Anda di halaman 1dari 47

ETIKA

(K. BERTENS)

Disusun guna memenuhi satu syarat menyelesaikan tugas

Disusun Oleh :
Nur Fatimah Azzahra
40010617060013

PROGRAM STUDI ADMINITRASI PERKANTORAN


FAKULTAS SEKOLAH VOKASI
UNIVERSITAS DIPONEGORO
TAHUN AKADEMIK 2020
BAB I: APA ITU ETIKA?

1. Etika dan Moral

“Etika” berasal dari bahasa Yunani kuno, ethos, yang dalam bentuk tunggal mencakup
banyak arti, yaitu: tempat tinggal yang biasa; padang rumput, kandang, habitat; kebiasaan,
adat; akhlak, watak; perasaan, sikap, cara berpikir. Namun, dalam bentuk jamak yaitu ta
etha, artinya adalah adat kebiasaan. Arti terakhir inilah yang dipakai Aristoteles untuk
menunjukkan filsafat moral. Dengan demikian, etika dapat diartikan menjadi: ilmu
tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan.

“Moral” dalam etimologinya sama dengan “etika”, walaupun asal bahasanya berbeda.
Jika moral dipakai sebagai kata sifat, maka artinya sama dengan “etis”. Namun, bila
dipakai sebagai kata benda, maka artinya akan sama dengan “etika”. Sehingga, jika
perbuatan seseorang tidak bermoral, maka maksudnya adalah perbuatan orang itu
melanggar nilai-nilai dan norma-norma etis yan berlaku dalam masyarakat.

2. Etika menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia dan Kamus Besar Bahasa Indonesia
edisi 1988 dan 1991

Kamus Besar Bahasa Kamus Besar Bahasa


Kamus Umum Bahasa Indonesia
Indonesia edisi 1988 Indonesia edisi 1991
Ilmu pengetahuan tentang asas- 1) Ilmu tentang apa yang  Menambahkan kata
asas akhlak (moral) baik dan buruk dan “etik” yang artinya
tentang hak dan meliputi poin 2 dan 3
kewajiban moral (akhlak) pada edisi 1988
2) Kumpulan asas atau  Menafsirkan “etika”
nilai yang berkenaan sebagai ilmu yang
dengan akhlak mempelajari tentang
3) Nilai mengenai benar “etik”
dan salah yang dianut
suatu golongan atau
masyarakat

3. Amoral dan Immoral


“Amoral” berarti tidak berhubungan dengan konteks moral, di luar suasana etis, dan
non-moral. Sedangkan “immoral” berarti secara moral buruk, bertentangan dengan
moralitas yang baik, dan tidak etis. “Amoral” adalah netral dari sudut moral atau tidak
mempunyai relevansi etis, sedangkan “immoral” adalah negatif dari sudut moral. Contoh:
“memeras para pensiunan adalah tindakan immoral” – sehingga yang dimaksud dari
“immoral” adalah tindakan yang tidak bermoral.

4. Etika dan Etiket

Persamaan antara etika dan etiket adalah: (1) hanya menyangkut perilaku manusia,
karena hewan tidak mengenal istilah keduanya, (2) mengatur perilaku manusia secara
normatif, yaitu memberi norma bagi perilaku manusia dan menyatakan apa yang harus
dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Di bawah ini adalah tabel perbedaan
antara etika dan etiket:

Etiket Etika
1. Cara perbuatan yang harus dilakukan 1. Norma perbuatan itu sendiri. Contoh :
manusia. Contoh: memberi barang kepada perilaku menyuap seorang hakim tetap tidak
atasan dengan menggunakan tangan kanan etis walaupun kita menyerahkan uang
yang lebih dianggap pantas dan sopan. tersebut dengan tangan kanan (etiket).
2. Berlaku dalam pergaulan. Contoh: jika 2. Tetap berlaku walau tidak ada saksi mata.
saya makan sambil berbunyi di hadapan Contoh: saya dianggap berlaku tidak etis jika
orang lain, maka saya melanggar etiket. Tapi, saya kabur dari restoran tanpa sepengetahuan
jika saya sedang makan sendirian, maka saya pemiliknya.
tidak melanggar etiket.
3. Relatif. Yang dianggap tidak sopan dalam 3. Lebih absolut. Contoh: peraturan seperti
satu kebudayaan, bisa saja dianggap sopan di “jangan mencuri” dan “jangan berbohong”
kebudayaan lain. Contoh: makan dengan merupakan prinsip-prinsip etika yang tidak
tangan. bisa ditawar-tawar lagi.
4. Memandang manusia dari segi lahiriah. 4. Memandang manusia dari segi dalam.
Manusia bisa saja terlihat baik dari luar, Orang yang etis biasanya tidak mungkin
namun sebenarnya munafik. bersikap munafik.

5. Moralitas: Ciri Khas Manusia

“Moralitas” berasal dari kata Latin moralis, yang pada dasarnya memiliki arti yang
sama dengan moral. Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang
berkenaan dengan baik dan buruk. Moralitas merupakan ciri khas manusia yang tidak
dapat ditemukan pada makhluk lain seperti binatang. Untuk dapat memahami perbedaan
ini, perlu kita mengerti dulu apa yang dimaksud dengan “keharusan alamiah” dan
“keharusan moral”.

a) Keharusan alamiah, bersifat otomatis dan tidak memerlukan suatu instansi yang
mengawasi agar suatu peristiwa dapat terjadi. Contoh: pena yang dilepas dari
tangan harus jatuh.

b) Keharusan moral adalah suatu keharusan yang didasarkan hukum moral dan tidak
bisa dijalankan dengan sendirinya. Hukum moral adalah “kewajiban” yang
mengarahkan manusia untuk mau melakukan sesuatu. Contoh: buku yang
dipinjam harus dikembalikan. Buku tersebut tidak mungkin kembali ke
perpustakaan dengan sendirinya jika manusia tidak memiliki kehendak untuk
mengembalikannya.

6. Etika: Ilmu tentang Moralitas

a) Etika deskriptif, yaitu melukiskan tingkah laku moral dalam arti luas dan mempelajari
moralitas yang terdapat pada individu atau kebudayaan tertentu tanpa memberikan
penilaian. Misalnya, seseorang menjelaskan adat mengayau kepala pada suatu
masyarakat primitif, tapi tidak mengatakan bahwa adat tersebut harus diterima atau
ditolak.

b) Etika normatif, yaitu ahli meninggalkan sikap netral, mendasarkan dan


mengemukakan pendiriannya atas norma-norma yang ada. Misalnya, seseorang tidak
hanya menjelaskan tentang adat mengayau, tapi ia juga menolak adat tersebut karena
dinilai bertentangan dengan martabat manusia. Lebih lanjut, etika normatif dapat
dibagi menjadi etika umum dan etika khusus.

c) Metaetika, yang dibahas disini bukanlah moralitas secara langsung, melainkan


ucapan-ucapan kita di bidang moralitas, yaitu pada taraf “bahasa etis” atau bahasa
yang kita gunakan di bidang moral. Metaetika sendiri termasuk dalam “filsafat
analitis”, yang menganggap analisis bahasa sebagai tugas terpenting bagi filsafat atau
bahkan sebagai satu-satunya tugas.

7. Perbedaan antara Etika sebagai Ilmu dan Ilmu-ilmu lain

Hal ini berkaitan dengan penjelasan sebelumnya mengenai etika deskriptif dan etika
normatif. Walaupun sama-sama membahas tingkah laku manusia, etika membahas dan
juga menilai suatu perilaku yang ada, apakah baik atau buruk. Sedangkan ilmu-ilmu lain
seperti antropologi, budaya, psikologi, sosiologi, sejarah, dan sebagainya, hanya
menjelaskan suatu perilaku tanpa memberikan penilaian. Karena ilmu-ilmu ini bersifat
ilmu pengetahuan empiris, maka bisa dikategorikan sebagai etika deskriptif.

8. Hakikat Etika Filosofis

Etika termasuk filsafat dan dikenal sebagai cabang filsafat yang paling tua. Walaupun
termasuk ilmu, etika sebagai filsafat bukanlah ilmu empiris yang selalu didasarkan pada
fakta dan pengalaman indrawi, tetapi hanya bergerak di bidang intelektual. Etika memiliki
kedudukan tersendiri di antara cabang filsafat lain seperti filsafat hukum, filsafat agama,
dan sebagainya. Etika membahas apa yang harus atau tidak boleh dilakukan, sehingga
tidak jarang disebut sebagai “filsafat praktis”. Yang dimaksud “praktis” disini yaitu
cabang ini langsung berhubungan dengan perilaku manusia. Namun, perlu ditekankan
pula bahwa etika bukanlah “filsafat praktis” yang bisa dipakai sebagai buku petunjuk
yang bisa membantu kita mengatasi kesulitan moral yang sedang dihadapi, karena
bidangnya tidak teknis, melainkan refleksif.

9. Peranan Etika dalam Dunia Modern

Berada di era perkembangan teknologi dan informasi yang semakin pesat – terutama
dengan adanya internet, tidak dipungkiri bahwa hal ini dapat berujung pada munculnya
beberapa peristiwa yang dianggap menonjol di situasi etis dalam dunia modern, yaitu:

a) Pluralisme moral

Dalam masyarakat-masyarakat yang berbeda, sering terlihat nilai dan norma yang
berbeda pula. Bahkan masyarakat yang sama pun bisa memiliki pluralisme moral.
Suka tidak suka, terima atau tidak, kita menerima banyak informasi tentang norma
dan nilai dari masyarakat lain yang tidak selalu sejalan dengan apa yang dianut
dalam masyarakat kita sendiri. Kita dapat mengambil contoh dari Amerika
Serikat, yang melegalkan kepemilikan senjata api oleh warga negara biasa. Bagi
mayoritas masyarakat disana, hal tersebut adalah hak suci yang tidak boleh
diganggu gugat dan mereka merasa bangga dengan hak khusus tersebut. Berbeda
dengan negara Eropa Barat yang sering dianggap liberal, mereka justru melarang
keras warganya untuk memiliki senjata api.

b) Timbulnya masalah-masalah etis baru


Ilmu pengetahuan khususnya ilmu-ilmu biomedis dan kedokteran adalah bidang
yang paling sering menjadi sumber masalah-masalah etis baru di dunia modern.
Contohnya saja masalah seperti, (1) apa yang harus kita pikirkan tentang
manipulasi genetis, terutama manipulasi gen-gen manusia, dan (2) apakah boleh
dilakukan penelitian dengan sel induk (stem cells), khususnya sel induk
embrional, yang berimplikasi membunuh kehidupan manusia yang baru demi
kemajuan ilmu pengetahuan?

c) Kepedulian etis yang tampak di seluruh dunia dengan melewati perbatasan negara

Kita telah menyaksikan sendiri betapa banyaknya gerakan-gerakan perjuangan


moral yang aktif pada taraf internasional, namun gejala yang paling mencolok
tentang kepedulian etis adalah Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi
Manusia. Deklarasi ini dianggap penting karena merupakan pernyataan pertama
yang diterima secara global karena diakui oleh semua anggota PBB. Kepedulian
etis ini tampak dalam bentuk universal, terkait dengan banyaknya masalah etis
yang juga bersifat universal, seperti perkembangan ilmu dan teknologi,
lingkungan hidup, kemiskinan di dunia ketiga, dan lain-lain. Bila pluralisme moral
menyangkut ranah pribadi, maka kepedulian etis yang universal menyangkut
ranah umum, yaitu hal-hal yang tidak bisa diserahkan kepada keputusan pribadi.

10. Moral dan Agama

Setiap agama mengandung suatu ajaran moral yang menjadi pegangan bagi perilaku
para penganutnya. Untuk beberapa aturan yang khususnya mendetail memang hanya
berlaku bagi kalangan intern suatu agama, namun aturan etis yang lain lebih umum
seperti “jangan membunuh” dan “jangan berzina” inilah yang dianggap lebih penting
karena berlaku di setiap agama. Bisa dikatakan bahwa pandangan moral yang dianut oleh
agama-agama pada dasarnya sama. Dalam konteks agama, kesalahan moral adalah dosa,
artinya orang beragama merasa bersalah di depan tuhan, karena melanggar perintah-Nya.
Dari sudut filsafat moral, kesalahan moral adalah pelanggaran prinsip etis yang
seharusnya dipatuhi. Karena itu, disini kesalahan moral pada dasarnya adalah sebuah
inkonsekuensi moral.

11. Moral dan Hukum

Moral adalah jiwa dari moralitas, karena tanpanya hukum akan kosong. Karena
kualitas hukum sebagian besar ditentukan oleh mutu moralnya, hukum tersebut harus
diukur dengan norma moral. Di sisi lain, moral juga membutuhkan hukum karena moral
akan mengawang-awang saja, kalau tidak diungkapkan dan dilembagakan dalam
masyarakat, khususnya hukum pidana. Hukum sendiri tidak akan ada gunanya apabila
tidak ditegakkan.

Walaupun ada hubungan erat antara keduanya, perlu ditekankan bahwa moral dan
hukum tidak sama. Seringkali ada ketidakcocokan dan konflik yang muncul di antara
keduanya, sehingga tidak mustahil ada suatu undang-undang yang immoral dan bahkan
harus ditolak atas pertimbangan etis. Contohnya, politik apartheid di Afrika Selatan.
Kegiatan politik di negara ini memang dijalankan dengan baik dan berlaku sesuai hukum,
namun, hukum itu harus ditentang karena semua manusia dilahirkan sama dan mereka
mempunyai martabat serta hak-hak yang sama, sehingga tidak boleh didiskriminasi
karena alasan ras atau warna kulit.

BAB II: HATI NURANI

1. Hati Nurani

Hati nurani adalah “instansi” dalam diri kita yang menilai tentang moralitas
perbuatan-perbuatan kita secara langsung, kini, dan disini. Yang dimaksud “hati nurani”
ini adalah penghayatan tentang baik atau buruk, yang berhubungan dengan tingkah laku
konkret kita. Tidak mengikuti hati nurani ini berarti menghancurkan integritas pribadi kita
dan mengkhianati martabat terdalam kita.

2. Kesadaran dan Hati Nurani

“Hati nurani” merupakan suatu kesadaran moral, yaitu “instansi” yang membuat kita
menyadari yang baik atau buruk dalam perilaku kita, sehingga dapat menyuluhi dan
membimbing perbuatan kita di bidang moral. Dengan demikian, hati nurani berkaitan erat
dengan kenyataan bahwa manusia mempunyai kesadaran. Di dalam kesadaran sendiri,
berlangsung gejala “penggandaan”, yang berarti manusia tidak hanya berperan sebagai
subjek yang melakukan suatu perbuatan baik atau buruk, tetapi juga objek.yang sadar dan
tahu dirinya yang melakukan perbuatan tersebut.

3. Hati Nurani Retrospektif dan Hati Nurani Prospektif

Hati nurani retrospektif memberi penilaian tentang perbuatan-perbuatan yang telah


berlangsung di masa lampau. Ia seakan-akan melihat ke belakang dan menilai perbuatan
yang sudah lewat. Jika hal tersebut baik, hati nurani akan memuji atau memberi rasa puas,
namun jika hal tersebut buruk, maka hati nurani akan mencela atau menuduh. Ada pula
yang disebut hati nurani prospektif, yaitu hati nurani yang melihat ke depan dan menilai
perbuatan yang akan datang. Hati nurani ini mengajak kita melakukan atau melarang
suatu perbuatan, sehingga bisa dikatakan bahwa hati nurani prospektif menunjuk kepada
hati nurani retrospektif yang akan datang.

4. Hati Nurani Bersifat Personal dan Suprapersonal

a) Personal, berkaitan erat dengan pribadi yang bersangkutan. Tidak ada dua manusia
yang memiliki dua hati nurani yang persis sama, karena hati nurani berkembang
bersama dengan seluruh kepribadian kita. Selain itu, hati nurani hanya berbicara atas
nama saya. Hati nurani hanya menilai perbuatan saya sendiri, dan tidak memberi
penilaian tentang perbuatan orang lain.

b) Suprapersonal, yaitu sebagai “instansi” yang melebihi dan berada di atas kita. Sering
disebut sebagai suara hati, kata hati, dan suara batin. Kita seakan-akan menjadi
“pendengar”, mengambil sikap reseptif dan membuka diri terhadap suara yang datang
dari luar. Bahkan bagi orang yang beragama, hati nurani memiliki dimensi religius
sehingga sering mengatakan hati nurani sebagai suara Tuhan.

5. Hati Nurani adalah Normal Moral Terakhir

Walaupun mengikat kita secara mutlak, putusan hati nurani sebagai norma moral
terakhir bersifat subyektif dan belum tentu perbuatan yang dilakukan atas desakan hati
nurani adalah baik secara obyektif. Hati nurani memang membimbing dan menjadi
patokan untuk perilaku kita, tapi yang sebenarnya diungkapkan oleh hati nurani bukan
baik buruknya perbuatan itu sendiri, melainkan bersalah tidaknya si pelaku. Manusia
bukan saja wajib untuk mengikuti kata hati, tapi wajib mengembangkan hati nurani dan
seluruh kepribadian etis sampai matang dan seimbang. Pada orang yang dewasa dalam
bidang etis, putusan subyektif dari hati nurani akan sesuai dengan kualitas moral obyektif
dari perbuatannya.

6. Pembinaan Hati Nurani

Walaupun harus dididik keduanya, pada kenyataannya pendidikan akal budi jauh lebih
gampang dijalankan dibandingkan pendidikan hati nurani. Pendidikan akal budi, atau
pendidikan formal (sekolah), memiliki tujuan untuk mengembangkan dan mendidik akal
budi anak-anak. Hasilnya sendiri bisa sangat optimal karena metode-metode yang harus
dilakukan jauh lebih jelas. Sedangkan pendidikan hati nurani jauh lebih kompleks
sifatnya, karena tempat yang serasi untuk pendidikan moral adalah keluarga. Pendidikan
tersebut harus dijalankan sedemikian rupa sehingga anak menyadari tanggung jawabnya
sendiri. Mungkin awalnya anak hanya menyesuaikan diri dengan kehendak pendidik,
namun selanjutnya anak harus bisa memiliki kepekaan batin yang baik. Anak bisa
berkembang dengan baik dan bisa mandiri dalam menjalankan kewajiban mereka karena
keyakinan, dan bukan paksaan dari luar, selama ia berada di lingkungan keluarga dengan
iklim moral yang serasi dan menunjang.

7. Pandangan Freud tentang Struktur Kepribadian

a) Id

Id adalah suatu ketidaksadaran, yaitu lapisan paling fundamental dalam susunan psikis
seorang manusia. Id meliputi segala sesuatu yang bersifat impersonal atau anonym,
tidak disengaja atau tidak disadari, dalam daya-daya mendasar yang menguasai
kehidupan psikis. Isinya sendiri mencakup naluri bawaan, khususnya naluri seksual
serta agresif, serta keinginan-keinginan yang direpresi. Id dipimpin oleh prinsip
kesenangan dan merupakan hal yang dianggap normal dan universal.

b) Ego

Ego bisa bersifat sadar, prasadar, maupun tak sadar, tapi sebagian besar bersifat sadar.
Aktivitas sadar bisa disebut persepsi lahiriah, batiniah, dan proses-proses intelektual.
Contoh untuk aktivitas prasadar dapat dikemukakan sebagai fungsi ingatan.
Sedangkan aktivitas tak sadar dijalankan oleh ego melalui defense mechanism. Ego
dikuasai prinsip realitas dan bergerak sesuai tuntutan-tuntutan sosial. Tugas ego
adalah mempertahankan kepribadiannya sendiri dan menjamin penyesuaian dengan
alam sekitar, serta mengontrol apa yang mau masuk di kesadaran dan apa yang akan
dikerjakan.

c) Superego

Superego termasuk ego, dan mempunyai susunan psikologis yang lebih kompleks,
tetapi juga mempunyai kaitan sangat erat dengan id. Superego menempatkan diri di
hadapan ego serta memperlakukannya sebagai obyek dan caranya kerap kali sangat
keras, sehingga ketidakcocokan antara keduanya akan menyebabkan munculnya rasa
bersalah, menyesal, malu, dan sebagainya. Superego adalah instansi yang melepaskan
dairi dari ego dalam bentuk observasi diri, kritik diri, larangan dan tindakan refleksi
lainnya. Superego dibentuk selama kanak-kanak melalui jalan internalisasi dan faktor-
faktor represif yang dialami seseorang sepanjang perkembangannya.

8. Hubungan Hati Nurani dengan Superego

Hati nurani dan superego sendiri tidak bisa disamakan, karena konteks kedua paham
sangat berbeda. Berikut adalah perbedaannya dalam bentuk tabel:

Hati Nurani Superego


1. Konteks etis 1. Konteks psikoanalitis (metapsikologis)
2. Berfungsi pada taraf sadar, karena 2. Dalam aktivitas tidak sadar, sumber atau
jika tidak disadari, tidak mungkin rasa bersalah bisa tetap tidak disadari
menjadi suatu penuntun atau penyuluh
di bidang moral
3. Cakupan hati nurani cenderung lebih 3. Superego meliputi fungsi observasi diri dan
sempit dibandingkan fungsi superego ideal dari aku (gambaran yang dipakai subyek
untuk menguku dirinya dan sebagai standar
yang harus dikejar)

9. Enam Tahap Perkembangan Moral oleh L. Kohlberg

Tingkat Pertumbuhan Tahap Pertumbuhan Perasaan


Tingkat Pramoral (0-6 tahun) Tahap 0
Perbedaan antara baik dan
buruk belum didasarkan
atas kewibawaan atau
norma-norma
Tingkat Prakonvensional Tahap 1 Takut akan akibat negatif
Perhatian khusus untuk Anak berpegang pada
dari perbuatan
akibat perbuatan: hukuman, kepatuhan dan hukuman.
ganjaran; motif-motif Takut akan kekuasaan dan
lahiriah dan partikular berusaha menghindari
hukuman

Tahap 2
Anak mendasarkan diri
atas egoism naïf yang
kadang ditandai relasi
timbal-balik: do ut des
Tingkat Konvensional Tahap 3 Rasa bersalah terhadap
Perhatian juga untuk maksud Orang berpegang pada
orang lain bila tidak
perbuatan: memenuhi keinginan dan persetujuan
mengikuti tuntutan-tuntutan
harapan, mempertahankan dari orang lain
lahiriah
Ketertiban
Tahap 4
Orang berpegang pada
ketertiban moral dengan
aturannya sendiri
Tingkat Pascakonvensional Tahap 5 Penyesalan atau
Orang berpegang pada
atau Tingkat Berprinsip penghukuman diri karena
Hidup moral adalah persetujuan demokratis,
tidak mengikuti pengertian
tanggung jawab pribadi atas kontrak sosial, konsensus
moralnya sendiri
dasar prinsip-prinsip batin : bebas
maksud dan akibat-akibat
Tahap 6
tidak diabaikan motif-motif Orang berpegang pada hati
batin dan universal nurani pribadi, yang
ditandai oleh keniscayaan
dan universalitas

10. Kritik oleh Carol Gilligan atas Tahap Perkembangan Moral oleh L. Kohlberg

Carol Gilligan mengkritik bahwa penelitian Kohlberg hanya memperhatikan anak


laki-laki dan mengandaikan begitu saja bahwa dalam hal ini tidak ada perbedaan antara
kedua gender. Padahal penelitian komparatif menunjukkan bahwa perempuan lebih peduli
dengan orang yang sedang susah dan lebih merasa bertanggung jawab untuk
memperhatikan serta meringankan penderitaan yang ada di sekitarnya. Sedangkan
kewajiban moral laki-laki lebih terarah pada penghormatan orang lain dan sifatnya lebih
negatif dalam arti tidak campur tangan dengan urusan orang lain.

11. Shame Culture dan Guilt Culture

Shame culture adalah kebudayaan dimana pengertian seperti hormat, reputasi, nama
baik, status, prestise, pamor, pesona, dan gengsi sanga ditekankan. Bila orang melakukan
suatu kejahatan, yang paling penting ialah tidak ada orang yang mengetahui perbuatan
jahat tersebut. Jika sampai diketahui, pelakunya merasa malu. Dalam shame culture,
sanksinya datang dari luar, yaitu apa yang dipikirkan atau dikatakan orang lain.

Sebaliknya, guilt culture adalah kebudayaan dimana dosa, kebersalahan, dan


sebagainya lebih dipentingkan. Walaupun suatu kejahatan tidak akan pernah diketahui
oleh orang lain, namun pelaku tetap merasa bersalah dan kurang tenang, bukan karena
tanggapan pihak orang lain. Jadi, dalam guilt culture, sanksinya berasal dari dalam, yaitu
dari batin orang bersangkutan.

Dulu, beberapa ahli membedakan bahwa hampir semua kebudayaan Asia adalah
shame culture dan kebudayaan Barat adalah guilt culture, dengan mengaitkan apakah
suatu kebudayaan lebih terbelakang atau lebih maju. Namun, Clifford Greetz
menganggap paham-paham tersebut terlalu dekat satu sama lain untuk dapat dibedakan
dengan jelas.

BAB III: KEBEBASAN DAN TANGGUNG JAWAB

Pengertian kebebasan dan tanggung jawab mempunyai hubungan yang timbal balik.
Konsekuensi dari suatu kebebasan adalah tanggung jawab dan tanggung jawab tidak mungkin
terjadi tanpa kebebasan.

KEBEBASAN

1. Pengalaman tentang Kebebasan

Dalam hidup setiap orang, kebebasan merupakan bagian yang hakiki. Setiap orang
mempunyai kebebasan, namun tidak semua orang dengan mudah merefleksikan
pengalaman tentang kebebasannya. Pengalaman mempunyai status sendiri yang tidak
bisa dicampurkan dengan pengalaman yang lain, apabila ingin diuji secara empiris.
Saat ingin diuji secara empiris, pengalaman harus direfleksikan dengan
mengaitkannya dengan aturan ilmu empiris, seperti harus ditimbang dengan baik,
diuji, dan dianalisis secara statistik. Dalam hal ini, pengalaman yang seharusnya
memiliki kebebasan, justru menjadi tidak memiliki kebebasan. Hal ini diakibatkan
karena pengalaman yang diambil berfokus pada pengalaman lahiriah saja, belum
mempertimbangkan pengalaman batin yang timbul.
Pengalaman batin ini yang akan menyatakan kebebasan individu. Kebebasan
disini adalah hubungan antara “aku konkret” dan perbuatan yang dilakukannya,
menurut Henri Bergson (1859-1941). Tugas pokok filsafat dalam hal ini adalah secara
kritis merefleksikan serta menjelaskan apa yang individu alami secara spontan.

2. Beberapa Arti Kebebasan


 Kebebasan Sosial-Politik
Kebebasan sosial politik harus dibedakan dengan kebebasan individual. Subyek
dari kebebasan sosial- politik disini adalah suatu bangsa atau rakyat. Sedangkan
pada kebebasan individual yang menjadi subyek adalah individu itu sendiri.
Dalam sejarah modern, dapat dibedakan menjadi dua bentuk, yakni: (1) kebebasan
rakyat versus kekuasaan absolut, dan (2) kemerdekaan versus kolonialisme.

 Anatomi Kebebasan Individual

Kebebasan dalam arti sosial politik berkaitan erat dengan etika. Namun,
kebebasan sosial- politik tidak dibahas lebih lanjut, karena sering menjadi bahasan
dalam etika politik. Bukan dalam etika umum. Bagi etika umum sendiri, yang
lebih penting adalah kebebasan individual. Kebebasan tersebut dapat dibedakan
menjadi:

1. Kesewenang- wenangan

Kebebasan acap kali dimengerti sebagai kesewenang-wenangan


(arbitrariness). Orang seringkali disebut bebas bila ia dapat berbuat atau tidak
berbuat sesuka hatinya. Kebebasan dalam arti ini dilihat sebagai izin untuk
melakukan kesempatan berbuat semau gue.

Kebebasan dalam arti kesewenang-wenangan sebenarnya tidak pantas


digolongkan sebagai kebebasan. Sebab bebas disini harus dimaknai sebagai
“lepas dari segala keterikatan”. Misal seseorang yang bebas melakukan seks
bebas, tidak bisa dikatakan menjadi orang yang bebas, jika pada akhirnya ia
harus terikat pada konsekuensi untuk bertanggung jawab moral kepada
pasangannya.
2. Kebebasan Fisik

Kebebasan fisik berarti bebas dari segala paksaan dan rintangan dari luar yang
menyebabkan orang tersebut bisa bergerak kemana saja tanpa hambatan
apapun. Namun, pada kenyataannya seseorang bisa saja tidak menikmati
kebebasan fisik, namun justru mengalami kebebasan yang sesungguhnya.
Sebaliknya, bisa jadi secara fisik orang tersebut bebas, namun tidak
mengalami kebebasan yang sesungguhnya. Misalkan ada orang yang bebas
melangkahkan kakinya ke perjudian, namun konsekuensi dari kalahnya
bermain judi justru membuat dirinya tidak lagi bebas, seperti harus
menanggung utang sepanjang hidupnya.

3. Kebebasan Yuridis

Kebebasan yuridis berkaitan dengan hukum dan harus dijamin oleh hukum.
Kebebasan yuridis ini sudah lama menjadi bagian dari hak-hak asasi manusia
yang dijamin melalu declaration of human right. Yang dimaksud dalam
kebebasan disini adalah syarat-syarat fisis dan sosial perlu dipenuhi agar dapat
menjalankan kebebasan kita secara konkret. Kebebasan yuridis juga
dimaksudkan untuk menjamin manusia akan syarat hidupnya dibidang
ekonomi, sosial dan politik yang diperlukan manusia untuk menjalankan
kebebasan manusia secara konkret.

4. Kebebasan Psikologis

Kebebasan psikologis mencakup kemampuan manusia untuk


mengembangkan serta mengarahkan hidupnya. Kebebasan psikologis adalah
kehendak bebas (free will). Kebebasan ini berkaitan dengan kebebasan
manusia menentukan hidupnya berdasarkan rasio yang dimilikinya.
Kebebasan psikologis terutama akan tampak saat manusia menentukan
pilihannya. Namun, yang paling penting justru pada bagaimana manusia bisa
setia pada kemungkinan yang dipilihnya. Yang menjadi hakikatnya adalah
kemampuan manusia untuk menentukan dirinya sendiri.

5. Kebebasan Moral
Kebebasan moral berkaitan erat dengan kebebasan psikologis, namun tidak
boleh disamakan dengannya. Walaupun terdapat kebebasan psikologis belum
tentu juga kita mendapatkan kebabasan moral dan sebaliknya jika
mendapatkan kebebasan moral belum tentu juga mendapatkan kebebasan
psikologis. Kebebasan psikologis bisa diartikan sebagai bebas begitu saja
(free), sedangkan kebebasan moral berarti sukarela (voluntary). Seseorang bisa
dikatakan memiliki kebebasan moral, bila orang tersebut tidak mengalami
tekanan atau paksaan moral dalam menentukan dirinya sendiri.

6. Kebebasan Eksistensial

Kebebasan eksistensial adalah bentuk dari kebebasan yang tertinggi. Orang


yang bebas secara eksistensial akan “memiliki dirinya sendiri” dalam artian
bebas secara otonomi. Orang yang bebas secara eksistensial akan berbuat baik
karena hatinya melekat kepada kebaikan. Ia berbuat baik karena dirinya
sendiri menyukai kebaikan, bukan karena iming-iming atau imbalan dari luar.

3. Beberapa Masalah mengenai Kebebasan


a. Kebebasan negatif dan kebebasan positif
Kebebasan secara negatif bisa dijelaskan sebagai “kebebasan untuk” dan
kebebasan dalam artian negatif bisa dijelaskan sebagai “kebebasan dari”. Dalam
banyak hal, yang paling sering dipahami dari kebebasan adalah, kebebasan
negatif. Contohnya setelah memenuhi tanggung jawab membayar pajak, maka
individu memiliki kebebasan dari ancaman hukum.

b. Batas-batas kebebasan
Sattre berpendapat bahwa tidak ada batas-batas lain untuk kebebasan daripada
batas-batas yang ditentukan oleh manusia itu sendiri. Batas-batas kebebasan yang
paling penting diantaranya adalah:
1. Faktor-faktor dari dalam
Kebebasan pertama-tama dibatasi oleh faktor-faktor dari dalam, baik fisik
maupun psikis. Kebebasan yang dimaksudkan disini dibatasi secara nature-
nurture individu bebas. Sebagai contoh, ada orang-orang tertentu yang karena
faktor nature yakni dari warisan gen mempunyai temperamen pemarah, hal ini
menyebabkan ia terbatas pada kebebasan. Ada pula orang-orang yang terbatas
dari kebebasan karena faktor nurture contohnya orang yang tidak bebas untuk
menempuh akses pendidikan karena lingkungannya tidak mendukung.

2. Lingkungan

Kebebasan dibatasi oleh lingkungan, baik alamiah maupun sosial. Sebagai


contoh, Indonesia terbatas kebebasannya untuk mengembangkan minat
masyarakat dibidang ski karena secara lingkungan beriklim tropis.

3. Kebebasan orang lain

Semua kebebasan kita dibatasi juga oleh kebebasan milik orang lain.
Misalkan, sejatinya kita bebas memilih dan memutar lagu dengan volume
yang kita inginkan, namun akhirnya menjadi tidak bebas karena harus
memperhatikan kebebasan orang lain untuk mendapatkan suasana yang
tenang.

4. Generasi- generasi mendatang


Kebebasan kita dibatasi oleh kebebasan masa depan umat manusia. Sebagai
contoh, walaupun pada zaman ini kita hidup pada lingkungan yang berlimpah
ruah sumber daya alam, kita tidak bebas menggunakannya sesuai kehendak
kita, karena ada pertimbangan generasi mendatang yang masih butuh
menggunakan sumber daya alam di masa yang akan datang.

4. Kebebasan dan Determinisme

Determinisme yang dimaksudkan disini adalah suatu sifat yang menandai alam.
Maksudnya, kejadian-kejadian dalam alam berkaitan satu sama lain menurut
keterikatan yang tetap.

TANGGUNG JAWAB

Bertanggung jawab dapat diartikan: dapat menjawab, bila ditanyai tentang perbuatan-
perbuatan yang dilakukan. Lebih lanjut, orang yang bertanggung jawab, bukan saja bisa
menjawab ketika ditanya, namun harus menjawab pertanyaan tersebut.

1. Tanggung Jawab dan Kebebasan

Kebebasan adalah syarat mutlak untuk bertanggung jawab. Syarat dari tanggung
jawab adalah bebas untuk dapat dianggap bertanggung jawab. Bebas disini
dikerucutkan sebagai kebebasan berpikir atau berasio. Oleh karena manusia
merupakan makhluk yang diberikan kemampuan berasio, maka yang acapkali
dilekatkan dengan tanggung jawab adalah manusia, bukan hewan atau makhluk
lain.

Tanggung jawab sendiri bisa bersifat langsung maupun tidak langsung. Tanggung
jawab bersifat langsung, jika pelaku bertanggung jawab atas perbuatan yang ia
lakukan sendiri. Namun, tanggung jawab menjadi tidak langsung jika harus orang
lain yang menggantikan kewajiban bertanggung jawab. Sebagai contoh, jika anak
dibawah umur melakukan tabrak lari, maka yang bertanggung jawab adalah orang
tuanya, tidak langsung dibebankan kepada anak yang melakukan tabrak lari
tersebut.

Seperti halnya hati nurani, tanggung jawab juga terdiri dari tanggung jawab
retrospektif dan tanggung jawab prospektif. Tanggung jawab retrospektif adalah
tanggung jawab atas perbuatan yang telah berlangsung, sedangkan tanggung
jawab prospektif maksudnya adalah tanggung jawab atas hal-hal yang akan
datang.

2. Tingkat-tingkat Tanggung Jawab

Tanggung jawab mempunyai tingkatannya sendiri tergantung pada alasan dan


kondisi yang menyebabkan konsekuensi bertanggung jawab itu terjadi.
Contohnya, seseorang walaupun sama-sama melakukan perbuatan mencuri, bisa
saja mempunyai tingkat tanggung jawab yang berbeda, tergantung pada alasan dan
kondisi yang mendasari perbuatan mencuri tersebut. Untuk lebih memahami,
berikut contoh kasus tingkat-tingkat tanggung jawab:

a Ali mencuri, tapi ia tidak tahu bahwa ia mencuri dimana ia mengira bahwa
ia mengambil tasnya sendiri karena memiliki bentuk dan warna yang sama.
Disini kita tidak bisa menyebut Ali mencuri, maka dari itu definisi mencuri
harus ditambahkan “dengan sengaja”. Namun perbuatan Ali bisa dianggap
mencuri apabila ia tidak mengembalikan tas tersebut kepada pemiliknya,
maka ia harus bertanggung jawab.

b Budi mencuri, karena dia seorang kleptoman. Kleptoman merupakan


kelainan jiwa dimana ia mengalami paksaan batin untuk mencuri. Disini
Budi tidak bertanggung jawab karena tidak ada kebebasan psikologis.
Tetapi misalnya perbuatan Budi mencuri hanya untuk objek-objek spesifik
seperti pakaian dan suatu ketika Budi mencuri uang maka tidak mustahil
bahwa perbuatan mencuri uang ini merupakan keputusan bebas (bukan
kleptoman) sehingga ia harus bertanggung jawab, biarpun bobot tanggung
jawabnya mungkin lebih ringan dibandingkan dengan orang yang normal.

c Cipluk mencuri, karena dalam hal ini ia sangka ia boleh mencuri. Cipluk
merupakan seorang janda yang harus menghidupi lima anaknya. Sudah
beberapa hari mereka tidak makan. Cipluk menggunakan berbagai cara
untuk mendapatkan uang, bahkan dengan mengemis. Suatu ketika dia
mendapat kesempatan untuk mencuri tas berisikan uang. Disini ia
menghadapi konflik kewajiban, dimana ia wajib menghormati miliki orang
lain dan juga wajib memperjuangkan keselamatan anaknya. Dan akhirnya
Cipluk memprioritaskan untuk keselamatan anaknya sehingga ia mencuri
tas tsb. Pada kasus tersebut, Cipluk bertanggung jawab karena
perbuatannya dilakukan secara bebas. Namun secara etika, ia tidak
bersalah.

d Darso mencuri, karena orang lain memaksa dia dengan mengancam


nyawanya. Dalam kasus ini, Darso tidak bebas dan karena itu ia juga tidak
bertanggung jawab atas perbuatannya.

e Eko mencuri, karena ia tidak bisa mengendalikan nafsunya. Untuk kasus


tersebut, Eko bertindak bebas sehingga ia harus bertanggung jawab
terhadap perbuatannya

3. Masalah Tanggung Jawab Kolektif

Beberapa etikawan menerima kemungkinan tanggung jawab kolektif, tapi


lebih banyak menolaknya. Terkadang kita pun terkesan menangkap bahwa
tanggung jawab kolektif memang ada, sebagai contoh konflik dan pembantaian
Muslim di Poso, tanpa sadar ada justifikasi bahwa yang bertanggung jawab atas
konflik ini adalah orang-orang non muslim karena sebagian pelaku memang
orang-orang non muslim. Padahal belum tentu, semua orang-orang non muslim
terlibat dalam konflik ini.
Tanggung jawab kolektif sulit diterima, karena terkadang terdapat justifikasi
seperti ilustrasi di atas. Padahal secara individual ada orang-orang yang tidak
terlibat dan melakukannya namun harus ikut bertanggung jawab atas perbuatan
mayoritas tersebut. Jika dipandang dari segi moral, akan sulit juga menerima
tanggung jawab secara kolektif. Karena sulit diakui bahwa seseorang bisa
bertanggung jawab atas hal-hal yang tidak dilakukannya.

BAB IV: NILAI DAN NORMA

1. Nilai pada Umumnya

Nilai merupakan sesuatu yang baik, sedangkan non nilai acapkali dikaitkan dengan
tidak mempunyai nilai-nilai yang baik. Salah satu cara mendeskipsikan apa itu nilai,
adalah dengan membandingkan dengan fakta. Fakta ditemui dalam konteks
mendeskripsikan kejadian dan melukiskannya dengan sebenar-benarnya hingga diterima
oleh semua orang. Nilai justru berperan dalam mengapresiasi suatu kejadian yang sifatnya
subyektif dari masing-masing orang. Nilai sekurang-kurangnya memiliki tiga ciri yang
akan dijelaskan lewat poin di bawah ini:

1. Nilai berkaitan dengan subyek


Subyek dibutuhkan untuk melakukan penilaian. Jika tidak terdapat subyek maka
nilai tidak akan muncul.

2. Nilai tampil dalam konteks praktis

Nilai akan muncul jika dipraktekkan, bukan menyoal hal-hal yang teoritis saja.
Atau dengan kata lain ada hasil dari suatu perbuatan yang bisa diapresiasi.

3. Nilai-nilai menyangkut sifat-sifat yang ditambah oleh subyek pada sifat-sifat yang
dimiliki oleh suatu obyek

2. Nilai Moral

1. Hakikat Nilai Moral

Nilai moral tidak terpisah dari kategori nilai-nilai lainnya, karena setiap nilai pasti
memiliki bobot moralnya masing-masing.

2. Ciri-ciri moral dibandingkan dengan nilai non moral


 Berkaitan dengan tanggung jawab kita
Nilai moral berkaitan dengan pribadi manusia. Yang paling jelas menandai nilai
moral adalah nilai ini berkaitan dengan manusia yang mempunyai tanggung
jawab. Dalam konteks ini manusia itu sendiri yang menjadi sumber dalam nilai
moralnya. Manusia sendiri yang menentukan tanggung jawabnya masing-masing
lewat kehendak perbuatan yang akan ia lakukan, baik atau buruk.

 Berkaitan dengan hati nurani

Nilai selalu mengandung imbauan yang berasal dari hati nurani. Salah satu ciri
khas dari nilai moral adalah hanya nilai ini yang dapat menimbulkan “suara” hati
kita bila kita menentang nilai-nilai moral dan juga mengapresiasi kita jika kita
bertingkah laku sejalan dengan nilai moral.

 Mewajibkan
Nilai-nilai moral mewajibkan kita secara absolut ddan dengan tidak bisa ditawar-
tawar. Disini nilai-nilai moral dapat dibedakan dengan nilai-nilai lainnya jika
merujuk pada Kant yang membagi nilai menjadi imperatif hipotesis dan imperatif
kategoris.

Pada imperatif kategoris, nilai-nilai tersebut mewajibkan kita melakukan sesuatu


tanpa syarat, sedangkan pada imperatif hipotesis, kita melakukannya dengan
syarat. Maksudnya adalah, jika kita tidak memberi syarat pada suatu perbuatan,
maka kita tidak perlu melalukannya. Nilai-nilai moral sebaliknya, harus dilakukan
tanpa syarat apapun dan tidak bisa ditawar pelaksanaannya. Kewajiban untuk
melakukan nilai-nilai moral merupakan kewajiban absolut, yakni berasal dari
kenyataan bahwa nilai-nilai ini berlaku bagi manusia yang kodratnya sebagai
manusia yang memiliki rasio dan harus mempunyai acuan dalam hidupnya.

 Bersifat Formal
Nilai moral bersifat formal artinya nilai moral tersebut tidak dapat terlepas dengan
nilai yang lainnya. Meskipun sebelumnya telah dijelaskan bahwa nilai moral
seakan-akan berada pada tingkat tertinggi pada hierarki nilai, namun pada
prakteknya, nilai moral tidak dapat serta-merta dilaksanakan secara terpisah
dengan nilai-nilai lainnya.

3. Norma Moral

Dengan norma kita maksudkan aturan atau kaidah yang kita pakai sebagai tolak ukur
untuk mengukur sesuatu. Terdapat tiga macam norma umum, yaitu norma kesopanan atau
etiket, norma hukum dan norma moral. Etiket merupakan tolak ukur sopan atau tidak
sopan. Norma hukum berkaitan dengan hal-hal yang harus kita lakukan beserta dengan
konsekuensinya, sedangkan norma moral menentukan apakah perbuatan kita baik atau
buruk dalam segi etis.

Oleh karena itu, norma moral merupakan norma tertinggi yang tidak bisa dikalahkan
oleh norma yang lain. Norma moral dapat dirumuskan menjadi bentuk positif atau
negatif. Dalam bentuk positif, norma moral tampak sebagai perintah yang menyatakan
apa yang seharusnya dilakukan sedangkan dalam bentuk negatif, norma moral berperan
sebagai larangan tentang apa yang tidak boleh individu lakukan, misalkan dilarang
mencuri, dilarang membunuh dan lain sebagainya.

4. Relativisme Moral Tidak Tahan Uji

Norma moral tercantum dalam suatu sistem etis yang menjadi bagian dari
kebudayaan. Kebudayaan sendiri bersifat subyektif, oleh karenanya norma moral yang
muncul akan bermacam-macam pula. Hasil dari kebudayaan yang berbeda ini kerap kali,
membawa moral pada subyektifitas. Nilai moral yang berlaku pada kebudayaan A dimana
dinilai buruk, belum tentu dinilai buruk pula pada kebudayaan B. Pandangan etis yang
berbeda-beda ini menimbulkan relativisme moral.

Relativisme moral sendiri dimaksudkan bahwa norma moral hanya berlaku untuk
beberapa orang atau pada kelompok tertentu saja. Dalam hal ini moralitas acapkali
dianggap sebagai adat kebiasaan. Namun pendapat bahwa suatu perbuatan bisa
dinyatakan baik karena menjadi kebiasaan di lingkungan tertentu, sulit
dipertahankan.Tidak bisa digeneralisasi bahwa setiap kebudayaan memiliki kebenaran
etis sendiri-sendiri. Sehingga muncul konsekuensi yang mustahil jika pendapat
relativisme ini benar,

a. Seandainya relativisme moral benar, maka tidak bisa terjadi bahwa dalam
suatu kebudayaan mutu etis lebih tinggi atau lebih rendah daripada
kebudayaan yang lainnya. Dalam hal ini jika kebudayaan dipandang mempunyai
relativisme, maka kebudayaan akan kebal terhadap kritik atas praktek-praktek
moralnya. Padahal, setiap orang berhak mengkritik masyarakat lain yang
menggunakan norma-norma moral yang tidak semestinya. Hal ini membawa
keyakinan bahwa mutu etis setiap masyarakat tidaklah sama. Contohnya, pada
zaman yang lampau, perbudakan adalah hal yang dianggap sebagai perilaku yang
etis-etis saja karena sudah berdasarkan adat tradisi yang diturunkan turun temurun.
Hal ini jelas membutuhkan kritik yang serius, karena tidak mengandung
nilai moral semestinya.
b. Seandainya relativisme moral benar, maka kita hanya perlu memperhatikan
kaidah moral suatu masyarakat untuk mengukur baik tidaknya perilaku
manusia dalam masyarakat itu. Jika berpatokan pada relativisme maka norma
moral di setiap masyarakat harus dianggap benar dan tidak memungkinkan adanya
evaluasi. Misalkan acapkali kita lihat ada beberapa kebudayaan yang masih
dipertahankan yang sudah tidak sesuai dengan masa sekarang dan masih
mempertahankan adat kebiasaan yang tidak pantas secara moral. Sebagai contoh,
masih ada beberapa kebudayan yang berpandangan harus mengorbankan nyawa
untuk persembahan kepada Tuhan untuk mendapatkan berkah dan menghindari
malapetaka. Dipandang secara etis, tidak semua kebudayaan memiliki moral yang
sempurna
c. Seandainya relativisme moral benar, maka tidak mungkin terjadi kemajuan
di bidang moral. Kemajuan akan terjadi jika sesuatu yang buruk diganti dengan
sesuatu yang baik. Namun menurut relativisme moral hal ini memungkinkan
diganti jika ada pergantian sejarah. Hal ini tentunya, akan menimbulkan
pengabaian jika ada moralitas yang salah dan penggantiannya harus menunggu
sejarah yang baru dan justru akan berdampak pada kemunduran moral.

5. Norma Moral bersifat Obyektif dan Universal

Jika kita sepakat bahwa norma moral pada dasarnya adalah absolut, maka kita akan
menerima bahwa norma moral bersifat obyektif dan universal.

 Objektivitas Norma Moral


Baik buruknya sesuatu dalam arti moral tidak tergantung pada selera pribadi.
Bukan manusia sendiri yang menentukan norma moral. Nilai dan norma moral
justru mewajibkan kita untuk melakukan sesuatu. Hal ini yang menjadi titik ukur
obyektifitas nilai moral.

 Universalitas norma moral


Jika norma moral bersifat sbsolut, maka norma itu harus juga universal, artinya
berlaku selalu dimana-mana dalam konteks apapun. Namun pendapat ini ditentang
oleh etikawan yang menganut etika situasi, karena menurut pandangan mereka,
norma moral berlaku tergantung pada situasi. Pendapat etika situasi ini tidak dapat
dipertahankan, karena:
1. Perbuatan moral tertentu tidak terganggu pada situasi, contohnya dalam kasus
pemerkosaan. Perbuatan ini tidak bisa diterima bagaimanapun situasinya,
karena mengedepankan nafsu tanpa mempertimbangkan nilai-nilai moral.
2. Pada beberapa masalah etika, permasalah etis tidak disebabkan karena
terjadinya konflik antara norma dan situasi.

6. Menguji Norma Moral

Norma moral dapat diuji dengan yang pertama adalah dengan tes konsistensi. Suatu
norma moral haruslah konsisten diterapkan pada waktu kapanpun dan dalam konteks
apapun. Norma dalam hal ini haruslah mempunyai konsistensi internal, maksudnya
adalah suatu norma harus konsisten jika dibandingkan dengan norma-norma lain.

Bentuk pengujian norma yang lain adalah dengan generalisasi norma.


Menggeneralisasi norma berarti memperlihatkan bahwa norma itu bisa diterapkan pada
semua orang. Orang yang pertama kali menekankan pentingnya generalisasi moral adalah
Imanuel Kant. Menurut Kant, generalisasi norma berarti “Prinsip yang saya pakai untuk
tingkah laku saya selalu harus saya hendaki bahwa orang lain pun memakai prinsip yang
sama”. Generalisasi norma ini juga menjadi dasar bagi apa yang dalam etika dikenal
sebagai “the golden rule” yakni “Hendaklah memperlakukan orang lain sebagaimana
Anda sendiri ingin diperlakukan”.

7. Norma dasar terpenting: Martabat Manusia

Untuk merefleksikan tentang martabat manusia ini, kita bisa merujuk pada pandangan
Immanuel Kant. Kant berpendapat bahwa kita harus menghormati martabat manusia,
karena manusia adalah satu-satunya makhluk yang merupakan tujuan pada dirinya.
Lebih lanjut kewajiban untuk menghormati martabat manusia, oleh Kant dirumuskan
sebagai berikut: “Hendaklah memperlakukan manusia selalu juga sebagai tujuan pada
dirinya dan tidak pernah sebagai sarana belaka” Dalam hal ini manusia harus
diperlakukan sebaik-baiknya, dan memperalat manusia adalah hal yang menginjak-injak
martabat manusia, karenanya memperalat manusia bertentangan dengan norma.

Martabat manusia seringkali menyangkut kewajiban saya terhadap orang lain. Tapi
martabat manusia menyangkut juga kewajiban saya terhadap diri saya sendiri sebagai
manusia. Kant menulis bahwa perintah yang merumuskan kewajiban menghargai diri
sendiri yang sama pentingnya dengan menghargai martabat manusia lain, sebagai
berikut: “Hendaklah memperlakukan kemanusiaan, baik dalam diri Anda sendiri maupun
dalam orang lain, selalu juga sebagai tujuan pada dirinya dan tidak pernah sebagai
sarana belaka.”

BAB V: HAK DAN KEWAJIBAN

1. Hakikat Hak

Hak adalah klaim yang dirancang oleh orang atau kelompok yang satu terhadap yang
lain atau masyarakat dimana orang yang mempunyai hak bisa menuntut orang lain untuk
memenuhi dan menghormati hak itu. Hal yang penting disini adalah klaim yang dimaksud
adalah klaim yang sah atau dibenarkan. Seseorang tidak boleh mengklaim milik orang
lain sebagai orang lain sebagai miliknya atau merasa berhak terhadap kepemilikan barang
orang lain.

2. Hak Legal dan Moral

Hak legal adalah hak yang didasarkan atas hukum dalam salah satu bentuk yang
berasal dari UU, peraturan hukum atau dokumen lainnya. Sedangkan hak moral adalah
hak yang didasarkan atas pinsip atau aturan etis saja. Hak moral benar-benar ada dan
bukan merupakan fiksi saja. Hanya saja perlu waktu yang lama untuk mengakui hak
moral secara universal. Tidak diakui bukan berarti tidak ada. Bahkan sebelum ada negara,
pemerintah dan undang-undang di awal sejarah sudah ada hak moral. Hak moral dan hak
legal sendiri saling berhubungan, dimana hak legal yang ideal adalah yang
mempertimbangkan hak moral atau moralitas, sedangkan hak moral membutuhkan
legalitas agar bisa diakui oleh masyarakat secara universal.
3. Hak Khusus dan Hak Umum

Hak khusus timbul dalam suatu relasi khusus antara beberapa manusia atau karena
fungsi khusus yang dimilki orang satu terhadap orang lain. Contoh: jika kita meminjam
Rp 10.000 dari orang lain dengan janji akan saya akan kembalikan dalam dua hari, maka
orang lain mendapat hak yang dimiliki orang lain. Sedangkan hak umum adalah hak yang
dimiliki manusia bukan karena hubungan atau fungsi tertentu, melainkan semata-mata
karena ia manusia. Hak ini dimilki oleh semua manusia tanpa kecuali. Di Indonesia, hak
ini disebut dengan “hak asasi manusia”.

4. Hak Positif dan Hak Negatif

Suatu hak bersifat negatif, jika seseorang bebas untuk melakukan sesuatu atau
memiliki sesuatu dalam arti orang lain tidak boleh menghindari seseorang tersebut untuk
melakukan atau memilki hal itu. Contohnya, hak atas kehidupan, hak mengemukakan
pendapat.

Suatu hak dapat bersifat positif, jika saya berhak bahwa orang lain berbuat sesuatu
untuk saya. Contohnya, seorang anak kecil yang tercebur masuk ke kolam renang berhak
untuk diselamatkan oleh orang lain yang melihat kejadian tersebut. Contoh hak positif
yang lain adalah hak atas makanan, pendidikan, pelayanan, kesehatan, pekerjaan yang
layak, dan lain-lain.

5. Hak Individual dan Hak Sosial

Hak individual merupakan hak yang dimiliki individu-individu terhadap negara.


Misalnya, negara tidak boleh menghindari atau mengganggu individu dalam mewujudkan
hak-hak yang ia milki. Contohnya, hak beragama, hak mengikuti hati nurani, hak
mengemukakan pendapat. Sedangkan, hak sosial disini bukan hanya hak kepentingan
terhadap negara saja, akan tetapi merupakan hak sebagai anggota masyarakat bersama
dengan anggota-anggota lain yang bersifat positif. Contohnya, hak atas pekerjaan, hak
atas pendidikan, dan hak atas pelayanan kesehatan.

6. Ada Hak yang Bersifat Absolut?

Hak tidak ada yang absolut, karena menurut ahli etika, kebanyakan hak adalah hak
prima facie atau hak pada pandangan pertama yang artinya hak itu berlaku sampai
dikalahkan oleh hak lain yang lebih kuat. Tetapi, ada hak yang mempunyai peluang lebih
besar untuk dianggap absolut, yaitu hak-hak negatif pasif, atau setidak-tidaknya beberapa
di antara hak-hak negatif pasif itu, karena tidak perlu berkonflik dengan hak-hak lain.
Jadi, hak yang paling berpeluang dianggap absolut adalah hak-hak yang dirumuskan
dalam pasal 5 dari Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia yang berbunyi:
“Tak seorang pun boleh dikenakan siksaan atau diperlakukan secara kejam dan tidak
berperikemanusiaan atau dikenakan hukuman yang merendahkan martabatnya”.

7. Hubungan antara Hak dan Kewajiban: Teori Korelasi

Teori korelasi berpendapat bahwa terdapat hubungan Iank ar balik antara hak
dan kewajiban. Setiap kewajiban seseorang berkaitan dengan hak orang lain dan
sebaliknya. Namun jika dipandang dari segi kewajiban, korelasi antara keduanya
tidak bisa dibenarkan sepenuhnya. Keduanya tidak dapat dikatakan berhubungan
secara mutlak dan tanpa pengecualian. Artinya, tidak selalu kewajiban satu orang
sepadan dengan hak orang lain. Dalam konteks legal, kewajiban didasarkan pada
suatu peraturan resmi, dimana tidak selalu ada hak yang sesuai dengannya. Misalnya,
pengemudi mobil wajib berhenti ketika lampu lalu lintas menunjukkan warna merah,
tapi tidak dikatakan bahwa orang lain berhak agar pengemudi tertentu berhenti.
Sedangkan dipandang dari segi hak, hubungan antara hak dan kewajiban paling jelas
terlihat dalam kasus hak-hak khusus. Artinya, setiap kali saya mempunyai hak kepada
orang lain, maka dia berkewajiban terhadap saya. Di luar hak-hak khusus sering juga
terdapat hubungan Iank ar balik, namun sifatnya tidak mutlak. Misalnya, setiap orang
mempunyai hak atas pekerjaan, itu tidak berarti bahwa saya sebagai pengusaha
mempunyai kewajiban memberikan pekerjaan kepada orang tertentu. Apalagi
lowongan yang tersedia hanya satu saja dan bukan kepada semua orang yang berhak
atas pekerjaan.

8. Kewajiban terhadap Diri Sendiri

Ada cukup banyak filsuf yang menyatakan bahwa dalam kewajiban selalu terlibat dua
pihak. Namun tidak menutup kemungkinan terdapat kewajiban terhadap diri sendiri.
Misalnya, kita wajib mempertahankan hidup kita, kita wajib mengembangkan bakat kita,
dsb. Terdapat dua catatan penting yang harus diperhatikan terkait dengan kewajiban
terhadap diri sendiri. Yang pertama ialah bahwa kewajiban terhadap diri sendiri tidak
boleh dimengerti sebagai kewajiban semata-mata terhadap diri sendiri. Sebagi makhluk
sosial, manusia tidak terlepas dari hubungan dengan orang lain. Misalnya, saya
mempunyai kewajiban untuk mempertahankan hidup saya, namun kewajiban tersebut
tidak lepas dari tanggung jawab saya terhadap keluarga, teman, serta lingkungan
dimana saya hidup. Catatan yang kedua ialah bahwa filsuf yang menerima kewajiban
terhadap diri sendiri, secara Iank are berkaitan dengan dimensi religiusitas.
Dengan kata lain kepercayaan bahwa Tuhan yang telah menciptakan manusia,
dengan begitu memberi kewajiban untuk manusia. Sehingga kewajiban terhadap diri
sendiri dimengerti sebagai kewajiban terhadap Tuhan.

9. Kritik Karl Max atas Teori Hak

Kritik Karl Marx muncul sebagai komentar atas Deklarasi tentang Hak-hak Asasi
Manusia dan Warga Negara yang dikeluarkan di Prancis pada saat terjadinya
Revolusi Prancis (1789). Menurutnya, hak-hak itu tidak lain adalah hak-hak manusia
yang egoistis. Dengan hak-hak ini, Iank a manusia mendapatkan legitimasinya. Hak
manusia adalah hak untuk menyendiri. Dengan demikian manusia dilepaskan dari
sesama. Ia dijadikan sebuah atom yang berdiri sendiri dan tidak membutuhkan orang
lain. Kepentingan individu diutamakan diatas kepentingan masyarakat. Mengakui hak
manusia berarti melestarikan kepentingan diri si individu. Bagi Marx, hak atas milik
adalah prototype segala hak. Ia melihat hak atas milik sebagai sumber semua hak lain
dalam masyarakat borjuis. Ia mengkritik secara tajam cara hak ini dirumuskan dalam
UUD Prancis pasca revolusi (1793), dimana dikatakan: “Hak milik adalah hak setiap
warga negara untuk dengan sewenang-wenang menikmati dan menggunakan barang
milik, pendapat serta buah hasil pekerjaan dan kerajinannya.”

Bisa ditarik kesimpulan bahwa penolakan Marx terhadap hak, adalah dikarenakan
hak-hak pribadi individu justru akan mengganggu atau merusak hubungan sosial manusia
dalam masyarakat, dimana manusia akan bertindak sewenang-wenang sesuai egonya
dalam kehidupan bermasyarakat.

Berikut adalah tanggapan terhadap pandangan Marx:

 Hak-hak manusia mempunyai ciri-ciri individual sehingga bisa saja terjadi dalam
arti tertentu masyarakat kadang harus kalah terhadap hak-hak individual itu.
Menurut Ronald Dworkin, hak manusia seolah-olah merupakan kartu truf yang
dimenangkan di atas kebijaksanaan yang ditentukan suatu negara.

 Mengakui hak manusia tidak sama dengan menolak masyarakat atau mengganti
masyarakat sebagai kumpulan individu tanpa hubungan satu sama lain. Yang
ditolak dengan menerima hak-hak manusia adalah totaliterisme, yakni pandangan
bahwa negara mempunyai kuasa Iank are terhadap warga negaranya. Hak-
hak manusia menjamin agar tidak sampai menggilas individu, sehingga
dengan hak- hak ini negara harus tunduk pada norma-norma etis.

 Hak atas milik tidak merupakan hak manusia yang paling dasariah dan prototype
bagi semua hak lain. Melainkan hak atas kebebasan dengan segala implikasinya,
yaitu hak mengikuti hati nurani, kebebasan agama, hak mempunyai pendapat
sendiri, hak berkumpul, dan sebagainya.

 Sehingga ditekankan bahwa hak-hak tidak mengasingkan manusia dari kehidupan


sosial , tapi sebaliknya merupakan syarat untuk membentuk kehidupan sosial yang
benar-benar manusiawi. Dengan demikian, dapat tumbuh dengan leluasa apa yang
kini disebut “masyarakat madani” atau “masyarakat sipil” artinya masyarakat
yang membentuk hubungan-hubungan baru di luar kerangka negara.

Di satu sisi, penolakan Marx terhadap hak dapat dibenarkan dengan alasan adanya
kepentingan individu-individu yang beragam. Namun, yang perlu ditekankan adalah
bahwa pemberian hak-hak pribadi manusia tidak lain adalah untuk melindungi setiap
warga negara terhadap kesewenang-wenangan negara kepada setiap rakyatnya. Adapun
penggunaan hak adalah perlu dipahami dengan tidak melupakan hati nurani, kebebasan
beragama, berpendapat, dan berkumpul. Semuanya ini tetap berjalan dengan
memperhatikan kehidupan sosial dan tidak mengganggu masyarakat untuk dapat
berfungsi dengan baik, sehingga dapat terwujud kehidupan sosial manusia yang
manusiawi, dan suatu masyarakat madani.

10. Siapa yang Memiliki Hak?

Bahwa hanya manusia yang merupakan subyek hak dalam arti yang sebenarnya.
Hanya makhluk yang mempunyai kesadaran dan dapat menyebut diri “aku”, bisa
dianggap pemilik hak. Yang memiliki hak pada prinsipnya juga tahu bahwa dia memiliki
hak. Sehingga dia dapat melepaskan haknya apabila ia mau.

Sedangkan makhluk yang tidak memiliki kesadaran, seperti contohnya janin, generasi
yang akan datang, hewan, pohon, mereka tidak memiliki hak dalam kehidupan ini, akan
tetapi manusia yang memiliki kesadaranlah yang memiliki tanggung jawab dan kewajiban
dalam menjaga dan memperlakukan mereka sesuai dengan etika yang ada (tindakan etis).
BAB VI: MENJADI MANUSIA YANG BAIK

1. Etika Kewajiban dan Etika Keutamaan

Etika kewajiban, mempelajari prinsip-prinsip dan aturan-aturan moral yang berlaku


untuk perbuatan manusia dan perlu diterapkan dalam kehidupannya sehari-hari. Etika
kewajiban digunakan untuk menilai benar salahnya perilaku manusia dan juga digunakan
untuk mencoba menentukan prioritas dalam hidup.

Etika keutamaan, tidak begitu menyoroti apakah perilaku manusia sudah sesuai
dengan norma moral, tetapi lebih berfokus pada manusia itu sendiri. Etika ini
mempelajari keutamaan (virtue) atau sifat watak yang dimiliki manusia, apakah manusia
itu baik ataukah buruk.

Etika kewajiban dan etika keutamaan ini saling membutuhkan satu sama lain karena
moralitas selalu berkaitan dengan prinsip serta aturan (etika kewajiban) sekaligus dengan
kualitas manusia itu sendiri dengan sifat watak yang dimilikinya (etika keutamaan). Di
bidang moral, usaha untuk mengikuti prinsip dan aturan tertentu kurang efisien jika tidak
disertai suatu sikap tetap (watak) manusia untuk hidup menurut prinsip dan aturan moral
itu. Contoh keterkaitan kedua etika tersebut adalah akan sangat tidak praktis jika seorang
guru, dalam menjalankan tugasnya sepanjang hari harus mengukur perbuatannya benar
atau salah sesuai dengan prinsip-prinsip moral. Hal tersebut menjadi lebih efisien ketika
tingkah laku guru tersebut diarahkan oleh keutamaan (watak) yang melekat pada batinnya
seperti kesetiaan dan ketekunan kerja. Justru dalam kehidupan moral sehari-hari, etika
keutamaan sangat dibutuhkan.

2. Keutamaan
Unsur-unsur yang terkandung dalam konsep keutamaan antara lain:

1. Keutamaan adalah suatu disposisi, artinya, suatu kecenderungan tetap.

Itu tidak berarti keutamaan tidak bisa hilang, tapi hal itu tidak mudah terjadi.
Keutamaan adalah sifat watak yang ditandai stabilitas. Sifat watak yang berubah-ubah
– hari ini begini, besok lain lagi – pasti tidak merupakan keutamaan. Keutamaan
adalah sifat baik yang mendarah daging pada seseorang, tapi bukan sembarang sifat
baik adalah keutamaan juga. Kesehatan atau kekuatan fisik adalah sifat baik, demikian
juga daya ingatan atau daya konsentrasi kuat. Tapi sifat-sifat badani dan psikis itu
bukanlah keutamaan, karena belum tentu terarah pada tingkah laku yang
baik dari segi moral. Jadi, keutamaan mempunyai hubungan eksklusif dengan moral.
Keutamaan bagi kita sama saja dengan keutamaan moral.

2. Keutamaan berkaitan dengan kehendak.

Keutamaan adalah disposisi yang membuat kehendak tetap cenderung kearah


yang tertentu. Kerendahan hati misalnya, menempatkan kemauan saya Iank ar
tang tertentu (yaitu tidak menonjolkan diri) dalam semua situasi yang saya hadapi.
Karena perkaitan dengan kehendak itu maksud atau motivasi si pelaku terjadi
sangat penting, sebab maksud mengarahkan kehendak. Tidak mungkin perilaku
keutamaan tanpa disertai maksud baik. Tapi jika maksud saya baik, namun karena
maksud baik tadi, perbuatan saya tetap baik. Misalnya, jika beberapa kali
perbuatan saya ditafsirkan orang lain sebagai sombong, saya tetap rendah hati,
kalo maksud saya tidak demikian. Orang lain tentu tidak bisa melihat ke dalam
lubuk hati saya. Di sisi lain, jika orang lain terus-menerus menafsirkan perbuatan
saya sebagai sombong, tidak masuk akal lagi bahwa maksud saya selalu baik.

3. Keutamaan diperoleh melalui jalan membiasakan diri %ank arena itu merupakan
hasil latihan.

Keutamaan tidak dimiliki manusia sejak lahir. Pada masa anak seorang manusia
belum memiliki keutamaan. Ini sesuai dengan data-data psikologi perkembangan yang
memperhatikan bahwa pada awal mula seorang anak belum mempunyai kesadaran
moral (bandingkan J.Piaget dan L Kohlberg). Keutamaan terbentuk selama suatu
proses pembiasaan dan latihan yang cukup panjang, dimana pendidikan tertentu
memainkan peranan penting. Disini boleh ditambah lagi bahwa proses perolehan
keutamaan itu disertai suatu upaya korektif, artinya, keutamaan diperoleh dengan
mengoreksi suatu sifat awal yang tidak baik. Proses memperoleh keutamaan
berlangsung “melawan arus”, dengan mengatasi kesulitan yang dialami dalam
keadaan biasa. Keuramaan seperti keberanian, misalnya, diperoleh dengan melawan
rasa takut yang lebih biasa pada manusia, bila menghadapi bahaya. Pengendalian diri
sebagai keutamaan terbentuk dengan melawan kecenderungan yang bisa untuk
mencari kesenangan tanpa batas. Dari uraian tadi menjadi jelas bahwa keutamaan
sebagai sifat watak moral perlu dibedakan dari sifat watak non-moral. Dengan yang
terakhir ini dimaksudkan sifat watak yang dimiliki manusia secara “alamiah” atau
sejak dilahirkan. Bisa saja seseorang menurut kecenderungan alamiahnya bersifat
ramah atau periang. Tapi dua sifat watak non-moral itu dengan demikian belum
merupakan keutamaan kebaikan hati atau riang hati. Bisa saja seseorang menurut
kecenderungan alamiahnya tidak tahu bahaya, tapi dengan itu ia belum memiliki
keutamaan keberanian. Namun demikian, walaupun sifat watak non moral tidak boleh
disamakan dengan keutamaan, perlu diakui bahwa sidat watak yang baik semacam itu
sangat bermanfaat untuk membentuk keutamaan dengan mudah dan lancar.

4. Keutamaan perlu dibedakan juga dari keterampilan (berbeda dengan keterampilan).

Memang seperti halnya dengan keutamaan, keterampilan pun diperoleh melalui


latihan, lagi pula berciri korektif. Seperti watak non-moral membantu memperoleh
keutamaan, demikian pula bakat alamiah mempermudah membentuk keterampilan.
Tapi di samping persamaan ini, ada perbedaan yang lebih menentukan. Kita bisa
menyebut setidak-tidaknya empat macam perbedaan.

a) Keterampilan hanya memungkinkan orang untuk melakukan jenis perbuatan


yang tertentu, sedangkan keutamaan tidak terbatas pada satu jenis perbuatan
saja. Seorang pemain piano, pemain bulu tangkis, penembak jitu atau pilot
pesawat terbang semua memiliki keterampilan yang memungkinkan mereka
untuk melakukan perbuatan tertentu. Seorang yang berhasil menjadi juara bulu
tangkis tentu hebat sekali di bidangnya, tapi tidak sanggup lebih dari orang
lain, jika disuruh menembak jitu atau mengemudikan pesawat terbang. Tapi
orang yang memiliki keberanian, kemurahan hati, kesabaran atau keutamaan
apa saja tidak pernah terarah kepada jenis perbuatan tertentu saja. Sorang
pemain bulu tangkis, penembak jitu, pilot pesawat terbang dan seribu satu
orang lain semua bisa berkelakuan berani, murah hati atau menjalankan
keutamaan lain. Dari segi jenis perbuatan, keutamaan mempunyai lingkup
kemungkinan jauh lebih luas daripada keterampilan.

b) Baik keterampilan maupun keutamaan berciri korektif: keduanya membantu


untuk mengatasi suatu kesulitan awal. Tapi disini ada perbedaan juga. Dalam
hal keterampilan, kesulitan itu bersifat teknis. Jika sudah diperoleh
ketangkasan, kesulitan teknis itu teratasi. Dalam hal keutamaan, kesulitan itu
berkaitan dengan kehendak. Jika menghadapi bahaya, kita cenderung
melarikan diri. Dengan memperoleh keberanian, kehendak kita mempunyai
kesanggupan mengatasi ketakutan.
c) Perbedaan berikut berhubungan erat dengan yang tadi. Karena sifatnya teknis,
keterampilan dapat diperoleh dengan – setalah ada bakat tertentu – membaca
buku petunjuk, mengikuti kursus, dan melatih diri. Sedangkan proses
memperoleh keutamaan jauh lebih kompleks, sama kompleksnya dengan
seluruh proses pendidikan. Tidak mudah mengatakan bagaimana persisnya
cara memperoleh keutamaan, tapi pasti tidak bida dengan hanya membaca
buku interuksi atau mengikuti kursus saja.

d) Suatu perbedaan terakhir sudah disebut Aristoteles (384-322 S.M.) dan


Thomas Aquinas (1225-1274). Perbedaan ini berkaitan dengan membuat
kesalahan. Jika orang yang mempunyai keterampilan, membuat kesalahan, ia
tidak akan kehilangan keterampilannya, seandainya ia membuat kesalahan itu
dengan sengaja. Sedangkan membuat kesalahan dengan tidak sengaja, justru
mengakibatkan ia kehilangan klaim untuk menyebut diri orang yang
berketerampilan. Jika seorang pilot dengan sengaja mendaratkan pesawatnya
dengan kasar(karena bermaksud mengagetkan pra penumpang, upamanya), ia
tetap seorang pilot terampil, sebab ia bisa mendaratkan pesawatnya dengan
halus juga. Tapi jika ia mendaratkan pesawatnya dengan kasar tanpa disengaja,
ia tidak pantas disebut pilot terampil. Dengan keutamaan keadaannya persis
terbalik. Jika seseorang yang baik hati dengan sengaja membuat jahat terhadap
orang lain, ia tidak lagi di katakana mempunyai keutamaan kebaikan hati.
Sedangkan jika tanpa disadari ia mengatakan sesuatu yang menyinggung
perasaan orang lain, dengan itu ia belum kehilangan kualiasnya sebagai orang
yang berkeutamaan.

5. Semua yang dikatakan tentang keutamaan ini berlaku juga untuk lawannya.

Semua yang dikatakan tentang keutamaan ini berlaku juga untuk lawannya. Dalam
bahasa Inggris keutamaan disebut virtue (latin: virtus) dan untuk lawannya digunakan
istilah vice (latin: vitium). Untuk yang terakhir ini dalam bahasa Indonesia bisa kita
gunakan kata “keburukan”. Sebagai lawan keutamaan, keburukan pun adalah disposisi
watak yang diperoleh seseorang dan memungkinkan dia bertingkah laku secara moral.
Suatu perbedaan ialah bahwa keburukan tidak diperoleh dengan “melawan arus”,
sebaliknya, keburukan terentuk dengan mengikuti “arus” sepontan. Tetapi perbedaan
yang menentukan adalah bahwa keutamaan membuat orang bertingkah laku baik
secara moral, sedangkan keburukan membuat orang bertingkah
laku buruk secara moral. Kekejutan hati adalah lawan keberanian. Kekikiran adalah
lawan kemurahan hati. Dengan demikian dapat disebut keburukan untuk setiap
keutamaan yang ada.

Menurut W.K. Frankena, ada dua keutamaan pokok, yaitu kebaikan hati
(benevolence) dan keadilan. Tradisi yang berakar dari Plato dan Aristoteles ada empat
keutamaan pokok (cardinal virtues), yaitu kebijaksanaan, keberanian, pengendalian
diri dan keadilan. Dalam abad pertengahan tradisi ini dilanjutkan oleh Thomas
Aquinas dengan menambahkan tiga keutamaan lagi yang disebut teologis, yaitu iman
kepercayaan, pengharapan dan cinta kasih.

3. Ethos dalam Ethos Profesi

Sejalan dengan keutamaan individu yang lebih bersifat pribadi, terdapat juga suatu
karakteristik yang membuat kelompok dipandang menjadi baik dalam moral yaitu ethos.
Ethos menunjukkan pada ciri-ciri, pandangan, nilai yang menandai suatu kelompok.
Menurut Concise Oxford Dictionary (1974), ethos didefinisikan sebagai suasana khas
yang menandai suatu kelompok, bangsa atau sistem. Jika berbicara tentang “ethos
profesi”, ethos disini menunjukkan suasana khas yang meliputi kerja atau profesi.
Dimana, hal ini menunjukkan nilai-nilai luhur dan sifat-sifat baik yang menandai suatu
profesi. Di dalam suatu kelompok profesi, pastinya ada anggota dari profesi tersebut.
Untuk menjadi anggota suatu kelompok profesi yang baik, maka anggota tersebut harus
ditandai dengan ethos profesi tersebut (mencerminkan ethos profesinya). Ethos profesi
dapat dicerminkan dalam Kode Etik suatu profesi yang bersangkutan.

4. Tiga Kategori Perbuatan Moral dalam Teori-teori Etika

Dalam rangka mempelajari mutu moral dan perbuatan manusia, teori etika biasanya
digunakan untuk membedakan tiga kategori perbuatan, antara lain :

a) Pertama, perbuatan yang merupakan kewajiban dan harus dilakukan. Seperti


mengatakan sesuatau yang benar, menghormati privacy orang lain, dan lain-lain.
Kita akan dianggap baik secara moral jika melakukan perbuatan-perbuatan ini.

b) Kedua, perbuatan yang dilarang secara moral dan tidak boleh dilakukan. Seperti
berbohong, mengingkari janji, menyakati orang lain, dll. Kita akan dianggap
buruk secara moral jika melakukan perbuatan-perbuatan ini.
c) Ketiga, perbuatan yang diizinkan secara moral atau dalam arti yang lain tidak
dilarang dan tidak pula diwajibkan. Seperti bermain catur di waktu senggang,
menonton siaran TV sepak bola di luar jam kerja, dan lain-lain. Perbuatan ketiga
ini adalah netral dari sudut moral atau bisa disebut amoral yang artinya tidak baik
dan tidak buruk juga.

Menurut Bertens (2011), adanya kategorisasi perbuatan moral itu mempersempit


makna dari moralitas. Masih ada perbuatan jenis lain yang tidak kalah penting dalam
menentukan kualitas moral manusia, yakni, perbuatan supererogatoris. Seseorang dinilai
melakukan perbuatan supererogatis apabila yang ia lakukan melampaui kewajiban
seseorang meskipun tidak ada yang akan mencela jika tidak melakukannya. Sehingga
perbuatan tersebut dinilai sangat terpuji. Paling luhur di bidang moral.

Salah satu contoh dari perbuatan tersebut adalah seorang dokter yang secara sukarela
pergi ke suatu daerah yang terjangkit wabah penyakit untuk memberikan pengobatan
Cuma-Cuma. Tidak ada yang mencela atau menyalahkan dokter tersebut apabila ia tidak
pergi ke daerah wabah tersebut, karena sekiranya akan berakibat buruk bagi dirinya.
Lagipula, kegiatan tersebut hanya bersifat sukarela. Meskipun begitu, dokter tersebut
memilih untuk melakukannya.

Perbuatan dokter tersebut tidak dapat dimasukkan dalam ketiga kategori tersebut.
Padahal perbuatan-perbuatan tersebut ada dan mempunyai nilai moral yang besar. Hal
tersebut merupakan kritik dari tiga kategorisasi moral, yakni, perlu ditambahkan kategori
perbuatan-perbuatan supererogatis sebagai perbuatan yang paling luhur diantara ketiga
kategori moral tersebut.

Beberapa catatan mengenai perbuatan supererogatif

Perlu dicatat bahwa perbuatan supererogatif bukanlah perbuatan yang dilakukan


karena dorongan alamiah, melainkan karena motivasi etis yang murni. Misalnya,
seorang ibu yang tanpa berpikir panjang langsung masuk untuk menyelamatkan
anaknya di rumah yang terbakar. Perbuatan tersebut tentunya sangat terpuji, akan
tetapi, tidak bisa dianggap suatu perbuatan moral dalam arti yang sebenarnya, karena
sumbernya adalah emosi spontan yang sudah menjadi dorongan alamiah sebagai
seorang ibu. Meskipun harus diakui bahwa sulit untuk membedakan perbuatan mana
yang berupa emosi spontan karena sudah menjadi dorongan alamiah atau memang
karena motivasi etis yang murni.
Setelah melakukan perbuatan yang supererogatif, seseorang terkadang akan
mengatakan bahwa perbuatannya itu merupakan suatu keharusan dan kewajiban
sebagai bagian dari pekerjaannya. Hal itu kemudian mempersulit untuk melakukan
penilaian bahwa, apakah kata “harus” dan “kewajiban” itu sendiri merupakan arti
yang sebenarnya atau digunakan hanya untuk terkesan rendah hati karena
perbuatannya yang diperintahkan langsung oleh hati nurani. Selain itu, seseorang
yang melakukan perbuatan supererogatif tidak akan menuntut orang lain melakukan
hal yang sama dengan dirinya dalam situasi yang sejenis.

5. Orang Kudus dan Pahlawan

Dalam sebuah artikel, filsuf Inggris J.O. Urmson menjelaskan bahwa kata-kata
“kudus” dan “pahlawan” mempunyai makna etis juga. Dalam artikel tersebut, terdapat
hubungan erat antar dua kata ini. Ada tiga situasi dimana seseorang dapat disebut kudus
atau pahlawan dalam arti ekslusif etis.

Situasi pertama kita menyebut seseorang kudus adalah ketika ia melakukan


kewajibannya dimana banyak orang tidak akan melakukan kewajiban mereka, karena
adanya keinginan tak teratur dan mengutamakan kepentingan diri sendiri. Misalnya orang
yang jujur dan tidak melakukan korupsi, padahal di sekelilingnya banyak orang
melakukan korupsi. Sedangkan kita menyebut seseorang pahlawan jika ia melakukan
kewajiban dimana banyak orang tidak melakukan kewajiban mereka, karena adanya teror,
ketakutan, dan kecenderungan alamiah untuk mempertahankan hidup. Misalnya seorang
prajurit di medan perang yang tidak meninggalkan posnya, walaupun menghadapi bahaya
maut. Pada situasi pertama ini, seseorang disebut kudus dan pahlawan karena adanya
disiplin diri yang luar biasa yang tidak ditemukan pada kebanyakan orang. Walaupun dia
ingin melakukan seperti kebanyakan orang, tapi dia mampu menekan keinginannya
karena displin diri yang kuat tersebut,

Situasi kedua kita menyebut seseorang kudus dan pahlawan adalah ketika ia
melakukan kewajibannya dimana banyak orang tidak akan melakukan kewajiban mereka
namun bukan dikarenakan adanya disiplin diri, melainkan memiliki keutamaan dalam hal
itu. Misalkan seseorang mampu mengatasi ketakutannya bukan karena disiplin namun
karena dia sudah memiliki sifat utama berani. Pada situasi kedua ini, seorang kudus atau
pahlawan akan lebih mudah dan tanpa usaha keras melakukan kewajibannya jika
dibandingkan dengan situasi pertama.
Situasi ketiga kita berjumpa dengan orang kudus dan pahlawan dalam arti yang lebih
istimewa. Yaitu dimana dia melakukan sesuatu yang melebihi kewajibannya. Misalnya
seorang dokter yang dengan sukarela pergi ke daerah yang dilanda penyakit menular
tanpa mempedulikan kerugian bagi kesehatan. Yang mana jika pun dokter tersebut tidak
pergi, dia tidak akan ditegur dan dicela, karena toh banyak juga dokter lain yang tidak
pergi ke daerah tersebut. Perlu dicatat bahwa yang dilakukan dokter tersebut secara
sukarela bukan merupakan tugas atau paksaan.

BAB VII: BEBERAPA SISTEM FILSAFAT MORAL

1. Pandangan Hedonisme sebagai Teori Etika

Pandangan hedonism pada dasarnya adalah mencari kesenangan. Menurut Atistippos,


yang sungguh baik bagi manusia adalah kesenangan badani, aktual, dan individual.
Kesenangan badani tidak lain adalah gerak dalam badan. Gerak halus adalah kesenangan,
gerak kasar adalah ketidaksenangan (rasa sakit), dan tidak ada gerak adalah netral (tidur).
Atistippos mengatakan bahwa kesenangan adalah kenikmatan kini dan disini, bukan
kesenangan di masa lalu ataupun masa mendatang.

Menurut Epikuros, kesenangan terdiri dari 3 keinginan, yaitu keinginan alamiah yang
perlu (makanan), keinginan alamiah yang tidak perlu (makanan enak), dan keinginan
yang sia-sia (kekayaan), dimana dari ketiganya hanya keinginan pertama yang harus
dipuaskan dan menghasilkan kesenangan paling besar. Sehingga Epikuros menganjurkan
“pola hidup sederhana”, dimana orang perlu sedapat mungkin hidup terlepas dari
keinginan, untuk mencapai Ataraxia (keadaan jiwa seimbang, tidak terganggu oleh hal-
hal lain). Hal ini juga ditegaskan oleh Atistippos bahwa ada batas untuk mencari
kesenangan, yaitu perlunya pengendalian diri. Perlu mempergunakan kesenangan dengan
baik dan tidak membiarkan diri terbawa olehnya.

Kritik yang dikemukakan untuk teori ini, yaitu:

a) Apakah manusia selalu mencari kesenangan? Apakah kesenangan betul-betul


menjadi motivasi terakhir dalam hidup?
b) Argumen hedonisme tidak dipertanggungjawabkan, dengan menganggap bahwa
kodrat manusia adalah mencari kesenangan, sehingga sampai pada menyetarakan
kesenangan dengan moralitas yang baik. Pada kenyataannya, kesenangan saja
tidak cukup untuk menjamin sifat etis suatu perbuatan.
c) Hedonis mengalami kesalahan konsepsi tentang tentang kesenangan, hedonis
menganggap sesuatu adalah baik karena disenangi. Padahal sebenarnya sesuatu
tidak menjadi baik karena disenangi, namun manusia merasa senang karena
memperoleh sesuatu yang baik.

d) Hedonisme mengandung suatu egoisme etis yang mengatakan bahwa manusia


tidak mempunyai kewajiban moral membuat sesuatu yang lain daripada yang
terbaik bagi dirinya sendiri.

2. Pandangan Eudemonisme Aristoteles

Aristoteles (384-322 S.M.), dalam bukunya, Ethika Nikomakheia menegaskan bahwa


dalam setiap kegiatannya manusia mengejar suatu tujuan yang baik bagi dirinya. Sering
kali juga kita mencari suatu tujuan untuk mencapai suatu tujuan lain. Menurut Aristoteles,
semua orang akan menyetujui bahwa tujuan tertinggi adalah kebahagian (eudaimonia).
Tetapi jika semua orang mudah menyepakati kebahagian sebagai tujuan terakhir dari
hidup manusia, itu belum memecahkan semua kesulitan, karena dengan kebahagiaan
mereka mengerti banyak hal yang berbeda-beda. Seseorang mencapai tujuan akhir dengan
menjalankan fungsinya dengan baik. Dengan begitu, manusia akan mencapai tujuan
terakhirnya atau kebahagiaan. Apa yang menjadi kelemahan pandangan ini, khususnya
dalam kaitannya dengan keutamaan?

a. Kelemahan ajaran Aristoteles ini adalah daftar keutamaan yang disebut oleh
Aristoteles bukan merupakan hasil pemikirannnya sendiri tetapi mencerminkan
pandangan etis dari masyarakat Yunani pada waktu itu dan lebih khusus lagi
mencerminkan golongan atas dalam masyarakat Athena.Selain itu dalam setiap
kebudayaan dan setiap periode sejarah akan memiliki keutamaan-keutamaan
sendiri, yang belum tentu sama dalam kebudayaan atau periode sejarah lain.

b. Kritik lain adalah menyangkut pemikiran Aristoteles tentang keutamaan sebagai


jalan tengah antara dua ekstrem. Apakah keutamaan selalu merupakan jalan
tengah antara “kurang” dan “terlalu banyak”. Misalnya keutamaan seperti
pengendalian diri. Aristoteles mengalami kesulitan dalam menjelaskan keutamaan
ini. Perbuatan makan terlalu banyak bertentangan dengan keutamaan
pengendalian diri. Tapi jika manusia makan terlalu sedikit apakah itu bisa disebut
sebagai pelanggaran keutamaan? Agaknya sulit dikatakan demikian, karena
perbuatan seperti berpuasa justru dianggap sebagai bentuk pelaksanaan
pengendalian diri.

c. Dalam ajaran Arisitoteles ini, kita belum bisa melihat paham hak manusia dan
persamaan hak semua manusia. Karena, ia malah membenarkan secara rasional
bahwa beberapa manusia menurut kodratnya adalah budak. Tapi yang harus
ditekankan disini adalah pandangan Aristoteles muncul pada zaman Yunani kuno.

d. Etika Aristoteles dan ajarannya tentang keutamaan tidak begitu berguna untuk
memecahkan dilema moral besar yang kita hadapi sekarang misalnya, resiko
penggunaan tenaga nuklir,bayi tabung, percobaan medis dengan embrio, dan
sebagainya. Pandangan Aristoteles tentang keutamaan lebih cocok untuk menilai
kadar moral seseorang berdasarkan perbuatan-perbuatannya, termasuk hidup
moralnya sebagai keseluruhan.

3. Utilitarianisme

Dua tokoh yang mencetuskan adalah David Hume (1711-1776), yang merupakan
filsuf Skotlandia dan bentuk yang lebih matang berasal dari filsuf Inggris yaitu Jeremy
Bethan (1748-1832). Dalam bukunya yang berjudul Introduction to the Principle of
Morals and Legislation (1789) Bethan menjelaskan bahwa tujuan utilitarianisme adalah
untuk memperbarui hukum Inggris, khususnya hukum pidana. Secara garis besar,
utilitarianisme ingin memajukan kepentingan warga negara. Bethan mengusulkan suatu
klasifikasi kejahatan yang didasarkan berat tidaknya pelanggaran dan diukur berdasarkan
kesusahan atau penderitaan yang diakibatkannya terhadap para korban dan masyarakat.
Bethan sampai pada gambaran umum tentang utilitarianisme yang berbunyi: the greatest
happiness of the greatest number atau kebahagian terbesar dari jumlah orang terbesar.

Berikut adalah kekuatan dan kelemahan utilitarianisme:

 Kekuatan:
a) Menggunakan sebuah prinsip yang jelas dan rasional

b) Teori ini memperhatikan hasil perbuatan, kita bisa secara spontan menilai
suatu perbuatan. Kesan spontan terhadap hasil perbuatan menentukan kualitas
etis perbuatan tersebut. Perbuatan yang mempunyai akibat jelek (contoh :
dapat mencelakakan orang lain) memiliki peluang lebih besar untuk dianggap
secara etis jelek.

 Kelemahan:
a) Terdapat loncatan besar yang tidak konsekuen dan tidak ada penjelasan lebih
lanjut, yaitu dalam terminologi “jumlah terbesar”. Karena tidak bisa semata-
mata demikian. Contoh: jika suatu mayoritas adalah seorang pemabuk, sedang
minoritas bukan pemabuk. Maka menurut utilitarianisme, mabuk merupakan
perbuatan etis, karena lebih banyak orang yang mendapatkan kesenangan
dengan mabuk daripada yang tidak.
b) Tidak menjamin apapun bahwa kebahagiaan bisa dibagi juga dengan adil. Tapi
kenyataannya justru menunjukkan belum diatur dengan baik karena tidak
semua memiliki hidup yang layak.

Pandangan Utilitarianisme Aturan

Dua macam jenis utilitarianisme : utilitarianisme perbuatan dan utilitarianisme aturan.


Utilitarianisme perbuatan adalah mengacu pada kodrat manusia yang terarah pada
kebahagiaan, maka suatu perbuatan dapat dinilai baik atau buruk, sejauh dapat
meningkatkan atau mengurangi kebahagiaan sebanyak mungkin orang. Kebahagiaan yang
menjadi norma etis adalah kebahagiaan semua orang yang terlibat dalam suatu kejadian,
bukan kebahagiaan satu orang saja. Jadi, dapat disimpulkan bahwa kebahagiaan itu
menyangkut seluruh umat manusia, dan moralitas suatu tindakan harus ditentukan dengan
memperhatikan kegunaannya untuk mencapai kebahagiaan manusia.

Sedangkan utilitarianisme aturan memandang bahwa prinsip kegunaan tidak harus


diterapkan atas salah satu perbuatan, melainkan atas atura-naturan moral yang mengatur
perbuatan-perbuatan manusia. Jika pada utiltarisme perbuatan, memandang sisi “ Apakah
akan diperoleh kebahagiaan paling besar untuk paling banyak orang, jika seseorang
menepati janjinya dalam situasi tertentu?”, lain halnya dengan utilitarianisme aturan yang
memandang sisi “ Apakah aturan moral tentang seseorang yang perlu menepati janjinya
paling berguna bagi masyarakat? Atau paling membuat kebahagiaan paling banyak
orang?”. Sehingga, perbuatan baik secara moral dikatakan baik apabila sesuai dengan
aturan yang berfungsi dalam sistem aturan moral yang paling berguna bagi suatu
masyarakat.

4. Pandangan Immanuel Kant dalam Teori Deontologi


Deontologi memandang etika yang mengukur baik tidaknya suatu perbuatan
berdasarkan pada maksudseseorang dalam melakukan perbuatan tersebut. Menurut Kant,
yang bisa disebutbaik dalam arti sesungguhnya hanyalah kehendak yang baik. Kehendak
yang baik adalah jika dilakukan karena kewajiban, bukan dilandasi oleh suatu maksud
atau motif lain, seberapa terpujinya motif itu. Suatu perbuatan bersifat moral, jika
dilakukan semata-mata karena hormat untuk hukum moral (kewajiban). Bertindak sesuai
dengan kewajiban oleh Kant disebut Legalitas. Dengan legalitas, maka seseorang
memenuhi norma hukum.

Kekuatan dan Kelemahan Teori Deontologi Kant:

Kekuatan :

a) Inti deontologi cocok dengan pengalaman moral manusia, terutama tampak dalam
hati nurani manusia. Manusia memang sering merasa terikat dengan kewajiban
dalam perilaku moral sehingga tidak dapat disangkal bahwa kewajiban merupakan
aspek penting dalam kehidupan moral manusia. Manusia dikatakan memiliki
moral yang baik jika bertindak sesuai nilai-nilai dan norma-norma etis yang
berlaku di masyarakat sehingga teori ini cocok dengan pengalaman moral
manusia.

b) Menjamin otonomi dan keluhuran martabat manusia. Etika deontologi Kant


menekankan peranan akal budi manusia sebagai sumber hukum yang wajib ditaati
secara mutlak, menolak segala bentuk heteronomi atau penentuan dari luar. Dalam
hal ini Kant juga menemukan tentang kebebasan manusia. Otonomi sama dengan
kebebasan artinya kesanggupan untuk bertindak terlepas dari penguasaan oleh
sebab-sebab asing. Tetapi bebas disini menurut Kant adalah manusia bebas
melakukan apapun tetapi tetap mentaati hukum moral.

Kelemahan:

a. Sistem moral Kant merupakan suatu etika yang kaku. Terkesan bahwa manusia
berkelakuan baik hanya semata-mata melakukannya karena kewajiban manusia
untuk berbuat baik bukan karena spontanitas yang dimiliki manusia.
b. Teori moral Kant tidak mengenal adanya pengecualian, ada norma ada kewajiban
yang mengikat mutlak sehingga harus dilakukan apapun akibatnya. Sebagai
contoh Kant mewajibkan manusia selalu mengatakan hal yang sebenarnya dalam
situasi apapun dan tidak pernah boleh berbohong. Padahal terkadang ada situasi-
situasi pada diri manusia yang mengharuskannya untuk berbohong untuk
menghindari konsekuensi yang buruk.

Koreksi W.D. Ross terhadap Deontologi Kant

Ross memberikan pandangan mengenai kewajiban yang selalu kewajiban prima


facie (pada pandangan pertama), artinya, suatu kewajiban untuk sementara, dan hanya
berlaku sampai muncul kewajiban yang lebih penting dibanding kewajiban pertama.
Ketika menghadapi dua kewajiban sekaligus, manusia memakai penalaran mereka
untuk mencari alasan rasional dan memilih kewajiban mana yang lebih penting untuk
dilakukan terlebih dahulu.

BAB VIII: MASALAH ETIKA TERAPAN DAN TANTANGANNYA BAGI ZAMAN


KITA

1. Etika Sedang Naik Daun

Etika terapan atau yang biasa disebut filsafat terapan, saat ini telah banyak membahas
tentang masalah-masalah yang sangat praktis. Jika kita melihat ke belakang, etika justru
jarang menyinggung persoalan konkret dan aktual. Etika terapan ini muncul dari
kepedulian etis yang mendalam, hal ini dipicu oleh beberapa faktor yaitu:

1. Perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.

2. Terciptanya semacam ”iklim moral” yang mengundang minat baru untuk etika.

Selain itu, berbagai permasalahan yang dihadapi dan kasus-kasus baru yang
berkembang di kehidupan sosial manusia, juga membuat berkembangnya ilmu etika
terapan. Beberapa diantaranya adalah:

1. Munculnya perjuangan hak-hak kewarganegaraan di Amerika Serikat, khususnya


persamaan hak bagi golongan kulit hitam.
2. Adanya gerakan kuat yang menuntut persamaan hak antara pria dan wanita.

3. Terjadinya “revolusi mahasiswa” di beberapa Negara bagian Barat, dengan


puncaknya di Prancis pada Mei 1968.

Etika terapan bukan hal baru dalam sejarah filsafat moral. Sejak Plato dan Aristoteles,
etika merupakan filsafat praktis artinya filsafat yang ingin memberikan penyuluhan
kepada tingkah laku manusia dengan memperlihatkan apa yang harus kita lakukan. Etika
terapan mengalami masa kejayaan yang ditandai dengan berkembangnya etika terapan
melalui berbagai situasi dan kegiatan diantara lain:
1. Di banyak tempat di seluruh dunia setiap tahun diadakan kongres dan seminar
tentang masalah-masalah etis.
2. Telah didirikan cukup banyak institut, di dalam maupun di luar kalangan
perguruan tinggi, yang khusus mempelajari persoalan-persoalan moral.
3. Terutama di Amerika Serikat, etika dalam salah satu bentuk seringkali
dimasukkan dalam kurikulum di perguruan tinggi.
4. Terdapat suatu banjir publikasi tentang etika terapan yang tidak pernah terpikirkan
beberapa dekade yang lalu.

5. Pada dekade-dekade terakhir ini tidak jarang jasa ahli etika diminta untuk
mempelajari masalah-masalah yang berimplikasi moral.

2. Beberapa Bidang Garapan bagi Etika Terapan

Etika terapan terbagi menjadi beberapa, yaitu:

1. Makroetika. Makroetika berbicara masalah-masalah moral pada skala besar.


Misalnya: ekonomi dan keadilan, lingkungan hidup, dan alokasi sarana pelayanan
kesehatan.

2. Mikroetika. Mikroetika membicarakan pertanyaan-pertanyaan etis dimana individu


terlibat. Misalnya: kewajiban seorang dokter terhadap pasiennya atau kewajiban
pengacara terhadap kliennya.
3. Mesoetika. Mesoetika menyoroti masalah-masalah etis yang berkaitan dengan suatu
kelompok atau profesi. Misalnya: kelompok ilmuwan, profesi wartawan, dan
sebagainya.
Bidang garapan dalam etika juga meliputi berbagai aspek, yaitu:

1. Etika individual, yaitu membahas kewajiban manusia terhadap dirinya.

2. Etika sosial, yaitu memandang kewjiban manusia sebagai anggota masyarakat.

3. Etika Terapan dan Pendekatan Multidisipliner

Salah satu ciri etika terapan sekarang ini adalah kerjasama antara etika dan ilmu-ilmu
lain. Etika terapan tidak bisa dijalankan dengan baik tanpa adanya kerjasama tersebut,
karena ia harus membentuk mempertimbangkan bidang-bidang yang berada diluar
keahliannya. Oleh karena itu, pelaksanaan etika terapan menggunakan perlu
menggunakan pendekatan multidisipliner. Pendekatan multidisipliner sendiri merupakan
usaha pembahasan tentang tema yang sama oleh berbagai ilmu, sehingga semua ilmu
memberikan sumbangan yang satu disamping yang lain. Pendekatan multidisipliner
membutuhkan usaha yang lebih realistis dan cukup sulit dilakukan.

Pendekatan interdispliner adalah kerja sama antara beberapa ilmu tentang tema yang
sama dengan maksud mencapai suatu pandangan terpadu. Pendekatan interdisipliner
dijalankan dengan cara lintas disiplin. Terdapat dua efek keterbatasan peranan etika yang
terbatas ditengah ilmu-ilmu lain, yaitu:
1. Etika terapan sering dipraktekkan tanpa mengikutsertakan etikawan profesional.

2. Etika semakin keluar dari keterasingannya, terpaksa harus melepaskan diri dari
konteks akademis yang eksklusif, dan memasuki suatu kawasan yang lebih luas.

4. Kasuistik

Kasuistik dimaksudkan untuk memecahkan kasus-kasus konkret di bidang moral


dengan menerapkan prinsip-prinsip etis yang umum. Kasuistik menjadi cara yang begitu
popular untuk menangani masalah moral karena kasuistik diakui sebagai metode yang
efisien untuk mencapai kesepakatan di bidang moral. Jika orang berangkat dari teori, jauh
lebih sulit untuk sampai pada kesepakatan. Kasusitik begitu menarik karena
mengungkapkan sesuatu tentang kekhususan argumentasi dalam etika. Penalaran moral
berbeda dengan penalaran matematis dan ilmu alam yang selalu dilakukan dengan cara
yang sama. Sifat penalaran moral menunjukkan dua hal:
1. Kasuistik secara implisit mengandaikan bahwa relativisme moral tidak bisa
dipertahankan. Seandainya setiap kasus mempunyai kebenaran etis maka tidak
akan dibutuhkan kasuistik.

2. Prinsip-prinsip etis tidak bersifat absolut, sehingga tidak bisa diterapkan tanpa
memperhatikan situasi konkret. Sebagaimana arti sebuah kata/kalimat bisa
berubah karena konteksnya.

Uraian tentang etika terapan sekarang ini, seringkali disertai dengan pembahasan
kasus. Kasusitik sudah banyak digunakan dalam beberapa bidang, diantaranya:
1. Etika biomedis. Ilmu kedokteran menerapkan prinsip-prinsip ilmiah pada kasus-
kasus konkret. Sebelum membuat diagnosis, seorang dokter akan membuat
anamnesis (riwayat kasusnya) terlebih dahulu.
2. Bidang hukum. Dalam konteks kehakiman situasi khusus klien memainkan peran
penting (hal-hal yang dapat meringankan atau memberatkan).

3. Etika bisnis. Ilmu manajemen modern banyak dipraktekkan dengan menganalisis


kasus-kasus konkret.

5. Kode Etik Profesi

Sudah lama kode etik diusahakan untuk mengatur tingkah laku moral suatu kelompok
khusus dalam masyarakat melalui ketentuan-ketentuan tertulis yang diharapkan akan
dipegang teguh oleh seluruh kelompok itu. Salah satu kelompok masyarakat tersebut
adalah kelompok profesi tertentu.

Profesi adalah suatu moral community (masyarakat moral) yang memilki cita-cita dan
nilai-nilai bersama. Profesi terbentuk karena latar belakang pendidikan yang sama dan
bersama-sama memiliki keahlian yang tertutup bagi orang lain. Dengan demikian profesi
menjadi suatu kelompok yang mempunyai kekuasaan tersendiri dan karena itu
mempunyai tanggung jawab khusus. Dengan adanya kode etik, kepercayaan masyarakat
akan suatu profesi dapat diperkuat, karena setiap klien mempunyai kepastian bahwa
kepentingannya akan terjamin. Kode etik ibarat kompas yang menunjukkan arah moral
bagi suatu profesi dan sekaligus juga menjamin mutu moral profesi itu di mata
masyarakat.
Agar etik dapat berfungsi dengan baik, berikut hal-hal yang perlu diperhatikan:

1. Kode etik itu dibuat oleh profesi sendiri. Kode etik tidak akan efektif jika dibuat
dari instansi pemerintah atau dari instansi lain. Hal tersebut terjadi karena kode
etik tersebut akhirnya tidak dijiwai oleh cita-cita dan nilai-nilai yang dihidupi oleh
profesi itu sendiri. Selain itu kode etik harus merupakan hasil dari pengaturan diri
masing-masing profesi.

2. Pelaksanaannya harus diawasi terus menerus. Pada umumnya kode etik akan
mengandung sanksi-sanksi yang dikenakan pada pelanggar. Kasus-kasus
pelanggaran akan dinilai dan ditindak oleh suatu “dewan kehormatan” atau komisi
yang dibentuk secara khusus untuk itu. Selain itu, dengan dibentuknya kode etik
berdasarkan pengaturan diri masing-masing profesi maka mereka juga memiliki
tanggung jawab untuk menjalankan kode etik tersebut.

6. Etika di depan Ilmu dan Teknologi

Metode ilmu pengetahuan memang otonom dan tidak boleh dicampuri oleh pihak lain,
entah itu terjadi atas nama nilai moral, nilai keagamaan, pertimbangan nasional atau
alasan apapun juga. Gambaran tentang situasi ilmu dan teknologi bagi banyak orang
cenderung pesimistis. Tapi bagi beberapa orang setidaknya ada inti kebenaran di
dalamnya. Kesulitan yang dialami etika untuk memasuki kawasan ilmiah dan teknologi
bisa memperkuat lagi kesan itu. Contoh pengalaman peneliti Amerika, Thomas Grissom.
Hati nuraninya mendesak kita untuk berhenti bekerja dalam proyek pengembangan
senjata nuklir. Akan tetapi ia sadar bahwa tempatnya akan diisi oleh orang lain karena
bagaimanapun juga proyek itu berjalan terus. Banyak orang mendapat kesan bahwa
proses pengembangan ilmu dan teknologi seolah-olah kebal terhadap tuntutan etis.
Begitulah yan terjadi, memperhatikan segi-segi etis tidak menjadi tugas ilmu pengetahuan
sendiri, melainkan tugas manusia di balik ilmu dan teknologi tanpa mengorbankan ilmu
itu sendiri.

Perkembangan pesat di bidang ilmu dan teknologi mempunyai kedudukan yang


penting. Dengan ilmu dan teknologi memungkinkan kita untuk menguasai dan
memanfaatkan daya-daya alam. Salah satu dampak dari perkembangan ilmu dan
teknologi dari segi etis adalah ambivalensi kemajuan ilmiah.
Kemajuan yang dicapai berkat ilmu dan teknologi saat ini bersifat ambivalen yang
berarti di samping terdapat dampak-dampak positif, tetapi juga terdapat akibat-akibat
negatif. Problematik dan kesulitan yang terjadi akibat kemajuan ini sering mempunyai
konotasi etis. Salah satu contohnya adalah nuklir. Dengan nuklir kita bisa menghasilkan
energy untuk meghidupi manusia. Di sisi lain, dengan adanya bom nuklir ini ternyata
manusia memiliki kemungkinan yang mengerikan untuk memusnahkan kehidupan
seluruh bumi. Penggunaan teknologi tanpa batas dalam industri modern akhirnya
membahayakan kelangsungan hidup itu sendiri. Karena yang dibawakan oleh ilmu dan
teknologi modern bukan saja kemajuan, melainkan juga kemunduran dan bahkan
kehancuran. Hal ini dapat terjadi jika manusia tidak segera membatasi diri.

7. Metode Etika Terapan

Dalam melakukan metode etika terapan, tidak ada metode yang benar-benar paten.
Banyak sekali variasi metode yang dapat digunakan. Akan tetapi, semua metode tersebut
harus memiliki empat unsur ini, yaitu:

1. Dari sikap awal menuju refleksi

Dalam membentuk pandangan tentang masalah etis apapun pasti kita sudah
memiliki sikap awal entah pro, konta, netral ataupun tidak acuh. Sikap awal ini
bertahan sampai ada peristiwa/keadaan yang membuat kita berefleksi. Saat kita
berefleksi itulah maka kita akan menemukan pentingnya hal tersebut untuk
dibahas lebih mendalam.

2. Informasi

Berikutnya, kita perlu untuk mancari kenyataan yang bersifat objektif. hal ini
perlu dilakukan karena sikap awal yang kita miliki bersifat subjektif, maka kita
perlu mencari hal yang lebih objektif. hal ini dapat ditemukan melalui informasi.
Informasi ini hanya bisa diberikan oleh ahli-ahli dalam bidangnya yang
berwawasan luas. Informasi merupakan alasan terpenting mengapa etika terapan
harus dijalankan dalam konteks kerjasama multidisipliner.

3. Norma-norma moral
Setelah kita menemukan informasi-informasi yang objektif, kita juga perlu untuk
membandingkan hal tersebut dengan norma-norma moral. Norma moral yang
dimaksud adalah yang relevan dengan topik atau bidang khusus yang dibahas.
Contoh prinsip normative dalam etika biomedis: berbuat baik, tidak merugikan,
menghormati otonomi manusia, dan keadilan. Norma tersebut harus diterima oleh
semua orang agar berlaku untuk kasus atau bidang tertentu.

4. Logika
Terakhir, Uraian yang diberikan sebagai kesimpulan dalam etika terapan harus
bersifat logis. Logika dapat memperlihatkan bagaimana kesimpulan etis tersebut
tahan uji. Logika dapat menunjukkan kesalahan penalaran/inkonsistensi dalam
argumentasi. Logika memungkinkan untuk menilai definisi dan klasifikasi yang
dipakai dalam argumentasi.

Anda mungkin juga menyukai