DISUSUN OLEH:
UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
2023/2024
A. Sejarah Hukum Perkawinan Di Indonesia
1. Masa Kolonialis Belanda
Hasil dari penjajahan kolonialis Belanda telah mengusik keharmonisan sistem hukum
yang dianut oleh penduduk pribumi, berupa hukum yang hidup ditengah-tengah masyarakat
(Living Law) atau berupa Hukum Adat (customary law), maupun Hukum Islam. Kehadiran
para kolonialis inilah yang mengakibatkan terjadinya pluralitas sistem hukum yang dianut oleh
masyarakat pribumi yang dikuasai oleh pemerintahan kolonialis Belanda, hingga
diberlakukanlah sistem Hukum Adat, Hukum Islam, dan sistem Hukum Belanda atau sering
disebut sebagai Hukum Barat berupa hukum sipil (civil law). Kemudian, pemerintahan Hindia
Belanda dalam menjalankan roda kekuasaannya mereka memanfaatkan beberapa macam
instruksi Gubernur Jenderal yang ditujukan kepada para Bupati, khususnya disebelah utara
pantai Jawa, yang intinnya adalah agar memberi kesempatan kepada para ulama untuk
menyelesaikan perselisihan perdata di kalangan penduduk menurut ajaran Islam. Bahkan,
konon keputusan Raja Belanda (Koninkelijk Besluit) No. 19 tanggal 24 Januari 1882 yang
kemudian diumumkan dalam Staatsblad tahun 1882 No. 152 tentang pembentukan Pristerraad
(Pengadilan Agama), walaupun hal ini didasarkan atas pengaruh dari teori Van den Berg yang
menganut paham receptio in complexu, yang berarti bahwa hukum yang berlaku bagi
masyarakat pribumi adalah hukum agama yang dipeluknya.
Pada masa penjajahan Belanda tidak ditemukan rujukan hukum yang khusus untuk
menanggapi perkara perkawinan dalam Islam atau kodifikasi Hukum Islam dalam renah
perkawinan untuk menyelesaikan kasus-kasus perkawianan ketika berperkara di pengadilan
agama, namun yang digunakan adalah hanya kitab-kitab fikih klasik atau ajaran-ajaran Islam
yang ditulis oleh ulama tertentu pada masa lalu. Seperti yang telah dikatakan di atas bahwa
hukum Islam berlaku bagi orang-orang yang beragama Islam dan diberi kewenangan khusus
kepada para ulama untuk menyelesaikan perkara perkawinan sesusai ajaran Islam itu sendiri.
Namun, bukan berarti pada masa ini tidak ada undang-undang perkawinan yang berlaku,
pemerintahan hindia belanda menggunakan Compendium Freijer dalam aturan-aturan hukum
perkawinan dan hukum waris menurut Islam. Kitab ini ditetapkan pada tanggal 25 Mei 1760
untuk dipakai oleh pengadilan Persatuan Kompeni Belanda di Hindia Timur (V.O.C), atas usul
Residen Cirebon, Mr. P.C Hasselaar (1757-1765) kemudian dibuatlah kitab Tjicebonshe
Rechtsboek. Sementara untuk Landraad (sekarang pengadilan umum) di Semarang tahun 1750
dibuat Compendium tersendiri, di Makassar juga oleh V.O.C diberlakukan Compendium
sendiri. Perkara ini diperkuat dengan sepucuk surat V.O.C pada tahun 1808, yang isinya agar
penghulu Islam harus dibiarkan sendiri mengurus perkara perkawinan dan warisan.
Masalah pengebirian hukum Islam pada masa pemerintahan Hindia Belanda ada yang
berpendapat bahwa sejak lahirnya Stbl 1820 No.24 pasal 13 yang diperjelas dalam Stbl 1835
No.58 yang berisi sebagai berikut: apabila terjadi sengketa antara orang-orang Jawa satu sama
lain mengenai soal-soal perkawinan, pembagian harta dan sengketa-sengketa yang sejenis yang
harus diputus menurut Hukum Islam, maka pendeta memberi putusan, tetapi gugatan untuk
mendapat pembayaran yang timbul dari keputusan para pendeta itu haruslah diajukan kepada
pengadilan-pengadilan biasa. Pada perkembangan berikutnya muncul Stbl 1882 No.152
tentang pembentukan peradilan Agama di Jawa dan Madura, dengan nama Priesterrad. Dengan
lahirnya Stbl ini juga dapat diartikan bahwa pemerintahan Hindia Belanda masih mengakui
keberadaan Hukum Islam dan dijadikan dasar dalam menyelesaikan masalah-masalah di
kalangan orang Islam. Ada juga yang berpendapat bahwa pengebirian terjadi sejak tanggal 3
Agustus 1828, dengan dicabut berlakunya Compendium Freijer, sebab dengan pencabutan itu
secara tekstual, hukum perkawinan yang berlaku adalah hukum adat, keculai orang-orang
kristen, berlaku undang-undang kristen Jawa, Minahasa dan Ambon. Ada juga yang
berpendapat pengebirian terjadi sejak diberlakukan pasal 134 ayat 2 I.S.(Indische
Staatsregeling) tahun 1919, yang intinya adalah perkara antara orang Islam diadili oleh
Pengadilan Agama Islam apabila keadaan itu sudah diterima oleh hukum adat mereka. Sejauh
tidak ditentukan oleh ordonansi I.S. (Indische Staatsregeling).
Belanda masuk ke Indonesia pada tahun 1596 melalui Verenigde Oost Indische
Compagnie(VOC), kebijakan yang telah dilaksanakan oleh para sultan tetap dipertahankan
pada daerah-derah kekuasaanya sehingga kedudukan hukum (keluarga) Islam telah ada di
masyarakat sehingga pada saat itu diakui sepenuhnya oleh penguasa VOC. Bahkan dalam
banyak hal VOC memberikan kemudahan dan fasilitas agar hukum Islam dapat terus
berkembang sebagaimana mestinya. Bentuk-bentuk kemudahan yang diberikan oleh VOC
adalah menerbitkan buku-buku hukum Islam untuk menjadi pegangan para Hakim Peradilan
Agama dalam memutus perkara. Adapun kitab-kitab yang diterbitkan adalah “al-Muharrar” di
Semarang, “Shirathal Mustaqim” yang ditulis oleh Nuruddin ar-Raniry di Kota Raja Aceh dan
kitab ini diberi syarah oleh Syekh Arsyad al-Banjary dengan judul “Sabilul al-Muhtadin” yang
diperuntukkan untuk para Hakim di Kerapatan Kadi di Banjar Masin, kemudian kitab “Sajirat
al-Hukmu” yang digunakan oleh Mahkamah Syar’iyah di Kesultanan Demak, Jepara, Gresik
dan Mataram. Terakhir VOC menghimpun hukum Islam yang disebut dengan Compendium
Freijer, mengikuti nama penghimpunnya.
Pada awalnya Belanda melalui VOC masuk ke Indonesia dengan membawa serta
hukum negaranya utuk menyelesaikan masalah diantara mereka sendiri. Untuk lebih
memantapkan posisinya, mereka berupaya pula untuk menundukkan masyarakat jajahannya
pada hukum dan badan peradilan yang mereka bentuk. Namun pada kenyataannya badan
peradilan bentukan Belanda ini tidak dapat berjalan, maka akhirnya Belanda membiarkan
lembaga-lembaga asli yang ada dalam masyarakat terus ber jalan, sehingga selama hampir 2
abad masa VOC hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam dalam masyarakat muslim
berjalan sebagaimana mestinya.
Masa VOC berakhir dengan masuknya Inggris pada tahun 1800-1811. Setelah Inggris
menyerahkan kembali kekuasaannya kepada pemerintahan Belanda, pemerintah kolonial
Belanda kembali berupaya mengubah dan mengganti hukum di Indonesia dengan hukum
Belanda. Namun melihat kenyataan yang berkembang pada masyarakat Indonesia, muncul
pendapat dikalangan orang Belanda yang dipelopori oleh L.W.C. Van Den Berg bahwa hukum
yang berlaku bagi orang Indonesia asli adalah undang-undang agama mereka, yaitu Islam.
Teori ini kemudian terkenal dengan nama teori “Recepcio in Complexu” yang sejak tahun 1855
didukung oleh peraturan perundang-undangan Hindia Belanda melalui pasal 75, 78 dan 109
RR 1854 (Stbl. 1855 No.2). Dalam perjalanannya ternyata Cristian Snouck Hurgronje tidak
sependapat dengan teori ini, menurutnya hukum yang berkembang di tengah-tengah
masyarakat Indonesia bukan hukum Islam, melainkan hukum adat. Teori Hurgronje ini terkenal
dengan nama teori “Receptie”. Dampak dari teori ini, Pemerintah Kolonial Belanda tidak lagi
mengakui hukum Islam yang berlaku untuk masyarakat Indonesia, melainkan hukum adatlah
yang diakui. Dalam Indesche Staatsregeling pasal 131 ayat 6 ditulis:
”sebelum hukum untuk bangsa Indonesia ditulis di dalam undang-undang, bagi mereka
itu akan tetap berlaku yang sekarang berlaku bagi mereka, yaitu hukum adat”
Dalam Indesche Staatsregeling (IS) pasal 131 ayat 2 ditulis; Untuk golongan bangsa Indonesia
asli dan Timur Asing, jika ternyata kebutuhan kemasyarakatan mereka menghendakinya,
dapatlah peraturan-peraturan untuk bangsa Eropa (Burgerlijk Wetboek/ BW/ Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata) dinyatakan berlaku bagi mereka, baik seutuhnya maupun dengan
perubahan-perubahan. Kemudian dalam ayat 4 disebutkan;”Orang Indonesia asli dan orang
Timur Asing, sepanjang mereka belum ditundukkan dibawah suatu peraturan bersama dengan
bangsa Eropah, diperbolehkan menundukkan diri pada hukum yang berlaku untuk bangsa
Eropa.
Berangkat dari pemikiran adanya tiga pilar penyangga hukum setelah era kemerdekaan,
maka aparat penegak hukum mulai dibenahi atau berbenah diri. Peraturan-peraturan hukum
yang jelas satu demi satu mulai dikeluarkan dan kesadaran hukum masyarakat terus dipacu.
Harus diakui bahwa ketiganya belum dapat dikatakan titik optimal, namun tidak lagi berjalan
di tempat. Ada dua macam aparat hukum yang tidak dapat diabaikan keberadaannya, yaitu
Kantor Urusan Agama dan Badan Peradilan Agama. PPN (Pegawai Pencatat Perkawinan)
adalah ibarat gerbang pertama pelaksanaan hukum perkawinan dan perwakafan. PPN diberi
tanggung jawab selaku pegawai pembuat akta ikrar wakaf (PPAIW), lembaga ini berperan
besar dalam membentuk keluarga muslim dan ikut serta secara fisik dalam pembangunan
nasional melalui lembaga perwakafan dibidang pendidikan, sosial, dan keagamaan, sekaligus
penyelamatan tanah-tanah wakaf yang berjumlah ribuan hektar.
Tahun 1952 akhir, panitia telah membuat suatu Rancangan Undang- Undang
Perkawinan yang terdiri atas peraturan umum, yang berlaku untuk semua golongan dan agama
dan peraturan-perraturan khusus yang mengatur hal-hal yang mengenai golongan agama
masing-masing. Selanjutnya pada tanggal 1 Desember 1952 panitia menyampaikan Rancangan
Undang-Undang Perkawinan Umum kepada semua organisasi pusat dan lokal dengan
permintaan supaya masing-masing memberikan pendapat atau pandangannya tentang soal-soal
tersebut paling akhir pada tanggal 1 Februari 1953. Rancangan yang dimajukan itu selain
berusaha kearah kodifikasi dan unifikasi, juga telah mencoba memperbaiki keadaan
masyarakat dengan menetapkan antara lain:
1) Perkawinan harus didasarkan kemauan bulat dari kedua belah pihak, untuk mencegah
kawin paksaan ditetapkan batas-batas umur 18 bagi laki-laki dan 15 bagi perempuan
2) Suami isteri mempunyai hak dan kedudukan yang seimbang dalam kehidupan rumah
tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
3) Poligami diizinkan bila diperbolehkan oleh hukum agama yang berlaku bagi orang
yang bersangkutan dan diatur sedemikian hingga dapat memenuhi syarat keadilan;
4) Harta bawaan dan harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi milik bersama;
5) Perceraian diatur dengan keputusan Pengadilan Negeri, berdasarkan alasan-alasan yang
tertentu, mengenai talak dan rujuk diatur dalam peraturan Hukum Islam;
6) Kedudukan anak sah atau tidak, pengakuan anak, mengangkat dan mengesahkan anak,
hak dan kewajiban orang tua terhadap anak, pencabutan kekuasaan orang tua dan
perwalian.
Pada tahun 1967 dan 1968 pemerintah menyampaikan dua buah rancangan undang-
undang kepada DPRGR (DPR Gotong Royong), RUU tentang pernikahan umut Islam dan
RUU tentang pokok perkawinan. Hal ini untuk merespon TAP MPRS No.
XXVIII/MPRS?1966 yang menyatakan dalam pasal 1 ayat 3 bahwa negara perlu diadkan UU
tentang perkawinan. Kedua RUU ini dibicarakan oleh DPRGR di tahun 1968, yang akhirnya
tidak mendapat persetujuan dari DPRGR berdasarkan keputusan tanggal 5 Januari 1968.
Adapun alasan tidak dapat disahkannya, karena ada salah satu fraksi yang menolak, dan dua
fraksi yang absen, meskipun sejumlah 13 fraksi dapat menerimanya. Kemudian pada awal
tahun 1967, Mentri Agama KH. Moh. Dahlan, mengajukan kembali RUU penikahan umat
Islam untuk dibahas oleh dewan. Dalam waktu yang hampir sama Departemen Kehakiman
menyusun RUU tentang perkawinan yang bersifat nasional dan berjiwa Pancasila dan
disampaikan ke DPR pada September 1967, dengan maksud RUU dari Departemen Kehakiman
sebagai RUU Pokok dan dari Departemen Agama sebagai RUU Pelaksana. Rancangan ini
kembali gagal disahkan, sebab anggota DPR tidak bergairah membahas alasannya karena
penyusunannya didasarkan pada perbedaan pandangan. Akhirnya kerja keras membuatkan
hasil, pada tanggal 31 Juli 1973 pemerintah dapat menyiapkan RUU Perkawinan No. R.
02/PU/VII/1973 dan disampaikan kepada DPR yang terdiri dari 15 bab dan 73 pasal. Hasil ini
tidak bisa dipisahkan dari partisipasi ISWI (Ikatan Sarjana Wanita Indonesia) yang mendesak
pemerintah pada tanggal 22 Pebruari 1972. RUU ini mempunyai tujuan yakni, memberikan
kepastian hukum bagi permasalahan perkawian, sebab sebelumnya undang-undang bersifat
Judge Made Law; memenuhi hak-hak kaum wanita dan memenuhi harapannya; menciptakan
undang-undang yang memenuhi tuntunan zaman. Keterangan tentang RUU di sampaikan oleh
Mentri Kehakiman Umar Senoaji S.H. pada tanggal 30 Agustus 1973. Kemudian di jawab oleh
Pemerintah diberikan oeh Mentri Agama Mukti Ali pada tanggal 27 September 1973, dan hasil
akhir yang disahkan oleh DPR adalah terdiri dari 14 bab yang dibagi dalam 67 pasal.
Namun, RUU ini tidak mulus dalam perancangannya kontroversi terjadi di dalam
maupun di luar gedung baik secara perseorangan maupun organisai-organisasi. Protes yang
besar-besaran muncul dari organisasi Sarekat Istri Jakarta yang mengecam tentang pasal-pasal
yang melarang tentang poligami. Begitu juga dengan Ratna Sari sebagai ketua Persatuan
Muslim Indonesia (Permi) yang tidak setuju kalau poligami dianggap merendahkan status
wanita, dengan alasan bahwa Islam membolehkan poligami, bukan menganjurkan. Demikian
juga saat-saat RUU di DPR sejumlah respon negatif muncul, baik melalui perseorangan
maupun organisai. Di antara kritik tersebut misalnya dapat dicatat pandangan Asmah Sjahroni,
wakil dari fraksi persatuan pembangunan (FPP), yang menyebut bahwa RUU tersebut menjadi
Indikasi pencabutan Hukum Perkawinan Adat dan Perkawian Hukum Islam. Lebih dari itu
sejumlah demonstran di jalanan dengan seruan Allahu Akbar mengutuk rancangan itu sebagai
perbuatan Sekular. Bahkan pada tanggal 27 September 1973 telah terjadi keributan di dalam
gedung DPR. Awalnya para mahasiswa ini hanya duduk-duduk di balkon memperhatikan
jalannya sidang umum. Akan tetapi, ketika Mentri Agama R.I. Mukti Ali ketika itu naik mimbar
menyampaikan pendiriannya mengenai rancangan tersebut, para mahasiswa mulai berteriak-
teriak. Karena sejumlah aparat keamanan tidak mampu membendung keributan, maka sidang
ditunda sewaktu Mukti Ali menyampaikan pidatonya.
Sumber hukum perkawinan merujuk pada dokumen atau aturan hukum yang mengatur
perkawinan. Di Indonesia, sumber-sumber hukum perkawinan termasuk:
1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,Ini adalah undang-undang
utama yang mengatur perkawinan di Indonesia.
2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata),KUHPerdata mencakup
ketentuan-ketentuan hukum yang berkaitan dengan perkawinan.
3) Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI),Fatwa MUI memberikan panduan tentang
perkawinan dalam konteks Islam.
4) Peraturan Pemerintah,Beberapa peraturan pemerintah mengatur aspek-aspek tertentu
perkawinan.
5) Kebijakan Daerah, Pemerintah daerah dapat memiliki peraturan yang berkaitan dengan
perkawinan sesuai dengan norma dan budaya setempat.
6) Adat dan Kebiasaan,Adat dan tradisi lokal juga memengaruhi perkawinan di berbagai
daerah di Indonesia.
C. Alasan Seseorang Melakukan Perkawinan
1) Untuk menegakkan dan menjunjung tinggi syariat agama manusia normal baik laki-laki
maupun perempuan yang memeluk agama tertentu dengan taat, untuk menjaga
kesucian agamanya, apabila tiak demikian berarti bukanlah pemeluk agama yang taat.
2) Untuk menghalalkan hubungan biologis antara laki-laki dan perempuan yang bukan
muhrimnya.
3) Untuk melahirkan keturunan yang sah menurut hukum.
4) Untuk menjaga fitrah manusia sebagai makhluk Allah yang dikaruniai cipta, rasa dan
karsa serta dengan petunjuk agama.
5) Untuk menjaga ketentraman hidup.
6) Untuk mempererat hubungan persaudaraan.
7) Kepastian dan Keamanan,Menikah dapat memberikan rasa kepastian dan keamanan
bagi pasangan. Pasangan yang menikah biasanya memiliki hak hukum, seperti hak
waris, yang memberikan perlindungan dan kepastian di masa depan.
8) Kehendak Agama,Dalam banyak agama, perkawinan dianggap sebagai tindakan sakral
dan diperintahkan oleh keyakinan agama. Orang sering menikah karena keyakinan
agama mereka mendorong mereka untuk melakukannya.
9) Keluarga dan Keturunan,Beberapa pasangan memutuskan untuk menikah karena
mereka ingin memulai keluarga dan memiliki anak-anak. Perkawinan sering dilihat
sebagai dasar yang kuat untuk mendirikan dan mengasuh keluarga.
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. Jamaluddin, SH, M.Hum, Nanda Amalia, SH, M.Hum. (2016). Buku Ajar Hukum
Perkawinan. Unimal Press.
Arso Sosroatmodjo dan A. Wait Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta: Bulan
Bintang , 1975.
Mohammad Daud Ali, “Perkawinan Campuaran” dalam majalah Panji Masyarakat, No.709,
1-10 Februari 1992.