Anda di halaman 1dari 19

HUKUM ADAT KETATANEGARAAN

MAKALAH

disusun untuk memenuhi salah satu tugas Hukum Adat

Dosen Pengampu : Ende Hasby Nassarudin,S.H. M.H

Disusun Oleh : Kelompok 1


Muhammad Allto Iskandar (1203050097)
Muhammad Fauzan (1203050099)
N. Santi Novia (1203050108)
Neng Sifa Damayanti (1203050115)
Ramdani Rosdiana Putra (1203050135)
Ratu Gianis R. J. (1203050137)

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2021
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh.


Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas kuasa dan karunia yang
diberikan kepada kami semua. Shalawat serta salam semoga selalu tercerahkan pada Nabi
Muhammad SAW, pada keluarganya dan para sahabat serta pengikutnya hingga akhir zaman.
Kami ucapkan terima kasih kepada dosen pengampu Hukum Adat yakni Ende Hasby
Nassarudin,S.H. M.H. atas kesempatan yang diberikan kepada kami dalam pembuatan makalah
dengan judul “Hukum Adat Ketatanegaraan” ini dan diharapkan makalah ini dapat dijadikan
bahan pembelajaran dan tambahan ilmu bagi kami dan juga para pembaca.
Terima kasih juga kami ucapkan kepada setiap pihak yang telah mendukung serta
membantu kami selama proses penyelesaian. Penyusun berharap makalah ini dapat memberikan
manfaat bagi para pembaca. Kami juga mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi
kesempurnaan makalah ini.
Wassalamualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh.

Bandung, Oktober 2021

Tim Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Dari perjalanan sejarah hukum nasional yang pertama kali menemukan dan menggunakan
istilah hukum adat adalah ahli hukum berkebangsaan Belanda bemama Snouck-Hurgronje yang
ditulis dalam bukunya yang berjudul "De Atjehers ", penggunaan istilah tersebut tidak banyak
yang mengetahui asal-usulnya, namun dikalangan kaum akademisi yang dipelopori oleh van
Vollenhoven istilah tersebut menjadi dikenal luas oleh beberapa kalangan bahkan van
Vollenhoven sendiri menjadikannya judul buku yang ia terbitkan pertama kali berjudul "Het
Adat Recht van Nederlandsch Indie",1 yang selanjutnya diimplementasikan secara efektif oleh ter
Haar pada sekolah tinggi hukum Rechtshogeschool te Batavia yang ia pimpin saat itu pada tahun
1930-an. Pada masa perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia pemakaian istilah hukum adat
secara khusus/khas nasional pada awal mulanya dipelopori oleh kaJangan pemuda pada tahun
1928 dimana hasil kongres pemuda-pemuda Indonesia tersebut mencantumkan hukum adat
sebagai persatuan bangsa Indonesia.
Sebagai apa yang ditegaskan dalam kongres tersebut menurut Moh. Koesnoe, hukum ad
at telah menjadi jiwa dan isi tatanan hukum nasional. 2Bahkan para ahli hukum adat telah
menjadikan keputusan kongres tersebut sebagai peristiwa yang monumental, karena merupakan
suatu "cikal-bakal" tersusunnya pengertian hukum adat milik bangsa Indonesia yang berbeda
dengan hukum adat dalam pengertian "adat recht " yang diterima kalangan akademis dari Barat.
Berikutnya secara akademis pada tahun 1948 melalui pidato dies oleh Soepomo yang
disampaikan di Universitas Gajah Mada (UGM) istilah hukum adat menjadi 1ebih lazim dipakai,
namun istilah "adat recht" dikalangan akademis masih juga digunakan secara resmi di fakultas-
fakultas hukum diberbagai tempat seperti di fakultas hukum dan masyarakat Universitas
Indonesia. Sepanjang belahan akhir abad 19, yang diawa1i oleh kebijakan kolonial untuk
mengembangkan tata hukum di negeri koloni ini secara disadari, istilah yang dipakai adalah 'de
gebruiken. gewoonten and godsdienslige instellingen der inlanders' (kelaziman, kebiasaan dan
lembaga-lembaga keagamaan orang-orang pribumi).
Pada masa kolonial dirasakan pengingkaran eksistensi hukum adat sebagai sebuah hukum
yang bisa difungsikan untuk mengintegrasi organisasi kehidupan yang berskala atau berformat
antar lokal seringkali dilakukan. Pengingkaran yang dilakukan pemerintahan kolonial bisa dilihat
dari berbagai kebijakannya yang hanya mengkonsepkan hukum sebagai sebuah lege alias hukum
perundang-undangan yang mempunyai bentuk yang positif tertulis. Hukum tertulis yang pad a

1
Van Vollenhoven dalam Yanis Maladi, "Antara Hukum Adat dan Ciptaan Hukum oleh Hakim (Judge Made Law) ",
(Yogyakarta: Mahkota Kata, 2009), ha1.22.
2
Moh. Koesnoe, dalam Siti Soendari (Editor), "Hukum Adat dalam Alam Kemerdekaan Nasional dan Soalannya
Menghadapi Era Globalisasi", (Surabaya: Ubhara Press, 1996), hal. 5.
awalnya berlaku bagi penduduk Eropa akhimya juga diberlakukan bagi penduduk lainnya
termasuk penduduk pribumi di masa kolonial, hal ini juga didasarkan atas "asas konkordansi"
hukum yang berlaku pada saat itu, ketika mengharuskan hukum Negara "penjajah" berlaku sarna
di Negara "jajahannya".
Penggunaan asas konkordansi oleh pemerintahan kolonial Belanda telah menuai kritik
dan protes keras, seperti yang dilakukan oleh van Vollenhoven yang dikenal sebagai bapak
Hukum adat menentang kebijakan kolonial Belanda yang memberlakukan hukum positif tertulis
di Negara jajahannya. Dari pemikiran dan aliran pemikiran van Vollenhoven, dia seorang yang
setuju dengan teori bahwa hukum tertulis (Negara) lebih fungsional untuk menata suatu negeri
yang akan dikelola berdasarkan prinsip Negara modem. Sehingga yang menjadi pertentangan
disini menurut van Vollenhoven sebenamya bukanlah niat untuk memodemisasi dan
memformalisasi tatanan hukum di Indonesia itu sendiri.
Melainkan yang ditentang olehnya adalah niat pemerintah kolonial untuk menjadikan
substansi hukum Barat sebagai materi hukum perundang-undangan yang akan diberlakukan di
dan untuk suatu negeri yang mayoritas penduduknya telah mempunyai hukumnya sendiri.
Bahkan van Vollenhoven pemah memberikan kritikan terhadap pendapat rekan sejawatnya yang
mengatakan bahwa di Indonesia tidak ada hukum (hukum asIi). Vollenhoven mengatakan bahwa
hal tersebut akibat dari para sejawatnya yang menggunakan kacamata yuris Belanda pada saat
ingin menemukan hukum yang ada di negeri jajahan Belanda pad a waktu itu. Maka
Vollenhoven menganjurkan jangan menggunakan kacamata "juristenrecht " bila ingin
menemukan hukum Indonesia. 3Benturan antara hukum modem dan hukum setempat yang telah
ada lebih dahuIu selama puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu memang menimbulkan sebuah
jarak pemisah yang lebar diantara keduanya.
Selain mempertemukan kedua format hukum yang berbeda, disini juga teIjadi pertemuan
antara dua cara hidup atau kultur berbeda pula. Sebagai contoh, penyebaran yang teIjadi di
Micronesia4, Hukum Micronesia adalah sebuah transplantasi hukum Amerika Serikat (AS) yang
diterapkan di Negara kepulauan tersebut. "Micronesian law was transplanted in its entirety from
the United States ... ... Their cllstomsand values could hardly been more different from the legal
system and its norms ". Penerapan hukum AS di Micronesia telah mengakibatkan terjadinya
perubahan keadaan di Negara kepulauan tersebut, hukum yang mungkin tumbuh dan sesuai
dengan kultur di Amerika Serikat temyata tidak mampu memberikan kesesuaian dengan kultur di
Micronesia, sehingga bukannya menyelesaikan masalah melainkan lebih menimbulkan persoalan
hingga pada kesengsaraan bagi rakyat Micronesia. Hal tersebut merupakan salah satu contoh dari
apa yang terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.
Seiring dengan beIjalannya waktu, banyak pemikiran dari ahli-ahli hukum Belanda dan
kaum-kaum terpelajar dari kalangan pribumi pada saat itu, mengakibatkan sedikit demi sedikit
terjadi penguatan hukum adat dalam berbagai kebijakan hukum kolonial. Hingga akhimya
momentum Sumpah Pemuda tahun 1928 telah mengikrarkan untuk menjadikan hukum adat
3
Satjipto Rahardjo, "Negara Hukum Yang Membahagiakan Rakyatnya", (Yogyakarta: Genta Publishing, 2009), hal.
49-50.
4
Tamanaha dalam Satjipto Rahardjo, 2009, "Negara Hukum ....... Op. Cit., hal. 30-31
sebagai asas-asas hukum Indonesia di masa mendatang, merupakan salah satu indikator yang
nyata dari gerakan modernisasi di kalangan kaum terpelajar pribumi, namun dengan tetap
mempertahankan warisan cultural dari bumi sendiri yang asli sebagai substansi utamanya hingga
pada menjelang kemerdekaan bangsa Indonesia pada tahun 1945.
Cita-cita dan harapan bangsa Indonesia yang menghendaki hukum adat sebagai alat
pemersatu bangsa (dalam Piagam Sumpah pemuda) kini telah memberi harapan bagi
pembangunan hukum adat di Indonesia kedepan. Sebagaimana diatur dalam Pasal-Pasal
amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang kini menjadi relevan dijadikan bahan
kajian bincangan rancang bangun hukum nasional Indonesia kedepan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari Hukum Adat Ketatanegaraan
2. Bagaimana Kepastian Hukum yang Berkeadilan dilihat dalam Perspektif Hukum Adat?
3. Bagaimana bentuk desa dalam Hukum Adat Ketatanegaraan?
4. Bagaimana susunan masyarakat desa dalam Hukum Adat Ketatanegaraan?
5. Bagaimana corak pemerintahan desa dalam Hukum Adat Ketatanegaraan?
6. Apa yang dimaksud dengan harta kekeyaan desa? Apa saja yang menjadi sumber harta
kekayaan desa?

C. Tujuan
1. Mengetahui Pengertian dari Hukum Adat Ketatanegaraan
2. Mengetahui kepastian hukum yang berkeadilan dalam perspektif hukum adat.
3. Mengetahui bentuk desa dalam Hukum Adat Ketatanegaraan.
4. Mengetahui susunan masyarakat desa dalam hukum adat ketatanegaraan.
5. Mengetahui sistem atau corak pemerintahan desa.
6. Mengetahui apa yang dimaksud harta kekayaan desa dan sumber-sumbernya.
BAB II

PEMBAHASAN

Setiap bangsa dan peradaban memang memiliki sebuah karakter yang unik. Karakter ini
terbentuk berdasarkan sejarah dan perkembangan budaya di masyarakatnya. Bahkan setiap
bangsa memiliki karakter dan kualitas tersendiri yang . secara intrinsik tidak ada yang bersifat
superior satu diantara yang lainnya. Begitu juga dengan pembentukan sistem hukum yang
memiliki kaitan erat dengan budaya masyarakatnya, seperti yang dikatakan von Savigny bahwa
suatu sistem hukum adalah bagian dari budaya masyarakat. Hukum tidak lahir dari suatu
tindakan bebas (arbitrary act of a legislator), tetapi dibangun dan dapat ditemukan di dalam jiwa
masyarakat. Hukum secara hipotetis dapat dikatakan berasal dari kebiasaan dan selanjutnya
dibuat melalui suatu aktivitas hukum (juristic activity). 5
Akar katatanegaraan suatu negara dengan demikian bisa dilacak dari sejarah bangsa itu
sendiri. Karakteristik dan identitas suatu bangsa sangat menentukan dasardasar kebangsaan dan
kenegaraan di dalam konstitusi. Hal itu dapat dilihat dari salah satu konsensus dasar yang
termaktub dalam konstitusi, yaitu kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama (the general
goals of society or general acceptance of the same philosophy of government). 6Hal itu memiliki
konsekuensi bahwa konstitusi selalu dibuat dan berlaku untuk suatu negara tertentu. Konstitusi
dibuat berdasarkan pengalaman dan akar sejarah suatu bangsa, kondisi yang sedang dialami,
serta cita-cita yang hendak dicapai.
Konstitusi merupakan jantung dan jiwa suatu Negara, konstitusi memberi tahu kepada
kita tentang apa yang dimaksud dengan membentuk Negara, bagaimana eitaeita dengan
bernegara, apa yang ingin dilakukannya, serta asas-asas kehidupan didalamnya. Bilamana kita
memaknai UUD 1945 seeara mendalam dan komprehensif maka kita bisa melihat bahwa UUD
1945 menggambarkan Negara Republik Indonesia sebagai sebuah Negara yang peduli dengan
rakyatnya. lni terlihat dalam substansi Pasal 33 UUD 1945 yang merupakan wujud
nasionalismeodengan menjunjung tinggi asas kebersamaan dan kekeluargaan (mutualism and
brotherhood atau ukhuwah). Kebersamaan dan keke1uargaan adalah sebuah konsep budaya yang
hidup di masyarakat Indonesia. Hal ini berbeda dengan kultur Barat yang eenderung hidup
individualisme.
Bangsa Indonesia memiliki nilai-nilai luhur budaya yang sangat menjunjung tinggi
kebersamaan dan gotong royong. Sejarah pembentukan konstitusi bangsa Indonesia, mulai pada
saat proses pembahasan UUD 1945, menunjukkan bahwa UUD 1945 yang menjadi konstitusi
bangsa Indonesia dibuat dengan eita-eita dan spirit yang berakar dari semangat bangsa Indonesia
yang khas, serta pengalaman ketatanegaraan adat yang telah dipraktikkan oleh masyarakat
Indonesia. Seperti yang dikatakan Soepomo dalam rapat pembahasan BPUPKI bahwa "dasar dan

5
M.D.A. Freidman, "Lloyd's introduction to Juricprudence", Seventh Edition, (London: Sweet & Maxweel Ltd.,
2001), hal. 904-905.
6
William G. Andrews, "Constitutions and Constitutionalism", 3rd edition, (New Jersey: Van Nostrand Company,
1968), hal. 12-13.
susunan negara berhubungan dengan riwayat hukum (rechtsgeschichte) dan lembaga sosial dari
negara itu sendiri". 7Oleh karena itu pembangunan negara Indonesia harus disesuaikan dengan
struktur sosial masyarakat Indonesia yang ada.
1. Pengertian Hukum Adat Ketatanegaraan
Ada beberapa pengertian tentang Hukum Adat Ketatanegaraan menurut para ahli, yaitu:
1. Menurut Prof. H. Hilman Hadikusuma, S.H., (Tolib Setiady.2008, hlm. 377) bahwa yang
dimaksud dengan Hukum Adat Ketatanegaraan adalah “Aturan-aturan hukum adat yang
mengatur tentang tata susunan masyarakat adat, bentuk-bentuk masyarakat (perekutuan)
hukum adat (Desa), alat-alat perlengkapan (Desa), susunan jabatan dan tugas masing-
masing anggota Perlengkapan Desa, Majelis Kerapatan  Adat Desa, dan harta kekayaan
Desa”.
2. Menurut Prof. Bus.Har Muhammad, S.H., (Tolib Setiady.2008, hlm. 377) bahwa
“Hukum Adat ketata negaraan adalah bagian dari Hukum Adat mengenai susunan
pemerintahan”.
Dari pengertian hukum adat ketatanegaraan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa hukum adat
ketatanegaraan adalah hukum yang mengatur tentang susunan ketatanegaaran masyarakat adat di
berbagai wilayah/daerah di Indonesia.
2. Kepastian Hukum yang Berkeadilan Perspektif Hukum Adat
Jeremy Bentham mengatakan, kepastian yang ditimbulkan karena hokum (zekerheid door
het recht) bagi individu dalam masyarakat adalah tujuan utama dari hukum. Lebih lanjut
Bentham merumuskan bahwa tujuan utama dari hukum adalah menjamin adanya bahagia
sebanyak-banyaknya kepada orang sebanyak-banyaknya. 8Untuk menjamin kepastian ini adalah
tugas dari hokum, terutama dalam menengahi berbagai sengketa atau konflik yang teIjadi di
tengah-tengah masyarakat. Oleh karenanya, hukum itu adalah suatu petunjuk tentang apa yang
layak, apa yang tidak layak dan hukum itu bersifat suatu perintah 9yang fungsinya mengatur tata
tertib dalam masyarakat dan seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan,
maka untuk itu apabila teIjadi pelanggaran pad a petunjuk hidup tersebut pemerintah dapat
melakukan tindakan selaku pemegang otoritas sebagai jaminan kepastian hukum. 10Dalam
pengertian normatif kepastian hukum itu memerlukan tersedianya suatu perangkat peraturan
perundang-undangan yang secara operasional mampu mendukung pelaksanaannya. Langkah
serta usaha kearah menyediakan perangkat hukum yang memadai terutama sekili diletakkannya
prinsip-prinsip dasar berbentuk perlindungan hukum bagi setiap (aktor) pengguna hukum.

7
Muhammad Yamin, "Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945", Djilid Pertama, (Jakarta: Siguntang, 1959),
hal. 111·112.
8
Jeremy Bentham, "Introduction to the Principles of Morals and Legislation", (E. Utrecht, "Pengantar dalam Hukum
Indonesia", Cetakan ke XI (Jakarta: PT Ichtiar Baru, 1983), hal. 12.
9
Paul Scholten, "Asser's handleiding tot de beoefening van hel Nederlandsclr Burgerlijke Rechl, Algemeen Deel ",
1934, hal. 16.
10
Lahirnya "teori keputusan" (beslissingenleel) yang dipelopori oleh ter Haat banyak dipengaruhi oleh jalan pikiran
Paul Scholten dalam "A/gemeen Dee!", bag ian I, Ibid., hal. 236.
Hal ini menjadi penting mengingat peran dan fungsi hukum itu hams memberikan
perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia. Oleh karenanya pengertian kepastian
hukum dalam konteks ini adalah dalam arti perlindungan hak-hak dasar bagi setiap orang.
Seperti yang ditulis oleh Luis Henkin, mengatakan " .... human rights are claims asserted
recognized "as of right" not claims upon love, or grace, or brotherhood or charity: one does not
have to earn or deserve them. They are not merely aspirations or moral assertions but,
increasingly, legal claims under some applicable law".'2 Pemyataan Henkin ini, merupakan
prinsipprinsip perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindakan pemerintahan yang bertumpu
dan bersumber dari konsep ten tang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi man
usia. Perlindungan hak asasi tidak saja terbatas pada perlindungan diri (orang-perorangan) tetapi
juga perlindungan hak-hak konstitusional masyarakat di bidang hukum adat baik yang berbentuk
pengaturan sendiri (self regulation) atau "inner order mechanism" (periksa: telaah putusan
Mahkamah Konstitusi: Nomor 47-48/PHPU.A-VII2009 pada uraian berikut).
Perwujudan perlindungan hak-hak konstitusional prespektif hukum adat bagi masyarakat,
terlihat dari beberapa ketentuan yang bersumber pada norma norma dasar (staats fundamental
recht ataufimdamentallaw) mulai dari UUD 1945, Undang-UndangIPeraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah,
11
konvensi intemasional dan lain-Iainya. Penyediaan perangkat hukum yang dituangkan dalam
norma dasar, meskipun tidak ada disebutkan secara tegas tentang hukum adat dalam batang
tubuh UUD 1945 pada saat itu, bahkan menu rut Iman Sudiyat, tidak ada satu Pasal pun yang
memuat dasar berlakunya Hukum Adat, kecuali ketentuan Aturan Peralihan Pasal II,
menyatakan: "Segala badan negara dan peraturan yang ada, masih langsung berlaku selama
belum diadakan yang baru dalam UUD ini". 12Namun dalam uraian penjelasan bagian umum
UUD 1945 menyatakan: "bahwa undang-undang dasar ialah hukum dasar yang tertulis, sedang
disampingnya undang-undang dasar berlakujuga hukum dasar tidak tertulis.” Menurut Soepomo
hukum tidak tertulis ini merupakan sinonim dari Hukum Adat. 13Penegasan ini memperlihatkan
eksistensi hukum adat telah direspon dalam konstitusi negara. Bahkan meskipun Undang-
Undang Dasar Sementara 1950 tidak berlaku lagi namun ia masib tetap menjiwai hukumhukum
lainnya karena pembangunan hukum tidak bisa memisahkan atau melepaskan diri dari
sejarahnya (Periksa: Pasal 104 ayat (1) Jo. Pasal 32 Jo. Pasal 43 UUDS 1950). Dalam peIjalanan
hukum ketatanegaraan kita di masa Orde Lama, Orde Baru ke Orde Reformasi sampai dengan
dilaksanakannya amandemen Konstilllsi Negara, secara konsisten Pemerintahan Negara
merespon positif terlaksananya kepastian hukum perspektif Hukum Adat.
Mulai dari produk atau perangkat hukum misalnya pada tahun 1960 yang berbentuk TAP
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara nomor II tahun 1960 pada lampiran 1 (satu)
menetapkan Hukum Adat Menjadi Landasan Tata Hukum Nasional...dst. TAP MPR Nomor
IVIMPR 1973 bagian "Hukum" butir 2 (dua) menentukan: Pembinaan bidang hukum harus
mampu mengarahkan dan menampung kebutuhan-kebutuhan hukum sesuai dengan kesadaran
hukum rakyat yang berkembang kearah modernisasi menurut tingkat-tingkat kemajuan
11
Periksa: Pasal 7 ayat (I) UU No.1 0 Tahun 2000 tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan
12
Iman Sudiat, "Asas-asas Hukum Adat Bekal Pengantar", (Yogyakarta: Penerbit Liberty,1978), hal. 22.
13
Soepomo dalam Iman Sudiyat, Ibid. , hal. 8.
pembangunan di segala bidang. Sehingga tercapai ketertiban dan kepastian hukum sebagai
prasarana yang ditujukan kearah peningkatan pembinaan kesatuan bangsa sekaligus berfungsi
sebagai sarana menunjang perkembangan modemisasi dan pembangunan. Dalam TAP MPR
Nomor IVI1999 tentang GBHN Bab III Pembangunan Hukum bagian A Umum.
Pembangunan hukum harus dilaksanakan berdasarkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan
dengan mengakui dan mengihormati hukum agama dan hukum adat. TAP MPR Nomor Ix/2001
tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam, yang menghendaki
pengakuan, menghormati dan melindungi hak masyarakat hukum adat. Meskipun undang-
undang kekuasaan kehakiman beberapa kali mengalami pergantianipenyempumaan, namun tetap
konsisten mengawal dan menempatkan hukum adat sebagai hukum tetap eksis dan berkedudukan
kuat (strong legal pluralism). Setiap hakim yang menangani sengketa atau perkara diwajibkan
untuk menggali sumber-sumber hukum yang hidup dan berkembang di tengah-tengah
masyarakat.
Garnbaran diatas, memberikan penjelasan dan infoImasi tentang sejarab hukum asli
(indigenous law) bangsa Indonesia untuk rnernpertahankan eksistensi hukurn adat dalarn
kerangka konstitusi dan peraturan perundangundangannya. Hal ini ditujukan tidak lain untuk
menjamin adanya kepastian dan keadilan hukum bagi masyarakat Indonesia. Adanya jarninan
konstitusi dan pengalcuan Negara terhadap eksistensi hukum adat dan masyarakat hukumnya
telab teImaktub dalam konstitusi bangsa Indonesia yang selanjutnya ter:wujud dalarn rumusan
Pasal 18A ayat (1) pihak Pemerintah diminta rnernperhatikan kekhususan dan keragarnan daerah
10. Pasal 18B ayat (1) dan ayat (1) UUD 1945 yang mengamanatkan sebagai berikut:
(1). Negara rnengakui dan menghorrnati satuan-satuan pernerintah daerah yang bersitat
khusus atau bersitat istirnewa yang diatur dengan undangundang.
(2). Negara rnengakui dan rnenghormati kesatuan-kesatuan rnasvarakat hukurn adat
beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang rnasih hidup dan sesuai dengan perkernbangan
rnasyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalarn undang-undang.
Materi muatan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 pada unsur dari kata "Sepanjang masih hidup"
seperti yang tertulis di atas, mengamanatkan bahwa Negara kita memiliki konstitusi pluralis.
Yang artinya konstitusi menganggap hukum adat teImasuk hukum yang perlu dijadikan sebagai
sumber pedoman hidup beImasyarakat di jarnan modem. Karena hukum bersifat fleksibel dan
dinamis. Sehingga hukum adat dapat dijadikan sebagai sumber menyusun materi perundang-
undangan nasional. Menurut van Dick sebagaimana yang dikutip oleh R. Otje Salman 14bahwa
hukum adat memiliki corak tersendiri dibandingkan sistem hukum lainnya.
Karakteristik yang dimiliki hukum adat adalah:
1. Hukum adat mengandung sifat yang sangat tradisional;
2. Hukum adat dapat berubah;
3. Kesanggupan hukum adat untuk menyesuaikan diri.
14
R. Olje Salman, "Rekonseptualisasi Hukum Ada! Kontemporer", (Bandung: Alumni, 2002), Hal. 34
Ciri khas diatas menunjukkan babwa hukum adat tetap mempertahankan nilai-nilai
tradisional yang dimilikinya, dalam waktu yang sarna hukum adat dapat menenma perubaban
yang mempengaruhinya. Disinilah letak fleksibilitas dari hukum adat. 15Konstitusi yang
mernpakan hukum yang bersifat organik, memberikan sebuah jaminan kepastian hukum kepada
hukum ad at dan masyarakat hukumnya dengan mencantumkan pengakuan dan penghormatan
terhadap hukum yang hidup dalam masyarakat. Jaminan kepastian hukum oleh konstitusi juga
diwujudkan dengan mewajibkan kepada para hakim (hakim dan hakim konstitusi) sebagai
pemberi dan pencipta keadilan di masyarakat untuk wajib menggali, mengikuti, dan memahami
nilainilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 5 UU No.48 Tahun 2009
Tentang Kekuasaan Kehakiman).
Keberpihakan pengadilan pada hukum adat barn akan terlihat ketika putusan para hakim
pengadilan telah menunjukkan segala sesuatu yang ada dalam hidup kemasyarakatan yang telah
mendapatkan bentuk sebagai hukum. 16Artinya setiap putusan pengadilan itu mencerminkan
kepastian yang memiliki akibat hukum (rechtsgevolgen) berbentuk dwang; (pemaksaan) atau
kepastian dalam bentuk lainnya. Menurut Anthony Allott, yang menjadi ciri-ciri keputusan dari
Hakim dalam uraiannya mengenai postulat dasar dari hukum adalah "keputusan hakim yang
dapat dipaksakan ". 17Nader dan Todd dalam tulisannya pada uraian identifikasi cara-cara
penyelesaian sengketa yang ada dalam masyarakat, yakni salah-satu dari cara-cara penyelesaian
sengketa yang dikemukakan adalah dengan melakukan tindakan paksaan (coercion) melalui
pengadilan (adjudication) dan lain-lain. 18Tujuan utama dan yang paling penting dari setiap
keputusan yang mengakhiri sengketa dan konflik yang terjadi dalam masyarakat bukan pada
prosesnya melainkan pada adanya jaminan kepastian hukum bagi pihak-pihak yang mengakhiri
sengketa. Seperti dicontohkan oleh Nader dan Todd dalam laporan hasil studinya pada
masyarakat nelayan Skandinavia yang sedang bersengketa dengan sesamanya, yang mendorong
para pihak untuk menyelesaikan sengketanya terutama demi kelanjutan hubungan sosialnya. 19
Oleh karenanya ia akan melakukan apa saja (yang wujudnya 'kepastian') untuk
mempertahankan hubungan tersebut. Langkah yang ditempuh untuk itu adalah mencari
penyelesaian melalui cara bemegosiasi atau penyelesaian dengan musyawarah atau
menggunakan pihak ketiga (pengadilan), bagi mereka, demi mempertahankan hubungan sosial
(terutama kekerabatan) itulah yang paling penting, maka di sinilah letak pentingnya "keputusan "
yang dihasilkan pihak ketiga (termasuk pengadilan) atau menggunakan pranata hukum adat
sebagai terapi hukum, melalui musyawarah yang bersifat kompromistis untuk menyelesaikan
sengketa atau untuk mengembalikan kondisi masyarakat kembali normal. 20

15
Siti Maryam Salahuddin, Peranan Hukum Adat Dalam Pembangunan Hukum Nasional, Jumal Konstitusi Vol.5
Nomor 2, 2008, hal. 142.
16
Ter Haar dalam Iman Sudiyat, "Asas-asas Hukum Adat, Bekal Pengantar", (Yogyakarta: Penerbit Liberty, 1978),
hal. 21.
17
A.N Allot!, Law and Social Anthropology with special reference to African Laws in Sociologies: A journal for
empirical Sociology, Social Psychology and Ethic Research, Berlin: Duncker& Humblot, vol. 17 no: 1,1967.
18
Laura Nader dan Hany Todd, "Introduction: the Disp uting Process: Law in ten Societies", (New York: Columbia
University Press, 1978), hal. 9.
19
Ibid, . 1978. hal. 17 dan 18.
20
Yanis Maladi, 2009, "Antara Hukum Adat ............ Op. Cit., hal. 92.
3. Bentuk Desa
Ada beberapa pengertian desa, antara lain:
 Menurut ketentuan Undang-undang No. 5 Tahun 1679 Pasal 1 dikatakan bahwa:
“Yang dimaksud dengan DESA adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah
penduduk sebagai suatu kesatuan masyarakat termasuk didalamnya kesatuan masyarakat
hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung dibawah CAMAT
dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Sedangkan yang dinamakan DUSUN adalah bagian wilayah dalam
DESA yang merupakan lingkungan kerja pelaksanaan pemerintahan DESA”.
 Menurut Prof. Iman Sudiyat, S.H., dalam bukunya Asas-asas Hukum Adat Bekal
Pengantar mengatakan bahwa:
“Suatu Desa ialah suatu kesatuan kemasyarakatan berdasarkan ketunggalan wilayah yang
organisasinya didasarkan atas tradisi yang hidup dalam suasana rakyat dan mempunyai
suatu badan tata urusan pusat yang berwibawa diseluruh lingkungan wilayahnya”.

Menurut Tolib Setiady bahwa bentuk-bentuk Desa diseluruh Indonesia itu dalam kenyataannya
berbeda-beda dikarenakan berbagai faktor antara lain sebagai berikut:
 Wilayah yang ditempati penduduk, ada wilayah yang sempit ditempati penduduk yang
padat dan ada wilayah yang luas ditempati oleh penduduk yang jarang.
 Susunan masyarakat hukum adat, ada masyasrakat adat (Desa) yang susunannya
berdasarkan ikatan kekerabatan (Genalogis) dan atau berdasarkan ikatan keagamaan.
 Sistem pemerintahan adat dan nama-nama jabatan pemerintahan adat yang berbeda-beda
dan penguasaan harta kekayaan desa yang berbeda-beda.
Perbedaan itu diantaranya sebagai berikut:
Desa di pulau jawa
Di pulau jawa seperti di jawa tengah dan jawa timur, desa dengan dukuh-dukuh-nya
merupakan wilayah yang ditempati sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat yang padat,
begitu pula di daerah pasundan desa dengan lembur-lembur-nya atau di banten desa dengan
ampian-ampian-nya walaupun penduduknya agak jarang dan tersebar namun jarak antara bagian-
bagian desa dengan pusat desa (krajan-jawa) tidak berjauhan.
Demikian pula halnya dengan bali, desa dengan banjar-banjar-nya tetapi di bali penduduk
desanya dapat dibedakan antara marga adat banjar (dalam pemerintahan tanah kering) dan marga
adat subak (dalam pemerintahan tanah basah atau pengairan) (waterschap).
Daerah-daerah di luar jawa
Lain halnya dengan daerah-daerah di luar jawa, bentuk wilayah kediaman yang dapat disamakan
dengan bentuk desa adalah seperti di aceh disebut mukim sebagai kesatuan beberapa gampong.
Di batak disebut negari atau kuria dengan beberapa kampuang atau suku. Di sumatera selatan
marga dengan beberapa dusun. Di lampung marga dengan beberapa kampung (tiyuh) (pekon). Di
kalimantan yang masih merupakan rumpun suku dan anak-anak sukunya. Di sulawesi selatan
dalam bentuknya yang lama wanua (bugis), pa’rasangan atau bori (makassar). Sulawesi utara
wanua (minahasa).
Pada umumnya yang merupakan bentuk desa di luar jawa merupakan tempat kediaman
penduduk yang terdiri dari perkampungan yang kecil-kecil yang hanya terdiri dari rumah degan
hak ulayat tanah peladangan dan hutan yang luas. Kampung-kampung tersebut ada yang
setengah berdiri sendiri mengatur pemerintahan rumah tangga kampungnya dengan raja-raja adat
masing-masing, kebanyakan letak perkampungan jauh dari pusat desa dan bahkan masih ada
yang penduduknya tidak menetap, masih berpindah-pindah tempat sesuai dengan kehidupan
pertanian lading atau pengembalaan ternak.

4. Susunan Masyarakat Desa

1. Pemerintahan Desa
Dalam menjalankan tugasnya, kepala desa dibantu oleh perangkat desa. Perangkat desa tersebut
disesuaikan dengan kebutuhan di desa. Perangkat desa umumnya adalah sebagai berikut.
2. Sekretaris Desa
Salah satu perangkat desa ialah sekretaris desa yang bertugas mengurus administrasi di desa.
Misalnya, membuat surat akta kelahiran atau surat keterangan. Sekretaris desa
merupakan pegawai negri sipil atau PNS.
3. Badan Permusyawaratan Desa (BPD)
Badan Permusyawaratan Desa mempunyai fungsi untuk menetapkan peraturan desa bersama
kepala desa, menampung, dan menyalurkan aspirasi (pendapat) masyarakat. Anggota BPD
adalah wakil penduduk desa bersangkutan. Mereka ditetapkan menjadi anggota BPD dengan cara
musyawarah dan mufakat. Masa jabatannya adalah enam tahun yang dapat dipilih lagi untuk satu
kali masa jabatan berikutnya, sama seperti kepala desa. Perangkat desa merupakan badan yang
ada di desa dengan tujuan membantu urusan dalam pemerintahan desa. Urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan desa, antara lain sebagai berikut.
o   Urusan tingkat pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa. Misalnya,
mengangkat ketua RW dan RT.
o   Urusan tingkat pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota, tetapi urusan
tersebut diserahkan pengaturannya ke desa. Misalnya, membuat Kartu Tanda Penduduk (KTP)
dan Kartu Keluarga (KK).
o   Tugas pembantuan dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan atau pemerintah
kabupaten/kota. Misalnya, membantu mengumpulkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dari
masyarakat desa.
o   Urusan pemerintahan lainnya, yang oleh peraturan perundang-undangan diserahkan ke desa.
Misalnya, pembentukan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan LKMD. Dengan demikian,
pemerintahan desa berperan bagi kehidupan masyarakat di desa.

Desa merupakan kesatuan masyarakat yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat. Untuk lebih memahaminya,
perhatikanlah susunan pemerintahan desa berikut.
5.    Pemerintahan Desa
Pemerintahan Desa merupakan lembaga perpanjangan pemerintah pusat memiliki peran yang
strategis dalam pengaturan masyarakat desa/kelurahan dan keberhasilan pembangunan nasional.
Karena perannya yang besar, maka perlu adanya Peraturan-peraturan atau Undang-Undang yang
berkaitan dengan pemerintahan desa yang mengatur tentang pemerintahan desa, sehingga roda
pemerintahan berjalan dengan optimal.
Untuk meningkatkan kinerja dari pemerintahan daerah, termasuk pemerintahan desa, pemerintah
pusat beberapa kali telah mengeluarkan Undang-Undang yang berkaitan dengan hal tersebut,
diantaranya Undang-Undang No, 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam undang-
Undang ini disebutkan disebutkan:
1. Desa berdasarkan undang-undang ini adalah Desa atau yang disebut dengan nama lain
sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak
asal usul yang bersifat istimewa, sebagaimana dimaksud dalam penjelasan pasal 18
Undang-Undang Dasar 1945. Landasan pemikiran dalam pengaturan mengenai
Pemerintahan Desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi, dan
pemberdayaan masyarakat.
2. Penyelenggaraan Pemerintahan Desa merupakan subsistem penyelenggaraan
pemerintahan sehingga Desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat. Kepala Desa bertanggung jawab pada badan perwakilan Desa
dan menyampaikan laporan pelaksanaan tugas tersebut kepada Bupati.
3. Desa dapat melakukan perbuatan hukum, baik hukum publik maupun hukum perdata,
memiliki kekayaan, harta benda, dan bangunan serta dapat dituntut dan menuntut di
pengadilan. Untuk itu Kepala Desa dengan persetujuan Badan Perwakilan Desa
mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum dan mengadakan perjanjian
yang saling menguntungkan.
4. Sebagai perwujudan demokrasi, di Desa di bentuk Badan Perwakilan Desa atau sebutan
lain yang sesuai dengan budaya yang berkembang di Desa yang bersangkutan, yang
berfungsi sebagai lembaga legislasi dan pengawasan dalam hal pelaksanaan Peraturan
Desa, Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, dan Keputusan Kepala Desa.
5. Di Desa dibentuk lembaga kemasyarakatan Desa lainnya sesuai dengan kebutuhan Desa.
Lembaga dimaksud merupakan mitra Pemerintah Desa dalam rangka pemberdayaan
masyarakat Desa.
6. Desa memiliki sumber pembiayaan berupa pendapatan desa, bantuan pemerintah dan
Pemerintah Daerah, pendapatan lain-lain yang sah, sumbangan pihak ketiga dan pinjaman
Desa.
7. Berdasarkan hak asal-usul Desa yang besangkutan, Kepala Desa mempunyai wewenang
untuk mendamaikan perkara/sengketa dari para warganya.
8. Dalam upaya meningkatkan dan mempercepat pelayanan kepada masyarakat yang
bercirikan perkotaan dibentuk Kelurahan sebagai unit Pemerintah Kelurahan yang berada
di dalam daerah Kabupaten dan/atau Daerah Kota.
Sedangkan pada Undang-Undang Republik Indonesia No. 32/2004 tentang Revisi Undang-
Undang No. 22/1999 disebutkan:
a. Kelurahan dibentuk di wilayah Kecamatan dengan Peraturan Daerah berpedoman
pada Peraturan Pemerintah
b. Kelurahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh Lurah yang dalam
pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan dari Bupati/Walikota
c. Selain tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) lurah mempunyai tugas:
i. Pelaksanaan kegiatan pemerintah kelurahan
ii. Pemberdayaan masyarakat
iii. Pelayanan masyarakat
iv. Penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum
v. Pemeliharaan prasarana dan fasilitas umum.
d. Lurah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diangkat oleh Bupati/Walikota atas
usul Camat dari PNS yang menguasai pengetahuan teknik pemerintahan dan
memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
e. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Lurah
bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota melalui camat.f.
f. Lurah dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dibantu
oleh perangkat Kelurahan.g.
g. Untuk kelancaran tugas Lurah sebagaimana dimaksud ayat (3) dapat dibentuk
lembaga lainnya sesuai dengan kebutuhan yang ditetapkan oleh Peraturan daerah.
6.    Harta Kekayaan Desa
Di dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang PEMERINTAHAN DESA tidak diatur
mengenai harta kekayaan Desa. Pada bagian 8 tentang Sumber Pendapatan, kekayaan dan
Anggaran Penerimaan dan Pengeluaran Keuangan Desa (pasal 21) dikatakan bahwa:
a.  Pendapatan asli daerah sendiri :
      1)  Hasil tanah-tanah Kas Desa
      2)  Hasil swadaya dan partisipasi masyarakat desa
      3)  Hasil dari gotong royong masyarakat
      4)  Lain-lain dari hasil usaha desa yang sah.
b.  Pendapatan yang berasal dari pemberian Pemerintah Daerah
      1)  Sumbangan dan bantuan pemerintah
      2)  Sumbangan dan bantuan pemerintah daerah
      3)  Sebagian dari pajak dan retribusi daerah yang diberikan kepada desa.
c.   Lain-lain pendapatan yang sah
Munurut hukum adat suatu desa sebagai badan hukum adat mempunyai harta kekayaan desa
yang memiliki atau dikuasai oleh desa, baik berupa tanah, baungunan, hutang piutang, dan
lainnya. Di masa yang sekaran hal yang menyangkut pemilikan tanah atau penguasaan tanah
harus mengingat UUPA (Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960).
Pasal 1 ayat (2) UUPA dinyatakan:
“seluruh bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya
dalam wilayah Republik Indonesian sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan
ruang angkasa babgsa Indonesia dan merupakan kekayaan Nasional.
Pasal 2 ayat (1) menyatakan:
“atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan hal-hal sebagai yang dimaksuk
dalam pasal 1 bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamya
itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat”.
Marilah kita tinjau kembali tentang harta kekayaan desa menurut hukum adat yang dibeberapa
daerah masih dianggap berlaku menurut hukum adat setempat. Harta kekayaan tersebut
merupakan bidang-bidang tanah, bangunan dan mungkin juga kalau ada berupa hutang piutang
dan lain-lain.
A.  TANAH HAK ULAYAT
Semua bidang tanah yang dikatakan tanah hak ulayat desa adalah berupa tanah hutan termasuk
hutan larangan yang diserahkan pengawasannya kepada desa yang bersangkutan seperti tanah
hutan, semak belukar, rawa-rawa, tanah-tanah bekas peladangan yang telah ditinggalkan
penggarapnya yang berada diwilayah batas desa yang bersangkutan yang dikuasai oleh desa
(KURIA, MARGA, NAGARI, NEGORIJ, dan lainnya). Yang bukan milik kerabat, milik
perseorangan, perusahaan dan sebagainya.
Di beberapa TANAH HAK ULAYAT itu disebut WEWENGGOKONN-Jawa (TORLUK-
Angkola), (ULAYAT-Minangkabau), (TANAH MARGA-Lampung), (PENYAMPETO atau
PAWATASAN-Kalimantan), (LIMPO-Sulawesi Selatan), (TATABUAN-Bolaang nongodow),
(PATUANAN –Ambon), (PAER-Lombok), (PRABUMIAN atau PAYAR-Bali). Bidang-bidang
tanah tersebut apabila tidak dimanfaatkan untuk sumber kehidupan penduduk desa yang
bersangkutan dan atau tidak dimanfaatkan untuk kepentingan pembangunan daerah (nasional)
maka berdasarkan ketentuan pasal 2 ayat (1) UUPA dikuasai oleh Negara sepenuhnya.
B. TANAH DESA
Sebidang tanah desa yang berada didalam atau sekitar desa atau kampung yang bukan milik
kerabat, milik perorangan, milik yayasan atau lembaga atau perusahaan adalah TANAH DESA
atau TANAH MILIK DESA. Tanah dimaksud seperti Tanah pekuburan, tanah tempat ibadah
(masjid, surau, gereja, pura), tanah-tanah tempat lembaga pendidikan (sekolah, madrasah,
pesantren, pondok), tanah balai desa, tanah lapangan desa, (tempat olah raga, tempat
mengembalakan ternak), tanah pasar desa, dan lain-lainnya.
Bidang-bidang tanah yang disediakan desa untuk kebutuhan hidup dari keluarga kepala desa dan
perabot desa-nya selama memangku jabatan seperti TANAH BENGKOK atau TANAH
PAKULEN di pedesaan Jawa adalah TANAH DESA. Tetapi bidang-bidang tanah (kebun buah-
buahan, tempat penangkapan ikan, dan lain-lain) yang disediakan adau berasal dari cikal bakal
keturunan para keluarga penghulu adat yang dipusakai turun temurun sebagai milik bersama
bukan tanah desa melainkan TANAH KERABAT atau TANAH SUKU. Tanah-tanah serupa ini
kebanyakan terdapat di perkampungan luar Jawa.
C. BANGUNAN DESA
Semua bangunan seperti Balai Desa, Kantor Desa, Tempat-tempat ibadah (masjid, gereja, pura,
dan sebagainya), Tempat pemandian (ditepi sungai), Bangunan Pasar, Bangunan Pelabuhan
Transport di Desa, Pintu Gerbang Desa, Pakaian Perlengkapan Adat Kesenian (tabuhan,
gamelan, dan lain-lain) yang bukan milik perorangan, yayasan, perkumpulan atau perusahaan
dan bukan dapat meminjam atau menyewa dari pihak lain adalah milik desa. Akan tetapi
bangunan berupa Balai Adat, Rumah Kerabat, Alat pakaian kesenian Adat pedesaan yang
bersifat kekerabatan (genealogis) bukan milik desa melainkan milik kerabat keturunan yang
bersangkutan (persekutuan hukum adat) kecuali telah diserahkan kepada desa.
Selanjutnya termasuk kekayaan adat selain mebeulair, alat-alat kantor (brandcash, mesin ti, dan
lain-lain), hutang piutang desa (sewa pasar, inventaris yang belum dilunasi), mesin traktor,  alat
pertanian termasuk bibit, pupuk, dan lumbung desa yang tidak ada sangkut pautnya dengan milik
perorangan, yayasan, perkumpulan, perusahaan, koperasi dan lain-lainnya, kesemuanya adalah
harta kekayaan desa.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pengakuan dan penghormatan eksistensi hukum adat dalam konstitusi telah memberikan
gambaran yang jelas bahwasanya bangsa Indonesia memiliki kultur yang khas dalam hukum. Hukum
adat adalah hukum yang lahir dari kebutuhan hukum dan perasaan rakyat Indonesia. Maka dengan
sendirinya hukum adat dapat mampu menjawab segala masalah-masalah hukum yang dihadapi oleh
rakyat dalam kehidupan sehari-hari. Hukum adat harus dikaji dalam rangka pembangunan hukum
nasional ini dikarenakan pada satu sisi, secara alamiah situasi dan kondisi masyarakat di masing-masing
daerah tentunya berbeda.

Perbedaan itu selanjutnya, juga menimbulkan variasi dalam nilai-nilai sosial budaya mereka,
termasuk nilainilai hukum sebagai produk budaya. Gambaran diatas menunjukkan bahwa hukum adat
tetap mempertahankan nilai- nilai tradisional yang dimilikinya, dalam waktu yang sarna hukum adat
dapat menerima perubahan yang mempengaruhinya. Disinilah letak fleksibilitas dari hukum adat.
Konstitusi sebagai hukum yang bersifat organik, memberikan sebuah jaminan kepastian hukum kepada
hukum adat dan masyarakat hukumnya dengan mencantumkan pengakuan dan penghormatan
terhadap hukum yang hidup dalam masyarakat.

Jarninan kepastian hukum oleh konstitusi juga diwujudkan dengan mewajibkan kepada para
hakim (hakim dan hakim konstitusi) sebagai pemberi dan pencipta keadilan di masyarakat untuk wajib
menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Masing-masing masyarakat memiliki otonomi terhadap nilai-nilai hukumnya, karena sesungguhnya
masyarakat itulah yang membutuhkan adanya nilai-nilai hukum itu. Dengan adanya konstitusi sebagai
aturan normatif tertinggi dalam hierarki perundang-undangan yang telah memberikan tempat tersendiri
terhadap pengakuan dan penghormatan pada hukum adat haruslah dimaknai sebagai semangat dan
cita-cita bangsa Indonesia dalam rangka mewujudkan Negara hukum ala Indonesia yang mampu
membahagiakan rakyatnya.
DAFTAR PUSTAKA
Van Vollenhoven dalam Yanis Maladi, "Antara Hukum Adat dan Ciptaan Hukum oleh Hakim (Judge Made
Law) ", (Yogyakarta: Mahkota Kata, 2009)

Moh. Koesnoe, dalam Siti Soendari (Editor), "Hukum Adat dalam Alam Kemerdekaan Nasional dan
Soalannya Menghadapi Era Globalisasi", (Surabaya: Ubhara Press, 1996)

Satjipto Rahardjo, "Negara Hukum Yang Membahagiakan Rakyatnya", (Yogyakarta: Genta Publishing,
2009)
M.D.A. Freidman, "Lloyd's introduction to Juricprudence", Seventh Edition, (London: Sweet & Maxweel Ltd., 2001)
William G. Andrews, "Constitutions and Constitutionalism", 3rd edition, (New Jersey: Van Nostrand
Company, 1968)
Muhammad Yamin, "Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945", Djilid Pertama, (Jakarta: Siguntang, 1959)

Jeremy Bentham, "Introduction to the Principles of Morals and Legislation", (E. Utrecht, "Pengantar dalam Hukum
Indonesia", Cetakan ke XI (Jakarta: PT Ichtiar Baru, 1983)

Paul Scholten, "Asser's handleiding tot de beoefening van hel Nederlandsclr Burgerlijke Rechl, Algemeen Deel ",
1934, hal. 16.

Lahirnya "teori keputusan" (beslissingenleel) yang dipelopori oleh ter Haat banyak dipengaruhi oleh
jalan pikiran Paul Scholten dalam "Algemeen Dee!", bag ian I, Ibid.
Pasal 7 ayat (I) UU No.1 0 Tahun 2000 tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan

Iman Sudiat, "Asas-asas Hukum Adat Bekal Pengantar", (Yogyakarta: Penerbit Liberty,1978)

R. Olje Salman, "Rekonseptualisasi Hukum Ada! Kontemporer", (Bandung: Alumni, 2002)

Siti Maryam Salahuddin, Peranan Hukum Adat Dalam Pembangunan Hukum Nasional, Jumal Konstitusi
Vol.5 Nomor 2, 2008
A.N Allot!, Law and Social Anthropology with special reference to African Laws in Sociologies: A journal for
empirical Sociology, Social Psychology and Ethic Research, Berlin: Duncker& Humblot, vol. 17 no: 1,1967.

Laura Nader dan Hany Todd, "Introduction: the Disp uting Process: Law in ten Societies", (New York:
Columbia University Press, 1978), hal. 9.

Anda mungkin juga menyukai