Anda di halaman 1dari 6

NAMA: DARMA SETYA PAMBUDI

KELAS: A-2/FH
NPM: 41151010210102
RANGKUMAN HUKUM ISLAM

A. PENGERTIAN PERKAWINAN

Pengertian Perkawinan Berdasarkan UU No.1 Tahun 1974 Dalam Pasal 1 Undang-


Undang Perkawinan Tahun 1974 tentang Perkawinan dirumuskan pengertian Perkawinan yang
di dalamnya terkandung tujuan dan dasar perkawinan dengan rumusan :

“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (Rumah Tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
kepada Tuhan Yang Maha Esa.”

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata “nikah” sebagai Perjanjian
antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami isteri atau sering diartikan pula sebagai
perkawinan. Mulanya kata “nikah” berasal dari bahasa Arab. Sedangkan di dalam Al-Quran
menggunakan kata “zawwaja” dan kata “zauwj”, yang berarti pasangan. Hal ini dikarenakan
pernikahan menjadikan seseorang memiliki pasangan.

Perkawinan menurut Hukum Islam adalah Pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau
miitsaaqon gholiidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Suatu akad perkawinan menurut Hukum Islam ada yang sah dan ada yang tidak sah. Akad
perkawinan dikatakan sah, apabila akad tersebut dilaksanakan dengan syarat-syarat dan rukun-
rukun yang lengkap, sesuai dengan ketentuan Agama. Sebaliknya, akad perkawinan dikatakan
tidak sah bila tidak dilaksanakan dengan syarat-syarat dan rukun-rukun yang lengkap sesuai
dengan ketentuan Agama. Sementara dalam pandangan ulama suatu perkawinan telah
dianggap sah apabila telah terpenuhi baik dalam syarat maupun rukun perkawinan.

1. Arti perkawinan dalam UU No.1 Tahun 1974

Arti perkawinan Berdasarkan UU No.1 Tahun 1974. Dalam Pasal 1 Undang- Undang
Perkawinan Tahun 1974 tentang Perkawinan dirumuskan pengertian Perkawinan yang di
dalamnya terkandung tujuan dan dasar perkawinan dengan rumusan:
“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri
dengan tujuan membentuk keluarga (Rumah Tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
kepada Tuhan Yang Maha Esa.”

2. Syarat-syarat perkawinan menurut UU No.1 Tahun 1974 di atur dalam pasal 6 yaitu:

a. Perkawinan harus di dasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.

b. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus
mendapat izin kedua orang tua.

c. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal atau dalam pasal ini cukup
diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan
kehendaknya.

d. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu
menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga
yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan khusus keatas selama mereka masih
hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.

e. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat 2, 3, dan 4
pasal ini atau salah seorag atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka
peradilan dalam daerah hukum tempat tinggal.

f. Ketentuan tersebut ayat 1 sampai ayat 5 pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaan itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

B. Hubungan hukum dalam perkawinan

Menurut UU No.1 Tahun 1974 hakikat perkawinan adalah ikatan lahir batin antara
seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri. Dari rumusan diatas jelaslah bahwa ikatan
lahir dan batin harus ada dalam setiap perkawinan. Terjalinnya ikatan lahir dan batin
merupakan fondasi dalam membentuk dan membina keluarga yang bahagia dan kekal.

C. Pengertian, Tugas pokok, dan Fungsi Peradilan Agama

Pengadilan Agama, yang merupakan Pengadilan Tingkat Pertama bertugas dan


berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara ditingkat pertama antara
orang-orang yang beragama Islam dibidang perkawinan, kewarisan, wasiat dan hibah yang
dilakukan berdasarkan hukum Islam, serta wakaf dan shadaqah, sebagaimana diatur dalam
Pasal 49 Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama.

Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut, Pengadilan Agama mempunyai fungsi sebagai
berikut:

1. Memberikan pelayanan teknis yustisial dan administrasi kepaniteraan bagi perkara


tingkat pertama serta penyitaan dan eksekusi .
2. Memberikan pelayanan dibidang administrasi perkara banding, kasasi dan peninjauan
kembali serta administrasi peradilan lainnya .
3. Memberikan pelayanan administrasi umum kepada semua unsur di lingkungan
Pengadilan Agama (umum, kepegawaian dan keuangan kecuali biaya perkara)
4. Memberikan Keterangan, pertimbangan dan nasehat tentang Hukum Islam pada
Instansi Pemerintah di daerah hukumnya, apabila diminta sebagaimana diatur dalam
Pasal 52 Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama
5. Memberikan pelayanan penyelesaian permohonan pertolongan pembagian harta
peninggalan diluar sengketa antara orang-orang yang beragama Islam yang dilakukan
berdasarkan hukum Islam sebagaimana diatur dalam Pasal 107 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
6. Waarmerking Akta Keahliwarisan di bawah tangan untuk pengambilan deposito/
tabungan, pensiunan dan sebagainya.
7. Pelaksanakan tugas-tugas pelayanan lainnya seperti penyuluhan hukum, pelaksanaan
hisab rukyat, pelayanan riset/penelitian dan sebagainya.

D. PENGERTIAN KOMPILASI HUKUM ISLAM


Istilah “kompilasi” diambil dari bahasa Latin. Kompilasi diambil dari kata compilare
yang berarti mengumpulkan bersama-sama. Istilah ini kemudian dikembangkan menjadi
compilation dalam bahasa Inggris atau compilatie dalam bahasa Belanda. Istilah ini kemudian
dipergunakan dalam bahasa Indonesia menjadi “kompilasi”, yang berarti terjemahan langsung
dari dua perkataan tersebut.
Dalam Kamus Bahasa Inggris-Indonesia, compilation berarti karangan tersusun dan
kutipan buku-buku lain. Sedangkan dalam Kamus Umum Belanda Indonesia, kata compilatie
diterjemahkan menjadi kompilasi dengan arti kumpulan dari lain-lain karangan. Berdasarkan
pengertian-pengertian tersebut, maka dapat diketahui bahwa ditinjau dari segi bahasa
(etimologi), kompilasi adalah kegiatan pengumpulan dari berbagai bahan tertulis yang diambil
dari berbagai buku/tulisan mengenai sesuatu persoalan tertentu. Sedangkan pengertian
kompilasi dari segi hukum adalah sebuah buku hukum atau buku kumpulan yang memuat
uraian atau bahan-bahan hukum tertentu, pendapat hukum, atau juga aturan hukum. Adapun
pengertian Kompilasi Hukum Islam adalah rangkuman dari berbagai pendapat hukum yang
diambil dari berbagai kitab yang ditulis oleh para ulama fikih yang biasa dipergunakan sebagai
referensi pada Pengadilan Agama untuk diolah dan dikembangkan serta dihimpun ke dalam
satu himpunan. Himpunan inilah yang dinamakan kompilasi.

E. PENGERTIAN QANUN
Qanun adalah Peraturan Perundang-undangan sejenis dengan Peraturan Daerah
(Perda) yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat di
Provinsi Aceh. Qanun terdiri atas:

Qanun Aceh, yang berlaku di seluruh wilayah Provinsi Aceh. Qanun Aceh disahkan oleh
Gubernur setelah mendapat persetujuan dengan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh.

Qanun Kabupaten/Kota, yang berlaku di kabupaten/kota tersebut. Qanun kabupaten/kota


disahkan oleh bupati/wali kota setelah mendapat persetujuan bersama dengan DPRK (Dewan
Perwakilan Rakyat Kabupaten atau Dewan Perwakilan Rakyat Kota).

F. HUKUM ISLAM DALAM TATA HUKUM DI INDONESIA

Kalau kita mempelajari sejarah hukum (Legal History) Hindia Belanda mengenai
kedudukan hukum Islam, kita dapat membaginya ke dalam dua periode:

1. Periode penerimaan hukum Islam sepenuhnya.

2. Periode penerimaan hukum Islam oleh hukum adat.

Periode penerimaan hukum Islam sepenuhnya, yang disebut juga Receptio in


Complexu, adalah periode ketika hukum Islam diberlakukan sepenuhnya bagi orang Islam
sebab mereka telah memeluk agama Islam. Apa yang telah berlaku sejak mulai adanya
kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara, sejak kedatangan VOC hukum kekeluargaan Islam,
yakni hukum perkawinan dan hukum waris, tetap diakui oleh Belanda. Bahkan oleh VOC
hukum kekeluargaan itu diakui dan dilaksanakan dengan bentuk peraturan Resolutie der
Indische Regeering tanggal 25 Mei 1760 yang merupakan kumpulan aturan perkawinan dan
hukum kewarisan Islam, yang terkenal sebagai Compendium Friejer.

Hukum Islam yang telah berlaku di zaman VOC itulah oleh pemerintah Hindia Belanda
diberi dasar hukum dalam Regeeringregiement (RR) tahn 1855 dimana antara lain dinyatakan
dalam pasal 75: ”Oleh hakim Indonesia itu hendaklah diberlakukan undang-undang agama
(goolsdienstige wetten)”. Periode penerimaan hukum Islam oleh hukum adat yang disebut juga
dengan teori Receptie adalah hukum Islam baru berlaku bila dikehendaki akan diterima oleh
hukun adat. Pendapat Prof. Snock Hurgronge ini diberi dasar hukum dalam Undang- Undang
Dasar Hindia Belanda yang menjadi pengganti RR, yang disebut Indische Staatsregeling (IS).
Dalam 15 yang diundangkan dalam Stbl, 1992:212, hukum Islam dicabut dari lingkungan tata
hukum Hindia Belanda, pasal 134 ayat (2) 15 Tahun 1929 itu berbunyi: ”dalam hal terjadi
perkara perdata antara sesama orang Islam akan diselesaikan oleh hakim agama Islam pabila
hakim adat mereka menghendakinya dan sejauh itu tidak ditentukan lain dengan suatu
Ordonasi”. Pada pertengahan tahun 1937 pemerintah Hindia Belanda mengumumkan gagasan
untuk memindahkan wewenang mengatur waris dari Pengadilan Agama ke Pengadilan Negeri.
Apa yang menjadi kompetensi Pengadilan Agama sejak tahun 1882 hendak dialihkan ke
Pengadilan Negeri dan dengan stbl, 1937: 116 dicabutah wewenang Pengadilan Agama itu
dengan alasan hukum waris Islam belum diterima sepenuhnya oleh hukum adat.

Reaksi pihak Islam terhadap campur tangan Belanda dalam maslah hukum Islam ini
banyak ditulis dalam buku-buku dan surat-surat kabar pada waktu itu. Tidak perlu diterangkan
bahwa politik hukum yang menjauhkan umat Islam dari ketentuan- ketentuan agamanya
sengaja diusahakan Belanda untuk kepentingan pencegahan kekuasaannya di Indonesia oleh
karena itu, tatkala kesempatan itu terbuka pada waktu Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) terbentuk dan bertindak pada zaman penjajahan Jepang,
Pemimpin-pemimpin Islam memperjuangkan berlakunya kembali hukum Islam dengan
kekuatan hukum Islam tanpa hubungannya dengan hukum adat.

G. HUKUM ISLAM DAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL

Hukum islam adalah hukum yang bersifat universal, karena merupakan bagian dari
agama islam yang universal. Hukum islam berlaku bagi orang islam dimanapun ia berada.
Hukum nasional adalah hukum yang berlaku bagi bangsa tertentu di suatu negara nasional
tertentu. Dalam kamus Indonesia, hukum nasional juga berarti hukum yang dibangun oleh
bangsa Indonesia setelah Indonesia merdeka dan berlaku bagi penduduk Indonesia, terutama
warga Negara Republik Indonesia, sebagai pengganti hukum colonial dahulu.

Peranan hukum islam dalam pembinaan hukum nasional. Diketahui bahwa untuk
membina hukum nasional diperlukan politik hukum tertentu. Politik hukum Indonesia telah
ditetapkan dalam UUD 1945, pokoknya dirumuskan dalam GBHN yang kemudian dirinci oleh
Menteri kehakiman dan dilaksanakan oleh department terkait dengan koordinasi dengan Badan
Pembinaan Hukum Nasional (BPHN).

Mengenai kedudukan hukum islam dalam pembinaan hukum nasional, bahwa hukum
islam yang merupakan salah satu komponen tata hukum Indonesia menjadi salah satu sumber
bahan baku bagi pembentukan hukum nasional. Dengan demikian jelas hukum islam tidak
dapat dipisahkan dari kehidupan mayoritas masyarakat Indonesia. Oleh karenanya untuk
menunjang hal tersebut, birokrasi sebagai pemegang political will harus senantiasa dapat
memperjuangkan akan peranan hukum islam dalam pembinaan hukum nasional. Sehingga
dengan demikian hukum islam dapat mewarnai sekaligus menjiwai setiap perundang-undangan
nasional Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai