Anda di halaman 1dari 10

TUGAS MATA KULIAH HUKUM ADAT

UNIVERSITAS PANCASILA

SEJARAH HUKUM ADAT

Resume
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Adat

Oleh:
Kelompok 1
Winna Parliana (3019210069)
Bagas Iskandar (3019210244)
Cella Ayu Puspita (3019210056)
Harfani Omar Rahman (3019210203)
Khalifah Salsabila (3019210338)
Rachma Istiana Sabela (3019210210)
Yeskiyel Adi Peprianto (3019210335)

UNIVERSITAS PANCASILA
JAKARTA
2020
A. Masa Belanda (VOC)
Pada masa itu, kedudukan VOC :
1) Sebagai Pengusaha Pengusaha Perniagaan,
2) Sebagai Penguasa Pemerintahan.
Guna menjaga kepentingan VOC di Hindia Belanda, tahun 1609 Staten General
(perwakilan rakyat), Belanda memberikan kuasa kepada pengurus VOC di Banten (Gubernur
Jenderal dan Dewan Hindia/ Raad Van Indie) untuk membentuk Hukum sendiri. Adapun
Hukum VOC, yang terdiri dari unsur-unsur :

a) Hukum Romawi,
b) Asas-Asas Hukum Belanda Kuno,
c) Statua Betawi (dibuat oleh Gubernur Jenderal Van Diemen yang berisikan kumpulan
plakat-plakat dan pengumuman yang dikodifikasikan).1
Menurut Van Vollenhoven : kebijakan yang diambil oleh VOC dalam bidang Hukum
tersebut disebutnya “cara mempersatukan Hukum yang sederhana”. Dalam
prakteknya/kenyataannya, peraturan yang diambil oleh VOC dalam bidang Hukum tersebut
tidak dapat dijalankan, sebab :

1) Ada Hukum yang berlaku di dalam pusat pemerintahan VOC, yaitu dalam kota
Betawi/Batavia.
2) Ada Hukum yang berlaku di luar pusat pemerintahan VOC, yaitu diluar kota Jakarta.2
Pada zaman VOC hukum yang berlaku di pusat pemerintahan dengan di luar itu tidak
sama yaitu karena
a. Di Batavia (Jakarta) sebagai pusat pemerintahan, untuk semua orang dari
golongan bangsa apapun berlakulah “Hukum Kompeni”, yaitu hukum Belanda.
Jadi bagi mereka semuanya berlaku satu macam hukum (unifikasi) baik dalam
lapangan hukum tatanegara, perdata maupun pidana.
b. Di luar dareah Pusat Pemerintahan, dibiarkan berlaku hukum aslinya, yaitu
hukum adat. Demikian pula pada pengadilan-pengadilan golongan asli tetap
dipergunakan hukum adat.

Usaha penerbitan itu menghasilkan 4 kodifikasi dan pencatatan hukum bagi orang
1
Van Vallenhoven, Orientasi Dalam Hukum Adat Indonesia, Jakarta : Jambatan, 1983, hlm. 14
2
ibid
Indonesia asli, yaitu :
a. Pada tahun 1750 untuk keperluan Landraad Semarang, dibuatlah suatu compendium
(pegangan, Kitab Hukum) dari Undang-undang orang Jawa yang terkenal dengan nama
“Kitab Hukum Mogharraer yang ternyata sebagian besar berisi hukum pidana Islam”.
b. Pada tahun 1759 oleh Pimpinan VOC disahkan suatu Compendium van Clootwijck
tentang undang-undang Bumiputera di lingkungan Kraton Bone dan Ga.
c. Pada tahun 1760 oleh Pimpinan VOC dikeluarkan suatu Himpunan Peraturan Hukum
Islam mengenai nikah, talak dan warisan untuk dipakai oleh Pengadilan VOC.
d. Oleh Mr. P. Cornelis Hasselaer (Residen Cirebon tahun 1757 – 1765) diusahakan
pembentukan Kitab Hukum Adat bagi hakim-hakim Cirebon. Kitab hukum adat ini
terkenal dengan nama “Pepakem Cirebon”.

Tahun 1816 – 1848 merupakan masa penting dalam hukum adat, karena merupakan
pulihnya kembali pemerintah Kolonial Belanda di Indonesia, yang merupakan permulaan
politik hukum dari Pemerintah Belanda yang dengan kesadarannya ditujukan kepada bangsa
Indonesia. Dalam reglement tahun 1819 ditentukan bahwa hukum adat pidana akan
dinyatakan berlaku bagi golongan Bumiputera. Mengenai hukum materiil yang diterapkan
oleh Pengadilan-pengadilan berlaku asas : hukum dari pihak tergugat. Ini berarti bahwa jika
dalam sengketa antara orang Bumiputera dengan orang Eropa yang menjadi tergugatnya
adalah orang Bumiputera, maka yang akan mengadili adalah Landraad yang akan
memperlakukan hukum adat.3

Menurut Utrecht , Hukum yang berlaku untuk penduduk asli adalah Hukum adat. Kecuali
untuk daerah Batavia/Jakarta. Sebab adanya kesulitan sarana transportasi waktu itu dan
kurangnya alat pemerintah. Sebagai jalan keluarnya, maka dikeluarkan resolutie 21-12-1708.
Sebagai Priangan (barat, tengah dan timur) diadili oleh Bupati dengan ombol-ombolnya
dalam perkara perdata dan pidana menurut Hukum adat.4

Perhatian terhadap Hukum adat pada masa ini sedikit sekali, tapi ada beberapa tulisan
baik perorangan maupun karena tugas pemerintahan, diantaranya :

3
Akhmad Alfarisi, Sejarah Politik Hukum Adat, Pamekasan: Fakultas Hukum Universitas Madura (Unira), 2019, hlm.
2-4
4
Abdulrahman, Hukum Adat menurut Perubdang-undangan Republik Indonesia, Jakarta : Cendana Press, 1984,
hlm. 48.
1. Confendium (karangan singkat) dari D.W. Frejjer, memuat tentang peraturan Hukum
Islam mengenai waris, nikah dan talak,
2. Pepakem Cirebon, dibuat oleh MR. P.C. Hasselar (residen Cirebon).
Membuat suatu kitab Hukum yang berama Pepakem Cirebon yang diterbitkan oleh
Hazeu. Isinya merupakan kumpulan dari Hukum adat Jawa yang bersumber dari Hukum adat
Jawa yang bersumber dari kitab-kitab kuno antara lain : Undang-undang Mataram,
Kutaramanawa, Jaya Lengkaran,DLL. Dalam Pepakem Cirebon, dimuat gambaran seorang
hakim yang dikehendaki oleh Hukum adat :
a) Candra : bulan yang menyinari segala tempat gelap,
b) Tirta : air yang membersihkan segala tempat yang kotor,
c) Cakra : dewa yang mengawasi berlakunya keadaan,
d) Sari : bunga yang harum baunya.5
Penilaian VOC terhadap Hukum adat :
1) Hukum adat identic dengan Hukum agama,
2) Hukum adat terdapat dalam tulisan-tulisan yang berbentuk kitab Hukum,
3) Penerapannya bersifat opportunitas (tergantung kebutuhan),
4) Hukum adat kedudukannya lebih rendah dari Hukum Eropa.

Hukum adat pada zaman Daendels, tidak diperhatikan dan tidak ada peraturan-peraturan
yang lain. Daendels berpendapat bahwa Hukum adat di Jawa terdiri atas Hukum islam. Akan
tetapi Hukum adat keseluruhan menurut Daendels terdiri atas Hukum islam. Menurut
Daendels derajat Hukum Eropa lebih tinggi dari Hukum adat. Meskipun demikian Daendells
mempunyai pengertian tentang desa sebagai persekutuan. Selain itu, Daendels juga mengenal
system panjer. Dalam beranggapan bahwa Hukum adat sama dengan Hukum islam. Hukum
adat menurut Raffles tidak mempunyai derajat setinggi Hukum Eropa. Hukum adat dianggap
hanya baik untuk bangsa Indonesia, akan tetapi tidak patut jika dsiberlakukan atas eropa.6

Tahun 1972 pemerintah Belanda mulai menolak untuk mengadakan unifikasi Hukum
adat, mulai melaksanakan konsepsi Van Vollenhoven yang isinya menganjurkan diadakan
pencatatan yang sistematis dari Hukum adat yang didahului dengan penelitian. Tujuannya

5
Van Vallenhoven, loc. cit.
6
Soepomo, Kedudukan Hukum Adat Di Kemudian Hari, Jakarta : Pustaka Rakyat, 2000, hlm. 61.
adalah untuk memajukat Hukum dan untuk membantu hakim yang harus mengadili menurut
Hukum adat.7 Konsepsi Van Vollenhoven didukung oleh :

a) Pengalaman yang pahit bertahun-ahun lamanya, bahwa memaksakan Hukum barat dari
atas selalu gagal,
b) Selalu berkembangnya pengertian akan pentingnya Hukum adat dalam lingkungan
bangsa Indonesia
Sebelum menggunakan konsepsi Van Vollenhoven digunakan pasal II AB sebagai dasar
Hukum berlakunya Hukum adat. Awalnya Hukum adat tidak dikenal, istilah yang dikenal
adalah istilah Undang-Undang Keagamaan, Lembaga Rakyat dan Kebiasaan.

Tahun 1927 sampai dengan tahun 1928, merupakan titik balik, dimana Hukum Indonesia
asli akan ditentukan kemudian setelah dilakukan penelitian lebih lanjut tentang kebutuhan
Hukum mereka dan untuk sementara dipakai Hukum adat, karena belum bias ditinggalkan.

Sarjana belanda yang banyak memperjuangkan Hukum adat adalah Van Vollenhoven
disebut juga Bapak Hukum Adat. Usaha yang dilakukan adalah
1) Menghilangkan kesalahpahaman Hukum adat identic dengan Hukum islam
2) Membela Hukum adat terhadap usaha yang ingin menghilangkan Hukum adat
3) Membagi wilayah Indonesia dalam 19 lingkup Hukum adat8

B. Masa Jepang
Kedudukan hukum adat pada masa pemerintahan Jepang sangat sedikit. Masa itu berlaku
hukum militer, sedangkan hukum perundangan dan hukum adat tidak mendapat perhatian
saat itu. Peraturan pada masa pemerintahan Belanda tetap berlaku selama tidak bertentangan
dengan hukum militer. Ketentuan ini diatur pada Undang-Undang No. 1 Balatentara Jepang
1942 Pasal 3 isinya, bahwa semua badan-badan pemerintah dan kekuasaan, hukum dan
Undang-Undang dari pemerintah yang dahulu, tetap diakui sah untuk sementara waktu, asal
tidak bertentangan dengan aturan pemerintah militer (dasar hukum adat masa Jepang).9

7
Sunarti Hartono, Sumbangsih Hukum Adat bagi Perkembangan Pembentukan Hukum Nasional dalam M.
Syamsudin et al Editor : Hukum adat dan Modernisasi Hukum, Yogyakarta : FH-UII, Yogyakarta, 1998, hlm. 170.
8
Khundzalifah Dimyati, Teoritisasi Hukum: Studi Tentang Perkembangan Demikian Hukum di Indonesia 1945-1990,
Disertasi, Surakarta : Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2004, hlm. 22.
9
I Gede A.B. Wiranata, Hukum adat Indonesia, Perkembangan dari Masa Ke Masa, Bandung: Citra Aditya Bakti,
2005, hlm. 40
Pada waktu itu istilah untuk menyebut Hukum adat dengan berbagai macam yaitu: 1)
Undang-Undang agama, 2) Lembaga-lembaga golongan bumi putra dan 3) Kebiasaan
golongan bumi putra sepanjang tidak bertentangan dengan asas-asas yang diakui umum
tentang kepatutan dan keadilan. Jika hukum adat tidak mengatur tentang suatu perkara yang
diajukan ke pengadilan maka hakim memberikan keadilan kepada golongan bumi putra
mengambil asas-asas umum dari hukum perdata Eropa.10

Pada masa pendudukan penjajah Jepang, bangsa Indonesia mengalami suatu perubahan
dalam hal budaya dibandingkan saat penjajahan Belanda. Melalui kegiatan yang tampaknya
sudah terprogram dengan baik berdasarkan pengalaman restorasi Meiji yang dilakukan oleh
Shogun Tokugawa, di Indonesia pun dilakukan juga restorasi, yang mungkin lebih sesuai
disebut dengan istilah reformasi. Pada zaman Jepang walaupun kita mengenal kerja paksa
Romusha tapi dilain sisi anak-anak usia sekolah baik tingkat Sekolah Rakyat (SD) maupun
Sekolah Menengah Tinggi (SMU) dilatih dan dibina secara militer. Pelajaran baris berbaris
dan perangperangan juga diajarkan, termasuk kampanye yang dilakukan secara efektif bahwa
musuh bangsa Indonesia adalah Belanda, Amerika, dan Inggris. Berbagai lagu perjuangan
untuk menunjang semangat baik yang berbahasa Indonesia maupun Jepang diajarkan hingga
hafal karena setiap hari selalu mendengar lewat radio yang disiarkan oleh Jakarta Hoso
Kyoku. Namun demikian pelajaran di sekolah masih menggunakan pola pelajaran Belanda,
hanya bahasanya yang diganti menjadi bahasa Jepang, seperti buku Maki-Chi, Maki-Nya,
MakiSan, dan Maki-Yon. Reformasi yang diterapkan Jepang selama 3,5 tahun ternyata telah
berhasil mengubah perilaku budaya dan sikap mental bangsa Indonesia untuk percaya diri.
Kepercayaan diri inilah yang menjadi modal utamabangsa Indonesia untuk meraih
kemerdekaan. Namun meskipun reformasi budaya telah menjadikan bangsa Indonesia kuat
tapi penderitaan selama 3,5 tahun ternyata lebih menyedihkan dibandingkan saat penjajahan
Belanda.11

C. Setelah Kemerdekaan
Setelah masa kemerdekaan hukum adat menjadi lebih netral, akan tetapi juga dapat
bersifat menjadi tidak netral, karena erat kaitannya dengan nilai nilai religius. Hukum adat
10
Ibid, hlm 41
11
Muhammad Aiz. Konstelasi Hukum Adat dan Hukum Islam di Masa Penjajahan. 2010, hlm. 68-69
oleh ahli barat, dipahami berdasarkan dua asumsi yang salah, pertama, hukum adat dapat
dipahami melalui bahan-bahan tertulis, dipelajari dari catatan catatan asli atau didasarkan
pada hukum-hukum agama. Kedua, bahwa hukum adat disistimatisasi secara paralel dengan
hukum-hukum barat. Akibat pemahaman dengan paradigma barat tersebut, maka hukum adat
dipahami secara salah dengan segala akibat-akibat yang menyertai, yang akan secara nyata
dalam perkembangan selanjutnya di masa kemerdekaan.12

Pemerintah pada waktu itu mengeluarkan Tap MPR No II/1960 yang menyatakan Hukum
adatlah yang dijadikan landasan atau dasar pembentukan hukum nasional. Dikeluarkan pula
UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan dasar Pokok-pokok agraria. Perhatikan Pasal 5 yang
berbunyi : Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat,
sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan
atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang
tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala
sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.

Lebih lanjut pengaturan mengenai masyarakat hukum adat ditemui dalam Pasal 51
ayat (1) huruf b UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) yang
merumuskan salah satu kategori pemohon adalah : “Kesatuan masyarakat hukum adat
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang. Menurut MK, suatu
kesatuan masyarakat hukum adat untuk dapat dikatakan secara de facto masih hidup (actual
existence) baik yang bersifat teritorial, genealogis, maupun yang bersifat fungsional setidak-
tidaknya mengandung unsur-unsur.

Pemikiran mengenai peranan hukum adat dalam pembentukan hukum nasional sudah
ada sebelum Indonesia merdeka, namun pada saat itu pemikiran tersebut belum dapat
diaplikasikan dalam bentuk peraturan. Awal penerapan pemikiran tersebut baru terlihat di
awal tahun 1960 dengan dikeluarkannya Tap MPR No II/1960 dan UU No 5 Tahun 1960
tentang Peraturan dasar Pokok-pokok Agraria. 13

1212
Bushar Muhammad, Asas-Asas Hukum adat, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1977, hlm. 31
13
Akhmad Alfarisi, Sejarah Politik Hukum Adat, Pamekasan: Fakultas Hukum Universitas Madura (Unira), 2019,
hlm. 6
Konstitusi negara Indonesia sebelum amandemen tidak secara tegas menunjukkan kepada
kita pengakuan dan pemakaian istilah hukum adat. Namun bila ditelaah, maka dapat
disimpulkan ada sesungguhnya rumusan-rumusan yang ada di dalamnya mengandung nilai
luhur dan jiwa hukum adat. Pembukaan UUD 1945, yang memuat pandangan hidup
Pancasila, hal ini mencerminkan kepribadian bangsa, yang hidup dalam nilai-nilai, pola pikir
dan hukum adat. Pasal 29 ayat (1) Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Pasal 33
ayat (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan azas kekeluargaan. Pada
tataran praktis bersumberkan pada UUD 1945 negara mengintroduser hak yang disebut Hak
Menguasai Negara (HMN), hal ini diangkat dari Hak Ulayat, Hak Pertuanan, yang secara
tradisional diakui dalam hukum adat.

a. Masa 1945 sampai sekarang


I. Konsepsi Supomo (1947-1925)
1) Konsepsi Supomo yang diumumkannya dalam pidato Dies Natalis I Universitas
Gadjah Mada di Yogyakarta (17 Maret 1947). Intinya Supomo menganjurkan suatu
herorientasi dalam politik hukum kejurusan sebaliknya daripada herorientasi tahun
1927.
2) Kemudian, dalam karangannya “Hukum Adat di kemudian hari berhubung dengan
pembinaan Negara Indonesia”, juga dalam “Bab-bab tentang Hukum Adat”, Supomo
agak berubah pendapatnya. Unifikasi tidak begitu diutamakan. Unifikasi baru dapat
diadakan bila sudah ada persamaan keadaan dan kebutuhan.
II. Konsepsi Hazairin (1950)
Hazairin mengemukakan konsepsinya dalam sebuah pidato dalam Konperensi
Kehakiman (Salatiga, 16 Desember 1950) :
1) Ia menegaskan pentingnya hukum Eropa dalam proses modernisasi masyarakat kita
dalam segala segi.
2) Hukum Eropa yang berlaku di Negara kita ini harus dipandang sebagai hukum
nasional.
3) Proses asimilasi ke arah kebudayaan dan tehnik barat tidak dapat dihindarkan lagi.
4) Hukum Eropa dan Hukum Adat itu harus dipertautkan.
5) Proses mempertautkan itu harus dilakukan berangsur-angsur
6) Masyarakat Indonesia belum merupakan masyarakat homogeny dalam segala
seginya.
7) Proses perkembangan hukum yang dilukiskan Hazairin lebih menunjukkan jalan yang
organisdaripada yang digambarkan oleh Supomo. Jadi pendapat Hazairin merupakan
jalan tengah antara jurusan politik hukum yang dirintis Supomo tahun 1927 dan
jurusan Politik Hukum tahun 1947+1952.
III. Pendapat Sarjana-sarjana Lain
1) Suwandi : “Sekitar Kodifikasi Hukum Nasional di Indonesia” (1955)
2) Sutan Malikul Adil : “Pembaharuan Hukum Perdata Kita” (1955)
3) Gouw Giok Siong : “Pembaharuan Hukum di Indonesia” (1956)
4) Utrecht : “Hukum Pidana, Kolektivisme Kemasyarakatan, Pembangunan Ekonomi
dan Pers (1956)
5) Iwa Kusuma Sumantri :”Revolusionalisasi Hukum Indonesia” (1958)
6) Ko Tjay Sing : “Kodifikasi dan Unifikasi Hukum Perdata dan Hukum Dagang”
(1958)
7) Mahadi : “Beberapa Aspek Ketertiban baru di Indonesia” (1958)
8) Djojodigoeno : “Asas-asas Hukum Adat” (1958)
9) Oey Pek Hong : “Peranan Kodifikasi, jurisprudensi, dan Ilmu Pengetahuan dalam
Perkembangan Hukum Perdata” (1959).14

14
Akhmad Alfarisi, Sejarah Politik Hukum Adat, Pamekasan: Fakultas Hukum Universitas Madura (Unira), 2019,
hlm. 7-8
Daftar Pustaka

Vallenhoven, Van. 1983. Orientasi Dalam Hukum Adat Indonesia. Jakarta : Jambatan.
Abdulrahman. 1984. Hukum Adat menurut Perundang-Undangan Republik Indonesia. Jakarta :
Cendana Press.
Soepomo. 2000. Kedudukan Hukum Adat Di Kemudian Hari. Jakarta : Pustaka Rakyat
Hartono, Sunarti. 1998. Sumbangsih Hukum Adat bagi Perkembangan Pembentukan Hukum
Nasional dalam M. Syamsudin et al Editor : Hukum adat dan Modernisasi Hukum.
Yogyakarta : FH-UII Yogyakarta.
Dimyati, Khundzalifah. Teoritisasi Hukum: Studi Tentang Perkembangan Demikian Hukum di
Indonesia 1945-1990. Surakarta : Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Wiranata, I Gede A.B.. 2005. Hukum adat Indonesia, Perkembangan dari Masa Ke Masa
Bandung: Citra Aditya Bakti.
Muhammad, Bushar. 1977. Asas-Asas Hukum adat. Jakarta: PT. Pradnya Paramita.
Aiz, Muhammad. 2010. Konstelasi Hukum Adat dan Hukum Islam di Masa Penjajahan
Alfarisi, Akhmad. 2019. Sejarah Politik Hukum Adat. Pamekasan: Fakultas Hukum Universitas
Madura (Unira)

Anda mungkin juga menyukai