Anda di halaman 1dari 13

NADYA SYAVIRA ARANI / 2020103099

HPI 3 / RESUME UAS HUKUM ACARA PERDATA PERADILAN AGAMA

BAB I / SEJARAH PERADILAN AGAMA

Perjalanan kehidupan pengadilan agama mengalami pasang surut. Adakalanya wewenang dan
kekuasaan yang dimilikinya sesuai dengan nilai-nilai Islam dan kenyataan yang ada dalam masyarakat.
Pada kesempatan lain kekuasaan dan wewenangnya dibatasi dengan berbagai kebijakan dan peraturan
perundang-undangan, bahkan seringkali mengalami berbagai rekayasa dari penguasa (kolonial Belanda)
dan golongan masyarakat tertentu agar posisi pengadilan agama melemah.

Sebelum Belanda melancarkan politik hukumnya di Indonesia, hukum Islam sebagai hukum yang berdiri
sendiri telah mempunyai kedudukan yang kuat, baik di masyarakat maupun dalam peraturan
perundang- undangan negara. Kerajaan-kerajaan Islam yang pernah berdiri di Indonesia melaksanakan
hukum Islam dalam wilayah kekuasaannya masing-masing. Kerajaan Islam Pasal yang berdiri di Aceh
Utara pada akhir abad ke 13 M, merupakan kerajaan Islam pertama yang kemudian diikuti dengan
berdirinya kerajaan-kerajaan Islam lainnya, misalnya: Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Ngampel dan
Banten. Di bagian Timur Indonesia berdiri pula kerajaan Islam, seperti: Tidore dan Makasar. Pada
pertengahan abad ke 16, suatu dinasti baru, yaitu kerajaan Mataram memerintah Jawa Tengah, dan
akhirnya berhasil menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil di pesisir utara, sangat besar perannya dalam
penyebaran Islam di Nusantara. Dengan masuknya penguasa kerajaan Mataram ke dalam agama Islam,
maka pada permulaan abad ke 17 M penyebaran agama Islam hampir meliputi sebagian besar wilayah
Indonesia (Muchtar Zarkasyi : 21).

Agama Islam masuk Indonesia melalui jaIan perdagangan di kota - kota pesisir secara damai tanpa
melaIui gejolak, sehingga norma-norma sosial Islam dapat diterima dengan mudah oleh masyarakat
Indonesia bersamaan dengan penyebaran dan penganutan agama Islam oleh sebagian besar penduduk
Indonesia. Dengan timbulnya komunitas-komunitas masyarakat Islam, maka kebutuhan akan lembaga
peradilan yang memutus perkara berdasarkan hukum Islam makin diperlukan. Hal ini nampak jelas dari
proses pembentukan lembaga peradilan yang berdasarkan hukum Islam tersebut yakni:

Dalam keadaan tertentu, terutama bila tidak ada hakim di suatu wilayah tertentu, maka dua orang yang
bersengketa itu dapat bertahkim kepada seseorang yang dianggap memenuhi syarat. Tahkim
(menundukkan diri kepada seseorang yang mempunyai otoritas menyelesaikan masaIah hukum) hanya
dapat berlaku apabila kedua belah pihak terlebih dahulu sepakat untuk menerima dan mentaati
putusannya nanti, juga tidak boleh menyangkut pelaksanaan pidana, seperti had (ketentuan hukum
yang sudah positif bentuk hukumnya) dan ta 'zir (kententuan hukum yang bentuk hukumnya melihat
kemaslahatan masyarakat).
Bila tidak ada Imam, maka penyerahan wewenang untuk pelaksanaan peradilan dapat dilakukan oleh
ahlu al-hally wa al-aqdi (lembaga yang mempunyai otoritas menentukan hukuman), yakni para sesepuh
dan ninik mamak dengan kesepakatan.

Tauliyah dari Imamah pada dasarnya peradilan yang didasarkan atas pelimpahan wewenang atau
delegation of authority dari kepala negara atau orang-orang yang ditugaskan olehnya kepada seseorang
yang memenuhi persyaratan tertentu. Dengan mengikuti ketiga proses pembentukan peradilan tersebut
di atas, dapatlah diduga bahwa perkembangan qadla al- syar'i (peradilan agama) di Indonesia dimulai
dari periode TAHKlM,- yakni pada permulaan Islam menginjakkan kakinya di bumi Indonesia dan dalam
suasana masyarakat sekeliling belum mengenal ajaran Islam, tentulah orang-orang Islam yang
bersengketa akan bertahkim kepada ulama yang ada. Kemudian setelah terbentuk kelompok
masyarakat Islam yang mampu mengatur tata kehidupannya sendiri menurut ajaran barn tersebut atau
di suatu wilayah yang pemah diperintah raja-raja Islam, tetapi kerajaan itu punah karena penjajahan,
maka peradilan Islam masuk ke dalam periode tauliyah (otoritas hukum) oleh ahlu al-hally wa al- aqdi.
Keadaan demikian ini jelas terlihat di daerah-daerah yang dahulu disebut daerah peradilan adat, yakni
het inheemscherechtdpraak in rechtsstreeks bestuurd gebied atau disebut pula adatrechtspraak.
Tingkat terakhir dari . perkembangan peradilan agama adalah periode tauliyah dari imamah (otoritas
hukum yang diberikan oleh penguasa), yakni setelah terbentuk kerajaan Islam,maka otomatis para
hakim diangkat oleh para raja sebagai wali al-amri (Daniel S. Lev: 1-2).

Pengadilan Agama di masa raja-raja Islam diselenggarakan oleh para penghulu, yaitu pejabat
administrasi kemasjidan setempat. Sidang - sidang pengadilan agama pada masa itu biasanya
berlangsung di serambi masjid, sehingga pengadilan agama sering pula disebut "Pengadilan Serambi".
Keadaan ini dapat dijumpai di semua wilayah swapraja Islam di seluruh Nusantara, yang kebanyakan
menempatkan jabatan keagamaan, penghulu dan atau hakim, sebagai bagian yang tak terpisahkan
dengan pemerintahan umum.

Kelembagaan Peradilan Agama sebagai wadah, dan hukum Islam sebagai muatan atau isi pokok
pegangan dalam menyelesaikan dan memutus perkara, tidak dapat dipisahkan. Dalam sejarah
perkembangannya, kelembagaan peradilan agama mengalami pasang surut. Pada masa kekuasaan
kerajaan Islam lembaga peradilan agama termasuk bagian yang tak terpisahkan dengan pemerintahan
umum, sebagai penghulu kraton yang mengurus keagamaan Islam dalam semua aspek kehidupan. Pada
masa pemerintahan VOC, kelembagaan peradilan agama akan dihapuskan dengan membentuk
peradilan tersendiri dengan hukum yang berlaku di negeri Belanda, namun kelembagaan ini tidak dapat
betjalan karena tidak menerapkan hukum Islam.

Usaha-usaha untuk menghapuskan peradilan agama yang identik dengan hukum Islam, sudah dimulai
sejak VOC mulai menginjakkan kaki di bumi Nusantara ini. Usaha tersebut dengan cara mengurangi
kewenangan peradilan agama sedikit demi sedikit. Pada tahun 1830 Pemerintah Belanda menempatkan
peradilan agama di bawah pengawasan "landraad" (pengadilan negeri). Hanya lembaga landraad yang
berkuasa untuk memerintahkan pelaksanaan putusan pengadilan agama dalam bentuk "excecutoire
verklaring" (pelaksanaan putusan). Pengadilan Agama tidak berwenang untuk menyita barang dan uang
(Daud Ali : 223). Dan tidak adanya kewenangan yang seperti ini terns berlangsung sampai dengan
lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ten tang Perkawinan.

Lahirnya firman Raja Belanda (Koninklijk Besluit) tanggal 19 Januari 1882 Nomor 24, Staatsblad 1882 -
152 telah mengubah susunan dan status peradilan agama. Wewenang pengadilan agam.a yang disebut
dengan "preisterraacf' tetap daIam bidang perkawinan dan kewarisan, serta pengakuan dan
pengukuhan akan keberadaan pengadilan agama yang telah ada sebelumnya (Achmad Rustandi: 2), dan
hukum Islam sebagai pegangannya.

Berlakunya Staatsblad 1937 Nomor 116 telah mengurangi kompentensi pengadilan agama di Jawa dan
Madura daIam bidang perselisihan harta benda, yang berarti masaIah wakaf dan waris hams diserahkan
kepada pengadilan negeri. Mereka (Pemerintah Kolonial Belanda) berdalih, bahwa dalam kenyataan
kehidupan bermasyarakat, hukum Islam tidak mendalam pengaruhnya pada aturan-aturan kewarisan
dalam keluarga Jawa dan Madura serta di tempat-tempat lain di seluruh Indo¬nesia (Daniel S Lev: 35-
36).

Pada tanggal 3 Januari 1946 dengan Keputusan Pemerintah Nomor lJSD dibentuk Kementrian Agama,
kemudian dengan Penetapan Pemerintah tanggal25 Maret 1946 Nomor 5/SD semua urusan mengenai
Mahkamah Islam Tinggi dipindahkan dari Kementrian Kehakiman ke dalam KementrianAgama. Langkah
ini memungkinkan konsolidasi bagi seluruh administrasi lembaga-lembaga Islam dalam sebuah
wadahlbadan yang besnat nasional. Berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 menunjukkan
dengan jelas maksud- maksud untuk mempersatukan administrasi Nikah, Talak dan Rujuk di seluruh
wilayah Indonesia di bawah pengawasan Kementrian Agama (Achmad Rustandi: 3).

Usaha untukmenghapuskan pengadilan agama masih terus berlangsung sampai dengan keluarnya
Undang-undang Nomor 19 Tahun 1948 dan Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951
tentangTindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan dan Acara
Pengadilan-pengadilan Sipil, antara lain mengandung ketentuan pokok bahwa peradilan agama
merupakan bagian tersendiri dati peradilan swapraja dan peradilan adat tidak turut terhapus dan
kelanjutannya diatur dengan peraturan pemerintah. Proses keluarnya peraturan pemerintah inilah yang
mengalami banyak hambatan, sehingga dapat keluar setelah berjalan tujuh tahun dengan keluarnya
Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 (Muchtar Zarkasyi : 33 - 37).

Dengan keluarnya Undang -undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman, maka kedudukan Peradilan Agama mulai nampakjelas dalam sistem peradilan di
Indone¬sia. Undang-undang ini menegaskan prinsip-prinsip sebagai berikut :

Pertama, Peradilan dilakukan "Demi Keadilan Berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa";

Kedua, Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan
Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Us aha Negara;

Ketiga, Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi.


Keempat, Badan-badan yang melaksanakan peradilan secara organisatoris, administratif, dan finansial
ada di bawah masing-masing departemen yang bersangkutan.

Kelima, susunan kekuasaan serta acara dari badan peradilan itu masing-masing diatur dalam undang-
undang tersendiri.

Hal ini dengan sendirinya memberikan landasan yang kokoh bagi kemandirian peradilan agama, dan
memberikan status yang sarna dengan peradilan-peradilan lainnya di Indonesia.

Lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perka¬winan memperkokoh keberadaan


pengadilan agama. Di dalam undang¬undang ini tidak ada ketentuan yang bertentangan dengan ajaran
Islam. Pasa12 ayat (1) undang-undang ini semakin memperteguh pelaksanaan ajaran Islam (Hukum
Islam).

Suasana cerah kembali mewarnai perkembangan peradilan agama di Indonesia dengan keluarnya
Undang- undang Nomor 7 Tahun 1989 ten tang Peradilan Agama yang telah memberikan landasan
untuk mewujudkan peradilan agama yang mandiri, sed~r~jat dan memantapkan serta mensejajarkan
kedudukan peradilan agama dengan lingkungan peradilan lainnya.

Dalam sejarah perkembangannya, personil peradilan agama sejak dulu selalu dipegang oleh para ulama
yang disegani yang menjadi panutan masyarakat sekelilingnya. Hal itu sudah dapat dilihat sejak dari
proses pertumbuhan peradilan agama sebagai-mana disebut di atas. Pada masa kerajaan-kerajaan
Islam, penghulu keraton sebagai pemimpin keagamaan Islam di lingkungan keraton yang membantu tug
as raja di bidang keagamaan yang bersumber dari ajaran Islam, berasal dari ulama seperti KaBjeng
Penghulu Tafsir Anom IV pada Kesunanan Surakarta. Ia pemah mendapat tugas untuk membuka
Madrasah Mambaul Ulum pada tahun 1905. Demikian pula para personil yang telah banyak
berkecimpung dalam penyelenggaraan peradilan agama adalah ulama-ulama yang disegani, seperti: KH.
Abdullah Sirad Penghulu Pakualaman, KH. Abu Amar Penghulu Purbalingga, K.H. Moh. Saubari Penghulu
Tegal, K.H. Mahfudl Penghulu Kutoarjo, KH. Ichsan Penghulu Temanggung, KH. Moh. Isa Penghulu
Serang, KH.Musta'in Penghulu T1;1ban, dan KH. Moh. Adnan Ketua Mahkamah Islam Tinggi tiga zaman
(Belanda, Jepang dan RI) (Daniel S. Lev: 5-7). Namun sejak tahun 1970-an, perekrutan tenaga personil di
lingkungan peradilan agama khususnya untuk tenaga hakim dan kepaniteraan mulai diambil dati alumni
lAIN dan perguruan tinggi agama.

Dati uraian singkat tentang sejarah perkembangan peradilan agama tersebut di atas dapat disimpulkan
bahwa peradilan agama bercita-cita untuk dapat memberikan pengayoman dan pelayanan hukum
kepada masyarakat. Agar pengayoman hukum dan pelayanan hukum tersebut dapat terselenggara
dengan baik, diperlukan perangkat sebagai berikut :

Kelembagaan

Peradilan Agama yang mandiri sebagaimana lingkungan peradilan yang lain - yang secara nyata -
didukung dengan sarana dan prasarana serta tatalaksana yang memadai dan memanfaatkan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Materi Hukum

Hukum Islam sebagai hukum materiil peradilan agama yang dituangkan dalam ketentuan perundang-
undangan yang jelas. Dimulai dengan Kompilasi Hukum Islam, yang selanjutnya perlu disempurnakan
dan dikembangkan, kemudian hukum mengenai shadaqah dan baitul mal segera dibentuk. Demikian
pula dengan hukum formil peradilan agama perlu dikembangkan.

Personil

Dalam melaksanakan tugas kedinasan ia sebagai aparat penegak hukum yang profesional, netral (tidak
memihak) dan sebagai anggota masvarakat ia orang yang menguasai masalah keislaman, yang menjadi
panutan dan pemersatu masyarakat sekelilingnya serta punya integritas sebagai seorang muslim.

BAB 2 / UPAYA HUKUM

UPAYA HUKUM BIASA

1. PERLAWANAN/ VERZET

Yaitu upaya hukum terhadap putusan pengadilan yang dijatuhkan tanpa hadirnya Tergugat (verstek).
Pada dasarnya perlawanan ini disediakan bagi pihak Tergugat yang dikalahkan. Bagi Penggugat,
terhadap putusan verstek ini dapat mengajukan banding.

2. BANDING

Yaitu pengajuan perkara ke pengadilan yang lebih tinggi untuk dimintakan pemeriksaan ulangan, apabila
para pihak tidak puas terhadap putusan tingkat pertama.
Berpedoman kepada ketentuan yang ditetapkan dalam UU No 20 Tahun 1947 tentang peradilan
ulangan, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 sampai Pasal 15, dinyatakan :
Tenggang waktu permohonan banding :

 14 hari sejak putusan diucapkan, apabila waktu putusan diucapkan pihak Pemohon banding
hadir sendiri dipersidangan.

 14 hari sejak putusan diberitahukan, apabila Pemohon banding tidak hadir pada saat putusan
diucapkan di persidangan.

 Jika perkara prodeo, terhitung 14 hari dari tanggal pemberitahuan putusan prodeo dari
Pengadilan Tinggi kepada Pemohon banding.

Pengajuan permohonan banding disampaikan kepada Panitera pengadilan yang memutus perkara di
tingkat pertama
Penyampaian memori banding adalah hak, bukan kewajiban hukum bagi Pemohon banding.
Satu bulan sejak dari tanggal permohonan banding, berkas perkara harus sudah dikirim ke Panitera
Pengadilan Tinggi Agama (Pasal 11 ayat (2) UU No 20 Tahun 1947).

3. KASASI

Pemeriksaan tingkat kasasi bukan pengadilan tingkat ketiga. Kewenangannya memeriksa dan mengadili
perkara tidak meliputi seluruh perkara, bersifat sangat terbatas, dan hanya meliputi hal-hal yang
ditentukan dalam Pasal 30 UU No 14 Tahun 1985, yaitu terbatas sepanjang mengenai :

 Memeriksa dan memutus tentang tidak berwenang atau melampaui batas wewenang
Pengadilan tingkat bawah dalam memeriksa dan memutus suatu perkara.

 Memeriksa dan mengadili kesalahan penerapan atas pelanggaran hukum yang dilakukan
pengadilan bawahan dalam memeriksa dan memutus perkara.

 Memeriksa dan mengadili kelalaian tentang syarat-syarat yang wajib dipenuhi menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

 Tingkat kasasi tidak berwenang memeriksa seluruh perkara seperti kewenangan yang dimiliki
peradilan tingkat pertama dan tingkat banding, oleh karenanya peradilan tingkat kasasi tidak
termasuk judex facti.

UPAYA HUKUM LUAR BIASA

1. Derden Verzet/ Perlawanan Pihak Ketiga

Yaitu perlawanan yang diajukan oleh pihak ketiga terhadap putusan yang merugikan pihaknya.
Perlawanan ini ddiajukan kepada hakim yang menjatuhkan putusan yang dilawan itu dengan menggugat
para pihak yang bersangkutan itu dengan cara biasa. Apabila perlawanan dikabulkan, maka putusan
yang dilawan itu diperbaiki sepanjang yang merugikan pihak ketiga.

2. Peninjauan Kembali.

Yaitu pemeriksaan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Alasan diajukannya PK tertuang dalam Pasal 67 UU No 14 tahun 1985, yaitu :

 Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipi muslihat yang diketahui setelah
perkaranya diputus.

 Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat bukti yang bersifat menetukan yang pada
waktu perkara diperiksa tidak ditemukan (novum).

 Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari yang dituntut.
 Apabila antara pihak yang sama, mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh
pengadilan yang sama diberikan putusan yang bertentangan satu sama lain.

 Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata.

BAB 3 . BANTUAN HUKUM , YURISPRUDENSI PERADILAM AGAMA

Yurisprudensi adalah keputusan-keputusan dari hakim terdahulu untuk menghadapi suatu perkara yang
tidak diatur di dalam UU dan dijadikan sebagai pedoman bagi para hakim yang lain untuk menyelesaian
suatu perkara yang sama.

Lahirnya Yurisprudensi karena adanya peraturan peraturan UU yang tidak jelas atau masih kabur,
sehingga menyulitkan hakim dalam membuat keputusan mengenai suatu perkara. Hakim dalam hal ini
membuat suatu hukum baru dengan mempelajari putusan hakim yang terdahulu untuk mengatasi
perkara yang sedang dihadapi. Jadi, putusan dari hakim terdahulu ini yang disebut dengan
yurisprudensi.

Yurisprudensi diciptakan berdasarkan UU No. 48 Tahun 2009 Mengenai Kekuasaan Kehakiman, UU ini


menyatakan : pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa perkara, mengadili perkara dan
memutuskan perkara yang diajukan dengan alasan hukum tidak ada atau kurang jelas (kabur),
melainkan wajib memeriksa serta mengadilinya. Hakim diwajibkan untuk menggali, mengikuti dan
memahami keadilan dan nilai-nilai hukum yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat.

Terdapat beberapa macam yurisprudensi, macam-macam yurisprudensi tersebut sebagai berikut :

1. Yurisprudensi Tetap

Yurisprudensi Tetap adalah suatu putusan dari hakim yang terjadi oleh karena rangkaian putusan yang
sama dan dijadikan sebagai dasar bagi pengadilan untuk memutuskan suatu perkara.

2. Yurisprudensi Tidak Tetap

Yurisprudensi Tidak Tetap ialah suatu putusan dari hakim terdahulu yang tidak dijadikan sebagai dasar
bagi pengadilan.

3. Yurisprudensi Semi Yuridis

Yurisprudensi Semi Yuridis yaitu semua penetapan pengadilan yang didasarkan pada permohonan
seseorang yang berlaku khusus hanya pada pemohon. Contohnya : Penetapan status anak.

4. Yurisprudensi Administratif

Yurisprudensi Administratif adalah SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) yang berlaku hanya secara
administratif dan mengikat intern di dalam lingkup pengadilan.
YURISPRUDENSI MAHKAMAH AGUNG

Yurisprudensi Mahkamah Agung Indonesia adalah putusan Majelis Hakim Agung di Mahkamah Agung
Indonesia yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap berisi kaidah hukum yang diberlakukan dalam
memeriksa dan memutus perkara dalam lingkup Peradilan Pidana, Perdata, Tata Usaha Negara, Agama
dan Niaga yang dikualifikasi. Beberapa Yurisprudensi Mahkamah Agung RI yang telah beberapa kali
dipergunakan sebagai acuan bagi para Hakim untuk memutus suatu perkara yang sama sehingga
menjadi sumber hukum yang memiliki kekuatan mengikat secara relatif.

Putusan Mahkamah Agung tersebut akan diseleksi oleh Tim Khusus dan apabila dianggap layak untuk
menjadi Yurisprudensi maka akan dipublikasikan oleh Mahkamah Agung. Judul atau Nama dari publikasi
tersebut disesuaikan dengan tahun terbitannya misalnya Yurisprudensi Mahkamah Agung Tahun 2006.

Penerbitkan buku tersebut biasanya dilakukan setiap tahun. Sedangkan putusan yang diterbitkan oleh
Puslitbang adalah hasil kajian atau penelitian terhadap putusan suatu kasus yang dianggap menarik.
Penerbitan oleh Puslitbang ini belum dilakukan secara reguler. Sayangnya jumlah eksemplar cetakannya
dibatasi, yakni disesuaikan dengan jumlah hakim yang ada di seluruh Indonesia dan jumlah
perpustakaan yang akan dikirimi publikasi tersebut.

Buku yurisprudensi ini dibagikan secara gratis. Namun karena banyak pihak lain di luar korps hakim dan
perpustakaan, khususnya kalangan pengacara, yang ingin memiliki Yurisprudensi MA, maka biasanya
pihak MA akan mencari dana di luar dana APBN untuk mencetak lebih banyak lagi buku yurisprudensi
tersebut dan menjualnya ke masyarakat yang berminat.

Bab 4 / SUMBER HUKUM DALAM PERADILAN AGAMA INDONESIA

 A. Sumber-Sumber Hukum Acara Di Pengadilan Agama

Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan
yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yan diatur dalam Undang Undang.
Peraturan-peraturan yang menjadi sumber hukum Peradilan Agama, diantaranya adalah:

1. HIR (herzeine inlandsch reglement) untuk jawa dan Madura / RBG (Rechtsreglement voor de
buitengewesten untuk luar jawa dan Madura);

2. B.Rv ( Reglement op de burgelijke rechtvordering) untuk golongan eropa. Walaupun sudah tidak
berlaku lagi tetapi masih banyak yang relevan;

3. BW (bugelijke wetboek voor Indonesia) atau KUH Perdata;

4. WvK (Wetboek van koophandel) KUH Dagang;

5. UU No 4 Tahun 2004 sebagai pengganti UU No 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan


Pokok Kekuasaan Kehakiman;
6. UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan PP nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU
No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan;

7. UU No 5 Tahun 2004 sebagai pengganti UU No 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung;

8. UU No 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Pertama atas UU no 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama, dan UU No 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua atas UU no 7 Tahun 1989 Tentang
Peradilan Agama;

9. UU No 8 tahun 2004 Tentang Peradilan Umum;

10. Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam;

11. Peraturan Mahkamah Agung RI;

12. Surat Edaran Menteri Agama ;

13. Peraturan Menteri Agama;

14. Keputusan Menteri Agama;

15. Kitab-kitab Fiqih Islam dan sumber-sumber Hukum yang tidak tertulis.

Pada prinsipnya pemeriksaan perkara di Pengadilan Agama merujuk pada Hukum Acara Perdata pada
umumnya, kecuali yang diatur khusus. Sebagai contoh adalah pemeriksaan sengketa perkawinan,
dimana sengketa perkawinan yang diajukan oleh suami disebut permohonan cerai talak, dan sengketa
perkawinan yang diajukan oleh istri disebut gugatan gugat cerai. Hal semacam ini hanya berlaku di
Pengadilan Agama. Beberapa hukum acara yang diatur secara khusus dalam Peradilan Agama meliputi:

1. Bentuk dan proses perkara;

2. Kewenangan relative Peradilan Agama;

3. Pemanggilan pihak-pihak;

4. Pemeriksaan, pembuktian, dan upaya damai;

5. Biaya perkara;

6. Putusan hukum dan upaya hukum;

7. Penerbitan akta cerai.

B. Kompetensi Absolut dan Kompetensi Relatif Di Pengadilan Agama


Kata “kewenangan” bisa diartikan “kekuasaan” sering juga disebut juga “kompetensi” atau dalam
bahasa Belanda disebut “competentie” dalam Hukum Acara Perdata biasanya menyangkut 2 hal yaitu
kompetensi absolut dan kompetensi relatif.

a. Kompetensi Absolut
Kompetensi absolut Pengadilan Agama adalah kekuasaan Pengadilan Agama yang berhubungan
dengan jenis perkara yang menjadi kewenangannya.
Pasal 49 Undang Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor
7 Tahun 1989 dan perubahan kedua Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2019 Tentang Pengadilan
Agama serta asas personalitas keislaman menjadi dasar kompetensi absolut Pengadilan Agama
dalam menerima, memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara :

a. Perkawinan.

b. Kewarisan.

c. Wasiat.

d. Hibah.

e. Wakaf.

f. Zakat.

g. Infaq.

h. Shadaqah.

i. Ekonomi syari’ah.
Selain dari yang tersebut di atas Pengadilan Agama juga diberi kewenangan:

a. Memberi keterangan, pertimbangan, dan nasehat Hukum Islam kepada Institusi


Pemerintah didaerahnya apabila diminta.

b. Pun demikian diberi tugas tambahan atau yang didasarkan pada undang-undang
seperti pengawasan pada advokad yang beracara dilingkungan Pengadilan
Agama, Pegawai Pencatat Akta Ikrar Wakaf, dan lain-lain.

b. Kompetensi Relatif
Kompetensi relatif Pengadilan Agama dalam artian sederhananya adalah kewenangan
Pengadilan Agama yang satu tingkat atau satu jenis berdasarkan wilayah. Contoh Pengadilan
Agama Kabupaten Magetan dengan Pengadilan Agama Ngawi. Dalam hal ini antara Pengadilan
Agama Kabupaten Magetan dan Pengadilan Agama Ngawi adalah satu jenis dalam satu
lingkungan dan satu tingkatan yaitu tingkat pertama.
Kompetensi relatif yang berlaku pada setiap peradilan dilihat pada hukum acara yang digunakan,
dalam hal ini Pengadilan Agama dalam hukum acaranya adalah Hukum Acara Perdata. Pasal 54
Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama menerangkan bahwa dalam
Peradilan Agama berlaku Hukum Acara Perdata yang berlaku di Peradilan Umum. Untuk itu
dasar kompetensi relatif Pengadilan Agama adalah Pasal 118 Ayat 1 HIR atau Pasal 142 R.Bg jo
Pasal 73 Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
Pasal 118 Ayat 1 HIR menyatakan bahwa suatu gugatan itu harus diajukan sesuai dengan daerah
hukum tergugat berada. Namun dalam hal ini ada pengecualian sebagaimana dalam Pasal 118
Ayat 2, 3, dan 4 yaitu

a. Apabila terdapat 2 tergugat maka gugatan boleh diajukan pada salah satu dari dua
daerah tergugat berada.

b. Apabila tergugat tidak diketahui, gugatan diajukan pada daerah penggugat.

c. Apabila gugatan yang diajukan terkait benda tidak bergerak maka gugatan diajukan di
mana letak benda tidak bergerak tersebut berada.

d. Apabila ada tempat tinggal yang disebut dalam suatu akad maka gugatan diajukan pada
tempat yang dipilih dalam akad tersebut.

C. Pihak-Pihak Berperkara di Pengadilan Agama

1. Penggugat dan Tergugat


Syarat untuk mengajukan sebuah gugatan adalah adanya kepentingan hukum (sengketa) yang
melekat pada penggugat, dalam hal ini maka tidak semua orang dapat mengajukan gugatan,
dalam hal ini orang yang tidak mempunyai kepentingan langsung dapat memperoleh kuasa dari
orang yang kepentingannya dilanggar untuk mengajukan sebuah gugatan. 

Penggugat adalah orang yang menuntut hak perdataannya kemuka pengadilan perdata.
Tergugat adalah orang yang terhadapnya diajukan gugatan atau tuntutan. Tergugat bisa per-
orangan, atau beberapa orang.
Perkara perdata yang terdiri dari 2 pihak yaitu dengan adanya penggugat dan tergugat yang
mana saling berlawanan disebut contentieuse juridictie (peradilan sungguhan), dalam hal ini
maka produk hukumnya adalah putusan.

2. Pemohon dan Termohon


Pemohon adalah seorang yang memohon kepada pengadilan untuk ditetapkan atau mohon
ditegaskan suatu hak bagi dirinya tentang situasi hukum tertentu.
Contoh perkara permohonan di Pengadilan Agama adalah permohonan dispensasi kawin,
permohonan istbath nikah, namun ini tidak berlaku bagi perkara cerai talaq sebagaimana dalam
SEMA No.2 tahun 1990 menyebutkan asasnya cerai talaq adalah merupakan sengketa
perkawinan yang meliatkan kedua belah pihak, sehingga walaupun pihak yang berkera disebut
dengan pemohon dan termohon akan tetapi merupakan perkara contentious dan produk hakim
berupa putusan dengan amar dalam bentuk penetapan.
Termohon dalam arti yang sebenarnya bukanlah sebagai pihak namun perlu halnya dihadirkan
didepan sidang untuk didengar keterangan dan untuk kepentingan pemeriksaan.

Peradilan yang menyelesaikan perkara permohonan disebut voluntaire jurisdictie (peradilan


tidak sesungguhnya), produk hukum dari peradilan tersebut adalah penetapan.

D. Proses Beracara di Pengadilan Agama

1. Proses Pengajuan Perkara

Proses beracara di Pengadilan Agama diatur dengan pelayanan sistem meja dalam penanganan perkara
mulai dari pendaftaran sampai perkara putus dan selesai.

a. Meja 1

1. Menerima gugatan/permohonan dan salinannya;

2. Menaksir biaya panjar biaya sesuai dengan radius yang ditetapkan;

3. Membuat surat kuasa membayar (SKUM).

b. Kasir

1. Menerima biaya panjar dan mencatat dalam pembukuan;

2. Menandatangani SKUM;

3. Memberi nomor dan tanda lunas pada SKUM;

4. Memberi keterangan terkait legalisir dokumen dan jadwal pelaksanaan sidang.

c. Meja 2

1. Mencatat perkara dalam buku register perkara;

2. Memberi nomor register pekara pada gugatan/permohonan yang masuk;

3. Meyerahkan salinan gugatan/permohonan, jadwal sidang, dan rangkap 2 SKUM,


serta memasukkannya dalam amplop kepada penggugat/pemohon.

d. Ketua Pengadilan Agama

1. Menenetukan penetapan majlis hakim (PMH);

2. Menetapkan hari sidang (PHS).

e. Panitera dan Wakil Panitera

1. Menunjuk penitera sidang;


2. Meyerahkan berkas perkara kepada majlis.

f. Majelis Hakim

1. Menyidangkan perkara yang diajukan penggugat/pemohon;

2. Memerintahkan kepada juru sita untuk memanggil para pihak;

3. Berkoordinasi dengan meja 1, kasir, meja 2, dan meja 3 berkenaan dengan


administrasi perkara yang disidangkan;

4. Memutus perkara yang ditangani.

g. Meja 3

1. Menerima berkas perkara yang telah di putus oleh majlis hakim;

2. Menyerahkan salinan putusan kepada para pihak;

3. Menyerahkan berkas perkara yang telah minutasi kepada Panitera Muda


Hukum.

2. Tahapan Pemeriksaan dalam Perkara Perdata

Proses pemeriksaan perkara perdata di sidang pengadilan dilakukan dengan tahapan-tahapn yang diatur
dalam hukum acara perdata, dan hal ini dilakukan setelah hakim tidak dapat mendamaikan pihak-pihak
yang bersengketa

3. Kemungkinan yang Terjadi pada Sidang Pertama

a. Para pihak datang

1. Hakim akan mendamaikan kedua belah pihak;

2. Hakim akan meneruskan sidang dengan pembacaan gugatan;

3. Tergugat dibolehkan untuk meminta penundaan sidang.

b. Para pihak tidak datang

1. Apabila penggugat tidak hadir maka gugatannya digugurkan;

2. Apabila tergugat tidak hadir

a. Satu kali tidak hadir, dipanggil sekali lagi;

b. Dua kali tidak hadir, diputus verstek.

Anda mungkin juga menyukai