Anda di halaman 1dari 12

Hukum Adat: Definisi dan Proses

Terbentuknya Sebagai Suatu Sistem Hukum

Nama Anggota :
1. Ferlia Shafira 3017210114
2. Millenia Riesta Theophania Adja 3018210002
3. Hafiz Ardiansyah 3018210294
4. Ramadhan Krisna Wisananda 3018210361
5. Fathiya Rahma Shafira 3019210083
6. Darra Irma Della 3019210192
7. Bisma Putra Aryawisesa 3019210270
1. Mengenal tentang Adat

Istilah adat berasal dari bahasa Arab, yang apabila diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia
berarti “kebiasaan”. Adat atau kebiasaan dapat diartikan sebagai berikut: “Tingkah laku
seseorang yang terus-menerus dilakukan dengan cara tertentu dan diikuti oleh masyarakat
luar dalam waktu yang lama”.1

Adat merupakan pencerminan daripada kepribadian suatu bangsa, merupakan salah satu
penjelmaan daripada jiwa bangsa yang bersangkutan dari abad ke abad. Unsur-unsurnya
adalah:2

a. Adanya tingkah laku seseorang.

b. Dilakukan terus menerus

c. Adanya dimensi waktu

d. Di ikuti oleh orang lain.

Adat-istiadat menunjukkan bentuk, sikap, tindakan (perubahan) manusia pada masyarakat


hukum adat untuk mempertahankan adat istiadat yang berlaku di lingkungan wilayahnya.
Adat istiadat terkadang dipertahankan karena kesadaran masyarakatnya, tetapi tidak jarang
pula adat istiadat dipertahankan dengan sanksi atau akibat hukum sehingga menjadi hukum
adat.3

Pengertian adat-istiadat menyangkut sikap dan kelakuan seseorang yang diikuti oleh
orang lain dalam suatu proses waktu yang cukup lama, ini menunjukkan begitu luasnya
pengertian adat-istiadat tersebut. Tiap-tiap masyarakat atau Bangsa dan Negara memiliki
adat-istiadat sendiri-sendiri, yang satu dengan yang lainnya pasti tidak sama4, dan karena
ketidaksamaan inilah kita dapat mengatakan,bahwa adat itu merupakan unsur yang terpenting
yang memberikan identitas kepada bangsa yang bersangkutan.5

1 H.Munir Salim, ADAT RECHT SEBAGAI BUKTI SEJARAH DALAM PERKEMBANGAN HUKUM
POSITIF DI INDONESIA, Juni 2015
2 ibid
3 Dr.Yulia, S.H, M.H “BUKU AJAR HUKUM ADAT” Tahun 2016
4 Bushar Muhammad, Asas-Asas Hukum Adat (Suatu Pengantar), Pradnya Paramita, Jakarta: Tahun
1981.
5 Wariyati, Sri, Memahami Hukum Adat, IAIN Surabaya, Surabaya: Tahun 2006.
Di dalam Negara Republik Indonesia ini, adat yang dimiliki oleh daerah-daerah, suku-
suku bangsa adalah berbeda-beda, meskipun dasar serta sifatnya adalah satu, yaitu ke-
Indonesiaannya. Oleh karena itu, maka adat bangsa Indonesia itu dikatakan merupakan
"Bhinneka" (berbeda-beda di daerah suku-suku bangsanya), "Tunggal Ika" (tetapi tetap satu
juga, yaitu dasar dan sifat keindonesiaannya), dan adat bangsa Indonesia yang "Bhinneka
Tunggal Ika" ini tidak mati, melainkan selalu berkembang, senantiasa bergerak serta
berdasarkan keharusan selalu dalam keadaan evolusi mengikuti proses perkembangan
peradaban bangsanya. Adat istiadat yang hidup serta yang berhubungan dengan tradisi rakyat
inilah yang merupakan sumber yang mengagumkan bagi hukum adat kita.6

2. Istilah Hukum Adat

Istilah “Hukum Adat” dikemukakan pertama kalinya oleh Prof.Dr. Christian Snouck
Hurgronje dalam bukunya yang berjudul “De Acheers” (orang-orang Aceh), yang kemudian
diikuti oleh Prof.Mr.Cornelis van Vollenhoven dalam bukunya yang berjudul “Het Adatrecht
van Nederland Indië”. Dengan adanya istilah ini, maka Pemerintah Kolonial Belanda pada
akhir tahun 1929 mulai menggunakan secara resmi dalam peraturan perundang-undangan
Belanda. Istilah hukum adat sebenarnya tidak dikenal di dalam masyarakat, dan masyarakat
hanya mengenal kata “adat” atau kebiasaan.7

Adat Recht yang diterjemahkan menjadi Hukum Adat dapatkah dialihkan menjadi
Hukum Kebiasaan. Van Dijk tidak menyetujui istilah hukum kebiasaan sebagai terjemahan
dari adatrecht untuk menggantikan hukum adat dengan alasan: “Tidaklah tepat
menerjemahkan adat recht menjadi hukum kebiasaan untuk menggantikan hukum adat,
karena yang dimaksud dengan hukum kebiasaan adalah kompleks peraturan hukum yang
timbul karena kebiasaan”,8 artinya karena telah demikian lamanya orang biasa bertingkah
laku menurut suatu cara tertentu sehingga timbullah suatu peraturan kelakuan yang diterima
dan juga diinginkan oleh masyarakat, sedangkan apabila orang mencari sumber yang nyata
dari mana peraturan itu berasal, maka hampir senantiasa akan dikemukakan suatu alat
perlengkapan masyarakat tertentu dalam lingkungan besar atau kecil sebagai pangkalnya. 9

6 Seorojo Wignjodipoero, S.H,Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat,(Jakarta: PT TOKO


GUNUNG AGUNG,1967).
7 Bushar Muhammad, Azas-Azas Hukum Adat: Suatu Pengantar (Jakarta: Pradya
Paramita, 1994).
8 J.F. Holleman, ed., Van Vollenhoven on Indonesian Adat Law, (eHague: Martinus Nijhoff, 1981)
9 H.Munir Salim, ADAT RECHT SEBAGAI BUKTI SEJARAH DALAM PERKEMBANGAN HUKUM
POSITIF DI INDONESIA, Juni 2015
Hukum adat pada dasarnya merupakan sebagian dari adat istiadat masyarakat. Adat-istiadat
mencakup konsep yang luas. Sehubungan dengan itu dalam penelaahan hukum adat harus
dibedakan antara adat-istiadat (non-hukum) dengan hukum adat, walaupun keduanya sulit
sekali untuk dibedakan karena keduanya erat sekali kaitannya.10

3. Sejarah Hukum Adat

Pada mulanya, pemerintahan VOC (Vereenigde Oost Inlandse Compagnie atau


Pemerintahan Pedagang Hindia Belanda) mencoba menerapkan Hukum Belanda untuk
masyarakat pribumi, namun tidak berjalan efektif. Akhirnya VOC membiarkan lembaga-
lembaga asli yang ada di dalam masyarakat. Dalam Statuta Batavia tahun 1642 disebutkan
bahwa mengenai soal kewarisan orang-orang pribumi yang beragama Islam harus digunakan
hukum Islam, yakni hukum yang dipakai oleh rakyat sehari-hari. Kemudian, pemerintah
VOC meminta kepada D.W. Freijer untuk menyusun suatu compendium (semacam
ringkasan) tentang hukum perkawinan dan kewarisan Islam. Setelah diperbaiki dan
disempurnakan oleh penghulu dan ulama, kitab hukum tersebut diterima oleh pengadilan
pada tanggal 25 Mei 1760. Compendium Freijer ini digunakan oleh pengadilan untuk
menyelesaikan sengketa yang terjadi di kalangan umat Islam di daerah-daerah yang dikuasai
oleh VOC.11

Dalam tataran teoretis, beberapa sarjana Belanda pun mengakui hal ini, baik secara
implisit maupun eksplisit. Di antaranya adalah Salomon Keyzer (1823-1868). Ia beranggapan
bahwa bagi orang pribumi yang beragama Islam berlaku hukum Islam. Ia sendiri banyak
menulis tentang Islam di Jawa dan bahkan menerjemahkan Alquran ke dalam bahasa
Belanda. Ia juga menulis buku pedoman bagi hukum Islam (1853) dan hukum pidana Islam
(1857), serta brosur tentang pengembalian hak milik tanah di Jawa berdasarkan ajaran Islam
murni.12

Ketika Inggris menguasai Indonesia (1811-1816), Sir thomas Stamford Raffles yang
menjadi Gubernur Jenderal juga mengakui keberlakuan hukum Islam di kalangan rakyat
pribumi dalam mengatur perilaku mereka, terutama di bidang-bidang perkawinan dan
kewarisan. Ketertarikannya pada hukum Islam dan hukum pribumi juga terlihat dalam
rekomendasinya pada sebuah pertemuan Masyarakat Seni dan Ilmu Pengetahuan di Jakarta
10 Soerojo Wignjodipoero, SH, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Gunung Agung, Jakarta:
Tahun 1967.
11 John Ball, Indonesian Legal History 1602-1848, (Sydney: Oughters Press, 1982).
12 Van Vollenhoven, Penemuan Hukum Adat, (Jakarta: Djambatan 1987).
(Batavia) pada 24 April 1813. Ia tetap memberlakukan kebijakan penjajah Belanda
sebelumnya terhadap pribumi. Raffles juga menetapkan penghulu sebagai salah satu anggota
lembaga peradilan yang berfungsi sebagai penasihat.13

Setelah Inggris menyerahkan kembali kekuasaannya atas Indonesia kepada Belanda,


pemerintah kolonial Belanda memulai usaha penerapan hukum negeri tersebut untuk
penduduk pribumi. Usaha ini diawali dengan pembentukan sebuah komisi yang diketuai oleh
Scholten van Oud Haarlem (1794-1849). Komisi ini bertugas melakukan konkordansi
undang-undang Belanda bagi daerah jajahannya (Indonesia). Pada 1841 komisi ini berhasil
mengajukan rancangan Kitab Undang-undang Hukum Dagang dan rancangan peraturan bagi
pribumi untuk daerah Jawa dan luar Jawa.14

Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan politik hukum Pemerintah Hindia Belanda pada
mulanya tidak ingin mengganggu masalah agama (hukum) penduduk pribumi. Bahkan
penjajah Belanda cenderung bersikap kompromistis dan memberikan sarana bagi pengakuan
hukum Islam di kalangan penduduk. Berdasarkan kebijakan politik ini, Mason menyimpulkan
bahwa Belanda juga memberi kontribusi bagi perkembangan hukum Islam di Jawa, umumnya
Indonesia, dengan mempromosikan karya-karya hukum fikih ulama klasik dan pertengahan
dan menjadikannya sebagai bagian penting dalam sistem peradilan Islam.15

Namun, memasuki pertengahan abad ke-19, pemerintah kolonial Belanda mulai berusaha
keras mencampuri urusan keagamaan penduduk pribumi. Perubahan kebijakan ini sedikit
banyaknya dipengaruhi oleh perkembangan yang terjadi di negeri Belanda maupun di
wilayah jajahan Hindia Belanda. Harry J. Benda menyebutkan bahwa orang-orang Belanda di
negeri Belanda sendiri maupun di Indonesia mengharapkan supaya pengaruh Islam di daerah
jajahannya dihilangkan dengan mempercepat Kristenisasi sebagian besar orang Indonesia. Ini
didasarkan pada anggapan orang Barat tentang superioritas ajaran Kristen atas Islam.16

Belanda pun pada 1889 mendatangkan dan mengangkat seorang ahli Islam bernama
Christiaan Snouck Hurgronje (1857-1936) sebagai penasihat pemerintah penjajah Belanda.
Hurgronje mulai mengkritik pandangan-pandangan Van den Berg sebelumnya. Selama tujuh

13 John Ball, Indonesian Legal History 1602-1848, (Sydney: Oughters Press, 1982).
14 Muhammad Iqbal, POLITIK HUKUM HINDIA BELANDA DAN PENGARUHNYA TERHADAP
LEGISLASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA.
15 Mason C. Hoadley, Islam dalam Tradisi Hukum Jawa dan Hukum Kolonial, (Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2009).
16 Harry J. Benda, The Crescent and the Rising Sun: Indonesian Islam under the Japanese
Occupation 1942-1945, (Den Haag: Uitgeverij W. van Hoeve, 1958).
belas tahun berada di Indonesia (1889-1906), Snouck Hurgronje melakukan berbagai
penyelidikan terhadap masyarakat Aceh dan beberapa daerah lainnya di Indonesia seperti
Batavia dan Banten.17Snouck Hurgronje membalikkan teori Van den Berg dan membangun
teori Receptie. Menurut dia, hukum yang berlaku bagi rakyat pribumi pada dasarnya adalah
hukum adat. Hukum Islam baru berlaku dalam masyarakat kalau norma-normanya sudah
diakui dan diterima oleh masyarakat tersebut. Karenanya, hukum Islam terserap dan menjadi
bagian dari hukum adat.

Snouck beranggapan bahwa kaum Muslim Indonesia lebih menghargai mistik daripada
hukum Islam dan lebih menghargai pemikiran agama yang spekulatif daripada pelaksanaan
kewajiban agama itu sendiri. Islam masih bercampur baur dengan sisa-sisa peninggalan
Hindu dan ini diakomodasi dengan sumber masuknya Islam dari India. Karenanya, mistik
mempunyai pengaruh di semua kalangan penduduk.18Ia menyatakan bahwa adat, terutama di
Minangkabau, harus dipertahankan dan dibela dari propaganda kelompok agama yang ingin
mengubahnya. Untuk itu, adat harus dibiarkan berkembang, tetapi tetap berada di bawah
pengawasan pemerintah. Sifat kedaerahan dan keanekaragaman adat juga harus dipupuk agar
penduduk Hindia Belanda tidak punya kesatuan hukum.19

Pandangan ini dilanjutkan oleh muridnya bernama Van Vollenhoven. Bahkan Van
Vollenhoven termasuk orang yang paling gigih mempertahankan hukum adat yang telah
“ditemukannya”. Ketika pemerintah Hindia Belanda ingin menerapkan hukum sipil Barat,
Van Vollenhoven dengan tegas menentangnya. Menurutnya, hukum adat yang berlaku dalam
masyarakat berakar pada kesadaran hukum mereka sejak dahulu dan ini berhasil membuat
masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang damai dan tertib.20

Di sini Van Vollenhoven melanjutkan garis politik belah bambu yang telah
dikembangkan Snouck Hurgronje. Sambil mengutamakan hukum adat, Belanda juga
berusaha menyangkal keberadaan hukum Islam dalam masyarakat Indonesia. Dengan
demikian, Belanda bisa mengebiri hukum Islam, sehingga tidak lagi memiliki
kekuatan.21Karena tidak kuatnya reaksi umat Islam, Belanda makin berani mengadakan
perubahan lebih mendasar untuk memperlemah dan menyingkirkan hukum Islam dari

17 Harsha W. Bachtiar dalam pengantar buku Van Vollenhoven Ontdekking van het Adatrecht
(Penemuan Hukum Adat), (Jakarta: Djambatan, 1987).
18 Snouck Hurgronje, Kumpulan Karangan, Jilid X, (Jakarta: INIS, 1993).
19 ibid.
20 Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam.
21 Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional.
umatnya. Pada 6 Juni 1919, Belanda mengeluarkan RR Stbl. 1919:621 yang menyatakan
bahwa berkenaan dengan masalah-masalah yang terjadi antara sesama bumiputera,
memperhatikan peraturan yang berkenaan dengan agama dan kebiasaan mereka. Dalam pasal
ini, kedudukan hukum Islam semakin diperlemah. Bahkan dalam ketentuan tersebut
ditegaskan pula bahwa bila diperlukan, perlakuan atas mereka dapat pula menyimpang dari
peraturan agama dan kebiasaannya itu bila dikehendaki oleh kepentingan umum dan
masyarakatnya.22

Ketentuan-ketentuan di atas semakin diperkuat pada 1925 dengan diubahnya RR


(Regerings Reglement) menjadi IS (Indische Staatsregeling) atau Undang-undang Dasar
Negara Jajahan Hindia Belanda. Dengan IS ini maka peraturan-peraturan yang diciptakan
Belanda pun semakin mencengkeram masyarakat Indonesia. Hal ini diperkuat dengan
diadakannya perubahan terhadap IS 1925 pada 1929. Dalam revisi itu, perubahan
fundamental yang terjadi adalah pencabutan hukum Islam dari lingkungan tata hukum Hindia
Belanda. Hukum Islam benar-benar tersingkir dari masyarakat muslim. Dalam pasal 134 IS
yang baru ini disebutkan secara tegas bahwa dalam hal terjadi perkara antara sesama orang
Islam akan diselesaikan oleh hakim agama Islam, apabila hukum adat mereka
menghendakinya dan sejauh tidak ditentukan lain dengan suatu ordonansi.23 Dengan pasal ini
berarti bahwa hukum Islam tidak berlaku lagi, kecuali untuk hal-hal yang dikehendaki oleh
hukum adat. Pasal inilah yang dianggap sebagai pasal Receptie. Ini menandai keberhasilan
penjajahan Belanda dalam mengebiri hukum Islam dan mempertentangkan sistem hukum di
Indonesia. Pendekatan konflik yang dilakukan oleh Belanda antara lain melalui Snouck
Hurgronje, dan Van Vollenhoven, agaknya merupakan konsekuensi logis yang diambil
Belanda dalam rangka mempertahankan kolonialisme mereka di Indonesia.24

4. Pengertian Hukum Adat Menurut Ahli

22 Sajuti alib, Receptio a Contrario Hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam, (Jakarta:Bina
Aksara, 1985.
23 ibid.
24 Alfian, Muhammadiyah Movement in the Dutch Colonial Period, (Yogya: University of Gajah Mada
Press, 1987.
Beberapa pengertian tentang hukum adat yang diberikan oleh para sarjana hukum adalah
sebagai berikut:25

a. Menurut Prof. Dr. Soepomo S.H.Hukum adat adalah hukum tidak tertulis yang tidak
melalui badan legislatif, yang meliputi peraturan-peraturan hidup yang ditaati dan
didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan
tersebut mempunyai kekuatan hukum.
b. Dr. Sukanto. Dalam buku beliau "Meninjau hukum Adat Indonesia" mengartikan
hukum adat sebagai kompleks adat-adat yang kebanyakan tidak diki tebakan, tidak
dikodifikasi dan bersifat paksaan, mempunyai sanksi, jadi mempunyai akibat hukum.
(6), hlm 13-18
c. menurut Prof. Van Vollenhoven, Hukum Adat adalah himpunan peraturan tentang
perilaku yang berlaku bagi orang pribumi dan timur asing pada satu pihak yang
mempunyai sanksi.
d. pengertian Hukum Adat oleh ahli-ahli diatas maka dapat disimpulkan bahwa Hukum
Adat adalah hukum yang tidak tertulis dan yang tidak dibentuk melalui badan
legislatif, yang terbentuk dari keputusan-keputusan kepala adat, yang jika dilanggar
maka akan dikenakan sanksi.Dengan begitu, hukum Adat adalah hukum yang
memaksa.

5. Asas-Asas Hukum Adat26

Hukum adat yang tumbuh dari cita-cita dan alam pikiran masyarakatIndonesia, yang bersifat
majemuk, namun ternyata dapat dilacak asas-asasnya,yaitu:

1. Asas Magis Religius

Asas magis religius adalah pembulatan atau perpaduan kata yang mengandung unsur
beberapa sifat atau cara berpikir seperti pre logika,animisme, pantangan, ilmu gaib dan lain-
lain. Orang Indonesia pada dasarnya berpikir, merasa dan bertindak didorong oleh
kepercayaan(religi) kepada tenaga-tenaga gaib (magis) yang mengisi, menghuni seluruh alam
semesta dan yang terdapat pada orang, binatang, tumbuh-tumbuhan besar dan kecil, benda-

25 Seorojo Wignjodipoero, S.H, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat,(Jakarta: PT TOKO


GUNUNG AGUNG,1967)
26 C.Van Vollenhoven. 1987. Penentuan Hukum Adat. Jakarta;Djambatan.
benda; dan semua tenaga itu membawa seluruh alam semesta dalam suatu keadaan
keseimbangan. Tiap tenaga gaib itu merupakan bagian dari kehidupan, dari keseluruhan
hidup jasmaniah dan rokhaniah dan keseimbangan itulah yang senantiasa harus ada dan
terjaga, dan apabila terganggu harus dipulihkan. Memulihkan keadaan keseimbangan itu
berwujud dalam beberapa upacara, pantangan atau ritual.

2. Asas Komunal

Asas Komunal berarti mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan diri


sendiri. Asas komunal merupakan segi atau corak yang khas dari suatu masyarakat yang
masih hidup sangat terpencil atau dalam hidupnya sehari-hari masih sangat tergantung
kepada tanah atau alam padaumumnya. Dalam masyarakat semacam itu selalu terdapat sifat
yang lebihmementingkan keseluruhan; lebih diutamakan kepentingan umum daripada
kepentingan individual. Dalam masyarakat semacam ituindividualitas terdesak ke belakang.
Masyarakat, desa, dusun yang senantiasa memegang peranan yang menentukan, yang
pertimbangan dan putusannya tidak boleh dan tidak dapat disia-siakan. Keputusan Desa
adalah berat, berlaku terus dan dalam keadaan apapun juga harus dipatuhi dengan hormat,
dengan hikmat.

3. Asas Contant (Tunai)

Asas contant atau tunai mengandung pengertian bahwa dengan suatu perbuatan nyata,
suatu perbuatan simbolik atau suatu pengucapan, tindakan hukum yang di maksud telah
selesai seketika itu juga, dengan serentak bersamaan waktunya tatkala berbuat atau
mengucapkan yang diharuskan oleh Adat. Dengan demikian dalam Hukum Adat segala
sesuatu yang terjadi sebelum dan sesudah timbang terima secara contan itu adalah diluar
akibat-akibat hukum dan memang tidak tersangkut paut atau tidak bersebab akibat menurut
hukum. Perbuatan hukum yang di maksud yang telah selesai seketika itu juga adalah suatu
perbuatan hukum yang dalamarti yuridis berdiri sendiri. Dalam arti urutan kenyataan-
kenyataan,tindakan-tindakan sebelum dan sesudah perbuatan yang bersifat contan itu
mempunyai arti logis satu sama lain. Contoh yang tepat dalam Hukum Adat tentang suatu
perbuatan yang contant adalah: jual-beli lepas, perkawinan jujur, melepaskan hak atas tanah,
adopsi dan lain-lain.
4. Asas Konkrit

Pada umumnya dalam masyarakat Indonesia kalau melakukan perbuatan hukum itu selalu
konkrit (nyata); misalnya dalam perjanjian jual-beli, si pembeli menyerahkan uang/uang
panjer. Di dalam alam berpikir yang tertentu senantiasa dicoba dan diusahakan supaya hal-hal
yang dimaksudkan, diinginkan, dikehendaki atau akan dikerjakan ditransformasikan atau
diberi wujud suatu benda, diberi tanda yang kelihatan, baik langsung maupun hanya
menyerupai objek yang dikehendaki (simbol, benda yang magis). Contoh: Panjer dalam
maksud akan melakukan perjanjian jual beli atau memindahkan hak atas tanah.

6. Proses Terbentuknya

Proses terbentuknya hukum adat menurut Soerjono Soekanto dibagi menjadi 2 aspek yaitu:27

A. Aspek Sosiologi

Pada prinsipnya manusia tidak dapat hidup sendiri dan membutuhkan manusia lainnya
karena manusia adalah makhluk sosial dan miliki naluri. Karena hidup manusia
membutuhkan manusia lainnya maka setiap manusia akan berinteraksi dengan manusia
lainnya, dari interaksi tersebut melahirkan pengalaman. Dari pengalaman ini akan dapat
didapati sistem nilai yang dapat dianggap sebagai hal yang baik dan hal yang buruk.Dari
Sistem nilai ini akan melahirkan suatu pola pikir / asumsi yang akan menimbulkan suatu
sikap yaitu kecenderungan untuk berbuat atau tidak berbuat. Bila sikap ini telah mengarah
kecenderungan untuk berbuat maka akan timbul perilaku.

Interaksi – pengalaman – nilai – pola berpikir – sikap – perilaku – kebiasaan

27 MR.B. Terhaar Bzn”Asas-asas dan Susunan Hukum Adat”Tahun 1980


Kumpulan prilaku-prilaku yang terus berulang-ulang dapat dilahirkan /diabstraksikan
menjadi norma yaitu suatu pedoman perilaku untuk bertindak. Norma-norma tersebut dapat
dibagi menjadi:

a. Norma Pribadi yaitu kepercayaan dan kesusilaan

b. Norma Antar Pribadi yaitu kesopanan dan hukum (sanksinya memaksa)

B. Aspek Yuridis

Aspek ini dilihat dari tingkat sanksinya. Bentuk konkret dari wujud perilaku adalah cara
yang seragam dari sekumpulan manusia misalnya cara berjual beli,cara bagi waris, cara
menikah, dsb. Bila ada penyimpangan ada sanksi namun lemah. Dari cara tersebut akan
terciptanya suatu kebiasaan, dan sanksi atas penyimpangannya agak kuat dibanding sanksi
cara/usage. Kebiasaan yang berulang-ulang dalam masyarakat akan lahir standar kelakuan
atau mores dimana sanksi atas penyimpangan sudah menjadi kuat. Dalam perkembangan
standar kelakuan atau mores ini akan melahirkan Custom yang terdiri dariAdat Istiadat dan
Hukum Adat, dan sanksinya pun sudah kuat sekali.

Interaksi – pengalaman – pola berpikir - nilai – sikap – perilaku – kebiasaan

7. Unsur-unsur Hukum Adat :28

Unsur-unsur hukum adat terdiri dari 2 unsur yaitu:

1. Unsur Adat Istiadat dalam masyarakat adat Contoh: Akibat Perkawinan

2. Unsur Agama Contoh: Syarat Perkawinan.

8. Teori-teori yang menjelaskan asal kedua unsur tersebut adalah :

1.Teori Receptio in Complexu (van den Berg)Hukum suatu golongan masyarakat itu
merupakan resepsi / penerimaan secara bulat dari agama yang dianut oleh golongan tersebut.
28 Prof. Sudiyat Iman, S.H. 1991. Asas-Asas Hukum Adat Bekal Pengantar. Yogyakarta; Liberty
Latar belakang terbentuknya teori ini adalah demi kepentingan Hindia – Belanda di Acheh
yang sangat berperang adalah para ulama/Tengku sehingga apa yang dikatakan oleh ulama
tersebut berdasarkan agamanya dijadikan hukum oleh masyarakat maka yang harus pertama
kali ditundukkan adalah ulamanya terlebih dahulu.

2. Teori Receptio oleh Snouck Hurgronye. Hukum agama adalah bagian dari Hukum Adat.
Apabila antara hukum Adat dan hukum Agama bertentangan, maka tergantung pada agama
yang dipeluk masyarakat adat tersebut.

3. Teori Receptio A Contrario oleh Hazairin. Hukum Adat hanya dapat berlaku dan
dilaksanakan dalam pergaulan hidup masyarakat jika hukum adat itu tidak bertentangan
dengan hukum Islam.

Anda mungkin juga menyukai