lebih kurang 19 abad yang lalu masih berlaku hingga sekarang.
Teori ini mengungkapkan konsep filosofi Cicero yang menyatakan bahwa hukum tidak
dapat dipisahkan dari masyarakat. Kedamaian dan keadilan dari masyarakat hanya bisa dicapai
apabila tatanan hukum telah terbukti mendatangkan keadilan dan dapat berfungsidengan efektif.

 KESIMPULAN

Jadi, sesuai dengan asas Ubi societas Ibi Ius (dimana ada masyarakat disitu ada hukum),
maka selaras dengan Negara mengakui dan menghormati Kesatuan Masyarakat Hukum
Adat dengan memberikan peluang kepada masyarakat untuk dapat memakai Hak-hak
nya, dalam mempertahankan keberadaannya untuk mencapai kemakmuran.
 Kajian Pasal 18b ayat 2 UUD 1945 dihubungkan dengan Pendapat dari Marcus Tulius
Cicero (UBI SOCIETAS IBI IUS)
 Secara tradisional, masyarakat dimaknai sebagai sekelompok orang yang hidup

bersama dalam waktu relatif lama, sehingga menciptakan kebudayaan.

Kebudayaan disini termasuk nilai-nilai untuk bersikap dan berprilaku dalam

berinteraksi dan sesama anggota masyarakat. Interkasi inilah sebenarnya kata

kunci didalam hukum, tanpa ada interaksi tidak akan ada benturan kepentingan

 Sesuai bunyi pasal 18b ayat (dua) 2 UUD 1945, bahwa Negara mengakui dan

menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak

tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan

masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam

undang-undang, namun sejauh ini belum ada undang-undang yang mengatur

secara khusus tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat adat sehingga

belum mampu menjamin terpenuhinnya hak masyarakat adat

 Pentingya Pengakuan terhadap masyarakat hukum adat ialah untuk memberikan

kepastian hukum dalam mempertahankan dan memperjuangkan hak-haknya yang

telah dijamin secara konstitusional serta sebagai jaminan perlindungan dari

tindakan diskriminasi dan kekerasan

 Pasal 18b ayat (2) UUD 1945 Sebagai salah satu landasan konstitusional

masyarakat adat menyatakan pengakuan secara deklaratif bahwa Negara

mengakui dan menghormati keberadaan dan hak-hak masyarakat hukum adat.

Namun pengakuan tersebut memberikan batasan-batasan atau persyaratan agar

suatu komunitas dapat diakui keberadaan sebagai masyarakat hukum adat.


 Ada empat persyaratan keberadaan masyarakat adat menurut pasal 18b ayat (2)

UUD 1945 antara lain :

- Sepanjang masih hidup

- Sesuai perkembangan masyarakat

- Prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia

- Di atur dalam Undang-Undang

JADI DIMANA ADA MASYARAKAT DISITU ADA HUKUM, SELARAS


DENGAN NEGARA MENGAKUI DAN MENGHORMATI KESATUAN
MASYRAKAT HUKUM ADAT DENGAN MEMBERIKAN PELUANG KEPADA
MASYARAKAT UNTUK DAPAT MEMAKAI HAK-HAKNYA DALAM
MEMPERTAHANKAN KEBERADAAN UNTUK MENCAPAI KEMAKMURAN
KAJIAN UBI SOCIETAS IBI IUS

MENURUT

PASAL 18b UNDANG-UNDANG DASAR 1945

Dimana ada masyarakat disana pasti ada hukum (ubi Societas ibi ius). Hukum ada pada
setiap masyarakat manusia dimanapun juga dimuka bumi ini. Bagaimanapun primitifnya
manusia dan bagaimanapun modernnya suatu masyarakat pasti mempunyai hukum. Oleh karena
itu keberadaan hukum sifatnya universal. Hukum tidak bisa dipisahkan dengan masyarakat,
tetapi justru mempunyai hubungan timbal balik antara keduanya.

Hukum mengatur kehidupan manusia sejak berada dalam kandungan sampai meninggal dunia.
Hukum mengatur semua aspek kehidupan masyarakat baik ekonomi, politik, sosial, budaya dan
sebagainya. Tidak ada satupun aspek kehidupan manusia dalam masyarakat yang luput dari
sentuhan hukum. Dengan demikian hukum itu berada dalam masyarakat, karena masyarakatlah
yang membentuk hukum.

Keadaan dan perkembangan hukum senantiasa dipengaruhi oleh masyarakat, sehingga hukum
merupakan manifestasi dari nilai-nilai kehidupan masyarakat dimana hukum itu berlaku. Dalam
kehidupan modern, hukum memiliki posisi yang cukup sentral. Kita dapat mencatat bahwa
hampir sebagian besar sisi dari kehidupan kita telah diatur oleh hukum, baik yang berbentuk
hukum tertulis maupun hukum yang tidak tertulis

Hukum sebagaimana dikemukakan di atas adalah hukum dalam arti luas, ia tidak hanya sekadar
peraturan tertulis yang dibuat oleh penguasa atau badan khusus pembuat undang-undang atau
dengan kata lain hukum bukan hanya sesuatu yang bersifat normatif. Hukum juga merupakan
fenomena sosial yang tertuang dalam perilaku manusia atau lebih tepatnya perilaku sosial.

Hukum dapat dikatakan sebagai konsensus yang harus diterima bersama sebagai aturan yang
wajib di taati dan didukung oleh suatu kekuasaan dalam mempengaruhi kebiasaan-kebiasaan
agar selalu berada pada kondisi kesusilaan dalam mewujudkan keserasian keselarasan dan
keseimbangan dalam hidupnya. Menurut Sunaryati Hartono ada 4 fungsi hukum dalam
pembangunan yaitu :

1. Hukum sebagai pemelihara ketertiban dan keamanan

2. Hukum sebagai sarana pembangunan

3. Hukum sebagai sarana penegak keadilan

4. Hukum sebagai sarana pendidikan masyarakat.

Dimana hukum sebagai pemelihara ketertiban dan keamanan berfungsi mewujudkan kehidupan
dalam bermasyarakat secara serasi, selaras dan seimbang. Keserasian, keselarasan dan
keseimbangan tersebut belum tentu dapat berjalan bersamaan dengan hukum.

Dalam hal ini bisa saja terjadi aneka bentuk kejahatan dalam masyarakat yang merupakan bentuk
ketidakseimbangan dalam masyarakat tersebut dan hukum sebagai alat pemelihara ketertiban dan
keamanan tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik.

 Pemerintahan Daerah

Sebelum diubah, ketentuan mengenai Pemerintahan Daerah diatur dalam satu pasal yakni Pasal
18 (tanpa ayat), setelah diubah menjadi tiga pasal yaitu Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B.
Semua pasal diputus pada Perubahan Kedua (tahun 2000).

Perubahan dalam bab ini dan juga pada bagian lainnya merupakan suatu pendekatan baru dalam
mengelola negara. Di satu pihak ditegaskan tentang bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) dan di pihak lain ditampung kemajemukan bangsa sesuai dengan sasanti Bhinneka
Tunggal Ika.

Pencantuman tentang Pemerintah Daerah di dalam perubahan Undang-Undang Dasar Negara


Republik Indonesia Tahun 1945 dilatarbelakangi oleh kehendak untuk menampung semangat
otonomi daerah dalam memperjuangkan kesejahteraan masyarakat daerah. Hal itu dilakukan
setelah belajar dari praktik ketatanegaraan pada era sebelumnya yang cenderung sentralistis,
adanya penyeragaman sistem pemerintahan seperti dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1974 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang
Pemerintahan Desa, serta mengabaikan kepentingan daerah. Akibat kebijakan yang cenderung
sentralistis itu, Pemerintah Pusat menjadi sangat dominan dalam mengatur dan mengendalikan
daerah sehingga daerah diperlakukan sebagai objek, bukan sebagai subjek yang mengatur dan
mengurus daerahnya sendiri sesuai dengan potensi dan kondisi objektif yang dimilikinya.

Perubahan Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjadi
dasar hukum bagi pelaksanaan otonomi daerah yang dalam era reformasi menjadi salah satu
agenda nasional. Melalui penerapan Bab tentang Pemerintahan Daerah diharapkan lebih
mempercepat terwujudnya kemajuan daerah dan kesejahteraan rakyat di daerah, serta
meningkatkan kualitas demokrasi di daerah. Semua ketentuan itu dirumuskan tetap, dalam
kerangka menjamin dan memperkuat NKRI, sehingga dirumuskan hubungan kewenangan
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dengan memperhatikan kekhususan dan
keragaman daerah.

Ketentuan Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B ini berkaitan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (1)
yang menyatakan Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk Republik, Pasal 4 ayat (1)
yang menyatakan Presiden memegang kekuasaan pemerintahan dan Pasal 25A mengenai
wilayah negara, yang menjadi wadah dan batas bagi pelaksanaan Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal
18B.

e. Pembagian daerah
f. Mengenai pembagian daerah Indonesia yang semula diatur dalam satu pasal tanpa ayat
diubah men-jadi satu pasal dengan tujuh ayat. Substansi pembagian daerah yang semula
diatur dalam Pasal 18, setelah diubah ketentuan tersebut diatur menjadi Pasal 18 ayat (1)
dengan rumusan sebagai berikut.

Rumusan perubahan:

Pasal 18

(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah
provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu
mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.
Rumusan naskah asli:

Pasal 18

Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan
pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan meman-dang dan mengingati dasar
permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah
yang bersifat istimewa.

Perubahan itu dimaksudkan untuk lebih mem-perjelas pembagian daerah dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) yang meliputi daerah provinsi dan dalam daerah provinsi terdapat
daerah kabupaten dan kota. Ketentuan Pasal 18 ayat (1) mempunyai keterkaitan erat dengan
ketentuan Pasal 25A mengenai wilayah Negara Kesatuan Republik Inonesia.

Ungkapan dibagi atas (bukan terdiri atas) dalam ketentuan Pasal 18 ayat (1) bukanlah istilah
yang digu-nakan secara kebetulan. Ungkapan itu digunakan untuk menjelaskan bahwa negara
kita adalah negara kesatuan yang kedaulatan negara berada di tangan Pusat. Hal itu konsisten
dengan kesepakatan untuk tetap mem-pertahankan bentuk negara kesatuan. Berbeda dari terdiri
atas yang lebih menunjukkan substansi fede-ralisme karena istilah itu menunjukkan letak
kedaulatan berada di tangan negara-negara bagian.

Ketentuan Pasal 18 ayat (1) ini sesuai dengan sejarah Indonesia, yakni asal muasal negara
Indonesia adalah negara kesatuan.

g. Pemerintahan Daerah
h. Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tentang
pemerintahan daerah diatur dalam Pasal 18 ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6),
dan ayat (7), yang rumusannya sebagai berikut.

Pasal 18

(2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus endiri
urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
(3) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.

(4) Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah
provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.

(5) Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan


yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.

(6) Pemerintahan daerah berhak menetapkan per-aturan daerah dan peraturan-peraturan lain
untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.

(7) Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerin-tahan daerah diatur dalam undang-
undang.

Dalam ketentuan itu, antara lain, ditegaskan bahwa pemerintah daerah (baik provinsi, kabupaten,
maupun kota) mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan
tugas pembantuan. Penegasan ini menjadi dasar hukum bagi seluruh pemerintahan daerah untuk
dapat menjalankan roda pemerintahan (termasuk menetapkan peraturan daerah dan peraturan
lainnya) secara lebih leluasa dan bebas serta sesuai dengan kebutuhan, kondisi, dan karakteristik
daerahnya masing-masing, kecuali untuk urusan pemerintahan yang dinyatakan oleh undang-
undang sebagai urusan pemerintah pusat.

Mengenai asas dekonsentrasi tidak diatur dalam bab yang memuat ketentuan tentang
pemerintahan daerah ini. Tugas dekonsentrasi adalah bagian dari tugas pemerintahan negara
yang berkaitan dengan Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara. Namun, meskipun
daerah diberi hak untuk membentuk peraturan daerah dan peraturan lain dalam rangka
melaksanakan otonomi daerah [ayat (6) di atas], itu bukan berarti bahwa daerah boleh membuat
peraturan yang bertentangan dengan prinsip negara kesatuan. Hal itu menjadi penting karena
Pemerintahan Daerah dalam menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali menyangkut urusan
pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat, daerah
dalam melaksanakan urusan pemerintahan itu juga harus memperhatikan hubungan wewenang
antarpemerintahan yang diatur dengan undang-undang. Untuk itu hak pemerintahan daerah
tersebut sangat berkaitan erat dengan ketentuan Pasal 4 ayat (1) dalam menjalankan urusan
pemerintahan dan Pasal 33 serta Pasal 34 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dalam menjalankan perekonomian dan kesejahteraan sosial.

Selain itu tercantum pula ketentuan bahwa pemerintahan daerah memiliki DPRD yang
anggotanya dipilih melalui pemilihan umum. Ketentuan ini dilatarbelakangi oleh keinginan
untuk mewujudkan demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan daerah yang DPRD-nya
berwenang dalam menetapkan peraturan daerah dan APBD bersama-sama dengan pemerintah
daerah, serta mengawasi penyelenggaraan pemerintah daerah.

Dalam pasal ini juga dimuat ketentuan bahwa kepala pemerintah daerah dipilih secara
demokratis. Ketentuan itu mengandung arti bahwa pemilihan itu harus dilakukan dengan cara
yang demokratis, yang menjamin prinsip kedaulatan rakyat, seperti dipilih secara langsung atau
cara lain sesuai dengan keistimewaan atau kekhususan daerah yang diatur dengan undang-
undang, tetapi tetap kedaulatan ada di tangan rakyat.

 Hubungan wewenang pemerintah pusat dan pemerintahan daerah

Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengatur hubungan
wewenang pemerintah pusat dan pemerintahan daerah dalam satu pasal, yaitu Pasal 18A ayat (1)
dan ayat (2) dengan rumusan sebagai berikut.

Pasal 18A

(1) Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi,
kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang
dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.

Ketentuan Pasal 18A ayat (1) ini terkait erat dengan Pasal 4 ayat (1) dengan ketentuan bahwa
Daerah dalam mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya berlandaskan atau
mengacu pada Pasal 4 ayat (1) yang menyatakan bahwa Presiden memegang kekuasaan
pemerintahan.
(2) Hubungan keuangan, pelayanan umum, peman-faatan sumber daya alam dan sumber daya
lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan
selaras berdasarkan undang-undang.

Ketentuan Pasal 18A ayat (2) ini dimaksudkan agar penyelenggaraan pemerintahan daerah tetap
menjamin adanya prinsip keadilan dan keselarasan. Sementara itu, hal-hal yang menyangkut
keuangan, termasuk yang menyangkut hak-hak daerah, diatur dalam undang-undang. Demikian
pula halnya dengan urusan pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya
lainnya juga ditata agar daerah mendapatkan bagian secara proporsional. Seiring dengan itu,
pasal ini juga menjamin sejumlah kewajiban untuk memperhatikan daerah lain bagi yang
memiliki sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang berbeda atau daerah lain yang tidak
memilikinya, yang semuanya harus diatur dengan undang-undang.

 Pengakuan dan penghormatan satuan pemerintahan daerah bersifat khusus dan


kesatuan masyarakat hukum adat.

Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengatur pengakuan
dan penghormatan satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan istimewa oleh negara
dalam satu pasal, yaitu Pasal 18B ayat (1) dan ayat (2) dengan rumusan sebagai berikut.

Pasal 18B

(1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat
khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.

Ketentuan ini mendukung keberadaan berbagai satuan pemerintahan yang bersifat khusus atau
istimewa (baik provinsi, kabupaten dan kota, maupun desa). Contoh satuan pemerintahan bersifat
khusus adalah Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta; contoh satuan pemerintahan bersifat
istimewa adalah Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta dan Daerah Istimewa (DI) Nanggroe Aceh
Darussalam (NAD).

(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

Satuan pemerintahan di tingkat desa seperti gampong (di NAD), nagari (di Sumatera Barat),
dukuh (di Jawa), desa dan banjar (di Bali) serta berbagai kelompok masyarakat di berbagai
daerah hidup berdasarkan adat dengan hak-haknya seperti hak ulayat, tetapi dengan satu syarat
bahwa kelompok masyarakat hukum adat itu benar-benar ada dan hidup, bukan dipaksa-
paksakan ada; bukan dihidup-hidupkan. Oleh karena itu dalam pelaksanaannya, kelompok itu
harus diatur lebih lanjut dalam peraturan daerah yang ditetapkan oleh DPRD. Selain itu,
penetapan itu tentu saja dengan suatu pembatasan, yaitu tidak boleh bertentangan dengan
prinsip-prinsip negara kesatuan.

 KESIMPULAN

Jadi, sesuai dengan asas Ubi societas Ibi Ius (dimana ada masyarakat disitu ada hukum),
maka selaras dengan Negara mengakui dan menghormati Kesatuan Masyarakat Hukum
Adat dengan memberikan peluang kepada masyarakat untuk dapat memakai Hak-hak
nya, dalam mempertahankan keberadaannya untuk mencapai kemakmuran.
KAJIAN PASAL 18B AYAT 2 UUD 1945
KEDALAM UBI SOCIETAS IBI IUS

PENDAHULUAN
Dalam pasal 18b ayat (2) UUD 1945 berbunyi: “Negara mengakui dan menghormati

kesatuan – kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak – hak tradisionalnya sepanjang

masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan

Republik Indonesia, yang di atur dalam undang – undang”.

Dalam hal ini secara sosiologismasyarakat hukum adat merupakan kelompok kehidupan sosial

yang mempunyai kekuasaan sendiri dan juga kekayaan sendiri yang ditata oleh hukum adat.

Perbedaan antara masyarakat hukum adat dan masyarakat secara sosiologis adalah

masyarakat hukum adat itu hidup dalam suatu daerah yang dimana dalam kehidupan mereka

mempunyai aturan hidup tersendiri yang telah ada turun temurun dalam kehidupan mereka

sehingga menjadi sebuah kebiasaan yang harus ditaati dan juga mempunyai sanksi sosial

terhadap yang melanggarnya. Sedangkan masyarakat pada umumnya adalah masyarakat yang

hidup tanpa mengacu terhadap suatu kebiasaan yang dianggapnya berlebihan sehingga menjadi

aturan dalam hidupnya atau bisa di bilang masyarakat pada umumnya yang hidup mengikuti tren

atau perubahan zaman.

PEMBAHASAN

Istilah Kesatuan – kesatuan Masyarakat Hukum Adat


Istilah kesatuan – kesatuan masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang

mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa, dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan

hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya. Contohnya seperti kelompok masyarakat

adat suku Dayak di Kalimantan dan kelompok masyarakat adat suku Minahasa di Sulawesi

Utara.

Dalam kehidupan suatu masyarakat hukum adat didasari atas kebiasaan – kebiasaan atau

tradisi yang telah ada turun temurun dari sejak mereka dilahirkan sehingga kebiasaan tersebut

menjadi suatu keharusan yang harus dilakukan.

Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat

Pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat diatur dalam Peraturan Dalam

Negeri No. 52 Tahun 2014 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum

Adat. Dalam Pasal 4 Peraturan Dalam Negeri No. 52 Tahun 2014 tentang Pengakuan dan

Perlindungan Masyarakat Hukum Adat telah mengatur tahapan dan syarat yang harus

dipenuhi oleh Masyarakat Hukum Adat sehingga bisa memperoleh kepastian hukum terhadap

hak – hak tradisional, tahapan – tahapan yang harus dipenuhi yakni identifikasi, verifikasi, dan

validasi masyarakat hukum adat. Pada tahapan identifikasi hal – hal yang harus di penuhi yakni

sejarah masyarakat hukum adat, hukum adat, wilayah adat, harta kekayaan dan atau benda –

benda adat, serta kelembagaan/sistem pemerintahan adat.

Pada poin wilayah adat dan kelembagaan/sistem pemerintahan adat secara substansial

belum ada ketentuan hukum yang mengatur secara jelas teknis cara menentukan wilayah adat

yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat. Pada hal ini pengaturannya dalam ketentuan hukum
masih belum jelas sehingga hal ini menjadi penghambat proses pengakuan dan perlindungan

masyarakat hukum adat.

KESIMPULAN

Pemerintah harus membuat suatu peraturan baru dimana untuk memperjelas dan

memperkuat isi dari PerMen No. 52 Tahun 2014 tentang Pengakuan dan Perlindungan

Masyarakat Hukum Adat agar tidak menimbulkan legal chaos dalam peraturan perundang –

undangan, sehingga dapat mengimplikasikan dengan baik isi dari pasal 18b ayat (2) UUD 1945.
FILSAFAT HUKUM ( PASAL 18B AYAT (2) UUD 1945
DIPANDANG DARI UBI SOCIETAS IBI IUS

Bangsa Indonesia merupakan bangsa pluralis yang masyarakatnya memiliki keragaman


suku, ras, agama dan adat kebiasaan yang tersebar di kota maupun di desa. Keberagaman suku,
ras dan adat kebiasaan merupakan kekayaan dan potensi dari bangsa Indonesia. Untuk mengatur
keberagaman suku, ras, agama dan adat kebiasaan yang ada ini diperlukan aturan hukum yang
akan mengatur kehidupan bermasyarakat untuk ketertiban umum. Satu adagium mengatakan
bahwa ‘dimana ada masyarakat, disana ada hukum’ (ubi ius ibi societas). Von Savigny
mengatakan bahwa hukum merupakan bagian dari budaya masyarakat, hukum tidak lahir dari
tindakan bebas tetapi ditemukan di dalam jiwa masyarakat. Masyarakat Indonesia sudah
memiliki hukum sendiri yaitu hukum yang lahir dari jiwa masyarakat Indonesia sendiri yang
merupakan hukum asli Indonesia yang bentuknya tidak tertulis yang dikenal dengan Hukum
Adat.

Eksistensi keberadaan hukum adat tertuang dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang
berbunyi: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
berserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-
undang.” Secara substansi, isi Pasal 18B ayat 2 UUD 1945 menegaskan bahwa Negara telah
mengakui dan melindungi Hak Asasi Manusia Masyarakat dengan kriteria yang harus dipenuhi
menurut perspektif negara yakni kesatu, masih hidp, kedua sesuai dengan perkembangan
masyarakat, ketiga sesuai dengan prinsip negara kesatuan republik indonesia, keempat diatur
dalam Undang-Undang.

Di dalam sistem Tata Hukum Republik Indonesia, Hukum Adat diakui kedudukannya
sebagai suatu hukum yang tidak tertulis dalam peraturan legislatif, juga sebagai hukum yang
hidup sebagai konvensi di badan-badan hukum negara, sebagai hukum yang timbul karena
putusan-putusan hakim dan sebagai hukum yang hidup sebagai peraturan kebiasaan yang
dipertahankan di dalam pergaulan hidup, baik di kota-kota maupun di desa-desa.

Pada poin wilayah adat dan kelembagaan/sistem pemerintahan adat secara substansial pada
ketentuan hukum ini belum diatur secara jelas teknis penentuan cara menentukan wilayah adat
yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat dan atau pun kelembagaan / sistem pemerintahan
adat apakah diatur secara stuktural. Hal-hal ini masih belum jelas pengaturannya dalam
ketentuan hukum tersebut sehingga hal ini tentu menghambat proses pengakuan dan
perlindungan masyarakat hukum adat.

Upaya pemerintah memberlakukan pengakuan bersyarat terhadap masyarakat hukum adat


tampaknya perlu dievaluasi kembali dalam hal penjabaran nilai-nilai pengakuan bersyarat yang
diturunkan melalui Pasal 18B ayat 2 UUD 1945 dalam sejumpalah peraturan perundang
undangan. Apalagi hingga saat ini belum ada Undang-undang yang mengatur secara khusus
pengakuan dan perlindungan hukum masyarakat hukum adat sebagaimana amanat Pasal 18B
ayat 2 UUD 1845. Keadaan yang demikian akan menimbulkan legal chaos didalam Peraturan
undang-undangan sehingga berimplikasi hukum makin kaburnya entitas hukum masyarakat
hukum adat yang dianggap sebagai subjek hukum yang diakui dan dilindungi oleh UUD 1945
TUGAS FILSAFAT HUKUM

MENGKAJI PASAL 18B AYAT 2 UUD 1945 DIKAJI SECARA UBI SOCIETAS IBI IUS.

Kalau mengacu pada pasal 18B ayat (2) yang merumuskan “Negara mengakui dan menghormati

kesatuan-kesatuan hukum adat beserta hak-hak traditionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai

dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara kesatuan Republik Indonesia, yag diatur dengan

Undang-Undang” maka sejatinya kesatuan masyarakat hukum adat merupakan suatu subjek hukum

yang dapat melakukan perbuatan hukum. Adanya kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum oleh

kesatuan masyarakat hukum adat mempunyai dampak akan timbulnya akibat hukum.

Akibat hukum dapat berupa akibat yang negative dan akibat yang positif. Pengakuan

kesatuan hukum adat sebagai subjek hukum menyebabkan mayakat hukum adat dapat berbuat

sebagai mana layaknya manusia dan badan hukum.

Tentunya selain melindungi warga adat juga bisa saja melukai warga adat. Namun

setidaknya kesatuan masyarakat adat ini tidak terlalu memperhatikan permasalahan hukum

positif yang ada sehingga terjadi pelanggaran hukum positif dalam beberapa kasus di Bali yang

mengatasnamakan masyarakat adat.Hanya saja masalah penegakan hukum menjadi dianggap

rancu ketika terjadi permasalahan atau pelanggaran oleh masyarakat adat dimana karena

dianggap massa yang dilakukan pelanggaran hukm maka penegak hukum tidak melerai atau

malah membiarkan kejahatan terjadi terlebih dahulu. Selain itu, penegakan hukum sering kali

ditujukan kepada perseorangan yang melanggar dalam hal ini adalah warga desa adatnya atau

pengurus desa adatnya.


Masyarakat adat tidak terlalu memperhatikan hukum positif dikarenakan lebih melihat

haknya sebagai kesatuan masyarakat huku adat dan hukum adat yang dipegang sebagai

pedomannya. Padahal hukum adat adalah diakui oleh hukum nasional sepanjang tidak

bertentangan dengan hukum nasional.

Jadi sebenarnya penegak hukum dapat mengambil tindakan secara hukum nasional jika

terdapat pelanggaran hukum termasuk yang dilakukan oleh masyarakat hukum adat.Jadi sangat

menarik disini mengenai penegakan hukum sebagai perubah hukum jika dikaji mengenai

ketaatan masyarakat hukum adat itu sendiri.

Penegakan hukum terhadap pelanggaran hukum yang dilakukan oleh kesatuan

masyarakat hukum adat.

Sebelum dikaji mengenai penegakan hukum sebagai aspek perubah hukum yang

mempengaruhi ketaatan hukum masyarakat hukum adat di Bali.

Melihat kasus yang terjadi di Bali seperti Pembakaran rumah dan Penyiksaan warga pendukung

sertifikat. Dengan jelas terlihat bahwa pelanggaran hukum bisa juga dilakukan oleh subjek

hukum selain manusia yakni masyarakat hukum adat. Tetapi tindakan aparat hukum yang

mengesampingkan efek dari penegakan hukum itu, sehingga pelanggaran oleh masyarakat adat

terus terjadi dan tiada henti. Penanganan kasus yang melibatkan hukum adat ini hanya dirasakan

oleh korban itu sendiri.

Penegakan hukum kini semakin mendesak dilakukan. Kerena bagaimanapun kondisi

sebuah negara penegakan hukum merupakan kunci penyelesaian masalah. Asalkan pelaksana

perundangan itu melaksanakan dengan konsekuen, tidak malah ikut melanggarnya. Kondisi yang
terjadi selama ini di Indonesia bukan disebabkan oleh perundang-undangan yang kurang baik,

tetapi terletak pada masalah themenbehindthelaw.

Dari kasus-kasus ini menunjukan bahwa penegakan hukum tidak berdasarkan fakta yang

sebenarnya, tetapi atas dasar kepentingan-kepentingan tertentu. Bahkan apabila dihubungkan

dengan kepentingan politik tertentu dalam masyarakat sehingga membawa kesulitan dalam

penegakan hukum. Hal-hal yang demikian inilah menyebabkan pelaksanaan penegakan hukum

dalam masyarakat tidak harmonis (dalam arti tidak sebagaimana mestinya) karena sudah adanya

rekayasa.

Dalam banyak hal penegakan hukum ini adakalanya tidak sesuai dengan yang

diharapkan, dimana masyarakat biasa ( kebanyakan ) terjangkau oleh hukum, sedangkan

masyarakat golongan tertentu terkesan tidak tersentuh hukum. Bagi mereka yang menpuyai

kekuasaan, dan orang-orang yang mempunyai status sosial lebih tinggi ternyata banyak yang

terhindar dari tangkapan penegak hukum.

Tidak dapat disangka bahwa usaha penegakan hukum merupakan masalah yang

kompleks dan selalu menimbulkan permasalahan lebih lanjut karena beberapa hal tertentu. Usaha

penegakan hukum karapkali dilakukan berdasarkan kemauan dan tujuan yang baik, tetapi

kerapkalipelaksanaanya malahan menimbulkan akibat-akibat yang tidak diinginkan dan

merugikan, baik fisik, mental dan sosial.

Penegakan hukum oleh polri dalam proses penyidikan adkalanya menggunakan

kekerasan baik secara fisik maupun psikis demi untuk mengejar pengakuan tersangka. Hal yang

demikian sangat berbahaya dan bahkan bisa berakibat fatal pada saat proses persidangan di
pengadilan, karena terdakwa bisa mencabut atau tidak mengakui pengakuannya pada saat

pemeriksaan di polisi.

Kesimpulan

Apabila penegakan hukum tidak dilakukan secara benar dan serius maka akan terjadi

pelanggaran hukum yang dilakukan oleh masyarakat adat lagi. Karena itu, perlu adanya gerakan

dari para penegak hukum untuk lebih serius menegakkan hukum agar lebih menumbuhkan rasa

ketaatan kesatuan masyarakat hukum adat. Kemudian, dibuatkan Undang-Undang sebagai

pelaksana Pasal 18B UUD NRI 1945


Kajian Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 yang dihubungkan
dengan Istilah dari Cicero,
“ubi societas ibi ius”

Berikut dicantumkan isi dari Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945:

“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-
hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-undang.”

Sesuai dengan bunyi isi Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 bahwa Negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradiosionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Meskipun telah dimuat dalam
beberapa peraturan perundang-undangan, namun sejauh ini bekum ada undang-undang yang
mengatur secara khusus tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat adat sehingga belum
mampu menjamin terpenuhinya hak-hak masyarakat adat.

Betapa pentingnya pengakuan negara terhadap masyarakat hukum adat adalah untuk
memberikan hukum adat adalah untuk memberikan untuk memberikan kepastian hukum
dalam mempertahankan dan memperjuangkan hak-hak dari masyarakat yang telah dijamin
secara hukum dan konstitusional serta sebagai jaminan perlindungan dari tindakan diskriminasi
dan kekerasan.

Masyarakat hukum adat yg menurut keberadaannya masih ada dan diaukui, antara lain
mempunyai hak:

o Dapat melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kehidupan mereka sehari-
hari;
o Dapat membuat kegiatan pengelolaan hutan asalkan tidak bertentangan dengan
undang-undang;
o Mendapatkan pemberdaayan sumber daya manusia untuk meningkatkan kesejahteraan
kehidupan.

Dengan adanya pengakuan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

Masyarakat hukum adat diakui keberadaannya, jika dalam kenyataannya memenuhi unsur-
unsur di bawah ini:

1. Ada kepengurusan kelembagaan dalam bentuk perangkat adatnya;


2. Ada wilayah hukum yang jelas dari masyarakat adat tsb;
3. Ada peradilan adat yang masih ditaati;
4. Masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (recht sgemeenschap);
5. Masih melakukan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk
pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.

Dalam istilah “ubi societas ibi ius” yang mengartikan “dimana ada masyarakat disitu ada
hukum”, jika dihubungkan dengan Pasal 18 B ayat (2) tentang “Pengakuan Negara terhadap
suatu kelompok masyarakat”, jadi disimpulkan bahwa masyarakat hukum adat yang berada
dalam suatu tempat atau wilayah diakui keberadaannya dan dilindungi hak-hak nya oleh
Negara, apabila masyarakat Hukum Adat hidup dan menaati segala ketentuan yang
berdasarkan Undang-undang yang berlaku di Indonesia. Dalam proses pengakuannya
ditetapkan melalui Peraturan Daerah yang disusun dengan mempertimbangkan hasil penelitian
para pakar hukum adat, aspirasi masyarakat setempat, dan tokoh masyarakat adat yang ada di
daerah bersangkutan, serta instansi atau pihak lain yang terkait.
TUGAS : FILSAFAT HUKUM ( PASAL 18B AYAT (2) UUD 1945
DIPANDANG DARI UBI IUS IBI SOCIETAS

Bangsa Indonesia merupakan bangsa pluralis yang masyarakatnya memiliki keragaman

suku, ras, agama dan adat kebiasaan yang tersebar di kota maupun di desa. Keberagaman suku,

ras dan adat kebiasaan merupakan kekayaan dan potensi dari bangsa Indonesia. Untuk mengatur

keberagaman suku, ras, agama dan adat kebiasaan yang ada ini diperlukan aturan hukum yang

akan mengatur kehidupan bermasyarakat untuk ketertiban umum. Satu adagium mengatakan

bahwa ‘dimana ada masyarakat, disana ada hukum’ (ubi ius ibi societas). Von Savigny

mengatakan bahwa hukum merupakan bagian dari budaya masyarakat, hukum tidak lahir dari

tindakan bebas tetapi ditemukan di dalam jiwa masyarakat. Dengan demikian hukum dapat

dikatakan berasal dari kebiasaan dan selanjutnya dibuat melalui aktivitas hukum. Masyarakat

Indonesia sudah memiliki hukum sendiri yaitu hukum yang lahir dari jiwa masyarakat Indonesia

sendiri yang merupakan hukum asli Indonesia yang bentuknya tidak tertulis yang dikenal dengan

Hukum Adat.

Eksistensi keberadaan hukum adat tertuang dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang

berbunyi: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat

berserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan

masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-

undang.” Bunyi Pasal 18B ayat (2) ini menegaskan bahwa kelompok-kelompok masyarakat

hukum adat yang ada di berbagai daerah di Indonesia tetap diakui keberadaannya sepanjang

kelompok masyarakat adat ini benar-benar ada, bukan dipaksakan untuk ada dan kelompok

masyara dan kesemuanya ini dalam pelaksanaannya harus diatur dalam peraturan daerah yang
ditetapkan oleh DPRD namun tetap dengan satu pembatasan bahwa tidak boleh bertentangan

dengan prinsip-prinsip negara kesatuan.

Di dalam sistem Tata Hukum Republik Indonesia, Hukum Adat diakui kedudukannya

sebagai suatu hukum yang tidak tertulis dalam peraturan legislatif, juga sebagai hukum yang

hidup sebagai konvensi di badan-badan hukum negara, sebagai hukum yang timbul karena

putusan-putusan hakim dan sebagai hukum yang hidup sebagai peraturan kebiasaan yang

dipertahankan di dalam pergaulan hidup, baik di kota-kota maupun di desa-desa.

Melihat akan penjelasan dari Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 di atas kemudian dihubungkan

dengan kedudukan dari hukum adat di dalam sistem Tata Hukum Negara Republik Indonesia,

maka jelas keberadaan hukum selalu ada diiringi dengan adanya suatu masyarakat. Suatu

masyarakat tidak dapat hidup dengan tertib dan aman tanpa diatur oleh hukum. Apabila

masyarakat hidup tanpa diatur oleh hukum maka tidak akan dapat dihindari masyarakat yang

hidup dengan aturan rimba atau dikenal dengan adagium ‘homo homini lupus’, manusia bagaikan

serigala terhadap satu sama yang lain.

kat adat ini hidup berdasarkan adat dengan hak-haknya seperti hak ulayat
Ubi Societas Ibi Ius Dihubungkan Dengan Pasal 18b Ayat 2 UUD 1945

Berikut adalah bunyi pasal 18b ayat 2 UUD 1945 :

Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta


hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
prinsip Negara Kesatuan Republik, yang diatur dalam Undang-undang.

Sesuai bunyi Pasal 18b ayat 2 UUD 1945 bahwa Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup
dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,
yang diatur dalam Undang-undang. Meskipun telah dimuat dalam beberapa peraturan
perundang-undangan, namun sejauh ini belum ada undang-undang yang mengatur secara khusus
tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat adat sehingga belum mampu menjamin
terpenuhinya hak-hak masyarakat adat.

Pentingnya pengakuan terhadap masyarakat hukum adat ialah untuk memberikan


kepastian hukum dalam mempertahankan dan memperjuangkan hak-haknya yang telah dijamin
secara konstitusional serta sebagai jaminan perlindungan dari tindakan diskriminasi dan
kekerasan.

Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataanya masih ada dan diakui
keberadaanya berhak :

1. Melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari


masyarakat adat yang bersangkutan
2. Melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak
bertentangan dengan undang-undang; dan
3. Mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraanya

Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah

Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan
Peraturan Pemerintah

Masyarakat hukum adat diakui keberadaanya jika menurut kenyataanya memenuhi unsur
antara lain :
1. Masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (recht sgemeenschap);
2. Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;
3. Ada wilayah hukum adat yang jelas;
4. Ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat yang masih ditaati; dan
5. Masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan
kebutuhan hidup sehari-hari
Kemudian dalam pengukuhannya ditetapkan melalui Peraturan daerah yang disusun dengan
mempertimbangkan hasil penelitian para pakar hukum adat, aspirasi masyarakat setempat, dan
tokoh msyarakat adat yang ada di daerah yang bersangkutan, serta instansi atau pihak lain yang
terkait. namun dalam upaya pelaksanaanya tentu tidak mudah, mulai dari mekanisme yang
rumit dan memakan waktu yang lama serta biaya yang tidak sedikit tentunya akan menjadi
kendala. Sehingga diperlukan suatu terobosan yang dapat mempermudah dalam proses
pengukuhannya.
ANALISIS PASAL 18 B AYAT 2 UUD 1945 DIKAJI SECARA UBI SOCIETAS IBI IUS

Pengakuan dan penghormatan satuan pemerintahan daerah bersifat khusus dan


kesatuan masyarakat hukum adat.

Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengatur pengakuan
dan penghormatan satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan istimewa oleh negara
dalam satu pasal, yaitu Pasal 18B ayat (1) dan ayat (2) dengan rumusan sebagai berikut.

Pasal 18B

(1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat
khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.

Ketentuan ini mendukung keberadaan berbagai satuan pemerintahan yang bersifat khusus atau
istimewa (baik provinsi, kabupaten dan kota, maupun desa). Contoh satuan pemerintahan bersifat
khusus adalah Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta; contoh satuan pemerintahan bersifat
istimewa adalah Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta dan Daerah Istimewa (DI) Nanggroe Aceh
Darussalam (NAD).

(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat


beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-
undang.

Satuan pemerintahan di tingkat desa seperti gampong (di NAD), nagari (di Sumatera Barat),
dukuh (di Jawa), desa dan banjar (di Bali) serta berbagai kelompok masyarakat di berbagai
daerah hidup berdasarkan adat dengan hak-haknya seperti hak ulayat, tetapi dengan satu syarat
bahwa kelompok masyarakat hukum adat itu benar-benar ada dan hidup, bukan dipaksa-
paksakan ada; bukan dihidup-hidupkan. Oleh karena itu dalam pelaksanaannya, kelompok itu
harus diatur lebih lanjut dalam peraturan daerah yang ditetapkan oleh DPRD. Selain itu,
penetapan itu tentu saja dengan suatu pembatasan, yaitu tidak boleh bertentangan dengan
prinsip-prinsip negara kesatuan.
 KESIMPULAN

Jadi, sesuai dengan asas Ibi societas Ubi Ius (dimana ada masyarakat disitu ada hukum),
maka selaras dengan Negara mengakui dan menghormati Kesatuan Masyarakat Hukum
Adat dengan memberikan peluang kepada masyarakat untuk dapat memakai Hak-hak
nya, dalam mempertahankan keberadaannya untuk mencapai kemakmuran.
Kajian pasal 18b ayat 2 UUD 1945 dihubungkan dengan pendapat dari marcus tulius Cicero (
UBI SOCIETAS IBI IUS )

 Secara tradisional , masyarakat dimaknai sebagai sekelompok orang yang hidup bersama
dalam waktu relative lama, sehingga menciptakan kebudayaan. Kebudayaan disini
termasuk nilai-nilai untuk bersikap dan berprilaku dalam berintegritas dan sesame
anggota masyarakat. Interaksi inilah sebenarnya kata kunci didalam hukum, tanpa ada
interaksi tidak aka nada benturan kepentingan.
 Sesuai bunyi pasal 18b ayat 2 (dua) UUD 1945, bahwa Negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisonalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara
kesatuan republic indonesia, yang diatur dalam undang-undang, namun sejauh ini belum
ada undang-undang yang mengatur secara khusus tentang pengakuan dan perlindungan
masyarakat adat sehingga belum mampu menjamin terpenuhinya hak masyarakat adat
 Pentingnya pengakuan terhadap masyarakat hukum adat ialah untuk memberikan
kepastian hukum dalam mempertahankan dan memperjuangkan hak-haknya yang telah
dijamin secara konstitusional serta sebagai jaminan perlindungan dari tindakan
diskriminasi dan kekerasan
 Pasal 18b ayat 2 (dua) UUD 1945 sebagai salah satu landasan konsitusional masyarakat
adat menyatakan pengakuan secara deklaratif bahwa Negara mengakui dan menghormati
keberadaan dan hak-hak masyarakat hukum adat. Namun pengakuan tersebut
memberikan batasan-batasan atau persyaratan agar suatu komunitas dapat diakui
keberadaannya sebagai masyarakat hukum adat.
 Ada 4 persyaratan keberadaan masyarakat adat menurut pasal 18b ayat 2(dua) UUD 1945
antara lain :
 Sepanjang masih hidup
 Sesuai perkembangan masyarakat
 Prinsip Negara kesatuan republic Indonesia
 Diatur dalam undang-undang

JADI DIMANA ADA MASYARAKAT DISITU ADA HUKUM, SELARAS DENGAN


NEGARA MENGAKUI DAN MENGHORMATI KESATUAN MASYARAKAT HUKUM
ADAT DENGAN MEMBERIKAN PELUANG KEPADA MASYARAKAT UNTUK DAPAT
MEMAKAI HAK-HAKNYA DALAM MEMPERTAHANKAN KEBERADAAN UNTUK
MENCAPAI KEMAKMURAN
Kajianpasal 18bayat 2 UUD 1945
SesuaibunyiisiPasal 18 B ayat (2) UUD 1945 bahwa Negara mengakui dan
menghormatikesatuan-kesatuanmasyarakathukumadatbesertahak-
haktradisionalnyasepanjangmasihhidup dan sesuaidenganperkembanganmasyarakat dan
prinsip Negara KesatuanRepublik Indonesia, yang diaturdalamundang-undang.

PenempatantersebutmemperlihatkanbahwaMasyarakatHukumAdat UUD NRI Th. 1945,


menempatkankomunitas-komunitasMasyarakatHukumAdatdalamposisi yang kuat dan
pentingdalamkehidupanberbangsa dan bernegara di Indonesia. Hal
inimerupakanlandasankonstitusionalbagihakMasyarakatHukumAdatuntukmengaturdirinya dan
menegakkanhukumadatnya.

Meskipuntelahdimuatdalambeberapaperaturanperundang-undangan,
namunsejauhinibelumadaundang-undang yang mengatursecarakhusustentangpengakuan dan
perlindunganmasyarakatadatsehinggabelummampumenjaminterpenuhinyahak-
hakmasyarakatadat.

Pentingnyapengakuanterhadapmasyarakathukumadatialahuntukmemberikankepastianhukumd
alammempertahankan dan memperjuangkanhak-haknya yang
telahdijaminsecarakonstitusionalsertasebagaijaminanperlindungandaritindakandiskriminasi dan
kekerasan.

Pasal18B Ayat (2) UUD RI Tahun 1945 menggunakanistilahKesatuan-


KesatuanMasyarakatHukumAdat. Berbagaiperaturan lain
dalambidanghukumsumberdayaalammenggunakanistilah yang berbeda-beda, seperti:
MasyarakatAdat, MasyarakatHukumAdat dan MasyarakatTradisional.

Persoalannya, keberagamantersebuttidakhanyamenyangkutistilah,
tetapijugaberdampakpadakeragamanpemaknaan pula
atasbatasankelembagaandariMasyarakatHukumAdatitu.
Dalamranahaplikatifketentuannormatifdiperlukanterjemahan yang tegas,
baiktentangpengertian, jenis dan bentukMasyarakatHukumAdat,
sehinggadengandemikianpengakuan dan perlindungantersebutdapatdilaksanakanoleh Negara.
Pengakuan dan perlindungan yang dilaksanakanoleh Negara terhadapMasyarakatHukumAdat,
dapatterwujudapabilaadalandasanhukumnyadalambentukaturanperundang-undangan,
yaituUndang-undangtentangMasyarakatHukumAdat.

Makanya, diperlukanpengakuan dan perlindunganterhadaphak-hakMasyarakatAdat di


Indonesia sangatpentinguntukdiaturdalamaturanperundang-undangan. Hal
iniuntukmenghindarikehidupanmasyarakatadat yang semakintermarjinalkan. Akan
tetapihendaknyapengaturanituberkesesuaiandenganhukumnasional, hukuminternasional, dan
prinsip-prinsip UniversalHakAsasiManusia.

Selainitujugadiperlukanadanyapembaharuanperaturanperundang-
undangantentangsumberdayaalamuntukdisesuaikandenganUndang-undangDasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang telahdiamandemen,
untukmenjaminadanyakepastianhukum dan perlindunganhukumbagisetiapWarga Negara
Indonesia.
Tugas:

Analisis Mengenai Pasal 18 B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 dihubungkan dengan ubi
societas ibi ius.

Pasal 18 B

(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-
hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

Satuan pemerintahan di tingkat desa seperti gampong (di NAD), nagari (di Sumatera
Barat), dukuh (di Jawa), desa dan banjar (di Bali) serta berbagai kelompok masyarakat di
berbagai daerah hidup berdasarkan adat dengan hak-haknya seperti hak ulayat, tetapi dengan satu
syarat bahwa kelompok masyarakat hukum adat itu benar-benar ada dan hidup, bukan dipaksa-
paksakan ada; bukan dihidup-hidupkan. Oleh karena itu dalam pelaksanaannya, kelompok itu
harus diatur lebih lanjut dalam peraturan daerah yang ditetapkan oleh DPRD. Selain itu,
penetapan itu tentu saja dengan suatu pembatasan, yaitu tidak boleh bertentangan dengan
prinsip-prinsip negara kesatuan.

Meskipun telah dimuat dalam beberapa peraturan perundang-undangan, namun sejauh ini
belum ada undang-undang yang mengatur secara khusus tentang pengakuan dan perlindungan
masyarakat adat sehingga belum mampu menjamin terpenuhinya hak-hak masyarakat adat.

Pentingnya pengakuan terhadap masyarakat hukum adat ialah untuk memberikan kepastian
hukum dalam mempertahankan dan memperjuangkan hak-haknya yang telah dijamin secara
konstitusional serta sebagai jaminan perlindungan dari tindakan diskriminasi dan kekerasan.

“Ubi societas ibi ius” atau yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia “Dimana ada
masyarakat disitu ada hukum” adalah perkataan dari Marcus Tullius Cicero seorang filsuf,ahli
hukum, dan ahli politik kelahiran Roma. Perkataan Cicero tersebut pun melintasi jaman, kalimat
yang diutarakan Cicero lebih kurang 19 abad yang lalu masih berlaku hingga sekarang.
Teori ini mengungkapkan konsep filosofi Cicero yang menyatakan bahwa hukum tidak
dapat dipisahkan dari masyarakat. Kedamaian dan keadilan dari masyarakat hanya bisa dicapai
apabila tatanan hukum telah terbukti mendatangkan keadilan dan dapat berfungsidengan efektif.

Definisi masyarakat menurut Paul B. Horton & C. Hunt masyarakat merupakan kumpulan
manusia yang relatif mandiri, hidup bersama-sama dalam waktu yang cukup lama, tinggal di
suatu wilayah tertentu, mempunyai kebudayaan sama serta melakukan sebagian besar kegiatan di
dalam kelompok / kumpulan manusia tersebut.

Sedangkan hukum adalah ketentuan-ketentuan yang menjadi peraturan hidup suatu


masyarakat yang bersifat kendalikan, mencegah, mengikat, memaksa. Dinyatakan atau dianggap
sebagai peraturan yang mengikat bagi sebagian atau seluruh anggota masyarakat tertentu, dengan
tujuan untuk mengadakan suatu tata yang dikehendaki oleh penguasa tersebut.

Dengan kata lain Hukum merupakan serangkaian aturan yang berisi perintah ataupun
larangan yang sifatnya memaksa demi terciptanya suatu kondisi yang aman, tertib, damai dan
tentram,serta terdapat sanksi bagi siapapun yang melanggarnya.

Hubungan antara masyarakat dengan hukum tidak bisa dipisahkan, karena sejatinya hukum
itu sendiri diciptakan untuk mengatur kehidupan masyarakat. Maka dapat dibenarkan perkataan
Cicero tersebut bahwa di mana ada masyarakat di situ ada hukum. Apabila ada seorang manusia
yang hidup di suatu tempat yang tidak berpenduduk, dan dia hidup sendiri di tempat itu, maka
dapat dipastikan tidak ada hukum di wilayah tersebut. Karena seseorang tadi bebas melakukan
apapun yang ia kehendaki.

Berbeda lagi ceritanya apabila ada seseorang lagi yang datang ke tempat tersebut dan hidup
bersama penghuni pertama. Masing-masing orang tersebut jelas mempunyai kepentingan dan
kehendak sendiri, dan tidak menutup kemungkinan pula akan terjadi konflik antara kedua orang
itu. Disinilah peran hukum muncul, hukum akan mengatur bagaimana tata cara kehidupan
mereka agar terjadi keadilan dan kedamaian diantara masing-masing individu.

Kesimpulannya adalah hukum tidak dapat muncul/timbul jika hanya ada satu orang saja.
Harus ada 2 individu atau lebih (masyarakat) sehingga tercipta hukum. Ketika hukum tercipta
dan berjalan dengan baik maka hukum akan menciptakan perlindungan bagi masyarakat yang
berujung terwujudnya suatu keadilan.

Menurut saya, negara harus mengakui serta menghormati masyarakat hukum adat yang ada
di seluruh Indonesia beserta hak-hak mereka saat mereka masih hidup dan sesuai dengan
perkembangannya. Sesuai dengan kata ubi societas ibi ius (dimana ada masyarakat disitu ada
hukum), dimana ada masyarakat adat pasti ada hukum adat yang berlaku di tempat tersebut. Jadi
negara haus mengakui dan menghormati akan hukum dari masyarakat tersebut.
Ubi societasibiius” atau yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia “Dimana ada
masyarakat disitu ada hukum” adalah perkataan dari Marcus TulliusCicero seorang
filsuf,ahli hukum, dan ahli politik kelahiran Roma. Perkataan Cicero tersebut pun
melintasi jaman, kalimat yang diutarakan Cicero lebih kurang 19 abad yang lalu
masih berlaku hingga sekarang.

Teori ini mengungkapkan konsep filosofi Cicero yang menyatakan bahwa hukum
tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Kedamaian dan keadilan dari masyarakat
hanya bisa dicapai apabila tatanan hukum telah terbukti mendatangkan keadilan dan
dapat berfungsidengan efektif

Definisi masyarakat menurut Paul B. Horton& C. Hunt masyarakat merupakan


kumpulan manusia yang relatif mandiri, hidup bersama-sama dalam waktu yang
cukup lama, tinggal di suatu wilayah tertentu, mempunyai kebudayaan sama serta
melakukan sebagian besar kegiatan di dalam kelompok / kumpulan manusia tersebut.

Sedangkan hukum adalah ketentuan-ketentuan yang menjadi peraturan hidup suatu


masyarakat yang bersifat kendalikan, mencegah, mengikat, memaksa. Dinyatakan
atau dianggap sebagai peraturan yang mengikat bagi sebagian atau seluruh anggota
masyarakat tertentu, dengan tujuan untuk mengadakan suatu tata yang dikehendaki
oleh penguasa tersebut.

Dengan kata lain Hukum merupakan serangkaian aturan yang berisi perintah ataupun
larangan yang sifatnya memaksa demi terciptanya suatu kondisi yang aman, tertib,
damai dan tentram,serta terdapat sanksi bagi siapapun yang melanggarnya.

Hubungan antara masyarakat dengan hukum tidak bisa dipisahkan, karena sejatinya
hukum itu sendiri diciptakan untuk mengatur kehidupan masyarakat. Maka dapat
dibenarkan perkataan Cicero tersebut bahwa di mana ada masyarakat di situ ada
hukum.
Apabila ada seorang manusia yang hidup di suatu tempat yang tidak berpenduduk,
dan dia hidup sendiri di tempat itu, maka dapat dipastikan tidak ada hukum di wilayah
tersebut. Karena seseorang tadi bebas melakukan apapun yang ia kehendaki.

Berbeda lagi ceritanya apabila ada seseorang lagi yang datang ke tempat tersebut dan
hidup bersama penghuni pertama. Masing-masing orang tersebut jelas mempunyai
kepentingan dan kehendak sendiri, dan tidak menutup kemungkinan pula akan terjadi
konflik antara kedua orang itu. Disinilah peran hukum muncul, hukum akan mengatur
bagaimana tata cara kehidupan mereka agar terjadi keadilan dan kedamaian diantara
masing-masing individu.

Kesimpulannya adalah hukum tidak dapat muncul/timbul jika hanya ada satu orang
saja. Harus ada 2 individu atau lebih (masyarakat) sehingga tercipta hukum. Ketika
hukum tercipta dan berjalan dengan baik maka hukum akan menciptakan
perlindungan bagi masyarakat yang berujung terwujudnya suatu keadilan.
Iklan

B. Kajian Hukum Pasal 18b ayat 2 UUD 1945

Tujuan penelitian: (1) Untuk menganalisis dan menjelaskan implementasi pasal 18b ayat 2 UUD NRI
Tahun 1945 tentang pengakuan dan penghormatan kesatuan masyarakat adat dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan; (2) menganalisis dan menjelaskan peraturan perundang-undangan
di Indonesia yang memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat hukum adat
Amma Toa Kajang. Metode penelitian dengan pendekatan antropologi hukum yang mengkaji cara-
cara penyelesaian sengketa baik dalam masyarakat modern maupun masyarakat tradisional dengan
tiga pendekatan yaitu ideologis, kajian deskriptif dan kajian terhadap sengketa. Jenis peneilitian
menggunakan penelitian hukum empiris tentang studi kasus dengan mengkaji bentuk-bentuk
pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat hukum adat Amma Toa Kajang serta
menginventarisir aturan-aturan yang berkaitan dengan pengakuan dan perlindungan masyarakat
adat baik dalam bentuk peraturan perundang-undangan maupun dalam bentuk perjanjian
internasional sebagai dasar hukumnya. Hasil penelitian: (1) implementasi pasal 18b ayat 2 UUD NRI
Tahun 1945 tentang pengakuan dan penghormatan kesatuan masyarakat adat telah diatur sejak
dari masa Hindia Belanda dalam Pasal 131 paragraph 2 sub b IndischeStaatsregering (IS) yang
menyatakan, bagi golongan bumi putra (pribumi) berlaku hukum adatnya. Pada masa kini,
pengakuan atas keberlakuan hukum adat secara konstitusional tertuang dalam Pasal 18B ayat 2
UUD NRI Tahun 1945; (2) Pemerintah Indonesia telah mengakui dan melindungi kesatuan
masyarakat hukum adat terkhusus kepada masyarakat hukum adat (MHA) Amma Toa Kajang
dengan disahkannya Peraturan Daerah No. 9 Tahun 2015 tentang Pengukuhan, Pengakuan Hak
dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat Amma Toa Kajang. Saran: (1) Terkhusus kepada
Pemerintah Republik Indonesia sebagai pemegang kebijakan bahwa perlu dilakukan amandemen
terhadap UUD NRI Tahun 1945 terhusus pasal 18B ayat 2; (2) Terkhusus kepada para peneliti yang
akan melakukan penelitian terhadap kajian yang sama, agar kiranya melakukan penelitian yang
mendalam terhadap hak-hak masyarakat adat dalam hal hak kesetaraan, hak pendidikan dan hak
untuk mendapatkan pekerjaan.
Kajian Ubi Societas Ibi Ius

Ubi Societas Ibi Ius berarti Dimana ada masyarakat, disitu ada hukum. Masyarakat selalu
berkembang, perkembangan masyarakat tersebut diawali dengan individu, individu melakukan
perkawinan sehingga menghasilkan keturunan. Keturunan yang lahir setelah dewasa akan
mempunyai keturunan juga hal tersebut berulang terus menerus yang membentuk siklus. Siklus
tersebut akan memberikan efek pembentukan suatu masyarakat. Sebuah keluarga nantinya akan
berinteraksi dengan keluarga lain, saling membentuk hubungan. Hubungan ini didasarkan pada
kebutuhan pribadi, tidak mungkin seseorang dapat memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa
bantuan orang lain. Bantuan ini ini selanjutnya akan membentuk peraturan atau timbulnya hak
dan keawjiban dari kedua belah pihak. Keluarga-keluarga yang membentuk hubungan tersebut
dinamakan dengan masyarakat, masyarakat yang mempunyai hubungan satu sama lain yang
saling berinteraksi untuk memenuhi kebutuhan pokok dalam sehari-hari.

Proses terbentuknya hukum berawal dari kebiasaan yang secara terus menerus dilakukan
oleh masyarakat sehingga kebiasaan tersebut menjadi lumrah dan membentuk suatu aturan baku
yang harus ditaati. Karena dalam masyarakat tidak selalu damai, tentunya akan terjadi gesekan-
gesekan dalam masyarakat yang menimbulkan konflik. Dari sinilah lahir hukum dalam
masyarakat tersebut. Masyarakat yang sudah membentuk suatu struktur atas pengakuan Bersama,
melalui fingsionaris yang dipercaya akan membuat hukumnya sendiri yaitu aturan hukum yang
mengatur hubungan antar masyarakat. Hukum masyarakat tersebut dapat berupa hal yang boleh
dilakukan dan hal yang tidak boleh dilakukan. Sebenarnya hal tersebut tidak kaku. Hukum yang
dibentuk dalam masyarakat sifatnya luwes, keluwesan hukum tersebutlah yang menjadi patokan
atau sebagai dasar lahirnya keadilan.

Melalui proses tersebut dapat kita simpulkan bahwa dimana ada masyarakat disana ada
hukum. Hukum yang lahir dalam masyarakat merupakan kebutuhan pokok untuk mengatur antar
anggota masyarakat. Dimulai dari kebiasaan sampai pada hukum konkret yang dituangkan
melalui kesepakatan Bersama. Kesepakatan tersebut akan melahirkan sanksi yang dapat
menimbulkan rasa jera bagi pelaku dan rasa takut agar orang tidak melakukan pelanggaran
hukum tersebut. Sanksi yang biasa diterapkan dalam masyarakat adalah sanksi social, sanksi
social dianggap sangat efektif untuk membuat orang tidak melakukan perbuatan semena-mena.
Mengkaji Pasal 18B Undang-Undang Dasar 1945

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang beragam dari berbagai sisi, baik
geografis, ras, suku, bahasa maupun agama. Keragaman tersebut membentuk
keragaman sistem bermasyarakat dan adat istiadat yang dipatuhi serta dijalankan
masyarakatnya. Masyarakat yang memiliki struktur dan norma-norma tersendiri
yang tetap hidup dan dipatuhi anggotanya inilah yang disebut masyarakat hukum
adat sebagaimana yang telah diakui dalam Pasal 18B Ayat 2 Undang – Undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945, yakni “Negara mengakui dan menghormati
kesatuan – kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Hukum adat
sebagai sumber hukum materiil (diakui keberlakuannya, meskipun secara hukum
bukan sebagai sumber hukum negara (hukum positif) diakui keberadaannya oleh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.1

Adapun relevansi dari pasal 18B Undang-Udang Dasar Negara Republik


Indonesia 1945 dengan ungkapan dari Marcus Tulius Cicero, yakni “Ubi societas ibi
ius” atau yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia “Dimana ada masyarakat
disitu ada hukum” adalah perkataan Cicero sebagai seorang filsuf,ahli hukum, dan
ahli politik kelahiran Roma. Perkataan Cicero tersebut pun melintasi jaman, kalimat
yang diutarakan Cicero lebih kurang 19 abad yang lalu masih berlaku hingga
sekarang.

Teori ini mengungkapkan konsep filosofi Cicero yang menyatakan bahwa


hukum tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Kedamaian dan keadilan dari
masyarakat hanya bisa dicapai apabila tatanan hukum telah terbukti mendatangkan
keadilan dan dapat berfungsidengan efektif.
Definisi masyarakat menurut Paul B. Horton & C. Hunt masyarakat
merupakan kumpulan manusia yang relatif mandiri, hidup bersama-sama dalam waktu
yang cukup lama, tinggal di suatu wilayah tertentu, mempunyai kebudayaan sama
serta melakukan sebagian besar kegiatan di dalam kelompok / kumpulan manusia
tersebut. Sedangkan hukum adalah ketentuan-ketentuan yang menjadi peraturan
hidup suatu masyarakat yang bersifat mengendalikan, mencegah, mengikat,
memaksa. Dinyatakan atau dianggap sebagai peraturan yang mengikat bagi sebagian

1
Perubahan ke dua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Pasal 18b Ayat 2. BAB VI
Pemerintahan Daerah. hal. 134. Sekretariat Jenderal MPR RI tahun 2016.
atau seluruh anggota masyarakat tertentu, dengan tujuan untuk mengadakan suatu
tata yang dikehendaki oleh penguasa tersebut.2

Dengan kata lain Hukum merupakan serangkaian aturan yang berisi


perintah ataupun larangan yang sifatnya memaksa demi terciptanya suatu kondisi
yang aman, tertib, damai dan tentram,serta terdapat sanksi bagi siapapun yang
melanggarnya.Hubungan antara masyarakat dengan hukum tidak bisa dipisahkan,
karena sejatinya hukum itu sendiri diciptakan untuk mengatur kehidupan
masyarakat. Maka dapat dibenarkan perkataan Cicero tersebut bahwa di mana ada
masyarakat di situ ada hukum. Apabila ada seorang manusia yang hidup di suatu
tempat yang tidak berpenduduk, dan dia hidup sendiri di tempat itu, maka dapat
dipastikan tidak ada hukum di wilayah tersebut. Karena seseorang tadi bebas
melakukan apapun yang ia kehendaki.

Berbeda lagi ceritanya apabila ada seseorang lagi yang datang ke tempat
tersebut dan hidup bersama penghuni pertama. Masing-masing orang tersebut jelas
mempunyai kepentingan dan kehendak sendiri, dan tidak menutup kemungkinan pula
akan terjadi konflik antara kedua orang itu. Disinilah peran hukum muncul, hukum
akan mengatur bagaimana tata cara kehidupan mereka agar terjadi keadilan dan
kedamaian diantara masing-masing individu.

Eksistensi masyarakat adat (Indigenous Peoples) yang diakui dalam Pasal


18B Ayat 2 UUD 1945 sebagai suatu penghormatan terhadap identitas, budaya dan
keberadaan masyarakat adat sebagai subyek hukum, yang memiliki duan unsur yaitu
jaminan pengakuan dan penghormatan kesatuan masyakat hukum adat dan hak-hak
tradisionalnya. yangkedua adalah pembatasan, yaitu sepanjang masih hidup dan
sesuai perkembangan masyarakat serta serta prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI).

Kesimpulannya adalah hukum tidak dapat muncul/timbul jika hanya ada


satu orang saja. Harus ada 2 individu atau lebih (masyarakat) sehingga tercipta
hukum. Ketika hukum tercipta dan berjalan dengan baik maka hukum akan
menciptakan perlindungan bagi masyarakat yang berujung terwujudnya suatu
keadilan.

2
Anonim
Pasal 18b ayat 2 UUD 1945 dihubungkan dengan “ubi societas ibi ius” dari

Marcus Tulius Cicero.

Secara tradisional, masyarakat dimaknai sebagai sekelompok orang yang hidup bersama

dalam waktu relatif lama, sehingga menciptakan kebudayaan. Kebudayaan disini termasuk nilai-

nilai untuk bersikap dan berperilaku dalam berinteraksi sesama anggota masyarakat itu. Interaksi

inilah sebenarnya kata kunci di dalam hukum. Tanpa ada interaksi, tidak akan ada benturan

kepentingan.

Sesuai bunyi isi Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 bahwa Negara mengakui dan

menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya

sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara

Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Meskipun telah dimuat dalam

beberapa peraturan perundang-undangan, namun sejauh ini belum ada undang-undang yang

mengatur secara khusus tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat adat sehingga belum

mampu menjamin terpenuhinya hak-hak masyarakat adat.

Pentingnya pengakuan terhadap masyarakat hukum adat ialah untuk memberikan

kepastian hukum dalam mempertahankan dan memperjuangkan hak-haknya yang telah dijamin

secara konstitusional serta sebagai jaminan perlindungan dari tindakan diskriminasi dan

kekerasan.

Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 sebagai salah satu landasan konstitusional masyarakat adat

menyatakan pengakuan secara deklaratif bahwa negara mengakui dan menghormati keberadaan

dan hak-hak masyarakat hukum adat. Namun pengakuan tersebut memberikan batasan-batasan
atau persyaratan agar suatu komunitas dapat diakui keberadaan sebagai masyarakat hukum adat.

Ada empat persyaratan keberadaan masyarakat adat menurut Pasal 18B ayat (2) UUD 1945

antara lain: (a) Sepanjang masih hidup; (b) Sesuai dengan perkembangan masyarakat; (c) Prinsip

Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan (d) Diatur dalam undang-undang.

Jadi, dimana ada masyarakat pasti disitu ada hukum, selaras dengan negara mengakui dan

menghormati kesatuan masyarakat hukum adat dengan memberikan peluang kepada masyarakat

untuk dapat memakai hak2 nya dalam mempertahankan keberadaanya untuk mencapai

kemakmuran.
Pasal 18Bayat (2)

(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta

hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan

prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

*Secara garis besar, sejarah keberadaan masyarakat hukum adat di indonesia telah

mengalami rentetan sejarah yang begitu panjang dalam politik hukum adat baik sejak zaman pra

kemerdakaan sampai pada zaman kemerdekaan yang memasuki zama reformasi. Pada konteks

reformasi kini, pengakuan masyarakat hukum adat secara konstitusial telah dijamin oleh

Undang-Undang Dasar 1945 tepatnya pada Pasal 18 B ayat 2 UUD 1945. Secara substansial

keberadaan Pasal 18B ayat 2 UUD 1945 menjadi landasan konstitusional pengakuan negara atas

masyarakat hukum adat di Indonesia.

Mencermati Pasal 18B ayat 2 UUD 1945 yang mengatur bahwa “ Negara mengakui dan

menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya

sepanjang masih hidup dan sesuai denga perkembanga masyarakat dan prinsip negara kesatuan

republik indonesia yang diatur dalam undang-undang”.

Secara substansi, isi Pasal 18B ayat 2 UUD 1945 menegaskan bahwa Negara telah

mengakui dan melindungi Hak Asasi Manusia Masyarakat dengan kriteria yang harus dipenuhi

menurut perspektif negara yakni kesatu, masih hidp, kedua sesuai dengan perkembangan

masyarakat, ketiga sesuai dengan prinsip negara kesatuan republik indonesia, keempat diatur

dalam Undang-Undang.

Pengakuan Bersyarat Masyarakat Hukum Adat


Pada sisi penerapan hukum keberadaan pengakuan bersyarat masyarakat hukum adat

melalui Pasal 18B ayat 2 UUD 1945 telah berimplikasi besar terhadap rumit dan terlalu

prosedural pengakuan masyarakat hukum adat dalam peraturan Per-UU. Salah satunya adalah

Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 52 Tahun 2014 tentang pengakuan dan perlindungan

masyarakat hukum adat.

Dalam bab IV Pasal 4 Permendagri No. 52 Tahun 2014, telah mengatur tahapan dan

syarat yang harus dipenuhi oleh Masyarakat Hukum Adat sehingga bisa memperoleh kepastian

hukum atas hak-hak tradisional, tahapan-tahapan yang harus dipenuhi yakni identifikasi

masyarakat hukum adat, verifikasi dan validasi masyarakat hukum adat dan penetapan

masyarakat hukum adat. Pada tahapan identifikasi masyarakat hukum adat, hal-hal yang harus

dipenuhi yakni sejarah masyarakat hukum adat, hukum adat, wilayah adat, harta kekayaan

dan/atau benda-benda adat, kelembagaan/sistem pemerintahan adat.

Pada poin wilayah adat dan kelembagaan/sistem pemerintahan adat secara substansial

pada ketentuan hukum ini belum diatur secara jelas teknis penentuan cara menentukan wilayah

adat yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat dan atau pun kelembagaan / sistem

pemerintahan adat apakah diatur secara stuktural. Hal-hal ini masih belum jelas pengaturannya

dalam ketentuan hukum tersebut sehingga hal ini tentu menghambat proses pengakuan dan

perlindungan masyarakat hukum adat.

Keberadaan Permendagri No. 52 Tahun 2014 dalam merespon Pasal 18B ayat 2 UUD

1945 perlu diapresiasi namun dalam sisi penerapannya kiranya perlu ditinjau kembali sehingga

kriterium yang ditetapkan tidak bertetangan dengan nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat

hukum adat. Banyaknya kriterium yang bercorak prosedural dalam ketentuan tersebut tentu
secara hukum dianggap dapat menghambat proses pengakuan dan perlindungan hukum

masyarakat hukum adat di Indonesia. Hal ini tentu bertentang dengan semgat konstitusi

masyarakat hukum adat.

Upaya pemerintah memberlakukan pengakuan bersyarat terhadap masyarakat hukum adat

tampaknya perlu dievaluasi kembali dalam hal penjabaran nilai-nilai pengakuan bersyarat yang

diturunkan melalui Pasal 18B ayat 2 UUD 1945 dalam sejumpalah peraturan perundang

undangan. Apalagi hingga saat ini belum ada Undang-undang yang mengatur secara khusus

pengakuan dan perlindungan hukum masyarakat hukum adat sebagaimana amanat Pasal 18B

ayat 2 UUD 1845. Keadaan yang demikian akan menimbulkan legal chaos didalam Peraturan

undang-undangan sehingga berimplikasi hukum makin kaburnya entitas hukum masyarakat

hukum adat yang dianggap sebagai subjek hukum yang diakui dan dilindungi oleh UUD 1945.
A. Pendahuluan

Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(UUD NRI Tahun 1945) menyatakan bahwa : “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-
kesatuan masyarakat hukuma dat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang
diatur dalam undang-undang.”

Dengan demikian, kesatuan masyarakat hukum adat di wilayah-wilayah pesisir, diakui


hak-haknya dalam pengelolaan potensi kelautan secara umum dilakukan secara tradisional yang
dikenal dengan hak adat kelautan. Dibandingkan dengan hak ulayat atas tanah, maka tampak
bahwa hak ulayat atas laut sebagai tradisi adat yang sudah berlangsung secara turun temurun dan
dihormati oleh masyarakat hukum adat . Hal ini ternyata belum sepenuhnya diakui secara luas
baik oleh pemerintah maupun pengusaha yang sebenarnya merupakan mitra penting dalam
proses pembangunan.

Dalam konteks Undang-Undang yang mengatur tentang pengelolaan wilayah laut dan
pesisir adalah Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil. Di dalam undang-undang tersebut diatur hak pengusahaan PerairanPesisir
(HP-3), yang menurut pasal 18 dapat diberikan kepada :

Ketentuan Pasal 18A ayat (2) ini dimaksudkan agar penyelenggaraan pemerintahan daerah tetap
menjamin adanya prinsip keadilan dan keselarasan. Sementara itu, hal-hal yang menyangkut
keuangan, termasuk yang menyangkut hak-hak daerah, diatur dalam undang-undang. Demikian
pula halnya dengan urusan pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya
lainnya juga ditata agar daerah mendapatkan bagian secara proporsional. Seiring dengan itu,
pasal ini juga menjamin sejumlah kewajiban untuk memperhatikan daerah lain bagi yang
memiliki sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang berbeda atau daerah lain yang tidak
memilikinya, yang semuanya harus diatur dengan undang-undang.

d. Pengakuan dan penghormatan satuan pemerintahan daerah bersifat khusus dan kesatuan
masyarakat hukum adat.

Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengatur pengakuan
dan penghormatan satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan istimewa oleh Negara
dalam satu pasal, yaitu Pasal 18B ayat (1) dan ayat (2) dengan rumusan sebagai berikut.

Pasal 18B

(1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus
atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.
Ketentuan ini mendukung keberadaan berbagai satuan pemerintahan yang bersifat khusus atau
istimewa (baik provinsi, kabupaten dan kota, maupun desa). Contoh satuan pemerintahan
bersifat khusus adalah Daerah Khusus Ibu kota (DKI) Jakarta; contoh satuan pemerintahan
bersifat istimewa adalah Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta dan Daerah Istimewa (DI) Nanggroe
Aceh Darussalam (NAD).

(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

Satuan pemerintahan di tingkat desa seperti gampong (di NAD), nagari (di Sumatera Barat),
dukuh (di Jawa), desa dan banjar (di Bali) serta berbagai kelompok masyarakat di berbagai
daerah hidup berdasarkan adat dengan hak-haknya seperti hak ulayat, tetapi dengan satu syarat
bahwa kelompok masyarakat hukum adat itu benar-benar ada dan hidup, bukan dipaksa-
paksakan ada; bukan dihidup-hidupkan. Oleh karena itu dalam pelaksanaannya, kelompok itu
harus diatur lebih lanjut dalam peraturan daerah yang ditetapkan oleh DPRD. Selain itu,
penetapan itu tentu saja dengan suatu pembatasan, yaitu tidak boleh bertentangan dengan
prinsip-prinsip Negara kesatuan.

Anda mungkin juga menyukai