Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

HUKUM DAN PEMBANGUNAN


(TEORI HUKUM INTEGRATIF)

Disusun oleh :

FATMAWATI

2274101094

PROGRAM MAGISTER (S-2) ILMU HUKUM


SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS LANCANG KUNING
PEKANBARU
2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur ke hadirat Allah SWT karena atas taufik dan rahmat-Nya
kami dapat menyelesaikan makalah tentang “Teori Hukum Integratif” ini. Shalawat serta salam
senantiasa kita sanjungkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat,
serta semua umatnya hingga kini. Dan semoga kita termasuk dari golongan yang kelak
mendapatkan syafaatnya.

Dalam kesempatan ini, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah berkenan membantu pada tahap pesnyusunan hingga selesainya makalah ini. Harapan kami
semoga makalah yang telah tersusun ini dapat bermanfaat sebagai salah satu rujukan maupun
pedoman bagi para pembaca, menambah wawasan serta pengalaman, sehingga nantinya saya
dapat memperbaiki bentuk ataupun isi makalah ini menjadi lebih baik lagi.

Saya sadar bahwa saya ini tentunya tidak lepas dari banyaknya kekurangan, baik dari
aspek kualitas maupun kuantitas dari bahan penelitian yang dipaparkan. Semua ini murni
didasari oleh keterbatasan yang saya miliki. Oleh sebab itu, saya membutuhkan kritik dan saran
kepada segenap pembaca yang bersifat membangun untuk lebih meningkatkan kualitas di
kemudian hari.

Pekanbaru, 26 Oktober 2022

Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Almarhum Satjipto Rahardjo1, Guru besar Undip sangat prihatin karena penegakan
hukum abaikan fundamental hukum yaitu hukum untuk manusia bukan sebaliknya sehingga jika
ada muatan hukum yang tidak cocok dengan kepentingan manusia maka hukum itu yang harus
diubah bukan manusianya dipaksakan dimasukkan ke dalam kotak hukum normatif. Betapa
pedihnya membaca tulisan almarhum tentang krisis nurani dalam penegakan Inukum. Bahkan
bukan hanya itu, lebih zolim lagi jika ada manusia yang dimasukkan ke dalam kerangkeng
hukum hanya karena dendam, politik atau berbeda pendapiat dergan kekuasaan yang telah
banyak terjadi sejak republik ini didirikan. Berbeda dengan almarhum, Mochtar
Kusumaatmadja2, guru besar unpad, justru mengakui kelemahan mendasar terletak pada
pendidikan hukum di Indonesia sejak kemerdekaan yang hanya mendidik "tukang-tukang
hukum" yang tidak antisipatif terhadap perkembangan nilai keadilan dalam masyarakat termasuk
perkembangan demi kemajuan bangsa ini.

1
Dalam buku ,"Hukum Progresif"((2009); "Hukum dan Perilaku"(2009);"Pendidikan Hukum sbagai pendidkan
manusia (2009).
2
Dalam buku/'Fungsi Hukum dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional"(tanpa tahun);
"Pembaharuan Pendidikan Hukum dan Pembinaan profesi"(2006);"Pembinaan Hukum dalam rangka Pembangunan
Nasional("(1976)
B. Rumusan Masalah
1. Apakah Hukum Integratif ?
2. Bagaimana Sejarah Aliran Teori Hukum Integritas ?

C. Tujuan dan Manfaat
1. Untuk Mengetahui Hukum Integritas.
2. Untuk Mengetahui Sejarah Aliran Teori Hukum Integritas.
BAB  II
PEMBAHASAN
1. Teori Hukum Integratif

Atas dasar pemikiran ini maka Mochtar Kusumaatmadja menuntun murid-muridnya dan
para cendekiawan hukum untuk turut membentuk hukum yang sesuai dengan kebutuhan bangsa
ini dan menciptakan hukum yang dapat membawa ke arah perubahan pola pikir masyarakatnya
demi kemajuan masa depan bangsa ini. Untuk mencapai tujuan tersebut Mochtar
memperkenalkan politik hukum sebagai sarana pembangunan nasional. Dua pemikiran
Gurubesar tersebut memberikan harapan baru pada generasi muda hukum Indonesia bahwa
diperlukan pemikiran kritis dalam menghadapi gerak pembangunan bangsa Indonesia di tengah-
tengah tarik-tarikan antara penganut aliran positivisme hukum (Kelsen cs) dan aliran sociological
jurisprudence (Roscoe Pound cs) sehingga bangsa ini dapat memiliki landasan pemikiran tentang
arah politik hukum Indonesia yang dapat dan mampu menghadapi persaingan global dalam
segala aspek kehidupan masyarakat intemasional.

Dua faktor yang dapat dikatakan menghambat atau mendukung/memperkuat kehendak


untuk menemukan arah politik pembangunan hukum nasional yaitu pertama faktor internal dan
faktor eksternal dan keduanya bersifat interdepensi satu sama lain; tidak ada faktor yang lebih
utama daripada yang lain. Faktor internal dimaksud adalah pendidikan hukum yang belum
menukik ke dalam lubuk nurani kehidupan bangsa ini sejak kemerdekaan sampai saat ini
sehingga menghasilkan ahli hukum yang belum sepenuhnya mengenal tempat di mana ia
berpijak kecuali "hukum asing" yang diterimanya sejak di bangku kuliah.

Kedua, penelitian hukum yang mencapai titik nadir sehubungan terabaikannya sistem
hukum adat dan hukum islam yang telah sejak ratusan tahun merupakan hukum bagi mayoritas
masyarakat Indonesia. Ketiga, presumsi bahwa hukum asing (barat) lebih modern dan maju
daripada hukum adat telah melenakan pemikiran dan sikap kita untuk menghargai nilai budaya
bangsa ini yaitu Pancasila. Pancasila sebagai nilai budaya bangsa dan filsafat kehidupan bangsa
Indonesia telah tersingkirkan oleh filsafat hidup materialisme yang merupakan pengaruh idiologi
globalisasi yang sangat pesat dewasa ini.
Pendidikan hukum dan praktik hukum sejak lama sampai saat ini masih bertahan pada
"kotak normatif (Alm.Satjipto) sehingga akademisi hukum telah diarahkan untuk menganut
pendapat yang sama bahwa, solusi konflik, adalah hukum, dan pengadilan dipandang sebagai
benteng keadilan.

Sesungguhnya hukum dalam pengertian berkonflik bukanlah solusi satu-satunya untuk


mencapai keadilan bagi para pihak melainkan solusi konflik dan keadilan sesungguhnya ada di
dalam hati nurani para pihak. Penyelesaian antar para pihak berkonflik merupakan solusi
bernurani dan keadilan yang sejati. Solusi sengketa melalui Pengadilan justru seharusnya
merupakan sarana terakhir untuk memperoleh keadilan (ultimum remedium) sedangkan
"kesepakatan para pihak untuk berdamai menurut cara-cara yang disetujuinya" seharusnya
merupakan sarana utama untuk memperoleh keadilan (primum remedium). Penanaman
kesadaran bahwa hukum merupakan sarana penyelesaian konflik dan pengadilan benteng
keadilan merupakan merupakan hasil "kolonialisasi hukum adat oleh hukum barat" sejak
pemerintahan Hindia Belanda menguasai Nusantara di mana lembaga peradilan adat dan
lembaga peradilan agama dihapuskan ketika itu.

Para akademisi dan praktisi hukum Indonesia juga ahli ekonomi dan ahli energi dan
sumber daya alam belum memahami karakter bangsa ini secara utuh, multi-etnis, multi-budaya,
dan kondisi geografis yang luas serta sumber daya alam yang tiada ternilai. Mereka lupa bahwa
mereka memiliki kewajiban untuk selalu melindungi dan memeliharanya secara sungguh-
sungguh dengan berpijak pada jati diri bangsa dan kedaulatan sebagai bangsa yang merdeka.
Mereka kebanyakan bangga dengan budaya asing dan hukum asing tetapi melupakan budaya
bangsanya dan hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Mereka tidak
mengetahui bahwa paham globalisasi kini telah meredup tidak berbekas bahkan dikutuk sebagai
penyebab krisis moral sosial bangsa-bangsa barat khususnya Amerika Serikat. Kondisi ini telah
dinyatakan secara eksplisit oleh Jeffrey Sachs, salah satu ahli ekonomi Amerika Serikat ,
penasehat ahli Sekjen PBB Ban Ki Moon; mengatakan bahwa, akar penyebab krisis ekonomi AS
adalah krisis moral yaitu menurunnya kepedulian sesama warganya di kalangan elit politik dan
elit ekonomi. Bahkan diakuinya bahwa banyak warga Amerika telah meninggalkan tanggung
jawab sosialnya, mereka mengejar kekayaan dan kekuasaan dengan meninggalkan warga lainnya
dalam kesulitan.3

Pendidikan hukum di Indonesia tampak telah dicapai kemajuan dalam mengadopsi dan
mengadaptasi serta harmonisasi konsep hukum barat sejak masa Tahun 1970-an sampai saat ini.
Namun belum dikaji secara mendalam aspek filosofi, sosiologi dan kultur serta pandangan hidup
(way of life) di balik semua konsep hukum asing itu. Kita baru pandai mengamati, mendalami,
membaca dan memperbarui perundang-undangan nasional melalui kajian konsep hukum asing,
intinya kita baru memiliki "legal-skilled" tetapi belum memahami sungguh-sungguh "profesional
ethics" dan "profesional responsibility". Yang saya maksud dengan "profesional ethics" dalam
konteks memahami hukum asing adalah kekurang hati-hatian mengadopsi dan mengadaptasi
konsep hukum asing tanpa mempertimbangkan sisi keahlian yang diperlukan dan relevan dengan
substansi yang akan diatur. Yang saya maksud dengan "profesional reponsibility dalam konteks
tersebut adalah tanggung jawab keilmuan dari aspek moral sosial.

Saya perlu mengingatkan kita semua, pernyataan Oliver Wendel Holmes, mantan Hakim
Agung AS, yang telah menunjukkan keprihatinan yang sangat mendalam mengenai eksistensi
hukum di Amerika di era-nya yang dikenal sebagai era 'scepticism" atau "keragu-raguan".
Alschuler mengatakan penyebab utama krisis moral sosial adalah kekeliruan memahami konsep
hukum, "pragmatismutilitarian" yang disamakan dengan "applied utilitarinism", sehingga telah
membentuk karakter lulusan pendidikan hukum yang sangat mengutamakan kepentingan
individu atas beban pengorbanan kepentingan orang lain.4

2. Sejarah Aliran Teori Hukum

Berbicara mengenai teori, secara umum dipahami sebagai rangkaian kesatuan dari
beberapa unsur yang berkaitan. Berkenaan dengan teori hukum ini, menurut Satjipto Rahardjo,
boleh disebut sebagai kelanjutan dari usaha mempelajari hukum positif, setidak-tidaknya dalam
urutan yang demikian itulah dikonstruksikan kehadiran teori hukum secara jelas. Pada saat orang
mempelajari hukum positif, maka ia sepanjang waktu dihadapkan pada peraturan-peraturan

3
Jeffrey Sachs/The Price of Civilization:Reawakening Virtue and Prosperity After Economic Fall"; Vintage Books,
2011;p.l, p.4
4
Romli Atmasasmita/'Teori Hukum lntegratif:Rekonstruksi Terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori
Hukum Progresif; Genta Publshing Tahun2012; halaman 2-3
hukum dengan segala cabang kegiatan dan permasalahannya, seperti kesalahannya, penafsirannya dan
sebagainya.5 Namun kadangkala ada keraguan pada sebagian orang apakah teori hukum (theory of law)
itu berdiri sendiri, atau hanya inklud di dalam filsafat hukum (philosophy of law), ilmu hukum (science of
law), hukum normatif, dan hukum positif. Keraguan itu dapat dianggap wajar, karena di negara-negara
yang berlaku sistem Anglo Saxon para mahasiswa hukum tidak diajarkan kuliah filsafat hukum. Hal ini
berbeda dengan yang berlaku di negara-negara Eropa Kontinental. Terlepas dari perbedaang tersebut,
menurut Munir Fuady, terdapat beberapa model pendekatan yang dapat dilakukan dalam memahami
disiplin teori hukum, di mana dapat digunakan satu pendekatan saja atau beberapa pendekatan sekaligus.
Adapun pendekatan-pendekatan tersebut ialah sebagai berikut: 6

a. Pendekatan yang menafikan disiplin teori hukum.

b. Pendekatan sorotan disiplin lain ke bidang hukum.

c. Pendekatan teori hukum hakikat.

d. Pendekatan teori hukum substantif.

e. Pendekatan teori hukum nonpraktis.

f. Pendekatan teori sejarah hukum.

g. Pendekatan teori aliran hukum.

h. Pendekatan teori tradisi hukum.

i. Pendekatan nasionalisme hukum.

j. Pendekatan secara fungsional.

k. Pendekatan terstruktur.

Pendekatan-pendekatan tersebut dapat digunakan salah satunya saja atau beberapa


pendekatan sekaligus. Namun dalam tulisan ini hal itu tidak dibicarakan lebih lanjut. Tetapi
hanya memahami pengertian teori hukum secara umum. Munir Fuady menambahkan, teori
hukum adalah antara filsafat di satu pihak dengan hukum positif di lain pihak, di mana hukum

5
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 253.
6
Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2007), hlm. 1-2.
positif sangat dipengaruhi oleh politik, paling tidak menurut paham positivisme dan sampai
batas-batas tertentu oleh sosiolog hukum, tempat teori hukum berada di antara disiplin filsafat di
satu sisi dengan teori politik di sisi yang lain. Dalam bukunya Legal Theory, W. Firedmann
menampakkan sosoknya sebagai pengikut aliran positivisme dengan menyatakan: "All
systematic thinking about legal theory is linked at one end with philoshophy, and, at the other
end, with political theory. Kemudian J.J. Bruggink, seperti dikutif Otje Salman, menjelaskan
teori hukum merupakan seluruh pernyataan yang saling berkaitan dengan sistem konseptual
aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum, dan sistem tersebut untuk sebagian yang
penting dipositifkan. Menurut Bruggink, teori hukum dapat dipahami dalam arti luas dan dalam
arti sempit. Dalam arti luas, hal itu menunjukkan kepada pemahaman tentang sifat berbagai
bagian (cabang sub disiplin) Teori Hukum, yaitu Sosiologi Hukum yang berbicara tentang
keberlakuan faktual atau keberlakuan empirik dari hukum. Teori Hukum dalam arti sempit,
berbicara tentang keberlakuan formal atau keberlakuan normatif dari hukum. Filsafat Hukum
berbicara tentang keberlakuan evaluatif dari hukum, terakhir adalah Dogmatika Hukum, atau
llmu Hukum dalam arti sempit.7

Teori hukum integratif8, yaitu teori ini lahir dari hasil perenungan selama dalam
penahanan di Kejaksaan Agung dalam perkara sisminbakum dan kajian teoritik atas teori hukum
pembangunan (Mochtar Kusumaatmadja) dan teori hukum progresif (Alm.Satjipto Rahardjo),
serta pengalaman sebagai birokrasi selama hampir 8 (delapan) tahun dan pengajar selama 35
Tahun, dihubungkan dengan kondisi pembentukan hukum dan penegakan hukum di Indonesia di
era globalisasi.

Saya sangat prihatin atas kondisi situasi pembentukan hukum (baca undang-undang) di
Indonesia sejak era reformasi, bukan pada reformasi susbtansi dan struktur melainkan pada efek
reformasi dimaksud terhadap nilai-nilai Pancasila sebagai filsafat hidup bangsa Indonesia yang
menurut pengamatan saya baik substansi hukum.struktur hukum maupun budaya hukumj,
mencerminkan filsafat keadilan barat, dikenal, "western legal Theory"9 ; dipelopori sejak era

7
Otje Salman dan Anthon F. Susanto, Teori Hukum, (Bandung: Refika Aditama, 2010), hlm. 60-61.
8
Teori hukum integratif berbeda dengan konsep hukum Gerald Dworkin, "Law as integrity":"Law as integrity
accepts law and legal rights wholeheartedly.Jt supposes that law's constraints benefit society not just by providing
predictability or procedural fairness...but by securing a kind of equality among citizens..."(dikutip dari Raymond
Wacks/'Philosophy of Law;A Very Short Introduction"; Oxford Univ Press; 2006: 50-5
9
JM Kelly,"A Short History of Western Legal Theory"; 2003. ".
Aristoteles sampai dengan Jeremy Bentham. 10 Semangat pembangunan hukum di era Tahun
1970-an sejalan dengan politik pintu terbuka yang dicanangkan oleh pemerintah Orde Baru
selepas dari pemberhentian Sukarno sebagai presiden Indonesia pertama, telah membuka
seluasluasnyia kehadiran investor asing untuk turut membantu memulihkan krisis ekonomi
nasional yang mencapai defisit pada titik nadir. Dukungan ahli-ahli ekonomi seperti Sumitro
Djoyohadikusumo dan kawan-kawannya telah mendorong Mochtar Kusumaatmadja, Ahli
hukum Indonesia terkenal di dalam dan di luar negeri untuk membantu pemulihan segera
ekonomi nasional melalui pembentukan hukum di Indonesia. Pada awal orde baru dan setelah
lima tahun kemudian, teori hukum pembangunan telah berhasil membangun justifikasi proses
implantasi konsep-konsep hukum barat (Amerika) ke dalam sistem hukum nasional, khusus
hukum di bidang perdagangan yang merupakan konsekuensi ratifikasi perjanjian perdagangan
bebas dan perundang-undangan lain sehingga memperkuat "kuku tajam" konsep hukum asing
dimaksud seperti UU Kepailitan, UU Penanaman Modal, UU Pasar Modal, UU Perbankan dll
dan pembentukan Pengadilan Niaga. Dalam bidang hukum pidana, telah diundangkan UU
tentang HAM, UU Pengadilan HAM, UU Pemberantasan Terorisme dan UU Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang.

Seluruh perundang-undangan pada masa itu dipandang sebagai sarana rekayasa sosial
dengan harapan terjadi perubahan masyarakat yang signifikan sejalan dengan perkembangan
masyarakat maju(modern). Dalam kenyataan teori hukum pembangunan belum efektif
membangun kesadaran hukum masyarakat sejalan dengan harapan penemunya karena terbukti
masyarakat Indonesia lebih tergantung pada "atasan" atau "penguasa" daripada sesama anggota
masyarakat lain (patron-client relationship) sehingga faktor panutan sangat menentukan
kesadaran hukum masyarakat. Bertolak pada pengamatan saya tersebut maka saya memberikan
koreksi bahwa sesungguhnya kesadaran hukum aparatur negara termasuk aparatur penegak
hukum juga perlu di rekayasa. Koreksi yang dikemukakan bahwa, "law as a tool of social and
bureaucratic engineering", dalam arti bahwa, masyarakat akan memahami dan mau menaati jika
aparatur hukum dan birokrasi terlebih dulu konsisten menaati hukum; ucapan saja tidak akan
mendorong kepatuhan masyarakat terhadap hukum. Contoh kini adalah, jargon anti korupsi salah
satu parpol tidak berhasil efektif bahkan melibatkan banyak anggota parpol ter%£but; bagaimana

10
Aristoteles mengemukakan 4(empat) teori keadilan: retributif, distributif, komutatif dan korektif; J.Bentham
menambahkan dengan keadilan utilitarian.
rakyat taat dan patuh termasuk aparatur birokrasi jika anggota kelu^rga presiden juga melibatkan
dirinya dalam kasus- korupsi. Dalam skala kecil, kepada keluarga perokok maka anak-anaknya
cenderung berpendapat bahwa merokok tidak buruk untuk kesehatan.

Koreksi kedua terhadap teori hukum pembangunan, berasal dari Aim.Prof Satjipto, yang
telah mengingatkan kepada kita generasi hukum Indonesia, bahwa teori hukum "law as a tool of
social engineering", dikhawatirkan akan menjadi "dark-engineering" mengutip pendapat Olati
dan Podgorcki, jika dilaksanakan tanpa hati nurani penegak hukum sehingga Almarhum
menitikberatkan pada perubahan perilaku yang bernurani dalam penegakan hukum,bukan dalam
pembentukan hukum. Singkatnya, jika Mochtar Kusumaatmadja, memandang hukum sebagai
sisten norma dinamis (dynamic system of norms), Almarhum Satjipto Rahardjo, memandang
hukum sebagai sistem perilaku (behavior system of norms) dan saya sampai pada koreksi berikut
bahwa, hukum juga sepatutnya dan harus dipandang sebagai, sistem nilai (value systems of
norms). Tesis yang saya ajukan untuk memperkuat pandangan saya tentang hukum berlandaskan
pada adagium sebagai berikut: "Hukum sebagai sistem norma yang mengutamakan "norms and
logics"(Austin dan Kelsen) kehilangan arti dan makna dalam kenyatan kehidupan masyarakat
jika tidak berhasil diwujudkan dalam sistem perilaku masyarakat dan birokrasi yang samasama
taat hukum. Sebaliknya, hukum yang hanya dipandang sebagai sistem norma dan sistem perilaku
saja dan digunakan sebagai "mesin birokrasi", akan kehilangan Roh-nya jika mengabaikan
sistem nilai yang bersumber pada Pancasila sebagai puncak nilai kesusilaan dalam kehidupan
berbangsa dan bemegara”11

Premis yang dibangun di atas menyiratkan harapan saya, agar dalam proses
pembentukan undang-undang atau putusan pengadilan maupun di dalam penegakan hukum,
filsafat Pancasila harus selalu menjadi rujukan. Dalam kaitan ini tentu penegak hukum
seharusnya berpegang pada hati nurani dan secara profesional mengambil langkah hukum atau
putusan yang tepat dan bijak.

Jika dihubungkan dengan pembedaan antara descriptive legal theory dan normative lega
theory, maka teori hukum integratif termasuk kepada teori hukum kedua. 12 Aplikasi teori hukum
11
Romli Atmasmita, op.cit. halaman 103-104
12
Descriptive legal theory seeks to explain what the law is, and why, and its consequences. Normative leg3 ' theory,
are concerned with what the law ougt to be. Decriptive legal theories are about facts, normative leg'1 theories are
about values; normative legal theories tend inevitably to be associated with moral or or politic'3 theories.Sekalipun
integratif tidak mudah, memerlukan pemahaman yang paripurna dari kalangan penegak hukum
karena sampai saat ini teori hukum integratif masih sebatas hasil pengamatan dan kajian teoritik.
Bagaimana menerjemahkannya ke dalam praktik perlu dilakukan sosialisasi dan pengaku^
formal dalam bentuk politik hukum nasional, baik di dalam perundangan-undangan pidana
maupun dalam putusan pengadilan.

Perkembangan teori hukum Indonesia sampai saat ini telah menghasilkan apa yang saya
sebut "tripartite character of social and bureaucratic enginering" yaitu perpaduan sistem norma
dinamis, sistem perilaku dan sistem nilai yang bersumber pada Pancasila sebagai filsafat
kehidupan bangsa Indonesia.

Berdasarkan sudut pandang teori hukum, relevan dengan perkembangan masyarakat


Indonesia yang tengah membangun, adalah perpaduan teori hukum pembangunan dan teori
hukum progresif, diperkuat teori hukum integratif. Perpaduan ketiga inti teori hukum Indonesia
tersebut diyakini , pertama, dapat mencegah pengaruh asing dalam proses pembentukan hukum
nasional dan implementasinya di dalam kenyataan masyarakat dan kedua, dapat menggali lebih
dalam nilai-nilai moral sosial bangsa Indonesia yang akan dijadikan bahan pembentukan hukum
baik melalui proses legislasi maupun yurisprudensi.

BAB  III 

demikian tidak ada perbedaan yang tegas antara kedua teori hukum tersebwt karena sering terjadi normative legal
theory dilandaskan pada teori hukum deskritptif (Raymond Wacks,introduction)
PENUTUP

A. Kesimpulan

Satu kesimpulan yang utama dari pengembangan teori hukum integratif di Indonesia
adalah bahwa teori hukum ini memiliki peranan penting dan menentukan dalam mendefinisikan
dan mempertahankan nilai-nilai dan idealisme yang dapat memelihara kesinambungan
pandangan hidup kita bersama yaitu Pancasila.

B. Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas, maka tim penulis menyarankan beberapa poin teknis,
guna mendukung penerapan Teori Hukum Integratif di Indonesia.
1.Kehidupan masyarakat selalu dalam keadaan konflik kepentingan, baik konflik
berdasarkan etnis, budaya, sosial, ekonomi dan politik.
2.Fungsi hukum mengatur dan menyelesaikan konflik,selain memelihara dan
mempertahankan ketertiban.
3.Westernisasi hukum secara historis memperuncing konflik dan mendegradasikan
easternisasi hukum.
4.Modernisasi hukum bukan menerima utuh sistem hukum asing, melainkan harus
beradaptasi sesuai dengan the living law.
5.Fungsi hukum sebagai sarana pembaharuan disalahgunakan menjadi alat pemaksaan
kehendak penguasa kepada rakyatnya (dark engineering).
DAFTAR PUSTAKA

Jeffrey Sachs, 2011, The Price of Civilization:Reawakening Virtue and Prosperity After
Economic Fall, Vintage Books,

Romli Atmasasmita, 2012, Teori Hukum lntegratif:Rekonstruksi Terhadap Teori Hukum


Pembangunan dan Teori Hukum Progresif; Genta Publshing

Raymond Wacks, 2006, Philosophy of Law;A Very Short Introductio, Oxford Univ Press;

JM Kelly, 2003, A Short History of Western Legal Theory, 2003

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 253.

Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2007), hlm. 1-2.

Teori hukum integratif berbeda dengan konsep hukum Gerald Dworkin, "Law as integrity":"Law
as integrity accepts law and legal rights wholeheartedly.Jt supposes that law's constraints benefit
society not just by providing predictability or procedural fairness...but by securing a kind of
equality among citizens..."(dikutip dari Raymond Wacks/'Philosophy of Law;A Very Short
Introduction"; Oxford Univ Press; 2006: 50-5

Otje Salman dan Anthon F. Susanto, Teori Hukum, (Bandung: Refika Aditama, 2010), hlm. 60-61.

Anda mungkin juga menyukai