Anda di halaman 1dari 24

PERADILAN ISLAM PADA MASA

KEMERDEKAAN DAN REFORMASI


Disusun untuk memnuhi salah satu tugas Pengantar
Peradilan Islam
Dosen Pengampu: Milda Handayani A, S.H., M.H

Disusun Oleh:
Gigin Muharom
Fauzan Muhammad Nur
Abdul Aziz

UNIVERSITAS ISLAM K.H. RUHIAT CIPASUNG


KABUPATEN TASIKMALAYA
2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT.


Atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penyusun dapat
menyelesaikan makalah PENGANTAR PERADILAN
ISLAM yang membahas Peradilan Pada Masa
Kemerdekaan dan Pada Masa Reformasi. Sholawat dan
salam semoga tetap bercurah pada Nabi Muhammad
SAW. Kepada keluarganya serta para pengikutnya yang
selalu istiqomah menjalankan sunah-sunah beliau.
Penyusun berharap makalah ini dapat digunakan
sebagai penambah pengetahuan dan wawasan bagi para
pembaca.
Penyusun juga sangat menyadari bahwa masih
banyak kekurangan dan kelemahan dalam penulisan
makalah ini. Maka dari itu penyusun sangat
mengharapkan adanya saran dan kritik yang
membangun guna menyempurnakan makalah ini.
Cipasung, 01 Maret 2023

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Peradilan
B. Peradilan Islam Pada Masa Kemerdekaan
C. Peradilan Islam Pada Masa Reformasi

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berbicara tentang perjalanan peradilan agama
yang telah dilalui dalam rentang waktu yang demikian
panjang berarti berbicara tentang masa lalu yakni
sejarah peradilan agama. Hal ini dianggap penting
untuk rencana melangkah kemasa yang akan datang
peradilan agama telah tumbuh dan melembaga di
bumi nusantara ini sejak agama islam dianut oleh
penduduk yang berada diwilayah ini, berabad-abad
lamanya sebelum kehadiran penjajah.
Tumbuh dan berkembang peradilan agama itu
adalah karena kebutuhan dan kesadaran hukum sesuai
dengan keyakinan mereka Namun diakui bahwa data
sejarah peradilan agama tidak mudah mendapatkanya
seperti yang dikatakan, para ahli mengakui bahwa
sumber rujukan peradilan agama sangatlah minim
karena sengaja dilewatkan oleh para cerdik pada masa
lalu yang mungkin belum menganggap penting.
Untuk mengetahui bagaimana fase-fase bersejarah
perkembangan peradilan agama dari masuknya islam
ke indonesia, masa kerajaan islam, dan masa
penjajahan sampai ke masa era reformasi mari kita
kaji dalam tulisan ini.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa Pengertian Peradilan ?
2. Bagaimana Peradilan Islam Pada Masa
Kemerdekaan ?
3. Bagaimana Peradilan Islam Pada Era Reformasi ?

C. TUJUAN
1. Untuk Mengetahui Peradilan
2. Untuk Mengetahui Peradilan Islam Pada Masa
Kemerdekan
3. Untuk mengetahui Peradilan Islam Pada Masa
Reformasi
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Peradilan
Peradilan menurut bahasa adalah segala sesuatu
yang mengenai perkara pengadilan. Menurut ahli
hokum, peradilan adalah kewenangan suatu lembaga
untuk menyelesaikan suatu perkara untuk dan atas
nama hokum demi tegaknya hokum dan keadilan.
Dengan demikian, Peradilan Agama adalah kekuasaan
Negara dalam menerima, memeriksa, mengadili,
memutuskan, dan menyelesaikan perkara-perkara
perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan
shadaqah diantara orang-orang islam untuk
menegakkan hokum dan keadilan. Peradilan agama
dalam bentuk yang dikenal sekarang ini merupakan
mata rantai yang tidak terputus dari sejarah masuknya
agama Islam.

Masyarakat Indonesia telah mengenal peradilan


sejak lama. Dalam suatu masyarakat yang
individunya saling berinteraksi satu dengan yang lain
maka akan menimbulkan benturan-benturan
kepentingan individu dalam masyarakat. Adanya
masyarakat akan diikuti pula adanya aturan atau
hukum yang akan diterapkan dan berlaku bagi seluruh
anggota masyarakat. Hukum atau aturan ini dibuat
agar dapat menciptakan masyarakat yang aman,
tenang, dan tentram.

Penyebaran agama islam telah sampai ke


wilayah Indonesia dan secara bertahap diterima oleh
masyarakat Indonesia yang sebelumnya menganut
agam hindu. Hokum islam mulai dapat diterima dan
dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari baik dalam
pelaksanaan ibadah seperti salat, puasa, zakat dan
lain-lain. Begitu pula dalam hal muamalah,
perkawinan dilaksanakansesuai dengan ajaran agama
islam.
Peradilan yang sudah ada sebelumnya
perlahan tergeser seiring dengan pelaksanaan ajaran
hukum islam dalam kehidupan sehari-hari sehingga
peradilannya pun terpengaruh dengan hokum islam
dalam melakukan penyelesaian perselisihan melalui
peradilan.
B. Peradilan Islam Pada Masa Kemerdekaan

1. Pada masa awal kemerdekaan / orde lama


Pada awal kemerdekaan republik Indonesia
pengadilan agama masih berpedoman kepada
peraturan perundangan-undangan pemerintah kolonial
Belanda berdasarkan pasal II aturan peralihan UUD
1945 yang berbungi: “segala badan selama belum
diadakan yang baru menurut UUD ini”
Pada tahun 1948 pemerintah Indonesia
mengeluarkan peraturan tentang Peradilan Agama
yaitu Undang-undang nomor 19 tahun 1948 tentang
susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman dan
kejaksaan. Berdasarkan undang-undang ini kekuasaan
kehakiman di Indonesia di laksanakan oleh tiga
lembaga peradilan yaitu:
1) Peradilan Umum
2) Peradilam Tata Usaha Pemerintah
3) Peradilan Ketentaraan1
Peranan peradilan agama sebagai
pelaksana kekuasaan kehakiman yang mandiri
dihapuskan. Peradilan agama menjadi bagian dari
Peradilan Umum. Untuk menangani perkara yang
menjadi kewenangan dan kekuasaan peradilan
agama ditangani oleh peradilan umum secara
istimewa dengan seorang hakim yang beragama
Islam sebagai ketua dan didampingi dua orang
hakim ahli agama Islam.2
Pada masa berikutnya, berdasarakan
ketentuan pasal 98 UUD sementara dan pasal 1
ayat (4) UU Darurat no. 1 tahun 1951, pemerintah
mengeluarkan PP No. 45 tahun 1957 tentang
pembentukan Pengadilan Agama atau Mahkamah
Syar’iyah di luar Jawa-Madura. Menurut
ketentuan pasal 1, “di tempat-tempat yang ada
1
M. Idris Ramulyo. Beberapa Masalah tentang Hukum
Acara Perdata Peradilan Agama, (Jakarta: Ind-Hill.Co, 1991). hlm.
84
2
Taufiq Hamami. Kedudukan dan Eksistensi Peradilan
Agama dalam Sistem Tata Hukum Indonesia, (Bandung: Alumni,
2003). hlm. 24
pengadilan negeri ada sebuah Pengadilan Agama
atau Mahkamah Syar’iyah, yang daerah hukum
sama dengan daerah hukum pengadilan negeri”.
Sedangkan menurut ketentuan pasal 11, “apabila
tidak ada ketentuan lain, di ibu kota propinsi
diadakan Pengadilan Agama atau Mahkamah
Syar’iyah propinsi yang wilayahnya meliputi satu,
atau lebih, daerah, propinsi yang ditetapkan oleh
menteri agama.
Adapun kekuasaan Pengadilan Agama
atau Mahkamah Syar’iyah itu, menurut ketetapan
pasal 4 PP tersebut, adalah sebagai berikut:
1) Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah
memeriksa atau memutuskan perselisihan anatara
suami dan istri yang beragama Islam dan semua
perkara yang menurut hukum yang diputus
menurut hukum agama Islam yang berkenaan
dengan nikah, thalaq, ruju’, fasakh, nafaqah,
maskawin (mahr), tempat kediaman (maskawin),
muth’ah dan sebagainya
2) Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah
tidak berhak memeriksa perkara-perkara tersebut
dalam ayat (1) jika untuk perkara itu berlaku lain
daripada hukum agama Islam.
Pada masa awal kemerdekaan ini terdapat
beberapa macam peraturan yang mengatur tentang
Peradilan Agama. Peraturan-peraturan tersebut adalah
sebagai berikut:
1) Peraturan tentang Peradilan Agama di Jawa dan
Madura (Staatsblad Tahun 1882 no. 152 dan
Staatsblad Tahun 1937 no. 116 dan 610).
2) Peraturan tentang Kerapatan Qadhi dan
Kerapatan Qadhi Besar untuk sebagai Residensi
Kalimantan Selatan dan Timur (Staatsblad Tahun
1937 no. 638 dan 639).
3) Peraturan Pemerintah no. 45 tahun 1957 tentang
Pembentukan Pengadilan Agama/ Mahkamah
Syari’ah di luar jawa dan Madura.

D. Peradilan Islam Masa Orde Baru


Uraian diatas menunjukkan bahwa sekitar 25
tahun sejak kemerdekaan terdapat keanekaragaman dasar
penyelenggraan, kedudukan, susunan, dan kekuasaan
pengadilan dalam lingkungan PADI. Selanjutnya, pada
tahun 1970 Jo. UU no. 35 tahun 1999, dan UU no. 1
tahun 1974 serta peraturan pelaksanaannya. Dengan
nerlakunya UU No. 14 tahun 1970 Jo. UU No. 35 athun
1999 memberi tempat kepada PADI sebagai salahsatu
peradilan dalam tata peradilan di Indonesia yang
melaksanakan kekuasaa kehakiman dalam negara
kesatuan republik Indonesia. Dengan berlakunya UU No.
1 tahun 1974, maka kekuasaan pengadilan dalam
lingkungan PADI bertambah. Oleh karena itu , maka
tugas-tugas badan peradilan agama menjadi meningkat,.
“dari rata-rata 35.000 perkara sebelum berlakunya UU
perkawinan menjadi hampir 300.000-an perkara” dalam
satu tahun diseluruh Indonesia. Dengan sendirinya hal
itu mendorong usaha meningkatkan jumlah dan tugas
aparatur pengadilan, khususnya hakim, untuk
menyelesaikan tugas-tugas peradilan tersebut.
Peradilan agama bakan lagi merupakan pelaksana
kekuasaan kehakiman yang berdiri sendiri karena
putusan Pengadilan Agama harus mendapat pengukuhan
dari peradilan umum dan peradilan agama tidak dapat
melaksanakan putusan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap atau eksekusi sendiri karena tidak ada
perangkat juru sita, eksekusi menjadi kewenangan
peradilan umum.
Sampai dengan tahun 1977 belum ada hokum
acara yang mengatur peradilan agama secara tersendiri
sebagaimana dihendaki UU No. 14 tahun 1970 maka
perkara-perkara peradilan agama yang sampai pada
upaya hokum kasasi ke mahkamah agung diatur dengan
paraturan mahkamah agung nomor 1 tahun 1977 dan
surat edaran mahkamah agung nomor
MA/Pemb/0921/1977.
Peraturan ini menghapus mahkamah islam tinggi
dan kerapatan qadi besar maupun pengadilan
agama/mahkamah syari’ah propinsi yang berfungsi
sebagai pengadilan tingkat banding dan sekaligus
pengadilan tertinggi dalam lingkungan peradilan agama.
Karena belum adanya keseragaman nama pada
peradilan agama, pada tahun 1980 menteri agama
mengeluarkan keputusan menteri agama nomor 6 tahun
1980 yang dengan keputusan ini pengadilan tingkat
pertama bernama pengadilan agama dan pengadilan
tingkat banding bernama pengadilan tinggi agama.
Pada tahun 1989 baru dapat terwujud apa yang
menjadi kehendak undang-undang nomor 14 tahun 1970
mengenai peraturan yang tersendiri yang mengatur
tentang peradilan agama dengan diundangkannya
undang-undang nomor 7 tahun 1989 tentang peradilan
agama. 3
Selanjutnya, dengan berlakunya UU No. 7 tahun
1989 posisi PADI semakin kuat, dan dasar
penyelenggaraannya mengacu kepada peraturan
perundang-undangan yang unikatif. Selain itu, dengan
perumusan KHI yang meliputi bidang perkawinan,
kewarisan, dan perwakafan, maka salah satu masalah
yang diahadapi oleh pengadilan dalam lingkungan
PADI, yaitu keanekaragaman rujukan dan ketentuan
hukum, dapat diatasi. Berkenaan dengan hal itu, maka
dalam uraian berikutnya dikemukakan tentang UU no.7
tahun 1989 serta instruksi presiden No. 1 tahun 1991
tentang penyebar luasan kompilasi hukum Islam.4

3
Abdullah Tri Wahyudi. Peradilan Agama Di Indonesia.
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004)., hlm. 17-18
4
Cik Hasan Bisri, MS. Peradilan Agama Di Indonesia
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996). hlm. 117-118
Dengan keluarnya Undang -undang Nomor 14
Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman, maka kedudukan Peradilan
Agama mulai nampak jelas dalam sistem peradilan di
Indonesia. Undang-undang ini menegaskan prinsip-
prinsip sebagai berikut : Pertama, Peradilan dilakukan
“Demi Keadilan Berdasarkan ketuhanan Yang Maha
Esa”; Kedua, Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum,
Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata
Us aha Negara; Ketiga, Mahkamah Agung adalah
Pengadilan Negara Tertinggi. Keempat, Badan-badan
yang melaksanakan peradilan secara organisatoris,
administratif, dan finansial ada di bawah masing-masing
departemen yang bersangkutan. Kelima, susunan
kekuasaan serta acara dari badan peradilan itu masing-
masing diatur dalam undang-undang tersendiri. Hal ini
dengan sendirinya memberikan landasan yang kokoh
bagi kemandirian peradilan agama, dan memberikan
status yang sarna dengan peradilan-peradilan lainnya di
Indonesia.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan memperkokoh keberadaan
pengadilan agama. Di dalam undang-undang ini tidak
ada ketentuan yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Pasa12 ayat (1) undang-undang ini semakin
memperteguh pelaksanaan ajaran Islam (Hukum
Islam).Suasana cerah kembali mewarnai perkembangan
peradilan agama di Indonesia dengan keluarnya Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1989 ten tang Peradilan Agama
yang telah memberikan landasan untuk mewujudkan
peradilan agama yang mandiri, sederajat dan
memantapkan serta mensejajarkan kedudukan peradilan
agama dengan lingkungan peradilan lainnya.5
Dalam sejarah perkembangannya, personil
peradilan agama sejak dulu selalu dipegang oleh para
ulama yang disegani yang menjadi panutan masyarakat
sekelilingnya. Hal itu sudah dapat dilihat sejak dari
proses pertumbuhan peradilan agama sebagai-mana
disebut di atas. Pada masa kerajaan-kerajaan Islam,
penghulu keraton sebagai pemimpin keagamaan Islam di
5
http://www.pa-negara.go.id/tentang-kami/sejarah-singkat.
di akses pasa tanggal 30 oktober 2012 pada pukul 21.45 WITA
lingkungan keraton yang membantu tugas raja di bidang
keagamaan yang bersumber dari ajaran Islam, berasal
dari ulama seperti KaBjeng Penghulu Tafsir Anom IV
pada Kesunanan Surakarta. Ia pemah mendapat tugas
untuk membuka Madrasah Mambaul Ulum pada tahun
1905. Demikian pula para personil yang telah banyak
berkecimpung dalam penyelenggaraan peradilan agama
adalah ulama-ulama yang disegani, seperti: KH.
Abdullah Sirad Penghulu Pakualaman, KH. Abu Amar
Penghulu Purbalingga, K.H. Moh. Saubari Penghulu
Tegal, K.H. Mahfudl Penghulu Kutoarjo, KH. Ichsan
Penghulu Temanggung, KH. Moh. Isa Penghulu Serang,
KH.Musta’in Penghulu T1;1ban, dan KH. Moh. Adnan
Ketua Mahkamah Islam Tinggi tiga zaman (Belanda,
Jepang dan RI) (Daniel S. Lev: 5-7). Namun sejak tahun
1970-an, perekrutan tenaga personil di lingkungan
peradilan agama khususnya untuk tenaga hakim dan
kepaniteraan mulai diambil dati alumni lAIN dan
perguruan tinggi agama. Dari uraian singkat tentang
sejarah perkembangan peradilan agama tersebut di atas
dapat disimpulkan bahwa peradilan agama bercita-cita
untuk dapat memberikan pengayoman dan pelayanan
hukum kepada masyarakat.

3. Peradilan Islam Pada Masa Reformasi


Pada era reformasi terjadi perubahan secara besar-
besaran pada lembaga peradilan khususnya peradillan
agama, dimana peradilan agama harus menundukkan din
kepada Undang Undang satu atap yaitu Undang Undang
Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung RI dan
Undang Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman. Namun hal terjadi lagi
perubahan Undang Undang Nomor 4 Tahun 2004 diganti
dengan Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan kehakiman sementara itu Undang Undang
Nomor 5 Tahun 2004 diubah menjadi Undang Undang
Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung
Demikian pula dikeluarkannya dan berlakunya Undang
Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas
Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama. Dengan tujuan untuk mewujudkan tata
kehidupan bangsa, Negara dan masyarakat yang tertib,
benih, makmur dan berkeadilan, Bahwa Peradilan
Agama merupakan lingkungan peradilan dibawah
Mahkamah Agung sebagai pelaku kekuasaan kehakiman
yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan, namun hal ini terjadi
perubahan kembali yaitu dikeluarkannya Undang
Undang Nomor 3 Tahun 2006 masih perlu
disempurnakan kembali yaitu dengan mengadakan
perubahan kedua yakni Undang Undang Nomor 50
Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang
Undang Nomor 7 Tahun 1999 tentang Peradilan Agama.
Demikian juga terdapat penambahan pasal 52a yaitu
tentang Pengadilan Agama memberikan itsbat kesaksian
ru'yat hilal penentuan awal bulan pada tahun Hijriah
yakni kewenangan baru peradilan agama.

Dengan bersumber pada Undang Undang Nomor 14


Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana
telah diubah dengan Undang Undang Nomor 5 Tahun
2004 tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 14
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung Adapun
berlakunya Undang Undang Nomor 50 Tahun 2009
nomor 22 tentang Perubahan Kedua atas Undang
Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
adalah: Pasal 1 dalam Undang Undang ini yang
dimaksud dengan (1) Pengadilan Agama adalah
peradilan bagi orang- orang yang beragama Islam (2)
Pengadilan adalah pengadilan agama dan pengadilan
tinggi agama di lingkungan peradilan agama (3) Hakim
adalah hakim pada pengadilan agama dan hakim pada
pengadilan tinggi agama (4) Pegawai Pencatat Nikah
adalah pegawai pencatat nikah pada Kantor Urusan
Agama Juru Sita dan/atau Juru Sita Pengganti adalah
jaru sita dan/atau juru sita pengganti pada pengadilan
agama.

Dalam pembahasan rancangan Undang Undang tentang


Perbankan Syari'ah yang kemudian ditetapkkan menjadi
Undang Undang Nomor 21 Tahun 2008 telah terjadi
hubungan kerja yang intens antara Mahkamah Agung cq
Ditjen Badan Peradilan Agama dengan Departemen
Agama dan Majelis Ulama Indonesia. Hal tersebut
terjadi karena kewenangan untuk menyelesaikan
sengketa pada perbankan syari'ah yang merupakan salah
satu dari 11 cabang ekonomi syariah yang disebutkan
dan ditetapkan menjadi kewenangan Peradilan Agama
oleh Undang Undang Nomor 3 Tahun 2006 dalam DIM
(Daftar Isian Masalah) yang disampaikan oleh
pemerintah terhadap Rancangan Undang Undang
inisiatif DPR RI tersebut dialihkan ke Peradilan Umum.
Hubungan kerja tersebut harus terus berlanjut karena
masih banyak tugas-tugas lain yang sebenarnya
merupakan tugas bersama yang harus diselesaikan antara
lain pengajuan dan pembahasan Rancangan Undang
Undang tentang Hu Materil Peradilan Agama (HMPA)
bidang perkawinan.
BAB III
PENUTUP
Peradilan dalam Islam sangat penting, untuk
mewujudkan keadilan dan kemaslahatan serta sebagai
upaya melindungi hak dan kewajiban individu,
kelompok dan masyarakat secara keseluruhan, hal ini
sesuai dengan asas prinsip dan tujuan dari hukum Islam
itu sendiri. Dengan adanya peradilan Islam, kebebasan
yang dimiliki oleh setiap individu pun terlindungi,
persamaan hak setiap individu didepan hukum maupun
dalam kehidupan sosial terjaga, dan jaminan sosial bagi
setiap individu dan masyarakat dapat terwujudkan.
Berdasarakan tujuan dari, pelaksanaan peradilan
Islam sebagai wadah melaksanakan atau menjalankan
hukum-hukum Allah SWT dan mengesakan Allah SWT
maka dari sini dapat disimpulakan bahwa pelaksanaan
peradilan Islam merupakan ibadah. Namun bukan berarti
setiap orang bisa menjadi hakim sebagai pelaksanaan
pengadilan sebab bisa saja akan terjadi kekeliruan
apabila posisi hakim tidak dilaksanakan orang-orang
yang berilmu.
DAFTAR PUSTAKA

Bisri, Cik Hasan. 1996. Peradilan Agama Di Indonesia.


Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Hamami, Taufiq. 2003. Kedudukan dan Eksistensi
Peradilan Agama dalam Sistem Tata Hukum
Indonesia, Bandung: Alumni.
Mardani. 2017. Hukum Acara Perdata Peradilan Agama
& Mahkamah Syar’iyah. Jakarta: Sinar Grafika.
Rahardjo, Sartjipto. 2014. Ilmu Hukum. Bandung: PT
Citra Aditya Bakti.
Ramulyo, M. Idris. 1991. Beberapa Masalah tentang
Hukum Acara Perdata Peradilan Agama,
Jakarta: Ind-Hill.Co.
Wahyudi, Abdullah Tri. 2004. Peradilan Agama Di
Indonsia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Wahyudi, Abdullag Tri. 2018. Hukum Acara Peradilan
Agama Dilengkapi Contoh Surat-surat Dalam
Praktik Hukum Acara di Peradilan Agama.
Bandung: Mandar Maju.
http://www.pa-negara.go.id/tentang-kami/sejarah-
singkat.

Anda mungkin juga menyukai