Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Sebelum Indonesia dijajah oleh Bangsa Belanda di awal tahun 1602, masyarakat
Indonesia hidup dengan sistem kebudayaan dan kerajaan yang berbeda-beda. Karena
perbedaan tersebut, maka sistem hukum pada masa itu adalah sistem Hukum Adat.
Setibanya para penjajah datang maka sistem Hukum mulai mengalami perubahan. Para
ahli hukum asal Belanda mulai mempelajari sistem Hukum Adat yang tumbuh di
masyakarat Indonesia. Prof. Dr. C. van Vollenhoven adalah salah satu peneliti yang
mempelajari serta dijuluki sebagai “Bapak Hukum Adat Indonesia”, hal ini lantaran
perannya dalam menjaga eksistensi hukum adat Indonesia sebagai salah satu sistem
hukum yang berlaku.
Indonesia merupakan Negara kepulauan yang terdiri dari beribu-ribu pulau dan
berbagai keanekaragaman budaya, suku, maupun agama yang ada di Indonesia. Tata cara
perkawinan suku di Indonesia pun juga berbeda-beda. Suku Jawa adalah kelompok
terbesar di Indonesia dengan jumlah yang mencapai 41% dari total populasi. Begitu juga
dengan tata cara perkawinan yang terjadi di Indonesia pun juga banyak sekali dan
berbeda-berbeda meliputi suku yang dianut. Salah satunya adalah perkawinan adat jawa.1

1.2. Rumusan Masalah


1. Sejarah dan pengertian Hukum Adat ?
2. Sejarah Singkat Masyarakat Jawa ?
3. Pengertian Perkawinan ?
4. Tata Cara Perkawinan Adat Jawa

1.3. Tujuan
1. Untuk mengetahui dan menjelaskan pengertian Hukum Adat.
2. Untuk mengetahui dan menjelaskan pengertian Hukum Adat Jawa
3. Untuk mengetahui Pengertian Perkawinan.
4. Untuk mengetahui bagaimana Tata Cara Perkawinan Adat Jawa.

1
https://indonesia.go.id/profil/suku-bangsa diakses pukul 18.41 30 Oktober 2020

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Singkat Hukum Adat


Perkembangan Hukum Adat
Peraturan adat istiadat kita ini, pada hakekatnya sudah terdapat pada zaman
kuno, zaman Pra-Hindu. Adat istiadat yang hidup dalam masyarakat Pra-Hindu
tersebut menurut ahli-ahli hukum adat adalah merupakan adat-adat Melayu-Polinesia.
Kemudian datang kultur Hindu, kultur Islam, dan kultur Kristen yang
masingmasing mempengaruhi kultur asli tersebut yang sejak lama menguasai tata
kehidupan masyarakat Indonesia sebagai suatu hukum adat. Sehingga Hukum Adat
yang kini hidup pada rakyat itu adalah hasil akulturasi antara peraturanperaturan adat-
istiadat zaman Pra-Hindu dengan peraturan-peraturan hidupyang dibawa oleh kultur
Hindu, kultur Islam, dan kultur Kristen. 2 Dalam buku Prof. Mr. Cornelis van
Vollenhoven “Het Adatrecht van Nederland Indie” jilid 1 eerste stuk halaman 9
menggambarkan hukum Adat sebagai berikut3 :

“Inlandrecht”
(Hukum Adat atau Hukum Pribumi)

Yang tidak tertulis Yang tertulis


(jus non-scriptum) (jus scriptum)

Hukum asli penduduk Hukum Agama

Adanya Hukum Adat Indonesia


2
Wignjpdipoero Soerojo, “Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat”, (Jakarta: CV Haji Masagung, 1992), hlm. 25
3
Wignjpdipoero Soerojo, “Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat”, (Jakarta: CV Haji Masagung, 1992), hlm. 26

2
Tahun 1000, pada zaman Hindu, Raja Dharmawangsa dari Jawa Timur dengan
kitabnya yang disebut Civacasana.4 Tahun 1331-1364 Gajah Mada Patih Majapahit,
membuat kitab yang disebut Kitab Gajah Mada. Tahun 1413-1430 Kanaka Patih
Majapahit, membuat kitab Adigama. Tahun 1350 di Bali ditemukan kitab hukum
Kutaramanava.5
Di samping kitab-kitab hukum kuno tersebut di atas dikenal juga peraturan-
peraturan asli sebagai berikut :
a) Di Tapanuli
Ruhut Parsaoran di Habatohan (kehidupan sosial di tanah Batak), Patik Dohot
Uhum ni Halak Batak (Undang-Undang dan ketentuan-ketentuan Batak).
b) Di Jambi
Undang-Undang Jambi
c) Di Palembang
Undang-Undang Simbur Cahaya (Undang-Undang tentang tanah di dataran
tinggi daerah Palembang).
d) Di Minangkabau
Undang-Undang nan dua puluh (Undang-Undang tentang hukum adat delik di
Minangkabau)
e) Di Sulawesi Selatan
Amana Gapa (peraturan tentang pelayaran dan pengangkatan laut bagi orang-
orang wajo.
f) Di Bali
Awig-awig (peraturan Subak dan desa) dan Agama desa (peraturan desa) yang
ditulis didalam daun lontar.

Sebelum datang VOC belum ada penelitian tentang hukum adat, dan semasa
VOC karena ada kepentingan atas Negara jajahannya (menggunakan politik
opportunity), maka Heren XVII (pejabat di Negeri Belanda yang mengurus Negara-
negara jajahan Belanda) mengeluarkan perintah kepada Jenderal yang memimpin
daerah jajahannya masing-masing untuk menerapkan hukum Belanda di Negara
jajahan (Indonesia) tepatnya yaitu pada tanggal 1 Maret 1621 yang baru dilaksanakan

4
Krom N.J.: “Hindu Javaansche geschiedenisd” 1931; C. van Vollenhoven: “De ontdekking van het Adatrecht”
1928 hlm 3
5
Wignjpdipoero Soerojo, “Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat”, (Jakarta: CV Haji Masagung, 1992), hlm. 27

3
pada tahun 1625 yaitu pada pemerintahan Gubernur Jenderal De Carventer6 yang
sebelumnya mengadakan penelitian dulu dan akhirnya sampai pada suatu kesimpulan
bahwa di Indonesia masih ada hukum adat yang hidup.
Oleh karena itu, De Carventer memberikan tambahan bahwa hukum itu
disesuaikan sehingga perlu 4 kodifikasi hukum adat yaitu :
a. Tahun 1750, untuk keperluan Landraad (pengadilan) di Semarang dengan
kitab hukum “Mogharraer” yang mengatur hukum pidana islam
b. Catatan tentang Hukum Adat yang terdapat di Keraton Bone dan Goa oleh
Bosschenaar Yan Dirk van Clootwijck, Gubernur Pantai Sulawesi 1752-1755
c. Kitab Hukum Preijer yang berisi tentang hukum perkawinan dan hukum
waris menurut islam dipakai pada pengadilan-pengadilan Kompeni tahun
1760
d. Papakem Cirebon dibuat oleh Mr. P.C. Hansselaer residen Cirebon dari
1757-1765.
e. Laporan Van Overstraten, Gubernur pesisir timur laut Jawa tentang “Desa di
Jawa sebagai badan yang mempunyai organisasi sendiri” tahun 1796
f. Tulisan Nicolaas Engelhard, Gubernur Pasundan tentang Penduduk desa asli
dan penumpang di Pasudan tahun 1795, kemudian pada tahun 1805 tentang
penyelidikan pembagian sawah-sawah dalam kalangan penduduk desa
g. Hasil penelitian Dirk van Hogendorp, Gezaghebber pantai timur Jawa tahun
1794-1798 tentang milik tanah.

Zaman Daendels (1808-1811)


Daendels di dalam peraturannya terhadap “daerah pantai Timur Laut Jawa”
menetapkan penghulu dalam perlakuan hukum sebagai ahli (“deskundige” - pasal 44)
serta dipergunakan sebagai juru penasehat (pasal 58)7. Oleh karena itu, maka telah
dapat diperoleh kesimpulan, bahwa Daendels menganggap derajat hukum Eropa lebih
tinggi dari Hukum Adat. Mengganggap hukum Adat tidak cukup baik untuk Eropa.
Berdasarkan anggapan itulah Daendels memutuskan, walaupun golongan
Bumi Putra di Jawa tetap dibiarkan memakai hukumnya (materiil dan formal) sendiri,

6
Wignjpdipoero Soerojo, “Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat”, (Jakarta: CV Haji Masagung, 1992), hlm. 37
7
Prof. Soepomo dan Prof. Djokosutono, ”Sejarah Politik Hukum Adat I”, (Jakarta: P.T Pradnya Paramita, 1982),
hlm 59

4
dan oleh karenanya Landraaden serta Landgerechten harus mengikutinya, namun
Hukum Adat tidak akan diperlakukan :
1. Jika karenanya si penjahat dapat melepaskan diri dari pidananya, oleh sebab
itu keadilan harus dituntut atas nama Pemerintah jika hal ini tidak atau tidak dapat
dilakukan oleh orang biasa.
2. Bila pidana yang ditetapkan dalam Hukum Adat itu tidak sebanding dengan
kejahatannya ataupun tidak cukup berat untuk menjamin keamanan umum, dalam hal
ini pengadilan harus menetapkan pidana menurut kasus yang dihadapinya.
3. Jika Hukum Acara Adat tidak mungkin menghasilkan bukti atau keyakinan
hakim, dalam hal ini Pengadilan diberi kuasa untuk memperbaikinya menurut
permufakatan dan contoh dari hukum umum serta praktek..8

Zaman Raffles (1811-1816)


Pada zaman ini Gubernur Jenderal membentuk panitia Mackenzie atau suatu
panitia yang tugasnya mengkaji/meneliti peraturan-peraturan yang ada di masyarakat
Indonesia di Pulau Jawa, untuk mengadakan perubahan-perubahan yang pasti dalam
membentuk pemerintahan yang dipimpinnya. Setelah terkumpul hasil penelitian
komisi ini yaitu pada tanggal 11 Februari 1814 dibuat peraturan yaitu “Regulation for
the more effectual Administration of justice in the provincial court of Java” yang
isinya : Residen menjabat sekaligus sebagai Kepala Hakim, Susunan pengadilan
terdiri dari : Division court , Bupati’s court, dan Residen’s court. 9 Untuk mencegah
tindakan sewenang-wenang, maka prinsipnya ditentukan oleh Raffles bahwa badan
pemerintah yang terdiri dari atas orang-orang Barat/Eropa harus mengadakan
hubungan langsung dengan rakyat dengan melangkahi dan mengesampingkan para
kepala penduduk asli/ pribumi tadi. Dalam perkara antar orang Indonesia pada
umumnya diperlakukan Hukum Adat, dengan syarat :
 Tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip kodrat
yang universal dan diakui.
 Prinsip-prinsip keadilan hakiki yang diakui.10

8
Nugroho Sigit Sapto, S.H. , M.Hum. , ” Pengantar Hukum Adat Indonesia”,(Solo: Pustaka Iltizam, 2016) hlm, 77
9
Wignjpdipoero Soerojo, “Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat”, (Jakarta: CV Haji Masagung, 1992), hlm. 39
10
Nugroho Sigit Sapto, S.H. , M.Hum. , ” Pengantar Hukum Adat Indonesia”,(Solo: Pustaka Iltizam, 2016) hlm,
79

5
Tahun 1848-1928
Supomo dan Djokosutono dalam buku Sejarah politik hukum adat, II 35,
memohon perhatian untuk hal. Di dalam lapangan sejarah hukum yang berlaku di
daerah Indonesia di bawah pemerintahan Belanda, tahun 1848 merupakan suatu saat
jang penting sekali” . Demikian juga Utrecht menyebut. Tahun 1848 menjadi tahun
jang sangat penting dalam sejarah hukum Indonesia. Di atas tadi telah kita lihat bahwa
Komisaris-Djenderal hanya membuat peraturan-peraturan sementara saja, karena
hendak menunggu hasil kodifikasi nasional di Negeri Belanda, yang hendaknya juga
didjadikan berlaku di Indonesia, atau paling sedikit dijadikan contoh bagi peraturan-
peraturan hukum di Indonesia, sesuai dengan azas konkordansi dan azas yang melihat
hukum adat itu perketjualian atas hukum Eropa. Pada tahun 1838 hasil kodifikasi di
Negeri Belanda itu telah nyata, telah menjadi hukum positif di Negeri Belanda. jadi,
tahun 1838 itu adalah saatnya untuk memulai di Indonesia suatu usaha membuat
peraturan-peraturan tetap yang mencontoh hasil kodifikasi di Negeri Belanda, yang
akan mengganti peraturan-peraturan sementara tersebut dan peraturan-peraturan lama
jang lain. Untuk dapat melaksanakan tugas itu, pada tahun 1830 jadi, sudah delapan
tahun sebelumnya Mr G.G. Hageman, President Hoog Gereclitsliof, diberi kewajiban
istimewa mempersiapkan suatu rencana-kodifikasi di Indonesia.11 Hageman
berpendapat : Hindia Belanda sangat memerlukan suatu Kitab Undang-Undang
Hukum Privat yang ditulis dalam bahasa Pribumi yaitu Bahasa Indonesia dan Bahasa
Jawa. Dari pernyataannya itu dapat disimpulkan bahwa Hageman mencita-citakan
suatu Kitab Undang-Undang Uniform/Unifikasi untuk golongan Bumi Putera dan
Eropa bersama-sama. Tetapi hasrat itu tinggal angan-angan belaka, karena masa
tugasnya berakhir tanpa menghasilkan sesuatu yang positif. Tetapi yang penting
dalam hubungan ini ialah bahwa Asas Unifikasi Hukum telah mulai nampak dalam
sejarah Politik Hukum Belanda yang menyadari arti pentingnya Hukum Adat.12
Setelah pemisahan Kerajaan Belanda dan Kerajaan Belgia maka buku-buku
hukum yang telah diperbarui dengan perubahan-perubahan yang disesuaikan dengan
situasi baru itu, akan berlaku di negeri Belanda pada tanggal 1 Oktober 1838.13
Pemerintah Belanda membentuk suatu komisi yang diketuai Mr. C.J Scholten Van
11
Muhammad Bushar, S.H.,“PENGANTAR HUKUM ADAT JILID I”, (Jakarta: PENERBIT DAN BALAI BUKU
ICHTIAR,1961) hlm, 139
12
Nugroho Sigit Sapto, S.H., M.Hum., ”Pengantar Hukum Adat Indonesia”,(Solo:Pustaka Iltizam,2016) hlm, 81-
82

13
Wignjpdipoero Soerojo, “Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat”, (Jakarta: CV Haji Masagung, 1992), hlm. 47

6
Harrlem dan sebagai anggotannya Mr. I Schneither dan Mr. I.F.H Van Nes. Yang
untuk selanjutnya disebut dengan Komisi Scholten Van Oud Haarlem. Komisi ini
bertugas membuat rencana yang diperlukan agar perundang-undangan Nederland
yang baru itu dapat ditetapkan di Hindia Belanda dan mengajukan usul-usul yang
sesuai dengan pelaksanaan tugas tersebut. Berlainan dengan sikap Hageman, maka
sejak semula Scholten van Oud Haarlem bermaksud tidak akan menjamah Hukum
Privat Adat. Jadi menurut pendapatnya, bangsa Indonesia bebas dari penerapan asas
unifikasi hukum yang termaktub dalam instruksi Pemerintah Pusat di Belanda. Tetapi
di samping pendapat yang sedikit banyak melindungai Hukum Adat itu terdapat
pandangan yang mengandung ancaman bagi kehidupan dan perkembangannya.
Kedudukan Hukum Adat di dalam sistem perundang-undangan di Indonesia
adalah sebagai berikut :
1. Mr. Wichers, Presiden Hoog-Gerechtshof atau Presiden Mahkamah Agung
pada saat itu, ditugaskan untuk menyelidiki apakah Hukum Adat Privat itu tidak dapat
diganti dengan Hukum Kodifikasi Barat. Rencana Kodifikasi Wichers gagal, karena
Hukum Barat tidak cocok bagi apa yang olehnya dinamakan perhubungan-
perhubungan Hukum Sederhana Bangsa Indonesia.
2. Sekitar tahun 1870 pada saat perusahaan partikelir Belanda masuk
Indonesia menggantikan eksploitasi negara, Menteri Jajahan Belanda, mengusulkan
penggunaan Hukum Tanah Eropa bagi penduduk di Indonesia untuk kepentingan
agraria pengusaha Belanda. Usaha ini pun gagal, karena Parlemen Belanda menuntut
lebih dahulu diadakannya penyelidikan lokal mengenai hak-hak penduduk terhadap
tanah.
3. Pada tahun 1900 Cremer, Menteri Jajahan menghendaki diadakannya
kodifikasi lokal untuk sebagian Hukum Adat dengan mendahulukan daerah-daerah
dimana penduduknya telah memeluk agama Kristen. Alasannya: ketiadaan jaminan
hukum bagi penduduk yang telah memeluk Agama Kristen dianggap sangat terasa di
daerah-daerah tersebut. Kehendak Cremer ini belum lagi sempat diselenggarakan
sudah tersusul oleh usaha berikutnya.
4. Kabinet Kuyper pada tahun 1904 mengusulkan suatu rencana undang-
undang untuk menggantikan Hukum Adat dengan hukum Eropa. Pemerintah Belanda
untuk kepentingan-kepentingan tertentu menghendaki supaya seluruh penduduk asli
tunduk pada unifikasi hukum secara Barat. Usaha ini mengandung pengertian dan
keyakinan, bahwa Hukum Adat sama sekali tidak mampu memenuhi tuntutan-

7
tuntutan abad 20. Usaha ini gagal, sebab Parlemen Belanda menerima suatu
Amandemen yakni Amandemen Van Idsinga yang hanya mengijinkan penggantian
Hukum Adat dengan Hukum Barat jika kebutuhan-kebutuhan sosial rakyat
menghendakinya. Van Idsinga membuat Amandemen ini karena terpengaruh oleh
karangan Van Voolenhoven yang berjudul “Geen Juristenrecht voor den Indonesier”
(untuk Bangsa Indonesia jangan diperlakukan hukum untuk hakim)
5. Pada tahun 1914 Pemerintah Belanda dengan tidak menghiraukan
Amandemen Idsinga, mengumumkan rencana KUH Perdata bagi seluruh golongan
penduduk di Indonesia. Dan rencana ini ditentang keras oleh Van Vollenhoven dalam
karangannya “Strijd van het Adatrecht” (Perjuangan bagi Hukum Adat). Dan rencana
ini tinggal rencana dan tidak pernah dimajukan kepada Parlemen Belanda.
6. Pada tahun 1923 Mr. Gowan, Direktur Departemen Justitie di Jakarta
membuat rencana baru KUH Perdata dalam tahun 1920, yang diumumkan Pemerintah
Belanda sebagai rencana Unifikasi dalam tahun 1923. Dan ini gagal lagi karena kritik
Van Vollenhoven dalam karangannya “Juridisch Confeetiewerk” atau “Karya
Konfeksi Hukum”.14
Lambat-laun hasil-hasil itu tldak diperhatikan oieh kalangan ahli dan peminat
limu Pengetahuan Hukum di Indonesia. Pada hal pada tahun 1920-an van Vollenhoven
sendiri pernah memperingatkan bahwa pengetahuan Hukum Adat yang sebenamnya
iaiah pengetahuan yang dihasilkan oleh putera-putera bangsa itu sendiri. Dan itu yang
harus ditunggu-tunggu. 15

Tahun 1928-1945
Pandangan ideoiogis tentang hukum adat ini diperkenalkan sebagai ide mulai
tahun 1926 dalam kongres pemuda Indonesia pertama. Pada waktu Kongres I belum
dapat dirumuskan keputusan yang pasti, kemudian dilanjutkan pada Kongres.,kedua
pada tanggal 28 Oktober 1928. Konsepsi hukum adat yang dilukiskan sampai dengan
bulan Juli 1945, merupakan pematangan idiologi tentang pandangan hukum adat
sebagaimana dicetuskan pada tahun 1928.

14
Nugroho Sigit Sapto, S.H. , M.Hum. , ” Pengantar Hukum Adat Indonesia”,(Solo: Pustaka Iltizam, 2016) hlm,
83-84
15
M. Syamsudin, “Perkembangan Konsep Hukum Adat dari Konsepsi Barat ke Konsepsi Nasional” vol 3 No. 5
1996, hlm 71

8
Dalam karangannya “Setengah Jalan Politik Hukum Adat Baru” Ter Haar
menggambarkan hasil perundang-undangan di lapangan Hukum Adat itu sebagai
berikut :
1. Peradilan Adat di daerah yang diperintah secara langsung diberi aturan
dasar dalam Ordonasi (S. 1932 – 80) dan dalam peraturan pelaksanaannya yang
dibuat oleh Resident setempat.
2. Peradilan Swapraja diberi beberapa aturan dasar dalam ZelfBestuursregelen
1938 (S. 1938 – 529) dalam Lang Contract dan dalam peraturan daerah Swapraja
yang bersangkutan serta peraturan yang dibuat oleh Residen setempat.
3. Hakim Desa diberi pengakuan perundang-undangan dalam S. 1935 – 102
yang menyisipkan pasal 3 a ke dalam R.O.
4. Sebagai salah satu hasil usaha untuk memperbaiki peradilan agama, dalam
Pasal 134 I.S (vide ayat 2) diadakan perubahan (menurut S. 1929 – 221 jo 487).
Kemudian pada tahun 1931 diadakan penegasan tentang Susunan dan Kompetensi Pe-
ngadilan Agama (S. 1931 – 53) (direalisasikan pada Tahun 1937 – 116). Pada tanggal
1 Januari 1938 didirikan “Mahkamah Urusan Agama Islam” sebagai pengadilan di
banding atas keputusan Pengadilan Agama yang dikenal dengan nama RAAD
AGAMA (S. 1937 – 610). 5. Tanggal 1 Januari 1938 merupakan hari bersejarah bagi
Hukum Adat, karena pada waktu itu Raad van Justitie di Kota Betawi didirikan suatu
Adat Kamer (Kamar Adat) yang mengadili dalam tingkat banding perkara-perkara
hukum privat adat yang telah diputuskan oleh Landraaden di Jawa, Palembang,
Jambi, Bangka-Belitung, Kalimantan, dan Bali. (S. 1937 – 631).

Tahun 1945 – sekarang


Pada zaman sesudah Perang Dunia ke II terutama pada zaman Revolusi Fisik
antara tahun 1945 dan tahun 1950 dan pada beberapa tahun pertama sesudah tahun
1950, yaitu pada zaman yang kita perlukan untuk mengkonsulidasi segala yang telah
kita peroleh sebagai hasil revolusi fisik antara tahun 1945–1950, kegiatan menyelidiki
dan mempelajari Hukum Adat sangat berkurang.
Setelah mempelajari asas-asas hukum yang hidup di kalangan rakyat
Indonesia, mengadakan rapat “hearings” dari golongan masyarakat maka pada tahun
1962 Lembaga Pembinaan Hukum Nasional telah berhasil merumuskan asas-asas tata
hukum nasional itu sebagai berikut :
1. Dasar pokok Hukum Nasional Republik Indonesia adalah : “Pancasila”

9
2. Hukum nasional bersifat :
a. Pengayoman
b. Gotong royong
c. Kekeluargaan
d. Toleransi dan anti kolonialisme, imperialisme dan Feodalisme.
3. Semua hukum sebanyak mungkin diberi bentuk tertulis.
4. Selain hukum tertulis diakui berlaku hukum tidak tertulis sepanjang tidak
menghambat terbentuknya masyarakat sosialis Indonesia.
5. Hakim membimbing perkembangan hukum tak tertulis melalui
Jurisprodensi ke arah keseragaman hukum (homogenitas) yang seluas-luasnya dan
dalam hukum kekeluargaan ke arah sistem parental.
6. Hukum tertulis mengenai bidang-bidang hukum tertentu sedapat mungkin di
himpun dalam bentuk kodifikasi (Hukum Perdata, Hukum Pidana, Hukum Dagang,
Hukum Acara Pidana, Hukum Acara Perdata)
7. Untuk pembangunan masyarakat sosialis Indonesia diusahakan unifikasi
hukum.16
Seminar Hukum Nasional ke IV diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 26-
30 Maret 1979. Mengenai sistem hukum nasional ini antara lain menyimpulkan
sebagai berikut :
1. Sistim hukum hasional harus sesuai dengan kebutuhan dan kesadaran
hukum rakyat Indonesia.
2. Landasan hukum nasional ialah Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945.
3. Asas-asas umum hukum nasional adalah asas-asas yang tercantum dalam
Garis-Garis Besar Haluan Negara (Ketetapan MPR No. IV/MPR/1978) yaitu :
a. Asas Manfaat
b. Asas Usaha Bersama dan Kekeluargaan
c. Asas Demokrasi
d. Asas Adil dan Merata
e. Asas Perikehidupan dalam Keseimbangan
f. Asas Kesadaran Hukum
g. Asas Kepercayaan Kepada Diri Sendiri17
Pengertian Hukum Adat

16
Nugroho Sigit Sapto, S.H. , M.Hum. , ” Pengantar Hukum Adat Indonesia”,(Solo: Pustaka Iltizam, 2016) hlm 94
17
Wignjpdipoero Soerojo, “Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat”, (Jakarta: CV Haji Masagung, 1992), hlm. 66

10
Istilah hukum adat pertama sekali diperkenalkan oleh Snouck Hurgronje pada
Tahun 1983 dalam bukunya De Atjehnese.18 Dalam buku itu dia memperkenalkan
istilah Adatrecht (hukum adat) yaitu hukum yang berlaku bagi bumi putra (orang
Indonesia asli) dan orang timur asing pada masa Hindia Belanda. Hukum adat baru
mempunyai pengertian secara tehnis yuridis setelah C. Van Vollenhoven
mengeluarkan bukunya yang berjudul Adatrecht. Mengenai definisi hukum adat, C.
Van Vollenhoven berpendapat bahwa apabila seorang hakim menghadapi kenyataan
bahwa ada peraturan tingkah laku yang oleh masyarakat dianggap patut dan mengikat
para warga masyarakat serta ada perasaan umum peraturan-peraturan itu harus
dipertahankan oleh para pejabat hukum, maka peraturanperaturan adat tadi bersifat
hukum. Dialah yang pertama sekali menyatakan bahwa hukum adat merupakan
hukum yang berlaku bagi rakyat Indonesia asli dan mejadikannya sebagai objek ilmu
pengetahuan hukum positif serta dijadikan sebagai mata kuliah tersendiri. Dia juga
yang mengangkat hukum adat sebagai hukum yang harus diterapkan oleh hakim
gubernemen. 19
Pada umumnya di dalam sistem hukum Indonesia tradisional terdapat hukum
yang tidak tertulis serta hukum yang tidak dikodifikasikan di dalam suatu kitab
undang-undang Hukum yang tidak tertulis ini dinamakan “Hukum Adat” yang
merupakan sinonim dari pengertian Hukum Kebiasaan. Apabila kita jumpai hal-hal
yang tertulis, hal ini merupakan Hukum Adat yang tercatat (Beschetegen Adat Recht)
dan Hukum Adat didokumentasikan (Documentereerd Adat Recht). Pada umumnya
Hukum Adat yang tercatat merupakan hasil-hasil penelitian para ahli yang kemudian
dibukukan dalam bentuk monografi-monografi.
Gambaran perkembangan hukum adat20 :

(Negara)
Manusia Kebiasaan ADAT
Hukum Adat
Pikiran, kehendak, perilaku (Pribadi) (Masyarakat)
(Rakyat)

a. Prof. Mr. B. Terhaar Bzn

18
Djuned T, 1992, Asas-asas Hukum Adat, Fakultas Hukum Unsyiah, hlm.8
19
Syahbandir Mahdi,” Kedudukan Hukum Adat dalam Sistem Hukum”, 2010 vol 12 No. 1, hlm. 2
20
Hilman Hadikusuma, “Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia”, (Bandung: CV Mandar Maju, 2018) hlm. 2

11
Hukum adat adalah keseluruhan peraturan yang menjelma dalam keputusan-
keputusan dari kepala-kepala adat dan berlaku secara spontan dalam masyarakat.
Teori Keputusan dari Terhaar menyatakan bahwa untuk melihat apakah sesuatu adat
istiadat itu sudah merupakan hukum adat, maka perlu melihat dari sikap penguasa
masyarakat hukum terhadap si pelanggar peraturan peraturan adat istiadat. Apabila
penguasa menjatuhkan putusan hukum terhadap si pelanggar, maka adat istiadat itu
sudah merupakan hukum adat.
b. Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven
Hukum adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku masyarakat yang berlaku
dan mempunyai sanksi dan belum dikodifikasikan.
c. Dr. Sukanto, S.H.
Hukum adat adalah kompleks adat-adat yang pada umumnya tidak dikitabkan,
tidak dikodifikasikan dan bersifat paksaan, mempunyai sanksi jadi mempunyai akibat
hukum.
d. Mr. JHP Bellefroid
Hukum adat sebagai peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak
diundangkan oleh penguasa, tetapi tetap dihormati dan ditaati oleh rakyat dengan
keyakinan bahwa peraturan-peraturan tersebut berlaku sebagai hukum.
e. Prof. M.M. Djojodigoeno, S.H.
Hukum adat adalah hukum yang tidak bersumber kepada peraturan-peraturan.
f. Prof. Dr. Hazairin
Hukum adat adalah endapan kesusilaan dalam masyarakat yaitu kaidah-kaidah
kesusilaan yang kebenarannya telah mendapat pengakuan umum dalam masyarakat
itu.
g. Soeroyo Wignyodipuro, S.H.
Hukum adat adalah suatu kompleks norma-norma yang bersumber pada
perasaan keadilan rakyat yang selalu berkembang serta meliputi peraturan-peraturan
tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat, sebagian besar
tidak tertulis, senantiasa ditaati dan dihormati oleh rakyat karena mempunyai akibat
hukum (sanksi).
h. Prof. Dr. Soepomo, S.H.
Hukum adat adalah hukum tidak tertulis, meliputi peraturan-peraturan hidup
yang meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwajib tetapi ditaati dan didukung oleh

12
rakyat berdasarkan keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan tersebut mempunyai
kekuatan hukum.21
Hal ini dapat berpengaruh pada psikologi (kejiwaan) anggota masyarakat adat
bila mengabaikan/melanggar aturan-aturan adat. Untuk menjaga dan memelihara
aturan-aturan adat terhadap anak keturunan/anggota masyarakat adat, maka secara
berkesinambungan sedini mungkin aturan adat dan unsur yang terkandung dalam adat
harus di tanamkan kepada setiap generasi pelanjutnya.22
Dari pengertian-pengertian yang dikemukakan di atas, maka terlihat unsur-
unsur dari Hukum Adat sebagai berikut :
- Adanya tingkah laku yang terus menerus dilakukan oleh masyarakat
- Tingkah laku tersebut teratur dan sistematis
- Tingkah laku tersebut mempunyai nilai sakral
- Adanya keputusan kepala adat
- Adanya sanksi/akibat hukum
- Tidak tertulis
- Ditaati dalam masyarakat

21
Wignjpdipoero Soerojo, “Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat”, (Jakarta: CV Haji Masagung, 1992), hlm. 15
22
H. Munir Salim, “ADAT RECHT SEBAGAI BUKTI SEJARAH DALAM PERKEMBANGAN HUKUM POSITIF DI
INDONESIA” Vol. 4 / No. 1 / Juni 2015

13
2.2 Sejarah Masyarakat Suku Jawa
Suku Jawa menjadi salah satu suku terbesar di Indonesia, dengan jumlah sekitar
40,22% dari populasi manusia di nusantara. Suku yang memiliki banyak keunikan di
bidang budaya, bahasa, dan kuliner khasnya ini terkenal dengan sifat dan tutur katanya
yang halus. Tidak hanya bertempat tinggal di Pulau Jawa, suku jawa juga tersebar di
berbagai pelosok di Indonesia.
Peradaban suku Jawa termasuk maju. Hal ini dapat dibuktikan karena adanya
peninggalan kerajaan-kerajaan besar yang berada di tanah Jawa, dan masih dapat dilihat
hingga kini. Misalnua Candi Borobudur, Prambanan, Mendut, Singosari, dan
sebagainya.
Menurut arkeolog, Eugene Dubois, seorang ahli anatomi yang berasal dari
Belanda menemukan sebuah fosil manusia purba Homo erectus. Fosil ini ditemukan di
Trinil pada tahun 1891. Pasca penemuan ini, dilakukan perbandingan antara DNA fosil
kuno tersebut dengan suku Jawa di masa kini Hasilnya, DNA tersebut tidak memiliki
perbedaan jauh dengan suku Jawa masa kini. Hal ini diperkuat dengan ditemukannya
fosil manusia purba, yaitu Pithecanthropus erectus. Sehingga membuat para arkeolog ini
menjadi yakin bahwa nenek moyang suku jawa berasal dari penduduk pribumi.
Berbeda dengan Eugene, menurut seorang sejarawan justru berbanding terbalik.
Von Hein Geldern menyebutkan bahwa telah terjadi migrasi penduduk dari daerah
Tiongkok (Yunan) di kepulauan Nusantara. Migrasi ini sudah ada sejak zaman
neolitikum 2000 SM, sampai zaman perunggu 500 SM, secara besar-besaran bertahap
menggunakan perahu cadik.
Begitu juga Dr. H. Kern menyebutkan, berdasarkan penelitiannya di tahun 1899
bahwa bahasa daerah di Indonesia mirip satu sama lain, dan Kern menarik kesimpulan
bahwa bahasa tersebut akar dari rumpun yang sama, yaitu Austronesia.
Maka, hal inilah yang membuat Geldern yakin bahwa Suku Jawa tidak berasal
dari masyarakat pribumi asli. Namun, ada bukti juga melalui tulisan kuno India dan
keraton Malang yang berbeda Pasalnya, dalam tulisan kuno India disebutkan bahwa jika
beberapa pulau di Nusantara termasuk pulau Jawa, adalah tanah yang menyatu dengan
daratan Asia dan Australia. Akan tetapi, pada saat itu terjadi musibah permukaan air laut
naik. Hal ini membuat Pulau Jawa dan beberapa pulau lainnya terpisah. Tulisan kuno
tersebut juga menyebutkan Aji Saka, seorang pengembara yang pertama kali datang di
daratan Pulau Jawa, dan menetap di sana bersama para pengikutnya menjadikan mereka
sebagai nenek moyang orang dari suku Jawa.

14
Adapun menurut Babad Jawa kuno, asal usul nenek moyang suku jawa juga
disebutkan dalam babad kuno jawa. Dalam babad ini, diceritakan bahwa pangeran yang
berasal dari Kerajaan Kling tersisihkan bersama pengikutnya.
Hal tersebut merupakan akibat dari perebutan kekuasaan membuka lahan baru di
sebuah pulau terpencil yang dibangun oleh mereka, sebagai pemukiman dan mendirikan
kerajaan yang diberi nama Javacekwara. Keturunan pangeran inilah yang dianggap
sebagai nenek moyang suku Jawa menurut Babad Tanah Jawa. Sementara itu,
ditemukan sejarah yang lebih jelas. Menurut surat kuno keraton Malang, asal-usul suku
Jawa berasal dari kerajaan Turki tahun 450 SM. Kala itu, Raja Rum, raja dari Kerajaan
Turki mengutus para penduduknya untuk membuka lahan di pulau kekuasaannya yang
belum berpenghuni. Namun, karena gangguan binatang buas, banyak penduduknya yang
menderita sehingga mereka pulang kembali ke negara aslinya.
Kemudian, pada tahun 350 SM, raja kembali mengirim para penduduk untuk
kedua kalinya. Perpindahan tersebut membawa 20.000 laki-laki, dan 20.000 perempuan
berasal dari Koromandel. Perpindahan dipimpin oleh Aji Keler yang menemukan Nusa
Kendang dengan dataran tinggi yang ditutupi oleh hutan lebat, dan banyak binatang
buas. Konon, saat itu para penduduk sangat senang karena di pulau tersebut banyak
ditemukan bahan pangan, dan tanaman yang subur bernama tanaman Jawi. Tanaman
jawi banyak ditemukan dimana-mana, maka dari itu nama dari jenis tanaman inilah
dijadikan sebagai nama pulau tersebut yakni, Pulau Jawa. Hingga kini dikenal dengan
Pulau Jawa dengan sebutan para pendudukanya, yakni suku Jawa.23
Membuat ekstrapolasi dari masa sekarang ke masa lampau (Glinka 1978). Data
antropometris dari 110 populasi dari seluruh kawasan Indonesia, Malaysia, Taiwan,
Filipina dan Madagaskar. Hasilnya ialah satu diagram raksasa, di mana semua populasi
teratur menurut mirip badaninya. Ringkasan clustering ini disajikan dalam Tabel 1.
Seluruh diagram terbagi jelas atas dua bagian besar: I dan II. Cluster I terdiri dari
populasi yang menduduki pulau-pulau luar Nusantara, tambah populasi-populasi Malayu
dari pulau Taiwan; cluster II mengandung populasi dari Kalimantan, Madagaskar dan
populasi penduduk primitif dari Filipina. Populasi dalam cluster I dan II ini merupakan
dua kelompok, yang berkembang secara terpisah atau berasal dari migrasi yang berbeda.
Cluster I terbagi lagi dengan jelas atas dua subcluster: A+B dan C+D+F. Subcluster
A+B mengandung populasi dari NTT, Siberut, Tengger, Nias Selatan serta populasi

23
https:/ /www .good newsfromind onesia.id/2020/04/ 07/mengetahui-asal-usul-lahirnya-suku-jawa diakses
pukul 09.33 24 Oktober 2020

15
Semang dan Senoi dari Malaka; subcluster C+D+F berisi populasi dari Nias, Sipora,
Sumatera, Jawa, Madura, Bawean, Bali, Lombok, dua popuasi dari Flotim, Tionghoa
dari Indonesia dan populasi dari Taiwan. Inilah subcluster yang menarik minat kita,
karena mengandung populasi Jawa. Subcluster A+B meliputi terutama populasi rasial
bersifat Austromelanesid. Subcluster C+ D+F mengandung populasi bersifat rasial jelas
Mongolid. Subcluster inilah yang mendapat gen-gen dari populasi Mongolid dari arah
Utara, sehingga akhirnya sendiri menjadi Mongolid. Hanya sekian dapat dikatakan
berdasarkan penelitian antropologi ragawi dengan ekstrapolasi dari masa kini ke masa
lampau.

Ternyata, pembentukan/pemisahan bahasa di Nusantara berlangsung kurang lebih


5.000 tahun yang akhir ini (Tab. 2). Menurut pembagian oleh Dyen (1965), bahasa Jawa
masuk rumpun berikut ini :

16
Sesuai perhitungan ini bahasa Jawa dan Sunda, pada waktu itu masih sebagai satu
bahasa, yang berpisah dari rumpun Malayic Hesion 2246 tahun yang lalu lantas bahasa Jawa
dan Sunda terpisah satu dari yang lain kurang lebih 2168 tahun yang lampau.24

24
Josef Glinka, "Asal-mula Orang Jawa: Suatu Tinjauan Antropologis," Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Th
XIV14, No 2, April 2001, hlm 4-6

17
2.3 Pengertian Perkawinan
Sebelum ada UU No. 1 Tahun 1974 di Indonesia berlaku berbagai hukum
perkawinan bagi berbagai golongan warga negara dan berbagai daerah. Dalam Indiesche
Stasts Regelling (ISR) yaitu peraturan Ketatanegaraan Hindia pasal 163 yang
membedakan golongan penduduk dalam tiga macam, yaitu golongan Eropa (termasuk
Jepang), golongan Pribumi (Indonesia), dan golongan Timur Asing, kecuali yang
beragama Kristen. 25
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan disahkan dan
ditandatangangi oleh Presiden Republik Indonesia Jend. TNI Soeharto di Jakarta pada
tanggal 02 Januari 1974. Pasal 1 dan 2 Undang- Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan menjelaskan bahwa : “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang
pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau
rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya itu.”
Menurut pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
merumuskan, bahwa ikatan suami-istri berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa,
perkawinan merupakan perikatan yang suci. Perikatan tidak dapat melepaskan dari
agama yang dianut suami-istri. Hidup bersama suami-istri dalam perkawinan tidak
semata-mata untuk tertibnya hubungan seksual tetapi suami-istri dapat membentuk
rumah tangga yang bahagia, rumah tangga yang rukun, aman dan harmonis antara
suami-istri. Perkawinan salah satu janji suci antara laki-laki dan seorang perempuan
untuk membentuk keluarga bahagia.26
BW tidak mengatur secara tegas mengenai defenisi perkawinan. Menurut pasal
26 BW undang-undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan perdata
saja :
a. Perkawinan hanya merupakan ikatan lahir saja
b. Tidak memasukkan unsur keagamaan secara tegas
c. Tidak bertujuan mendapatkan keturunan

25
Hadikusuma Hilman, ”Hukum Perkawinan Indonesia”, (Bandung: CV. Mandar Maju, 2007) hlm. 4
26
Sembiring Rosnidar, ”Hukum Keluarga Harta-Harta Benda dalam Perkawinan” (Depok: PT. Raja GraFindo,
2016) hlm. 43

18
Asas Perkawinan :
a. Asas kesepakatan : pasal 6 UUP “perkawinan harus didasarkan atas
persetujuan kedua calon mempelai”
b. Asas monogami : pasal 3 UUP :
1. Pada asasnya dalam suatu perkawinan hanya boleh mempunyai seorang
isteri, seorang perempuan hanya boleh mempunyai seorang suami
2. Pengadilan dapat memberikan izin kepada seorang suami untuk beristeri
lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang
berkepentingan.

Perbedaan Asas Monogami dalam BW dan UUP :


Asas monogami di dalam BW bersifat mutlak, sedang asas monogami
dalam UUP tidak mutlak.

2.4 Tata Cara Perkawinan Adat Jawa


Pengantin berasal dari kata anti yang mendapat awalan pa- dan akhiran -an,
menjadi pangantian (biasa diucapkan penganten) yang artinya penantian. Penganten
merupakan masa penantian yaitu menanti pergantian dari status lajang menjadi status
menikah. Penganten dari segi bahasa, sama dengan pangeran. Pangeran berasal dari kata
anghera yang artinya menanti, karena seorang pangeran berada dalam masa penantian/
harapan untuk menjadi raja (Penjelasan lisan Drs. Amir Rochkyatmo, dosen Fakultas
Sastra Universitas Indonesia, dalam wawancara Maret 1992).
Perkawinan adalah suatu yang sakral, dan setiap insan berharap menjalankan
perkawinan yang sekali seumur hidup ini sesuai dengan adat daerah asal mereka namun
juga disesuaikan dengan keadaan ekonomi kedua calon mempelai. Setiap calon
pengantin selalu menginginkan yang indah indah dalam sebuah perkawinan. Perkawinan
yang bahagia bakal terwujud apabila diantara suami dan istri tercipta rasa saling
pengertian, saling percaya, saling menghormati dan tak lupa adalah rasa saling cinta dan
menyanyangi, serta rasa saling menerima kekurangan masing-masing pasangan.27

27
Kussunatri dan Rina Prayekti.2010."Ragam Pengantin Jawa Tengah".(Semarang: Dinas Kebudayaan Provinsi
Jawa Tengah) hlm. 7

19
Pranikah
a. Slametan among tuwuh
Slametan among tuwuh diselenggarakan oleh keluarga mempelai wanita.
Slametan adalah ritual Jawa yang bertujuan untuk memperoleh keselamatan. Among
tuwuh mempunyai makna sarana untuk mengemban sejarah keluarga. Among berati
mengemban dan tuwuh berati tumbuh dan berkembang, dari upacara pernikahan itu
diharapkan akan lahir generasi atau keturunan yang dapat menurunkan perkembangan
sebuah dinasti keluarga serta mendapatkan keturunan yang baik28.
Acara slametan among tuwuh biasanya berlangsung khidmat dengan
berkumpulnya tetangga dan kerabat dekat, mereka berdoa dengan tulus dan setelah itu
mereka menikmati sajian nasi tumpeng.
b. Pasang Tarub Agung
Salah satu syarat yang biasa dipenuhi oleh orang Jawa. Lewat tarub agung
yang dipasang di depan rumah, maka masyarakat umum akan Mengetahui bahwa
keluarga yang bersangkutan melangsungkan hajat pernikahan. Tarub agung
melambangkan yang memasang mempunyai gawe besar. Pemasangan tarub agung
adalah semacam tanda utama bagi masyarakat luas tanda ini.
Tarub-tarub dipasang, maka keluarga yang bersangkutan mempunyai hak-hak
istimewa seperti penggunaan jalan umum. Biasanya sebelum pemasangan tarub, sesaji
khusus disiapkan dan sesaji terdiri dari nasi tumpeng, buah-buahan termasuk pisang
dan kelapa, berbagai lauk pauk minuman, bunga, jamu, tempe, daging kerbau, gula
kelapa, dan sebuah lentera. Sesaji ini melambangkan sebuah permohonan agar
mendapat berkah dari Tuhan Yang Maha Esa dan para leluhur itu, juga berbagai
macam sarana untuk menolak makhluk-makhiuk jahat yang diletakkan diberbagai
tempat dimana prosesi upacara dilakukan seperti kamar mandi, dapur, pintu depan, di
bawah tarub, jalan dekat rumah, dan lain-lain.29
c. Tirakatan malam midodareni
Midodareni menurut Suryo S Negoro adalah dewi, midodareni berasal dari
kata widodari. Tirakatan malam midodareni berlangsung dimalam hari sebelum
pelaksanaan ijab dan panggih di keesokan harinya. Acara malam midodareni sering
dilakukan dengan cara tirakatan dan lek lekan. Para sesepuh, pinisepuh, dan orang tua

28
Gitosaprodjo,” Pedoman Lengkap Acara dan Upacara Perkawinan Adat Jawa”, (Surakarta: CV.
Cenderawasi,2012), hlm. 5
29
Bratawidjaja Thomas Wiyasa,” Upacara Perkawinan Adat Jawa”, (Jakarta: PT. Midas Surya Grafindo, 2000),
hlm. 23

20
sering semalam suntuk tidak tidur. Tujuan dari ritual ini adalah untuk menolak balak
keluarga sedang mempunyai gawe besar sehingga, acara pernikahan dapat berjalan
dengan lancar. Tradisi lek kekan ini sebenarnya sudah berlangsung lama dalam
perkembangan budaya Jawa.
Pada malam ini calon pengantin wanita dirias bak bidadari dan dia akan
dikunjungi oleh beberapa dewi kayangan seseuai kepercayaan kuno. Calon pengantin
wanita harus tinggal didalam kamar dari jam enam sore hingga tengah malam
ditemani oleh beberapa ibu yang memberikan nasihat nasihat berguna, selain itu
keluarga dari calon mempelai pria dan teman teman dekatnya yang wanita juga boleh
untuk sejenak menengok calon pengantin wanita.
Bersamaan dengan malam tirakatan midodareni. Pada siang harinya dilakukan
pula upacara siraman untuk calon pengantin putri. Siraman menggunakan air khusus
yang dinamakan tirta perwita sari yang berasal dari 7 sumber mata air. Siraman berati
mandi, tujuan dari ritual ini adalah untuk membersihkan sepasang calon pengantin itu
lahir dan batin. Siraman dilakukan dimasing masing rumah orang tua calon pengantin
baik pria maupun wanita. Siraman diadakan di kamar mandi atau di tempat khusus
yang dibikin untuk maksud tersebut. Dalam ritual tersebut selain orang tua pengantin
juga beberapa ibu lanjut usia yang memiliki juga diundang untuk memandikan
pengantin termasuk juga nenek dari penganti. Jumlahnya tujuh orang, dalam bagasa
Jawa tujuh adalah Pitu, maksudnya mereka diharapkan bisa memberi pertolongan
(pitulungan).
Dalam ritual adat siraman memerlukan barang barang untuk siraman seperti
tempat air yang besar yang terbuat dari tembaga atau perunggu, air dari tujuh sumber
mata air, kembang setaman (terdiri dari mawar, melati, kantil, dan kenanga yang
ditaruh didalam air untuk mandi), bedak basah lima warna yang berfungsi sebagai
sabun, sampo tradisional, dua kelapa yang diikat jadi satu, kursi kecil yang ditutup
dengan tikar tua, kain putih, beberapa macam dedaunan, dlingobengle, kain bangun
tulak empat pola yang berfungsi untuk melawan perbuatan jahat, kain tenun lurik
dengan pola yuyu sekandang dan pula watu, selembar kain putih yang dipakai selama
siraman, kain batik dengan motif grompol dan nagasari, handuk, kendi dan tak lupa
gayung.
Sesudah upacara siraman selesai calon pengantin wanita duduk diruang
pelaminan, perias pengantin kemudian mengeringkan rambut dengan handuk dan
mengasapi rambutnya dengan ratus (asap wangi), setelah rambut kering disisir lurus

21
kebelakang lalu diikat erat-erat untuk digelung dan terakhir wajah calon pengantin
dibersihkan dan dirias.
d. Tradisi dodol dhawet (menjual dawet)
Konon berasal dari system gotong royong masyarakat Jawa , dahulu jikalau
ada yang punya hajat maka tetangga dan handai taulan berdatangan untuk rewang
(membantu) tanpa meminta imbalan oleh karena itu yang punya gawe ingin
mengungkapkan rasa terima kasih dengan cara yang khusus yaitu dengan acara dodo!
dhawet, dawet dihidangkan dan yang melayani adalah suami istri yang mangku gawe
dan agar semua mendapat pelayanan maka dengan cara jual beli . Jual beli ini hanya
pura pura saja agar mengetahui siapa yang belum dilayani dan karena hanya pura pura
maka uang yang dipakai untuk membeli dawet hanya berupa kreweng (pecahan
genteng atau periuk belanga dari tanah liat namun sekarang berupa uang uangan dari
tanah liat).
Pada acara ini yang melayani menjual dawet adalah ibu dan yang menerima
uangnya ayah dari pengantin wanita sambil memayungi istrinya, dengan cara itu maka
diharapkan yang punya gawe dapat bertemu muka dengan yang rewang/ yang telah
membantu dan dapat mengucapkan rasa terima kasih.

Proses Pernikahan
Keesokan harinya calon pengantin bersiap siap untuk melaksanakan acata ijab qobul.
Ijab qobul merupakan acara terpenting dalam sebuah perkawinan, karena menyangkut hukum
agama dan hukum negara. Upacara ijab qobul menyangkut hukum negara karena melibatkan
aparat aparat negara (berasal dari KUA). Upacara ijab qobul dilaksanakan sesuai dengan
agama yang dianut kedua mempelai dan busana yang dipakai disesuaikan dengan pakaian
adat daerah pelaksanaan upacara tersebut. Biasanya ritual ini laksanakan dirumah mempelai
pengantin wanita atau sekarang ada yang melaksanakan di tempat tempat ibadah. Proses ijab
qobul dimulai dengan penjemputan penghulu beserta pejabat pencatat nikah dari KUA. Para
saksi diharapkan sudah hadir tiga puluh menit sebelum acara ijab qobul dimulai, saksi berasal
dari kalangan keluarga atau orang terdekat dan jumlahnya dua orang. Mempelai pria dengan
pengiring langsung datang menuju tempat upacara. Selama diadakan upacara ijab qobul
pengantin wanita duduk di pelaminan di samping ibu dan perias.
Pengantin pria datang dengan diapit dua orang pinisepuh. Upacara Ijab Qobul berarti
menandai adanya pemindahan kekuasaan seorang wanita dari tangan wali ke pihak pengantin
pria. Setelah ijab qobul berarti pernikahan telah sah baik secara agama dan negara, hal ini

22
berarti pengantin wanita telah menjadi hak dan wewenang pengantin pria dan mereka resmi
menjadi pasangan suami istri.
Ritual berikutnya adalah wiji dadi, yaitu ritual meng injak sebuah telur ayam hingga
pecah dengan kaki kana nya pengantin pria , dan pengantin wanita jongkok lalu
membersihkan kaki pengantin pria sampai bersih dengan air yang dicampuri beberapa macam
bunga setelah itu pengantin pria membantu pengantin wanita berdiri lagi dengan cara
mengangkat kedua tangannya. Ritual ini melambangkan bahwa pengantin pria telah siap
menjadi ayah yang bertanggung jawab sedangkan pengantin wanita akan mengurusi
suaminya dengan setia. Telur melambangkan tekad bulat dari seorang pria sekali sudah
melangkah dengan itikad baik, maka pantang mundur, maju terus untuk meraih kebahagiaan
bersama. Sebagai seorang istri berkewajiban mensucikan nama baik suami, agar tetap harum
apabila suami salah langkah atau bertindak, dan terakhir membantu istri berdiri
melambangkan sebagai rasa terima kasih atas kesetiaan yang diberikan.
Sinduran yaitu pengantin berdua bergandengan tangan (kanten) menghadap ke
pelaminan. Bapak dari pengantin wanita di depan, kedua pengantin di belakang dan masing
masing pegangan di ujung baju belakang kiri kanan bapaknya dan Ibu berada di belakang
mengkerudungkan “sindur” di bahu pengantin, lalu bersama sama menuju ke pelaminan.
Setelah sampai di pelaminan mangku/nimbang, sang bapak duduk di kursi dan kedua
pengantin dipangku, mempelai pria disebelah kanan dan mempelai wanita di sebelah kiri.
Lalu sang ibu mempelai wanita bertanya "berat mana pak?” dalam bahasa Jawa dan sang
ayah menjawab “sama saja" hal ini melambangkan bahwa sebagai seorang ayah tidak boleh
membeda bedakan antara anak sendiri dengan menantu karena menamtu sudah seperti anak
sendiri.
Tanem, setelah memutar dan menghadapi kedua mempelai, sang bapak kemudian
memegang bahu kedua mempelai dan mendudukkan mereka diatas pelaminan.
Setelah, duduk diambillah rucuh kelapa muda lalu diminum sang bapak dan
dilanjutkan dan terakhir kedua mempelai meminumnya yang didahului pengantin pria. Ritual
ini bermakna kedua orang tua telah mengesahkan dan merestui kedua mempelai sebagai
suami istri. Rucuh rasanya seger, dingin dan berkhasiat untuk menguatkan. Mempelai
pengantin dengan meminum ini diharapkan pada permulaan perjalanan hidup keluarga, jiwa
raganya se Tanem, setelah memutar dan menghadapi kedua mempelai, sang bapak kemudian
memegang bahu kedua mempelai dan mendudukkan mereka diatas pelaminan.

23
Setelah, duduk diambillah rucuh kelapa muda lalu diminum sang bapak dan
dilanjutkan dan terakhir kedua mempelai meminumnya yang didahului pengantin pria. Ritual
ini bermakna kedua orang tua telah mengesahkan dan merestui kedua mempelai sebagai
suami istri. Rucuh rasanya seger, dingin dan berkhasiat untuk menguatkan. Mempelai
pengantin dengan meminum ini diharapkan pada permulaan perjalanan hidup keluarga, jiwa
raganya sehat, segar dan tenang dalam menghadapi tugas tugas berat menjadi suami istri. hat,
segar dan tenang dalam menghadapi tugas tugas berat menjadi suami istri.

Pasca Nikah
Setelah upacara adat pengantin selesai, maka ada ritual ritual pasca menikah seperti
sepasaran, ngunduh penganten, dan selapanan. Makna dari berbagai macam ritual tersebut
akan dijelaskan lebih lanjut lagi
a. Sepasaran
Adalah acara selametan untuk mensyukuri telah terlaksananya upacara penganten.
Sepasaran dilakukan pada hari kelima setelah upacara penganten. Dilakukan pada hari
kelima karena mengambil tumbuk hari pancawara, contohnya jika pernikahan
dilakukan pada hari wage maka sepasaran juga dilakukan pada hari wage berikutnya.
Waktu lima hari dirasa cukup untuk istirahat dari upacara pernikahan yang
melelahkan. Selain itu juga rumah sudah dibereskan, barang barang yang disewa telah
dikembalikan, tarub sudah dibongkar sehingga kehidupan sudah kembali normal dan
keluarga besan juga tidak terlalu lama untuk mengadakan acara ngunduh.
Selain untuk mensyukuri telah terlaksananya upacara pengantin juga bermaksud
untuk mengganti nama pengantin pria/ memberi nama baru. Pergantian nama
dimaksudkan pemberian indentitas baru yang mengandung makna adanya tanggung
jawab baru sebagai kepala keluarga dan dengan pergantian nama itu akan
mengingatkan si pria bahwa ia sudah tidak lagi bujang , sudah ada istri yang
mendampinginya.
b. Ngunduh penganten
Adalah rangakaian upacara setelah lima hari pernikahan, yaitu dengan datangnya
keluarga dari pengantin wanita untuk mengantar kedua mempelai pengantin kerumah
pengantin pria untuk dirameramekan lagi (diadakan pesta lagi). Namun tidak semua
pengantin melakukan ritual adat ini, semua tergantung dari keadaan ekonominya.
c. Selapanan
Adalah hitungan hari Jawa yang intinya tidak jauh beda dengan ngunduh mantu.

24
SIMBOL
1. Tarub
Adalah bangunan sementara yang beratapkan anyaman daun kelapa yang
disebut dengan bleketepe, sedangkan tiangnya dari batang pinang. Orang mantu
biasanya mengundang banyak tamu, dan zaman dahulu upacara penganten biasanya
diadakan di rumah sehingga sudah pasti tidak muat menampung banyak tamu di
dalam rumah, maka sebagian besar tamu undangan ditampung di luar rumah/halaman.
Menurut tata karma orang orang dahulu apabila menjamu di halaman tanpa atap
dianggap kurang etis sehingga dipasanglah tarub. Tata cara pemasangan tarub yaitu
dengan meletakkan satu atau dua Jembar bleketepe di atap rumah bagian depan atau
di atas tenda yang sudah dipasang terlebih dahulu. Pemasangan tarub dilakukan oleh
ayah calon pengantin wanita dengan cara memanjat tangga dan sang ibu memegangi
tangga tersebut lalu menyerehkan bleketepe kepada suaminya. Acara pemasangan
bieketepe mempunyai makna sebagai kegiatan awal dalam rangkaian upacara
pengantin adat Jawa, kerjasama antara ayah dan ibu melambangkan bahwa mereka
telah siap melaksanakan acara gawe besar ini yang memerlukan kerjasama dan rasa
saling pengertian.
2. Tuwuhan
Atau dekorasi hiasan khas untuk upacara pengantin yang dibuat dari tanam
tanaman atau tumbuh tumbuhan berbentu gerbang sehingga tuwuhan melambangkan
gerbang kebahagiaan.
Tuwuhan diletakkan di Regol atau pintu pagar halaman, jika regol ada dua
maka keduanya harus dipasangi tuwuhan. Tuwuhan terdiri dari dua sisi kanan dan kiri
dan masing masing terdiri dari sebatang pohon pisang raja yang sedang berbuah
masak (masih ada tuntut tau jantungnya) lengkap dengan daunnya. Pohon pisang
dipasang berdiri tegak , buahnya menghadap keluar beserta tebu arjuna atau tebu
wulung (tebu hitam) yang masih berdaun lalu pohon pisang tersebut digantungkan
dengan sepasang buah kelapa gading yang masih muda (cengkir gadhing), seikat padi
dan daunan daunan yaitu daun kluwih, daun alang alang yang melambangkan harapan
harapan yang baik kemudian kedua sisi dihubungkan dengan lengkungan bambu yang
dihiasi dengan janur (daun kelapa muda) yang sudah dibuang lidinya, hingga terjurai
sepanjang lengkungan.

25
3. Tumpeng robyong
Adalah tumpeng aneka sayuran mentah, biasanya ada pada saat siraman.
Tumpeng robyong melambangkan kepolosan dari seorang pengantin wanita yang
belum berpengalaman.
4. Regol
Adalah gerbang di depan rumah tempat ditegakkannya tuwuhan.
5. Kembar mayang atau gagar mayang
Adalah hiasan khas upacara pengantin yang melambangkan kalpataru. Kemba
rmayang disimbolkan dengan manuk-manukan sebagai lambang dunia atas, dunia
tengah disimbolkan oleh uler-uleran, dan dunia bawah diwakili oleh keris-kerisan.
6. Kacar-kucur
Adalah merupakan salah satu ritual acara pengantin yaitu berupa beras kuning
bercampur dengan kacang tholo dan kedelai yang dituang pengantin pria ke pangkuan
ke pangkuan pengantin wanita sebagai lambang kesediaan suami memberi nafkah
lahir dan batin.
7. Penjor
Adalah janur kuning dan sebagai tanda petunjuk jalan bahwa ditempat tersebut
ada hajatan pengantin atau ada suatu pernikahkan.

26
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Sejak dahulu kita mempunyai adat istiadat yang mendorong timbulnya “kebiasaan
pribadi” dan apabila kebiasaan itu menjadi adat, jadi adat adalah kebiasaan masyarakat yang
harus dilaksanakan oleh kita dan masyarakat lainnya yang bersangkutan.
Adat sering dipandang sebagai sebuah tradisi sehingga terkesan sangat local,
ketinggalan jaman, tidak sesuai dengan ajaran agama dan lainnya, hal ini dapat dimaklumi
karena “adat” adalah suatu aturan tanpa adanya sanksi (hukuman) dimasyarakat kecuali
menyangkut soal dosa adat yang erat berkaitan dengan soal-soal pantangan untuk dilakukan,
terlebih lagi muncul istilah-istilah adat budaya, adat istiadat.
Hukum Adat adalah wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya,
norma, hukum, dan aturan-aturan yang satu dengan yang lainnya berkaitan menjadi suatu
system dan memiliki sanksi yang sangat kuat, yang sebagaian besar tidak tertulis, tetapi
senantiasa ditaati dan dihormati oleh masyarakat, karena mempunyai sanksi atau akibat
tertentu.

3.2 Saran
Kami berharap agar masyarakat terkhususnya Mahasiswa, harus melihat Hukum
sebagai panutan dalam kehidupan, dan selalu menaati semua peraturan yang sudah ada,
terkhusus hukum adat kita sendiri, dan kita bisa menjadi contoh untuk generasi yang akan
datang.

27

Anda mungkin juga menyukai