Anda di halaman 1dari 35

Minggu, 05 Juni 2011

Peradilan Islam pada Masa Awal Penjajahan Belanda

Peradilan Islam pada Masa Awal Penjajahan Belanda

Pada zaman penjajahan Belanda, Hukum Islam diajarkan dengan nama Mohammedaansch
Recht, yang sempat diteruskan ketika Indonesia merdeka. Hal ini juga menjadi bukti bahwa
Hukum Islam di Indonesia sudah ada sejak zaman VOC. Adanya Regeerings Reglemen mulai
tahun 1855 merupakan pengakuan tegas terhadap adanya Hukum Islam, tersebut.

Dalam tulisan H. Zaini Ahmad Noeh dan H. Abdul Basit Adnan di kemukakan beberapa
pandangan tentang keadaan dan pandangan para ahli mengenai Peradilan Agama pada tahap
awal pemerintahan Belanda. Menurut pendapat mereka dalam perpustakaan hukum adat
diperoleh petunjuk, bahwa Pengadilan Agama memang sudah ada sebelum orang Portugis dan
Belanda datang ke Indonesia. Prof. Dr. Snouck Hurgonye dalam tulisannya yang berjudul
“Nederland en de Islam” menyebut Peradilan Agama sebagai suatu badan atau tatanan rakyat
yang dalam bahasa Belanda disebut “Mohammedansch Volksintelling”. Namun ia berpendapat
bahwa semestinya pemerintah Hindia Belanda tidak usah turut campur dengan urusan Peradilan
Agama itu.

Terlepas dari sejarah tersebut, sejak zaman Rasulullah hidup sampai zaman kerajaan Islam di
nusantara, Pangadilan Agama sudah ada dan mempunyai wewenang yang luas di segala bidang,
baik yang bersifat perdata atau pidana. Walaupun hukum acara Pengadilan Agama yang berlaku
saat itu tidak terlalu formal, tapi Nabi sudah memberikan arahan terhadap hukum acara yang
berlaku.

Tapi, sejak kehadiran Belanda di bumi nusantara, kewenangan Pengadilan Agama dibatasi hanya
pada hal-hal yang bersifat perdata, sedangkan perkara pidana diserahkan kepada Pengadilan
Negeri, dan saya kira hal tersebut menjadi “PR” kita bersama bagaimana caranya supaya bisa
mengembalikan peran Pengadilan Agama agar mempunyai wewenang yang sangat luas,
sehingga keberadaan Pengadilan Agama tidak lagi menjadi ranah perdata tetapi ranah pidanapun
harus bisa dicapai, walaupun seandainya berhasil digolkan untuk sementara hanya dengan hak
opsi bagi para pihak yang berperkara dalam masalah pidana dengan memilih apakah
menyelesaikannya di Pengadilan Agama atau di Pengadilan Negeri, hal tersebut bisa menjadi
awal yang baik untuk memasukkan perkara pidana ke dalam wewenang Pengadilan Agama.

1) Peradilan Agama Sebelum Tahun 1882

            Pada masa penjajahan dulu sebenarnya pelaksanaan kekuasaan Peradilan Agama dalam
masyarakat Indonesia ada beberapa pola. Soepomo dalam bukunya menyebutkan paling tidak
ada 4 pola atau bentuk dari peradilan agama di Indonesia yang secara sederhana dapat
digambarkan sebagai berikut:

1.      Ada daerah yang hanya mengenal segolongan pegawai agama yang diserahi pemeliharaan
Masjid, melangsungkan perkawinan dan pekerjaan-pekerjaan lain menurut hukum syara Islam,
tetapi tidak melakukan kekuasaan hakim (Gayo, Alas batak di Sumatera Utara, sebagian besar
dari Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Minahasa). Karena tidak ada hakim agama maka
sengketa-sengketa tentang perkawinan dan perceraian antara orang Islam yang ditempat lain
diadili oleh hakim agama, dalam daerah-daerah itu diadili oleh hakim gubernemen atau hakim
pribumi;

2.      Ada daerah disamping pegawai-pegawai masjid, didapati hakim agama tersendiri yang
biasa disebut kadi atau hakim (Aceh, Jambi, Sambas, Pontianak, daerah-daerah pantai
kalimantan Tenggara, Sulawesi Selatan, Ternate, ambon).

3.      Di Minangkabau tidak terdapat hakim agama tersendiri, tetapi urusan agama diadili pada
rapat negeri dari kepala-kepala Negari, Pegawai masjid, dan alim ulama, yang istimewa harus
diadakan pada hari jum’at sehingga rapat itu di sebut siding jum’at.
4.      Di jawa dan Madura dikenal adanya Peradilan Agama, akan tetapi hakim tersendiri tidak
ada. Pengadilan Agama di Jawa dan Madura dilakukan oleh pemimpin masjid, namanya
penghulu.[3]

Intervensi kolonial Belanda di akhir abad ke-16 ditandai dengan kedatangan organisasi dagang
belanda VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) tahun 1596 di Banten. Ketertarikan pihak
kolonial terhadap kawasan nusantara, bukan saja disebabkan terdesaknya posisi Belanda dalam
percaturan politik internasional, tetapi secara ekonomis nusantara ketika itu menjadi kawasan
yang menjanjikan terutama rempah-rempah. Namun, secara sosiologis juga kolonialisme
cenderung menjalankan misi ganda; ekonomi dan agama. Indonesia khususnya dan kawasan
dunia melayu umumnya adalah komunitas muslim yang secara teologis dalam persepsi mereka
dianggap menyimpang dan perlu diluruskan. Ini semakin meyakinkan karena di setiap misi
dagang dan pemerintahan mereka melibatkan para pastor-pastor agama Kristen.

Misi VOC sebagai perpanjangan tangan pemerintah Belanda mempunyai dua fungsi, pertama
sebagai pedagang dan kedua sebagai badan pemerintah. Sebagai upaya pemantapan pelaksanaan
kedua fungsi tersebut, VOC menggunakan hukum dan peraturan perundangan-undangan
Belanda. Di daerah-daerah yang kemudian satu persatu dapat dikuasai kolonial akhirnya
membentuk badan-badan peradilan. Upaya ini tidak secara mulus berjalan, dan dalam
penerapannya mengalami hambatan.

Atas dasar berbagai pertimbangan, VOC membiarkan lembaga-lembaga asli yang ada dalam
masyarakat untuk berjalan sebagaimana sebelumnya. Langkah ini diambil sebagai upaya
menghindari perlawanan dari masyarakat setempat. Konsekuensinya VOC terpaksa
memperhatikan hukum yang hidup dan diikuti oleh rakyat dalam kehidupan sehari-hari. Belanda
tetap mengakui apa yang telah berlaku sejak berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di nusantara,
seperti hukum keluarga Islam, perkawinan, waris dan wakaf.

Pemerintah Belanda sendiri waktu itu, hampir pertengahan abad ke-18, berusaha menyusun
buku-buku hukum Islam sebagai pegangan hakim-hakim pengadilan (lanraad) dan pejabat
pemerintahan. Dalam Statua (Undang-Undang) Jakarta 1642, bahkan hukum kekeluargaan
diakui dan diterapkan dengan peraturan Resolutie der Indiesche Regerering pada 25 Mei 1760,
yang merupakan aturan hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam. Atas perkembangan ini
maka dikenal beberapa conpemdium yang disusun oleh pejabat-pejabat Belanda dari pakar
hukum, misalnya Compendium van Glookwijk, Gubernur Sulawesi waktu (1752-1755), dan
Compendium Freijer yang dilakukan oleh Gubernur Jenderal Jacob Mossel (1750-1761).8
Compendium Freijer tersebut adalah Kompilasi Hukum Islam di bidang kekeluargaaan yang
dikumpulkan oleh ahli hukum D.W Freijer.[4]

senantiasa merujuk kepada ajaran Islam, baik itu soal ibadah, politik, ekonomi dan
kemasyarakatan Memang sejak tahun 1800, para ahli hukum dan ahli kebudayaan Belanda
mengakui bahwa di kalangan masyarakat Indonesia Islam merupakan agama yang sangat
dijunjung tinggi pemeluknya. Penyelesaian masalah masyarakat lainnya. Atas fenomena ini,
maka pakar hukum Belanda berkeyakinan bahwa di tengah-tengah komunitas itu berlaku hukum
Islam, termasuk dalam mengurus peradilan pun diberlakukan undang-undang agama Islam. Hal
sama juga ketika VOC bubar dan berubah menjadi pemerintah jajahan, kedudukan hukum Islam
masih tidak bisa diganggu gugat oleh kolonial. Berdasarkan gejala sosial seperti ini, L. W. C. van
den Berg (1845-1927), seorang sarjana Belanda berkesimpulan bahwa pada awal-awal masa
penjajahan Belanda, bagi orang-orang Indonesia yang beragama Islam berlaku teori, reception in
complexu  yang berarti orang-orang muslim Indonesia menerima dan memberlakukan syariat
Islam secara keseluruhan[5]

2) Peradilan Agama pada Tahun 1882-1937

a.  Sekitar Lahirnya Staatsblad 1882

            Secara yuridis formal, Peradilan Agama sebagai suatu badan peradilan yang terkait dalam
sistem kenegaraan untuk pertama kali lahir di Indonesia (Jawa dan Madura) pada tanggal 1
Agustus 1882. Kelahiran ini berdasarkan suatu keputusan raja Belanda (Konnonklijk Besluit),
yakni raja Willem III tanggal 19 Januari 1882 No. 152. Di mana ditetapkan suatu peraturan
tentang Peradilan Agama dengan nama “piesterraden” untuk Jawa dan Madura. Arti Priester
tersebut sebenarnya adalah pendeta. Pihak penguasa waktu itu beranggapan bahwa di kalangan
umat Islam juga dikenal ada semacam pendeta seperti dalam agama Kristen. Badan peradilan ini
(Piesterraden) yang kemudian lazim disebut dengan Raad Agama dan terakhir dengan
Pengadilan Agama. Keputusan raja Belanda ini dinyatakan berlaku mulai 1 Agustus 1882 yang
dimuat dalam Statsblad 1882 No. 153, sehingga dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa
tanggal kelahiran Badan Peradilan Agama di Indonesia adalah 1 Agustus 1882. Pengadilan
Agama di Jawa dan Madura dalam bahasa Belanda disebut “Bepalingen Betreffende de Priester
raden op Java en Madoera”

            Staatsblad 1882 No. 152 berisi 7 pasal yang maksudnya adalah sebagai berikut:

Pasal 1

Di samping setiap Landraad (Pengadilan Negeri) di Jawa dan Madura diadakan suatu Pengadilan
Agama yang wilayah hukumnya sama dengan wilayah hukum landraad.

Pasal 2

Pengadilan Agama terdiri atas; Penghulu yang diperbantukan kepada lanraad sebagai ketua.
Sekurang-kurangnya tiga dan sebanyak-banyaknya delapan orang ulama Islam sebagai anggota.
Mereka diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur / Residen

 Pasal 3

Pengadilan Agama tidak boleh menjatuhkan putusan , kecuali dihadiri sekurang-kurangnya tiga
anggota termasuk ketua. Kalau suara sama banyak, maka suara ketua yang menentukan.

Pasal 4

Keputusan Pengadilan Agama dituliskan dengan disertai alasan-alasanya yang singkat, juga
harus diberi tanggal dan ditandatangani oleh para anggota yang turut memberi keputusan. Dalam
berperkara itu disebutkan juga jumlah ongkos yang dibebankan kepada pihak-pihak yang
berperkara.

Pasal 5

Kepada pihak-pihak yang berperkara harus diberikan salinan surat keputusan yang di
tandatangani oleh ketua.

Pasal 6

Keputusan Pengadilan Agama harus dimuat dalam suatu daftar yang harus diserahkan kepada
residen setiap tiga bulan sekali untuk memperoleh penyaksian (visum) dan pengukuhan.

Pasal 7
Keputusan Pengadilan Agama yang melampaui batas wewenang / kekuasaannya atau tidak
memenuhi ketentuan ayat (2), (3), dan (4) di atas tidak dapat dinyatakan berlaku.

            Stattsblad 1882 No. 152 ini dalam naskah aslinya tidak merumuskan wewenang
Pengadilan Agama dan tidak pula membuat garis pemisah yang tegas antara wewenang
Pengadilan Agama dan wewenang Pengadilan Negeri. Hal ini disebabkan oleh Staatsblad 1882
No. 152 beranggapan bahwa wewenang Pengadilan Agama sudah ada dalam Staatsblad 1853
No. 58. Meskipun Staatsblad 1882 No. 152 ini telah mengatur tugas Pengadilan Agama sebagai
badan peradilan, namun ketergantungan kepada bupati masih sangat besar. Hal ini seperti
dinyatakan oleh Snouck Hurgonye bahwa Staatsblad 1882 telah menyebabkan adanya
perubahan. Dahulu para penghulu dalam melaksanakan tugas hukum merasa bergantung sekali
pada bupati. Para bupati itu jelas menunjukkan kekuasaannya. Dalam peradilan agama, bahkan
hingga sekarang para bupati masih harus diperingatkan akan kewajiban untuk tidak ikut
mencampuri urusan dan banyak penghulu yang masih belum berani mengambil keputusan
penting tanpa meminta nasihat terlebih dahulu dari bupati.

            Walaupun demikian, perubahan susunan Pengadilan Agama pada tahun 1882 yang
sebetulnya tidak mencapai sasaran yang dikehendaki, ternyata telah membawa perubahan
penting. Reorganisasi ini pada dasarnya adalah membentuk pengadilan-pengadilan Agama yang
baru di samping setiap landraad (pengadilan negeri) dengan daerah hukum yang sama, rata-rata
seluas kabupaten, diakuinya Pengadilan Agama di bawah Undang-Undang Negara.

b. Pendapat-Pendapat Ahli Hukum Belanda

Christian Snouck Hurgonye adalah seorang ahli hokum Belanda yang kemudian melahirkan
teori Receptie. Dalam teori ini dikemukakan bahwa sebenarnya yang berlaku di Indonesia adalah
hukum adat asli. Ke dalam hukum adat ini memang ada masuk sedikit-sedikit pengaruh hukum
Islam. Pengaruh hukum Islam itu baru mempunyai kekuatan kalau sudah diterima oleh hukum
adat dan lahirlah dia sebagai hukum adat dan bukan sebagai hukum Islam.[9]

Atas desakan dan pengaruh Snouck Hurgonye dalam kedudukannya tersebut, dengan cara
sistematis, halus dan berangsur-angsur, hukum agama yang berlaku bagi orang Islam mulai
diubah dan dipersempit ruang geraknya dalam kehidupan masyarakat, sehingga banyak
menimbulkan kekecewaan dan reaksi dalam benak masyarakat Islam
seperti halnya perubahan terjadi pada ketentuan pasal 134 I.S. 1925 (yang berbunyi sama dengan
ketentuan dengan pasal 78 R.R. 1855, R.R. 1907 dan R.R. 1919 dulu) karena ada pergantian
nama UUDS Pemerintah Kenyataan di atas Hindia Belanda dari Regerings
Reglement menjadi Indishe Staatsregeling26 yang antara lain bunyi ayatnya:

Kalau terjadi perselisihan perdata antara penduduk inlander atau penduduk yang dipersamakan
dengan mereka, diputuskan oleh kepala agama atau kepala adat mereka menurut undang-
undang agamanya atau adat aslinya.

Diubah menjadi:[11] “Dalam hal terjadi perkara perdata antar sesama orang Islam akan
diselesaikan oleh hakim agama Islam, keadaan tersebut telah diterima hukum adat mereka dan
sejauh tidak ditentukan oleh ordonantie”. Arti pasal ini bahwa hukum Islam yang berlaku
hanyalah kalau telah direceptie oleh hukum adat. Perubahan tersebut terjadi pada tahun 1929
melalui Staatsblad 1929 No. 221.

Teori receptie yang dijadikan landasan kebijaksanaan pemerintah Belanda terhadap hukum Islam
termasuk lembaga Peradilan Agama yang tercermin dalam pasal 134: (2) Indishe Staatsregeling
(IS) dan Staatsblad 1882 no. 152. Kemudian didukung oleh Prof. Ter Haar dan beberapa sarjana
hukum yang mendapat pendidikan Belanda, baik di Batavia maupun di negeri Belanda.

Dengan timbulnya aliran hukum adat di kalangan ahli hukum Belanda yang secara sistematis di
pelopori oleh Van Vollenhoven dan diperjelas oleh Ter Haar, maka Pemerintah Hindia Belanda
membentuk suatu panitia untuk merumuskan peraturan perbaikan Pengadilan Agama
yaitu Commisie Voor Pristerrad  pada tahun 1922-1924. Anggota baru terdiri dari :

1) 3 (tiga) orang bupati;

2) 5 (lima) orang penghulu;

3) 2 (dua) dari kalangan pergerakan Islam; dan

4) 1 (satu) ahli Hukum Belanda (Prof. Ter Haar).

            Hasil panitia atau komisi ini adalah dikeluarkannya Staatsblad tahun 1931 No. 53 yang
memuat 3 (tiga) bagian yaitu Bagian Pertama, Tentang perubahan “ Peristerrad menjadi
penghoeloeregecht” wewenang penghoeloeregecht dibatasi pada bidang munakahat saja,
wewenang atas perkara waris dicabut. Bagian ini juga berisi perubahan / perbaikan dalam hokum
acara dan pembentukan Mahkamah Islam Tinggi (Hooger Islami Aishe Zaken);

            Bagian Kedua, Tentang campur tangan Landraad dalam soal peradilan, harta bagi orang-
orang Indonesia asli.

            Bagian Ketiga, tentang pembentukan balai harta peninggalan bagi orang Indonesia asli.

            Dari sudut pandangan inilah dapat dipahami, bahwa tujuan politik hukum adat sejak
tahun seribu sembilan ratus sepuluhan adalah untuk menghambat dan mengehentikan meluasnya
agama Islam yang mengandung “pembebasan” dengan membentuk semacam tandingan, yaitu
dengan memelihara adat kebiasaan dan menghidupkan kembali lembaga kuno yang sudah
hampir lenyap. Walaupun rapuh, Pengadilan Agama ternyata merupakan simbol dari kekuasaan
hukum Islam, yang bagi para ahli adat dan golongan ningrat sudah lama ingin menghapuskannya
bila mungkin. Masalah hukum waris dan bidang hukum keluarga oleh umat Islam dianggap
sebagai inti dari hukum agama-hal mana merupakan pertanda dari perkembangan Islam.

Tapi, Staatsblad 1931 No. 53 ini tidak dapat berjalan, karena pemerintah Hindia Belanda merasa
tidak cukup mempunyai anggaran belanja, yang dapat dilaksanakan dari Staatsblad ini adalah
ketentuan mengenai pencabutan hak kekuasaan Peradilan Agama dalam urusan pengangkatan
wali (Voogdij) dan dilimpahkan ke pengadilan Negeri. Terhadap penundaan ordonansi
Staatsblad 1931 No. 53, Ter Haar mengajukan kecaman keras. Secara argumentatif Ter Haar
mengajukan serangkaian pemikiran. Mengapa kompetensi Pengadilan Agama perlu
disederhanakan, yakni:

1)      Adanya dualisme peradilan (terutama dalam masalah waris) akan memakan waktu dan
biaya;

2)      Hukum waris Islam berhubungan dengan kenyataan masyarakat Jawa dan belim menjadi
hokum adat.

3)      Peradilan Agama berasal dari raja-raja feodal;

4)      Keputusan Pengadilan Agama terasa asing dari cara waris mewaris yang menjadi
kesadaran hukum rakyat.
Alasan-alasan Ter Haar kemudian mendapat tanggapan serius dari Pemerintah Kolonial Belanda
yang sesuai dengan kemampuan politik terencana untuk membatasi sarta mengurangi kompetensi
Peradilan Agama.

Alasan inilah yang kemudian melahirkan Staatsblad 1937 No. 116 yang mengubah kompetensi
Peradilan Agama yaitu menambah pasal 2a ayat (1) dalam Staatsblad 1882 no. 152 sehingga
menjadi sebagai berikut: Pengadilan agama hanya berwenang untuk memeriksa dan memutus
perselisihan hukum antara seorang suami istri yang beragama Islam, begitu juga perkara-
perkara lain tentang nikah, talak dan rujuk serta soal-soal perkara lain yang harus diputus oleh
hakim agama, menyatakan perceraian dan menetapkan bahwa syarat-syarat taklik talak sudah
berlaku, dengan pengertian bahwa dalam perkara-perkara tersebut hal-hal mengenai tuntutan,
pembayaran atau penyerahan harta benda adalah menjadi wewenang pengadilan biasa, kecuali
dalam perkara mahar (mas kawin) dan pembayaran nafkah wajib bagi suami kepada istri yang
sepenuhnya menjadi wewenang pengadilan Agama.

Dalam penjelasan sejarah tercatat bahwa teori Receptie tadi diambil alih menjadi politik hukum
Pemerintah Belanda yang ternyata dengan sistematis dan konsepsional digunakan untuk
mempersempit ruang gerak hukum Islam. Hasilnya adalah dikeluarkannya beberapa peraturan
yang menggeser eksitensi dan esensi pasal 75 dan 78 RR 1855, sehingga refleksi hukum Islam
semakin memudar dan akhirnya hilang”.

Sehubungan dengan hal tersebut, seorang ahli hukum Indonesia yakni Hazairin, justru
menentang teori resepsi ini. Ia mengemukakan bahwa seharusnya bagi orang Islam Indonesia
diberlakukan hukum Islam. Menurutnya teori resepsi yang telah menjadi darah daging ahli
hukum Indonesia yang dididik di zaman Belanda baik Jakarta maupun di Leiden adalah sebuah
teori iblis yang menentang Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, bagi Hazairin teori ini justru
melegitimasi pelanggaran terhadap hukum Islam.

Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa:

 Tahun 1882 adalah tahun di mana peradilan Agama secara formil menjadi satu badan
peradilan yang masuk dalam sistem kenegaraan, yakni 1 Agustus 1882. Karenanya tahun 1982
yang lalu diperingati sebagai satu abad Peradilan Agama;
 Pengakuan ini dianggap Snouck Hurgonye merugikan Belanda, karenanya ia mengeluarkan
teori Receptie menentang Van den Berg dan ahli hukum adat lainnya

Peradilan Agama Pada Masa Jepang (1942-1945).

Pada tahun 1942 Indonesia diduduki oleh Jepang. Pergeseran otoritas jajahan Jepang membawa
pada perubahan yang besar bagi masyarakat Indonesia. Perbedaan yang fundamental antara
imperialisme Jepang dengan imperialisme barat terletak pada karakter militernya, pemerintah
militer Jepang yang menguasai Indonesia pada gilirannya memegang semua urusan
pemerintahan kolonial. Sebagaimana yang dikatakan oleh Reid:

“Militer Jepang (angkatan laut dengan porsi yang lebih kecil daripada angkatan darat) sadar
sejak awal bahwa mereka mau tidak mau harus terlibat dalam perjuangan hidup atau mati dimana
orang-orang Asia Tenggara harus pula dilibatkan, walaupun harus mengorbankan tatanan
internal. Problem yang muncul dalam merekonsiliasi kontrol wilayah jajahan dan memobilisasi
masa perang memenuhi  keseluruhan periode Jepang ini, dengan tindakan kontrol yang semakin
dikorbankan ketika peperangan muncul melawan Jepang”[14].

Akibatnya pemerintah militer Jepang harus memikul tanggung jawab atas semua permasalahan
hukum dan administrasi, suatu peran yang tidak jauh berbeda yang sudah dialami oleh Belanda
sebelumnya. Penjajah Jepang yang memodifikasi beberapa bangunan struktural, memilih untuk
tidak terlalu merubah beberapa hukum dan peraturan yang ada, demi kemudahan admistrasi,
sebagaimana Belanda pada masa-masa awal penjajahannya, rezim Jepang sekarang
mempertahankan bahwa adat istiadat lokal, praktik-praktik kebiasaan, dan agama tidak boleh
dicampur tangani oleh pemerintah untuk sementara waktu dan hal-hal yang berhubungan dengan
urusan penduduk sipil, adat, dan hukum sosial mereka harus dihormati, dan pengaturan yang
khusus diperlukan  dalam rangka untuk mencegah munculnya segala bentuk perlawanan dan
oposisi yang tidak diinginkan[15].

Secara teoritis pemerintahan Jepang pada waktu itu berusaha untuk membuat pemisahan simbol
secara total dengan pemerintahan Belanda. Simbol kolonial yang menandakan pemerintah
Belanda dihapuskan, selain itu pergerakan-pergerakan yang pada masa penjajahan Belanda aktif
pada masa pemerintahan Jepang secara tegas dilarang. Tidak seperti pemerintahan Belanda yang
membuat sentralisasi administrasi di wilayah kekuasaanya di Indonesia, Jepang justru membagi
wilayah Indonesia ke dalam tiga zona administrasi, yaitu :

1.      Di Jakarta untuk mengatur Jawa dan Madura.

2.      Di Singapura yang mengatur Sumatera.

3.      Komando Angkatan Laut di Makassar yang mengatur keseluruhan Nusantara di luar tiga
pulau yang telah diatur di atas.

sebagai akibat dari pengurangan yang drastis dari jumlah para pegawai Belanda dalam kantor-
kantor pemerintahan, perubahan dalam organisasi peradilan juga harus terjadi. Pada tanggal 29
April 1942 pemerintahan bala tentara Dai Nippon mengeluarkan UU No 14 Tahun 1942 tentang
Pengadilan Bala tentara Dai Nippon[16] y/ang isinya bahwa Pemerintahan Jawa mengeluarkan
beberapa aturan yang dirancang untuk melarang transformasi lembaga peradilan. Sebagai
hasilnya, lembaga peradilan yang sekuler didirikan dimana bentuk peradilan lama diubah
namanya  dari bahasa Belanda kepada bahasa Jepang. Adapun susunan lembaga peradilan pada
masa pendudukan Jepang adalah sebagai berikut[17] :

1.      Tihoo Hooin yang berasal dari Landraad (Pengadilan Negeri).

2.      Keizai Hooin yang berasal dari Landgerecht (Pengadilan Kepolisian)

3.      Kein Hoin yang berasal dari Regetschapsgerecht (Pengadilan Kabupaten)

4.      Gun Hooin yang berasal dari Districtsge recht (Pengadilan Kewenangan)

5.      Kaikoo Kooto Hooin yang berasal dari Hof voor Islamietische Zaken (Mahkamah Islam


Tinggi)

6.      Sooyoo Hooin yang berasal dari Priesterrad (Rapat Agama), dan


7.      Gunsei Kensatu Kyoko terdiri dari Tihoo Kensatu Kyoko (Kebijaksanaan Pengadilan
Negeri) berasal dari Paket voor Landraden[18].

Sedangkan Hoogerechtshof  (Saiko Hooin) diunifikasikan menjadi satu lembaga peradilan yang


melayani semua golongan masyarakat, sementara Residentiegerecht yang pada masa kolonial
Belanda dikhususkan untuk mengadili golongan masyarakat Eropa pada masa penjajahan Jepang
dihapuskan. Langkah unifikasi yang dilakukan pada masa penjajahan Jepang tidak hanya pada
lembaga peradilan, tetapi juga dalam kantor kejaksaan. Jaksa yang bentukan terdahulu yang
bertugas menurut prosedur Hukum Eropa, dan Jaksa Indonesia yang bekerja menurut Landraad,
dikombinasikan kedalam Kensatu Kyoku. Jelas saja revolusi ini secara menggebu-gebu disambut
oleh pejuang Muslim, terutama di Sumatra, yang senantiasa berharap untuk dapat menjatuhkan
dominasi dari para tetua adat bersama pelindungnya, yaitu para pejabat Belanda.

Di Aceh misalnya, dan terutama di daerah Sumatra Utara, dimana pengadilan adat dikontrol
penuh oleh Uleebalang. Dukungan Belanda sejak Perang Aceh 1870-1900 M, kelompok Ulama
dan para komponen otoritas Uleebalang menjadi tulang punggung pendukung kelompok
sentimen pro Jepang. Akibat dari prinsip umum yang diterapkan oleh pemerintah militer Jepang
bahwa lembaga eksekutif dan lembaga peradilan harus dipisahkan, maka
otoritas Uleebalang pada pengadilan adatpun diruntuhkan, walaupun integritas dari otoritas
administratif mereka tetap dipertahankan. Hal ini dapat dicapai lewat reformasi lembaga politik
dan peradilan dari mesin kolonial tersebut. Jadi, kita melihat bahwa perbedaan antara wilayah
yang diatur secara langsung dan wilayah otonomi pada satu sisi, dengan pengadilan negeri dan
adat pada sisi lain, dihapuskan[19].

Kekuasaan jurisdiksi dari para Uleebalang sebagai hakim tunggal dalam lembaga peradilan yang
lebih rendah dengan begitu juga dihapuskan dan otoritas merekapun dihentikan. Di samping itu
kantor-kantor pengadilan penjajahan Belanda dan Residentiegerecht (Pengadilan Residen), yang
dibangun untuk masyarakat Eropa, difungsikan menjadi lembaga pengadilan tingkat pertama
yang diebut dengan Ku-Hooin. Demikian pula peradilan lain yang dirancang oleh Jepang, Tihoo
Hooin, menggantikan oleh pengadilan adat yang dikuasai oleh Uleebalang, Landraad, dan Raad
van Justitie dalam kompetensinya dalam tingkat pertama. Namun demikian, harus dikatakan
bahwa pola struktural dari pengadilan banding yang lama masih fungsional dalam tataran praktis
karena pemerintah kolonial Jepang tidak mampu menghapuskan secara keseluruhan yurisdiksi
etnis dari pengadilan-pengadilan adat yang ada sejak lama. Akan tetapi, rezim baru ini paling
tidak telah menampilkan semangat kemauan politis yang menjanjikan baik dalam term
institusional maupun politis, penghentian jabatan Uleebalang yang sangat dominan tersebut dan
administrasi peradilan lokal, memberikan sinyal harapan bagi bentuk pengakuan kepada hukum
Islam seiring dengan diperolehnya kekuatan kontrol oleh orang-orang Islam dalam praktik
peradilan.

Namun begitu, dalam arti yang lebih luas, prinsip yang fundamental bahwa “organisasi-
organisasi pemerintah yang harus dimanfaatkan semaksimal mungkin, dengan memberikan
penghormatan kepada struktur organisasi dan praktik masyarakat asli yang telah hidup sejak
lama dapat dilihat hanya sekedar bentuk propaganda anti Barat. Dalam tataran praktis,
pemerintahan Jepang tidak mampu membuang para pegawai dan ahli-ahli tekhnik Belanda
tersebut[20]. Jepang yang ejak awal merangkul elemen-elemen revolusioner, semakin kabur
dengan nilai-nilai ini karena ternyata tidak dapat berpaling dari kenyataan bahwa Jepang butuh
untuk mengonsolidasikan antara kekuasaan atas tanah dan penduduk anak negeri. Mereka
sebetulnya mencari keuntungan dari sikap keberpihakan yang radikal tersebut dalam rangka
mencari dukungan dari kekuatan-kekuatan otoritas tradisional. Oleh karena itu tidak
mengherankan apabila pada bulan November tahun 1942 Jepang membentuk suatu komite untuk
studi tentang adat dan sistem politik terdahulu yang tujuannya untuk mengetahui adat istiadat
dan lembaga pemerintahan yang terdahulu dari anak negeri, dan memberikan kontribusi
administrasi bagi administrasi Jawa[21].

Secara politis, pemerintahan Jepang yang dihadapkan pada kewajiban untuk menenangkan hati
para pendukung mereka pada masa-masa awal invasi, dipaksa untuk mengenyahkan para
administrator dari jabatan mereka, yang pada kenyataannya enantiasa konflik dengan hukum
Islam. Dalam beberapa hal, Jepang juga tidak mengizinkan adanya intervensi terhadap Hukum
Islam atau pengamalannya oleh penduduk asli. Islam pada akhirnya tidak lebih menjadi sebuah
alat bagi Jepang untuk mengonsolidasikan tujuan-tujuan politik Jepang di Indonesia. Islam, bagi
mereka merupakan alat yang efektif untuk melakukan penetrasi dalam kehidupan masyarakat
Indonesia, memungkinkan sebagai sarana infiltrasi nilai-nilai dan cita-cita Jepang ke dalam
masyarakat awam. Kepentingan yang digantungkan kepada Islam oleh kekuatan kependudukan
Jepang di Indonesia dapat disaksikan lewat kasus pembentukan Departemen Agama. Jepang
menggunakan lembaga ini untuk mengonsolidasikan posisi mereka di Indonesia dengan kiai dan
ulama, yang diharapkan akan mampu berperan sebagai pelaku transmisi ide-ide dan tujuan
Jepang ke dalam idiom dan budaya masyarakat awam Indonesia. Jadi ketertarikan Jepang dengan
Islam, sesungguhnya lebih dimotivasi oleh keinginan subjektif, ketimbang komitmen mereka
dalam hal integritas hukum Islam atau kemakmuran masyarakat Islam[22].

Dalam era peradilan, unifikasi lembaga-lembaga peradilan, pada dasarnya hanya dilandasi
kepada prinsip-prinsip rasial saja, hanya sedikit memberikan dampak perubahan. Pembagian
administrasi wilayah Indonesia dalam tiga kelompok pada dasarnya menghambat ide unifikasi
ini dalam arti yang lebih luas karena reformasi sistem peradilan nasional secara sungguh-
sungguh tidak pernah terbayangkan oleh pemerintah Jepang. Tidak banyak informasi yang dapat
diperoleh dalam perubahan lembaga peradilan ini. Dengan mengecualikan terhadap orang-orang
yang berkebangsaan Jepang sebagai subjek hukum dalam lembaga-lembaga peradilan militer
mereka sendiri. Fondasi untuk unifikasi lembaga peradilan yang menangani perselisihan-
perselisihan yang melibatkan semua kelompok masyarakat tetap berlangsung selama masa
pendudukan tersebut. Namun demikian, cukup megherankan bahwa perubahan yang substantif
dalam lembaga peradilan agama juga tidak ada. Dalam praktiknya, satu-satunya aksi yang dapat
dilakukan hanyalah mengubah nama-nama Belanda ke dalam istilah-istilah Jepang. Hal ini benar
untuk pusat-pusat penjajahan seperti Jawa dan Madura dimana pemerintah Belanda mengubah
nama lembaga peradilan agama dari Prieteraadden menjadi Soryoo Hooin[23]. Pengadilan
agama tersebut tetap memiliki fungsi yang sama selama dibawah penjajahan Jepang dengan
masa penjajahan Belanda. Lembaga-lembaga peradilan di Jawa dan Madura menjalankan tugas-
tugas mereka seperti biasa, menangani kasus-kasus perkawinan, kadang-kadang bertindak dalam
hal kewarisan. Sedangkan peradilan diluar Jawa dan Madura masih memiliki wilayah
yurisprudensi yang lebih luas dibanding lembaga-lembaga di Jawa dan Madura, diantaranya
termasuk menangani masalah kewarisan.

Sebenarnya pernah ada usaha yang dilakukan untuk mengakhiri Peradilan Agama pada waktu
pemerintahan Jepang, yaitu ketika Soepomo mengajukan usulan kepada pemerintahan Jepang
untuk menghapuskan peradilan Agama. Bersamaan dengan proposal yang diajukan oleh
Soepomo kepada pemerintahan Jepang, pada tanggal 14 April 1943 datang pula usulan dari
Jepang yang berisi untuk meniadakan Peradilan Agama karena Jepang menginginkan adanya
pemisahan antara urusan pemerintahan dengan urusan agama di wilayah Indonesia. Mengenai
pengamalan hukum Islam, Jepang tidak melarang dan menyerahkan sepenuhnya masalah
keyakinan dan tata cara menjalankannya kepada masyarakat Indonesia tanpa ada campur tangan
dari pemerintah. Namun rekomendasi ini tidak pernah terlaksana karena pihak Jepang khawatir
akan timbul pemberontakan dan perlawanan dari mayarakat Islam di Indonesia. Namun
demikian, fenomena mengenai tidak terlaksananya rekomendasi Jepang ini sebenarnya lebih
dikarenakan pendudukan Jepang di Indonesia yang hanya sebentar saja. Pada akhirnya, Peradilan
Agama pada masa penjajahan Jepang ini tidak mengalami perubahan seperti pada masa
penjajahan Belanda[24]

PENUTUP

A.    Kesimpulan.

Dari pembahasan dari makalah tersebut, dapat kita ambil beberapa kesimpulan yaitu, apabila kita
berbicara mengenai peradilan pada masa penjajahan Jepang, langkah awal yang perlu kita
ketahui adalah mengetahui tentang definisi peradilan itu sendiri. Kata Peradilan berasal dari kata
adil, mendapat awalan per dan akhiran an. Kata peradilan sebagai terjemahan dari
kata Qadla  yang artinya memutuskan, melaksanakan, dan menyelesaikan. Disamping arti
menyelesaikan dan menunaikan seperti diatas, qadla dapat pula berarti memutuskan hukum atau
menetapkan suatu ketetapan. Menurut para pakar peradilan, arti yang terakhir itulah yang
menurutnya yang paling signifikan atau paling benar.

Putusan sebagai produk dari peradilan, erat kaitannya dengan ijtihad dan fatwa.  Sedangkan
putusan berbeda dengan qadla, perbedaan itu terdapat pada beberapa hal sebagai berikut :

Pertama, mufti dapat menolak untuk memberikan suatu fatwa sedangkan qadla atau peradilan
tidak boleh menolak para pihak yang mengajukan permohonan keadilan, sekalipun dengan
alasan bahwa aturan tersebut belum ada.
Kedua, qadla dasarnya atau didasarkan pada fakta (kenyataan) yang dicari oleh hakim, sehingga
hakim harus memutus sesuai dengan fakta. Sedangkan fatwa dasarnya adalah ilmu
(pengetahuan), sehingga mufti harus memberikan fatwa sesuai dengan ilmu yang dimilikinya.

Ketiga, putusan itu mempunyai daya paksa atau harus dituruti, sehingga negara dapat
memaksakan putusan tersebut untuk dilaksanakan, sedangkan fatwa tidak mengharuskan
seseorang untuk mengikutinya sehingga negara tidak dapat campur tangan untuk melaksanakan
fatwa tersebut.

Keempat, fatwa tidak boleh dibatalkan, sedangkan qadla boleh atau bisa dibatalkan oleh lembaga
yang lebih tinggi.

Kelima, fatwa merupakan produk pribadi sedangkan qadla (putusan) adalah produk negara.

Kata Peradilan Islam jika tidak digabung atau disambung dengan Kata “Indonesia” maka yang
dimaksud adalah peradilan menurut konsep Islam secara universal. Untuk menghindari
kekeliruan dalam pemahaman, Peradilan Islam di Indonesia cukup dengan menggunakan istilah
Peradilan Agama. Peradilan Agama adalah sebutan resmi bagi salah satu dari keempat
lingkungan Pengadilan Negara atau Kekuasaan Kehakiman yang sah di Indonesia. Peradilan
Agama adalah salah satu dari Peradilan Negara di Indonesia yang sah, yang bersifat khusus, yang
berwenang dalam perkara perdata Islam tertentu, dan hanya bagi orang-orang Islam Indonesia.

Setelah mengetahui mengenai peradilan Islam Indonesia, berikutnya yang harus diketahui adalah
keadaan sosial politik pada waktu Jepang menjajah Indoneia. Jepang memulai invasinya di
Indonesia dan mendarat pertama kali pada tanggal 11 Januari 1942 dan mendarat di Tarakan,
Kalimantan Timur. Pada saat pertama kali datang ke Indonesia, Jepang membawa propaganda-
propagandanya untuk menarik perhatian Masyarakat Indonesia. Jepang membuat gerakan-
gerakan untuk mendukung program propaganda yang diusungnya tersebut diantaranya adalah
3A, Poetra, Peta dan lain-lain. Pada awal kedatangannya di Indonesia Jepang disambut seolah
Pahlawan karena selalu membicarakan tentang kemerdekaan bangsa-bangsa Asia. Jepang
mendekati para tokoh-tokoh nasionalis Indonesia dan para Ulama yang berpengaruh serta
menggunakan Islam sebagai alat politiknya untuk pertama kalinya. Semakin lama kependudukan
Jepang di Indonesia, mulai terlihatlah bahwa Jepang hanya memanfaatkan Indonesia dan hanya
ingin menguasai sumber daya yang ada di Indonesia dengan menjajahnya. Hal tersebut mulai
terlihat ketika ada peraturan mengenai Kerja Paksa, dan adanya penipuan dengan menjadikan
gadis-gadis di Indonesia sebagai wanita penghibur di camp-camp mereka, dan masih banyak
kebijakan-kebijakan Jepang yang menyengsarakan Rakyat Indonesia. Hal ini mendorong Rakyat
Indonesia untuk melawan balik terhadap Jepang hingga Jepang menyatakan menyerah tanpa
syarat kepada Sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945 sehingga Bangsa Indonesia memperoleh
kemerdekaannya.

Pada awal kependudukan Militer Jepang di Indonesia, Pemerintah Militer Jepang begitu faham
kondisi sosial keagamaan dari masyarakat Indonesia sehingga Pemerintah Militer Jepang
mempolitisasi Islam di Indonesia sebagai alat untuk menanamkan pengaruhnya di Indonesia.
Diantara usaha Jepang untuk menanam pegaruhnya dalam rangka mencari dukungan masyarakat
Muslim Indonesia dan menjajah Indonesia adalah dengan mendirikan berbagai instansi dan
organisasi seperti pendirian Kantor Urusan Agama (Shumubu), Gerakan 3A yang di dalamnya
terdapat PPUI (Persiapan Persatuan Umat Islam), Pembentukan Masyumi, Peta dan lain
sebagainya. Sementara untuk memuluskan perjalanannya, Jepang juga merangkul tokoh-tokoh
Islam perkotaan dan Pedesaan. Tokoh Nasionalis juga dirangkul Jepang sebagai kekuatan
penyeimbang.

Setelah mengetahui definisi Peradilan Islam, kondisi sosial masyarakat pada waktu
kependudukan Jepang di Indonesia, dan Politik pemerintahan Jepang terhadap Islam barulah
dibahas mengenai Peradilan Agama pada masa penjajahan Belanda agar memperoleh
pemahaman yang utuh. Peradilan Agama pada masa penjajahan Jepang secara substansial tidak
mengalami perubahan secara substansial. Pada masa penjajahan Jepang peradilan Agama hanya
dirubah namanya dalam bahasa Jepang  menjadi Sooryoo Hooin untuk Pengadilan Agama
dan Kaikoo Kootoo Hooin untuk Pengadilan Tinggi Agama. Keberadaan Pengadilan Agama
pada masa penjajahan Jepang pernah terancam akan ditiadakan sejak ada usulan dari Mr.
Soepomo kepada pemerintah Jepang pada tahun 1944. Bersamaan dengan usulan tersebut
muncul saran dari Jepang pada 14 April 1945 yang mengatakan bahwa di Indonesia antara
Agama dan negara harus dipisah, pengamalan mengenai agama termasuk pengadilan Agama
harus diserahkan secara penuh kepada masyarakat dan negara tidak boleh mencampurinya.
Tetapi usulan-usulan tersebut tidak pernah terealisasi karena bangsa Indonesia telah memperoleh
kemerdekaannya.
Peradilan Agama zaman penjajahan Belanda dan Jepang

                                                                             BAB I

PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG

Berbicara tentang peradilan agama di Indonesia tidak akan lepas dari sejarah yang melatar
belakanginya, ada empat produk hukum yang mempengaruhi berlakunya hukum di Indonesia,
yaitu hukum adat masyarakat asli sebagai warga pribumi, hukum Eropa daratan (kontinental)
yang dikenal dengan civil law, hukum Eropa kepulauan yang dikenal dengan nama common law
atau Anglo Saxon yang dibawa oleh penjajah Belanda, serta hukum Islam sebagai produk
pemahaman Islam yang dipopulerkan oleh penduduk muslim Indonesia pada masa kerajaan-
kerajaan Islam.
Peradilan Islam dalam sejarahnya mengalami pasang surut, itu mungkin tidak lepas dari
kenyataan adanya beberapa produk hukum yang berbeda yang saling mengambil tempat untuk
bisa eksis dan diaplikasikan di Indonesia oleh masing-masing penggagasnya, keadaan sosial
masyarakat, sistem pemerintahan yang sedang berkuasa, sangat mempengaruhi perkembangan
Peradilan Islam di Indonesia.

Hal-hal tersebut bisa terlihat dari potret sejarah perjalanan Peradilan agama. Penulis menilai ini
sangat menarik sekali untuk dikaji karena akan memberikan gambaran kepada kita faktor-faktor
yang mempengaruhi pasang surut perjalanan Peradilan Agama di Indonesia, sehingga mungkin
akan menumbuhkan sikap tertentu dan paradigma baru yang akan membawa kepada masa depan
Peradilan Agama yang lebih baik lagi, karena bagaimanapun juga ini merupakan salah satu
simbol kebesaran Islam yang ada di Indonesia.

B.     RUMUSAN MASALAH

Penulis membatasi pembahasan dalam penulisan ini pada masalah-masalah sebagai berikut :

1.      Bagaimana sejarah perjalanan Peradilan Agama pada Masa Penjajahan Belanda ?

2.      Bagaimana sejarah perjalanan Peradilan Agama pada Masa Penjajahan Jepang ?

C.    METODOLOGI PENULISAN

Kajian ini adalah merupakan bentuk penelitian kualitatif, yang menekankan kajian kepustakaan
(library research) untuk mencari data-data tentang sejarah Peradilan Agama melalui pendekatan
Teori Sosial, Tata Negara, dan Living Law, sehingga diharapkan akan ditemukan sebuah
gambaran tentang tumbuh kembang Peradilan Agama pada saat itu serta factor-faktor yang
mempengaruhinya, baik kondisi sosial, politik, maupun budaya saat itu.

D.    SISTEMATIKA PENULISAN

Untuk memudahkan pemahaman serta terfokusnya penulisan ini, penulis menyusunnya dengan
sistematima sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Berisi tentang latar belakang, runusan masalah, serta sistematika penulisan.


BAB II : PEMBAHASAN

Berisi pemaparan tentang sejarah Peradilan Agama pada masa penjajahan Belanda, yang
meliputi tiga periode, masa transisi, masa tahun 1882-1837. Dan masa setelah tahun 1937 sampai
penjajahan Jepang. Kemudian perjalanan Peradilan Agama pada masa pendudukan Jepang
sampai merdeka.

BAB III : KESIMPULAN DAN PENUTUP

BAB II

PEMBAHASAN

A.    SEJARAH PERADILAN ISLAM PADA MASA PENJAJAHAN BELANDA

Dalam memahami potret perjalanan peradilan agama di Indonesia pada masa penjajahan, dapat
di klasifikasi menjadi beberapa periode, yaitu era sebelum tahun 1882 pada masa kerajaan-
kerajaan dan awal pendudukan belanda dan masa setelah belanda melancarkan politik hukum,
setelah tahun 1882 sampai sekitar tahun 1937, dari sekitar tahun 1937 sampai pendudukan
jepang, dan era setelah pendudukan jepang sampai Indonesia merdeka. Berikut ini akan
dipaparkan secara detail perjalanan peradilan agama dalam periode-periode tersebut.  

a.      Sebelum tahun 1882 (masa transisi)

Sebelum belanda melancarkan politik hukumnya di Indonesia, hukum Islam sebagai hukum yang
berdiri sendiri telah mempunyai kedudukan yang kuat, baik di masyarakat maupun dalam
peraturan perundang-undangan negara. Kerajaan-kerajaan islam yang pernah berdiri di Indonesia
melaksanakan hukum islam dalam wilayah kekuasaannya masing-masing, dengan timbulnya
komunitas-komunitas masyarakat Islam, maka kebutuhan akan lembaga peradilan yang memutus
perkara berdasarkan hukum Islam makin diperlukan.

Masyarakat pada masa kerajaan sampai awal kolonial belanda berkuasa dengan rela dan patuh
serta tunduk mengikuti ajaran-ajaran Islam dalam berbagai dimensi kehidupan. Namun, keadaan
itu kemudian menjadi terganggu dengan munculnya kolonialisme barat yang membawa misi
tertrentu, mulai dari misi dagang, politik bahkan sampai misi kristenisasi.

Peradilan Agama di masa raja-raja Islam diselenggarakan oleh para penghulu, yaitu pejabat
administrasi kemasjidan setempat. Sidang-sidang pengadilan agama pada masa itu biasanya
berlangsung di serambi masjid, sehingga pengadilan agama sering pula disebut “pengadilan
serambi”. Kelembagaan Peradilan Agama sebagai wadah, dan hukum Islam sebagai muatan isi
pokok pegangan dalam menyelesaikan dan memutus perkara, tidak dapat dipisahkan. Pada masa
kekuasaan kerajaan Islam lembaga peradilan agama termasuk bagian tak terpisahkan dengan
pemerintahan umum, para ulama yang memegang kekuasaan dalam Peradilan Agama merupakan
penghulu kraton yang mengurus keagamaan islam dalam semua aspek kehidupan. Kewenangan
Peradilan Agama yang diselenggarakan oleh pihak keraton tersebut sangat luas mencakup
perbagai permasalahan kemasyarakatan dan kerajaan.

Eksistensi Peradilan Agama yang di praktekkan tersebut merupakan bukti bahwa hukum Islam
telah mampu melebur dengan hukum adat Indonesia, dan justru lebih bisa di terima oleh
masyarakat. Hal ini tentu tidak terlepas dari keadaan sosial masyarakat saat itu yang
mayoritasnya sudah memeluk agama Islam, selain itu kekuasaan pemerintahan kerajaan juga
sangat mendukung aktifnya Peradilan Agama.

Setelah Belanda datang ke Indonesia dan mulai menjajah, dengan VOC yang merupakan badan
persatuan pedagang yang sekaligus berfungsi sebagai badan pemerintahan mereka di Indonesia,
keadaan sedikit berubah, mereka berusaha mengikis eksistensi Peradilan Agama yang
diparaktekkan oleh warga pribumi melalui kebijakan-kebijakan mereka, pada tanggal 4 maret
1620 mereka mengeluarkan instruksi agar di semua daerah yag dikuasai VOC harus
diberlakukan Hukum Sipil Belanda. usaha mereka ini tidak berhasil karena tidak diterima oleh
masyarakat, dan bahkan mereka banyak yang melakukan perlawanan.
Pada tanggal 25 mei 1760 berlakunya Hukum Islam di akui oleh VOC melalui Resolutie der
Indische Regeling, yaitu berupa kumpulan aturan Hukum Perkawinan dan Hukum Kewarisan
menurut Hukum Islam.

Hal ini mungkin disebabkan karena sistem pemerintahan Belanda belum kuat kekuasaannya, dan
juga idealisme serta fanatisme keberagamaan masyarakat Indonesia pada saat itu yang sangat
kuat sekali, sehingga upaya pemerintah Belanda untuk menekan Peradilan Agama dan
memasukkan hukum Eropa kurang berjalan lancar.

Kemudian pada masa Gubernur Jenderal Daendels (1808-1811) Pengadilan  Agama belum
berdiri sendiri sebagai lembaga independen, meskipun demikian untuk daerah Banten, daendels
membiarkan adanya Pengadilan Penghulu yang dapat praktik memutuskan perkara-perkara
kekeluargaan menurut hukum Islam. Di daerah-daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur, walaupun
tidak ada Pengadilan Agama di setiap landgerecht diikut sertakan seorang penghulu yang akan
ikut memberikan pertimbangan bila ketua (bupati) Landoros  beserta anggota akan memutuskan
perkara./ untuk setiap viredesqerecht di Jawa Tengah dan Jawa Timur diangkat seorang
penghulu sebagai anggota dan viredesqerecht ini akan memutuskan perkara-perkara kecil
misalnya perselisihan-perselisihan dalam perkawinan, penganiayaan, utang piutang, dan
sebagainya.

Seperti halnya VOC, Daendels menganggap hukum adat jawa yang terdiri dari hukum Islam
adalah lebih rendah derajatnya dari hukum Eropa, oleh karena itu tidak cukup baik untuk orang
Eropa. Hal ini tampak jelas ketika terjadi seorang Eropa melakukan kejahatan bersama-sama
dengan orang Jawa asli, maka yang berhak untuk mengadili mereka adalah Raad van Justitie dan
hukum materil yang diterapkan adalah hukum Eropa.

Pada tahun 1830 pemerintahan belanda menempatkan peradilan agama di bawah pengawasan
“landraad” (pengadilan negeri). Hanya lembaga landraad yang berkuasa untuk memerintahkan
pelaksanaan putusan Pengadilan Agama dalam bentuk “excecutoire verklaring” (pelaksanaan
putusan), Pengadilan Agama tidak berwenang untuk menyita barang dan uang.

Dapat disimpulkan bahwa potret peradilan agama pada awal penjajahan Belanda sudah
beroperasi secara maksimal, diakui dan diterapkan oleh kerajaan-kerajaan di Indonesia,
walaupun belum diakui sebagai lembaga resmi yang independen oleh Belanda. hal ini bisa terjadi
karena memang pengaruh Islam kuat sekali, kemudian pengakuan dan legitimasi yang diberikan
oleh penguasa juga sangat mendorong berdirinya peradilan agama dan diakui keberadaannya
serta aktualisasinya. Ini sesuai dengan teori living law dan teori hukum ketatanegaraan. Peradilan
Agama pada mulanya masih eksis dan memiliki peran penting pada masa awal penjajahan
belanda, ini karena sesuai dengan teori living law hukum yang hidup di masyarakat  dan yang
mempengaruhi pola pikir mereka adalah hukum Islam, namun ketika belanda berkuasa dan
melancarkan politik hukumnya, peradilan agama dengan hukum Islam yang diusungnya
bersinggungan dengan hukum Eropa dan hukum adat, ketika terjadi gap semacam ini maka
kebijakan penguasalah yang paling menentukan, pemerintah belanda dalam hal ini ingin
menyingkirkan peradilan agama walaupun masyarakat mayoritas muslim, ini tentunya tidak
lepas dari pertimbangan politik dari mereka, seperti terancamnya kekuasaan, ketakutan akan
fanatisme yang berlebihan dari rakyat jajahan, dsb. 

b.      Sesudah tahun 1882 sampai tahun 1937 (Pemerintahan Belanda I)

Setelah masa Daendels sekitar tahun 1845,  banyak ahli hukum dan ahli kebudayaan Belanda
mengakui bahwa dikalangan masyarakat Indonesia Islam merupakan agama yang sangat
dijunjung tinggi oleh pemeluknya. Penyelesaian masalah kemasyarakatan senantiasa merujuk
kepada ajaran agama Islam, baik itu soal ibadah, politik, ekonomi dan kemasyarakatan lainnya.
Atas fenomena ini, maka para pakar hukum Belanda berkeyakinan bahwa ditengah-tengah
komunitas itu berlaku hukum Islam, termasuk dalam mengurus peradilan pun diberlakukan
undang-undang agama Islam.

Bukti Hindia Belanda secara tegas mengakui bahwa UU Islam (hukum Islam) berlaku bagi orang
Indonesia yang bergama Islam. Pengakuan ini tertuang dalam peraturan perundang-undangan
tertulis pada 78 reglement op de beliedder regeerings van nederlandsch indie disingkat
dengan regreeings reglement (RR)  staatsblad tahun 1854 No. 129 dan staatsblad tahun 1855 No.
2. Peraturan ini secara mengakui bahwa telah diberlakukan undang-undang agama
(godsdienstige wetten) dan kebiasaan penduduk Indonesia yang notabenenya beragama Islam.

Pasal 78 RR berbunyi: “dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Indonesia asli atau
dengan orang yang dipersamakan dengan mereka, maka mereka tunduk pada putusan hakim
agama atau kepada masyarakat mereka menurut UU agama atau ketentuan-ketentuan lama
mereka”.

Lahirnya firman Raja Belanda (Koninklijk Besluit) tanggal 19 Januari 1882 Nomor 24, yang
dimuat dalam Staatsblad 1882 No. 152 telah mengubah susunan dan status Peradilan Agama.
serta pengakuan dan pengukuhan akan keberadaan Pengadilan Agama yang telah ada
sebelumnya, ini adalah merupakan tonggak sejarah yang sangat penting bagi Peradilan Agama,
dengan adanya Staatblad 1882 no.152 yang di keluarkan pada tanggal 1 Agustus 1882 ini[6],
maka secara yuridis formal Peradilan Agama sebagai suatu badan peradilan yang terkait dengan
sistem kenegaraan untuk pertama kali lahir di Indonesia. 

Adapun wewenang Pengadilan Agama yang disebut dengan "preisterraacf'”, menurut Noto


Susanto (1963: 7) perkara-perkara itu umumnya meliputi : pernikahan, segala jenis perceraian,
mahar, nafkah, keabsahan  anak, perwalian, kewarisan, hibah, waqaf, shadaqah, dan baitul mal,
yang semuanya erat dengan agama Islam,

Staatblad 1882 no.152 berisi tujuh pasal yang maksudnya adalah sebagai berikut:

Pasal 1

Disamping setiap landraad (pengadilan negeri) di jawa dan madura diadaklan satu Pengadilan


Agama, yang wilayah hukumnya sama dengan wilayah hukum landraad.

Pasal 2

Pengadilan Agama terdiri atas; penghulu yang diperbantukan kepada landroad sebagai ketua.
Sekurang-kurangnya tiga dan sebanyak-banyaknya delapan orang ulama Islam sebagai anggota.
Mereka diangkat dan diberhentikan oleh gubernur/residen

Pasal 3

Pengadilan agama tidak boleh menjatuhkan putusan, kecuali dihadiri oleh sekurang-kurangnya
tiga anggota trermasuk ketua. Kalau suara sama banyak, maka suara ketua yang menentukan.

Pasal 4
Putusan pengadilan agama dituliskan dengandisertai dengan alasan-alasannya yang singkat, juga
harus diberi tanggal dan ditandatangani oleh para anggota yang turut memberi keputusan. Dalam
berperkara itu disebutkan pula ongkos yang dibebankan kepada pihak-pihak yang berperkara.

Pasal 5

Kepada pihak-pihak yang berperkara harus diberikan salinan surat keputusan yang
ditandatangani oleh ketua.

Pasal 6

Keputusan pengadilan agama harus dimuat dalam suatu daftar dan harus diserahkan kepada
residen setiap tiga bulan sekali untuk memperoleh penyaksian (visum) dan pengukuhan

Pasal 7

Keputusan pengadilan agama yang melampaui batas wewenang atau kekuasaannya atau tidak
memenuhi ketentuan ayat (2), (3), dan (4) tidak dapat dinyatakan berlaku

Selain Peradilan Agama pada saat itu terdapat lima buah tatanan peradilan, yaitu :

1.      Peradilan Gubernemen, tersebar di seluruh daerah Hindia-Belanda

2.      Peradilan Pribumi, tersebar di luar Jawa dan Madura, yaitu di Karesidenan Aceh, Tapanuli,
Sumatera Barat, Jambi, Palembang, Bengkulu, Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan
Timur, Manado dan Sulawesi, Maluku, dan di pulau Lombok dari Karesidenan Bali dan
Lombok.

3.      Peradilan Swapraja, tersebar hamper di seluruh daerah swapraja, kecuali di Pakualaman


dan Pontianak.

4.      Peradilan Agama, tersebar di daerah-daerah tempat Peradilan Gubernemen, di daerah-


daerah dan menjadi bagian dari Peradilan Pribumi, atau di daerah-daerah swapraja dan menjadi
bagian dari peradilan swapraja.

5.      Peradilan Desa, tersebar di daerah-daerah tempat berkedudukan Peradilan Gubernemen.


Disamping itu ada juga Peradilan Desa yang merupakan bagian dari Peradilan Pribumi atau
Peradilan Swapraja.
Pengakuan hukum Islam yang berlaku bagi orang Indonesia pada waktu itu sangat dipengaruhi
oleh pemikiran hukum sarjana barat L.W.C. Van De Berg, dia sebagai penasehat kerajaan
Belanda adalah konseptor Staatblad 1882 no.152[7]. Dia mengemukakan sebuah teori yang
disebut teori “receptio in complexu”, Teori ini digagas oleh Salomon Keyzer yang belakangan
dikaitkan oleh Lodewijk Willem Christian van den Berg (1854-1927). Maksud teori ini, adalah
“hukum mengikat agama yang dianut seseorang. Jika orang itu memeluk agama Islam, hukum
Islamlah yang berlaku baginya. Dengan kata lain teori ini menyebut bagi rakyat pribumi yang
berlaku bagi mereka adalah hukum agamanya, walaupun terjadi penyimpangan-penyimpangan
dalam prakteknya”.

Teori ini diangkat dari kenyataan yang menunjukkan bahwa sebelum VOC berkuasa di Indonesia
banyak kerajaan-kerajaan tersebut diterapkan norma-norma Hukum Islam. Kerajaan-kerajaan
yang memberlakukan Hukum Islam antara lain kerajaan Samudra Pasai, Kesultanan Demak,
Kesultanan Mataram, Cirebon, Banten, Ternate, Kesultanan Buton, Sumbawa, Kalimantan
Selatan, Kutai, Pontianak, Surakarta, dan Palembang. Di Wilayah kerajaan tersebut diberlakukan
Hukum Islam dan ada lembaga peradilan agama, dengan pertimbangan ini maka sudah
seharusnya Peradilan Agama ada, termasuk juga di Batavia yang merupakan pusat pemerintahan
Hindia Belanda[8].  

           c.       Setelah tahun 1937 (Pemerintahan Hindia Belanda II)

Teori Receptio In Complexu yang dikemukakan Van De Berg yang melatar belakangi
munculnya stanblaad tahun 1882 no.153 mendapat kritikan tajam oleh Snouck Horgronje karena
teori Receptio In Complexu bertentangan dengan kepentinggan-kepentingan pemerintah Hindia
Belanda, dan akhirnya dia mengemukakan teori Receptio.

Menurut teori Receptio dinyatakan “hukum yang berlaku di Indonesia adalah hukum adat asli.
Hukum Islam baru mempunyai kekuatan kalau dikehendaki dan diterima oleh hukum adat”.
Maka dari itu sudah selayaknya jika diterapkan adanya kebijakan bahwa hukum Islam bisa
diterapkan sepanjang tidak bertentangan dengan hukum adat[9].

Pada tahun 1937 munculah Staatsblad 1937 Nomor 116, dengan stanblaad ini berarti telah
mengurangi kompentensi pengadilan agama di Jawa dan Madura daIam bidang perselisihan harta
benda, yang berarti masaIah wakaf dan waris harus diserahkan kepada pengadilan negeri, mereka
(Pemerintah Kolonial Belanda) berdalih, bahwa dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat,
hukum Islam tidak mendalam pengaruhnya pada aturan-aturan kewarisan dalam keluarga Jawa
dan Madura serta di tempat-tempat lain diseluruh Indonesia.

Wewenang Pengadilan Agama di Jawa dan Madura berdasarkan ketentuan baru pasal 2a
Staatblad 1837 meliputi perkara-perkara sebagai berikut[10] :

1.      Perselisihan antar suami istri yang beragama Islam

2.      Perkara-perkara tentang : a. nikah, b. talak, c. rujuk, dan d. perceraian antara orang-orang


yang beragama Islam yang memerlukan perantaraan hakim agama islam

3.      Menyelenggarakan perceraian

4.      Menyatakan bahwa syarat untuk jatuhnya talak yang digantungkan (ta’liq al thalaq) telah
ada.

5.      Perkara mahar atau mas kawin.

6.      Perkara tentang keperluan kehidupan isteri yang wajib diadakan oleh suami.

Teori receptio bertujuan untuk mengetahui peranan hukum Islam dengan mengedepankan hukum
adat atau bahkan mengganti hukum Islam dengan hukum adat. Selain itu bertujuan untuk
memperkuat pemerintah kolonial dan adanya kepentingan pemerintah kolonial dalam
penyebaran agama kristen di wilayah Hindia Belanda.

Dengan ini pemerintah Belanda melegislasi Peradilan Agama, namun dengan terselubung
bermaksud mematikan Peradilan Agama dengan cara sedikit demi sedikit mengurangi
kewenangan serta membiarkan tanpa pembinaan.

B.     SEJARAH PERADILAN ISLAM PADA MASA PENDUDUKAN JEPANG

Tahun 1942 adalah tahun Indonesia diduduki oleh Jepang. Kebijaksanaan pertama yang
dilakukan oleh Jepang terhadap perundang-undangan dan pengadilan ialah bahwa semua
peraturan perundang-undangan yang berasal dari pemerintahan Belanda dinyatakan tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan. Peradilan Agama tetap dipertahankan dan tidak mengalami
perubahan, Sooryoo hoon untuk Radd Agama dan Kaikiooo Kottoo Hooin untuk Mahkamah
Islam Tertinggi, berdasarkan aturan peralihan pasal 3 bala Jepang (Osanu Seizu) tanggal 07
maret 1942 No.1.

Pada zaman Jepang, posisi pengadilan agama tetap tidak akan berubah kecuali terdapat
perubahan nama menjadi Sooryo Hooin. Pemberian nama baru itu didasarkan pada aturan
peralihan pasal 3 Osanu Seizu tanggal 7 maret 1942 No. 1. Pada tanggal 29 April 1942,
pemerintah balatentara Dai Nippon mengeluarkan UU No. 14 tahun 1942 yang berisi
pembentukan Gunsei Hoiin (pengadilan pemerintah balatentara). Dalam pasal 3 UU ini
disebutkan bahwa Gunsei Hooin terdiri dari :

1.      Tiho hooin (pengadilan negeri)

2.      Keizai hooin (hakim poloso)

3.      Ken hooin (pengadilan kabupaten)

4.      Kaikioo kootoo hoin (mahkamah Islam tinggi)

5.      Sooryoo hoon (raad agama)

Pada masa pendudukan Jepang kedudukan pengadilan agama pernah terancam yaitu tatkala pada
akhir Januari 1945 pemerintah bala tentara Jepang (guiseikanbu) mengajukan pertanyaan pada
Dewan Pertimbangan Agung (Sanyo-Aanyo Kaigi Jimushitsu) dalam rangka Jepang akan
memberikan kemerdekaan pada bangsa Indonesia yaitu bagaimana sikap dewan ini terhadap
susunan penghulu dan cara mengurus kas masjid, dalam hubungannya dengan kedudukan agama
dalam negara Indonesia merdeka kelak.

Akan tetapi dengan menyerahnya Jepang dan Indonesia memproklamirkan kemerdekaan opada
tanggal 17 agustus 1945, maka pertimbangan dewan pertimbangan agung bikinan Jepang itu
mati sebelum lahir dan peradilan agama tetap eksis disamping peradilan-peradilan yang lain.

Dapat disimpulkan bahwa Peradilan Agama pada masa pendudukan Jepang ini baik posisi
maupun wewenangnya tidak mengalami perubahan yang berarti, justru Jepang lebih bersikap
terbuka terhadap Islam dengan pengakuan dan pengukuhan adanya Peradilan Agama, hanya
istilah penyebutannya saja yang berbeda, ini tentunya tidak terlepas dari kepentingan Jepang saat
itu yang posisinya sedang kritis dan terjepit sebagai dampak dari perang dengan tentara sekutu,
jadi saat mereka dalam keadaan lemah seperti ini tidak mungkin mereka merusak hubungan
dengan kaum muslim di Indonesia, langkah yang diambil adalah sikap lentur terhadap Islam
termasuk lembaga Peradilan Agama.

BAB III

KESIMPULAN DAN PENUTUP

             a.      Kesimpulan

Dari penjelasan yang telah dipaparkan di Atas, penulis dapat menyimpulkan beberapa poin
diantaranya sebagai berikut :

1.      Perjalanan sejarah Peradilan agama mengalami pasang surut dalam hal posisi dan
kewenangannya, ini tidak lepas dari faktor keadaan politik dan kebijakan penguasa, keadaan
sosio historis masyarakat, serta gap antara empat hukum yang tumbuh dan berkembang di
Indonesia, hukum Islam, hukum adat, hukum darat Eropa (civil law), dan hukum kepulaun Eropa
(common law)

2.      Perubahan Perbedaan posisi serta wewenang Peradilan Agama dapat dibedakan


berdasarkan periodesasi : masa transisi (awal penjajahan Belanda sampai tahun 1882), masa
Hindia Belanda I (tahun 1882), masa Hindia Belanda II (tahun 1937), dan masa pendudukan
Jepang (1942). Perbedaan posisi dan wewenang Peradilan Agama dalam setiap periode beserta
faktor yang mempengaruhinya dapat disimpulkan sebagai berikut :

A.    Masa Transisi (awal penjajahan sampai 1882) :

a.       Awal kolonial

ü  Eksistensi :

Peradilan Serambi (PA eksis dalam masyarakat, belum terlembaga dalam sistem kenegaraan)

ü  Wewenang :

Hampir semua permasalahan masyarakat yang berhubungan dengan apapun.

ü  Faktor yang mempengaruhi :

1.      Keadaan sosial masyarakat

2.      Pengaruh Islam yang kuat

3.      Sesuai dengan Teori Living law

b.      Masa VOC (1620)

ü  Eksistensi :

o   Peradilan Agama hampir tersingkirkan,

o   VOC ingin memberlakukan Hukum Sipil Belanda pada daerah kekuasannya. 

ü  Wewenang :

Hukum Kewarisan ingin diambil alih juga oleh Belanda.

ü  Faktor yang mempengaruhi :

Kepentingan politik Belanda

c.       Masa tahun 1760

ü  Eksistensi :
Berlakunya hukum perdata Islam diakui Belanda dengan Resolutie Der Indische
Regeling (kumpulan Hukum Perkawinan dan Hukum Kewarisan Islam)

ü  Wewenang :

Hukum Kewarisan diakui lagi oleh belanda.

ü  Faktor yang mempengaruhi :

1.      Kepentingan Politik Belanda

2.      Gejolak masyarakat Indonersia

B.     Hindia Belanda I

ü  Eksistensi :

Peradilan Agama menjadi Lembaga Peradilan Resmi secara formal sebagai bagian dari sistem
kenegaraan.

ü  Wewenangnya :

o    pernikahan, segala jenis perceraian, mahar, nafkah, keabsahan  anak, perwalian, kewarisan,
hibah, waqaf, shadaqah, dan baitul mal

o    Hukum mu’amalah dan pidana belum diakui.

ü  Faktor yang mempengaruhi :

1.      Kebijakan Politik Belanda

2.      Teori  “receptio in complexu” oleh L.W.C. Van Den Berg sesuai teori living law

C.    Hindia Belanda II

ü  Eksistensi :

Peradilan agama masih diakui sebagai lembaga peradilan formal, namun wewenangnya dibatasi

ü  Wewenangnya :

o   masalah pernikahan saja


o   wewenang dalam waris wakaf dan persengketaan harta benda dihilangkan

ü  Faktor yang mempengaruhi :

1.      Kebijakan Politik Belanda (teori receptio a complexu bertentangan dengan kepentingan


Belanda)

2.      Teori  “receptio” oleh Snouck Horgronje

D.    Pendudukan Jepang

ü  Eksistensi :

Peradilan agama masih diakui sebagai lembaga peradilan formal

ü  Wewenangnya :

Wewenangnya tidak ada perubahan yang jelas

ü  Faktor yang mempengaruhi :

1.      Kebijakan Politik Jepang

2.      Kelemahan posisi pemerintahan Jepang

b.      Penutup

Demikian makalah ini kami susun, apabila ada kesalahan diharapkan kritik dan saran dari semua
pihak, apabila ada kebenaran dari apa yang kami tulis itu semua adalah murni pertolongan dan
petunjuk dari Allah. Semoga tulisan ini dapat diambil manfaat oleh para pembaca sebagai
tambahan pengetahuan dalam mengarungi samudera ilmu tuhan, dan menjadi amal bail penulis,
amin. 

http://elmadani212.blogspot.com/2017/02/peradilan-agama-zaman-penjajahan.html

http://riyanramdani.blogspot.com/2011/06/peradilan-islam-pada-masa-awal.html

http://asrofisblog.blogspot.com/2015/04/peradilan-agama-pada-masa-penjajahan.html
BAB II
PEMBAHASAN

A.    SEJARAH PERADILAN AGAMA PADA MASA KOLONIAL

1.      Pra Pemerintahan Hindia Belanda


Pada prapemerintahan hindia belanda di kenal dengan 3 (tiga) periode.
Pertama, periode tahkim, dalam masalah pribadi yang mengakibatkan perbenturan antara
hak-hak dan kepentingan-kepentingan dalam tingkah laku mereka. Mereka bertahkim kepada
seorang pemuka agama yang ada di tengah-tengah kelompok masyarakat, misalnya seorang
wanita bertahkim kepada seorang penghulu sebagai wali yang berhak menikahkannya dengan
pria idamannya.
Kedua, periode ahlul hilli wal aqdi. Mereka telah membai’at dan mengangkat seorang
ulama islam dimana mereka yang dapat bertindak sebagai qadhi dapat menyelesaikan setiap
perkara yang terjadi diantara mereka. Jadi, qadhi brtindak sebagai hakim.
Ketiga, dikenal periode thauliyah. Secara filosofis dilihat pada periode ketiga ini telah
mulai tampak pengaruh ajaran Trias Politica dari Montesquieau Prancis dan teori-teori
sebelumnya seperti J.J. Rouseau, Thomas Hobbes, John Lock, dan lain-lain.
Periode thauliyah dapat di identifikasikan sebagai delegation of authority, yaitu penyerahan
kekuasaan (wewenang) mengadili, kepada suatu bahan judicative, tetapi tidak mutlak. Seperti di
Minangkabau ada pucuk nagari yang menyelesaikan sengketa dan qadhi dalam masalah
keagamaan. Kenyataan periodesasi ini dibuktikan dengan kumpulan hukum perkawinan dan
kewarisan islam untuk daerah Cirebon, semarang, bone, dan gowa (makassar) serta papakem
Cirebon.[1]
.kemudian, pada tanggal 4 Maret 1620 dikeluarkan intruksi agar di daerah yang di kuasai
konpeni (VOC) harus diberlakukan Hukum sipil Belanda, antara lain dalam soal kewarisan.
Intruksi tersebut tidak dapat dilksanakan karena mengalami kesulitan akibat perlawanan dari
pihak Islam. Berlakunya Hukum perdata Islam diakui oleh VOC dengan Resolutie der idndische
Regeling tanggal 25 Mei 1760, yaitu, berupa suatu kumpulan aturan Hukum Perkawinan dan
Hukum Kewarisan menurut Hukum Islam, atau compendium Freijer; untuk dipergunakan pada
pengadilan VOC.[2]
2.      Lembaga Peradilan Islam Pada Masa Kolonial Belanda
Peradilan agama sebagai lembaga hukum yang berdiri sendiri dan mempunyai kedudukan
yang kuat dalam masyarakat. Kerajaan-kerajaan Islam yang pernah berdiri, telah melaksanakan
hukum islam dan melembagakan sistem peradilannya sebagai bagian yang tidak terpisahkan
dengan keseluruhan sistem pemerintahan di wilayah kekuasaannya.
Secara yuridis formal, peradilan agama sebagai suatu badan peradilan yang terkait dalam
sistem keNegaraan untuk pertama kali lahir di Indonesia (jawa dan Madura) pada tanggal 1
Agustus 1882. Kelahiran ini berdasarkan keputusan Raja Belanda (Konninkklijk Besluit), yakni
raja Willem III tanggal 19 Januari 1882 No. 24 yang di muat dalam staatsblad 1882 No. 152.
Dimana di tetapkan suatu peraturan tentang peradilan Agama dengan nama “piesteraden” untuk
Jawa dan Madura. Badan peradilan ini yang kemudian lazim disebut dengan Raad Agama dan
terahir dengan pengadilan Agama. Keputusan Raja Belanda ini dinyatakan mulai berlaku 1
Agustus 1882 yang dimuat dalam staatsblad 1882 No. 153, sehingga dengan demikian dapatlah
dikatakan bahwa tanggal kelahiran badan peradilan Agama di Indonesia adalah 1 agustus 1882.
[3]
Pada tahun 1854 pemerintah belanda mengeluarkan pernyataan politik yang di tuangkan
dalam “Reglement op het beleid der rengeerings van Nederlandsch Indie” yang disingkat
menjadi Regeering Reglement (RR) dan dimuat di dalam Stbl. Belanda 1854 No. 129 dan
sekaligus dimuat didalam Stbl. Hindia Belanda Tahun 1855 No, 2. Dalam pasal 75, 78, dan 109
Regeerings Reglement (RR) Stbl. 1855: 2 ditegaskan berlakunya undang-undang  (Hukum)
Islam bagi orang Islam di Indonesia.
Tokoh yang mendukung kebijakan ini adalah Salomon Keyzer, LWC. Van den berg dan C.
Frederik Winter., LWC. Van den berg mengatakan bahwa, bagi orang Islam berlaku penuh
Hukum Islam sebab ia telah memeluk Agama Islam, walaupun dalam pelaksanaan terdapat
penyimpangan. pendapat atau teori ini disebut Receotio in complexu.[4]
3.      Lembaga peradilan Islam Pada Masa Jepang
Pada masa pemerintahan Jepang ini Lembaga Peradilan Agama yang sudah ada pada masa
penjajahan Belanda, tetap berdiri dan dibiarkan dalam bentuknya semula. Perubahan yang
dilakukan terhadap lembaga ini hanyalah dengan memberikan atau merubah nama saja,
yaitu Sooryoo Hooin untuk Pengadilan Agama dan Kaikyoo Kootoo Hooin untuk Mahkamah
Islam Tinggi (Pengadilan Tinggi Agama).
Meninjau secara ringkas tentang keadaan Peradilan di seluruh Indonesia pada zaman Jepang
adalah sukar sekali, oleh karena daerah-daerah Indonesia pada zaman pendudukan Jepang di
bagi-bagi dalam kekuasaan yang berbeda, yakni Sumatra adalah daerah  Angkatan Darat yang
berpusat di shonanto (Singapura), Jawa Madura dan Kalimantan adalah daerah Angkatan Darat
yang berpusat di Jakarta. Sedang Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara adalah daerah Angkata
Laut yang berpusat di Makasar.[5]
Pada masa pendudukan Jepang ini, kedudukan Pengadilan Agama pernah terancam yaitu
tatkala pada akhir Januari 1945 pemerintah bala tentara Jepang (Guiseikanbu) mengajukan
pertanyaan pada Dewan Pertimbangan Agung (Sanyo-Aanyo Kaigi Jimushitsu) dalam rangka
maksud  Jepang akan memberikan kemerdekaan pada bangsa Indonesia yaitu bagaimana sikap
dewan ini terhadap susunan penghulu dan cara mengurus kas Masjid, dalam hubungannya
dengan kedudukan Agama  dalam Negara Indonesia kelak. Pada tanngal 14 April 1945 dewan
memberikan jawaban sebagai berikut: “11 (F) urusan Pengadilan Agama.
“ Dalam negara baru yang memisahkan urusan negara dengan urusan agama tidak perlu
mengadakan Peradilan Agama sebagai Pengadilan Istimewa, untuk mengadili urusan seseorang
yang bersangkut paut dengan agamanya cukup segala perkara diserahkan kepada pengadilan
biasa yang dapat minta pertimbangan seorang ahli Agama”.
Dengan menyerahnya Jepang dan Indonesia memproklamirkan kemerdekaan pada tanggal
17 Agustus 1945, maka pertimbangan dewan Pertimbangan Agung bikinan Jepang itu mati
sebelum lahir dan Peradilan Agama tetap eksis disamping peradilan-peradilan yang lain.
Dari uraian bab ini dapat disimpulkan bahwa dengan keluarnya Stbl. 1937 No. 116 tentang
perubahan dan penambahan Staatsblad 1882 No. 152 tentang wewenang peradilan Agama di
Jawa dan Madura. Kompetensi Peradilan Agama menjadi sempit yakni hanya dalam bidang-
bidang tertentu saja. Bahkan pada masa pendudukan Jepang, Kedudukan Peradilan Agama
pernah terancam dengan konsep dimana akan diserahkannya tugas peradilan Agama pada
pengadilan biasa. Tetapi syukur aturan itu didahului oleh proklamasi Kemerdekaan. Ini yang
disebut dengan mati sebelum lahir.[6]

Anda mungkin juga menyukai