Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENTINGNYA BELAJAR HUKUM WARIS ISLAM


A. HUKUM BELAJAR DAN MENGAJARKAN
Bagi seorang muslim, tidak terkecuali apakah dia laki-laki atau perempuan yang tidak
memahami atau tidak mengerti hukum waris Islam maka wajib hukumnya (dilaksanakan
berpahala, tidak dilaksanakan berdosa) baginya untuk mempelajari hukum waris Islam tersebut.
Dan sebaliknya bagi barang siapa yang telah memahami dan menguasai hukum waris Islam
maka berkewajiban pula untuk mengajarkannya kepada orang lain. Kewajiban belajar dan
mengajarkan tersebut dimaksudkan agar di kalangan kaum muslimin (khususnya dalam
keluarga) tidak terjadi perselisihan-perselisihan disebabkan masalah pembagian harta warisan
yang pada gilirannya akan melahirkan perpecahan/keretakan dalam hubungan kekeluargaan
kaum muslimin. Adapun perintah belajar dan mengajarkan hukum waris Islam ini dijumpai
dalam teks hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ahmad, An-Nasa'i dan Ad-Daruquthni yang
artinya sebagai berikut: Pelajarilah Alquran dan ajarkan kepada orang-orang dan pelajarilah ilmu
faraidh serta ajarkan kepada orang-orang. Karena saya adalah orang yang bakal direnggut (mati),
sedangkan ilmu itu akan diangkat. Hampir-hampir saja dua orang yang bertengkar tentang
pembagian pusaka, maka mereka berdua tidak menemukan seorang pun yang sanggup
memfatwakannya kepada mereka.
B. HUKUM MEMBAGI HARTA PUSAKA
Bagi setiap pribadi muslim adalah merupakan kewajiban baginya untuk melaksanakan kaidah-
kaidah atau peraturan-peraturan hukum Islam yang ditunjuk oleh peraturan-peraturan yang jelas
(nash-nash yang sharih). Selama peraturan tersebut ditunjukkan oleh peraturan atau ketentuan
lain yang menyebutkan ketidakwajibannya, maksudnya setiap ketentuan hukum agama Islam
wajib dilaksanakan selama tidak ada ketentuan lain (yang datang kemudian sesudah ketentuan
terdahulu) yang menyatakan ketentuan terdahulu tidak wajib. Demikian pula halnya mengenai
hukum faraidh, tidak ada satu ketentuan pun (nash) yang menyatakan bahwa membagi harta
warisan menurut ketentuan faraidh itu tidak wajib. Bahkan sebaliknya di dalam Surah An-Nisa'
ayat 13 dan 14 Allah SWT.
BAB II
KEDUDUKAN HUKUM WARIS ISLAM DALAM TATA HUKUM INDONESIA
A. SEJARAH HUKUM ISLAM (WARIS) DI INDONESIA
1. Pada Masa sebelum Pemerintahan Kolonial Belanda Menyangkut sejarah hukum Islam di
Indonesia tentunya berkaitan erat dengan masuknya agama Islam sekarang di nusantara. Tentang
masuknya agama Islam di nusantara sampai saat ini belum ada kesatuan pendapat kata sepakat di
antara para ahli sejarah Indonesia. Sementara ahli sejarah ada yang mengemukakan bahwa
agama Islam masuk di nusantara pada abad ke-1 Hijriah (7 Masehi), dan ada yang berpendapat
pada abad ke-7 Hijriah (13 Masehi). Dalam hal ini penulis lebih condong kepada pendapat yang
pertama, apalagi hal ini telah diperkuat pula dengan pendapat yang disimpulkan oleh seminar
masuknya Islam ke Indonesia yang diselenggarakan di Medan pada tahun 1963,yang dalam
seminar tersebut disimpulkan bahwa Islam telah masuk ke Indonesia pada abad
ketujuh/kedelapan Masehi.
2. Pada Masa Pemerintahan Kolonial Belanda Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa secara
perlahan-lahan dan sistematis Pemerintahan Kolonial Belanda mencoba untuk menghilangkan
pengaruh hukum Islam dalam lingkungan peradilan yang ada, sebab menurut Deliar Noer (1980:
27) banyak orang Belanda berpendapat bahwa pertukaran agama penduduk menjadi Kristen akan
menguntung- kan negeri Belanda karena penduduk pribumi yang mengetahui eratnya hubungan
agama mereka dengan agama pemerintahnya, setelah mereka masuk Kristen akan menjadi
warga negara yang loyal lahir batin kepada pemerintahnya itu. Selanjutnya H.J. Benda seperti
diungkapkan kembali oleh Daud Ali bahwa menurut H.J. Benda pada abad ke-19, banyak orang
Belanda, baik di negerinya sendiri maupun di Hindia Belanda, sangat berharap segera dapat
menghilangkan pengaruh hukum Islam dari sebagian besar orang Indonesia dengan berbagai cara
di antaranya melalui proses Kristenisasi. Harapan itu didasarkan pada anggapan tentang
superioritas agama Kristen terhadap agama Islam dan sebagian lagi berdasarkan kepercayaan
bahwa sifat sinkritik agama Islam di pedesaan Jawa akan memudahkan orang Islam Indonesia
dikristenkan jika dibandingkan dengan mereka yang berada di negara-negara muslim lainnya.
(Daud Ali, 1991:215)
3. Pada Masa Pendudukan Jepang Pada masa pendudukan Jepang, semua peraturan perundang-
undangan yang ada pada zaman kolonial Belanda dinyatakan masih tetap berlaku, sepanjang
tidak bertentangan dengan ketentuan hukum Pemerintahan Dai Nippon. Pada masa ini Lembaga
Peradilan Agama tetap dipertahankan, akan tetapi sebagaimana diungkapkan oleh Muchtar
Zarkhasyih sebagaimana dikutip oleh M. Idris Ramulyo namanya diubah menjadi “Scorico
Hooin” dan Mahkamah Agama Islam Tinggi namanya diubah menjadi “Kaikoo Kootoo”.
Perubahan ini didasarkan kepada Pasal 3 aturan peralihan bala tentara Jepang (Osamu Seizu)
pada tanggal 7 Maret 1942. (M. Idris Ramulyo, 1993: 86–87.
4. Pada Masa Kemerdekaan Sampai Sekarang Ini Dengan dikumandangkannya Proklamasi
Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, maka seluruh sistem hukum yang ada semuanya
berdasar- kan kepada sistem hukum nasional, sebab pada tanggal 18 Agustus telah ditetapkan
Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Hukum Dasar Negara. Untuk menjaga agar jangan terjadi
kekosongan hukum (kevakuman) maka pada Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar
tersebut dinyatakan bahwa semua susunan peradilan yang berlaku sebelum kemerdekaan
dinyatakan masih tetap berlaku, sebelum diadakan yang baru. Menurut Hazairin, sejak
diproklamirkan Kemerdekaan Republik Indonesia, hukum agama yang diyakini oleh pemeluknya
memperoleh legalitas secara konstitusional yuridis, hal ini didasarkan atas sila Ketuhanan Yang
Maha Esa, yang kemudian lebih lanjut dijabarkan di dalam UUD 1945, khususnya pada Pasal 29.
Lebih jauh Notonagoro mengungkapkan bahwa dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, maka
dengan sendirinya Tata Hukum Indonesia mengenal Hukum Tuhan, Hukum Kodrat, dan Hukum
Susila.
B. KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENGADILI PER- KARA KEWARISAN
Pada tanggal 29 Desember 1989, disahkan dan diundangkanlah Undang- Undang tentang
Peradilan Agama Nomor 7 Tahun 1989 melalui Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1989 Nomor 49. Dengan lahirnya UU ini sekaligus mempertegas kedudukan dan kekuasaan bagi
Peradilan Agama sebagai kekuasaan kehakiman sesuai dengan lembaga peradilan lainnya.
Tegasnya kedudukan Peradilan Agama ini jelas diungkapkan dalam konsideran undang-undang
tersebut seperti dirumuskan dalam hurufe, yang dikemukakan bahwa salah satu upaya untuk
menegakkan keadilan, kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum tersebut adalah melalui
Peradilan Agama sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Keha- kiman. Bertitik tolak dari penjelasan Pasal 10
ayat (1) UU Nomor 14 Tahun 1970, bahwa lingkungan Peradilan Agama adalah merupakan
salah satu lingkungan Peradilan Khusus (termasuk juga Lingkungan Peradilan Militer dan
Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara) yang berhadapan dengan Lingkungan Peradilan
Umum. Dengan demikian (sebagai Lembaga Peradilan Khusus) maka Pera- dilan Agama hanya
berwenang mengadili perkara tertentu dan golongan rakyat tertentu.
1. Pembagian Berdasarkan Putusan Pengadilan Pembagian harta warisan berdasarkan kepada
putusan pengadilan ini juga termasuk fungsi kewenangan Pengadilan Agama dalam menjalankan
tugas eksekusi dengan syarat:
1. Putusan yang bersangkutan sudah memperoleh kekuatan hokum tetap, atau terhadap
putusan
tersebut tidak ada lagi (atau tidak dimungkinkan lagi) untuk melakukan upaya hukum
dalam bentuk
banding atau kasasi. Atau bisa juga perkara yang bersangkutan diputus dalam tingkat
banding atau
kasasi.
2. Putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut mengandung "amar"
atau
"diktum" yang bersifat condemnatoir.
2. Pembagian Berdasarkan Permohonan Maksudnya, bahwa Pengadilan Agama selain
melakukan pembagian berdasarkan keputusan juga dapat melakukan pembagian berdasarkan atas
permohonan pertolongan dari pihak-pihak yang berkepentingan. Adapun yang menjadi dasar
agar pembagian berdasarkan permohonan pertolongan ini dapat dilakukan oleh Pengadilan
Agama sesuai dengan ketentuan Pasal 236 a HIR haruslah memenuhi syarat dan tata cara
berikut.
1. Harta warisan yang hendak dibagi di luar sengketa perkara pengadilan. obrtible
2. Ada permohonan minta tolong dilakukan pembagian dari seluruh ahli waris. Apabila kedua
persyaratan itu telah terpenuhi, selanjutnya Pengadilan Agama dapat melaksanakan pembagian
sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 236 a HIR. Dan seandainya permohonan
minta tolong itu hanya dilakukan oleh sebagian ahli waris saja (tidak seluruh ahli waris si mayit)
maka Pengadilan Agama tidak dapat melaksanakan pembagian dengan dalih/berdasarkan
ketentuan Pasal 236 a HIR.
C. KOMPILASI HUKUM ISLAM INDONESIA MENGENAI KEWARISAN
Pada tanggal 21 Maret 1984 Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Menteri Agama
Republik Indonesia mengeluarkan Surat Keputusan Bersama, yang isinya membentuk sebuah
panitia untuk mengumpulkan bahan-bahan dan merancang Kompilasi Hukum Islam menyangkut
Hukum Perkawinan, Kewarisan, dan Perwakafan yang selanjutnya akan dipergunakan oleh
Pengadilan Agama dalam rangka melaksanakan tugas dan wewenangnya. Dalam melaksanakan
tugasnya, panitia ini mempergunakan empat jalur, yaitu
1. Pengkajian kitab-kitab fikih dengan bantuan beberapa tenaga pengajar Fakultas Syari'ah IAIN
di seluruh Indonesia.
2. Menghimpun pendapat ulama fikih terkemuka di tanah air
3. Menghimpun yurisprudensi yang terhimpun dalam putusan-putusan Pengadilan Agama
seluruh Indonesia sejak penjajahan Belanda sampai dengan kompilasi ini tersusun.
4. Mengadakan studi perbandingan menyangkut pelaksanaan dan penegakan hukum Islam di
negara-negara muslim, terutama sekali negara-negara tetangga yang penduduknya beragama
Islam.
BAB III
DASAR HUKUM WARIS ISLAM, ASBABUN NUZUL, DAN ASAS-ASASNYA
A. AYAT-AYAT ALQURAN
Las Ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah kewarisan, baik secara langsung maupun tidak
langsung di dalam Alquran dapat dijumpai dalam beberapa surah dan ayat, yaitu sebagai berikut.
1. Menyangkut tanggung jawab orang tua dan anak ditemui dalam QS. Al-Baqarah (2) ayat 233.
2. Menyangkut harta pusaka dan pewarisnya ditemui dalam QS. An-Nisa' (4) ayat 33, QS. Al-
Anfâl (8) ayat 75, dan QS. Al-Ahzâb (33) ayat 6.
3. Menyangkut aturan pembagian harta warisan, ditemui dalam QS. An-Nisa' (4) ayat 7-14, 34,
dan 176.
4. Ayat-ayat yang memberikan penjelasan tambahan mengenai kewarisan (berisi pengertian
pembantu). Untuk lebih jelasnya dikemukakan ayat-ayat tersebut secara lengkap di bawah ini.
1.Tanggung Jawab Orang Tua dan Anak Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama
dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah
memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani
melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita karena anaknya dan
seorang ayah karena anaknya, dan waris pun berke-wajiban demikian. Apabila keduanya ingin
menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada
dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa
bagimu bila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada
Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Baqarah (2):
233)
2. Aturan Pembagian Harta Warisan Perlu diketahui bahwa dari sekian banyak permasalahan
hukum yang diuraikan di dalam Alquran hanya permasalahan/aturan pembagian harta warisanlah
yang paling tuntas diuraikan, untuk itu dapat diperhatikan ayat-ayat
3. Ayat-Ayat yang Memberikan Penjelasan Tambahan Mengenai Kewarisan (Berisi Pengertian
Pembantu) Di bawah ini akan dijelaskan beberapa ayat Alquran yang memberikan penjelasan
tambahan terhadap persoalan-persoalan kewarisan, ayat-ayat dimaksud adalah sebagai berikut.
Memnunyai Hu-a.

B. HADIS-HADIS YANG BERKAITAN DENGAN MASALAH KEWARISAN


Hadis-hadis yang diutarakan dalam pembahasan ini hanyalah sebatas hadis-hadis yang dapat
dihimpun oleh penulis dan berkaitan langsung dengan persoalan kewarisan. Untuk lebih
memudahkan penelusuran maka hadis-hadis yang bertalian dengan persoalan kewarisan ini dapat
diklasifikasikan sebagai berikut.
1.Tentang Cara untuk Mengadakan Pembagian Warisan
Menyangkut cara pembagian warisan ini dapat diketemukan ketentuan hukumnya dalam sebuah
hadis dari Ibnu Abbas ra., ia berkata: Bersabda Rasulullah saw.: Serahkanlah pembagian warisan
itu kepada ahlinya, bila ada yang tersisa, maka berikanlah kepada keluarga laki-laki terdekat
(Hadis disepakati Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim). (Moh. Machfuddin Aladip, tt: 479)

2. Orang yang Berbeda Agama Tidak Saling Waris-Mewarisi


Dalam hukum waris Islam ditetapkan bahwa orang yang berbeda agama tidaklah dapat saling
waris-mewarisi, dasar hukum tentang hal ini dapat ditemukan dalam sebuah hadis dari Usamah
putra Zaid, ia berkata: Bahwasanya Rasulullah saw bersabda: Orang Islam tidak punya hak waris
atas orang kafir, dan orang kafir tidak punya hak waris atas orang Islam. (Hadis disepakati Imam
Al-Bukhari dan Imam Muslim)
3. Bagian Anak Perempuan, Cucu Perempuan, dan Saudara
Perempuan Adapun yang dimaksud dengan bagian anak perempuan, cucu perempuan, dan
saudara perempuan di sini adalah apabila tidak ada ahli waris laki laki, dengan kata lain ahli
waris yang tinggal keseluruhannya perempuan. meninggal dapat ditemukan dalam sebuah hadis
dari Imp Hushain, ra., ia berkata: "Sesungguhnya cucu laki-laki telah m dunia, maka berapakah
warisan yang harus kuterima?" Jawab Ras saw: Kamu mendapat bagian waris seperenam.
Setelah orang itu beliau yanggil lagi dan bersabda: Bagimu seperenam lagi, dan s orang itu pergi
beliau panggil lagi: Sesungguhnya seperenam yang adalah tambahan. (Hadis diriwayatkan oleh
Imam Ahmad dan in yang empat). Imam At-Tirmidzi menyatakan shahih. Dan hadis ind riwayat
Imam Hasan Al-Basri dari Imran putra Hushain, tetapi d hal mendengarnya dari Rasulullah
terdapat perselisihan.

5. Bagian Nenek dari Cucu yang Tidak Punya Ibu


Dalam hal seorang cucu meninggal dunia dan tidak mempunyai ibu, ma bagian nenek dalam
hadis diterangkan sebagai berikut: Dari Ibnu Buraida dari ayahnya, ra., ia berkata: "Rasulullah
saw. menetapkan seperena buat nenek (kakek perempuan), bila cucunya itu (yang meninggal
dunia tidak punya ibu". (Hadis diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan A Nasa'i). Ibnu
Huzaimah dan Ibnu Jarud menyatakan "shahih-nya", da Ibnu Adi memperkuat ke-shahih-annya.

6. Paman Menjadi Ahli Waris Keponakannya


Dalam hal paman menjadi ahli waris dari ponakannya ini dapat diketemakan dasar hukumnya
dalam hadis yang diriwayatkan dari Miqdam putra Ma di Kariba, ra., ia berkata: "Bersabda
Rasululah saw: Paman 20 ialah ahli warisnya orang (ponakan) yang tidak mempunyai ahli waris
(Hadis diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan imam empat, kecuali
7. Bayi Sama Haknya dengan Orang Dewasa
Dalam hukum waris Islam perolehan tidak dibedakan antara seseorang yang belum dewasa
dengan seseorang yang dewasa, ketentuan ini ditemukan dalam hadis dari Jabir ra., ia berkata:
"Bayi yang sudah dapat menangis itu pun termasuk ahli waris" (fladis diriwayatkan oleh Abu
Dawud). Ibnu Hibban menyatakan shahih-nya.
8. Pembunuh Pewaris tidak Menjadi Ahli Waris
Dalam ketentuan hukum waris Islam, bahwa seorang yang membu pewaris tidaklah menjadi ahli
waris dari yang dibunuhnya, husl ini dengan tegas ditemukan dalam hadis dari Amr putra
Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya ra., ia berkata: "Bersabda Rasulullah saw.: Bagi pembunal
tidak punya hak warisan sedikit pun. (Hadis diriwayatkan oleh An-Nasa'i dan Ad-Daruquthni).
Imam Ibnu Abdul Barr memperkuat ke-shahih annya, tetapi An-Nasa'i meng-ila-kannya. Yang
benar: "hadis ini mau pada Amr putra Syu'aib ra.

9. Tentang Ashabah
Menyangkut ketentuan tentang ashabah dapat ditemukan dalam beberapa hadis antara lain:
a. Hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim, dari Ibsu Abbas, bahwa Nabi
saw. bersabda: Berikanlah bagian-bagian yang telah ditentukan itu kepada pemiliknya
yang berhak menurut nash; dan apa yang tersisa maka berikanlah kepada ashabah laki-
laki yang terdekat kepada si mayit. (Sayid Sabiq,14,1988:259)
10. Tentang Aul
Persoalan and ini timbul ke permukaan pertama kalinya adalah pada wa sesuatu persoalan
diajukan kepada Umar ra, dan untuk mema persoalan tersebut Umar memutuskan bahwa
penyelesaiannya ha dengan aul, dan ia berkata kepada sahabat yang ada di sisinya: "Tika sa
mulai memberikan kepada suami atau 2 (dua) orang saudara perp maka tidak ada hak yang
sempurna bagi yang lain. Maka berilah pertimbangan, "maka Abbas bin Abdul Muthalib pun
memberika pertimbangan kepadanya dengan aul. Dikatakan pula bahwa p memberikan
pertimbangan itu ialah Ali. Sementara yang lain men bahwa yang memberikan pertimbangan itu
Zaid bin Tsabit. ( Sabiq,14, 1988: 266)
11. Tentang Waktu untuk Menetapkan Kematian
Adapun yang dimaksud dengan menetapkan kematian adalah bila sespergi dan terputus sama
sekali kabar beritanya, tidak diketahui tempat dan juga tidak diketahui apakah dia masih hidup
atau sudah mati. Untuk hal ini dapat dipedomani riwayat dari Malik, bahwa dia berk empat
tahun", karena Umar ra., berkata: "Setiap istri yang ditinggalks pergi oleh suaminya, sedang dia
tidak mengetahui di mana suami maka dia menunggu empat tahun, kemudian dia ber-iddah
selama c bulan sepuluh hari, kemudian lepaslah dia". (Hadis Riwayat Al-Bukha dan Asy-Syafi'i)
12. Tentang Anak Zina dan Anak Li'an
Dalam hal anak zina dan anak fi'an dapat didasarkan kepala tudi, dari Ibnu Umar, bahwa seorang
laki-laki telah ins it an istrinya di zaman Nabi saw, dan dia tidak mengakui anak istrinya, maka
Nabi wikan antara kedua suami istri itu. Hadis Riwayat Al-Bukhari dan Abu Dawad Dan lafal
hadis tersebut adalals "Rasulullah saw menjadikan pewarisan anak li'an kepada ibunya dan ahli
waris ibu sepeninggal sistSebenamya banyak lagi persoalan-persoalan dasar penyelesaianya
didasarkan kepada ijtihad para sahabat Nabi Muhammad saw, na demikian untuk lebih
memudahkan, persoalan-persoalan tersebut disampaikan pada waktu membahas kasus-kasus

C. ASAS-ASAS HUKUM KEWARISAN ISLAM


Menyangkut asas-asas hukum kewarisan Islam dapat digali dari ayat-ayat hukum kewarisan serta
sunnah Nabi Muhammad saw. Asas-asas dimaksud dapat diklasifikasikan sebagai berikut. (Amir
Syarifuddin, 1984:18)

1. Asas Ijbari
Secara etimologis kata ijbari mengandung arti paksaan (compulsory). yaitu melakukan sesuatu di
luar kehendak sendiri. Dalam hal hukum waris berarti terjadinya peralihan harta seseorang yang
telah meninggal dunia kepada yang masih hidup dengan sendirinya, maksudnya tanpa ada
perbuatan hukum atau pernyataan kehendak dari si pewaris, bahkan si pewaris (semasa
hidupnya) tidak dapat menolak atau menghalang-halangi terjadi peralihan tersebut
2. Asas Bilateral
Adapun yang dimaksud dengan asas bilateral dalam hukum Islam adalah bahwa seseorang
menerima hak warisan dari k piha garis kerabat, yaitu dari garis keturunan perempuan m
keturunan laki-laki. Asas bilateral ini secara tegas dapat ditemui dalam ke An-Nisa' (5) ayat 7,
11, 12 dan 176. Antara lain dalam ayat 7 di bahwa seorang laki-laki berhak memperoleh warisan
dari pihak dan demikian juga dari pihak ibunya. Begitu pula seorang mendapat warisan dari
kedua pihak orang tuanya. Asas bilateral ini juga berlaku pula untuk kerabat garis ke s (yaitu
melalui ayah dan ibu).
3. Asas Individual
Pengertian asas individual ini adalah setiap ahli waris (secara berhak atas bagian yang
didapatnya tanpa terikat kepada ahli wa (sebagaimana halnya dengan pewarisan kolektif yang
dijumpai d ketentuan Hukum Adat). Dengan demikian, bagian yang diperoleh ahli waris dari ha
dimiliki secara perorangan, dan ahli wars yang lainnya tidak ad pa sekali dengan bagian yang
diperolehnya terseleg so di masing-masing ahli waris bebas menentukan (berbak geni gian yang
dipelihnya)
4. Asas Keadilan Berimbang
Asas keadilan berimbang maksudnya adalah keseimbangan antara hak di kewajiban dan
keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan.Dengan perkataan lain
dapat dikemukakan bahwa faktor jenis kelamin tidaklah menentukan dalam hak kewarisan
(kebalikan dari asas keseimbangan ini dijumpai dalam masyarakat yang menganut sistem garis
keturunan patrilinial, yang ahli waris tersebut hanyalah keturunan laki laki saja garis kebapakan).
Dasar hukum asas ini dapat dijumpai antara lain dalam ketentuan QS. An-Nisa' (4) ayat 7, 11,
12, dan 176. 9
5. Kewarisan Semata Akibat Kematian
Hakum waris Islam memandang bahwa terjadinya peralihan harta hanya semata-mata disebabkan
adanya kematian. Dengan perkataan lain, harta seseorang tidak dapat beralih (dengan pewarisan)
seandainya dia masih hidup Walaupun ia berhak untuk mengatur hartanya, hak tersebut semata ta
hanya sebatas keperluannya semasa ia masih hidup, dan bukan ak penggunaan harta tersebut
sesudah ia meninggal dunia.
BAB IV
TENTANG BIAYA PERAWATAN HIBAH, WASIAT, DAN UTANG PEWARIS
Berbicara tentang biaya perawatan, hibah, wasiat, dan utang pe sebenarnya bukan termasuk
dalam lingkup hukum waris, akan te seseorang meninggal dunia, meninggalkan harta dan ahli
wars, tidaklah mutlak seluruh harta yang ditinggalkan oleh si pewaris menjadi hak ahli waris,
sebab di dalam harta peninggalan si per tersebut masih ada hak-hak lain yang harus dikeluarkan
terlebih d sebelum harta tersebut dibagikan kepada ahli waris.Oleh karena persoalan tersebut erat
hubungannya dengan pers harta peninggalan si pewaris, maka ada baiknya hal tersebut dibica
secara singkat.
A. BIAYA-BIAYA PERAWATAN PEWARIS
Apa yang dimaksud dengan biaya-biaya perawatan si pewaris adalab yhaya yang dikeluarkan
untuk keperluan si mayit mulai dari saat laya sampal dikuburkan (biaya pelaksanaan fardhu
kifayah). Pahokam Islam sependapat bahwa biaya yang diperlukan untuk al dikeluarkan dari
harta peninggalannya
B HIBAH PEWARIS
Kan berasal dari bahasa Arab yang secara etimologi berartimewakan atau menyalurkan, dengan
demikian berarti telah disalurkan datangan orang yang memberi kepada tangan orang yang
diberi, Chaimman dan Suhrawardi, 1994: 113) Apabila diperhatikan ketentuan-ketentuan hukum
Islam tentang pelaksanaan hibah ini,
C. WASIAT
Kalau diperhatikan dari segi asal kata, perkataan wasiat berasal de bahasa Arab, yaitu kata
washshaitu asy-syaia, úshí artinya aushal yang dalam bahasa Indonesianya berarti "aku
menyampaikan sesu (Sayid Sabiq,14,1988:215)Sayid Sabiq sebagaimana dikutip oleh Drs.
Chairuman Pasarite dan Suhrawardi K. Lubis, S.H. mengemukakan pengertian wasiat adalah
pemberian seseorang kepada orang lain, baik berupa barang pintang, ataupun manfaat untuk
dimiliki oleh orang yang diberi wasi setelah orang yang berwasiat mati. (Chairuman Pasaribu,
Suhrawardi K. Lubis, 1993: 122)
D. UTANG PEWARIS
Utang adalah tanggungan yang harus diadakan pelunasannya dalam sunna w tertentu. Kewajiban
pelunasan utang timbul sebagai dari prestasi (imbalan) yang telah diterima oleh si benitang.
Apabila seseorang yang meninggalkan utang kepada seseorang lain maka scharumyalah utang
tersebut dibayar/dilunasi terlebih dahulu (dan harta peninggalan si mayit) sebelum harta
peninggalan tersebut dibagika kepada ahli warisnya.

BAB V

HARTA WARISAN DAN SEBAB-SEBAB MENDAPAT WARISAN


A. HARTA WARISAN
Sebelum menguraikan apa yang dimaksud dengan harta warisan ada baiknya diutarakan terlebih
dahulu apa yang disebut dengan harta peninggalan atau dalam bahasa Arab disebut dengan
tirkah/tarikak Yang dimaksud dengan harta peninggalan adalah sesuatu yang ditinggalkan oleh
seseorang yang meninggal dunia, baik yang berbentuk benda (harta benda) dan hak-hak
kebendaan, serta hak-hak yang bukan hak kebendaan. (Muhammad Ali Ash-Shabuni, 1988:41).
B. SEBAB-SEBAB MENDAPAT WARISAN
Salah satu hal yang terpenting dalam mempelajari hukum waris Islam adalah menyangkut waris,
kalau ditinjau dari segi asal kata, perkataan wans berasal dari kata bahasa Arab, yaitu warits,
secara gramatikal berarti yang tinggal atau yang kekal, maka dengan demikian apabila
dihubungkan dengan persoalan hukum waris, perkataan waris tersebut berarti orang-orang yang
berhak untuk menerima pusaka dari harta yang ditinggalkan oleh si mati, dan populer
diistilahkan dengan ahli waris.Apabila dianalisis ketentuan hukum waris Islam, yang menjadi
sebab seseorang itu mendapatkan warisan dari si mayit (ahli waris) dapat diklasifikasikan
sebagai berikut.
1. Karena Hubungan Perkawinan
Seseorang dapat memperoleh harta warisan (menjadi ahli waris) disebabkan adanya hubungan
perkawinan antara si mayit dengan seseorang tersebut, yang termasuk dalam klasifikasi ini
adalah suami atau istri dari si mayit.
2. Karena Adanya Hubungan Darah
Seseorang dapat memperoleh harta warisan (menjadi ahli waris) disebabkan adanya hubungan
nasab atau hubungan darah/kekeluargaan dengan si mayit, yang termasuk dalam klasifikasi ini
seperti ibu, bapak, kakek, nenck, anak, cucu, cicit, saudara, anak saudara, dan lain-lain.
3. Karena Memerdekakan Si Mayit
Seseorang dapat memperoleh harta warisan (menjadi ahli waris) mayit disebabkan seseorang itu
memerdekakan si mayit dari perbula dalam hal ini dapat saja seorang laki-laki atau seorang
perempuan
4. Karena Sesama Islam
Seseorang muslim yang meninggal dunia, dan ia tidak meninggalkan waris sama sekali (punah),
maka harta warisannya diserahkan kepa Baital Mal, dan lebih lanjut akan dipergunakan untuk
kepentingan k

C. SEBAB-SEBAB TIDAK MENDAPAT WARISAN


Adapun yang menjadi sebab seseorang itu tidak mendapat waris (hilangnya hak
kewarisan/penghalang mempusakai) adalah disebab secara garis besar dapat diklasifikasikan
kepada: 1. Karena halangan kewarisan. 2. Karena adanya kelompok keutamaan dan hijab.

1. Halangan Kewarisan
Dalam hal hukum kewarisan Islam, yang menjadi penghalang seseorang ahli waris untuk
mendapatkan warisan disebabkan karena hal-hal berikut
2. Kelompok Keutamaan dan Hijab
Sebagaimana hukum waris lainnya, hukum waris Islam juga mengenal pengelompokan ahli
waris kepada beberapa kelompok keutamaan, misalnya anak lebih utama dari cucu, ayah lebih
dekat (lebih utama) kepada anak dibandingkan dengan saudara, ayah lebih dekat (lebih utama)
kepada si anak dibandingkan dengan kakek. Kelompok keutamaan ini juga dapat disebabkan
kuatnya hubungan kekerabatan, misalnya saudara kandung lebih utama dari saudara seayah atau
seibu, sebab saudara kandung mempunyai dua garis penghubung (yaitu dari ayah dan ibu)
sedangkan saudara sebapak dan seibu hanya dihubungkan oleh satu garis penghubung (yaitu
ayah atau ibu saja)
BAB VI

WARISAN AHLI WARIS YANG STATUSNYA DIRAGUKAN/KASUS TERTENTU


Adapun yang dimaksud dengan ahli waris yang statusnya diragukan adalah ahli waris yang pada
saat harta warisan terbuka (pada saat si pewaris meninggal dunia) status hukumnya sebagai
subjek hukum atau sebagai penchukung hak dan kewajiban masih diragukan.Selain itu ada
beberapa kasus tertentu, yang mana kasus tersebut menimbulkan permasalahan terhadap
persoalan kewarisan.
A. WARISAN ANAK DALAM KANDUNGAN
Di dalam syarat-syarat kewarisan dikemukakan bahwa seseorang yang dapat menjadi ahli waris
adalah seseorang (ahli waris) yang pada saat si pewans meninggal dunia jelas hidupnya.Dengan
persyaratan tersebut tentunya menimbulkan persoalan terhadap hak mewaris seorang anak yang
masih dalam kandungan ibunya, sebab seorang anak yang masih berada dalam kandungan
ibunya tidak dap dipastikan/masih kabur apakah ia (anak yang dalam kandungan Seb) saat
dilahirkan nantinya dalam keadaan hidup atau tidak,
B. WARISAN ORANG YANG HILANG (MAFQUD)
Sebelum dibicarakan tentang warisan orang yang hilang, ada baiknya terlebih dahulu dijelaskan
apa yang dimaksud dengan orang yang hilang. orang yang hilang (dalam bahasa Arab
diistilahkan dengan mafqud) yaitu orang yang tidak diketahui kabar beritanya, dalam hal ini
termasuk tempat Enggal dan keadaannya (apakah masih hidup atau sudah meninggal dunia).
C. WARISAN ORANG YANG MATI SERENTAK
Dalam kehidupan sehari-hari sering terjadi suatu peristiwa (seperti bencana alam dan
kecelakaan) yang mengakibatkan beberapa orang mati secara serentak, dan tidak jarang pula
orang yang mati serentak tersebig adalah orang yang saling waris-mewarisi, seperti dalam hal
terjadinya kecelakaan pesawat udara, yang seorang bapak meninggal dunia secara bersama
dengan anaknya, dengan perkataan lain tidak diketahui sama sekali siapa di antara mereka yang
meninggal dunia lebih dahulu.
D. WARISAN ORANG YANG TERTAWAN (ASIR)
Adapun yang dimaksud dengan orang yang tertawan adalah orang yang ditawan karena
ditangkap atau kalah dalam suatu peperangan,Seorang tawanan apabila diketahui dengan jelas
alamat atau domisili tempat penawanannya dan status hidup atau matinya diketahui dengan pasti
maka tidak akan menimbulkan persoalan terhadap masalah pewarisan.
E. WARISAN KHUNTSA
Adapun yang dimaksud dengan khuntsa adalah orang-orang yang memiliki jenis kelamin laki-
laki dan perempuan secara sekaligus, atautidak memiliki alat kelamin sama sekali, di dalam
istilah hukum Islam orang-orang yang seperti ini diistilahkan dengan Khuntsa Al-Musykil, dalam
istilah sehari-hari sering juga disebut dengan wadam (Hawa Adam), waria (wanita-pria).
F. WARISAN BAGI DZAWUL ARHAM
Apabila terjadi suatu kasus tertentu, misalnya seseorang meninggal dunia dan tidak ada sama
sekali meninggalkan anggota keluarga yang berstatus sebagai ahli waris, yang ada hanya
kelompok keluarga dzawul arham, maka dalam menyelesaikan persoalan harta warisan yang
ditinggalkan pewaris tersebut dikenal ada 3 (tiga) pendapat/mazhab,
BAB VII
MENENTUKAN AHLI WARIS DAN HIJAB
A. LANGKAH-LANGKAH YANG HARUS DIPERHATIKAN
Manakala kita menghadapi persoalan warisan yang menyangkut deng hukum waris Islam
(hukum faraidh), apabila hendak menyelesaikannya sebenarnya dapat kita lakukan dengan
mudah, asalkan segala persoalan yang menyangkut proses pembagiannya dikerjakan secara
sistematis Dalam mengerjakan pembagian harta warisan menurut hukum waris Islam, pertama
sekali yang penting diketahui adalah sistematika penyele saiannya, dengan kata lain ada tahapan-
tahapan yang harus kita lalui. dan apabila tahapan-tahapan ini kita lalui dengan benar maka
bagaimana pun rumitnya persoalan warisan yang dihadapi, dengan mudah kerumitan itu akan
dapat diselesaikan.
B. CARA MENENTUKAN AHLI WARIS (TAHAP I) Secara umum dapat dikemukakan bahwa
jumlah keseluruhan ahli waris inuada 25 (dua puluh lima), yang terdiri dari:
a. 15 (lima belas) kelompok laki-laki; b. 10 (sepuluh) dari kelompok perempuan. Dikatakan
secara umum, karena di luar yang 25 tersebut masih ada ahli waris yang lain, dan jumlah yang 25
ini bukanlah person (individu) melainkan struktur keluarga dari si mayit (pewaris).Agar ahli
waris yang demikian banyaknya mudah untuk dihapal, maka ada baiknya dibuat gambar atau
skema dan sekaligus memberi nomor urut pada masing-masing struktur ahli waris tersebut. Perlu
diketahui penomoran dengan nomor urut ini sangat penting artinya, sebab akan membawa
pengaruh yang besar nantinya pada saat mempelajari tahapan kedua (dinding-mendinding).
C. CARA MENENTUKAN HIJAB (TAHAP II)
Kalau diperhatikan 2 (dua) kasus yang dikemukakan di atas, bahwa daklah semua aw (ahli waris)
memperoleh kesempatan untuk menjadi ahli waris yang memperoleh warisan, sebab dapat saja
terjadi seseorang ahli waris ter-hijab atau terhalang untuk memperoleh bagian/pendapatan
disebabkan ahli waris yang lain (yang lebih dekat) kepada si pewaris.
D. ASHABAH (TAHAP III)
Dari 25 kelompok ahli waris sebagaimana dikemukakan dalam tahap 1, ada yang tidak
mempunyai bagian tertentu, dengan kata lain tidak ditegaskan baik dalam Alquran maupun As-
Sunnah, ahli waris yang demikian ini dinamakan dengan "ashabah".Ahli waris ashabah ini harus
menunggu sisa pembagian dari ahli waris yang telah ditentukan bagiannya, dan keistimewaan
ashabah ini ia dapat menghabisi seluruh, kalau ahli waris yang ditentukan bagiannya sudah
mengambil apa yang menjadi haknya.
E. PORSI/SHAHIBUL FARD = FURUDHUL MUQADDARAH (TAHAP IV)
Adapun yang dimaksud dengan porsi atau shahibul fard atau furudhul muqaddarah, adalah
bagian masing-masing/pendapatan ahli waris yang telah ada ketentuannya dalam ketentuan
Alquran dan hadis.
F. CARA PERHITUNGAN/PEMBAGIAN (TAHAPV)
Sebelum diadakan penguraian tentang cara perhitungan atau pembagian, maka ada baiknya
terlebih dahulu kita kenal dan pahami beberapa peristilahan dan rumusan yang akan digunakan
dalam perhitungan nantinya.
BAB VIII
MASALAH-MASALAH KHUSUS
Adapan yang dimaksud dengan masalah-masalah khusus adalah persoalan-persoalan kewarisan
yang penyelesaiannya menyimpang dari penyelesaian yang biasa, dengan perkataan lain
pembagian harta warisan tidak dilakukan sebagaimana biasanya (seperti telah diuraikan pada hab
berdahulu)
A. AL-GHARAWAIN (UMARIYATAIN)
Al-Gharawain mi terjadi hanya dalam 2 (dua) kemungkinan saja.
B.AL-MUSYARAKAH (MUSYARIKAH)
rakah (disyarikatkan) diistilahkan juga dengan himariyah ada), hajariah (bata) Persoalan Al-
Musyarakah ini juga merupakan persoalan khusus, khusus untuk menyelesaikan persoalan
kewarisan antara saudara (dalam hal saudara seibu laki-laki dan perempuan sama saja) dengan
sada laki-laki siba sebapak, untuk lebih jelasnya dapat dikemukakan ab kasus 41-awarkah ini
terjadi apabila ahli waris hanya terdiri.
C. MASALAH DATUK BERSAMA SAUDARA
Dalam hal masalah datuk bersama saudara ini, yang dimaksud deng saudara di sini adalah
Saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu sebapak.Saudara laki sebapak dan saudara
perempuan sebapak.
D.MASALAH RAD
Masalah rad terjadi apabila pembilang lebih kecil daripada penyebut (23/24), dan pada dasarnya
adalah merupakan kebalikan dari masalah aut.Namun demikian penyelesaian masalahnya tentu
berbeda dengan masalah crul, karena aul pada dasarnya kurangnya yang akan dibagi, sedangkan
pada rad ada kelebihan setelah diadakan pembagian
BAB IX

MUNASAKHAT (MUNASAKAH)
Adapun yang dimaksud dengan munasakhat atau munasakah adalah perpindahan hak waris
seseorang yang belum diterimanya dan selanjutnya berpindah atau diterimakan lagi oleh ahli
warisnya. Hal ini terjadi, bila seseorang ahli waris meninggal dunia sebelum pembagian harta
pusaka dilakukan (dia-si ahli waris-yang mati belum memperoleh bagiannya), maka bagiannya
akan beralih kepada ahli warisnya. Jadi dalam hal ini dijumpai adanya 2 (dua) kali kematian,
yaitu yang mati pertama adalah pewaris, dan yang mati kedua adalah ahli waris dari mayit
pertama, hanya saja bagian dari mayit kedua belum diperolehnya, karena pada waktu meninggal
belum diadakan pembagian warisan.

Anda mungkin juga menyukai