Anda di halaman 1dari 25

1

KONSEP HUKUM ISLAM DALAM MENATA


CLEAN GOVERNANCE DAN GOOD GOVERNANCE
Oleh : Abdurahim Riduang
I. PENDAHULUAN
Perkembangan pemikiran hukum Islam terus berjalan dan
berkembang karena adanya sejumlah pemikir Islam yang terus
mengembangkan nalarnya di berbagai bidang termasuk hukum
Islam. Terbukti mulai dari zaman Nabi sampai sekarang, seiring
dengan perjalanan dan perkembangan sejarah Islam, bermunculan
sejumlah pemikir atau cendikiawan, sehingga lahirlah sejumlah
produk hukum yang sesuai dengan perkembangan zaman.
Pemberlakuan hukum syariat tidak berarti
mengesampingkan hukum produk nalar manusia. Menurut Sayyed
Hossein Nasr, dalam Islam, ada hukum yang langsung berasal dari
Tuhan, ada pula hukum buatan manusia. Hukum yang berasal dari
Tuhan diistilahkan syar, hukum buatan produk manusia biasa
disebut qa>nu>n.1
Pada awal dunia Islam, terdapat banyak persesuaian antara
hukum Tuhan di satu pihak dan hukum manusia di pihak lain.
Ketegangan muncul antara keduanya bermula akibat adanya
pengaruh asing (Barat), yang bermula pada abad ke-19, yang
mengakibatkan penggantian syariat di berbagai negara muslim,
seperti Persia, Mesir, Turki dan Afrika Utara, dengan hukum Eropa.

Sayyed Hossein Nasr, The Heart of Islam Enduring Values for Humanity
diterjemahkan oleh Nurasiah Fakih Sutan Harahap dengan judul Pesan-pesan
Universal Islam untuk Kemanusiaan (Cet. I; Bandung : Mizan, 2003), h. 145.

Penggantian ini menimbulkan ketegangan antara kehidupan


keagamaan individu dan urusan kemasyarakatan, dan
mengakibatkan mayoritas penduduk menjauh dari pemerintah
mereka.2
Di negara-negara yang agama Islamnya berpengaruh kuat,
hukumnya juga akan banyak dipengaruhi oleh hukum Islam,
namun tidak semua ajaran agama dapat dan perlu dilegislasikan
dalam bidang ruang publik, karena keyakinan agama dan hukum
negara memiliki perbedaan. Perbedaan cakupan hukum agama
dan hukum positif lebih terasa ketika hukum agama yang
dimaksud adalah hukum Islam, karena dalam Islam hukum
memiliki cakupan yang jauh lebih luas dibanding hukum menurut
pengertian Barat. Dalam hubungan ini Muhammad Khalid Masud
berpendapat bahwa menerjemahkan syariat sebagai hukum Islam
tidaklah memadai karena syariat meliputi rentang makna yang
lebih luas daripada hukum sebagaimana lazimnya dipahami. 3
Berbicara mengenai hukum publik, berarti berbicara
mengenai hukum yang telah diatur dan diterapkan oleh
pemerintah selaku pelaksana hukum publik, olehnya itu hukum
publik juga harus dilakukan dengan mempertimbangkan
heterogenitas penduduk. Hal ini harus diperhatikan karena warga
negara terdiri dari orang-orang yang berbeda keyakinan agama,
2
3

Ibid, h. 145-146

Muhammad Khalid Masud, Pencarian Landasan Normatif Syariah Para


Ahli Hukum Islam dalam Dinamika Kontemporer dalam Masyarakat Islam,
dihimpun oleh Dick van der Meij, diterjemahkan oleh Soemardi (Jakarta : INIS,
2003), h. 1.

dan dalam satu agama pun mungkin ada perbedaan keyakinan


dan perbedaan tingkat kepatuhan, sementara mereka semua
harus merasa terayomi.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dalam makalah ini
akan dibahas menganai perkembangan pemikiaran hukum Islam
dalam bidang ruang publik, termasuk di dalamnya mengenai
mura>faat, jna>yah, dusturiyah dan dauliyah.

II. PEMBAHASAN
A. Mura>faat
Mura>faat

atau

mukha>sanat

adalah

hukum

acara

peradilan agama.4 Dalam bidang mura>faat ini dibahas mengenai


hukum acara peradilan termasuk didalamnya mengenai proses
persidangan dan penetapan hukum atau undang-undang.
Pada

masa

Nabi Muhammad saw.,

mura>faat

masih

bersifat sederhana dan langsung. Karena pada masa tersebut Nabi


berperan ganda, selain bertindak sebagai kepala negara juga
sebagai qa>dhi, Hal ini dapat dilihat ketika seseorang yang
mendapat permasalahan pada waktu itu, maka ia dapat dengan
segera datang kepada Nabi untuk meminta putusan tanpa harus
menunggu waktu tertentu maupun mencari tempat tertentu pula.
Bahkan kebanyakan dari putusan-putusan yang dilakukan oleh

M. Erza Pahlevi, diakses pada tanggal 15 Juni 2010, pada :


http://blog.re.or.id/hukum Islam dalam ruang publik.htm .

Nabi lebih bersifat sebagai fatwa5 dengan model tanya jawab,


dibandingkan dengan proses sebuah pengadilan yang dipahami
sekarang.
Dalam kesederhanaan itu, Rasulullah tetap mensyaratkan
bahwa ketika terjadi persengkataan antara dua pihak yang saling
mengklaim kebenaran sebuat keputusan, tidak boleh diambil
kecuali setelah qa>dhi mendengarkan pelaporan dari kedua belah
pihak. Dalam konteks ini Nabi saw. juga mengharuskan adanya
bukti

yang

dibawa

oleh

pelapor

dan

sumpah

bagi

yang

dilaporkan.6 Dan masa yang dibutuhkan bagi berlangsungnya


proses mulai dari putusan hingga eksekusi tidak menunggu waktu
melainkan dijalankan secara langsung.
Pada masa khulafa>urra>syidu>n, pemikiran hukum Islam
khususnya di bidang mura>faat mengalami perkembangan. Hal ini
dapat di lihat bahwa, pada masa sebelum Khalifah Us\man, masjid
adalah

merupakan

tempat

untuk

berperkara7.

Sebagai

perkembangan dari pelaksanaan hukum acara peradilan bahwa


bangunan khusus yang dibangun tersebut untuk menjadikan proses
peradilan lebih berwibawa.

Abdul Wahha>b Khalla>f, Al-Sult}a>n al-Tsala>ts fi al-Isla>m : AlTas{ri>, al-Qad{a>, al-Tanfiz (Cet.II, Kuwait : Dar al-Qala>m, 1405 H/1985 M) h.
24.
6

Lihat Al-Bayhaqi, Al-Sunan al-Qubra, Vol. X, h. 252 dalam Software alMaktabah al-Sha>milah. Hadis senada juga diriwayatkan oleh Al-Tirmidzi dalam
Al-Ja>mi al-S{hahi>h Sunan Al-Tirmidzi, Vol. III, h. 626. Hadis No. 1341.
7

Zulkifh Umar, Makalah tentang Khulafa>urrasyidin, diakses pada tanggal 03


Juni 2010, pada :. http://meetabied.wordpress.com.

Dalam

hukum

acara

peradilan

agama

pada

masa

khulafa>urra>syidu>n belum diadakan panitra dan buku register


untuk mencatat putusan-putusan yang telah dilakukan.8 Hal ini baru
dilaksanakan pada masa Bani Umayah. Karena pada masa ini para
hakim sudah mulai mencatat putusan-putusannya dan menyusun
yurisprudensi.9 Di sinilah hukum acara peradilan agama (mura>faat)
mulai terlihat secara teknis.
Pada pemerintahan Usmaniyah toleransi dengan orang-orang
non muslim telah melampaui batas-batas yang telah ditetapkan oleh
fuqaha, yaitu mengahruskan orang-orang non muslim tunduk di
bawah

hukum

acara

peradilan

Islam

dalam

perkara-perkara

kemasyarakatan, memberi berbagai keistimewaan kepada mereka,


dan berkembanglah peradilan-peradilan yang dipimpin oleh hakimhakim non muslim. Misalnya di Mesir, selain Peradilan Islam juga
dibangun peradilan Masehi.10
Reformasi hukum merambah hingga dibukanya pengadilanpengadilan

khusus,

seperti

pengadilan

dagang

tahun

1864

mengikuti model Eropa, pengadilan-pengadilan yang memiliki


panel sejumlah hakim pun mulai diperkenalkan dan sebuah
pengadilan banding pun didirikan pada saat itu. Kementerian
kehakiman (Mahkamah Agung) didirikan pada tahun 1868 sebagai
8

T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah Peradilan Islam (Cet. III; Jakarta :
Bulan Bintang, 1970), h.17.
9

T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam (Cet. I;
Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 1997), h.21.
10

Hasbi Ash-Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam (Cet. II;


Jakarta : Pustaka Reski Putra, 2001), h. 28.

satu-satunya

institusi

yang

memiliki

otoritas

dalam

bidang

administrasi kehakiman.11
Setelah Indonesia merdeka dalam UUD 1945 keberadaan
Peradilan

Agama

diakui

termasuk

dalam

lingkungan

badan

kehakiman sebagaimana diatur dalam pasal 24, namun belum ada


undang-undang

yang

mengatur

secara

khusus

susunan,

kekuasaan, dan hukum acara dalam lingkungan Peradilan Agama.


Dengan adanya UU No. 14 Tahun 1970 tentang pokok-pokok
kekuasaan kehakiman, secara formal maka keberadaan Peradilan
Agama

diakui,

namun

mengenai

susunan

dan

kekuasaan

(wewenang)nya masih beragam dan hukum acara yang digunakan


adalah HIR. serta peraturan-peraturan yang diambil dari Hukum
Acara Peradilan Islam. Mengenai hukum material sesuai wewenang
Peradilan Agama yang pada hakekatnya menyelesaikan persoalanpersoalan

dan

perkara

yang

berkenan

dengan

perkawinan,

kewarisan dan wakaf berlandaskan pada : Ketentuan-ketentuan


hukum yang terdapat dalam al-Quran, Sunnah Rasul, serta Ijtihad
yang dijabarkan lebih lanjut dalam UU Perkawinan dan Kompilasi
Hukum Islam.12
Dalam

perkembangan

selanjutnya,

dewasa

ini

telah

dikeluarkan UU. No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang


mengatur : Susunan, Kekuasaan, dan Hukum Acara Peradilan.
11

Abdullah Ahmed an-Naim, Islam dan Negara Sekuler : Menegoisasikan


Masa Depan Syariah (Cet. I; Bandung : Mizan, 2007), h. 355.
12

Hj. Sulaikin Lubis et.al, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di


Indonesia (Cet. I; Jakarta : Kencana, 2005), h. 2

Eksistensi Peradilan Agama di negeri Republik Indonesia yang


berdasarkan Pancasila ini, sampai sekarang ini tetap berlangsung,
berbeda dengan negara-negara lain yang mayoritas penduduknya
beragama

Islam,

seperti

Turki,

Mesir

dan

lain-lain,

karena

pengaruh sekularisme, Pengadilan Agama di negara-negara itu


telah dihapuskan.13
B. Jina>yah
Dalam syariat Islam, hukum jina>yah (pidana) adalah
mencakup segala pelanggaran yang dijatuhi hukuman berupa
qis{as{ (yang hukumannya dapat ditentukan oleh korban yang
bersangkutan) dan hadd (yang hukumannya telah ditentukan
sendiri oleh Allah swt.) atau ta'zir (yang hukumannya berdasarkan
pertimbangan ijtihad qa>dhi atau pemerintah.14
Hukum jina>yah dalam Islam ditegakkan bertujuan
melindungi dan menjamin terlaksananya maksud syariat, yang
meliputi : melindungi agama, melindungi keutuhan (stabilitas)
jamaah (bangsa), melindungi jiwa dan kehormatan, melindungi
akal, melindungi keturunan dan melindungi harta kekayaan.
Berdasarkan hal tersebut, maka hukum jina>yah, baik
dalam bentuk jari>mah uqubah dengan saksi hudud, maupun
13

Di negara-negara Srilanka, Thailand, Singapura, Philipina, Malaysia dan


Brunei Darussalam, ada Pengadilan Agama walaupun negara tersebut
menganut sekuralisme. Di Australia ada Family Court yang kewenangannya
sama dengan Pengadilan Agama. Lihat H. Bustanul Arifin, Peradilan Agama di
Indonesia (Makalah disajikan dalam Dialog tentang Pembangunan Hukum
Nasional Memperingati 8 Windu Pondok Modern Gontor 18 Juni 1991), h. 9.
14

H. Hamka Haq, Syariat Islam : Wacana dan Penerapannya (Ujung


Pandang : Yayasan Al-Ahkam, 2001), h. 193.

dalam bentuk jina>yah qis{as{, adalah meliputi : perzinaan,


tuduhan palsu, pencurian, mabuk, h{ira>bah (pemberontak),
murtad, buga>t (makar subversif), kerusuhan dan pembunuhan
(penganiayaan). Pelanggaran dalam soal ini pelakunya akan
dikenakan hukuman, dengan prinsip asas bara>at al-z\immah.15
Hukum pidana Islam atau fikih jina>yah merupakan bagian
dari syariat Islam yang berlaku semenjak diutusnya Rasulullah
saw. Oleh karenanya, pada zaman Rasulullah dan
khulafa>urra>syidu>n, hukum pidana Islam berlaku sebagai
hukum publik, yaitu hukum yang diatur dan diterapkan oleh
pemerintah selaku penguasa yang sah atau ulil amri, yang pada
masa dirangkap oleh Rasulullah sendiri dan kemudian diganti oleh
khulafa>urra>syidu>n.16
Sebagai bukti hukum pidana Islam (Jina>yah) merupakan
hukum publik yang dilaksanakan oleh ulil amri, dapat dilihat dalam
Surat al-Maidah (5) : 48 :



Terjemahnya : Dan kami telah turunkan kepadamu alQuran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa
yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan
sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain
itu, maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang
Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu
mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah
15
16

Ibid.

H. Ahmad Wardi Muslish, Pengantar Asas Hukum Pidana Islam [Fikih


Jina>yah] (Cet.I; Jakarta : Sinar Grafika, 2004), h. 3.

datang kepadamu.17
Ayat di atas menegaskan tentang adanya kewajiban untuk
menerapkan dan melaksanakan hukum syariat Islam yang
bersumber dari kitab yang diturunkan oleh Allah yaitu al-Quran.
Kewajiban tersebut ditugaskan kepada Rasulullah dalam fungsi
rangkapnya sebagai ulil amri. Dengan hukum pidana Islam
bukanlah hukum yang dilaksanakan oleh perorangan (individu),
melainkan diatur dan dilaksanakan oleh ulil amri (pemerintah)
selaku wakil dari seluruh rakyat.
Kewajiban ulil amri dalam melaksanakan hukum pidana
Islam ini, juga dapat dilihat dalam hampir setiap ayat yang
berkenaan dengan hukuman. Setiap ayat dalam al-Quran yang
menjelaskan tentang hukuman, seperti hukuman pencurian, zina,
penuduhan zina18 dan lain-lainnya, selalu disampaikan dalam
bentuk amar dan jamak. Ini berarti bahwa perintah tersebut bukan
ditujukan kepada individu (perorangan), melainkan kepada
pemerintah.
Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa, pernah seorang
laki-laki muslim yang telah beristeri berbuat zina mendatangi
Rasulullah dengan mengakui perbuatannya, maka Nabi langsung
memerintahkan kepada para sahabatnya untuk melaksanakan

17

Departemen Agama RI, al-Quran dan Terjemahnya (Jakarta: Yayasan


Penyelenggara dan Penerjemah/Penafsiran al-Quran, 1971), h. 168.
18

Lihat Ibid., tentang hukuman pencurian (QS. al-Maidah : 38, h. 165),


hukuman Zina (QS. An-Nur : 2, h. 543), hukuman penuduhan zina (QS. An-Nur :
4, h. 543).

10

hukum rajam atas laki-laki tersebut.19


Diriwayatkan pula bahwa seorang laki-laki yang telah
minum minuman keras (khamar) dihadapkan kepada Rasulullah,
kemudian Rasulullah saw. menghukumnya dengan hukuman dera
(jilid) sebanyak empat puluh kali dengan menggunakan daun
pelapah korma. Hukuman ini telah dilaksanakan pula oleh Abu
Bakar. Dan pada masa Khalifah Umar, beliau mengadakan
musyawarah dengan para sahabat mengenai hal ini, dan
diputuskan bahwa hukumaan hudud yang paling ringan adalah
delapan puluh kali dera, maka Umar pun memerintahkan untuk
melaksanakan hukuman dera delapan puluh kali.20
Kedua riwayat di atas menunjukkan bahwa Rasulullah
selaku ulil amri (hakim) memerintahkan kepada para sahabat
untuk melaksanakan hukuman kepada mereka yang melakukan
pelanggaran hukum, dan hal ini berlaku sampai dengan masa
pemerintahan Bani Umayah, Abbasiyah dan Turki Usmani yang
pemerintahannya masih pemerintahan Islam. Setelah masa itu,
negara-negara Islam baik di Asia maupun Afrika pada umumnya
menjadi negara jajahan yang berada di bawah kekuasaan negaranegara Barat. Pengaruh jajahan sangat terasa dalam segala
bidang termasuk bidang hukum, khususnya hukum pidana
(jina>yah). Kecuali di Saudi Arabia, negara-negara Islam yang lain
pada umumnya tidak menerapkan hukum pidana syariat Islam ini.
19

Muhammad Ibn Ismail Al-Kahlani, Subul As-salam, Juz IV (Cet. IV; Mesir
: Syarikah Maktabah wa Mathbaah Must{afa Al-Baby Al-Halaby, 1060), h. 6.
20

Ibid., h. 28.

11

Misalnya di Mesir, walaupun dalam Undang-Undang Dasar


Pasal 2 dinyatakan bahwa syariat Islam merupakan sumber asasi
legislasi di negara itu, namun sampai saat ini hukum pidana yang
digunakan adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Mesir yang
bersumber dari Barat. Di Indonesia yang penduduknya sembilan
puluh persen beragama Islam, tetapi hukum pidana yang berlaku
adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang merupakan
warisan dari zaman penjajahan Belanda. Dan pada masa sekarang
ini beberapa negara yang menggunakan Islam sebagai dasar
negaranya, mulai mencoba untuk menerapkan hukum pidana
Islam sebagai hukum publik misalnya Pakistan dan Sudan.21
C. Dusturiyah.
Dusturiyah adalah merupakan salah satu bagian dari fikih
siya>sah yakni hukum yang berhubungan dengan peraturan dasar
tentang bentuk pemerintahan dan batasan kekuasaannya, cara
pemilihan (kepala negara), batasan kekuasaan yang lazim bagi
pelaksanaan urusan umat, dan ketetapan hak-hak yang wajib bagi
individu dan masyarakat, serta hubungan antara penguasa dan
rakyat.22
Berbicara mengenai negara dan pemerintahannya, maka

21

Lihat Panji Masyarakat No. 352 edisi 1 Maret 1982 mengenai


wawancara dengan Presiden Zia Ul-Haq, dan Panji Masyarakat No. 414 edisi 21
Nopember 1983, halaman 45, tentang Penerapan Syariat Islam di Sudan
22

J.Suyuti Pulungan, Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Cet.V;


Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2002), h. 40, Lihat pula L. Amin Widodo,
Fiqih Siyasah dalam Hubungan Internasional (Cet.I; Yogyakarta : PT. Tiara
Wacana Yogya, 1994), h. 1.

12

negara dan pemerintahan yang pertama dalam sejarah Islam


adalah Negara Madinah. Terbentuknya negara Madinah, akibat dari
perkembangan penganut Islam yang menjelma menjadi kelompok
sosial dan memiliki kekuatan politik riil pada pasca periode Mekkah
di bawah pimpinan Nabi. Pada periode Mekkah pengikut Nabi yang
jumlahnya relatif kecil belum menjadi suatu komunitas yang
mempunyai daerah kekuasaan dan berdaulat. Mereka merupakan
golongan minoritas yang lemah dan tertindas di bawah kekuasaan
aristokrat Quraisy. Tetapi setelah di Madinah, posisi Nabi dan
umatnya mengalami perubahan besar. Di kota itu mereka
mempunyai kedudukan yang baik dan merupakan umat yang kuat
dan dapat berdiri sendiri. Nabi sendiri sebagai menjadi kepala
dalam masyarakat yang baru dibentuk itu yang akhirnya
merupakan suatu negara yang daerah kekuasaannya meliputi
seluruh semenanjung Arabia. Dengan kata lain di madinah Nabi
Muhammad bukan lagi hanya sebagai seorang Rasul, tetapi juga
sebagai kepala negara.23
Mengenai hal ini, D.B. Macdonald mengatakan bahwa, di
Madinah telah telah terbentuk negara Islam pertama dan telah
meletakkan dasar-dasar politik bagi perundang-undangan Islam.24
Sebagai kepala negara, Nabi menata kehidupan sosial
politik komunitas-komunitas di Madinah. Sebab dengan hijrahnya
23

Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid I (Jakarta :


UI-Press, 1986), h. 92.
24

Muhammad Dhiya al-Din al-Rayis, al-Nazhariya>t al-Siya>sat alIsla>miyat (Mishr : maktabat al-Anjlu, 1957), h. 15.

13

kaum muslimin Mekkah ke kota itu, masyarakatnya makin semakin


bercorak heterogen dalam hal etnis dan keyakinan yaitu
komunitas Arab muslim dari Mekkah, komuniutas Arab Madinah
dari suku Aus dan Khazraj yang muslim, komunitas Yahudi, dan
komunitas Arab yang paganis. Untuk ini Nabi menempuh dua cara.
Pertama, menata interen kehidupan kaum muslimin, yaitu
mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dan kaum Ansar secara
efektif.25 Persaudaraan ini bukan diikat oleh hubungan darah dan
kabilah, melainkan atas dasar ikatan agama (iman). Inilah awal
terbentuknya komunitas Islam untuk pertama kalinya, yang
menurut Hitti, merupakan suatu miniatur dunia Islam.26 Kedua,
Nabi mempersatukan antara kaum Muslimin dan kaum Yahudi
bersama sekutu-sekutunya melalui perjanjian tertulis yang dikenal
dengan Piagam Madinah. Suatu perjanjian yang menetapkan
persamaan hak dan kewajiban semua komunitas dalam kehidupan
sosial dan politik.
Setelah diteliti dan dikaji secara mendalam, naskah
perjanjian tersebut mengandung beberapa prinsip, yaitu ; prinsip
orang-orang muslim dan mukmin adalah umat yang satu dan
antara mereka dan non muslim adalah umat yang satu (semua
manusia adalah umat yang satu); prinsip persatuan dan
persaudaraan; prinsip persamaan; prinsip kebebasan; prinsip
25

Ibn Hisyam, Si>rat al-Nabawiyat, Jilid I (Mathbaat Muhammad Ali Shabih,


t.t), h. 303-304.
26

Philip K. Hitti, Capital Cities of Arab Islam (Minneapolis : University of


Minnesota, 1973), h. 35.

14

tolong-menolong dsan membela yang teraniaya; prinsip hidup


bertetangga; prinsip keadilan; prinsip musyawarah; prinsip
pelaksanaan hukum dan sanksi hukum; prinsip kebebasan
beragama dan hubungan antara pemeluk agama (hubungan
antar bangsa/internasional); prinsip pertahanan dan perdamaian;
prinsip amar maruf dan nahi mungkar; prinsip kepemimpinan;
prinsip tanggung jawab pribadi dan kelompok dan prinsip
ketakwaan dan ketaatan (disiplin). 27
Prinsip-prinsip tersebut sangat modern untuk masa itu.
Bahkan untuk dewasa ini pun tetap relevan karena nilai-nilainya
yang universal. Sebab prinsip-prinsip tersebut telah menjadi
tuntunan berbagai bangsa di dunia agar tegak dalam hidup
bermasyarakat dan bernegara, yaitu tatanan masyarakat yang
demokratis, adil dan damai. Karena pada hakekatnya
implementasi prinsip-prinsip tersebut merupakan penghargaan
terhadap hak-hak asasi manusia, dan akan menumbuhkan
demokrasi dalam berbagai aspek kehidupan.
Selanjutnya, pada masa khulafa>urra>syidu>n corak
negara Madinah tidak jauh berbeda pada masa Rasulullah.
Penyelenggaraan pemerintahan didasarkan pada syariat Islam
dan kekuasaannya dibatasi oleh syariat itu sendiri. Namun
kebebasan tetap dilaksanakan, yaitu melaksanakan musyawarah
dan ijtihad mengenai masalah-masalah yang tidak ada
ketentuannya dalam nash syariat. Dan rakyat memperoleh hak
27

J. Suyuthi Pulungan, op.cit., h. 85.

15

kebebasan mengkritik pemerintah dalam rangka amar maruf


dan nahi mungkar. Karenanya ia dapat disebut negara
demokrasi yang berdasarkan syariat Islam.
Kemudian, negara Madinah pada periode
khulafa>urra>syidu>n oleh Philip K. Hitti disebut sebagai
periode republik. 28 Karena dari satu segi ia ada persamaannya
dengan sistem republik. Dalam sistem republik kepala negara
ditentukan melalui pemilihan oleh rakyat,
khulafa>urra>syidu>n juga ditentukan melalui pemilihan oleh
rakyat. Namun ada perbedaannya, jika dalam sistem republik
masa jabatan kepala negara ditentukan, maka
khulafa>urra>syidu>n tetap memegang jabatannya selama
mereka tunduk dan patuh kepada syariat Islam dan suksesi
kepemimpinan baru terjadi bila khalifah meninggal.
Selanjutnya, corak pemerintahan pasca khila>fah
terutama di dunia Islam maupun di negara-negara yang
mayoritas Islam, sudah beragam, sesuai dengan hukum publik
yang berlaku di negara masing-masing. Hal ini disebabkan
karena aktualisasi pemahaman umat Islam terhadap al-Quran
dan Sunnah yang tidak menetapkan sistem dan bentuk
pemerintahan yang harus diikuti, diatambah lagi oleh pengaruh
lingkungan budaya dan sejarah masing-masing negara yakni
pengaruh perkembangan pemikiran dan ilmu pengetahuan dan

28

Philip K. Hitti, History of The Arabs (London : The Macmillan Press LTD,
1970), h. 183.

16

pengaruh-pengaruh dari luar .


D. Dauliyah.
Suatu hal yang tak dapat disangkal bahwa semua negara
mempunyai kepentingan yang sama, baik kepentingan
perdamaian, keamanan maupun kepentingan-kepentingan
ekonomi. Semua kepentingan itu menghendaki adanya hukum
yang memberikan hak dan kewajiban kepada negara tersebut.
Soal berdirinya, berubahnya dan lenyap atau matinya suatu
negara merupakan obyek yang sangat penting juga bagi hukum
internasional tersebut. Subyek hukum bukan hanya negara saja,
melainkan termasuk juga Kunci Suci kedudukan Sri Paus di Roma
sebagai kepala Gereja Katolik. Kursi suci itu pun merupakan
subyek hukum juga dalam hukum internasional. Dikatakan
demikian karena Sri Paus mengadakan perjanjian-perjanjian
(concordent) dengan negara-negara, mengangkat dan
menempatkan wakil-wakilnya di negara-negara itu dengan julukan
Nuntius atau Internuntius dan menerima wakil-wakil beberapa
negara dalam hukum internasional bahkan Perserikatan Bangsabangsa (PBB) adalah subyek hukum pula. PBB itu bukaanlah suatu
super negara, melainkan suatu perserikatan belaka antara
beberapa negara. Menurut piagam pendiriannya tujuan
perserikatan itu ialah pembebasan umat manusia dari siksaan
perang, menebalkan hak-hak azasi manusia dan sebagainya.29
Kebanyakan para ahli hukum internasional menganggap bahwa
29

Subekti, Kamus Hukum (Jakarta : Pradya Paramita, 1972), h. 54,

17

ilmu hukum internasional adalah ilmu baru yang lahir di Eropa sejak
tiga atau empat abad yang lalu dan kemudian berkembang di
Amerika.
Kebanyakan ahli-ahli hukum Eropa dan Amerika itu berkata
demikian hanyalah didorong oleh rasa fanatik dan karena mereka
hanya sedikit saja mengetahui kenyataan yang sebenarnya
tentang hukum internasional. Grotius, seorang ahli hukum
internasional bangsa Belanda, yang dikenal sebagai Bapak
Hukum Internasional mengatakan bahwa hukum internasional
pada hakekatnya telah tumbuh sejak lahirnya masyarakat manusia
di dunia ini, aka tetapi sebagai ilmu yang komplit telah dilahirkan
dari hukum Islam, sebab agama Islam yang dibawa oleh Nabi
Muhammad saw. yang bersumber pada al-Quran memuat ajaran
prinsip-prinsip hukum internasional itu.
Pendapat Grotius digarisbawahi oleh Prof. Baron Michel de
Tubb, seorang guru besar di bidang ilmu hukum internasional pada
akademi ilmu negara di Den Haag menegaskan bahwa
sesungguhnya bagi hukum internasional itu banyak dilandasi oleh
prinsip-prinsip dasar yang terdahulu diletakkan oleh agama Islam,
terutama sekali yang berkaitan dengan hukum perang dan damai.
Yang demikian itu dapat dibuktikan apabila ditelusuri data sejarah
dunia dan pertumbuhan serta perkembangan kebudayaan bangsabangsa.30
30

Lihat Ali Mansur, Asysya>riah al-Islamiyyah wa Qanu>nut Dalliyu


al-Am (Kairo : Dar wa Mathaabius Syabi, Min Mansurati Majlis al-ala Lissuni
al-Islamiyah , 1965), h. 31-42.

18

Sebagai bukti dapat dilihat, bahwa jika dalam perdamaian


Tuhan dan genjatan senjata Illahi, yang melarang menghunus
senjata terhadap orang yang masuk gereja pada hari Minggu, dan
sore hari Jumat sampai dengan Senin tiap-tiap Minggu, sebagai
dasar-dasar hukum intrnasional yang ditetapkan oleh majlis-majlis
gereja dan konferensi raja-raja31, maka dalam al-Quran banyak
juga ayat-ayat yang telah menetapkan adanya genjatan senjata
Illahi, seperti yang tersirat dalam kandungan ayat-ayat dalam
Surah An-Kabut ayat 67, Surat Ali Imran ayat 96 dan 97, Surat AlQashas ayat 57 dan Surat At-Taubah ayat 36.32
Dengan demikian genjatan senjata Illahi seperti yang
ditetapkan oleh majelis-majelis gereja dan konferensi raja-raja
seperti yang tersebut di atas, menyerupai apa yang telah diatur
dalam hukum Islam lima abad sebelumnya, yakni sejak lahirnya
Islam seperti yang ditandaskan dalam ayat-ayat tersebut di atas.
Di bidang hukum laut sebelum Grotus menganjurkan
adanya ketetapan dalam hukum internasional soal laut bebas dan
bata-batas landas kontingen bagi suatu negara, maka sejak zaman
Daulah Umayah ( 9 abad sebelumnya), Khalifah Umar bin Abdul
Aziz telah menetapkan daerah lautan bebas dan batas-batas
landasan kontingen daerah pantai. Khalifah Umar bin Abdul Aziz
melarang menghalangi pelayaran di lautan bebas dan menarik bea
31

L. Amin Widodo, Fiqih Siyasah dalam Hubungan Internasional (Cet.I;


Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogya, 1994), h. 7.
32

Lihat Departeman Agama RI, op.cit., QS. An-Kabut : 67, h. 638, QS. Ali
Imran : 96 dan 97, h. 91-92, QS. Al-Qashas : 619, h. 54, dan QS. At-Taubah : 36,
h. 283-284.

19

cukai, terkecuali apabila masuk di daerah landas kontinental


sesuai dengan fakta isi perjanjian internasional yang telah
disepakati antar bangsa-bangsa mengenai daerah lautan
tertutup. 33
Menurut Dr. Arminazi di dalam buku Hukum internasional
dalam Islam menjelaskan bahwa ahli-ahli hukum internasional di
Eropa telah mengakui bahwa dari kenyataan bukti-bukti sejarah
didapati hukum Islam menjadi sumber terpenting bagi dasar-dasar
hukum internasional yang ada sekarang. Dan Gustave Lebon
(seoranag penulis dari Perancis yang ternama) juga mengakui
bahwa Renaissance di Eropa yang terjadi 9 abad kemudian
sesudah lahirnya Islam, maka andil besar yang telah diberikan
adalah datang dari peradaban Islam.34
Demikianlah yang menjadi pikiran dasar hukum Islam
sebagai perundang-undangan Internasional di bidang ruang publik
dengan mendasarkan kepada pandangan humanitas yang
sempurna, dan mendudukkan hak-hak azasi manusia dengan amat
mulia pada proporsi keadaan ciptaan fitrah manusia itu sendiri.
Prinsip-prinsip hukum Islam mengenai hukum internasional ini
selanjutnya lebih menekankan kepada nilai-nilai moral dan etika,
karena tuntunan rasa kesadaran tunduk kepada norma-norma
agama, yang akhlakul karimah dijadikan landasan utama bagi
tegaknya hukum Islam. Maka dari itu prinsip-prinsip huku Islam
33

Lihat Ali Mansur, op.cit., h. 28-30.

34

L. Amin Widodo, op.cit., h. 8.

20

dalam hubungan internasional menjunjung tinggi hak-hak azasi


manusia dengan mengakui hak-hak musuh, baik di masa perang
atau di masa damai.
III. KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan
sebagai berikut :
1. Mura>faat atau hukum acara peradilan pada masa Nabi masih
sangat sederhana karena dilaksanakan dan diproses langsung
oleh Nabi, karena disamping Nabi sebagai qa>dhi, juga
berperan sebai kepala negara. Pada masa
Khulafa>urra>syidu>n mura>faat sedikit mengalami
perkembangan dengan dibuktikan adanya tempat lembaga
peradilan tersendiri, namun ketika itu semua hasil putusan
belum dicatat dalam sebuah yurisprudensi, karena waktu itu
belum adanya semacam penitera, nanti pada masa Umayyah
barulah semua hasil putusan dicatat dan dikumpulkan dalam
sebuah yurisprudensi sekaligus menunjukkan bahwa mura>faat
ketika itu semakin maju. Pada masa Usmaniyah mura>faat
semakin kompleks dengan adanya pengaruh dari Eropa
sebagaimana halnya di Indonesia, dengan adanya UU No. 14
Tahun 1970 tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman, secara
formal maka keberadaan Peradilan Agama diakui, namun
mengenai susunan dan kekuasaan (wewenang)nya masih
terbatas pada persoalan-persoalan dan perkara yang berkenan

21

dengan perkawinan, kewarisan dan wakaf.


2. Jina>yah sebagai hukum pidana Islam dilaksanakan sejak masa
Rasulullah, masa sahabat sampai pada masa pemerintahan
Bani Umayah, Abbasiyah dan Turki Usmani yang
pemerintahannya masih pemerintahan Islam. Setelah masa itu,
negara-negara Islam baik di Asia maupun Afrika pada
umumnya menjadi negara jajahan yang berada di bawah
kekuasaan negara-negara Barat, yang pengaruh jajahan sangat
terasa dalam segala bidang termasuk bidang hukum khususnya
hukum pidana (jina>yah). Kecuali di Saudi Arabia.
Di Indonesia yang penduduknya sembilan puluh persen
beragama Islam, tetapi hukum pidana yang berlaku adalah
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang merupakan warisan
dari zaman penjajahan Belanda. Dan pada masa sekarang ini
beberapa negara yang menggunakan Islam sebagai dasar
negaranya, mulai mencoba untuk menerpakan hukum pidana
Islam sebagai hukum publik misalnya Pakistan dan Sudan.
3.

Dusturiyah adalah merupakan salah satu bagian dari fikih


siyasah yakni hukum yang berhubungan dengan peraturan
dasar

tentang

kekuasaannya,

bentuk
cara

pemerintahan

pemilihan

(kepala

dan
negara),

batasan
batasan

kekuasaan yang lazim bagi pelaksanaan urusan umat, dan


ketetapan hak-hak yang wajib bagi individu dan masyarakat,
serta hubungan antara penguasa dan rakyat. Hal ini tercermin
pada piagam madinah yang sampai saat ini pun tetap relevan

22

karena nilai-nilainya yang universal. Sebab prinsip-prinsip


tersebut telah menjadi tuntunan berbagai bangsa di dunia agar
tegak dalam hidup bermasyarakat dan bernegara, yaitu
tatanan masyarakat yang demokratis, adil dan damai. Karena
pada

hakekatnya

implementasi

prinsip-prinsip

tersebut

merupakan penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, dan


akan

menumbuhkan

demokrasi

dalam

berbagai

aspek

kehidupan.
4. Daulyah yang dikenal dengan hukum internasional pada
hakekatnya telah tumbuh sejak lahirnya masyarakat manusia
di dunia ini, akan tetapi sebagai ilmu yang komplit telah
dilahirkan dari hukum Islam, sebab agama Islam yang dibawa
oleh Nabi Muhammad saw. yang bersumber pada al-Quran
memuat ajaran prinsip-prinsip hukum internasional tersebut.

23

DAFTAR PUSTAKA
Arifin Bustanul H., Peradilan Agama di Indonesia, (Makalah disajikan
dalam Dialog tentang Pembangunan Hukum Nasional
Memperingati 8 Windu Pondok Modern Gontor 18 Juni 1991),
h. 9.
Ash Shiddieqy T.M. Hasbi, Peradilan dan Hukum Acara Islam, Cet. I;
Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 1997.
-------, Sejarah Peradilan Islam, Cet. III; Jakarta : Bulan Bintang, 1970.
-------, Peradilan dan Hukum Acara Islam, Cet. II; Jakarta : Pustaka Reski
Putra, 2001.
Al-Bayhaqi, Al-Sunan al-Qubra, Vol. X, h. 252 dalam Software al-Maktabah
al-Sha>milah.
Departemen Agama RI, al-Quran dan Terjemahnya, Jakarta: Yayasan
Penyelenggara dan Penerjemah/Penafsiran al-Quran, 1971.
H. Hamka Haq, Syariat Islam : Wacana dan Penerapannya, Ujung
Pandang : Yayasan Al-Ahkam, 2001.
Hisyam Ibn, Si>rat al-Nabawiyat, Jilid I, Mathbaat Muhammad Ali
Shabih, t.t.
Hitti Philip K., Capital Cities of Arab Islam, Minneapolis : University of
Minnesota, 1973.
------, History of The Arabs, London : The Macmillan Press LTD, 1970.
Hossein Nasr Sayyed, The Heart of Islam Enduring Values for
Humanity diterjemahkan oleh Nurasiah Fakih Sutan Harahap
dengan judul Pesan-pesan Universal Islam untuk
Kemanusiaan, Cet. I; Bandung : Mizan, 2003.
Kahlani Al- Muhammad Ibn Ismail, Subul As-salam, Juz IV, Cet. IV;
Mesir : Syarikah Maktabah wa Mathbaah Must{afa Al-Baby AlHalaby, 1060.
Khalid Masud Muhammad, Pencarian Landasan Normatif Syariah
Para Ahli Hukum Islam dalam Dinamika Kontemporer dalam
Masyarakat Islam, dihimpun oleh Dick van der Meij, diterjemahkan
oleh Soemardi, Jakarta : INIS, 2003.
Lubis Sulaikin Hj. et.al, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di
Indonesia, Cet. I; Jakarta : Kencana, 2005.
Mansur Ali, Asysya>riah al-Islamiyyah wa Qanu>nut Dalliyu al-Am,
Kairo : Dar wa Mathaabius Syabi, Min Mansurati Majlis al-ala
Lissuni al-Islamiyah , 1965.
Muslish Ahmad Wardi H., Pengantar Asas Hukum Pidana Islam (Fikih
Jina>yah), Cet.I; Jakarta : Sinar Grafika, 2004.
an-Naim Abdullah Ahmed, Islam dan Negara Sekuler :
Menegoisasikan Masa Depan Syariah, Cet. I; Bandung : Mizan,
2007.
Nasution Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid I, Jakarta : UIPress, 1986.
Pahlevi M. Erza, diakses pada tanggal 15 Juni 2010, pada :
http://blog.re.or.id/hukum Islam dalam ruang publik.htm.
Panji Masyarakat No. 352 edisi 1 Maret 1982 mengenai wawancara
dengan Presiden Zia Ul-Haq,
-------, No. 414 edisi 21 Nopember 1983, halaman 45, tentang
Penerapan Syariat Islam di Sudan

24

Pulungan J.Suyuti, Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Cet.V;


Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2002.
Al-Rayis Muhammad Dhiya al-Din, al-Nazhariya>t al-Siya>sat alIsla>miyat, Mishr : maktabat al-Anjlu, 1957.
Subekti, Kamus Hukum, Jakarta : Pradya Paramita, 1972.
Al-Tirmidzi dalam Al-Ja>mi al-S{hahi>h Sunan Al-Tirmidzi, Vol. III, h. 626.
Hadis No. 1341.
Umar Zulkifh, Makalah tentang Khulafa>urrasyidin, diakses pada
tanggal 03 Juni 2010, pada :.
http://meetabied.wordpress.com.
Wahha>b Khalla>f Abdul, Al-Sult}a>n al-Tsala>ts fi al-Isla>m : AlTas{ri>, al-Qad{a>, al-Tanfiz, Cet.II, Kuwait : Dar al-Qala>m,
1405 H/1985 M.
Widodo L. Amin, Fiqih Siyasah dalam Hubungan Internasional, Cet.I; Yogyakarta :
PT. Tiara Wacana Yogya, 1994.

PERKEMBANGAN PEMIKIRAN HUKUM ISLAM


DALAM BIDANG RUANG PUBLIK
(Murafaat, Jinayah, Dusturiyah, Dauliyah )

Makalah Koreksian Dipresentasikan dalam Seminar Kelas Mata Kuliah


Sejarah Pemikiran Hukum Islam Semester II Program Pascasarjana
UIN Alauddin Makassar Tahun Akademik 2009/2010

Oleh :
ABDURAHIM RIDUANG
NIM : 80100208267

Dosen / Pemandu :

25

Prof. Dr. Sabri Samin, M.Ag.


Dr. H. Syarifuddin Latif, M.HI.

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN (UIN)
MAKASSAR
2010

Anda mungkin juga menyukai