9. Tentang Ashabah
Menyangkut ketentuan tentang ashabah dapat ditemukan dalam beberapa hadis antara lain:
a. Hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim, dari Ibsu Abbas, bahwa Nabi
saw. bersabda: Berikanlah bagian-bagian yang telah ditentukan itu kepada pemiliknya
yang berhak menurut nash; dan apa yang tersisa maka berikanlah kepada ashabah laki-
laki yang terdekat kepada si mayit. (Sayid Sabiq,14,1988:259)
10. Tentang Aul
Persoalan and ini timbul ke permukaan pertama kalinya adalah pada wa sesuatu persoalan
diajukan kepada Umar ra, dan untuk mema persoalan tersebut Umar memutuskan bahwa
penyelesaiannya ha dengan aul, dan ia berkata kepada sahabat yang ada di sisinya: "Tika sa
mulai memberikan kepada suami atau 2 (dua) orang saudara perp maka tidak ada hak yang
sempurna bagi yang lain. Maka berilah pertimbangan, "maka Abbas bin Abdul Muthalib pun
memberika pertimbangan kepadanya dengan aul. Dikatakan pula bahwa p memberikan
pertimbangan itu ialah Ali. Sementara yang lain men bahwa yang memberikan pertimbangan itu
Zaid bin Tsabit. ( Sabiq,14, 1988: 266)
11. Tentang Waktu untuk Menetapkan Kematian
Adapun yang dimaksud dengan menetapkan kematian adalah bila sespergi dan terputus sama
sekali kabar beritanya, tidak diketahui tempat dan juga tidak diketahui apakah dia masih hidup
atau sudah mati. Untuk hal ini dapat dipedomani riwayat dari Malik, bahwa dia berk empat
tahun", karena Umar ra., berkata: "Setiap istri yang ditinggalks pergi oleh suaminya, sedang dia
tidak mengetahui di mana suami maka dia menunggu empat tahun, kemudian dia ber-iddah
selama c bulan sepuluh hari, kemudian lepaslah dia". (Hadis Riwayat Al-Bukha dan Asy-Syafi'i)
12. Tentang Anak Zina dan Anak Li'an
Dalam hal anak zina dan anak fi'an dapat didasarkan kepala tudi, dari Ibnu Umar, bahwa seorang
laki-laki telah ins it an istrinya di zaman Nabi saw, dan dia tidak mengakui anak istrinya, maka
Nabi wikan antara kedua suami istri itu. Hadis Riwayat Al-Bukhari dan Abu Dawad Dan lafal
hadis tersebut adalals "Rasulullah saw menjadikan pewarisan anak li'an kepada ibunya dan ahli
waris ibu sepeninggal sistSebenamya banyak lagi persoalan-persoalan dasar penyelesaianya
didasarkan kepada ijtihad para sahabat Nabi Muhammad saw, na demikian untuk lebih
memudahkan, persoalan-persoalan tersebut disampaikan pada waktu membahas kasus-kasus
1. Asas Ijbari
Secara etimologis kata ijbari mengandung arti paksaan (compulsory). yaitu melakukan sesuatu di
luar kehendak sendiri. Dalam hal hukum waris berarti terjadinya peralihan harta seseorang yang
telah meninggal dunia kepada yang masih hidup dengan sendirinya, maksudnya tanpa ada
perbuatan hukum atau pernyataan kehendak dari si pewaris, bahkan si pewaris (semasa
hidupnya) tidak dapat menolak atau menghalang-halangi terjadi peralihan tersebut
2. Asas Bilateral
Adapun yang dimaksud dengan asas bilateral dalam hukum Islam adalah bahwa seseorang
menerima hak warisan dari k piha garis kerabat, yaitu dari garis keturunan perempuan m
keturunan laki-laki. Asas bilateral ini secara tegas dapat ditemui dalam ke An-Nisa' (5) ayat 7,
11, 12 dan 176. Antara lain dalam ayat 7 di bahwa seorang laki-laki berhak memperoleh warisan
dari pihak dan demikian juga dari pihak ibunya. Begitu pula seorang mendapat warisan dari
kedua pihak orang tuanya. Asas bilateral ini juga berlaku pula untuk kerabat garis ke s (yaitu
melalui ayah dan ibu).
3. Asas Individual
Pengertian asas individual ini adalah setiap ahli waris (secara berhak atas bagian yang
didapatnya tanpa terikat kepada ahli wa (sebagaimana halnya dengan pewarisan kolektif yang
dijumpai d ketentuan Hukum Adat). Dengan demikian, bagian yang diperoleh ahli waris dari ha
dimiliki secara perorangan, dan ahli wars yang lainnya tidak ad pa sekali dengan bagian yang
diperolehnya terseleg so di masing-masing ahli waris bebas menentukan (berbak geni gian yang
dipelihnya)
4. Asas Keadilan Berimbang
Asas keadilan berimbang maksudnya adalah keseimbangan antara hak di kewajiban dan
keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan.Dengan perkataan lain
dapat dikemukakan bahwa faktor jenis kelamin tidaklah menentukan dalam hak kewarisan
(kebalikan dari asas keseimbangan ini dijumpai dalam masyarakat yang menganut sistem garis
keturunan patrilinial, yang ahli waris tersebut hanyalah keturunan laki laki saja garis kebapakan).
Dasar hukum asas ini dapat dijumpai antara lain dalam ketentuan QS. An-Nisa' (4) ayat 7, 11,
12, dan 176. 9
5. Kewarisan Semata Akibat Kematian
Hakum waris Islam memandang bahwa terjadinya peralihan harta hanya semata-mata disebabkan
adanya kematian. Dengan perkataan lain, harta seseorang tidak dapat beralih (dengan pewarisan)
seandainya dia masih hidup Walaupun ia berhak untuk mengatur hartanya, hak tersebut semata ta
hanya sebatas keperluannya semasa ia masih hidup, dan bukan ak penggunaan harta tersebut
sesudah ia meninggal dunia.
BAB IV
TENTANG BIAYA PERAWATAN HIBAH, WASIAT, DAN UTANG PEWARIS
Berbicara tentang biaya perawatan, hibah, wasiat, dan utang pe sebenarnya bukan termasuk
dalam lingkup hukum waris, akan te seseorang meninggal dunia, meninggalkan harta dan ahli
wars, tidaklah mutlak seluruh harta yang ditinggalkan oleh si pewaris menjadi hak ahli waris,
sebab di dalam harta peninggalan si per tersebut masih ada hak-hak lain yang harus dikeluarkan
terlebih d sebelum harta tersebut dibagikan kepada ahli waris.Oleh karena persoalan tersebut erat
hubungannya dengan pers harta peninggalan si pewaris, maka ada baiknya hal tersebut dibica
secara singkat.
A. BIAYA-BIAYA PERAWATAN PEWARIS
Apa yang dimaksud dengan biaya-biaya perawatan si pewaris adalab yhaya yang dikeluarkan
untuk keperluan si mayit mulai dari saat laya sampal dikuburkan (biaya pelaksanaan fardhu
kifayah). Pahokam Islam sependapat bahwa biaya yang diperlukan untuk al dikeluarkan dari
harta peninggalannya
B HIBAH PEWARIS
Kan berasal dari bahasa Arab yang secara etimologi berartimewakan atau menyalurkan, dengan
demikian berarti telah disalurkan datangan orang yang memberi kepada tangan orang yang
diberi, Chaimman dan Suhrawardi, 1994: 113) Apabila diperhatikan ketentuan-ketentuan hukum
Islam tentang pelaksanaan hibah ini,
C. WASIAT
Kalau diperhatikan dari segi asal kata, perkataan wasiat berasal de bahasa Arab, yaitu kata
washshaitu asy-syaia, úshí artinya aushal yang dalam bahasa Indonesianya berarti "aku
menyampaikan sesu (Sayid Sabiq,14,1988:215)Sayid Sabiq sebagaimana dikutip oleh Drs.
Chairuman Pasarite dan Suhrawardi K. Lubis, S.H. mengemukakan pengertian wasiat adalah
pemberian seseorang kepada orang lain, baik berupa barang pintang, ataupun manfaat untuk
dimiliki oleh orang yang diberi wasi setelah orang yang berwasiat mati. (Chairuman Pasaribu,
Suhrawardi K. Lubis, 1993: 122)
D. UTANG PEWARIS
Utang adalah tanggungan yang harus diadakan pelunasannya dalam sunna w tertentu. Kewajiban
pelunasan utang timbul sebagai dari prestasi (imbalan) yang telah diterima oleh si benitang.
Apabila seseorang yang meninggalkan utang kepada seseorang lain maka scharumyalah utang
tersebut dibayar/dilunasi terlebih dahulu (dan harta peninggalan si mayit) sebelum harta
peninggalan tersebut dibagika kepada ahli warisnya.
BAB V
1. Halangan Kewarisan
Dalam hal hukum kewarisan Islam, yang menjadi penghalang seseorang ahli waris untuk
mendapatkan warisan disebabkan karena hal-hal berikut
2. Kelompok Keutamaan dan Hijab
Sebagaimana hukum waris lainnya, hukum waris Islam juga mengenal pengelompokan ahli
waris kepada beberapa kelompok keutamaan, misalnya anak lebih utama dari cucu, ayah lebih
dekat (lebih utama) kepada anak dibandingkan dengan saudara, ayah lebih dekat (lebih utama)
kepada si anak dibandingkan dengan kakek. Kelompok keutamaan ini juga dapat disebabkan
kuatnya hubungan kekerabatan, misalnya saudara kandung lebih utama dari saudara seayah atau
seibu, sebab saudara kandung mempunyai dua garis penghubung (yaitu dari ayah dan ibu)
sedangkan saudara sebapak dan seibu hanya dihubungkan oleh satu garis penghubung (yaitu
ayah atau ibu saja)
BAB VI
MUNASAKHAT (MUNASAKAH)
Adapun yang dimaksud dengan munasakhat atau munasakah adalah perpindahan hak waris
seseorang yang belum diterimanya dan selanjutnya berpindah atau diterimakan lagi oleh ahli
warisnya. Hal ini terjadi, bila seseorang ahli waris meninggal dunia sebelum pembagian harta
pusaka dilakukan (dia-si ahli waris-yang mati belum memperoleh bagiannya), maka bagiannya
akan beralih kepada ahli warisnya. Jadi dalam hal ini dijumpai adanya 2 (dua) kali kematian,
yaitu yang mati pertama adalah pewaris, dan yang mati kedua adalah ahli waris dari mayit
pertama, hanya saja bagian dari mayit kedua belum diperolehnya, karena pada waktu meninggal
belum diadakan pembagian warisan.