Anda di halaman 1dari 15

PERADILAN AGAMA ISLAM

SEJARAH PERADILAN AGAMA DI INDONESIA


“Masa Kerajaan Islam, Masa Penjajahan Belanda dan Masa Penjajahan Jepang”

KELOMPOK 2
Nur Ajijah 2120101070, Widya Damayanti 2130101151
UIN Raden Fatah Palembang
DOSEN PENGAMPU - Rafida Ramelan,S.Si.,MH

Abstract
Religious courts in the form they are known today are an unbroken link the history of the
entry of islam. To give an idea of the position of the Religious Courts in Indonesia, it is
necessary to pay attention to Islamic Law in Indonesian, at least in three importants
periods: the pre-colonial period, namely the Islamic Sultanate period, the dutch colonial
period and the japanese colonial period. Each era has its own characteristics that
represent the ebb and flow of Islamic legal thought in Indonesia.
Keyword: Judicature, Development History, Indonesia

Abstrak
Peradilan agama dalam bentuk yang dikenal sekarang ini merupakan mata rantai yang
tidak terputus dari sejarah masuknya agama Islam. Untuk memberi gambaran tentang
posisi lembaga Peradilan Agama di Indonesia haruslah memperhatikan Hukum Islam di
Indonesia, sedikitnya pada tiga masa penting: masa sebelum penjajahan yakni masa
Kesultanan Islam, masa Penjajahan Belanda dan masa Penjajahan Jepang. Setiap masa
mempunyai ciri-ciri tersendiri yang mempresentasikan pasang surut pemikiran Hukum
Islam di Indonesia.
Kata kunci: Peradilan, Sejarah Perkembangan, Indonesia

A. PENDAHULUAN

Pembicara tentang peradilan agama di Indonesia, sebenarnya bukanlah


merupakan hal baru. Hal ini dapat dikaji dari sejarah sejak jaman kejayaan
kerajaan-kerajaan Islam seperti Samudera Pasai, Banten, Aceh, Pajang Demak dan
lain-lain. Keadaan demikian adalah merupakan hal yang wajar, karena agama
Islam yang masuk ke Indonesia sekitar abad ke tujuh/kedelapan masehi,1 telah
berkembang secara meluas menjadi agama yang paling banyak pemeluknya.

1
Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam
(lihat pasal 1 angka 1 UU No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU
No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama). Peradilan Agama melaksanakan
kekuasaan kehakiman bagi rakyat yang beragama Islam mengenai perkara tertentu.
Menurut pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama (“UU 3/2006”), yang menjadi kewenangan dari
pengadilan agama adalah perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam di bidang:

a) perkawinan;
b) waris;
c) wasiat;
d) hibah;
e) wakaf;
f) zakat;
g) infaq;
h) shadaqah;
i) ekonomi syari'ah.

Demikianlah akan diuraikan secara singkat tentang peraturan


hukumyangtidak efektif, karena masyarakat yang merupakan tempat
beroperasinya hukum tidak diperhatikan.

Oleh karena warga masyarakat sebagian besar memeluk Agama Islam,


dalam rangka memenuhi kebutuhan untuk menegakkan ajaran Islam, maka

dibentuklah peradilan agama yang sampai sekarang masih memegang


peranan penting dalam sistem peradilan di Indonesia.

Pada waktu Indonesia dijajah Belanda maupun Jepang, peradilan agama


eksistensinya masih kokoh, walaupun terdapat usaha-usaha dan pihak penjajah
untuk membuat peradilan agama menjadi tidak mampu mengembangkan diri
secara baik, sesuai dengan kebutuhan dan kesadaran hukum masyarakat.

2
Setelah Indonesia merdeka, karena merdeka berarti bebas menentukan
nasibnya sendiri, maka peradilan agama secara bertahap dikembangkan sesuai
dengan tingkat perkembangan masyarakat. Sekarang, peradilan agama
mempunyai kedudukan yang sama dan sejajar dengan peradilan lainnya, seperti
yang akan diuraikan lebih lanjut dalam tulisan ini.1

B. PEMBAHASAN

1. Peradilan Agama Pada Masa Kerajaan Islam


Dalam perkembangan selanjutnya, setelah Islam mulai berakar dalam
masyarakat, peran saudagar muslim dalam penyebaran Islam diambil alih oleh
ulama. Merekalah yang bertindak sebagai guru dan pengawal hukum Islam.
Disamping itu, mereka juga mendapat patronase dan para raja lokal. Naruddin
alRaniri (w. 1068 H/1658 M) adalah salah satu contoh kasus ini. Ia mendapat
patronasse dari Sultan Iskandar Tsani di Aceh yang memerintah pada 1637-1641 M
dan menjalankan fungsi sebagai penasihat.

Di kerajaan-kerajaan yang disebutkan sebelumnya di atas diberlakukan


hukum Islam dalam keseharian hidup masyarakat. Bisa dikatakan bahwa Islam
dan masyarakat Nusantara ketika itu ibarat dua sisi mata uang yang tidak
terpisahkan. Terjadinya konversi secara besar-besaran masyarakat Nusantara
kepada Islam memberi kedudukan penting bagi Islam dalam sosial politik. Hukum
Islampun secara otomatis berlaku dalam kerajaan-kerajaan tersebut. Untuk
kepentingan pelaksanaan hukum Islam, al-Raniri menulis kitab al-Shirath
alMustaqim, yang menerangkan tentang berbagai praktir hukum Islam. Buku ini
menjadi rujukan bagi pelaksanaan hukum Islam di Kesultanan tersebut48.
Selainitu,al-Raniri juga menulis kitab Bustan al-Salathin sebagai nasihat bagi
Sultan dalam melaksanakan tugas-tugas kenegaraan .

Di kerajaan-kerjaan tersebut, di samping Pasai, di bentuk lembaga-lembaga


keagamaan untuk menegakkan keberadaan hukum Islam. Salah satu lembaga
tersebut adalah peradilan agama yang mengadili dan menyelesaikan

11
Muhyidin “Perkembangan Agama di Indonesia” Jurnal Gema Keadilan Volume 7 Edisi 1 (2020) :
hlm 2

3
perkaraperkara orang Islam. Para hakim dalam lembaga ini diangkat sendiri oleh
Sultan di kerajaan-kerajaan masing-masing. Di kerajaan Aceh, pelaksanaan
hukum Islam menyatu dengan peradilan Negara dan dilakukan secara bertingkat.
Mulai dari tingkat kampung mengadili dan menangani perkara-perkara ringan dan
dipimpin oleh Kesyik, peradilan Balai Hukum Mukim yang merupakan tingkat
banding dan diputuskan oleh Oelebalang. Namun kalau putusan Oelebalang masi
dirasakan tidak adil, masih dapat juga dilakukan banding kepada Panglima Sag.
Selanjutnya, kalau masih juga kurang adil, dapat dilakukan “kasasi” kepada
Sultan, yang anggotanya terdiri dari atas Sri Paduka Tuan, Raja Bandhara dan
Faqih .

Di Kerajaan Mataram, pelaksanaan hukum islam di bawah Sultan Agung


dibagi menjadi Peradilan Surambi51 yang mennagani perkara-perkara kejatan
pidana (qishash). Pimpinan peradilan ini secara de jure berada ditangan Sultan dan
secara de facto dipimpin oleh penghulu dengan dibantu oleh beberapa ulama
sebagai anggota. Sementara di Minangkabau, perkara agaman diadili pada Rapat
Nagari dan kepala-kepala nagari, pegawai-pegawai masjid dan ulama-ulama
dilakukan pada hari jum’at, sehingga rapat tersebut dinamakan Sidang Jumat.

Kondisi Peradilan Agama ini pun bervariasi diantara wilayah-wilayah


Nusantara. Di tempat-tempat seperti Aceh, Jambi, Kalimantan Selatan dan Timur
serta Sulawesi Selatan, hakim-hakim dipilih oleh penguasa setempat. Sementara
di daerah-daerah seperti Sulawesi Utara, Gayo, Alas, Tapanuli si Sumatera bagian
utara dan Sumatera Selatan, tidak ada bentuk Pengadilan Agama secara khusus,
meskipun di daerah-daerah tersebut pemimpin agama memegang peranan dalam
menangani masalah-masalah hukum Islam dan melaksanakan tugas-tugas
peradilan. Sedangkan di Jawa, eksistensi pengadilan agama sudah terlihat pada
abad ke-16 M. dan terdapat di semua kabupaten sejak abad tesebut .

Begitulah hukum Islam berlaku dan dilaksankan dalam masyarakat Islam


Nusantara. Meskipun harus diakui, teruatama di beberapa daerah di Jawa, masih
terdapat pengalaman yang berbaur dengan unsur-unsur yang berbau pra-Islam.
Pada saatnya, ketika penjajah Belanda datang ke Nusantara, hukum Islam mulai

4
menghadapi resistesnsi. Politik hukum colonial Belanda berusaha meminggirkan
peranan hukum Islam dari kehidupan masyarakat.

Sulit bagi penulis untuk menentukan mana yang harus didahulukan tentang
keberadaan hukum Islam dalam dua fase sejarah yaitu pada masa kerajaan Islam
dan pada masa kolonial Belanda karena keduanya dalam masa tertentu, berada
dalam waktu yang sama. Penulis memberanikan diri untuk mendahulukan hukum
Islam pada masa-masa kerajaan-kerajaan Islam terlebih dahulu dengan
pertimbangan, Karena faktual kerajaan-kerajaan Islam tersebut lebih dahulu ada
sebelum Belanda datang. Walaupun ketika Belanda masuk dan menjajah,
kerajaan-kerajaan itu masih tetap ada namun secara perlahan penjajahan Belanda
menancapkan kekuasaannya secara perlahan-lahan.

Sebelum Islam masuk ke Indonesia, di kepulauan Nusantara ini sudah ada


peradaban dan kebudayaan yang dibangun oleh kerajaan-kerajaan Hindu dan
Budha yang terdahulu. Kerajaan Kutai merupakan kerajaan yang pertama
yangtercatat dalam sejarah. Ia berdiri pada abad ke-5 M55. Setelah Kutai, muncul
beberapa kerajaan di berbagai wilayah Nusantara seperti kerajaan Sriwijaya di
Palembang (abad ke-7 M) yang kekuasaannya melebihi wilayah Nusantara
sekarang ini. Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat (7 M). Kemudian setelah abad
ke 7 M, di tanah Jawa muncul Kerajaan Kediri, Singosari dan Kerajaan Majapahit
yang kekuasaannya meliputi seluruh Nusantara sebagaimana Kerajaan Sriwijaya
sebelumnya .

Kapan pertama kali Islam masuk ke Indonesia, siapa yang membawanya dan
berasal dari tempat mana? Para sejarawan berbeda pendapat tentang tiga hal ini .
Sulit dibantah bahwa ulamalah yang paling berjasa dalam memperkenalkan Islam
di masyarakat Indonesia. Selain ulama, mereka juga berstatus sebagai saudagar.
Berbasis di wilayah-wilayah pantai di Indonesia, yang oleh Jajat diistilahkan
dengan “Melayu Nusantara” para ulama menjadi penentu dalam proses Islamisasi
masyarakat .

5
Proses Islamisasi Mayoritas ilmuwan Belanda berpendapat bahwa Islam
masuk ke Nusantara ini berasal dari anak benua India, tepatnya daerah Gujaratdan
Malabar pada abad XII. Teori ini berlandaskan pada sejarah migrasinya orang-
orang Arab yang bermadzhab Syafi’i ke dua daerah tersebut kemudian mereka
membawa Islam ke Nusantara karena mereka merupakan pedagangpedagang
perantara yaitu antara pedagang-pedangang Nusantara dan para pedagang di
Timur Tengah. Karena jalur perdagangan laut yang menghubungkan Siraf di Teluk
Persia, India, dan Cina sudah ada sejak abad keempat dan berkembang menjadi
jalur transportasi yang lebih besar di abad ke tujuh . Adanya pelabuhan-pelabuhan
di daerah persinggahan sangat diperlukan. Pelabuhan-pelabuhan seperti Malabar
di India, Perlak di Sumatera Utara, atau Kedah di Malaysia merupakan tempat
penting bagi para saudagar yang mempergunakan kapal-kapal layar yang harus
singgah selama beberapa hari bahkan beberapa bulan sebelum melanjutkan
perjalanan. Beberapa pedagang secara bertahap membuka perkampungan di
sekitar pelabuhan. Mereka berbaur dengan penduduk pribumi, dan tidak jarang
terjalin hubungan perkawinan antar kedua kelompok itu. Para saudagar tersebut,
selain berdagang mereka juga menyebarkan agama Islam kepada penduduk lokal.
Dakwah mereka yang persuasif dan akomodatif, menyebarkan perdamaian
mendapat respon yang baik dari penduduk lokal Nusantara.

Argumentasi kedatangan pedagang Arab pada abad ke XII adalah berdasarkan


batu nisan yang ditemukan di Pasai yang bertanggal 17 Dzul Hijjah 831. Batu
nisan ini mirip dengan batun nisan Maulana Malik Ibrahim di Gresik Jawa Timur.
Kedua batu nisan tersebut sama dengan batu nisan yang terdapat di Cambay,
Gujarat.

Teori yang berdasarkan pada persamaan batu nisan di Pasai dan Gresik
mempunyai persamaan dengan batu nisan yang berada di Gujarat di sanggah oleh
Fatimah. Menurutnya teori itu keliru. Yang benar adalah batu nisan itu tidak sama
dengan yang ada di Gujarat, melainkan sama dengan yang ada di Benggal.
Orangberpendapat demikian lanjutnya telah mengabaikan batu nisan Siti Fatimah
(Benggal 475/1082) yang ditemukan di Leran, Jawa Timur. Jadi, menurutnya,

6
Islam itu dibawa dari wilayah Benggal, bukankah umat Islam di Nusantara ini
menganut madzhab Syafi’i sedangkan umat Islam di Benggal menganut madzhab
Hanafi.

Teori lainnya adalah agama Islam di Nusantara ini berasal dari jazirah Arab
langsung. Hal ini berdasarkan kepada kenyataan bahwa para pedagang Arab
menyebarkan Islam ketika mereka melakukan perdagangan Barat-Timur sejak
abad awal Hijriyah atau abad ke tujuh dan ke delapan Masehi melalui jalur laut
yang melewati Selat Malaka. Fakta ini didukung oleh sumber-sumber yang
berasal dari Cina yang mengatakan bahwa menjelang akhir perempatan ketiga
abad ke tujuh, seorang pedagang Arab menjadi pemimpin sebuah pemukiman
Arab muslim di pesisir pantai Sumatera. Sebagian dari orang Arab itu melakukan
perkawinan dengan wanita setempat, sehingga membentuk nukleus sebuah
komunitas muslim yang terdiri dari orang-orang Arab pendatang dan penduduk
lokal, dan anggota komunitas muslim ini juga melakukan penyebaran Islam.

Untuk mengkompromikan beberapa teori yang telah dipaparkan di atas,


Azyumardi Azra mengambil jalan tengah yaitu mungkin benar Islam sudah
diperkenalkan kedalam ada di Nusantara pada dan abad-abad pertama Hijriyah,
sebagaimana dikemukakan Arnold dan dipegangi banyak sarjana Islam-Malaysia,
tetapi hanyalah setelah abad ke duabelas pengaruh Islam kelihatan lebih nyata.
Karena itu, proses Islamisasi nampaknya mengalami akselarasi antara abad ke
duabelas dan ke enam belas2

2. Masa Penjajahan Belanda


Kerajaan-kerajaan Islam yang memberlakukan hukum Islam dengan sistem
peradilannya, satu demi satu jatuh-runtuh ke tangan kolonialis-imperalis Belanda,
yang dengan membawa sistem peradilannya, berusaha mendesak peradilan yang
sudah berjalan dan mapan tersebut.

Sampai akhir abad ke 19, kalangan ahli hukum Belanda berpendapat bahwa
hukum yang berlaku bagi orang Indonesia adalah mendasarkan hukum Islam.
2
Qadariah Barkah “Tipologi Peradilan Agama Pada Masa Kerajaan Islam Nusantara” Makalah
Penelitian Kompetitif Individual, UIN Raden Fatah (2016) hlm 26-31

7
Pendapat demikian adalah tidak aksklusif. Banyak para ahli hukum sependapat
dengan Marsden, Crawfurt serta Rafles, tentang banyaknya percampuran antara
Ajaran Islam dengan adat yang berbeda-beda, yang keduanya tidak banyak
bertentangan.

Berdasarkan kenyataan tersebut, maka Prof. Mr. Lodewijk Willicm Christian


Van Den Berg mengusulkan kepada pemerintah Belanda agar tidak menghapuskan
berlakunya hukum Islam beserta peradilannya. Penduduk yang beragama Islam
agar diberlakukan hukum Islam dan mendapat perlindungan secara baik. Semua
itu mencegah agar tidak terjadi aksi-aksi anti Belanda.

Untuk itu pemerintah Belanda mengeluarkan peraturan yang pertama tentang


peradilan agama di Jawa, yaitu pada tanggal 7 Desember 1835 No.6 (stb 1835 no.
58). Peraturan ini pada prisipnya menyatakan bahwa kalau diantara orang jawa
timbul perkara tentang perkawinan, warisan dan sebagainya, yang harus
diputuskan menurut hukum Islam, maka kiai, penghulu atau ulama harus
memutuskan menurut hukum islam. Inilah yang kemudian disebut teori Receptio
In Complexu.

Dengan dikeluarkannya peraturan tersebut, berarti pemerintahan penjajah


untuk pertama kalinya secara formal mengakui berlakunya hukum Islam dan
peradilan islam. Mulai saat itu, jika di dalam masyarakat timbul masalah-masalah
yang menyangkut peradilan agama, Belanda mulai ikut mengatur dan mengawasi
secara aktif.

Beberapa saat kemudian teori Receptio In Complexu yang menyatakan bahwa


bagi orang Islam sepenuhnya berlaku hukum Islam, untuk pertama kalinya
ditentang oleh Prof. hukum Adat. Hukum islam baru berlaku jika telah diterima
oleh hukum adat. Teori Snock Hurgronye ini terkenal dengan Teori Reseptie.

Dengan gigihnya Snock Hurgronye yang didukung oleh Van Vollen Hoven
secara terus menerus menentang teori reseptio in Complexu dan Van Den Berg
yang telah menjadi kebijaksanaan penjajah. Akhirnya Snock Hurgronye
menyarankan kepada pemerintah penjajah untuk merubah kebijaksanaan tersebut.

8
Atas saran Snock Hurgronye, dibentuklah Commisie Voor priestcraad, suatu
komisi yang bertugas membicarakan pernyataan Snock Hurgronye tersebut.

Sesuai dengan politik penjajah untuk mementingkan dirinya sendiri tanpa


mempertimbangkan kepentingan masyarakat Indonesia, komisi tersebut
menghasilkan rancangan ordonansi yang membatasi kewenangan peradilan agama
dalam mengadili suatu perkara. Sebagai pelaksanaan dari hasil komisi, maka pada
tanggal 31 Januari 1931 keluarlah secara resmi ordonansi yang membatasi
peradilan agama tersebut, yaitu termuat dalam stb. 1931 No. 153.7 Mr. Snock
Hurgonye. Snock Hurgronye mengajukan argumen bahwa yang berlaku didalam
masyarakat bukanlah hukum Islam.3

3. Masa Penjajahan Jepang


Pada tahun 1942 Indonesia diduduki oleh Jepang. Pergeseran otoritas
jajahan Jepang membawa pada perubahan yang besar bagi masyarakat Indonesia.
Perbedaan yang fundamental antaraimperialisme Jepang dengan imperialisme
barat terletak pada karakter militernya, pemerintah militer Jepang yang menguasai
Indonesia pada gilirannya memegang semua urusan pemerintahan kolonial.

Akibatnya pemerintah militer Jepang harus memikul tanggung jawab atas


semua permasalahan hukum dan administrasi, suatu peran yang tidak jauh
berbeda yang sudah dialami oleh Belanda sebelumnya. Penjajah Jepang yang
memodifikasi beberapa bangunan struktural, memilih untuk tidak terlalu merubah
beberapa hukum dan peraturan yang ada, demi kemudahan admistrasi,
sebagaimana Belanda pada masa-masa awal penjajahannya, rezim Jepang
sekarang mempertahankan bahwa adat istiadat lokal, praktik-praktik kebiasaan,
dan agama tidak boleh dicampur tangani oleh pemerintah untuk sementara waktu
dan hal-hal yang berhubungan dengan urusan penduduk sipil, adat, dan hukum
sosial mereka harus dihormati, dan pengaturan yang khusus diperlukan dalam
rangka untuk mencegah munculnya segala bentuk perlawanan dan oposisi yang
tidak diinginkan.

3
Muhyidin “Perkembangan Agama di Indonesia” Jurnal Gema Keadilan Volume 7 Edisi 1 (2020) :
hlm 3-6

9
Secara teoritis pemerintahan Jepang pada waktu itu berusaha untuk
membuat pemisahan simbol secara total dengan pemerintahan Belanda. Simbol
kolonial yang menandakan pemerintah Belanda dihapuskan, selain itu pergerakan-
pergerakan yang pada masa penjajahan Belanda aktif pada masa pemerintahan
Jepang secara tegas dilarang. Tidak seperti pemerintahan Belanda yang membuat
sentralisasi administrasi di wilayah kekuasaanya di Indonesia, Jepang justru
membagi wilayah Indonesia ke dalam tiga zona administrasi, yaitu:

a. Di Jakarta untuk mengatur Jawa dan Madura.


b. Di Singapura yang mengatur Sumatera.
c. Komando Angkatan Laut di Makassar yang mengatur keseluruhan
Nusantara di luar tiga pulau yang telah diatur di atas.

Sebagai akibat dari pengurangan yang drastis dari jumlah para pegawai Belanda
dalam kantor-kantor pemerintahan, perubahan dalam organisasi peradilan juga
harus terjadi. Pada tanggal 29 April 1942 pemerintahan bala tentara Dai Nippon
mengeluarkan UU No 14 Tahun 1942 tentang Pengadilan Bala tentara Dai Nippon
yang isinya bahwa Pemerintahan Jawa mengeluarkan beberapa aturan yang
dirancang untuk melarang transformasi lembaga peradilan. Sebagai hasilnya,
lembaga peradilan yang sekuler didirikan dimana bentuk peradilan lama diubah
namanya dari bahasa Belanda kepada bahasa Jepang. Adapun susunan lembaga
peradilan pada masa pendudukan Jepang adalah sebagai berikut :

1. Tihoo Hooin yang berasal dari Landraad (Pengadilan Negeri).


2. Keizai Hooin yang berasal dari Landgerecht (Pengadilan Kepolisian)
3. Kein Hoin yang berasal dari Regetschapsgerecht (Pengadilan Kabupaten)
4. Gun Hooin yang berasal dari Districtsge recht (Pengadilan Kewenangan)
5. Kaikoo Kooto Hooin yang berasal dari Hof voor Islamietische Zaken
(Mahkamah Islam Tinggi)
6. Sooyoo Hooin yang berasal dari Priesterrad (Rapat Agama), dan
7. Gunsei Kensatu Kyoko terdiri dari Tihoo Kensatu Kyoko (Kebijaksanaan
Pengadilan Negeri)

10
Berasal dari Paket voor Landraden Sedangkan Hoogerechtshof (Saiko
Hooin) diunifikasikan menjadi satu lembaga peradilan yang melayani semua
golongan masyarakat, sementara Residentiegerecht yang pada masa kolonial
Belanda dikhususkan untuk mengadili golongan masyarakat Eropa pada masa
penjajahan Jepang dihapuskan. Langkah unifikasi yang dilakukan pada masa
penjajahan Jepang tidak hanya pada lembaga peradilan, tetapi juga dalam kantor
kejaksaan. Jaksa yang bentukan terdahulu yang bertugas menurut prosedur
Hukum Eropa, dan Jaksa Indonesia yang bekerja menurut Landraad,
dikombinasikan kedalam Kensatu Kyoku. Jelas saja revolusi ini secara menggebu-
gebu disambut oleh pejuang Muslim, terutama di Sumatra, yang senantiasa
berharap untuk dapat menjatuhkan dominasi dari para tetua adat bersama
pelindungnya, yaitu para pejabat Belanda.4

4. Unsur Unsur Peradilan Agama


1. Hakim atau Qadhi, yaitu orang yang diangkat oleh kepala negara untuk
menjadi hakim dalam menyelesaikan tugas, oleh karena penguasa sendiri
tidak menyelesaikan tugas peradilan.
2. Hukum, yaitu putusan hakim yang ditetapkan untuk menyelesaikan suatu
perkara. Hukum ini adakalanya dengan jalan ilzam, yaitu seperti hakim
berkata saya menghukum engkau dengan membayar sejumlah uang. Ada
yang berpendapat bahwa putusan ilzam ini ialah menetapkan sesuatu
dengan dasar yang meyakinkan seperti berhaknya seseorang nggota serikat
untuk mengajukan hak syuf’ah, sedang qadha istiqaq ialah menetapkan
sesuatu dengan hukum yang diperoleh dari ijtihad, seperti seorang
tetangga mengajukan hak syuf’ah.
3. Mahkum bihi, Di dalam qadha ilzam dan qadha istiqaq yang diharuskan
oleh qadhi si tergugat harus memenuhinya. Dan, di dalam qadha tarki

4
Faisal “Histori Pemberlakuan Peradilan Agama era Kerajaan Islam dan Penjajahan di
Indonesia” jurnal Al-Qadha Volume 6 No: 1 (2019) hlm 23-25

11
ialah menolak gugatan. Karena demikian, maka dapat disimpulkan bahwa
mahkum bihi itu adalah suatu hak.
4. Mahkum alaih (si terhukum), yakni orang yang dijatuhkan hukuman
atasnya. Mahkum alaih dalam hak hak syara’ adalah yang diminta untuk
memenuhi suatu tuntutan yang dihadapkan kepadanya. Baik tergugat
maupun bukan, seorang ataupun banyak.
5. Mahkun lahu, yaitu orang yang melanggar suatu hak. Baik hak itu yang
murni baginya atau terdapat dua hak tetapi haknya lebih kuat.
6. Perkataan atau Perbuatan yang menunjuk kepada hukum (putusan).
Dari pernyataan tersebut nyatalah bahwa memutuskan perkara hanya
dalam suatu kejadian yang diperkarakan oleh seseorang terhadap
lawanmya, dengan mengemukakan gugatan gugatan yang dapat diterima. 5

5. DASAR HUKUM PERADILAN AGAMA

Pasal 24 ayat 2 undang undang dasar 1945 menyebutkan bahwa kekuasaan


kehakiman dilakukan oleh senuah mahkamah agung dan peradilan yang berada
dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh
sebuah mahkamah konstitusi.

Undang undang no, 14 tahun 1970 tentang ketentuan ketentuan pokok kekuasaan
kehakiman dalam pasal 10 ayat 1 menyebutkan :

Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan ;

1. Peradilan umum

2. Peradilan agama

3. Peradilan militer

4. Peradilan tata usaha negara

5
Erfaniah Zuhriah “Pengadilan Agama Indonesia : Sejarah, Konsep dan Praktik di Pengadilan
Agama” (Malang: Setarea Press, 2016) hlm 6

12
Pasal 12 undang undang tersebut menyebutkan bahwa susunan, kekuasaan
serta acara dari badan badan peradilan diatur dalam undang undang tersendiri.
Khusus mengenai peradilan agama diatur dalam undang undang nomor 3 tahun
2006 yang memuat dalam lembaran negara nomor 49 tahun 1989 dan undang
undang nomor 14 tahun 1970 tentang kekuasaan kehakiman tersebut telah diubah
dengan undnag undang nomor 35 tahun 1999 dan terakhir diubah dengan undang
undang nomor 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman.

Perubahan undang undang yang mengatur badan peradilan dibawah mahkamah


agung yaitu undang undang nomor 2 tahun 1986 tentang peradilan tata usaha
negara diubah dengan undang undang nomor 9 tahun 2004. Tentang perubahan
kedua dilingkungan peradilan tersebut disahkan pada tanggal 29 maret 2004.
Undang undang nomor 7 tahun 1989 tentang peradilan agama telah megalami
perubahan dengan munculnya undang undang nomor 3 tahun 2006, dan diperbarui
dengan undang undang nomor 50 tahun 2009.6

C. KESIMPULAN
1. Sebelum Islam masuk ke Indonesia, di kepulauan Nusantara ini sudah ada
peradaban dan kebudayaan yang dibangun oleh kerajaan-kerajaan Hindu dan
Budha yang terdahulu. Kerajaan Kutai merupakan kerajaan yang pertama
yangtercatat dalam sejarah. Ia berdiri pada abad ke-5 M55. Setelah Kutai,
muncul beberapa kerajaan di berbagai wilayah Nusantara seperti kerajaan
Sriwijaya di Palembang (abad ke-7 M) yang kekuasaannya melebihi wilayah
Nusantara sekarang ini.
2. Peran saudagar muslim dalam penyebaran Islam diambil alih oleh ulama.
Merekalah yang bertindak sebagai guru dan pengawal hukum Islam.
Disamping itu, mereka juga mendapat patronase dan para raja lokal.
3. Di Kerajaan Mataram, pelaksanaan hukum islam di bawah Sultan Agung
dibagi menjadi Peradilan Surambi51 yang menangani perkara-perkara
kejahatan pidana (qishash). Pimpinan peradilan ini secara de jure berada
ditangan Sultan dan secara de facto dipimpin oleh penghulu dengan dibantu
6
Erfaniah Zuhriah, M.H. “Pengadilan Agama Indonesia : Sejarah, Konsep dan Praktik di
Pengadilan Agama” (Malang: Setarea Press, 2016) hlm 5

13
oleh beberapa ulama sebagai anggota. Sementara di Minangkabau, perkara
agaman diadili pada Rapat Nagari dan kepala-kepala nagari, pegawai-
pegawai masjid dan ulama-ulama dilakukan pada hari jum’at, sehingga rapat
tersebut dinamakan Sidang Jumat.
4. Kerajaan-kerajaan Islam yang memberlakukan hukum Islam dengan sistem
peradilannya, satu demi satu jatuh-runtuh ke tangan kolonialis-imperalis
Belanda, yang dengan membawa sistem peradilannya, berusaha mendesak
peradilan yang sudah berjalan dan mapan tersebut.
5. Sampai akhir abad ke 19, kalangan ahli hukum Belanda berpendapat bahwa
hukum yang berlaku bagi orang Indonesia adalah mendasarkan hukum Islam.
Pendapat demikian adalah tidak aksklusif. Banyak para ahli hukum
sependapat dengan Marsden, Crawfurt serta Rafles, tentang banyaknya
percampuran antara Ajaran Islam dengan adat yang berbeda-beda, yang
keduanya tidak banyak bertentangan.
6. Penjajah Jepang yang memodifikasi beberapa bangunan struktural, memilih
untuk tidak terlalu merubah beberapa hukum dan peraturan yang ada, demi
kemudahan admistrasi, sebagaimana Belanda pada masa-masa awal
penjajahannya, rezim Jepang sekarang mempertahankan bahwa adat istiadat
lokal, praktik-praktik kebiasaan, dan agama tidak boleh dicampur tangani
oleh pemerintah untuk sementara waktu dan hal-hal yang berhubungan
dengan urusan penduduk sipil, adat, dan hukum sosial mereka harus
dihormati, dan pengaturan yang khusus diperlukan dalam rangka untuk
mencegah munculnya segala bentuk perlawanan dan oposisi yang tidak
diinginkan.

14
DAFTAR PUSTAKA

Muhyidin, Perkembangan Agama di Indonesi,. Diponegoro: Jurnal Gema


Keadilan Volume 7 Edisi 1, 2020.
Qodariah Barkah, Tipologi Peradilan Agama Pada Masa Kerajaan Islam
Nusantar,. Palembang: Makalah Penelitian Kompetitif Individual UIN
Raden Fatah, 2016
Faisal, Histori Pemberlakuan Peradilan Agama Era Kerajaan Islam dan
Penjajahan Di Indonesia, Langsa: Jurnal Al-Qadha Vol. 6 Nomor 1,
2019.
Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama Indonesia : Sejarah, Konsep dan Praktik di
Pengadilan Agama, Malang: Setara Press, 2016, 216 hlm.

15

Anda mungkin juga menyukai