Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

HUKUM ISLAM PADA MASA TABI’IN

OLEH :
HUSNUL KHATIMAH
WIDIA ROSIDATUSALAMAH

YAYASAN PONDOK PESANTREN DARUSSALAM


SEKOLAH TINGGI IMU SYARI’AH DARUSSALAM GERUNG
KABUPATEN LOMBOK BARAT NTB
TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta
nikmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah dengan
judul “Hukum Islam pada Masa Tabi’in”.
            Dalam penyusunan makalah ini penulis mendapat bantuan, dukungan dan
arahan dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis menyampaikan ucapan
terimakasih kepada Elpipit, MH, dan semua pihak yang telah membantu sehnga
makalah ini dapat terselesaikan.
            Penulis menyadari makalah ini jauh dari kesempurnaan, karena itu penulis
mengundang berbagai pihak untuk memberikan kritik dan saran demi
kesempurnaan karya ilmiah ini. Semoga makalah ini bermanfaat. Amien.

Beremi, 02 November 2021

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

Islam sejak awal diturunkan telah mengalami pertentangan hebat dari para
kaum Quraisy waktu itu. Banyak hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh nenek
moyang kaum Quraisy yang dianggap menyimpang oleh Islam. Hak manusia,
kepercayaan, ekonomi, muamalah. Semuanya diterapkan dengan aturan baru
sesuai dengan ajaran Islam. Seiring dengan berlalunya waktu, lambat laun Islam
menjadi mayoritas dan telah merubah tatanan kehidupan masyarakat Mekkah dan
Madinah serta daerah lain waktu itu. Pada awal turunnya sampai wafatnya
Rasulullah semua hukum masih bersumber dari Allah (Al-Qur’an) dan Rasulullah
(Hadist). Segala permasalahan selalu dibawa kepada Rasulullah untuk
diselesaikan.
Sepeninggalan Rasulullah mulai dirasakan oleh kaum muslimin, tempat
untuk bertanya segala permasalah telah wafat, maka salah satu cara yang
dilakukan adalah dibukanya pintu ijtihad, dengan menjadikan Al-Qur’an dan
Sunnah Rasulullah (Hadis) sebagai landasan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Tabi’in
Menurut pendapat al-Khatib1, mengatakan bahwa Tabi’in adalah orang
yang menyertai sahabat, tidak cukup hanya bertemu saja – seperti batasan arti
sahabat, mereka cukup hanya bertemu saja dengan Nabi Muhammad SAW,
karena nilai kemuliaan, ketinggian budi Nabi. Berkumpul sebentar dengan Nabi
bisa berpengaruh terhadap Nur Ilahi seseorang. Sedangkan bertemu dengan orang
lainnya tidak (termasuk dengan para sahabat) meskipun waktunya lebih lama.
Sedangkan kebanyakan ahli hadist berpendapat bahwa, Tabi’in adalah
orang yang bertemu sahabat meskipun tidak berguru kepadanya. Setelah masa
kholifah ke empat berakhir, fase selanjutnya adalah zaman Tabi’in. Secara
historis, masa Tabi’in merupakan masa yang dipenuhi permasalahan.
Perkembangan wilayah politik Islam yang semakain luas, kehidupan masyarakat
yang semakin maju dan kompleks.

B.     Sumber - Sumber Hukum Masa Tabi’in


Dalam melakukan ijtiihad, para ulama Tabi’in mengikuti cara yang telah
dirintis sebelumnya oleh para sahabat, meliputi :
1.      Al - Qur’an merupakan sebuah kitab petunjuk dan bimbingan agama secara
umum. Oleh karena itu, ketentuan hukum dalam al - Qur’an tidak bersifat rinci,
pada dasarnya ketentuan al - Qur’an merupakan kaidah - kaidah umum.
2.      Sunnah intinya adalah ajaran - ajaran Nabi SAW yang disampaikan lewat
ucapannya, tindakannya, atau persetujuannya. 
3.      Ijma’ merupakan kesepakatan para ulama (ahli hukum yang melakukan
penemuan hukum syarak).  Apabila tidak ditemukan dalam ijma’, mereka
berpedoman kepada hasil ijtihad pribadi dari sahabat yang dianggap kuat dalilnya.
4.      Qiyas merupakan perluasan ketentuan hukum yang disebutkan di dalam teks al -
Qur’an dan Sunnah sehingga mencakup kasus serupa yang tidak disebutkan dalam

1 Dijelaskan dalam kitab al-Hadist wa al-Muhadditsuun.


teks kedua sumber pokok itu berdasarkan persamaan. Untuk sahnya dilakukan
qiyas, harus terpenuhinya empat rukun qiyas:
a)      Adanya kasus pokok, yaitu kasus yang disebutkan di dalam al - Qur’an atau
hadist.
b)       Adanya ketentuan hukum kasus pokok
c)      Adanya kasus cabang, yaitu kasus baru yang belum ada ketentuan hukumnya
d)     Adanya ’illat bersama, yaitu alasan hukum yang sama antara kedua kasus
bersangkutan.
5.      Disamping itu, mereka menggunakan ra’yu sebagaimana yang dilakukan
Sahabat. Dalam penggunaan ra’yu, mereka menggunakan qiyas, jika mereka
menemukan padanan masalahnya dengan apa yang terdapat dalam nash. Apabila
tidak mungkin, mereka menempatkan kepentingan umum atau kemaslahatan
sebagai rujukan dalam ijtihad.
Setelah masa khalifah berakhir, fase selanjutnya adalah zaman Tabi’in
yang pemerintahannya dipimpin oleh Bani Umayyah. Sampai tahun 132 H / 750
M, dan selebihnya dipegang oleh Bani Abbasiyah2 . Pada masa Bani Umayyah ini
menjadi perhatian kepada ilmu pengetahuan memuncak. Periode ini, merupakan
periode keemasan bagi pembentukan hukum (fiqih) Islam, yang kemudian
berkembang dan menghasilkan kekayaan hukum (fiqih) Islam3 .

C.    Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Hukum Islam


Perkembangan hukum Islam ditandai dengan munculnya aliran - aliran
politik yang secara implisist mendorong terbentuknya aliran hukum. Diantara
faktor - faktor yang mempengaruhi hukum islam adalah sebagai berikut:
a)      Perluasan wilayah,  kekuasaan Islam telah luas. Hingga ke berbagai daerah yang
mempunyai kebiasaan, muamalat dan kemaslahatan yang berbeda. Batas daerah
kekuasaan Islam memanjang ke Timur sampai Cina, dan Barat sampai ke
Andalusia. Dengan demikian, perluasan wilayah dapat mendorong perkembangan
hukum Islam karena semakin luas wilayah, maka akan semakin luas pula

2 Ibnu Rochman, Hukum Islam dalam Perspektif Filsafat, hlm. 59


3 Menurut Abdul Wahhab Khallaf, Iktisar Sejarah Pembentukan Hukum Islam, hml. 37
persoalan hukum yang harus diselesaikan, maka dari itu Negara ini dan
daerah - daerah lain membutuhkan undang - undang untuk mengatur
masyarakatnya. Karena itu, diperlukan para hakim, kepala pemerintahan dan
fatwa- fatwa untuk pedoman mereka. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, para
ulama mencurahkan perhatiannya menggali sumber - sumber syari’at (al - Qur’an
dan hadist). Mereka mengembangkan hukum - hukum yang diperlukan oleh
Negara dan kemaslahatan umat, dari nash - nash syari’st (al - Qur’an dan hadist).
Mereka juga menciptakan metode - metode penetapan hukum untuk
menyelesaikan persoalan - persoalan yang dimungkinkan akan terjadi.
b)      Perbedaan penggunaan ra’yu, munculnya dua aliran yaitu, aliran hadist dan
aliran ra’yu. Aliran hadist adalah golongan yang lebih banyak menggunakan
riwayat dan sangat hati - hati dalam penggunaan ra’yu. Sedangkan, aliran ra’yu
adalah golongan yang lebih banyak menggunakan ra’yu dibanding dengan
hadist. Kemunculan dua aliran semakin mendorong perkembangan hukum Islam
pada saat itu.
c)      Kaum muslimin pada periode ini sangat antusias ingin mengamalkan ibadah dan
muamalat (dalam arti luas) yang benar - benar sesuai dengan al-Qur’an dan
Sunnah. Karena itu baik secara kelompok maupun perseorangan, mereka selalu
merujuk kepada ahli - ahli ilmu dan hukum, untuk meminta fatwa - fatwa sesuai
dengan al - Qur’an dan Sunnah. Demikian pula para hakim dan kepala - kepala
pemerintahan, mereka selalu meminta pendapat kepada para mufti dan ulama -
ulama pembentuk hukum dalam menangani berbagai persoalan - persoalan yang
mereka hadapi.
d)     Pada masa ini telah timbul penemuan - penemuan teori atau konsep - konsep
hukum yang ditunjang oleh lingkungan tempat mereka berada, untuk
mengembangkan penemuan - penemuan teori atau konsep - konsep hukum yang
telah mereka miliki.
Pada masa ini, tercatat dalam sejarah pemikiran hukum Islam. lahirnya
mazhab - mazhab dalam hukum Islam :
1.   Mazhab Hanafi
Perintisnya adalah Abu Hanifah an - Nu’man bin Tsabit, berasal dari
keturunan Persia, lahir di Kufah tahun 80 H (699 M). Ia belajar ilmu kalam dan
hukum Islam di bawah bimbingan Hammat bin Abi Sulaiman. Dasar
pemikirannya, berpijak pada kemerdekaan kehendak, karena menurutnya (Abu
Hanifah) bencana paling besar menimpa manusia adalah pembatasan dan
perampasan terhadap kemerdekaan. Seluruh hukum dan pendapatnya senantiasa
berpijak pada pendirian bahwa kemerdekaan wajib dipelihara, dan dampak negatif
dari pembelaan terhadap kemerdekaan, lebih ringan bencananya daripada
pembatasan terhadapnya4. Contohnya, usia nikah bagi wanita ditinjau dari segi
haknya. Ia berpendapat bahwa resiko yang diperbuat oleh wanita muda dalam
memilih calon suaminya, lebih ringan bencananya daripada ia dipaksa untuk
menikah dengan laki - laki yang tidak dikehendakinya.
Selanjutnya, ia berpendapat bahwa hak individu tidak boleh dihalangi hak
orang lain. Sehingga seseorang dapat menghormati kemerdekaan orang lain dan
mempertahankan kemerdekaannya sendiri dengan cara tidak merusak atau
melanggar kemaslahatan atau kemerdekaan orang lain.    

2.   Mazhab Maliki
Perintisnya adalah Malik bin Anas al - Asybahi al - ’Arabi, berasal dari
Yaman, lahir di Madinah tahun 93 H (713 M). Ia terkenal dengan teori
kemaslahatan dan menjadikannya sebagai pertimbangan menetapkan hukum serta
sebagai dasar pengambilan hukum sehubungan dengan masalah yang tidak ada
nas al - Qur’an dan Sunnah yang menunjukkan boleh atau melarang. Dalam
menetapkan hukum ia sering menggunakan konsep tentang sesuatu yang menjadi
perantara, yakni sesuatu yang mendatangkan hal yang halal adalah halal, dan
sesuatu yang mendatangkan hal yang haram adalah haram. Contohnya, Penjualan
dengan cara kredit yang dapat menghilangkan harga asli yang dibayar dengan cara
kontan adalah merupakan perantara terjadinya riba. Karena itu, penjualan secara

4 Abdurrahman asy – Syarqawi, 1994. Kehidupan, Pemikiran dan Perjuangan Lima Imam Mazhab
Terkemuka, terjemahan Mujiyo Nurkhalis.  hlm 49
kredit hukumnya haram dan penguasa wajib melarangnya. Sebab, penjualan
secara kredit itu mestinya harus menjadi perantara kemudahan, bukan merupakan
perantara pemaksaan untuk melakukan riba dan merupakan pendorong untuk
memberikan harga yang lebih besar5.
Syari’at, menurut Imam Malik berdiri atas dasar pertimbangan menarik
manfaat dan menjauhkan dari sesuatu yang merupakan jalan menuju kerusakan.
Oleh karena itu, setiap perbuatan yang menjadi perantara bagi perbuatan lain
harus dilihat akibatnya.
3.   Mazhab Syafi’i
Perintisnya adalah Abdullah bin Muhammad bin Idris bin Abbas bin Usman
bin Syafi’i asy - Syafi’i, berasal dari keturunan Quraisy, lahir di Gaza tahun 159 H
(767 M). Imam Syafi’i membangun struktur hukum Islam berlandaskan empat
prinsip dasar hukum yang disusun secara sistematif, yaitu: al - Qur’an, Sunnah,
qiyas, Ijma’. Menurutnya, konsepsi hukum Islam pada hakikatnya terletak pada
ide bahwa hukum esesinya adalah religius dan berjalin berkelindan secara religius.
Kekuatan hukum islam melebihi kekuatan hukum - hukum ciptaan manusia.
Karena memiliki dasar dan sumber abadi, yaitu wahyu ilahi, karena lafal dan
maknanya terhimpun dalam al - Qur’an dan maknanya saja tetapi lafalnya dari
Nabi Muhammad yang terhimpun dalam hadist.
Sedangkan qiyas dalam hukum Islam, bukanlah sumber hukum. Hanya
berfungsi sebagai metode penalaran yang bersifat analogis, yakni pengambilan
kesimpulan dari suatu proses hingga sebuah kasus yang dapat dimasukkan dalam
prinsip ini, atau disamakan dengan proses tersebut dengan kekuatan suatu sifat
esensial umum yang disebut ’illah. Metode Qiyas dalam pandangan Syafi’i,
menurut Abdul Wahhab Khallaf6  bahwa dapat diterapkan jika nas telah memberi
petunjuk hukum mengenai suatu kejadian dan ’illat hukumnya pun telah diketahui
dengan cara - cara yang telah ditentukan untuk mengetahui ’illat hukum,
kemudian ’illat di dalam nash sama seperti ’illat yang ada pada waktu kejadian,
maka kejadian itu harus disamakan dengan kejadian yang ada nash-nya pada ’illat

5 Abu Ishaq Ibrahim asy – Syathibi, ttp., Al Muwafaqat fi Usul asy Syari’ah. hlm 198
6 Abdul Wahhab Khallaf, 1985.
yang seperti ’illat hukum dalam suatu kejadian. Contoh, dalam al - Qur’an Surat
Al - Maidah ayat 90 terdapat larangan minum khamar. Mengapa dilarang? Dan
bagaimana minuman keras yang dibuat dari bahan lainnya, seperti beras ketan
hitam, ketela, dan lain sebagainya?. Dalam hal ini perlu diteliti illat hukumnya
(sebab larangan minuman keras itu), ialah karena memabukkan, dan dapat
merusak saraf otak/akal. Sudah tentu unsur memabukkan itu terdapat pada semua
minuman keras. Karena itu, dengan metode qiyas, sejenis minuman keras
diharamkan.   
4.   Mazhab Hambali
      Perintisnya adalah Imam Abu ’Abdillah Ahmad bin Hanbal, lahir di Baghdad
pada tahun 164 H (855 M). Ia menetapkan hukum berdasarkan bunyi nash yang
terdapat dalam al - Qur’an , Sunnah dan pendapat atsar para sahabat kemudian
qiyas. Ia tidak menggunakan qiyas kecuali jika tidak menemukan nash dalam al -
Qur’an, Sunnah atau pendapat ulama salaf. Ia sangat ketat dalam segala hal yang
berkaitan dengan ibadah dan hudud (sanksi pidana) yang jenis kadarnya
ditentukan Allah dan Nabi Muhammad, yang merupakan tiang agama, karena ia
melihat berbagai kegiatan bid’ah yang mewarnai kehidupan umat manusia,
padahal perbuatan itu keluar dari batasan agama.

D. Usaha di Seputar Sumber-Sumber Hukum


Ada 2 usaha alam rangka memelihara dan menjaga kemurnian al-Qur’an
sebagai sumber hukum pertama dari segala macam perubahan, antara lain:
a.       Umat Islam menjaga dan memelihara al-Qur’an dengan cara menghapal seluruh
al-Qur’an, 30 juz. Pada periode ini para penghapal al-Qur’an bertambah banyak
dan tersebar ke seluruh wilayah kekuasaan Islam. Pada setiap wilayah umat Islam
mengenal qari’ yang terkenal antara lain:
1. Di Madinah yaitu Nafi’ bin Abu Nu’aim al-Madaniy.
2. Di Mekkah yaitu Abdullah bin Katsir al Dariy Maula Amr bin Al
Qamah.
3. Di Basrah yaitu Abu Amr bin al-A’la al-Maziniy.
4. Di Damaskus yaitu Abdullah bin Amr al-Yashabiy.
5. Di Kufah yaitu Abu bakar Ashim bin Abu Najd, Hamzah bin Habib al-
Zayat dan Abu Hasan Ali bin Hamzah al-Kisaiy maula Bani Asad.
b.      Usaha perbaikan bentuk penulisan al-Qur’an dan pemberian baris pada huruf-
hurufnya. Usaha ini dilakukan karena mushaf yang dibukukan pada masa khalifah
Usman bin Affan adalah ditulis dengan gaya tulisan kufi tanpa titik dan baris
sedangkan pedoman membacanya berdasarkan penerimaan dari penghafal al-
Qur’an.
Setelah orang-orang non Arab banyak masuk islam, maka muncul maslah dan
kekhawatiran oleh sebagian para pembaca al-Qur’an akan terjadi kesalahan
(kekeliruan) atau campur aduk dalam membaca khat dalam al-Qur’an.
Dengan melihat kenyataan ini menjadi masalah, maka:
Abu al-Aswad al-Dualiy (67 H / 688 M) atas instruksi gubernur Irak, Ziyad bin
Abihi, membuat tanda baris di akhir tiap-tiap kalimat sebagai berikut:
Tanda fathah dengan satu titik di atas huruf (  .  )
Tanda kasrah dengan satu titik di bawah huruf (  .  )
Tanda dhammah dengan satu titik di samping huruf (      )
Tanda tanwin dengan dua titik di atas huruf (         )
Kemudian Khalil bin Ahmad berusaha merevisi tanda-tanda tersebut dengan
menjadikan sebagai berikut:
·         Tanda fathah dengan alif yang dibaringkan diatas huruf (      )
·         Tanda kasrah dengan ya dibawah huruf (      )
·         Tanda dhammah dengan wawu diatas huruf (      )
Usaha selanjutnya oleh Nashr bin Ashim meletakkan titik-titik pada huruf
yang semestinya diberi titik dengan satu atau dua titik atas instruksi gubernur Irak,
al-Hajjaj bin Yusuf.
Adapun mengenai sumber hukum kedua yaitu sunnah. Khalifah Umar bin
Abd al-Aziz pada awal pemerintahannya mengirim surat kepada gubernur
Madinah, Abu bakar Muhammad bin Umar bin Hazm agar segera mengumpulkan
hadits-hadits rasulullah SAW dan membukukannya.
Pada tahap berikutnya terdapat 2 imam besar tokoh sunnah, yaitu Abu
Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhariy (256 H/870 M) dan Muslim bin
Hajjaj an-Naisaburiy (261 H/ 875 M), menyusun dua buah kitab hadits yang
berkualitas sahih yaitu Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim. Dua buah kitab ini
merupakan puncak era kodifikasi atau pembukuan hadits. Tokoh-tokoh hadits lain
yang mengikuti jejak dan langkah mereka adalah Abu Daud Sulaiman bin al-
Asy’ats al-Sijistaniy (279 H / 893 M) dengan kitabnya Sunan abu Daud, Abu Isa
Muhammad bin Isa al-salmiy al-Turmudziy (279 H/ 893 M) dengan kitabnya
Sunan al-Turmudzi, Abu Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qazwiniy yang
terkenal dengan nama Ibnu Majah (273 H / 886 M) dengan kitabnya Sunan Ibnu
Majah dan Abu Abd al-Rahman Ahmad bin Syu’aib al-Nasa’i (303 H/ 915 M)
dengan kitabnya Sunan an-Nasa’i.
Penetapan hukum Islam sebagaimana dapat dilihat pada sistem dan cara
kerja yang dilakukan sejak penetapan periode Nabi Muhammad sampai dengan
periode Tabi’in menunjukkan bahwa pada prinsipnya setiap penetapan hukum
bertujuan untuk mencapai kemaslahatan umat manusia di dunia an kebahagiaan di
akhirat.
Untuk mencapai kemaslahatan tersebut, salah satu teori penetapan hukum
dalam Islam ialah setiap penetapan hukum mesti dipertimbangkan dampaknya
dulu, karena dampak dari suatu penetapan hukum termasuk tujuan yang
diperhitungkan oleh syari’at7.
Dalam Islam, obyek hukum dibagi dua;
1. Maqasid, yaitu sesuatu yang pada dirinya sendiri mengandung maslahah dan
mafsadah.
2.  Zari’ah, yaitu jalan menuju maqasid tersebut.
Hipotesa kerja dari kerangka teori tersebut adalah, apabila zari’ah (sesuatu
yang menjadi perantara) itu menuju maqasid yang diperbolehkan. Demikian pula,
apabila hukum maqasid itu haram maka hukum zari’ahnya juga haram. Para
Tabi’in menemukan teori ini, setelah mereka mengadakan penelitian secara
sistematik dan mendalam terhadap sumber hukum Islam (Syari’at) yang terdapat

7 Abdul Wahab Khallaf. 2001. Sejarah Pembentukan & Perkembangan Hukum Islam.  Jakarta : PT.
RajaGrafindo Persada. Hal  71-92
di dalam al – Qur’an, surat Al – An’am (8) ayat 108; surat An Nur (24) ayat
31, dan lain sebagainya.  
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
·         Tabi’in adalah orang yang bertemu sahabat meskipun tidak berguru kepadanya.
·         Sumber hukum pada masa Tabi’in meliputi : Al-quran, As-sunnah, Ijma‘,
Qiyas dan Ra’yu
·         Faktor – faktor yang mendorong perkembangan hukum islam adalah sebagai
berikut:
1.         Perluasan wilayah.
2.         Perbedaan penggunaan ra’yu.
3.         Kaum muslimin pada periode ini sangat antusias ingin mengamalkan ibadah
dan muamalat (dalam arti luas) yang benar – benar sesuai denfgan al – Qur’an dan
Sunnah.
4.         telah timbul penemuan – penemuan teori atau konsep – konsep hukum.
Misalnya lahir madzhab –madzhab diantaranya : Madzhab Hanafi, Madzhaf
Maliki, Madzhab Syafi’I, Madzhab Hambali.
·         Pemegang kekuasaan Tasyri’ pada Masa Tabi’in
Ketika tokoh-tokoh tasyri’ dari kalangan sahabat telah wafat dan berakhir
periodenya. Selanjutnya kekuasaan tasyri’ diwarisi dan dilanjutkan oleh kader dan
generasi mereka yaitu para tabi’in. Kemudian setelah periode tabiin juga berakhir,
maka pemegang peranan pengembangan hukum Islam diwarisi dan dilanjutkan
oleh kader generasi mereka yaitu tabi’-tabi’in. Selanjutnya sesudah masa tabi’-
tabi’in ini berakhir, maka para imam mujtahid empat bersama tokoh-tokoh tasyri’
lainnya yang memegang kekuasaan peran dalam mengembangkan hukum Islam.

·         Usaha di Seputar Sumber hukum Islam


Ada 2 usaha alam rangka memelihara dan menjaga kemurnian al-Qur’an sebagai
sumber hukum pertama dari segala macam perubahan, antara lain:
1.      Umat Islam menjaga dan memelihara al-Qur’an dengan cara menghapal seluruh
al-Qur’an, 30 juz.
2.      Usaha perbaikan bentuk penulisan al-Qur’an dan pemberian baris pada huruf-
hurufnya.

B.     Saran
Dari seluruh isi makalah, baik mengenai pembahasan maupun hasil
pemaparan dapat dikaji lebih lanjut untuk pengembangan tentang objek
pengkajian. Dapat pula membuat perbandingan mengenai objek pembahasan
tersebut bagi siapapun yang berkeinginan mengembangkan dan mencari lebih
banyak penjelasan hokum islam pada masa tabi’in sampai dengan munculnya
madhzab yang masih belum terdapat dalam makalah.
DAFTAR PUSTAKA
Khallaf, Abdul Wahhab. 1995. Ikhtisar Sejarah Pembentukan Hukum
Islam. 
Mun’im A. Sirry.1996.Sejarah Fiqih Islam.Risalah Gusti.Surabaya.1995
Prof. Muhammad Daud Ali.1990.Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum
Dan Tata Hukum Islam Di Indonesia.Rajawali pers.2001

Prof. Abdul Ghofur Anshori, Yulkarnain Harahab.2008.Hukum Islam


Dinamika dan Perkembangannya di Indonesia.Kreasi Total Media.2008

Anda mungkin juga menyukai