Anda di halaman 1dari 4

Rangkuman

 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan


Pasal 1 tentang pengertian perkawinan. Pasal 2 tentang sahnya perkawinan,
bila menurut hukum dan agama masing-masing. Pasal selanjutnya tentang akibat
hukum dari perkawinan yaitu hubungan antara suami-istri, ortu-anak, dan kekayaan
dlm perkawinan yang sah. Sedangkan kaibnat dari perkawinan yang tidak sah : anak
yang lahir hanya punya hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya, dan tidak
ada harta bersama. Selanjutnya berisi tentang perjanjian perkawinan dan hak &
Kewajiban suami-istri yang meliputi
1. Suami-istri memikul kewajiban yang sama atas rumah tangganya.
2. Sama2 berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
3. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan
hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
4. Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.
5. Jika sama2 lalai, maka dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan.
Selanjutnya harta benda dalam perkawinan yakni dijelaskan semua yg
diperoleh dalam perkawinan jadi harta bersama. Lalu ada akibat terjadinya perceraian
dan kedudukan anak dalam perkawinan
 UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
Lahirnya UU No. 7 Tahun 1989 yaitu sekitar 25 tahun pasca kemerdekaan
terdapat keanekaragaman dasar penyelenggaraan, kedudukan, susunan, dan kekuasaan
pengadilan dalam lingkungan peradilan agama. Perubahan tatanan peradilan nasional
bertitik tolak pada ketentuan konstitusi disamping diperhatikan perkembangan
aspirasi dan tatanan masyarakat secara makro. Dasar yang dijadikan rujukan dalam
perubahan itu ialah pasal 12 undang-undang tentang pokok-pokok kekuasaan
kehakiman sebagai pelaksanaan 24 dan 25 UUD 1945. Pada tahun 1970
diundangkanlah UU No. 14 tahun 1970 Jo. UU No. 35 tahun 1999, dan UU No. 1
tahun 1974 tentang perkawinan serta peraturan pelaksanaannya. Dengan
diundangkannya undang-undang tersebut, maka Peradilan Agama diberikan tempat
sebagai salah satu peradilan dalam tata peradilan di Indonesia yang melaksanakan
kekuasaan kehakiman dalam NKRI dan tugas-tugas badan peradilan agama menjadi
meningkat. Dari rata0rata 35.000 perkara sebelum diberlakukannya undang-undang
perkawinan menjadi hamper 300.000-an perkara dalam satu tahun diseluruh
Indonesia. Dengan sendirinya hal itu mendorong usaha peningkatan jumlah dan
kualitas aparatur pengadilan, khususnya hakim untuk menyelesaikan tugas-tugas
peradilan tersebut.
Instruksi Presiden No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
berhubungan dengan kemajemukan hukum dalam system hukum nasional. KHI
berhubungan dengan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama yang mengalami
perubahan penting berkenaan dengan berlakunya UU No. 7 tahun 1989. KHI juga
berhubungan dengan kemajemukan hukum keluarga, antara lain hukum perkawinan
yang mengenal differensiasi menurut agama sebagaimana tercermin dalam ketentuan
pasal 2 ayat 1 UU NO. tahun 1974. Secara singkat, KHI dirumuskan dan
disebarluaskan untuk memenuhi kebutuhan hukum subtansial bagi orang-orang yang
beragama Islam.
Perubahan susunan dan kekuasaan Pengadilan Agama.
Menurut ketentuan pasal 6, 7, 8 UU No. 7 tahun 1989 pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Agama terdiri atas Pengadilan Agama (PA) sebagai pengadilan tingkat
pertama dan Pengadilan Tinggi Agama (PTA), sebagai pengadilan tingkat banding.
Ide Kompilasi Hukum Islam timbul setelah beberapa tahun mahkamah agung
membina bidang teknis yustisial Peradilan Agama. Selama pembinaan tersebut,
dirasakan adanya beberapa kelemahan, seperti hukum Islam yang diterpakan di
lingkungan Peradailan Agama, yang cenderung simpang siur karena adanya
perbedaan pendapat para ulama hamper dalam setiap persoalan. Untuk mengatasi hal
ini diperlukan adanya buku hukum yang menghimpun semua hukum terapan yang
berlaku bagi lingkungan Peradilan Agama yang dapat dijadikan pedoman oleh para
hakim dalam melaksanakan tugasnya, untuk menjamin akan adanya kesatuan dan
kepastian hukum.
1. Kompilasi Hukum Islam
Asas- asas dalam kompilasi hukum islam yaitu : Asas (i) ijbari, secara umum, terlihat
pada ketentuan umum mengenai perumusan pengertian kewarisan, pewaris dan ahli
waris. Secara khusus, asas ijbari mengenai cara peralihan harta warisan, juga disebut
dalam ketentuan umum tersebut dan pada Pasal 187 ayat (2) yang berbunyi sebagai
berikut, “Sisa pengeluaran dimaksud di atas adalah merupakan harta warisan yang
harus dibagikan kepada ahli waris yang berhak". Asas (ii) bilateral dalam Kompilasi
Hukum Islam dapat dibaca pada 'pengelompokan ahli waris' seperti tercantum dalam
Pasal 174 ayat (1) yaitu ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek
(golongan laki-laki), serta ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek
(golongan perempuan) menurut hubungan darah. Asas (iii) individual. Asas ini juga
tercermin dalam pasal- pasal mengenai besarnya bagian ahli waris dalam Kompilasi
Hukum Islam, Bab III Pasal 176 sampai dengan Pasal 180 tersebut di atas. Dan,
khusus bagi ahli waris yang memperoleh harta warisan sebelum ia dewasa atau tidak
mampu bertindak melaksanakan hak dan kewajibannya atas harta yang diper- olehnya
dari kewarisan, baginya diangkat wali berdasarkan putusan hakim atas usul anggota
keluarganya. Ini diatur dalam Pasal 184 Kompilasi Hukum Islam. Asas (iv) keadilan
berimbang. Asas ini dalam Kompilasi Hukum 310 Hukum Islam Islam terdapat,
terutama, dalam pasal-pasal mengenai besarnya bagian yang disebut dalam Pasal 176
dan Pasal 180. Asas (v) yakni asas yang menyatakan bahwa kewarisan ada kalau 'ada
yang meninggal dunia' tercermin dalam rumusan berbagai istilah yaitu hukum
kewarisan, pewaris, ahli waris dan harta peninggalan dalam Pasal 171 pada bab
ketentuan umum.
Catatan tentan Kompilasi Hukum Islam yaitu Pertama, karena garis-garis
hukum mengenai kewarisan sudah ditentukan dalam Alquran, maka rumusan
kompilasi mengikuti saja garis rumusan yang terdapat dalam Alquran. Mengenai ini
tidak ada perbedaan antara Kompilasi dengan Fiqhul Mawaris. Sementara itu perlu
dicatat bahwa kendatipun semangat perumusan kompilasi mengarah ke sistem
bilateral, namun modifikasi dalam masalah kewarisan ini, dibandingkan dengan
Fiqhul Mawaris, tampaknya, dilakukan secara hati-hati. Kedua, kedudukan anak
angkat tetap diletakkan di luar ahli waris, sama dengan yang terdapat dalam fiqih
mawaris selama ini, namun dengan mengadaptasi nilai hukum adat secara terbatas ke
dalam nilai hukum Islam karena beralihnya tanggung jawab orang tua asal kepada
orang tua angkat mengenai pemeliharaan kehidupan sehari-hari dan biaya pendidikan.
Dalam fiqih mawaris selama ini, lembaga wasiat wajibah itu diperuntukkan
bagi cucu yang orang tuanya telah meninggal lebih dahulu dari pewaris, yang dalam
kompilasi ini ditampung oleh lembaga ahli waris pengganti. Ketiga, tentang warisan
yang diperoleh anak yang belum dewasa dan karena itu belum atau tidak mampu
mengurus hartanya sendiri, berbeda dengan fiqih mawaris, Kompilasi Hukum Islam
mengatur soal itu secara rinci yang tertuang dalam beberapa pasal, misalnya, Pasal
184 yang menyatakan bahwa untuk menjamin terpeliharanya harta warisan anak yang
belum dewasa, diangkat wali berdasarkan keputusan hakim. Menurut Buku I Pasal
107'perwalian' mengenai diri dan harta kekayaan anak berlangsung sampai anak itu
berumur 21 tahun. Walinya sedapat mungkin dari keluarga anak bersangkutan. Wali
bertanggung jawab terhadap harta (anak) yang berada di bawah perwaliannya,
dilarang mengikat, membebani dan mengasingkan harta anak yang berada di bawah
perwaliannya serta wajib mempertanggungjawabkan perwalian yang dipercayakan
kepadanya dengan pembukuan, sebagai bukti, yang ditutup setiap akhir tahun
 UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf
Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau
menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau
untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah
dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.
 UU No. 8 Tahun 2019 tentang tentang Penyelenggaran Ibadah Haji dan Umrah
Berdasarkan Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2019, Penyelenggaraan Ibadah Haji
dan Umrah bertujuan untuk memberikan pembinaan, pelayanan, dan pelindungan bagi
Jemaah Haji dan Jemaah Umrah sehingga dapat menunaikan ibadahnya sesuai dengan
ketentuan syariat; dan mewujudkan kemandirian dan ketahanan dalam
Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. Banyak juga ketentuan lain tentang
Penyelenggaran Ibadah Haji dan Umrah yang termuat dalam UU ini
 UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat
UU No 23 tahun 2011 mengatur tentang zakat berfungsi untuk terwujudnya
akuntabilitas dari lembaga pengelola zakat yang ada di Indonesia, regulasi tersebut
mengatur dari syarat pendirian lembaga pengelola zakat, pengelolaanya dan
pelaporanya. Pertimbangan dalam UU 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat
adalah bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing- masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu dan bahwa menunaikan zakat merupakan kewajiban bagi umat
Islam yang mampu sesuai dengan syariat Islam, serta bahwa zakat merupakan pranata
keagamaan yang bertujuan untuk meningkatkan keadilan dan kesejahteraan
masyarakat.
 UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal
Dasar hukum Undang-Undang Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk
Halal adalah Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28H ayat (1), Pasal 28J, dan Pasal 29 ayat (2)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kehadiran UU ini
sebagai jembatan penghubung masyarakat, konsumen, pelaku usaha dan pemerintah
dalam implementasi dan law enforcement yang dimana produk halal aka lebih
terjamin karena ada dasar hukum yang mengaturnya.
 UURI No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, dan Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah
Adanya UU ini dialatarbelakangi bahwa sejalan dengan tujuan pembangunan
nasional Indonesia untuk mencapai terciptanya masyarakat adil dan makmur
berdasarkan demokrasi ekonomi, dikembangkan sistem ekonomi yang berlandaskan
pada nilai keadilan, kebersamaan, pemerataan, dan kemanfaatan yang sesuai dengan
prinsip syariah. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
(UUPS), keberadaannya sesungguhnya merupakan tuntutan untuk memenuhi
ketentuan Pasal 49 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama,
khususnya perubahan lembaga peradilan agama menyangkut (kompetensi) yang harus
diemban oleh peradilan agama dalam memenuhi amanat Undang-undang. Apabila
dirunut dari aspek historis eksistensi Peradilan Agama sudah ada sejak zaman
penjajah sampai kemerdekaan, hingga sekarang reformasi tidak dipersoalkan lagi.
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 dilihat dari pendekatan yuridis formalistik
denngan payung hukum (UU No. 3 Tahun 2006, UU No. 4 Tahun 2004) tentu
pemahaman hukum dalam konteks kehidupan masyarakat Indonesia yang sedang
berubah, lalu lintas kebutuhan yang semakin beragam dan kompleks merupakan
realitas tuntutan kebutuhan hukum dan hukum bukan sekedar untuk menjadi bahan
pengkajian secara logis rasional melainkan hukum dibuat untuk dijalankan.
Perwujudan tujuan, nilai-nilai ataupun ide-ide yang terkandung dalam peraturan
hukum merupakan suatu kegiatan yang tidak berdiri sendiri, melainkan mem-punyai
hubungan timbal balik yang erat dengan masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai